Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Rainbow Boesemani (Melanotaenia boesemani)
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Allen dan Cross (1980), klasifikasi Ikan Rainbow Boesemani
adalah Sebagai Berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Actinopterygii
Subclass : Actinopterygii
Order : Atheriniformes
Family : Melanotaeniidae
Genus : Melanotaenia
Species : M. Boesemani
Gambar 1. Rainbow Boesemani (Yusup, 2000)
Ikan Rainbow Boesemani (M. boesemani) memiliki bentuk tubuh yang
sangat khas yaitu bentuk mulut yang agak panjang, tubuhnya yang pipih, sirip
punggung dan sirip perut yang berbentuk simetris mendekati ekor, bentuk sirip
ekor agak bercagak, memiliki sirip punggung ganda, sirip punggung pertama lebih
7
kecil dibandingkan sirip punggung kedua yang letaknya berdekatan, sedangkan
bentuk kepala untuk ikan jantan lebih kecil dari ikan betina (Allen, 1991).
2.1.2 Sistem Reproduksi
Spesies ikan yang berasal dari famili Melanotaeniidae umumnya tergolong
pemijah bertahap, tidak mengasuh anaknya dan memperlihatkan pola pemijahan
yang bervariasi berdasarkan musim yaitu pada musim basah, musim kering dan
sepanjang waktu. Aktifitas reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
lingkungan, pakan dan genetik. Salah satu faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi pola reproduksi organisme akuatik adalah media penempelan telur
atau substrat (Mustahal et al. 2014).
Reproduksi ikan Rainbow Boesemani (M. boesemani) di Danau Sentani
Papua menurut terjadi saat ikan telah mencapai tingkat kematangan tertinggi pada
ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada ikan jantan 99,5 mm dan betina
99,2 mm (Gambar 2). Hal ini menggambarkan kematangan pada ikan pelangi
merah jantan dan betina terjadi pada ukuran yang relatif sama. Selain itu,
pencapaian ukuran pertama kali matang gonad (L50) dapat juga berbeda pada
ikan jantan dan betina. Selain itu diketahui juga bahwa puncak pemijahan ikan
pelangi merah jantan dan betina ikan pelangi merah terjadi saat musim hujan.
Kondisi ini dapat menjamin ketersediaan makanan di alam. (Siby et al., 2009)
2.1.3 Perkembangan Telur Ikan Rainbow Boesemani
Menurut Chumaidi et al. (2009), proses perkembangan embrio ikan pelangi
dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu inti sel telur, pembentukan calon embrio dan
perkembangan embrio hingga telur. Perkembangan telur ikan pelangi dari awal
pembuahan hingga telur tersebut menetas membutuhkan waktu penetasan
selama 6 – 7 hari. Dan setelah menetas menjadi larva hingga kuning telur pada
larva tersebut habis membutuhkan waktu hingga 2 – 3 hari. Perkembangan embrio
ikan pelangi dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Perkembangan Embriologi Ikan Rainbow Boesemani (M. boesemani) (Chumaidi et al 2009)
Tahap Perkembangan Karakteristik Perkembangan
Durasi Perkembangan
(Menit)
Pembelahan pertama telur membentuk dua sel. Butiran minyak berada pada bidang sisi telur antara kutub anima dan kutub vegetatif
0
Pembelahan kedua inti telur membentuk 4 sel. Butiran minyak bergerak ke bawah menuju kutub vegetatif
61
Pembelahan ketiga inti telur membentuk 8 sel. Butiran minyak berada pada kutub vegetatif
73
Pembelahan keempat inti telur membentuk 16 sel
77
Pembelahan kelima inti telur membentuk 32 sel
142
Pembelahan keenam inti telur membentuk 64 sel
147
Inti telur
Butiran minyak
Kutub anima
Kutub vegetatif
Inti telur
Butiran minyak Kutub vegetatif
Inti telur
Butiran minyak
Inti telur
Kutub vegetatif
Inti telur Kutub vegetatif
Kutub anima
Inti telur
9
Pembelahan ketujuh inti telur membentuk banyak sel
234
Morula, sel-sel inti telur mulai bergerak ke bawah melingkupi kuning telur
658
Blastula, sel-sel inti telur telah melingkupi ½ kuning telur
781
Glastrula sel-sel inti telur telah melingkupi 2/3 kuning telur
1.204
Neurula calon embrio sudah terbentuk, beberapa somit sudah terlihat
1.177
Embrio awal. Embrio membentuk huruf C dan terbentuk calon mata
1.310
Embrio akhir. Bintik mata sudah terlihat somit-somit mulai terlihat jelas
1.466
Telur menetas menjadi larva
8.660
Inti telur
Inti telur
Inti telur
Kuning telur
Inti telur
Kuning telur
Somit
Calon embrio
Embrio awal Calon mata
Embrio akhir
Bintik mata
10
Hasil penelitian Nugraha (2004), menyatakan proses perkembangan
embrio ikan Rainbow Boesemani (M. boesemani) akan menetas 7 hari setelah
terjadi pembuahan. Telur yang dibuahi akan terlihat terang di daerah kutub kutub
anima yang mengalami pembelahan, sementara bagian yang lebih gelap
merupakan massa kuning telur yang terdapat dikutub vegetative dan tidak
mengalami pembelahan. Pada perkembangannya, pembelahan pertama terjadi
pada satu jam 13 menit setelah pembuahan yang menghasilkan dua sel yang
ukurannya sama besar, tetapi lebih kecil dari satu sel sebelumnya. Pembelahan
kedua terjadi satu jam 45 menit setelah pembuahan yang menghasilkan empat sel
yang ukurannya sama besar, tetapi lebih kecil dari dua sel sebelumnya.
Pembelahan kedua ini diawali dengan dua buah blastomer yang masing-
masing membelah menjadi dua sel sehingga menghasilkan empat buah blastomer
yang sama besar. Keempat buah blastomer tersusun dalam dua baris yang sejajar
dimana setiap baris terdiri dari dua buah blastomer yang sama besar. Peristiwa
selanjutnya adalah pembelahan ke tiga, ke empat, ke lima dan seterusnya hingga
membentuk morula pada lima jam delapan menit setelah pembuahan. Pada saat
morula ini sel-sel hasil pembelahan sulit untuk dihitung jumlahnya.
Setelah fase morula, fase berikutnya adalah fase blastula dengan ditandai
terbentuknya rongga blastosul dibawah blastoderm dan lapisan troploblas/periblas
dibawah blastosul. Terjadi tepat tujuh jam 45 menit setelah pembuahan.
Perubahan selanjutnya adalah dari fase blastula menjadi fase glastula. Perubahan
fase blastula ke fase glastula ini membutuhkan waktu empat jam 42 menit atau 12
jam 27 menit dari fase pembuahan. Fase glastula ini ditandai dengan adanya
lekukan pada bagian endoderm, sehingga terdapat tiga lapisan yaitu ektoderm,
mesoderm, dan endoderm. Perkembangan selanjutnya adalah fase awal
organogenesis teramati 18 jam 50 menit setelah pembuahan dengan dimulai
pembentukan tabung yang menyerupai bentuk tubuh atau disebut juga notokorda.
11
Kemudian akan muncul tonjolan yang menyerupai bentuk tubuh atau
disebut notokorda. Kemudian akan muncul tonjolan yang menyerupai bakal
kepala, bakal tubuh dan setelah itu akan muncul somit. Pada 35 jam 42 menit
setelah pembuahan fase bintik mata terbentuk. Pertama-tama akan terdapat bakal
mata yang kemudian dari jam ke jam mata tersebut berubah warna dari coklat
muda, coklat tua hingga mata sudah benar-benar berwarna hitam. Pada saat
bersamaan juga kuning telur diserap oleh tubuh embrio untuk pembentukan organ-
organ tubuhnya. Setelah 47 jam 26 menit embrio ikan akan terlihat mulai bergerak-
gerak, walaupun tidak secara aktif akan tetapi ini menandakan bahwa embrio
dalam telur tersebut telah ditiupkan ruh. Setelah pergerakan pertama kali embrio
ini maka secara sedikit demi sedikit akan terjadi pembentukan organ-organ tubuh
yang lain hingga embrio siap untuk menetas, yaitu ketika tujuh hari setelah
pembuahan.
2.1.4 Pertumbuhan
Dalam perkembangan hidupnya, ikan Rainbow Boesemani (M. boesemani)
mengalami beberapa fase kehidupan yaitu telur, larva, benih, dewasa, induk.
Menurut Chumaidi et al., (2009), proses embryogenesis yang terjadi pada ikan
pelangi merah berlangsung relatif lama yaitu 125 jam. Setelah proses
embriogenesi, larva ikan rainbow merah ketika menetas sudah memiliki sirip dada
dan sirip ekor yang masih menyatu dengan anal dan sirip punggung. Larva ikan
rainbow sudah membentuk sirip dada sebelum larva menetas, sedangkan pada
spesies rainbow sirip dada terlihat ketika larva baru menetas.
Larva merupakan anak ikan yang baru menetas dan belum memiliki organ
tubuh lengkap seperti induknya. Larva akan mengalami metamorfosa agar dapat
memiliki organ yang lengkap. Larva melalui dua stadia yaitu stadia pro dan post
larva. Stadia pro larva dimulai ketika larva baru menetas dari telur serta memiliki
kuning telur. Pro larva berubah menjadi post larva ketika larva sudah kehabisan
12
kuning telurnya. Pada stadia post larva akan terbentuk organ baru dan
penyempurnaan organ. Larva ikan Rainbow Boesemani (M. boesemani) yang
memiliki organ sempurna sama seperti induknya akan menjadi juvenil atau benih
(Nugraha, 2004).
2.2 Diferensiasi Seks
Menurut Zairin (2002), pemahaman tentang diferensiasi seks mampu
menjadi salah satu hal yang penting dalam penerapan teknik sex reversal. Proses
diferensiasi seks adalah suatu proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu
jaringan yang definitive (sudah pasti). Pada ikan kecil proses ini lebih mudah
tampak melalui pengamatan jaringan dibawah mikroskop dibandingkan dengan
pengamatan visual. Diferensiasi seks pada ikan dapat menjadi dua cara yaitu :
Cara pertama, bakal gonad pada ikan berdeferensiasi langsung menjadi
ovary atau testis. Spesies yang mengikuti cara ini disebut dengan spesies
tak berdeferensiasi. Contoh ikan nya antara lain : ikan mas (Cyprinus
carpio), ikan medeka (Oryzias latipes), dan ikan kakap eropa (Dicentratus
labax).
Cara kedua, semua individu pada mulanya berdeferensiasi menjadi gonad
yang menyerupai ovary. Kemudian setengah populasi berhenti
berdeferensiasi menjadi betina untuk kemudian berdeferensiasi menjadi
jantan. Spesies seperti ini disebut dengan spesies berdeferensiasi. Contoh
ikan nya antara lain : ikan rainbow boesemani (Melanotaenia boesemani),
ikan guppy (Poecilia reticulate), ikan hagfish (Eptatretus stouti).
Menurut Sudrajat et al. (2007), masa diferensiasi seks yang terjadi hingga
8 hari setelah telur menetas, dan waktu yang paling efektif untuk melalui
pemberian pakan ataupun perendaman dengan formula ekstrak bahan - bahan
yang mengandung hormon methyl testosterone. Karena daya serapnya lebih tinggi
13
dan dapat langsung digunakan untuk diferensiasi kelamin pada organ target.
Penambahan hormon methyl testosterone tersebut di perkirakan mampu untuk
memaksimalkan perubahan gonad dari gonad ikan betina menuju ke gonad ikan
jantan. Selain itu, penambahan dari hormone methyl testosterone ini juga sangat
mampu mempercepat proses perkembangan embrio ikan di dalam tubuh induk
ikan rainbow.
2.3 Sex Reversal
Tujuan utama dari teknik sex reversal adalah menghasilkan populasi
dengan sex tunggal (monosex). Dengan membudidayakan ikan monosex akan
didapatkan beberapa manfaat sebagai berikut :
1. Mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat
2. Mencegah pemijahan liar
3. Mendapatkan penampilan yang baik
4. Menunjang genetika ikan yaitu teknik pemurnian ras ikan
Berbeda dengan hermaprodit yang terjadi secara alami, pada sex reversal
perubahan jenis kelamin benar – benar dipaksakan. Ikan yang seharusnya
berdeferensiasi menjadi jantan dibelokkan menjadi betina (feminisasi) dan juga
sebaliknya, ikan betina diubah menjadi jantan (maskulinisasi) (Zairin, 2002).
Pengarahan kelamin (sex reversal) dengan hormone steroid dapat dilakukan
melalui perendaman, penyuntikan, atau secara oral melalui pakan. Androgen
merupakan hormon perangsang sifat – sifat jantan, contohnya metiletestosteron
dan testosteron. Waktu pemberian hormon yang tepat sangat menunjang
keberhasilan pengarahan kelamin, yaitu sebelum diferensiasi gonad. Pada ikan
yang sejenis seperti ikan guppi, ikan rainbow, dan ikan cupang diferensiasi kelamin
berlangsung sebelum larva ikan tersebut dilahirkan, sehingga pemberian hormone
14
testosteron pada ikan jenis ini dimulai pada tahap embrio atau ketika ikan masih
terdapat dalam tubuh induknya (Soelistyowati et al., 2007)
2.4 Maskulinisasi
Maskulinisasi adalah salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah ikan
jantan dengan melakukan untuk mengarahkan ikan menjadi berkelamin jantan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah ikan jantan adalah dengan
melakukan maskulinisasi untuk mengarahkan ikan menjadi berkelamin jantan.
Maskulinisasi sudah banyak dilakukan pada beberapa ikan hias menggunakan
bahan yang berbeda-beda. Maskulinisasi dilakukan dengan pemberian hormon
androgen pada fase diferensiasi gonad pada ikan (Arfah et al., 2013)
Pada umumnya untuk memproduksi benih maskulinisasi dapat digunakan
bahan sintetik seperti 17α-methyltestosterone (17α-MT). Penggunaan bahan
sintetik terdapat beberapa kelemahan yaitu harga yang relatif mahal serta
mempunyai dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu perlu
dicari bahan alternatif yang lebih efisien, hemat, dan dampak negatif terhadap
lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan bahan sintetik yang biasa
digunakan. Salah satu bahan alternatif yang berpotensi sebagai pengganti hormon
sintetik adalah bahan yang mengandung testosteron alami sebagai alternatif. Dan
bahan tersebut terdapat pada testis sapi (Priyono et al. 2013).
2.5 Testis Sapi
Salah satu dari bahan alami yang mudah ditemukan serta yang dapat
digunakan dalam proses maskulinisasi yaitu testis sapi. Sebelum digunakan testis
sapi yang didapatkan harus dipotong kecil – kecil, dikuliti, setelah itu dioven
dengan suhu 60 0C terlebih dahulu. Setelah itu testis sapi masih harus di ekstrak
melalui proses sentrifuge terlebih dahulu, setelah itu baru bisa digunakan untuk
perlakuan maskulinisasi. Testis sapi dipilih karena mengandung hormone methyl
15
testosterone yang dapat digunakan dalam proses perlakuan maskulinisasi, yaitu
efek perubahan kelamin dari betina menjadi kelamin jantan (Irmasari et al., 2012).
Organ reproduksi sapi jantan dapat dibagi menjadi tiga komponen yaitu (a)
organ kelamin primer yaitu testis, (b) sekelompok kelenjar-kelenjar kelamin
pelengkap yaitu kelenjar vesikulares, prostatan dan cowper dan saluran-saluran
yang terdiri epididymis dan vas deferens, (c) alat kelamin dari ikan atau organ
kopulatoris yaitu penis. Testis sapi berjumlah dua buah, dalam keadaan normal
kedua testis berukuran sama besar, terletak pada daerah prepubis, terbungkus
dalam kantong scrotum dan digantung oleh funiculus spermaticus yang
mengandung unsur-unsur yang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari
cavum abdominalis melalui canalis inguinalis ke dalam scrotum (Muslim, 2010).
2.6 Kandungan Pada Testis Sapi
Menurut Lindner (1961), kandungan hormon testosteron dalam testis sapi
berkisar antara 14-231 µg.hr/testis. Sedangkan untuk konsentrasi hormon dalam
testis sapi berkisar 0-25 mg/100 g. Pada tetis sapi kandungan yang terdapat di
dalamnya, yaitu hormon testosterone yang ada dalam cairan testis (testicular fluid)
sebanyak 2,3 µg/100 ml.
Menurut Iskandariah (1996), testis sapi yang masih segar mengandung
hormon testosteron alami yang berkisar antara 2300-27700 pg/g testis dan dengan
kandungan protein sebesar 63,49%. Sedangkan berdasarkan hasil beberapa
penelitian tentang kandungan testis sapi yang lain, menyatakan bahwa kandungan
hormon testosteron dari tepung testis sapi berkisar antara 142,8-1204 ng/gram.
Sedangkan untuk kandungan testosteron dari testis sapi White Fulani berkisar
antara 15-18 ng mL-1. Namun, untuk kandungan hormon testosteron dalam testis
sapi segar 18,8 ppm dan untuk kadar hormon testosteron dalam testis sapi kering
dapat mencapai nilai lebih dari 60 ppm.
16
2.7 Struktur Kimia Testosteron Sapi
Menurut Braunstein (2011), salah satu bahan alami yang digunakan dalam
proses maskulinisasi yaitu testis sapi. Dimana dalam testis sapi terdapat
kandungan dari hormon testosterone yang berguna untuk proses pembentukan
gonad jantan pada makhluk hidup. Hormon testosterone adalah hormone steroid
yang dihasilkan oleh tubuh makhluk hidup untuk sifat kejantanan pada sapi.
Hormon testosterone juga berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi itu sendiri.
Sama halnya seperti hormone – hormone steroid yang lain, testosteron juga
berasal dari derivat kolesterol dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC)
Struktur Kimia Testosteron Sapi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia Hormon Testosteron (Braunstein, 2011)
Degradasi pada toksik testosteron diprakarsai oleh a-Dehidrogenasi
pada kelompok 17b-hidroksil untuk diproduksi Androst-4-en-3,17-dione, yang
kemudian mengalami dehidrogenasi membentuk androsta-1,4-diena-3,17-dione.
Pembelahan berikutnya dari sistem cincin inti dikatalisis dengan
oksigenase(Simpson,2001). Struktur Hormon Testosteron dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Hormon Testosteron (Simpson,2001)
17
2.8 Identifikasi Gonad
Identifikasi secara histologi dilakukan dengan mengambil calon gonad
yang berwarna putih kekuningan, diletakkan diatas obyect glass, ditetesi pewarna
asetokarmin sebanyak satu tetes dan ditutup menggunakan cover glass. Calon
gonad yang telah diwarnai kemudian diamati menggunakan mikroskop dengan
pembesaran 1000 kali. Contoh yang digunakan dalam pembuatan preparat
sebanyak 10 individu untuk setiap perlakuan (Huwoyon et al., 2008)
Dalam penentuan jenis kelamin ikan atau gonad ikan Rainbow Boesemani
(M. boesemani) dapat dilakukan dengan melihat ciri – ciri karakter primer yaitu dari
besar tubuh ikan, dan juga warna yang terdapat pada ikan Rainbow Boesemani
(M.boesemani) itu sendiri. Selain itu, berdasarkan pengamatan karakter sekunder
secara morfologis serta pemeriksaan jaringan gonad dengan menggunakan
metode asetokarmin. Larva ikan Rainbow Boesemani (M.boesemani) yang akan
diamati gonadnya diambil, kemudian dipotong ekor dan kepala nya, setelah itu
larva yang telah dipotong ekor dan kepala nya diletakkan diatas objec glass,
setelah itu ditetesi pewarna asetokarmin sebanyak satu tetes dan ditutup
menggunakan cover glass. Calon gonad yang telah diwarnai kemudian diamati
menggunakan mikroskop (Soelistyowati 2007). Gambar gonad jantan dapat dilihat
pada (Gambar 4), gambar gonad betina (Gambar 5).
Gambar 5. Gonad Betina perbesaran 40x (Soelistyawati, 2007)
Gambar 4. Gonad Jantan perbesaran 40x (Soelistyawati, 2007)
Sperma
Ovarium