48
Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 1 I PENDAHULUAN Topik-topik bahasan: (1) Perancangan Kota sebagai perluasan bidang Arsitektur (2) Perancangan Kota sebagai implementasi Rencana Kota (3) Nilai-nilai, Kriteria Desain, Proses, dan Metode-Teknik dalam Perancangan Kota (4) Daftar Materi kuliah. 1. Perancangan Kota sebagai perluasan bidang Arsitektur Karena kita sudah berada di bidang Arsitektur, maka lebih mudah bila kita lihat “Perancangan kota” dari kacamata arsitektur. Perancangan kota dapat dilihat sebagai perluasan bidang arsitektur. Mengapa demikian? Dari satu sisi skala atau cakupan area, Arsitektur merancang bangunan pada satu persil (atau disebut berskala mikro), sedangkan cakupan perancangan kota meluas tidak hanya satu persil tapi suatu kawasan (yang biasanya terdiri dari banyak persil)—dapat disebut juga sebagai berskala mezo (lihat Gambar I-1). Dengan demikian, perancangan kota berkaitan dengan penataan lingkungan fisik yang lebih luas daripada hanya satu persil seperti yang dialami oleh bidang arsitektur. Karena dapat dilihat sebagai ekstensi dari bidang Arsitektur, maka bidang Perancangan Kota (Urban Design) sering pula disebut sebagai “Arsitektur Kota”.

171177890 peraturan-pembangunan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 1

I PENDAHULUAN

Topik-topik bahasan: (1) Perancangan Kota sebagai perluasan bidang Arsitektur (2) Perancangan Kota sebagai implementasi Rencana Kota (3) Nilai-nilai, Kriteria Desain, Proses, dan Metode-Teknik

dalam Perancangan Kota (4) Daftar Materi kuliah.

1. Perancangan Kota sebagai perluasan bidang

Arsitektur

Karena kita sudah berada di bidang Arsitektur, maka lebih mudah bila kita

lihat “Perancangan kota” dari kacamata arsitektur. Perancangan kota dapat dilihat

sebagai perluasan bidang arsitektur. Mengapa demikian? Dari satu sisi skala atau

cakupan area, Arsitektur merancang bangunan pada satu persil (atau disebut berskala

mikro), sedangkan cakupan perancangan kota meluas tidak hanya satu persil tapi

suatu kawasan (yang biasanya terdiri dari banyak persil)—dapat disebut juga sebagai

berskala mezo (lihat Gambar I-1). Dengan demikian, perancangan kota berkaitan

dengan penataan lingkungan fisik yang lebih luas daripada hanya satu persil seperti

yang dialami oleh bidang arsitektur. Karena dapat dilihat sebagai ekstensi dari

bidang Arsitektur, maka bidang Perancangan Kota (Urban Design) sering pula

disebut sebagai “Arsitektur Kota”.

Page 2: 171177890 peraturan-pembangunan

2 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Perluasan cakupan dari mikro ke mezo (kawasan) menimbulkan beberapa implikasi,

yaitu antara lain:

a) Klien dan partisipasi

Dalam pekerjaan arsitektural, yang umumnya menangani satu persil, kita

melayani satu klien; sedangkan dalam perancangan kota, yang biasanya mencakup

banyak persil, maka perancang kota berhadapan dengan banyak pemilik persil yang

berarti banyak klien atau banyak pengambil keputusan. Dengan banyaknya

pengambil keputusan maka perancangan kota mau tidak mau perlu melibatkan

partisipasi mereka (partisipasi masyarakat atau pihak-pihak terkait).

b) Masalah lingkungan

Dalam penanganan satu persil, masalah lingkungan kurang terasa, tapi bila

cakupan meluas ke kawasan, maka masalah kelestarian lingkungan menjadi lebih

nyata. Masalah lingkungan timbul akibat interaksi antar guna lahan dalam kawasan,

juga akibat kegiatan sirkulasi lalu lintas, dan sebagainya.

c) Masalah sosial (hubungan antar manusia)

Satu persil berarti satu keluarga, tapi berkaitan dengan satu kawasan, terdapat

masalah hubungan antar keluarga, antar manusia atau disebut sebagai masalah sosial.

Masalah ini misalnya terwujud dalam kebutuhan akan fasilitas umum atau fasilitas

Arsitektur Perancangan Kota

Mikro Mezo

Gambar I-1: Perancangan Kota sebagai ekstensi Arsitektur

Page 3: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 3

sosial, prasarana umum, serta juga kegiatan yang khas di masyarakat kita, yaitu

perdagangan sektor informal (kakilima).

2. Perancangan Kota sebagai implementasi Rencana

Kota

Perencanaan kota (urban planning) menangani lingkungan binaan (built

environment) dalam lingkup kota (makro). Untuk melaksanakan hasil perencanaan

kota diperlukan program-program penanganan kawasan (mezo), maka dapat

diartikan bahwa perancangan kota (urban design)—sebagai penanganan lingkungan

binaan berskala mezo—merupakan salah satu langkah implementasi (pelaksanaan)

rencana kota (lihat Gambar II-2).

Arsitektur Perancangan Kota

Mikro Mezo

Gambar II-2 :Perancangan Kota sebagai ekstensi Arsitektur dan

sebagai implementasi Perencanaan Kota

Perencanaan Kota

Makro

Page 4: 171177890 peraturan-pembangunan

4 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Sebagai implementasi rencana kota, perancangan kota mempunyai implikasi sebagai

berikut:

a) Mengacu pada program atau isi rencana kota

Rencana kota yang berimplikasi ke kawasan dapat berupa: pelestarian

kawasan bersejarah, penataan kembali atau revitalisasi pusat kota, pengembangan

kota baru, pengembangan kawasan perumahan dan sebagainya. Perancangan kota

dapat mengimplementasikan program-program tersebut, sehingga dapat

dikembangkan proyek perancangan kota berkaitan dengan pelestarian kawasan

bersejarah, dan sebagainya.

b) Memanfaatkan perangkat implementasi rencana kota

Sebagai salah satu kegiatan implementasi rencana kota, maka perancangan

kota dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan perangkat implementasi rencana

kota, yaitu antara lain perangkat pengendali pembangunan ruang kota, seperti:

perijinan lokasi atau guna lahan, peraturan bangunan, pemberian IMB, dan pada

kasus kota-kota di Amerika terdapat perangkat seperti: zoning, subdivison regulation,

dan sebagainya.

3. Nilai-nilai, Kriteria Desain, Proses, dan Metode-

Teknik dalam Perancangan Kota

Sebagai suatu usaha penataan lingkungan binaan, maka perancangan kota

memiliki nilai-nilai yang dianut. Nilai-nilai tersebut dapat dianut oleh semua orang

secara universal (misalnya: keindahan), dan ada pula yang hanya dianut oleh

sebagian orang atau kultur tertentu—ini dapat kita sebut sebagai nilai lokal.

Usaha penataan dilakukan dengan mengikuti suatu proses dan kriteria desain

tertentu; dan proses dan kriteria ini juga ada yang disepakati secara umum dan ada

pula yang hanya disepakati oleh masyarakat lokal. Bahkan, pada masa yang berbeda,

suatu masyarakat dapat menganut suatu proses perancangan kota yang berbeda pula.

Page 5: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 5

Hal ini disebabkan mungkin karena terjadi pergeseran paradigma (cara pandang

terhadap kebenaran).

Dalam proses perancangan kota, dilakukan langkah-langkah yang dapat

didukung oleh metode dan teknik tertentu. Dalam khasanah pengetahuan bidang

perancangan kota, telah dikembangkan banyak metode dan teknik untuk mendukung

proses perancangan kota.

4. Daftar Materi kuliah

Kumpulan bahan kuliah ini bersifat “pengantar” (introductory) dan lebih

menitikberatkan pada “perancangan kota sebagai implementasi rencana kota”

daripada “perancangan kota sebagai ekstensi Arsitektur”. Berkaitan dengan itu dan

bahasan di atas, maka dengan tujuan untuk memahami perancangan kota, disiapkan

materi kuliah sebagai berikut:

a) definisi dan pengertian perancangan kota (Bab II);

b) pemahaman rencana kota dan pengaruhnya terhadap perancangan kota (Bab III);

c) menukik ke kawasan, pada bab berikutnya (Bab IV) dibahas unsur-unsur bentuk

fisik kota (kawasan); unsur-unsur ini dibahas dalam hal permasalahan pada

umumnya dan konsep-konsep perancangannya;

d) semua di atas dirangkai dalam suatu proses perancangan kota (Bab V) yang

disusun dari paradigma tertentu dan menghasilkan produk berupa: kebijakan,

rencana/rancangan, pedoman dan program;

e) untuk mengimplementasikan produk perancangan kota, dipakai metode-metode

pengendalian pemanfaatan ruang kota (kawasan) dengan memanfaatkan

perangkat pengendalian yang ada di Indonesia pada umumnya dan hasil belajar

dari pengalaman Amerika Serikat (Bab VI).

Selain materi di atas, sebenarnya masih banyak materi-materi nilai-nilai (values),

kriteria, metode-teknik, dan materi tematik (tergantung tema yang dipilih atau

dihadapi), seperti antara lain:

a) pelestarian kawasan bersejarah;

b) revitalisasi kawasan perkotaan (pusat kota);

Page 6: 171177890 peraturan-pembangunan

6 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

c) pelestarian lingkungan (ekologis) perkotaan;

d) penanganan kakilima.

Untuk materi-materi tersebut, dalam buku ini, hanya ditunjukkan daftar acuannya

(Bab VII). Mahasiswa dapat membaca sendiri sebagai insan yang mampu belajar

secara mandiri. Beberapa tema atau topik yang mengandung pelajaran tentang nilai,

kriteria, dan metode-teknik tertentu dapat saja menjadi bahan kuliah yang “temporer”

(berbeda-beda dari masa ke masa) pada semester ini atau dijelaskan dengan

gambaran kasus atau proyek tertentu pada semester berikutnya, yaitu dalam mata

kuliah “Perancangan Kota II”.

Selain daftar acuan atau bacaan yang dianjurkan, pada akhir buku ini

diberikan pula daftar websites (Lampiran) yang memuat materi-materi yang terkait

dengan perancangan kota. Secara umum, terdapat dua macam website, yaitu: (1)

pusat kajian atau pendidikan perancangan kota, dan (2) “proyek” atau kegiatan

empiri perancangan kota yang dilaporkan oleh pelakunya.

Page 7: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 7

II DEFINISI & PENGERTIAN PERANCANGAN KOTA

Topik-topik yang dibahas: (1) Definisi & pengertian Perancangan Kota (2) Perbedaan perancangan kota dengan perencanaan kota dan

perancangan arsitektur (3) Gambaran proyek-proyek perancangan kota (dalam rangka

memperjelas pengertian perancangan kota)

1. Definisi & Pengertian Perancangan Kota

Saat ini, istilah perancangan kota (urban design) mempunyai arti yang

berbeda-beda di negara yang satu dengan di negara yang lain, bahkan juga berbeda-

beda antar pribadi. Minaret Branch (1995: 201) mengatakan bahwa:

“Di dalam perencanaan kota komprehensif, perancangan kota memiliki suatu makna yang khusus, yang membedakannya dari berbagai aspek proses perencanaan kota. Perancangan kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial”.

Harry Anthony (dalam buku Antoniades, 1986: 326) memberi pengertian bahwa

perancangan kota merupakan pengaturan unsur-unsur fisik lingkungan kota

sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi baik, ekonomis untuk dibangun, dan

memberi kenyamanan untuk dilihat dan untuk hidup di dalamnya. Frederick Gutheim

(dalam Antoniades, 1986: 326) menyatakan bahwa perancangan kota (urban design)

merupakan bagian dari perencanaan kota (urban planning) yang menangani aspek

estetika dan yang menetapkan tatanan (order) dan bentuk (form) kota. Selanjutnya,

Page 8: 171177890 peraturan-pembangunan

8 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Antoniades (1986: 326) juga mendukung pendapat di atas bahwa perancangan kota

menangani permasalahan keindahan kota yang tercermin dari fisik kota yang

dirancang oleh perancang kota.

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik beberapa “kata kunci” tentang

perancangan kota, yaitu:

1) Pengaturan unsur fisik lingkungan kota.

2) Berkaitan dengan tanggapan inderawi, yaitu aspek estetika/keindahan,

penampilan visual.

3) Merupakan bagian dari perencanaan kota.

Sebagai catatan: kunci ketiga di atas masih menjadi perdebatan antara para perencana

kota dan para arsitek, seperti dibahas di bagian berikut.

2. Perbedaan Perancangan Kota dengan Perencanaan

Kota dan Perancangan Arsitektur

Pittas dan Ferebee (1982: 10) menjelaskan bahwa perancangan kota

merupakan bidang ilmu yang unsur-unsurnya meminjam dari—antara lain—bidang-

bidang ilmu arsitektur, lansekap, administrasi publik, hukum, sosiologi, dan geografi

perkotaan. Sebagai sebuah bidang ilmu, perancangan kota mempunyai perbedaan

dengan perencanaan kota maupun dengan arsitektur.

Perencanaan kota memandang perancangan kota sebagai salah satu

implementasi rencana kota, sedangkan para arsitek melihat perancangan kota tidak

selalu harus demikian, tetapi dapat timbul sebagai usaha untuk mengatasi problema

perkotaan secara praktis lewat pengaturan bentuk-bentuk fisik (Antoniades, 1986:

326-327). Perencanaan kota (urban planning), meskipun berkaitan dengan tata ruang

dan juga, antara lain, ekonomi, sosial, budaya; tapi biasanya tidak berkaitan dengan

kualitas visual lingkungan. Perancangan arsitektural, di lain pihak, berfokus pada

bangunan secara individual (tunggal).

Page 9: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 9

Melanjutkan perbedaan dengan perencanaan kota dan arsitektur di atas, Pittas

dan Ferebee (1982: 12-13) mendeskripsikan tentang karakteristik perancangan kota,

yaitu:

1) Perancangan kota mempunyai dimensi publik (masyarakat luas); dan hal ini

tidak tergantung pada tempat pelaksanaannya: di tanah milik umum ataupun di

tanah milik pribadi.

2) Jangka waktu pelaksanaan hasil perancangan kota mempunyai jangka waktu

yang lebih lama daripada hasil perancangan arsitektur atau arsitektur lansekap.

3) Perancangan kota lebih bersifat memungkinkan perubahan lingkungan buatan

daripada melaksanakan perubahan tersebut.

4) Perancangan kota seringkali perlu dilakukan secara anonim, berbeda dengan

perancangan arsitektur yang nama arsiteknya ditonjolkan.

5) Perancangan kota berorientasi ke proses nilai di samping juga berorientasi

produk.

6) Perhatian perancangan kota lebih tertuju kepada komposisi bangunan-

bangunan dalam lingkungan visual publik serta hubungannya dengan ruang

terbuka publik daripada ke bangunan tunggal.

7) Perancangan kota menyadari adanya klien yang pluralistis (berkaitan dengan

berbagai institusi pemerintah dan swasta), dan perancangan kota

mengembangkan metode pembelajaran untuk tipe klien seperti itu.

8) Hasil perancangan kota bersifat lebih relativistis dibanding produk arsitektur,

tapi lebih pasti dibanding hasil perencanaan kota.

9) Tidak seperti pendidikan perencanaan kota, perancangan kota menyadari batas-

batas spasial maupun dimensional dalam melihat dunia (dengan pandangan

keruangan tiga dimensi).

10) Tidak seperti pendidikan arsitektur, perancangan kota memberi nilai yang lebih

pada program (proses) daripada terhadap artefak (produk berupa fisik).

11) Dalam sejarah, rancangan kota yang baik tidak selalu dihasilkan oleh

perancang kota yang hebat.

12) Pendidikan perancangan kota menuntut pemberian materi tentang ilmu-ilmu

sosial, hukum, ekonomi dan administrasi perusahaan.

Page 10: 171177890 peraturan-pembangunan

10 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Kemampuan dalam mengolah bentuk dan hubungan tiga dimensi diperlukan.

Pendidikan ini juga memerlukan kolaborasi dan kemampuan untuk bekerja

dalam kerangka institusional.

Dari bahasan tentang perbedaan di atas, dapat ditarik ringkasan tentang perbedaan

perancangan kota dibanding perencanaan kota dan arsitektur, seperti gambar berikut:

Gambar II-1: Perbedaan Perancangan Kota, Perencanaan Kota, dan Arsitektur

3. Gambaran Proyek-Proyek Perancangan Kota

Untuk memperjelas pengertian tentang perancangan kota, berikut ini

disampaikan beberapa gambaran tentang kegiatan dan proyek-proyek tentang

kegiatan dan proyek-proyek perancangan kota. Sebagai catatan, perancangan kota

dapat mempunyai skala wawasan atau skala yanglebih luas lagi, yaitu skala kota.

Pada skala kawasan, menurut Branch (1995: 201-202), obyek perancangan

kota dapat mencakup antara lain: lingkungan suatu bangunan atau sekumpulan

bangunan, suatu taman atau plaza, boulevard atau jalur pejalan kaki, tiang lampu atau

pemberhentian bis. Pada skala kota, menurut Lynch (196)), perancangan kota

berkaitan dengan elemen visual utama yang meliputi: tengaran (landmark),

pemusatan (nodes), kawasan (district), jejalur (paths), dan tepian (edges). Lebih jelas

PERENCANAAN KOTA

PERANCANGAN KOTA

ARSITEKTUR

Perancangan kota berada "di antara" arsitektur dan Perencanaan Kota

bangunan di persil tunggal Ruang umum &

bangunan-bangunan dari aspek publik

Kebijaksanaan publik

Page 11: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 11

lagi, Dannenbrink (dalam Branch, 1995: 200) mendeskripsikan perancangan kota

sebagai berikut:

“Perancangan kota adalah proses dan hasil pengorganisasian dan pengintegrasian seluruh komponen lingkungan (buatan dan alam), sedemikian rupa sehingga akan meningkatkan citra setempat dan perasaan berada di suatu tempat (sense of place), dan kesetaraan fungsional, serta kebanggaan warga dan diinginkannya suatu tempat menjadi tempat tinggal. Hal tersebut dapat diterapkan pada berbagai seting dan kepadatan fisik, mulai dari daerah perkotaan, pinggiran kota, hingga pedesaan ….. mulai dari skala lingkungan permukiman hingga keseluruhan daerah, dan dapat terpusatkan pada permasalahan kota secara keseluruhan atau komponen khusus, misalnya lingkungan permukiman, pusat bisnis, sistem ruang terbuka, atau karakter jalan utama”.

Sebagai gambaran proyek perancangan kota adalah Pengembangan Kawasan

Malioboro, Yogyakarta, yang mengatur antara lain fasade dan ketinggian bangunan-

bangunan di sepanjang jalan Malioboro tersebut. Contoh lain: perancangan kampus

UGM, dan perancangan kawasan sekitar Monumen Yogya Kembali (Yogyakarta).

Di bawah ini beberapa gambaran “proyek” perancangan kota yang diangkat

dari beberapa pustaka:

Gambar II-2: Usulan Pembangunan kembali pinggiran Wilmington City Center, Delaware—Hasil kerja mahasiswa Studio semester III, sebuah

sekolah Urban Design di AS (sumber: Pittas & Ferebee, 1982: 79, Fig. 3)

Page 12: 171177890 peraturan-pembangunan

12 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Acuan

Antoniades, Anthony C., 1986, Architecture and Allied Design: An Environmental

Design Perspective, Second Edition, Kendall/Hunt Publishing Company, Dubuque, Iowa.

Branch, Melville C., 1995, Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar &

Penjelasan, Terjemahan: B. H. Wibisono & A. Djunaedi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Lynch, Kevin, 1960, The Image of the City, MIT Press, Cambridge, MA. Pittas, M., dan Ferebee, A. (editors), 1982, Education for Urban Design, Institute for

Urban Design, Purchase, New York. Urban Redevelopment Authority, (August) 1996, New Down Town: Ideas for the

City of Tomorrow, Urban Redevelopment Authority, Singapore.

Gambar II-3: Rancangan jalan dengan pepohonan di tepinya yang telah terwujud (sumber: Urban Redevelopment Authority, 1996: 17)

Page 13: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 13

Daftar Bacaan yang Dianjurkan

Shirvani, Hamid, 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New York, hal. 6-8 (“The Domain of Urban Design”).

Steger, Charles W., 1997, “Urban Design”, dalam John M. Levy, Contemporary

Urban Planning, Fourth Edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ., hal. 141-168.

Beckley, Robert M., 1979, “Urban Design”, dalam Anthony J. Catanese dan James

C. Snyder, Introduction to Urban Planning, McGraw-Hill Book, New York, hal. 62-103.

Page 14: 171177890 peraturan-pembangunan

14 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

III RENCANA KOTA DAN PENGARUHNYA KE PERANCANGAN KOTA

Topik-topik yang dibahas: (1) Pengertian dan macam rencana kota (2) Proses penyusunan rencana kota (3) Produk perencanaan kota yang mempengaruhi perancangan

kota

1. Pengertian dan Macam Rencana Kota

Di Amerika, rencana kota umumnya disebut sebagai rencana kota

komprehensif (comprehensive urban plan). Rencana kota ini diartikan sebagai

kebijaksanaan jangka panjang (20 – 30 tahun) mengenai distribusi keruangan

(spasial) obyek, fungsi dan kegiatan dan tujuan (Catanese dan Snyder, 1979: 194).

Rencana kota mengkoordinasikan kegiatan Pemerintah dan kegiatan swasta atau

masyarakat dalam membangun fisik dan keruangan kotanya.

Dalam praktek perencanaan kota di Indonesia saat ini, para perencana

mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987) (tentang

Pedoman Penyusunan Rencana Kota). Dalam peraturan tersebut, Pasal 1 (butir d)

disebutkan pengertian rencana kota, sebagai berikut:

“Rencana kota adalah rencana pengembangan kota yang disiapkan secara teknis dan non-teknis, baik yang ditetapkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi wilayah kota termasuk ruang di atas dan di bawahnya serta pedoman pengarahan dan pengendalian bagi pelaksanaan pembangunan kota”.

Page 15: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 15

Selain itu, peraturan di atas juga menjelaskan bahwa suatu rencana kota bertujuan

supaya kehidupan warga kota menjadi aman , tertib dan lancar dan sehat melalui:

a) Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan kota.

b) Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang sejalan dengan tujuan serta

kebijaksanaan Pembangunan Nasional dan Daerah.

Rencana kota (yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah) dibedakan menjadi

tiga macam, yaitu:

1) Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)

2) Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)

3) Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK).

Perbedaan antar ketiga macam rencana tersebut terlihat pada tabel di bawah ini.

Page 16: 171177890 peraturan-pembangunan

16 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Tabel III-1: Perbandingan antara macam rencana kota

Macam Rencana

Lingkup Wilayah Isi Rencana Skala Peta

RUTRK seluruh wilayah adminitrasi kota

• Kebijaksanaan pengembangan kota • Rencana pemanfaatan ruang kota • Rencana struktur tingkat pelayanan kota • Rencana sistem transportasi • Rencana sistem jaringan utilitas kota • Rencana pengembangan pemanfaatan

air baku • Indikasi unit pelayanan kota • Rencana pengelolaan pembangunan

kota

1 : 10.000 (untuk kota berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa); 1 : 20.000 (untuk kota berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa).

RDTRK sebagian atau seluruh wilayah adminitrasi kota yang dapat merupakan satu atau beberapa kawasan tertentu

• Kebijaksanaan pengembangan penduduk

• Rencana pemanfaatan ruang bagian wilayah kota

• Rencana struktur tingkat pelayanan • Rencana sistem jarangan fungsi jalan • Rencana sistem jaringan utilitas • Rencana kepadatan bangunan

lingkungan • Rencana ketinggian bangunan • Rencana garis sempadan atau garis

pengawasan jalan • Rencana indikasi unit pelayanan • Rencana tahapan pelaksanaan

pembangunan • Pengelolaan penanganan lingkungan

1 : 5.000 dengan penggambaran geometrik yang dibantu dengan titik-titik kendali.

RTRK sebagian atau seluruh kawasan tertentu yang dapat merupakan satu atau beberapa unit lingkungan perencanaan

• Rencana tapak pemanfaatan ruang • Pra rencana pola dan konstruksi

jaringan jalan • Pra rencana bentuk dan konstruksi

jaringan utilitas • Pra rencana bentuk dan konstruksi

bangunan gedung • Rencana indikasi proyek

1 : 1.000

Sumber: PerMendagri No. 2 Tahun 1987

Page 17: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 17

2. Proses Penyusunan Rencana Kota

Proses perencanaan kota yang menganut “faham” perencanaan komprehensif,

secara umum terlihat pada gambar sebagai berikut:

Gambar III-1: Salah satu model proses perencanaan kota komprehensif

(diangkat dari: Levy, 1997: 104-111).

Istilah “komprehensif” yang arti katanya ialah “menyeluruh”, dalam hal ini diartikan

bahwa dalam penelitian perencanaan semua aspek perkotaan dianalisis. Aspek-aspek

tersebut, menurut PerMendagri No. 2 Tahun 1987 Pasal 22 meliputi antara lain:

1) Aspek fisik dasar

2) Aspek lingkungan hidup

3) Aspek kependudukan dan kebudayaan

4) Aspek penggunaan tanah

Penelitian perencanaan: • Pengumpulan dan pengolahan data • Analisis dan pembuatan proyeksi

Perumusan tujuan dan sasaran Perencanaan

Perumusan rencana: • Pembuatan alternatif-alternatif rencana • Evaluasi dan seleksi alternatif • Penyusunan dokumen rencana

Implementasi rencana

Pengkajian ulang dan perubahan rencana

Page 18: 171177890 peraturan-pembangunan

18 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

5) Aspek status penguasaan tanah

6) Aspek perekonomian

7) Aspek fasilitas dan utilitas

8) Aspek sistem transportasi

9) Aspek keruangan dan pembiayaan pembangunan kota

10) Aspke kelembagaan Pemerintahan dan Pengelolaan Kota.

Berbagai aspek tersebut di atas juga menjadi kajian dalam perancangan kota. Selain

itu, beberapa masalah yang biasa dihadapi perancangan kota, seperti misalnya: citra

kota (image of the city), juga menjadi bahan masukan bagi proses perencanaan kota

(tahap penelitian perencanaan).

3. Produk Perencanaan Kota yang Mempengaruhi

Perancangan Kota

Untuk skala bagian wilayah kota, macam rencana kota yang secara umum

mempengaruhi perancangan kota adalah RDTRK, terutama bagian-bagian rencana

yang berkaitan dengan:

1) macam pemanfaatan ruang kota

2) sistem jaringan fungsi jalan

3) sistem jaringan utilitas

4) kepadatan bangunan lingkungan

5) ketinggian bangunan

6) garis sempadan atau garis pengawasan jalan.

Untuk skala kawasan, bila telah ada RTRK, maka pra rencana teknis yang diatur

dalam RTRK juga menjadi pertimbangan dalam perancangan kawasan.

Disamping rencana kota, terdapat peraturan-peraturan atau kebijaksanaan

Pemerintah Daerah lainnya yang dapat mempengaruhi perancangan kota, yaitu antara

lain: peraturan bangunan, kebijaksanaan pelestarian bangunan bersejarah atau

kawasan bersejarah, dan peraturan Pemerintah tentang cagar budaya.

Page 19: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 19

Beberapa program pembangunan juga dapat mempengaruhi atau mendorong

perancangan kota, misalnya: revitalisasi pusat kota, pengatasan kawasan kumuh,

konsolidasi lahan perkotaan. Di samping itu, program pengembangan kegiatan

pariwisata juga dapat mendorong kegiatan perancangan kota atau kawasan, seperti

misalnya: taman rekreasi, taman budaya, dan kompleks peninggalan purbakala.

Acuan

Catanese, A. J., dan Snyder, J. C., 1979, Introduction to Urban Planning, McGraw-Hill Book Company, New York.

Levy, John M., 1997, Contemporary Urban Planning, Fourth Edition, Prentice-Hall,

Upper Saddle River, NJ. PerMendagri No. 2 Tahun 1987, “Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun

1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota”, Departemen Dalam Negeri, Jakarta.

Daftar Bacaan yang Dianjurkan

Levy, John M., 1997, Contemporary Urban Planning, Fourth Edition, Prentice-Hall, Upper Saddle River, NJ.: hal. 102 – 112 (Chapter 8: “The Comprehensive Plan”).

PerMendagri No. 2 Tahun 1987, “Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun

1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota”, Departemen Dalam Negeri, Jakarta.

Page 20: 171177890 peraturan-pembangunan

20 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

IV UNSUR-UNSUR BENTUK FISIK KOTA: PERMASALAHAN & KONSEP-KONSEP PERANCANGANNYA

Topik-topik yang dibahas : (1) Domain (lingkup) bidang perancangan kota Unsur-unsur bentuk kota: (2) Guna lahan (3) Bentuk dan massa bangunan (4) Sirkulasi dan perparkiran (5) Ruang terbuka (6) Jalan pedestrian (7) Pendukung kegiatan (8) Perpapanan-nama (9) Preservasi

1. Domain (lingkup) Bidang Perancangan Kota

Untuk merumuskan unsur-unsur bentuk fisik kota, perlu dirumuskan terlebih

dulu domain atau lingkup bidang perancangan kota. Seperti telah dijelaskan di

bagian sebelumnya, perancangan kota (urban design) dalam hal ini dipandang

sebagai bagian dari proses perencanaan kota (urban planning) yang berkaitan dengan

kualitas fisik lingkungan kota. Dalam hal kualitas fisik ini, perencana dan perancang

kota tidak akan dapat merancang seluruh unsur bentuk fisik kota, kecuali bila yang

dihadapi kota baru atau kawasan kosong yang akan direncanakan (Shirvani, 1985:6).

Page 21: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 21

Domain perancangan kota terbentang dari tampilan muka bangunan

(eksterior) ke luar (ke ruang publik diantara bangunan-bangunan). Berkaitan dengan

ini Barnett (1974, dalam Shirvani, 1985: 6) mengatakan bahwa domain perancangan

kota sebagai "merancang kota tanpa merancang bangunan-bangunan". Dengan kata

lain, domain tersebut mencakup ruang-ruang di antara bangunan-bangunan.

Dalam hal ruang-ruang luar tersebut, berdasar pengalaman "Urban Design

Plan of San Fransisco, 1970" (Wilson et. al, 1979 dalam Shirvani, 1985: 6), ruang-

ruang dikelompokan menjadi empat group, yaitu:

1) pola dan citra internal: menjelaskan maksud ruang-ruang di antara bangunan-

bangunan dalam lingkup kawasan kota, terutama dalam hal focal points,

viewpoints, landmarks, dan pola gerak;

2) bentuk dan citra eksternal: berfokus pada skyline (garis langit) kota, serta citra

dan identitas kota secara keseluruhan;

3) sirkulasi dan perparkiran: mengkaji karakteristik jalan (dalam hal: kualitas

pemeliharaan, kepadatan ruang, tatanan, kemonotonan, kejelasan rute, orientasi

ke tujuan, keselamatan, dan kemudahan gerakan), serta persyaratan dan lokasi

perparkiran;

4) kualitas lingkungan: berkaitan dengan sembilan faktor, yaitu kecocokan

penggunaan, kehadiran unsur alam, jarak ke ruang terbuka, kepentingan visual

dari fasad jalan, kualitas pandangan, kualitas pemeliharaan, kebisingan, dan

iklim setempat.

Pengelompokan di atas belum menunjukkan unsur-unsur bentuk fisik kota dalam

perancangan kota. Unsur-unsur tersebut, dijelaskan oleh Shirvani (1985: 7-8),

meliputi delapan butir, yaitu:

1) guna lahan

2) bentuk dan massa bangunan

3) sirkulasi dan perparkiran

4) ruang terbuka

5) jalan pedestrian

6) pendukung kegiatan

7) perpapanan - nama

8) preservasi.

Page 22: 171177890 peraturan-pembangunan

22 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Tiap unsur dijelaskan di bagian berikut ini dengan pola bahasan yang dimulai dengan

pengertian unsur tersebut (bila perlu, dan termasuk pula penjelasan mengapa unsur

tersebut diperlukan dalam perancangan kota dan keterkaitannya dengan unsur

lainnya), isu atau permasalahan utama berkaitan dengan unsur tersebut, serta solusi

atau konsep perancangan unsur tersebut1.

2. Guna Lahan

Pengertian

Guna lahan merupakan kebijakan Pemerintah kota yang bersifat dua

dimensional (dalam bentuk peta) tapi berpengaruh pada rancangan tiga dimensi

(bangunan) di atas lahan tersebut. Guna lahan juga berkaitan dengan sirkulasi dan

perparkiran.

Isu atau permasalahan utama

Tiga masalah utama terjadi berkaitan dengan penerapan sistem guna lahan

atau pemintakatan (zoning) perkotaan yaitu:

(1) tidak adanya diversifikasi kegiatan dalam zona yang sama ("terlalu seragam"

menyebabkan hanya ramai pada waktu tertentu");

(2) kurang memperhitungkan faktor lingkungan dan fisik alamiah;

(3) masalah pemeliharaan dan perbaikan prasarana kota.

Solusi atau konsep perancangan

Solusi yang ditawarkan menyangkut penggunaan lahan campuran yang dapat

mendorong kegiatan terjadi "24 jam", dengan peningkatan sirkulasi pendestrian,

penggunaan yang lebih baik terhadap sistem prasarana, dilakukannya analisis

berbasis lingkungan, dan peningkatan pemeliharaan dan perbaikan prasarana.

Terhadap kawasan yang "mati kehidupan" dapat dilakukan solusi modifikasi

guna lahan. Sekolah yang kekurangan murid dan bangkrut dapat dialih-gunakan

1 Penjelasan tentang kedelapan unsur tersebut diangkat dari Shirvani (1985: 8-46)

Page 23: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 23

menjadi mall, misalnya. Contoh lain, pergudangan atau bangunan indistri yang sudah

tidak terpakai dapat disulap menjadi "tokok gudang rabat" (seperti toko "Alfa" di

Yogyakarta).

3. Bentuk dan Massa Bangunan

Pengertian

Umumnya, peraturan bangunan mengatur ketinggian, sempadan dan coverage

bangunan. Pengalaman beberapa proyek perancangan kota menyarankan untuk

meliputi pula "penampilan dan konfigurasi bangunan", misal berkaitan dengan

warna, bahan bangunan, tekstur, bentuk muka (fasad). Secara tradisional, hal-hal ini

menjadi hak arsitek bersama kliennya. Tapi, sebenarnya hal ini menyangkut

kepentingan masyarakat dan berdampak pada lingkungan kota. Contohnya:

penggunaan kaca pantul cahaya untuk bangunan tinggi, dan pengubahan tampilan

muka bangunan bersejarah.

Isu atau permasalahan utama

Isu utama dalam hal ini menyangkut "keseimbangan" hak antara arsitek

perancang bangunan individual dan Pemerintah (mewakili perancang kota), dalam

hal perancangan eksterior bangunan dan ruang-ruang antara bangunan. Spreiregen

(1965, dalam Shirvani, 1985: 23) menyebutkan tiga isu utama yang berkaitan dengan

bentuk dan massa bangunan perkotaan, yaitu:

(1) "skala" yang berkaitan dengan ketinggian pandang manusia, sirkulasi,

bangunan-bangunan berdekatan, dan ukuran lingkungan;

(2) "ruang kota" berkaitan dengan bentuk-bentuk bangunan, skala dan suasana

penutupan ruang antar bangunan, dan macam ruang kota;

(3) "massa perkotaan" meliputi bangunan-bangunan, permukaan tanah, obyek-

obyek dalam ruang yang dapat membentuk ruang kota dan membentuk pola

kegiatan, dalam skala besar atau kecil.

Page 24: 171177890 peraturan-pembangunan

24 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Solusi atau konsep perancangan

Pemerintah kota perlu menyususn pedoman perancangan bentuk dan massa

bangunan (dari segi perancangan kota) berdasar studi/analisis yang komprehensif

tentang data fisik kota yang ada (bentuk bangunan dan unsur-unsur fisik). Contoh

pedoman yang pernah dibuat: Residential Design Guidelines disusun oleh San

Fransisco Planning Department (Shirvani, 1985: 17-18).

4. Sirkulasi dan Perparkiran

Isu dan permasalahan utama

Perparkiran mempunyai dua dampak langsung terhadap kualitas lingkungan,

yaitu: (1) keberlangsungan kegiatan perdagangan di pusat kota, dan (2) dampak

visual bentuk kota. Sirkulasi dapat membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan

pola kegiatan (dan juga pembangunan) kota.

Solusi dan konsep perancangan

Solusi perparkiran meliputi: (1) permbangunan fasilitas parkir pada kawasan

yang belum mempunyai dengan cukup memadai, dengan mempertimbangkan

dampak visual bentuk kotanya; (2) penggunaan ganda terhadap fasilitas parkir yang

ada (misal: parkir perkantoran yang hanya dipakai siang hari dapat digunakan untuk

parkir kegiatan perdagangan di malam hari); (3) "paket parkir", yaitu perusahaan

yang mempunyai karyawan banyak perlu punya kawasan parkir tersendiri dekat atau

jauh (remote) dari lokasi perusahaan (satu paket dengan pendirian perusahaannya);

dan (4) parkir di pinggir kota atau pinggir pusat kota, yang dibangun pengembang

dengan bantuan Pemerintah (dari lokasi tersebut disediakan angkutan murah ke pusat

kota).

Dalam hal penanganan sirkulasi, Shirvani (1985: 26) menawarkan tiga azas

perancangan, yaitu:

1) Ruang jalan perlu dijadikan sebagai "unsur ruang terbuka visual positif" dengan

cara:

Page 25: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 25

a) menutupi dan membuat pengatasan lansekap terhadap tampilan yang "kurang

sedap dipandang";

b) memberi persyaratan tinggi dan sempadan bagi bangunan dekat jalan;

c) membangun median jalan bertaman;

d) meningkatkan kualitas lingkungan alam yang terlihat dari jalan.

2) Jalan dapat memberi orientasi kepada para pengemudi kendaraan dan membuat

lingkungan menjadi jelas, dengan cara:

a) menyediakan palet lansekap untuk menegaskan batas lingkungan atau

kawasan yang terlihat dari jalan;

b) membuat perlengkapan jalan dan pencahayaan sehingga jalan terlihat jelas di

siang maupun malam hari;

c) mengkaitkan unsur jalan dengan obyek pandang penting (vistas) dan referensi

penting (vistas) dan referensi visual (memudahkan untuk mengingat-ingat

suatu tempat atau jalan) ke guna lahan terdekat atau landmark;

d) membedakan tingkatan jalan dengan pembedaan sempadan, tampilan ruang

jalan, dan sebagainya.

3) Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam mencapai tujuan ini.

Solusi lain terhadap isu sirkulasi dapat dilakukan dengan strategi manajemen

lalulintas, serta penyebaran kegiatan antar kawasan di kota (desentralisasi kegiatan

yang menimbulkan lalulintas banyak). Secara umum, kecenderungan penanganan

lalu lintas perkotaan meliputi: (1) peningkatan mobilitas gerak di pusat perdagangan

kota, (2) tidak mendorong penggunaan kendaraan pribadi, (3) mendorong pemakaian

kendaraan umum, dan (4) peningkatan akses ke pusat perdagangan kota.

5. Ruang Terbuka

Pengertian

Pengertian "ruang terbuka" (open space) bagi tiap orang mungkin berbeda-

beda, tapi dalam hal ini, ruang terbuka meliputi: lansekap, hardscape (jalan, trotoar,

dan sebagainya), taman, dan ruang rekreasi di kota. Unsur-unsur ruang terbuka

Page 26: 171177890 peraturan-pembangunan

26 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

mencakup: taman dan alun-alun, ruang hijau kota, perabot jalan/ruang kota, kios-

kios, patung, jam kota, dan sebagainya.

Isu atau permasalahan utama

Pada masa lalu, ruang terbuka tidak pernah dirancang tapi menjadi akibat

setelah bangunan-bangunan berdiri. Dengan kata lain, ruang terbuka belum menjadi

unsur terpadu dalam perancangan fisik.

Solusi atau konsep perancangan

Dalam perancangan kota, ruang terbuka perlu menjadi unsur terpadu dalam

perancangan bangunan (dipertimbangkan dalam proses perancangan bangunan).

Untuk itu, Pemerintah kota perlu menyusun suatu pedoman rancangan hubungan

bangunan-bangunan dengan ruang-ruang terbuka. Contoh: kota Dallas membuat

"Natural Open Space Plan" (tahun 1978). Dalam kaitannya dengan hubungan

bangunan dan ruang terbuka, Tankel (1963, dalam Shirvani, 1985: 31) menyatakan

bahwa "nilai penting ruang terbuka bukan terletak pada kuantitasnya, tapi pada

pengaturan ruang-ruang tersebut berkaitan dengan pembangunan (fisik)".

6. Jalan Pedestrian

Pengertian

Pada masa lalu, perancangan pedestrian di kota jarang dilakukan. Ketika

suatu mall dirancang dengan memperhatikan kenyamanan pejalan kaki, maka mall

tersebut berhasil menarik banyak pengunjung. Jalan pedestrian (jalan pejalan kaki) di

samping mempunyai unsur kenyamanan bagi pejalan kaki juga mempunyai andil

bagi keberhasilan pertokoan dan vitalitas kehidupan ruang kota. Sistem pedestrian

yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di pusat kota,

menambah pengunjung ke pusat kota, meningkatkan atau mempromosikan sistem

skala manusia, menciptakan kegiatanan usaha yang lebih banyak, dan juga

membantu meningkatkan kualitas udara.

Page 27: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 27

Isu dan permasalahan utama

Isu utama perancangan jalan pedestrian menyangkut "keseimbangan"

seberapa untuk pejalan kaki dan seberapa untuk kendaraan. Di samping itu,

keselamatan pejalan kaki juga menjadi isu utama. Selain itu, di Indonesia, dan juga

di beberapa negara berkembang lainnya (antara lain: Muangthai), jalan pedestrian

sering berkaitan dengan masalah kakilima (pedagang sektor informal).

Solusi atau konsep keruangan

Bila ruang pejalan kaki lebih luas daripada yang diperlukan maka terasa

"sepi", tapi bila kurang akan terasa "padat/sesak". Kepadatan ini seringkali baik

karena kerumunan orang akan menarik perhatian orang lain untuk mendekat dan ikut

bergabung. Di beberapa lokasi tertentu—misal: di kawasan Malioboro,

Yogyakarta—jalan pedestrian sengaja dibuat lebih lebar daripada kebutuhan pejalan

kaki dengan alasan untuk juga mewadahi kegiatan pedagang sektor informal

(kakilima).

Kegiatan lain diperlukan untuk mendukung kehidupan jalan pedestrian,

seperti: pertunjukan, penjual makanan, dan tempat janji bertemu (rendezvous points).

Macam bangunan atau fasilitas (termasuk pula: perabotan jalan) sepanjang jalan

pedestrian juga mempengaruhi hidup-matinya jalan pedestrian. Misal: bila hanya ada

kantor dan bank maka jalan pedestrian sepi; maka perlu ada toko-toko kecil atau

department store di sepanjang jalan pedestrian serta dilengkapi dengan bangku-

bangku tempat duduk dan lampu-lampu taman.

7. Pendukung Kegiatan

Pengertian

Pendukung kegiatan diartikan sebagai semua guna lahan dan kegiatan yang

memperkuat ruang publik perkotaan. Bentuk, lokasi, dan karakteristik suatu kawasan

akan menarik fungsi-fungsi guna lahan, dan kegiatan yang spesifik. Sebaliknya,

suatu kegiatan cenderung memilih lokasi yang paling cocok untuk kegiatan tersebut.

Page 28: 171177890 peraturan-pembangunan

28 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Dengan demikian, penempatan kegiatan yang tepat akan menarik kegiatan-kegiatan

pendukung.

Kegiatan pendukung tidak hanya termasuk penyediaan pedestrian atau plaza

(ruang terbuka yang berlantai perkerasan) tapi juga termasuk fasilitas kota yang

menarik kegiatan lainnya. Fasilitas tersebut misalnya: pusat perbelanjaan, taman

rekreasi, pusat pertemuan masyarakat (civic center), perpustakaan kota, dan lain-lain.

Isu utama dan solusi

Kegiatan-kegiatan pendukung perlu dikembangkan, dikoordinasikan dan

dipadukan dengan bentuk-bentuk fisik yang ada. Demikian pula, integrasi kegiatan

ruang dalam dan ruang luar juga diperlukan untuk membuat suasana lebih hidup.

Misal: perluasan tempat duduk suatu restoran dalam ruang ke luar bangunan.

8. Perpapanan-nama / Reklame

Isu atau permasalah utama

Dari segi perancangan kota, papan/nama/reklame/informasi perlu diatur agar

terjalin kecocokan lingkungan, pengurangan dampak visual negatif, mengurangi

kebingungan dan kompetisi antara papan informasi publik dan papan reklame. Papan

nama/reklame yang dirancang baik akan menambah kualitas tampilan bangunan dan

memberi kejelasan informasi usaha.

Solusi atau konsep perancangan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

(1) visibilitas (keterlihatan) papan/tanda (terpengaruh oleh faktor lokasi, tiang

penempatan, cat pantul dan sebagainya);

(2) legibilitas informasi (keterbacaan, kejelasan), yang berkaitan dengan macam dan

ukuran huruf, jarak antar huruf, lokasi, warna dasar, warna huruf dan

sebagainya); juga tetap terbaca dari kendaraan yang bergerak;

(3) "keseimbangan" antara pengendalian kesemrawutan dan penciptaan perhatian

serta sambil memancarkan pesan/informasi;

Page 29: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 29

(4) keharmonisan papan nama/reklame dengan arsitektur bangunan di dekatnya;

perlu juga pengendalian ukuran tanda/papan yang mengganggu vistas kota;

(5) pengendalian pemakaian lampu kedip untuk reklame (kecuali untuk tanda

keselamatan lalulintas/tanda "hati-hati", atau untuk bioskop dan sebagainya.

9. Preservasi

Pengertian

Preservasi atau perlindungan tidak hanya diberlakukan untuk bangunan

bersejarah, tapi juga untuk bangunan dan tempat yang dianggap perlu dilestarikan.

Preservasi biasanya juga mempertimbangkan faktor ekonomis dan kultural.

Isu atau permasalahan utama

Preservasi sering dipandang sebagai penghambat pembangunan. Tapi

beberapa kegiatan preservasi justru menciptakan kegiatan ikutan yang mendorong

keberhasilan usaha dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Solusi atau konsep perancangan

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain:

(1) Preservasi bangunan dan kawasan perlu mampu mendorong peningkatan

perekonomian daerah.

(2) Pada masa kini, preservasi bergeser dari "pelarangan" menjadi "perlindungan".

Peraturan tentang preservasi berbeda dari satu kota ke kota yang lain. Meskipun

demikian, terdapat unsur-unsur yang sama, yaitu:

1) standar penetapan obyek preservasi;

2) pengkajian oleh tim atau dewan kajian arsitektur atau komisi preservasi;

3) standar kajian untuk preservasi, demolisi (penghancuran), dan alterasi

(pengubahan);

4) prosedur perlindungan landmark.

Page 30: 171177890 peraturan-pembangunan

30 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Acuan

Shirvani, Hamid. 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New York: hal. 5-48 (Chapter 2 "Elements of Urban Physical Form").

Daftar Bacaan yang Dianjurkan

Barnett, Jonathan, 1982, An Introduction to Urban Design, Harper & Row, New

York: hal 155-235 (Part Three: "The Elements oa a Design and Development Policy").

Shirvani, Hamid. 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New

York: hal 5-48 (Chapter 2 "Elements of Urban Physical Form").

Page 31: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 31

V PROSES PERANCANGAN KOTA & PRODUKNYA

Topik-topik yang dibahas: (1) Macam proses perancangan kota (2) Macam produk perancangan kota

1. Macam Proses Perancangan Kota

Macam proses dalam perancangan kota dipengaruhi oleh macam proses, baik

dalam perancangan arsitektural maupun dalam perencanaan kota. Seperti halnya

dalam perancangan arsitektural, dalam perancangan kota juga dikenal proses

perancangan yang didominasi oleh intuisi (disebut sebagai metode terinternalisasi)

dan juga sebaliknya yang didominasi oleh analisis rasional (disebut sebagai metode

sinoptis). Seperti juga dalam perencanaan kota, dalam perancangan kota dikenal juga

beragam pendekatan yang kesemuanya dapat dikatakan berdasar pemikiran rasional,

antara lain: komprehensif (sama dengan yang disebut di atas sebagai metode

sinopsis), inkremental, pluralistik, dan advokasi. Tiap metode dibahas di bawah ini

dan sebagian besar bersumber dari tulisan Hamid Shirvani (1985: 105-120).

a) Metode Terinternalisasi (The Internalized Method of Design)

Metode terinternalisasi bersifat intuitif, subyektif, personal, kreatif, dan

seringkali hampir irasional. Meskipun demikian, oleh arsitek yang cemerlang

(berdasar pengalaman dan pengetahuannya), pendekatan intuitif ini dapat

menghasilkan karya yang baik. Kadang, pendekatan ini disebut juga sebagai metode

“black box” karena tidak jelas alasan dan prosesnya tapi tiba-tiba muncul suatu

karya. Meski tidak jelas, bukan berarti presentasinya tidak mungkin dibuat

Page 32: 171177890 peraturan-pembangunan

32 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

sistematis. Banyak karya dari metode intuitif ini yang dipresentasikan secara

sistematis (hanya tidak “obyektif”, karena merupakan hasil pemikiran satu orang,

yaitu arsiteknya). Karena itu pula, pendekatan ini tidak populer dalam situasi yang

demokratis, yang mensyaratkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat luas.

b) Metode Sinopsis (The Synoptic Method ) atau Komprehensif Rasional

Metode sinopsis berakar dari pendekatan sistem, yang rasional, sehingga

pendekatan ini juga dinamakan komprehensif rasional (komprehensif berarti

menyeluruh). Proses dalam metode ini mirip dengan proses perencanaan kota

komprehensif yang dibahas dalam bab tentang perencanaan kota (Bab III). Menurut

Shirvani (1985: 111), proses perancangan kota berdasar metode sinopsis ini

mengikuti alur sekuensial 7 langkah seperti terlihat pada Gambar V-1.

1. Pengumpulan data, Survei kondisi yang ada (kondisi alam, terbangun, dan sosio-ekonomi)

2. Analisis data, Identifikasi semua peluang dan kendala

3. Perumusan tujuan dan sasaran

4. Pengembangan konsep-konsep alternatif

5. Penjabaran tiap konsep ke solusi yang dapat dilaksanakan

6. Evaluasi solusi-solusi alternatif

7. Penerjemahan solusi-solusi ke produk berupa: Kebijakan (policies), Rencana (plan), Pedoman (guidelines), dan Program.

Gambar V-1: Langkah-langkah dalam metode sinopsis untuk perancangan kota

(sumber: Shirvani, 1985: 111, Fig. 5-3)

Page 33: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 33

c) Metode Inkremental

Metode inkremental dapat dilihat sebagai perincian dan pentahapan dari

metode sinopsis. Dalam metode inkremental, kerangka rencana garis besar dibuat,

kemudian untuk tiap tahap atau tiap masa disusun suatu rencana tahapan dengan

rinci. Proses perancangannya bersifat siklis (putaran), dalam arti setelah satu tahap

atau masa selesai, dilakukan suatu evaluasi dan berdasar hasil evaluasi tersebut

disusun rencana tahap berikutnya dengan mengacu kerangka garis besar. Penggunaan

metode ini memungkinkan penyesuaian tiap rencana tahapan dengan situasi dan

kondisin yang dihadapi pada saat itu.

d) Metode Pluralistik

Plural artinya jamak, banyak. Pluralistik berarti sifat yang menyadari adanya

perbedaan atau keragaman. Perancangan yang berdasar pada “paradigma” pluralistik

dijalankan dengan mewadahi keragaman atau perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Perancang atau perencana menyadari bahwa pemikirannya belum tentu sama dengan

pendapat masyarakat atau pengguna rancangannya. Proses perancangan pluralistik

mewadahi sepenuhnya partisipasi masyarakat berdasar azas demokrasi. Meskipun

demikian, kelemahan demokrasi terletak pada pengambilan keputusan yang

berdasarkan “kemauan” mayoritas, sehingga ada “kaum pinggiran, minoritas, miskin,

tersingkir” yang tertinggal atau tidak terwadahi pendapat dan kebutuhannya.

e) Metode Advokasi

Advokasi berarti “pembelaan” dan penerapannya pada perancangan kota

berarti gerakan yang membela “kaum yang tertindas, terpinggir, minoritas” yang

pendapat dan kebutuhannya tidak dapat terwadahi dalam metode pluralistik maupun

metode komprehensif rasional dan lainnya. Contoh: gerakan perancangan kota

membantu masyarakat sekitar Kali Code, Yogyakarta, dapat dikatakan sebagai

penerapan metode advokasi (lihat Gambar V-2). Dalam hal ini, biasanya, perancang

atau perencana hanya menjadi motivator dan fasilitator saja, sedangkan perancang

atau perencana yang sesungguhnya adalah masyarakat sendiri.

Page 34: 171177890 peraturan-pembangunan

34 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

2. Macam Produk Perancangan Kota

Dari sisi perencanaan kota, perancangan kota merupakan upaya “merancang

kota, tanpa merancang bangunan”, sehingga menurut Shirvani (1985: 141-156),

produk perancangan kota terbatas pada empat macam bentuk, yaitu: (a) kebijakan

(policies), (b) rencana (plan), (c) pedoman (guidelines), dan (d) program. Di sisi lain,

dari pandangan arsitektur, perancangan kota dapat saja mencakup suatu lahan luas

milik satu tangan (dalam arti satu pengambil keputusan)—misal: perumahan massal,

Gambar V-2:

Hasil perancangan kawasan bergaya “advokasi” di kawasan Kali Code, Yogyakarta (sumber: Steele, 1992: 140 dan 145)

Page 35: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 35

kampus perguruan tinggi, taman wisata—yang padanya dapat dilakukan upaya

perancangan kota. Dalam hal ini, produk yang dihasilkan tidak hanya empat macam

bentuk di atas, tapi sampai dengan rancangan (design) kawasan.

Dengan demikian, secara keseluruhan ada lima macam kemungkinan produk

perancangan kota, seperti dibahas di bawah ini.

a) Kebijakan (Policies)

Kebijakan merupakan produk yang tidak langsung berkaitan dengan kualitas

desain, tapi lebih berkaitan dengan peraturan tentang perancangan kawasan tertentu.

Misal: peraturan tentang pembatasan guna lahan. Meskipun demikian, kebijakan

tidak selalu berbentuk pembatasan, tapi sering juga berupa insentif bagi penanam

investasi (dalam rangka pemasaran kawasan). Secara keseluruhan, kebijakan

pengembangan kawasan merupakan kerangka tindakan (framework for action) dalam

rangka penataan atau pengembangan suatu kawasan.

b) Rencana (Plan)

Rencana (plan) merupakan produk utama perancangan kota, dan tidak

tergantung pada macam proses yang dipakai, selalu ada rencana yang harus

dihasilkan. Perbedaannya hanyalah pada sifat rencana. Bila dipakai master planning,

maka yang dihasilkan adalah end-state plan (artinya: seperti cetak-biru arsitektural,

yaitu rencana masa depan yang pasti dan rinci). Bila dipakai perencanaan

komprehensif, maka produk rencana mencakup tidak hanya fisik keruangan tapi juga

hal-hal lain yang terkait (komrehensif artinya menyeluruh). Bila dipakai perencanaan

strategis, maka yang dihasilkan hanya terbatas pada solusi terhadap isu-isu strategis

saja (tidak komprehensif, karena mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada).

Di bawah ini diberikan contoh-contoh rencana (plan) yang diangkat dari

pustaka:

Page 36: 171177890 peraturan-pembangunan

36 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Gambar V-2: Contoh rencana (plan)—Rencana Guna Lahan (sumber: Urban Development Authority, Singapore: A Waterfront Town of the 21st Century, hal. 8)

Gambar V-3: Contoh rencana (plan)—Rencana Perumahan Campuran (sumber: Urban Development Authority, Singapore: A Waterfront Town of the 21st Century, hal. 13)

Page 37: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 37

c) Pedoman (Guidelines)

Kebijakan dan rencana saja tidak cukup untuk menjalankan rancangan kota,

terutama karena menyangkut banyak persil yang mengkait banyak pembuat

keputusan. Dalam hal ini diperlukan pedoman (guidelines) yang harus dipatuhi oleh

siapa pun yang membangun di tiap persil dalam kawasan yang terkena rancangan

kota atau kawasan tersebut. Biasanya pedoman tersebut—meskipun diungkapkan

dalam bahasa rancangan fisik—tapi masih memberi kelonggaran tertentun bagi

arsitek untuk mengembangkan kreasi pada bangunan yang dirancang untuk suatu

persil dalam kawasan yang dirancang tersebut.

Di bawah ini diberikan contoh-contoh pedoman perancangan (design

guidelines):

Gambar V-4: Usulan Rencana Pengembangan (Proposed development Plan) Tamansari, Yogyakarta (sumber: Adishakti, 1988: 88)

Page 38: 171177890 peraturan-pembangunan

38 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

d) Program

Gambar V-5: Contoh pedoman perancangan kawasan berkaitan dengan ski-line (sumber: Shirvani, 1985: 147, Fig. 7-2)

Gambar V-6: Pedoman volume maksimum bangunan (building envelope) untuk tiap bangunan sepanjang Sungai San Antonio, Texas (sumber: Djunaedi, 1989: 5)

Gambar V-7: Gambar aksonometrik, bila Pedoman volume maksimum bangunan (building envelope) diterapkan untuk semua bangunan sepanjang Sungai San Antonio, Texas (sumber: Djunaedi, 1989: 5)

Page 39: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 39

Selain pedoman yang perlu dipatuhi semua pihak yang akan membangun

dalam kawasan tersebut, juga diperlukan program kegiatan yang biasanya merupakan

tugas atau kuajiban lembaga atau Pemerintah. Misal: program penataan kakilima,

program penghijauan kawasan, program pembangunan perabot jalan, dan

sebagainya. Pelaksanaan program ini terkait dengan “siapa saja” pelaku

pembangunan kawasan yang dimaksud. Seringkali program dilaksanakan oleh

investor sendirian atau didukung oleh partisipasi masyarakat.

e) Rancangan

Rancangan kawasan dibuat bilamana kawasan tersebut di bawah satu

kepemilikan atau wewenang, sehingga terdapat kemudahan dalam pengambilan

keputusan dalam perancangan bangunan dan unsur fisik lainnya. Misal: perancangan

taman wisata, perancangan kampus perguruan tinggi.

Di bawah ini ditampilkan beberapa contoh rancangan (design) kawasan atau

bagian dari kawasan dalam kegiatan perancangan kota:

Gambar V-8:

Usulan rancangan akhir (final design) pengembangan Taman Sari, Yogyakarta (sumber: Adishakti, 1988: 89)

Page 40: 171177890 peraturan-pembangunan

40 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

Acuan

Adishakti, Laretna T., 1988, Safeguarding and conserving Taman Sari, Yogyakarta, Indonesia, Master’s Thesis, the University of Wisconsin-Milwaukee, Milwaukee.

Djunaedi, Achmad, 1989, “Generating Building Envelopes to Control Urban

Development: A Lesson from San Antonio, Texas, makalah dipresentasikan dalam Pirusa 89 Seminar, di Universitas Indonesia, 5-8 Juni 1989.

Shirvani, Hamid. 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New

York: hal. 105-120 dan 141-156 (Chapter 5 "Design method/process" & Chapter 7 “Products”).

Steele, James (ed.), 1992, Architecture for A Changing World, The Aga Khan Award

for Architecture, London. Urban Development Authority, Singapore (tanpa tahun): Punggol 21: A Waterfront

Town of the 21st Century.

Gambar V-9:

Rancangan pengintegrasian stasiun LRT (Light Rail Transit) dengan stasiun MRT (Mass Rapid Transit) di pusat kota (sumber: Urban Development Authority, Punggol 21: A Waterfront Town

of the 21st Century, halaman 23)

Page 41: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 41

VI METODE-METODE PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KOTA

Topik-topik yang dibahas: (1) Permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang atau guna lahan kota (2) Belajar dari pengalaman pengendalian

pemanfaatan ruang di Amerika

1. Permasalahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang atau

Guna Lahan Kota

Rencana pemanfaatan ruang (rencana guna lahan), sebagai bagian dari

rencana kota (RDTRK), menjadi alat pengendali pembangunan fisik kota (lewat

perijinan lokasi dan ijin mendirikan bangunan). Peta rencana pemanfaatan ruang

menunjukkan lokasi/zona/kawasan dengan guna lahan atau guna ruang tertentu.

Dalam implementasinya, terdapat dua cara interpretasi rencana pemanfaatan

ruang kota, yaitu:

1) Cara "eksklusif", yaitu misal bila zona diperuntukkan untuk permukiman maka

permohonan peruntukan yang lain untuk suatu lokasi di zona tersebut akan

ditolak (usulan peruntukan yang berbeda dengan yang telah direncanakan tidak

diperbolehkan sama sekali).

2) Cara "dominasi", yaitu misal bila zona diperuntukkan untuk permukiman maka

bila ada permohonan peruntukan lain maka akan dilihat apakah peruntukan lain

Page 42: 171177890 peraturan-pembangunan

42 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

tersebut mendominasi zona tersebut atau tidak. Bila tidak mendominasi atau

dengan kata lain dominasi guna lahan masih sesuai dengan rencana, maka usulan

peruntukan yang berbeda tersebut masih akan dikabulkan.

Pada prakteknya, dua cara tersebut dipandang tidak memuaskan. Cara pertama

dipandang "terlalu kaku". Beberapa orang berpendapat tidak menjadi masalah bila

dalam permukiman ada toko, ada bengkel dan sebagainya; asal tidak mengganggu.

Cara kedua juga dikritik orang, karena sulitnya menentukan tingkat dominasi. Berapa

tingkat dominasinya? apakah lebih dari 50 % ? apakah itu 75 % ? Apakah satu

industri kulit di antara seratus ribu rumah tidak menjadi masalah, karena industri

tersebut hanya satu yang berarti tidak dominan? (meskipun industri tersebut

menimbulkan polusi bau kemana-mana?).

Untuk beberapa peruntukan yang penting, seperti industri, hotel, diperlukan

AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), yang dapat menjadi alat kendali

lain di samping rencana pemanfaatan ruang. Tetapi, peruntukan yang "kecil-kecil",

seperti bengkel, warung, tidak diharuskan mendapat kajian AMDAL; dan yang

"kecil-kecil" ini bila terjadi dalam jumlah banyak di suatu tempat juga akan dapat

"mewarnai" suatu zona (yang kebetulan direncanakan untuk peruntukan lain).

Permasalahan lain menyangkut pengendalian guna lahan perkotaan berkaitan

dengan bangunan temporer. Di negara tropis, penduduk golongan berpenghasilan

tingkat bawah dapat saja memulai bangunan rumahnya dengan wujud bangunan

temporer (bahan bambu, ijuk, lantai tanah, dan sebagainya). Bangunan seperti ini,

pada praktek umumnya, lepas dari pengawasan IMB. Padahal, sedikit demi sedikit

bangunan tersebut dibuat permanen, yang akhirnya perlu dikaji kesesuaian guna

lahannya. Apakah bila guna lahannya melanggar aturan, bangunan yang telah

bertahun-tahun tersebut harus dibongkar (tanpa menimbulkan masalah sosial?).

Permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang kota dalam praktek nyatanya

menjadi tantangan yang berat bagi para pelaksana rencana kota. Dalam hal ini,

diperlukan penelitian yang mendalam untuk mendapatkan model-model

pengendalian yang sesuai dengan kondisi kota yang berbeda-beda di negara kita. Hal

ini menjadi tantangan bagi dunia perguruan tinggi yang perlu bekerja sama dengan

para praktisi pengendalian pelaksanaan rencana kota. Para praktisi banyak

Page 43: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 43

berpengalaman dalam hal ini, dan digabung dengan landasan teori para akademisi,

maka dapat dikembangkan model-model yang tepat.

2. Belajar dari Pengalaman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Amerika

Di Amerika Serikat, dipakai dua katagori tindakan untuk membentuk ruang

kota, yaitu (menurut Levy, 1997: 113):

1) Pembangunan prasarana dan fasilitas umum (public capital investment), antara

lain: jaringan jalan, jaringan utilitas kota, sekolah, dan gedung pemerintahan.

2) Pengendalian oleh Pemerintah terhadap penggunaan lahan oleh perorangan/

swasta (land-use controls). Pengendalian ini umumnya dilakukan lewat perijinan

dan pelarangan pembangunan fisik (penggunaan lahan). Terdapat dua katagori

pengendalian ini, yaitu: (a) peraturan pengkaplingan lahan luas menjadi persil-

persil (subdivision regulations), dan (b) peraturan pemintakatan (zoning

ordinances) yaitu penetapan peruntukan guna lahan bagi persil-persil.

a) Pembangunan prasarana dan fasilitas umum

Investasi pembangunan prasarana atau fasilitas umum oleh Pemerintah akan

mempengaruhi nilai tanah di sekitar pembangunan tersebut. Secara umum, faktor

aksesibilitas (pencapaian) merupakan penentu terpenting perubahan nilai tanah, yang

pada gilirannya nilai tanah akan menentukan intensitas penggunaan lahan. Nilai

tanah yang tinggi akan memaksa pembangun/pengembang untuk menggunakan lahan

lebih intensif (misal untuk bangunan berlantai banyak). Meskipun demikian, khusus

untuk industri, aksesibilitas tidak terlalu berarti banyak. Sebaliknya, karena industri

biasanya memerlukan lahan luas, maka dicari lahan dengan harga yang lebih murah

(meskipun terletak di luar kota atau pinggiran kota).

Pembangunan prasarana atau fasilitas umum di bagian kota yang belum

berkembang (misal: di pinggiran) lebih banyak mendorong perubahan nilai lahan

dibandingkan pembangunan serupa di bagian kota yang telah padat. Dalam

Page 44: 171177890 peraturan-pembangunan

44 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

pandangan dunia usaha, lahan yang nyaman untuk didatangi pembeli/ pelanggan

merupakan lahan yang bernilai tinggi. Berdasar hal ini, lahan di pinggir jalan besar

bernilai lebih, apalagi dekat dengan perempatan jalan. Hal lain yang perlu

dipertimbangkan adalah fasilitas parkir, karena ini akan meningkatkan aksesibilitas.

Berdasar bahasan di atas, pembangunan prasarana dan fasilitas umum dapat

dipakai oleh Pemerintah sebagai alat pengendali pemanfaatan ruang kota. Rencana

pembangunan prasarana dan fasilitas tersebut telah tertera dalam rencana kota,

sehingga rencana kota diharapkan dapat berfungsi untuk mengarahkan tata ruang

kota menuju keadaan yang diinginkan.

b) Peraturan pengkaplingan lahan (subdivision regulations)

Peraturan pengkaplingan ini telah mulai dipakai sejak awal abad ke 19.

Pengkaplingan berarti membagi lahan kosong dengan luas tertentu menjadi kapling-

kapling (persil-persil) untuk bangunan. Sebelum persil-persil boleh dijual,

pengkaplingan harus mendapat persetujuan dari Pemerintah. Dalam hal ini,

Pemerintah mengharuskan pengembang untuk membuat rancangan tapak yang

memperlihatkan antara lain rencana jaringan jalan, rencana jaringan utilitas, garis

sempadan, dan lokasi fasilitas umum. Bila Pemerintah telah menyetujui rancangan

tersebut maka pengembang perlu membangun prasarana dan fasilitas yang

direncanakan sejalan dengan penjualan persil-persil tersebut.

Peraturan pengkaplingan ini dapat dipakai untuk menerapkan standar

pembangunan fisik yang diinginkan masyarakat kota. Demikian juga, Pemerintah

tidak harus mengeluarkan dana sendiri untuk melakukan pembangunan prasarana dan

fasilitas umum untuk lingkungan baru. Tetapi, di lain pihak, peraturan pengkaplingan

ini menyebabkan harga persil menjadi mahal.

c) Peraturan pemintakatan (zoning ordinances)

Alat pengendalian penggunaan lahan telah mulai diikembangkan di Amerika

sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Salah satu alat tersebut disebut sebagai

zoning (pemintakatan). Sebenarnya pemintakatan pada mulanya dirancang sebagai

alat kendali penghindaran gangguan antar persil yang berdekatan dan pelindung nilai

lahan dari dampak kegiatan di lahan terdekatnya. Pemintakatan kemudian dipakai

oleh para perencana kota sebagai alat implementasi rencana kota.

Page 45: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 45

Secara umum, menurut Levy (1997:117) peraturan pemintakatan terdiri dari

dua bagian, yaitu:

1) Peta yang membagi wilayah kota menjadi zona-zona (menurut katagori zona;

misal: R1 untuk katagori permukiman tipe 1 — lihat Gambar VI-1). Tiap

katagori zona mempunyai peraturan tersendiri (artinya: semua zona R1 di bagian

kota yang mana pun mempunyai seperangkat peraturan yang sama).

C1

R1

C2

C1

R1

R2 R1

Gambar VI-1: Contoh peta zoning

(kanan: disederhanakan; sedangkan kiri:

contoh nyata diambil dari buku

Patterson, 1979)

Page 46: 171177890 peraturan-pembangunan

46 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

2) Teks peraturan untuk tiap katagori zona, yang umumnya meliputi:

a) Persyaratan lay-out tapak (mencakup antara lain: luas persil minimal, lebar

dan panjang persil minimum, sempadan (depan, samping, belakang), building

coverage atau maksimum % tapak yang tertutup bangunan, jalan masuk ke

persil, syarat perparkiran, dan papan nama).

b) Persyaratan karakteristik bangunan (mencakup antara lain: tinggi

maksimum, jumlah lantai maksimum, floor area ratio/FAR atau jumlah luas

lantai berbanding dengan luas persil).

c) Guna bangunan yang diijinkan (misal: R1 untuk permukiman satu lantai, R2

permukiman bertingkat, C1 perdagangan eceran, C2 perdagangan grosir dan

pergudangan). Dalam hal ini, syarat lain dapat ditambahkan, misal: dalam C2

hanya boleh untuk gudang perdagangan dan gudang industri ringan).

d) Prosedur perijinan (pengajuan, penilaian dan keputusan, naik banding, dan

sebagainya).

Zoning atau pemintakatan ini meskipun banyak dipakai juga banyak dikritik antara

lain (menurut Petterson, 1979: 29-30) karena:

1) sulit diterapkan pada daerah atau kawasan yang sudah terlanjur terbangun dengan

cukup padat;

2) zoning seringkali menyebabkan harga lahan naik dratis setelah ditetapkan

menjadi katagori zona yang lebih menguntungkan untuk dunia usaha;

3) sulit untuk menjembatani penggunaan saat ini dan rencana penggunaan lahan

jangka panjang (rencana kota jangka panjang); zoning hanya dapat dikaitkan

dengan tahap rencana yang terpendek/terdekat.

Beberapa kelemahan yang ada pada pemintakatan mendorong munculnya

alternatif-alternatif lain daripada pemintakatan (zoning), yaitu antara lain (menurut

Levy, 1997:129-135).

1. Pemintakatan bonus atau insentif ("bonus" or "incentive" zoning)

Beberapa kota memberi bonus dengan memperingan persyaratan (misal:

meninggikan kepadatan bangunan real-estate) kepada pengembang bila pengembang

Page 47: 171177890 peraturan-pembangunan

Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)— 47

sanggup membangun sesuai keperluan kota meskipun merugikan pengembang

(misal: membangun juga perumahan murah sederhana dalam kompleks perumahan

mewah). Contoh lain: membangun plaza untuk umum di persil mall, maka

pengembangan dapat bonus tambahan jumlah lantai di atas maksimum jumlah lantai

yang diijinkan.

2. Pengalihan hak membangun (transfer of development right)

Pengalihan hak membangun bermaksud memberi peluang bagi para

pengembang untuk memindahkan atau menukarkan hak membangun dari lokasi yang

tidak disukai ke lokasi lain yang lebih menarik atau karena alasan yang lain. Alasan

lain termasuk misal: suatu persil yang kebetulan masuk zona dengan maksimum

jumlah lantai 10, karena pada persil tersebut terdapat bangunan bersejarah satu lantai

yang terkena peraturan pelestarian bangunan, maka pemilik tidak dapat

menggunakan hak membanguan tambahan 9 lantai lainnya. Dalam hal ini, hak

membangun 9 lantai tersebut dapat dipindahkan ke lokasi lain (dalam arti hak

tersebut dapat diperjual-belikan). Permasalahannya: dalam batas mana lokasi lain

pemindahan tersebut masih diijinkan? apakah di manapun asal masih di kota yang

sama? atau hanya di blok yang sama? atau hanya di persil tetanggabb? teknik ini

relatif baru dan memerlukan administrasi yang lebih rumit.

3. Kawasan terpadu (planned unit development/PUD)

Untuk persil yang luas (misal di atas 20 acre), pengembang boleh

mengajukan permohonan untuk ijin kawasan terpadu, yaitu kawasan dengan guna

bangunan campuran, meskipun tidak sesuai dengan zona yang telah ditetapkan.

Kawasan terpadu diijinkan asal kawasan direncanakan secara terpadu dan memenuhi

syarat (dievaluasi oleh Pemerintah Daerah). Contoh: bangunan mall perdagangan

yang terpadu dengan perumahan dan perkantoran, meskipun zona aslinya adalah

perdagangan.

4. Permintakatan rumpun (cluster zoning)

Pemintakatan rumpun bermaksud memberi keluwesan bagi perancang tapak

dengan syarat yang saling menguntungkan antara perancang dengan Pemerintah.

Misal: dalam zona perumahan yang minimal luas tiap persil 120 m2, perancang boleh

Page 48: 171177890 peraturan-pembangunan

48 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)

mengurangi luas minimal sampai dengan 90 m2 asal sisa yang 30 m2 kali sejumlah

rumah yang akan dibangun dikumpulkan pada suatu lokasi dan disitu dibangun

fasilitas umum tambahan di luar persyaratan pada umumnya.

5. Pemintakatan kinerja (performance zoning)

Berbeda dengan pemintakatan yang konvensional, pemintakatan kinerja

hanya mensyaratkan hasil kerja atau kinerja atau dampak yang terjadi saja; dengan

memberi keleluasaan untuk memilih cara untuk mencapai hasil atau dampak tersebut.

Misal: yang penting adalah FAR sekian, dan perancang bebas menentukan

sempadan, tinggi bangunan, dan lain-lain asalkan hasil akhirnya diukur FAR-nya

tidak melanggar FAR yang diijinkan. Contoh lain: industri ringan boleh dibangun di

manapun di dalam kota asal semua dampak dan polusi (udara, air, suara) yang keluar

dari persil tidak melanggar batas dan aturan yang ditetapkan Pemerintah. Dalam

contoh yang terakhir ini, industri ringan dapat berada di tengah permukiman dan

(misal) dengan pengatasan teknologi, semua polusinya dapat dikendalikan sehingga

tidak mengganggu permukiman di sekitarnya.

6. Denda pelanggaran (exactions)

Dalam teknik ini beberapa jenis pelanggaran pemintakatan diperbolehkan

asal pelanggar aturan tersebut membayar sejumlah denda tertentu. Besar denda

tersebut dimaksudkan untuk membayar investasi pembangunan untuk mengatasi

dampak atau polusi yang terjadi akibat pelanggaran tersebut.

Acuan/Daftar Bacaan yang Dianjurkan

Levi, John M. 1997. Contemporary Urban Planning, Fourth Edition, Prentice—Hall, Upper Saddle River, NJ.: hal 113-140 (Chapter 9 "The Tools of Land Use Planning").

Patterson, T. William, 1979, Land Use Planning: Techniques of Implementation, Van

Nostrand Reinhold, New York: hal 26-91 (Chapter 2: "Zoning").