Upload
vungoc
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
2 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kognitif
2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Kognitif
Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan
manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu
dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan
lingkungannya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang
yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku
baik dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan
(psikomotor)17
.
Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang artinya adalah
pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah
perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan
selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu
wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua bentuk
pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di
otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan)
17
Nursalam dan Ferry Efendi, Pendidikan dalam Keperawatan, Salemba Medika, 2008, hlm. 18.
19
yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah
laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal
atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi18
.
Karakteristik teori kognitif yaitu cenderung lebih mementingkan proses
belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respons, lebih dari itu belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk
perubahan tingkah laku yang bisa diamati.19
2.1.2 Tingkatan Kognitif
Menurut Bloom, domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang
berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir seperti
kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah. Domain
kognitif menurut Bloom terdiri dari 6 tingkatan, yaitu20
:
a. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah tingkatan tujuan kognitif yang paling rendah.
Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan untuk mengingat informasi
yang sudah dipelajarinya (recall), seperti misalnya mengingat tokoh
proklamator Indonesia, mengingat tanggal dan tahun sumpah pemuda,
mengingat bunyi teori relativitas, dan lain sebagainya. Pengetahuan
18
Suardi, Moh., 2018, Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta, Deepublish, hlm. 139. 19
Ibid., hlm. 140. 20
Bloom, B.S., Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: Cognitive Domain, 1965, New York,McKay.
20
mengingat fakta semacam ini sangat bermanfaat dan sangat penting untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi berikutnya.
b. Pemahaman
Pemahaman lebih tinggi tingkatannya dari pengetahuan. Pemahaman
bukan hanya sekadar mengingat takta, akan tetapi berkenaan dengan
kemampuan menjelaskan, menerangkan, menafsirkan atau kemampuan
menangkap makna atau arti suatu konsep. Kemampuan pemahaman ini bisa
pemahaman terjemahan, pemahaman menafsirkan ataupun pemahaman
ekstrapolasi. Pemahaman menerjemahkan yakni kesanggupan untuk
menjelaskan makna yang terkandung dalam sesuatu contohnya
menerjemahkan kalimat, sandi, dan lain sebagainya. Pemahaman
menafsirkan sesuatu, contohnya menafsirkan grafik; sedangkan pemahaman
ekstrapolasi, yakni kemampuan untuk melihat di balik yang tersirat atau
tersurat.
c. Penerapan
Penerapan merupakan tujuan kognitif yang lebih tinggi lagi
tingkatannya dibandingkan dengan pengetahuan dan pemahaman. Tujuan
ini berhubungan dengan kemampuan mengaplikasikan suatu bahan
pelajaran yang sudah dipelajari seperti teori, rumus-rumus, dalil, hukum,
konsep, ide dan lain sebagainya ke dalam situasi baru yang konkret.
Perilaku yang berkenaan dengan kemampuan penerapan ini misalnya
kemampuan memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan rumus,
21
dalil atau hukum tertentu. Di sini tampak jelas, bahwa seseorang akan dapat
menguasai kemampuan menerapkan manakala didukung oleh kemampuan
mengingat dan memahami fakta atau konsep tertentu.
d. Analisis
Analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu
bahan pelajaran ke dalam bagian-bagian atau unsur-unsur serta hubungan
antarbagian bahan itu. Analisis merupakan tujuan pembelajaran yang
kompleks yang hanya mungkin dipahami dan dikuasai oleh siswa yang telah
dapat menguasi kemampuan memahami dan menerapkan. Analisis
berhubungan dengan kemampuan nalar. Oleh karena itu biasanya analisis
diperuntukan bagi pencapaian tujuan pembelajaran untuk siswa-siswa
tingkat atas.
e. Sintesis
Sintesis adalah kemampuan untuk menghimpun bagian-bagian ke
dalam suatu keseluruhan yang bermakna, seperti merumuskan tema, rencana
atau melihat hubungan abstrak dari berbagai informasi yang tersedia.
Sintesis merupakan kebalikan dari analisis. Kalau analisis mampu
menguraikan menjadi bagian-bagian, maka sintesis adalah kemampuan
menyatukan unsur atau bagian-bagian menjadi sesuatu yang utuh.
Kemampuan menganalisis dan sintesis, merupakan kemampuan dasar untuk
dapat mengembangkan atau menciptakan inovasi dan kreasi baru.
22
f. Evaluasi
Evaluasi adalah tujuan yang paling tinggi dalam domain kognitif.
Tujuan ini berkenaan dengan kemampuan membuat penilaian terhadap
sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu. Dalam tujuan ini,
terkandung pula kemampuan untuk memberikan suatu keputusan dengan
berbagai pertimbangan dan ukuran-ukuran tertentu, misalkan memberikan
keputusan bahwa sesuatu yang diamati itu baik, buruk, indah, jelek, dan lain
sebagainya. Untuk dapat memiliki kemampuan memberikan penilaian
dibutuhkan kemampuan-kemampuan sebelumnya.
Tiga tingkatan tujuan kognitif yang pertama, yaitu pengetahuan,
pemahaman dan aplikasi, dikatakan tujuan kognitif tingkat rendah; sedangkan
tiga tingkatan berikutnya yaitu analisis, sintesis dan evaluasi dikatakan sebagai
tujuan kognitif tingkat tinggi.
2.1.3 Teori Kognitif
Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 4 golongan, yaitu teori
belajar Behaviorisme, teori belajar Kognitivisme, teori belajar Humanistik dan
teori belajar Sibernetik. Aliran tingkah laku menekankan pada hasil dari proses
belajar. Aliran kognitif menekankan pada proses belajar. Aliran humanis
menekankan pada isi atau apa yang dipelajari, sedangkan aliran sibernetik
menekankan pada sistem informasi yang dipelajari21
.
Teori kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar
itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
21
Nursalam dan Ferry Efendi, loc. cit.
23
antara stimulus dan respon. Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori Sibernetik. Pada
masa awal mulai diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan
bagaimana mahasiswa mengolah stimulus dan bagaimana mahasiswa tersebut
dapat sampai ke respon tertentu. Namun, lambat laun perhatian tersebut mulai
bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu
yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya lebih dikuasasi oleh
mahasiswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak berjalan tersendiri, terpisah-pisah tetapi proses ini merupakan
suatu rangkaian yang saling terkait22
.
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif.
Dengan teori tabularasa-nya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti
kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang
menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu,
memunculkan aliran belajar behavioristik-elementeristik. Berbeda dengan
pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme
yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada
hakikatnya manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk membuat suatu
pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya
sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat
diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat
22
Ibid., hlm. 26.
24
pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini kemudian
melahirkan aliran belajar kognitif holistik23
.
2.2 Persepsi
2.2.1 Definisi Persepsi
Dalam psikologi kognitif, kita mengacu pada dunia fisik (eksternal)
sekaligus dunia mental (internal). Penghubung realitas eksternal dengan dunia
mental berpusat di sistem sensorik. Sensasi (sensatiori) mengacu pada
pendeteksian dini terhadap energi dari dunia fisik. Sedangkan persepsi
melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam penginterpretasian terhadap informasi
sensorik. Pada dasarnya, sensasi mengacu pada pendeteksian dini terhadap
stimuli; persepsi mengacu pada interpretasi hal-hal yang kita indera24
.
Menurut kamus lengkap psikologi, persepsi adalah: a) proses
mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera,
b) kesadaran dari proses-proses organis, c) satu kelompok penginderaan dengan
penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman di masa lalu, c) variabel
yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari kemampuan organisasi
untuk melakukan pembedaan di antara perangsang-perangsang, d) kesadaran
intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta
mengenai sesuatu25
.
23
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Edisi Pertama, Jakarta, Prenadamedia Group, 2008, hlm. 237. 24
Solso, Maclin & Maclin, Psikologi Kognitif. Edisi Kedelapan. Diterjemahkan oleh: Rahardanto. Mikael dan Batuadji, Kristianto. Jakarta, Erlangga, 2007, hlm. 75. 25
Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005.
25
2.2.2 Teori-teori Perseptual
Setiap harinya kita terus-menerus dihujani informasi tentang
karakteristik fisik dunia kita. melalui kelima indera kita. Terdapat sedemikian
banyak informasi sehingga kita memerlukan penyimpanan sensorik sementara
dan penyaring sensorik yang rumit untuk membantu kita menentukan jenis dan
jumlah informasi yang dikirimkan ke otak kita. Para psikolog tekah
mengembangkan teori persepsi yang membantu memahami bagaimana proses
sebuah sensasi diproses menjadi persepsi sebuah pola atau sebuah objek. Ada
dua teori utama yang dipelajari tentang cara manusia memahami dunia. Sebuah
teori, persepsi konstruktif (constructive perception), menyatakan bahwa
manusia "mengkonstruksi" persepsi dengan secara aktif memilih stimuli dan
menggabungkan sensasi dengan memori. Teori lainnya, persepsi langsung
(direct perception), menyatakan bahwa persepsi terbentuk dari perolehan
informasi secara langsung dari lingkungan26
.
a. Persepsi Konstruktif
Teori persepsi konstruktif disusun berdasarkan anggapan bahwa
selama persepsi, kita membentuk dan menguji hipotesis-hipotesis yang
berhubungan dengan persepsi berdasarkan apa yang kita indera dan apa
yang kita ketahui. Dengan demikian, persepsi adalah sebuah efek
kombinasi dari informasi yang diterima sistem sensorik dan pengalaman
dan pengetahuan yang kita pelajari tentang dunia, yang kita dapatkan dari
pengalaman.
26
Solso, Maclin & Maclin, op. cit., hlm. 120.
26
b. Persepsi Langsung
Teori persepsi langsung menyatakan bahwa informasi dalam stimuli
adalah elemen penting dalam persepsi dan bahwa pembelajaran dan kognisi
tidaklah penting dalam persepsi karena lingkungan telah mengandung
cukup informasi yang dapat digunakan untuk interpretasi. James Gibson
dan James Cutting menyatakan bahwa persepsi langsung mengasumsikan
bahwa keanekaragaman lapisan-lapisan optik sama kayanya dengan
keanekaragaman dalam dunia ini. Para psikolologis yang berorientasi
ekologis mendukung pernyataan ini menyatakan bahwa stimulus itu sendiri
telah memiliki informasi yang cukup untuk menghasilkan persepsi yang
tepat dan tidak memerlukan adanya representasi internal27
.
Masing-masing teori tentang persepsi tersebut memiliki pendukungnya
sendiri-sendiri, dalam jumlah besar dan dengan antusiasme yang tinggi. Di
permukaan, kedua teori tersebut tampaknya menampilkan dalil-dalil yang
saling bertentangan dan tidak mungkin diperdamaikan. Meski demikian, pada
level analisis yang lain, kedua teori tersebut dapat dipandang saling melengkapi
(komplementer) alih-alih saling bertentangan (kontradiktif). Pandangan
konstruktif tentang persepsi tampaknya masuk akal karena saat kita memahami
kata-kata tersebut karena kita memiliki pengetahuan semantik tentang makna
kata-kata tersebut.
Kedua teori tersebut menjelaskan persepsi dengan baik, namun berfokus
pada tahap-tahap proses yang berbeda. Pandangan persepsi langsung adalah
27
Solso, Maclin & Maclin, op. cit., hlm. 122.
27
penting bagi pemahaman kita terhadap persepsi karena dua alasan: teori
tersebut menekankan pentingnya stimuli sensorik, mengindikasikan bahwa
pemrosesan stimuli berlangsung secara sederhana dan langsung. dan bahwa
kognisi dan persepsi adalah fenomena yang alamiah dan ekologis-suatu
pandangan yang selaras dengan perspektif kognitif evolusioner. Meskipun
persepsi langsung membantu kita memahami beberapa persepsi awal terhadap
kesan-kesan sensorik, teori persepsi konstruktif berguna dalam pemahaman kita
tentang bagaimana kesan-kesan sensorik dipahami oleh otak.
2.2.3 Jenis-jenis Persepsi
Menurut Irwanto, setelah individu melakukan interaksi dengan obyek-
obyek yang dipersepsikan maka hasil persepsi dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Persepsi positif. Persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan
(tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan tanggapan yang diteruskan
dengan upaya pemanfaatannya.
b. Persepsi negatif. Persepsi yang menggambarkan segala
pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan tanggapan
yang tidak selaras dengan obyek yang dipersepsi. Dapat dikatakan
bahwa persepsi itu baik yang positif ataupun yang negatif akan
selalu mempengaruhi diri seseorang dalam melakukan suatu
tindakan. Dan munculnya suatu persepsi positif ataupun persepsi
negatif semua itu tergantung pada bagaimana cara individu
28
menggambarkan segala pengetahuannya tentang suatu obyek yang
dipersepsi28
.
2.2.4 Komponen-komponen Proses Pembentukan Persepsi
Menurut Sobur29
, dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama
yaitu:
a. Seleksi, yaitu penyampaian oleh indera terhadap rangsangan dari
luar. intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. Setelah
diterima, rangsangan atau data diseleksi.
b. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang
dianut, motivasi, kepribadian, dan kecerdasan. Interpretasi juga
bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan
pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi
informasi yang komplek menjadi sederhana.
c. Pembulatan, yaitu penarikan kesimpulan dan tanggapan terhadap
informasi yang diterima. Persepsi yang diterjemahkan dalam bentuk
tingkah laku sebagai reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa
yang telah diserap yang terdiri dari reaksi tersembunyi sebagai
pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang nyata
sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi (pembentukan
kesan). 28
Irwanto, Psikologi Umum, Jakarta, PT Prenhallindo, 2002, hlm. 71. 29
Sobur, Alex, Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah, Bandung, Pustaka Setia, 2003.
29
2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Shaleh30
, menjelaskan persepsi lebih bersifat psikologis daripada
merupakan proses penginderaan saja maka ada beberapa faktor yang
mempengaruhi:
a. Perhatian yang selektif: dalam kehidupan manusia setiap saat akan
menerima banyak sekali rangsangan dari lingkungannya, meskipun
demikian seseorang tidak harus menghadapi semua rangsangan
yang diterimanya, untuk itu individu harus memusatkan
perhatiannya pada rangsang tertentu saja.
b. Ciri-ciri rangsang: rangsang yang bergerak di antara rangsang yang
diam akan lebih menarik perhatian, demikian juga rangsang yang
paling besar di antara yang kecil, yang latar belakangnya kontras
dan intensitas rangsangnya paling kuat yang akan menarik
perhatian.
c. Nilai dan kebutuhan individu: setiap orang mempunyai pola dan
cita rasa yang berbeda dalam mengamati sesuatu. Dalam suatu
penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan ekonomi
rendah melihat uang koin lebih besar daripada anak-anak dari
golongan ekonomi tinggi.
d. Pengalaman dahulu: pengalaman terdahulu yang dimiliki individu
sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi sesuatu.
30
Shaleh, Abdul Rahman, Psikologi: Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta, Kencana, 2009.
30
2.3 Minat
2.3.1 Definisi Minat
Menurut kamus lengkap psikologi, minat (interest) adalah a) satu sikap
yang berlangsung terus menerus yang memolakan perhatian seseorang,
sehingga membuat dirinya jadi selektif terhadap objek minatnya, b) perasaan
yang menyatakan bahwa satu aktivitas, pekerjaan, atau objek itu berharga atau
berarti bagi individu, c) satu keadaan motivasi, atau satu set motivasi, yang
menuntun tingkah laku menuju satu arah (sasaran) tertentu31
.
Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang
tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Keinginan atau minat dan
kemauan atau kehendak sangat mempengaruhi corak perbuatan yang akan
diperlihatkan seseorang. Minat atau keinginan ini erat pula hubungannya
dengan perhatian yang dimiliki, karena perhatian mengarahkan timbulnya
kehendak pada seseorang. Kehendak atau kemauan ini juga erat hubungannya
dengan kondisi fisik seseorang, misalnya dalam keadaan sakit. capai, lesu. atau
mungkin sebaliknya, yakni sehat dan segar. Juga erat hubungannya dengan
kondisi psikis, seperti senang, tidak senang, tegang, bergairah, dan seterusnya32
.
Deci dan Ryan (dalam Ulrich33
) berpendapat bahwa minat memiliki
peran penting yang memotivasi langsung seseorang melakukan kegiatan yang
menarik perhatian mereka secara alami. Minat merupakan dorongan untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan yang nantinya dapat mendatangkan
31
Chaplin, op. cit., hlm. 255. 32
Sobur, op. cit., hlm. 246. 33
Ulrich Schiefele, Interest, Learning, and Motivation, Educational Psychologist, 1991, hlm. 299.
31
kepuasan, yang mana kepuasan itu akan mempengaruhi kadar minat seseorang.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa minat merupakan
suatu kecenderungan seseorang terhadap sesuatu atau obyek yang
mendorongnya melakukan sesuatu untuk mencapai objek yang menarik
perhatinnya dengan perasaan senang.
2.3.2 Aspek-aspek Minat
Dewey (dalam Ulrich34
) merumuskan tiga karakteristik dasar minat,
yaitu: a) minat itu aktif mendorong, b) berdasarkan suatu objek nyata, dan c)
memiliki makna personal yang tinggi. Minat adalah sebuah aspek psikologis
yang dipengaruhi oleh pengalaman afektif yang berasal dari minat itu sendiri.
Aspek-aspek minat dijelaskan oleh Pintrich dan Schunk35
sebagai berikut:
a. Sikap umum terhadap aktivitas (general attitude toward the
activity), yaitu perasaan suka tidak suka. setuju tidak setuju dengan
aktivitas, umumnya terhadap sikap positif atau menyukai aktivitas.
b. Kesadaran spesifik untuk menyukai aktivitas (specific conciousness
for or living the activity), yaitu memutuskan untuk menyukai suatu
aktivitas atau objek.
c. Merasa senang dengan aktivitas (enjoyment of the activity), yaitu
individu merasa senang dengan segala hal yang berhubungan
dengan aktivitas yang diminatinya.
34
Ibid., hlm. 300. 35
Pintrich, R. P., dan Schunk. D. H., Motivation in Education, Theory Research and Application, New Jersey, Prentice Hall, 1996, hlm. 304.
32
d. Aktivitas tersebut mempunyai arti atau penting bagi individu
(personal importence or significance of the activity to the
individual).
e. Adanya minat intriksik dalam isi aktivitas (intrinsic interest in the
content of the activity), yaitu emosi yang menyenangkan yang
berpusat pada aktivitas itu sendiri.
f. Berpartisipasi dalam aktivitas (reported choise of or participant in
the activity) yaitu individu memilih atau berpartisipasi dalam
aktivitas.
Aspek-aspek minat menimbulkan daya ketertarikan dibentuk oleh dua
aspek yaitu kognitif dan afektif berupa sikap, kesadaran individual, perasaan
senang, arah kepentingan individu, adanya ketertarikan yang muncul dari dalam
diri, dan berpartisipasi terhadap apa yang diminati.
2.3.3 Kategorisasi Minat
Para peneliti yang mengkategorisasikan minat ke dalam dua konsep,
yaitu minat individual dan minat situasional. Minat individual dipahami sebagai
sesuatu yang relatif disukai dan bertahan lama untuk topik-topik tertentu atau
kegiatan tertentu, sedangkan minat situasional adalah keadaan emosi yang
dipengaruhi rangsangan situasional36
.
Fokus pembahasan ini adalah pada minat individual. Minat tersebut
berguna dalam membedakan antara dua bentuk minat individual: minat sebagai
karakteristik laten dan karakter yang diaktualisasaikan.
36
Ulrich, op. cit., hlm. 302.
33
a. Minat Sebagai Karakteristik Laten
Minat ini berorientasi jangka yang relatif lama dari individu tehadap
objek atau aktivitas tertentu. Karekteristik ini mengidentifikasikan dua
komponen yang menarik: perasaan dan ketertarikan hati seseorang.
Komponen perasaan merupakan asosiasi dari suatu objek atau kegiatan
terkait objek tersebut dengan perasaan positif, terutama kenikmatan/
kesenganan dan keterlibatan (perasaan instrinsik terkait sebuah objek).
Sedangkan komponen ketertarikan hari seseorang merupakan atribusi
penting seseorang terhadap sebuah objek (ketertarikan instrinsik terhadap
sebuah objek).
b. Minat Sebagai Karakteristik yang Diaktualisasikan
Minat ini digambarkan sebagai orientasi motivasi intrinsik konten
tertentu. Pada dasarnya, ini berarti bahwa seseorang dalam keadaan tertarik
pada topik tertentu yang membuatnya ingin melibatkan diri untuk
mendalami topik tersebut demi kepentingan dirinya sendiri.
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat
Crow dan Crow37
menyatakan bahwa minat dapat merupakan sebab atau
akibat dari suatu pengalaman. Oleh karena itu minat berhubungan dengan
dorongan, motif-motif dan respon-respon manusia. Selanjutnya, Crow dan
Crow menyatakan ada 3 faktor yang mempengaruhi minat, yaitu:
37
Crow, Lester D., dan Crow, Alice D., Psikologi Pendidikan, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1984.
34
a. Faktor dorongan atau keinginan dari dalam (inner urges), yaitu
dorongan atau keinginan yang berasal dari dalam diri seseorang
terhadap sesuatu akan menimbulkan minat tertentu. Termasuk di
dalamnya berkaitan dengan faktor-faktor biologis yaitu faktor-
faktor yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan fisik yang
mendasar.
b. Faktor motif sosial (social motive), yaitu motif yang dikarenakan
adanya hasrat yang berhubungan dengan faktor dari diri seseorang
sehingga menimbulkan minat tertentu. Faktor ini menimbulkan
seseorang menaruh minat terhadap suatu aktifitas agar dapat
diterima dan diakui oleh lingkungan termasuk di dalamnya faktor
status sosial, harga diri, prestise dan sebagainya.
c. Faktor emosional (emotional motive), yaitu motif yang berkaitan
dengan perasaan dan emosi yang berupa dorongan-dorongan, motif-
motif, respon-respon emosional dan pengalaman-pengalaman yang
diperoleh individu.
2.4 Brand Awareness (Kesadaran Merek)
2.4.1 Pengertian Brand Awareness
Menurut Kotler dan Keller, merek (brand) adalah nama, istilah, tanda,
simbol, rancangan, atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk
mengenali produk atau jasa dari seseorang atau penjual dan untuk
membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek mengidentifikasi pembuat
35
atau penjual dari suatu produk38
. Sementara itu, brand awareness merupakan
kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat bahwa sebuah merek
merupakan anggota dari kategori produk tertentu39
.
Brand awareness adalah salah satu strategi untuk mencapai brand
equity. Menurut Durianto40
, brand equity adalah perangkat aset yang melekat
pada merek yaitu nama dan simbol yang mampu untuk menambah atau
mengurangi nilai suatu produk atau jasa bagi perusahaan atau pelanggan.
Sehingga brand equity mempunyai bentuk emosional dan kekuatan jaringan
yang dimiliki oleh sebuah merek, dimana brand awereness sendiri adalah
kesanggupan seseorang calon pembeli untuk mengenali dan mengingat kembali
sebuah merek. Selanjutnya, kesadaran merek diciptakan dan ditingkatkan
dengan cara meningkatkan keakraban merek melalui paparan berulang sehingga
konsumen merasa mengenal merek tersebut41
,
2.4.2 Mencapai Brand Awareness
Beberapa cara yang harus dilakukan perusahaan agar dapat mencapai
Brand Awareness antara lain adalah sebagai berikut
42:
38
Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller, Manajemen Pemasaran, Jilid I, Edisi Kedua belas, Jakarta, PT Indeks, 2007, hlm. 70. 39
Tjiptono, Fandy, Manajemen dan Strategi Merek, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2011, hlm. 97. 40
Durianto, D., Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 4. 41
Huang, Wei and Laetitia Radder. 2008. High Involvement and Low Involvement Products A Comparison of Brand Awareness Among Student at A South African University. South Africa. 42
Aaker, David A., Managing Brand Equity: Capitalizing on the Value of a Brand Name, New York, The Free Press Alfabeta, 1991, hlm. 70.
36
a. Pesan yang ingin disampaikan oleh perusahaan kepada konsumennya
harus mudah diingat dan berbeda dari produk yang lain. selain itu
harus ada hubungan antara merek dengan kategori produknya.
b. Apabila produknya memiliki simbol, hendaknya simbol yang
digunakan dapat dihubungkan dengan mereknya.
c. Perluasan merek (Brand Extensions) dapat digunakan agar merek
semakin banyak diingat atau dikenal oleh konsumen.
d. Event Sponsorship dan Publicity dapat digunakan untuk mencapai
brand awareness.
e. Perusahaan harus terus melakukan pengulangan-pengulangan
terhadap pesan yang disampaikan, hal ini dilakukan karena
membentuk ingatan konsumen terhadap suatu merek lebih sulit
dibandingkan dengan mengenalkan suatu merek kepada konsumen.
2.4.3 Tingkatan Brand Awareness
Brand awarenesss membutuhkan continuum ranging (jangkauan
kontinum) dari perasaan yang tidak pasti bahwa merek tertentu telah dikenal
sebelumnya, sehingga konsumen yakin bahwa produk tersebut merupakan satu-
satunya merek dalam suatu kelompok produk. Kontinum ini dapat terwakili
dalam tingkatan kesadaran merek yang berbeda yang dapat digambarkan dalam
suatu piramida berikut ini43
:
43
Durianto, Darmadi., Sugiarto, dan Tony Sitinjak., Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 55.
37
Gambar 2. Piramida Brand Awareness
Tingkatan brand awareness secara berurutan adalah sebagai berikut44
:
a. Unaware of brand (tidak menyadari merek). Kategori ini termasuk
merek yang tetap tidak dikenal walaupun sudah dilakukan
pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall).
b. Brand Recognition (pengenalan merek). Kategori ini meliputi merek
produk yang dikenal konsumen setelah dilakukan pengingatan
kembali lewat bantuan (aided recall).
c. Brand Recall (pengingatan kembali merek). Kategori ini meliputi
merek dalam kategori suatu produk yang diingat konsumen tanpa
harus dilakukan pengingatan kembali, diistilahkan dengan
pengingatan kembali tanpa bantuan (unaided recall).
d. Top of Mind (puncak pikiran). Kategori ini meliputi merek produk
yang pertama kali muncul dibenak konsumen pada umumnya.
44
Bilson Simamora, Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan. Profitabel, Edisi Pertama, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 74.
Top of Mind
Brand Recall
Brand Recognition
Unaware of Brand
38
2.4.4 Indikator Brand Awareness
Terdapat empat indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
seberapa jauh konsumen aware terhadap suatu brand. Antara lain adalah sebagai
berikut45
:
a. Recall, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengingat ketika
ditanya merek apa saja yang diingat.
b. Recognition, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengenali merek
tersebut termasuk dalam kategori tertentu.
c. Purchase, yaitu seberapa jauh konsumen akan memasukkan suatu
merek ke dalam alternatif pilihan ketika akan membeli produk atau
jasa.
d. Consumption, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengenali merek
ketika sedang menggunakan produk atau jasa.
Dalam keempat indikator pembentuk Brand Awareness tersebut
mempunyai sub indikator pembentuk sebagai berikut46
:
Indikator Brand Awareness Tabel 2.
Variabel Dimensi Indikator
Kesadaran Merek
Recognition
a. Khalayak menyadari merk produk.
b. Khalayak dapat mengetahui merk produk.
c. Khalayak dapat mengenali merk
Recall
a. Khalayak mengingat merk produk.
b. Khalayak menyukai merk
c. Khalayak memilih merk.
d. Khalayak yakin terhadap merk.
Purchase a. Khalayak membeli produk merk.
45
Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 26. 46
Rossister J.R. dan Percy L., Advertising and Promotion Management. New York, McGraw-Hill, 1996, hlm. 87-89)
39
Variabel Dimensi Indikator
b. Khalayak memakai produk.
Consumption a. Khalayak membeli ulang produk
2.5 Teori Sistem Sosial
Teori sistem memandang organisasi sebagai kaitan bermacam-macam komponen
yang saling tergantung satu sama lain dalam mencapai tujuan organisasi. Setiap
bagian mempunyai peran masing-masing dan berhubungan dengan bagian-bagian
lain dank arena itu koordinasi penting dalam teori ini.47
Beberapa komponen kunci yang membangun organisasi adalah individu
yang menjadi anggota organisasi, struktur dan kelompok fungsional, teknologi
dan perlengkapan organisasi. Semua bagian sistem tergantung kepada bagian
lainnya dalam aktivitas organisasi. Suatu perubahan atau pengaruh pada suatu
komponen akan mempengaruhi kepada komponen sistem yang lainnya. 48
Prinsip teori sistem mengenai equifinality menunjukkan bahwa keadaan
dari output sistem, tidaklah ditentukan oleh kondisi semula atau input yang
diterima sistem, tetapi kondisi akhir yang sama yang dapat dicapai sistem dari
kondisi semula yang berbeda dalam berbagai hal. Interaksi di antara bagian sistem
memberikan sistem sebagai suatu keseluruhan, untuk bertindak secara kreatif
memproses input yang berbeda dalam berbagai hal untuk menghasilkan output
yang tepat bagi pencapaian tujuan organisasi. Ini menunjukkan bahwa organisasi
melalui usaha anggotanya yang saling tergantung satu sama lain, mempunyai
47
Muhammad, Arni. Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2015 hal. 46 48
Ibid, hal. 47
40
kemampuan untuk membentuk bermacam-macam aktivitas, untuk mencapai suatu
rentangan tujuan yang luas, dimulai dengan kondisi yang bervariasi dan dengan
pnyesuaian aktivitas dari masing-masing personel dan penggunaan sumber
organisasi secara fleksibel. Komunikasi adalah alat dengan mana organisasi dapat
menyesuaikan personel dan proses terhadap situasi dan masalah yang mereka
hadapi.49
49
Ibid, hal. 48