Upload
hoangdung
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
3
4. Berapa besar kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan
bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor dalam kurun
waktu 5 tahun (2008-2013).
2. Menganalisis jumlah optimal kendaraan agar tidak terjadi the tragedy of the
common pada tahun 2013 sampai 2017 jika kapasitas jalan tidak berubah. 3. Menganalisis kapasitas jalan yang harus disediakan oleh pemerintah untuk
menghindari the tragedy of the common apabila pertumbuhan jumlah
kendaraan di Kota Bogor tidak dibatasi.
4. Menganalisis kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan
bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Agar lebih fokus dalam menelaah permasalahan, maka penelitian ini dibatasi
pada beberapa hal. Adapun ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah:
1. Penelitian ini hanya dilakukan di wilayah yang secara administratif berada di
lingkungan Kota Bogor.
2. Penelitian dilakukan pada saat peak hours.
1.5. Manfaat Penelitian
Tesis ini diharapkan berguna bagi pemerintah daerah Kota Bogor sebagai
rekomendasi dalam rangka membuat kebijakan sistem transportasi dan tata ruang
kota untuk menangani masalah kemacetan lalu lintas di masa yang akan datang.
Tesis ini juga dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan
dalam penggunaan transportasi khususnya transportasi darat.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jalan
Undang – undang No. 38 Tahun 2004 mendefinisikan jalan sebagai pra-
sarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan
tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan
lori, dan jalan kabel. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sistem
jaringan jalan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem
jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan
semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem
jaringan jalan primer terdiri dari:
1. Jalan arteri primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu
yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan kota jenjang kedua.
4
2. Jalan kolektor primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang
kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang ketiga.
3. Jalan lokal primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan
persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang
ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya, kota
jenjang ketiga dengan persil atau sebaliknya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa sistem jaringan jalan sekunder merupakan
sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa
untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan, yang terdiri dari:
1. Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
2. Jalan kolektor sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan
kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
3. Jalan lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya
sampai ke perumahan.
2.2. Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan menurut Undang-undang No. 38 Tahun 2004 berdasarkan
fungsinya yaitu: jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor,
jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan
rata- rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan
kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang,
dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan lokal merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat,
kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi, sedangkan
jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah.
Kemudian klasifikasi jalan umum menurut undang-undang tersebut dibagi
berdasarkan wewenang pembinaan dan kondisi fisik. Klasifikasi jalan menurut
wewenang pembinaannya meliputi jalan negara atau nasional, jalan provinsi,
jalan kabupaten dan jalan kota. Pembagian jalan tersebut berdasarkan subjek
pengelola dan pemerintah yang menanggung beban anggaran pemeliharaannya.
Klasifikasi jalan menurut kondisi fisik terdiri dari:
1. Jalan Kelas I. Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama yang
bertujuan melayani lalu-lintas cepat dan berat, tidak terdapat jenis
kendaraan lambat dan tidak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini
mempunyai jalur yang banyak dengan perkerasan terbaik.
2. Jalan Kelas II. Kelas jalan ini mencakup semua jalan dengan fungsi
sekunder, komposisi lalu lintas terdapat lalu-lintas lambat tapi tanpa
5
kendaraan tak bermotor. Jumlah jalur minimal adalah dua jalur dengan
konstruksi terbaik. Untuk lalu lintas lambat disediakan jalur tersendiri.
3. Jalan Kelas III. Kelas jalan ini mencakup semua jalan dengan fungsi
sekunder, komposisi lalu-lintas terdapat kendaraan lambat yang bercampur
dengan lalulintas lainnya. Jumlah jalur minimal dua jalur dengan
konstruksi jalan lebih rendah, konstruksi permukaan jalan dari penetrasi
berganda atau setaraf.
4. Jalan Kelas IV. Merupakan jalan yang melayani seluruh jenis kendaraan
dengan fungsi jalan sekunder. Komposisi lalu-lintasnya terdapat
kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor.
5. Jalan Kelas V. Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung
dengan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua, konstruksi permukaan
jalan paling tinggi adalah peleburan dengan aspal.
2.3. Eksternalitas
Jalan merupakan sumberdaya buatan manusia (man-made) yang bisa
digunakan oleh banyak orang dan dapat digolongkan sebagai barang publik.
Sebagai barang publik, jalan merupakan sumberdaya milik bersama yang mana
setiap orang bisa memanfaatkannya dan tidak dapat dikeluarkan dari komunitas
pengguna (non-excludable). Jalan publik dapat diklasifikasikan ke dalam common
pool resources (CPRs). Sumberdaya yang digolongkan menjadi CPRs memiliki
beberapa karakteristik, yakni rivalness atau substractable dan non excludable.
Sebagai barang publik, pemanfaatan jalan oleh seseorang akan mengurangi
kemampuan orang lain untuk memanfaatkannya (rivalness) (Fauzi 2004).
Konsumsi barang publik, seperti jalan seringkali menimbulkan apa yang
disebut eksternalitas atau dampak eksternal. Eksternalitas didefinisikan sebagai
dampak positif ataupun negatif (net cost atau benefit) dari tindakan satu pihak
terhadap pihak lain (Fauzi 2004). Eksternalitas terjadi karena pemanfaatan jalan
oleh satu pengguna dapat mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara
tidak diinginkan. Pihak pembuat eksternalitas juga tidak menyediakan kompensasi
terhadap pihak yang terkena dampak. Terminologi eksternalitas lain dijelaskan oleh
Hartwick dan Olewiler (1998) yang menggolongkan eksternalitas menjadi dua,
yakni eksternalitas privat dan eksternalitas publik. Eksternalitas privat melibatkan
hanya beberapa individu dan bisa bersifat bilateral serta tidak menimbulkan pill
(limpahan) kepada pihak lain. Sementara itu, eksternalitas publik terjadi jika barang
publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Adapun jalan, adalah barang
publik yang dengannya berlaku eksternalitas publik. Pemanfaatan oleh semua pihak
tidak akan mengurangi jumlah jalan yang digunakan, namun kemacetan yang
ditimbulkan merupakan gambaran penurunan kualitas dari barang publik tersebut
(Fauzi 2004).
2.4. Teori Kepemilikan Barang
Hak kepemilikan barang (property right) merupakan hak asasi manusia.
Hak ini merupakan hak yang paling mendasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk
menunjukkan eksistensinya. Hak kepemilikan diatur dalam Undang-Undang Dasar
tahun 1945 dalam pasal 28H ayat 4, bahwa setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapa pun. Menurut Hartwick dan Olewiler (1998), hak kepemilikan
6
(property right) didefinisikan sebagai klaim yang sah (secure claim) terhadap
sumber daya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Hak
kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang
memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick & Olewiler 1998).
Karakteristik hak kepemilikan barang menyangkut ketersediaan manfaat, kemam-
puan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak, dan durasi
penegakkan hak (Perman et al. 1996).
Hak kepemilikan tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh dua hal, yaitu
hak pihak lain dan ketidaklengkapan (incompleteness). Misalnya, tidak semua
orang bisa menggali tambang emas yang ada di pekarangan kita. Namun, pihak lain
bisa melakukannya. Menurut Fauzi (2004), ketidaklengkapan hak kepemilikan
tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya penegakkan hak (enforcement).
Contohnya hutan yang ditebang oleh penebangan ilegal, hak negara atas hutan
dibatasi oleh mahalnya biaya pengawasan hutan dan penegakkan hukum atas
tindakan ilegal tersebut.
Bromley (1989) membagi hak kepemilikan sumber daya alam menjadi tiga.
Pertama, state property yang menunjukkan bahwa klaim kepemilikan berada di
tangan pemerintah. Kedua, private property, yakni manakala klaim kepemilikan
berada pada individu atau kelompok usaha. Ketiga, klaim sumber daya yang
dikelola bersama baik atas nama pribadi maupun kelompok. Jenis terakhir ini
dikenal sebagai common property atau communal property. Menurut Fauzi (2004),
suatu sumber daya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa
dikatakan memiliki hak kepemilikan. Sumber daya alam semacam ini bisa
dikatakan sebagai open access.
Secara umum, Fauzi (2004) mengusulkan empat kemungkinan kombinasi
antara hak kepemilikan dan akses. Kombinasi yang didasarkan pada dua tipe akses
(open dan limited access) tersebut adalah: tipe kepemilikan di mana hak milik
berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas; tipe kepemilikan di
mana sumber daya dimiliki secara individu (privat) dengan akses yang terbatas.
Tipe ini memungkinkan karakteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas
dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; tipe kombinasi antara hak
kepemilikan komunal dan akses yang terbuka; dan tipe kombinasi di mana sumber
daya dimiliki individu namun akses dibiarkan terbuka.
Jalan raya Kota Bogor sebagai barang publik menjadi milik pemerintah
seutuhnya (state property). Dampak eksternal negatif yang timbul, yakni kemacetan
yang sering terjadi di Kota Bogor, disebabkan adanya kesenjangan dalam peng-
alokasinya. Salah satunya disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah
kepemilikan dan penggunaan kendaraan sehingga terjadi konsumsi berlebih (over
consumption) di jalan raya. Di sisi lain, pemerintah belum mampu mengakomodir
kondisi kebutuhan tersebut (supply). Sehingga, hak kepemilikan kendaraan menjadi
masalah baru. Oleh karena itu, perlu pemahaman konsep hak kepemilikan terkait
dengan pengelolaan barang publik. Istilah lain untuk memahami hal ini adalah telah
terjadi penggunaan yang berlebihan pada sumberdaya (jalan). Ketidakseimbangan
antara supply dan demand ini menimbulkan congestion di waktu-waktu tertentu.
Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kemacetan pada jam-jam sibuk.
Kecenderungan overuse merupakan masalah khas pada sumber daya CPRs.
Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat
mencegah atau menghindarinya. Rustiadi et al. (2009) mengemukakan dua isu
7
penting yang sering mengikuti diskusi perihal CPRs, yakni konsep yang berkaitan
dengan sistem pengelolaan dan hak kepemilikan yang menyertainya. Fenomena
sumber daya alam seperti ini sering disebut dengan the tragedy of the common
(Hardin 1968). Fenomena ini terjadi apabila seseorang membatasi penggunaan
sumber daya yang terbatas namun tetangganya (masyarakat lainnya) tidak
melakukannya. Akibatnya, sumber daya akan mengalami penurunan nilai dan orang
yang membatasi penggunaan sumber daya tadi akan tetap kehilangan dalam jangka
pendek. Bahkan, dampak negatif lain adalah semakin besarnya biaya sosial yang
harus ditanggung baik oleh pemerintah sebagai pemilik hak maupun masyarakat
yang menggunakan jalan.
2.5. The Tragedy of The Common
Istilah tragedi kepemilikan bersama pertama kali dipublikasikan oleh Garrett
Hardin (1968) dalam sebuah artikel ilmiah berjudul The Tragedy of the Common.
Tragedi kepemilikan bersama adalah suatu ketidakbahagiaan akibat ketamakan
dalam berupaya untuk merebut sesuatu. Tragedi kepemilikan bersama timbul saat
setiap manusia berusaha mengambil sumberdaya alam yang menjadi milik bersama
untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Tragedi
kepemilikan bersama umumnya terjadi pada sumberdaya yang merupakan milik
umum atau common pool resources (CPRs).
Pandangan yang menyebabkan terjadinya tragedi kepemilikan bersama yaitu
keinginan untuk meraih untung yang banyak demi kepentingan pribadi daripada
membagi-bagikannya kepada manusia atau makhluk hidup lain, sehingga kemudian
masing-masing mendapat jatah sedikit. Pendangan seperti ini awalnya akan terasa
menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumberdaya alam, tetapi dikala
jumlah pengguna meningkat, maka permasalahannya akan segera muncul. Pada
akhirnya ketersediaan sumberdaya alam akan habis atau rusak.
Kebebasan yang tidak bertanggungjawab hanya mendatangkan penderitaan
dan kesengsaraan. Satu-satunya cara kita dapat menjaga dan memelihara kebebasan
lain yang lebih berharga adalah dengan segera melepaskan kebebasan untuk
berkembang biak (Hardin 1968). Terkadang untuk menghindari tragedi pada barang
kepemilikan umum harus ditempuh dengan cara pemaksaan seperti pembuatan
peraturan tentang larangan-larangan, pajak, serta aturan-aturan non formal yang
disepakati bersama oleh unsur masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Secara lebih spesifik, Gardner dan Sterm (1966) telah mengindentifikasi
penggunaan peraturan pemerintah, aturan dan insentif sebagai salah satu dari solusi
dasar dalam menanggulangi perilaku undividual terhadap sumberdaya kepemilikan
bersama. Menurut Hardin (1968) kelemahan terbesar dari the tragedy of the
common adalah keinginan manusia untuk menguntungkan diri sendiri secara
individual yang dikombinasikan dengan sumberdaya yang bebas tetapi tersedia
terbatas dan akses yang bebas, berpotensi menghalangi konservasi sumberdaya
yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ada dua solusi untuk mengatasi
hal ini diantaranya membatasi akses dan membuat sumberdaya menjadi mahal.
Kedua solusi tersebut memiliki pendekatan yang sama yaitu merubah insentif yang
diterima individu. Insentif dijelaskan sebagai kondisi positif dan negatif yang
meliputi perilaku.
8
2.6. Kebijakan terhadap Eksternalitas Negatif
Masalah yang muncul akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand
barang CPRs dapat diatasi dengan berbagai pendekatan. Pertama, pendekatan
Leviatan, yakni dengan mengendalikan akses serta membatasi penggunaan SDA
secara ketat dengan menggunakan kekuatan pihak ketiga (pemerintah dengan
kelengkapan penegakan hukumnya, seperti polisi dan tentara). Kedua, pendekatan
privatisasi yang berusaha memberikan hak pengelolaan SDA kepada pihak swasta
(individu, firma) dengan asumsi bawa swasta dapat mengelola SDA secara efisien
sebagaimana mengelola perusahaan. Ketiga, pendekatan self organization atau self
governance yang dicirikan dengan penyerahan pengelolaan sumberdaya alam
kepada masyarakat atau kelompok (Hidayat 2010).
Menurut Fauzi (2004) menyatakan bahwa ada serangkaian tindakan yang
dapat mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas negatif. Secara
sederhana, dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni pemberian hak milik
(assigning property rights), internalisasi, dan pemberlakuan pajak (Pigouvian tax).
Pemberian hak pemilikan tidak sepenuhnya menghapus eksternalitas, namun hanya
meningkatkan manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas.
Pemberian hak kepemilikan menjadi langkah yang efektif manakala mengetahui
persis siapa yang berperan melakukan eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan
bisa dihitung dan tawar menawar bisa dilakukan. Tujuan akhir dari kebijakan ini
adalah terjadinya pengurangan nilai eksternalitas.
2.7. Kebijakan Tata Ruang
Ketersediaan ruang merupakan hal yang terbatas di alam, namun kebutuhan
akan ruang merupakan hal yang tidak terbatas selama kehidupan manusia terus
berjalan. Menurut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang
didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup
dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang
merupakan sumber daya alam yang diatur penggunaannya dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang berbunyi bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut, ruang harus
dilindungi dan dikelola dalam sistem yang terpadu, terkoordinasi dan berkelanjutan.
Semakin berkembangnya aktivitas manusia mengakibatkan kebutuhan
terhadap ruang semakin tinggi. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut,
penataan ruang yang mencakup tahapan perencanaan kebijakan tata ruang dapat
mewujudkan keinginan akan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Berdasarkan pengertian dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang, perencanaan
tata ruang merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang
mencakup proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata
ruang. Penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang,
dan berkelanjutan, (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola
pemanfaatan ruang.
9
Salah satu pola pemanfaatan ruang, yaitu rencana struktur ruang meliputi
sistem jaringan transportasi. Dalam konteks tata ruang wilayah, sektor transportasi
memegang peranan penting, karena sektor ini menyebar membentuk jaringan di
dalam dan antar ruang, transportasi menjembatani interaksi penduduk dari satu
wilayah ke wilayah lain. Transportasi merupakan bagian yang menghubungkan dan
menyatukan seluruh wilayah dengan spesialisasi masing-masing menjadi suatu
kesatuan yang terintegrasi (Chaeriwati 2004).
2.8. Emisi Kendaraan Bermotor
Pencemaran udara terjadi apabila komposisi zat-zat kimia yang ada di udara
melampaui ambang batas yang ditentukan, sehingga dapat membahayakan
kesehatan manusia, mengganggu kehidupan hewan dan tumbuhan, serta tergang-
gunya iklim (cuaca). Gas-gas berbahaya yang bercampur dengan udara sebagai zat
pencemar berasal dari aktivitas manusia terutama akibat proses pembakaran bahan
bakar minyak. Emisi adalah zat atau bahan pencemar yang dikeluarkan langsung
dari kendaraan bermotor melalui pipa pembuangan (knalpot) kendaraan
bermotor sebagai sisa pembakaran bahan bakar dalam mesin. Terdapat lima
unsur dalam gas buangan kendaraan bermotor yaitu senyawa CO, HC, CO2, O2
dan senyawa NOX (Suryani 2010).
Karbon monoksida (CO) adalah salah satu unsur gas buangan yang banyak
dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. CO merupakan gas berbau yang tidak
berwarna, lebih ringan dari udara, terbentuk sebagai hasil dari pembakaran tidak
sempurna. Gas ini merupakan polutan udara yang paling lazim dijumpai. Gas ini
sangat beracun bagi manusia dan hewan. CO dapat menyebabkan aliran Oksigen
(O2) ke seluruh tubuh menurun sehingga kontraksi jantung dapat melemah dan
volume darah yang didistribusikan menurun (Kojima et al. 2000).
Penyebaran gas CO di udara tergantung pada keadaan lingkungan. Pada
daerah perkotaan yang banyak kegiatan industrinya dan lalu lintasnya padat, maka
udaranya sudah banyak tercemar oleh gas CO. Sedangkan di daerah pinggiran kota
atau desa, cemaran CO di udara relatif sedikit. Tanah yang masih terbuka (ruang
terbuka) dapat membantu penyerapan gas CO karena mikroorganisme yang ada di
dalam tanah mampu menyerap gas tersebut (Kojima et al. 2000).
2.9. Perhitungan Beban Emisi
Pengukuran kualitas dan beban emisi secara langsung dalam suatu kegiatan
tidak mungkin dilakukan untuk setiap sumber pencemar, apalagi pengukuran
langsung terhadap kendaraan bermotor yang jumlahnya tidak sedikit. Pengukuran
perkiraan besarnya beban pencemar dapat dirumuskan dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan panjang perjalanan kendaraan bermotor dan
pendekatan penggunaan bahan bakar (KLH 2007).
Estimasi beban emisi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
konsumsi bahan bakar. Secara umum perhitungan beban emisi dari kendaraan
bermotor menurut Chandrasiri (1999) adalah sebagai berikut :
ECO = Σ vol_bensin x FE x 10−6
Keterangan :
ECO = Beban emisi CO dari angkot (ton/bulan)
Σ vol_bensin = Konsumsi bahan bakar bensin (liter/bulan)
FE (Faktor Emisi) = Besarnya polutan CO yang diemisikan dari setiap liter
penggunaan bahan bakar minyak (gram/liter)
10
Faktor emisi adalah massa dari suatu polutan yang dihasilkan oleh setiap
unit proses. Beban massa ini dapat berupa per satuan massa bahan bakar yang
dikonsumsi atau per unit produksi (Porteous 1996 dalam Kusuma 2010). Faktor
emisi masing-masing gas buang kendaraan berbeda berdasarkan jenis bahan
bakarnya (Tabel 1).
Tabel 1 Faktor emisi kendaraan berdasarkan jenis bahan bakar
Bahan Bakar CO NOx HC TSP SO2 CO2
Bensin (kg/ton) 377.0 10.3 14.5 2.0 0.54 3 150.0
Solar (kg/ton) 43.5 11.0 26.0 2.4 19.00 3 150.0
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup, 2007
2.10. Kapasitas Jalan
Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Raya Indonesia (MKJI) tahun 1997
(DJBM 1997), kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang memiliki
kemungkinan yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut (dalam satu maupun
dua arah) dalam periode waktu tertentu dan dengan kondisi jalan dan lalu lintas
yang umum. Kapasitas dasar jalan raya didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu
jalan yang mempunyai sifat-sifat jalan dan sifat lalu lintas yang dianggap ideal.
Karakteristik utama dari suatu jalan yang akan berpengaruh terhadap kapasitas dan
tingkat pelayanan saat dibebani arus lalu lintas antara lain :
1. Geometrik jalan, meliputi :
a. Tipe jalan: jalan terbagi (devide, D) dan jalan tidak terbagi (undevide, UD)
b. Lebar jalan, terkait dengan free speed flow atau kecepatan arus bebas dan
peningkatan kapasitas
c. Kerb, merupakan besarnya kapasitas jalan yang dilengkapi dengan trotoar
akan lebih kecil dibandingkan dengan jalan yang dilengkapi bahu jalan
d. Bahu jalan (shoulder), akan menimbulkan hambatan samping seperti
kegiatan di sisi jalan seperti pedagang kaki lima, parkir, berhentinya
kendaraan umum di sembarang tempat dsb.
e. Median dan alinemen jalan, radius yang kecil akan mengurangi kecepatan
arus bebas
2. Kontrol lalu lintas, peraturan lalu lintas yang cukup memberikan pengaruh
pada kondisi lalu lintas
3. Kegiatan jalan yang menimbulkan gangguan (hambatan samping) adalah
hambatan samping yang ditetapkan untuk jalan perkotaan di MKJI berupa
gangguan akibat:
Pejalan kaki
Berhentinya kendaraan umum dan kendaraan lainnya di sisi jalan
Kendaraan lambat (bergerak lambat) seperti becak, delman dsb
Kendaraan yang parkir dan keluar masuk dari sisi jalan
4. Perilaku pengendara dan populasi kendaraan. Kondisi beragam di Indonesia
merupakan faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap prosedur
perhitungan kapasitas yang dinamakan faktor ukuran kota (city size).
5. Komposisi / persebaran arus lalu lintas tiap arah (directional split of traffic).
Merupakan banyaknya arus yang lewat di tiap arah jalan akan mempengaruhi
besarnya kapasitas. Kapasitas akan tinggi dan mencapai puncaknya di jalan dua
11
arah saat directional splitnya 50-50, hal ini menunjukkan adanya arus yang
sama di kedua arah untuk satu periode waktu analisis. Komposisi Lalu Lintas
akan mempengaruhi hubungan kecepatan arus apabila arus dan kapasitas
dinyatakan dalam satuan kendaraan per jam. Hal ini tergantung besarnya rasio
sepeda motor atau kendaraan berat dalam arus tersebut.
Kapasitas jalan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
C = C0 x FCw x FCsp x FCsf x FCcs
Keterangan :
𝐶 = Kapasitas (smp/jam)
C0 = Kapasitas dasar (smp/jam) Tabel 2
𝐹𝐶𝑤 = Faktor penyesuaian lebar jalan Tabel 3
𝐹𝐶𝑠𝑝 = Faktor pemisahan arah Tabel 4
𝐹𝐶𝑠𝑓 = Faktor penyesuaian hambatan samping Tabel 5 dan Tabel 6
𝐹𝐶𝑐𝑠 = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota Tabel 7
Tabel 2 Kapasitas dasar C0 untuk jalan perkotaan
Jenis Jalan Kapasitas Dasar
(smp/jam)
Komentar
Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah 1 650 Per lajur
Empat-lajur tak terbagi 1 500 Per lajur
Dua-lajur terbagi 2 900 Total dua-arah
Tabel 3 Faktor penyesuaian FCw atau lebar lajur jalan
Jenis Jalan Lebar Lajur Efektif (WC) (m) FCW
Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah Per lajur
3.00
3.25
3.50
3.75
4.00
0.92
0.96
1.00
1.04
1.08
Empat-lajur tak terbagi Per lajur
3.00
3.25
3.50
3.75
4.00
0.91
0.95
1.00
1.05
1.09
Dua-lajur terbagi Total dua arah
5
6
7
8
9
10
0.56
0.87
1.00
1.14
1.25
1.29
1.34
12
Tabel 4 Faktor penyesuaian FCsp faktor pemisah arah
Pembagian Arah % - % 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
FCS
P
Dua-lajur 2/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88
Empat-lajur 4/2 1.00 0.98 0.97 0.95 0.94
Tabel 5 Faktor penyesuaian FCsf untuk jalan perkotaan dengan bahu
Jenis Jalan Kelas Hambatan
Samping
(FCsf)
Faktor Penyesuaian
Lebar Bahu efektif rata-rata WS (m)
≤ 0,50 1,0 1,5 ≥ 2,0
Empat lajur
terbagi 4/2 D
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0.96
0.94
0.92
0.88
0.84
0.98
0.97
0.95
0.92
0.88
1.01
1.00
0.98
0.95
0.92
1.03
1.02
1.00
0.98
0.96
Empat lajur
terbagi 4/2
UD
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0.96
0.94
0.92
0.87
0.80
0.99
0.97
0.95
0.91
0.86
1.01
1.00
0.98
0.94
0.90
1.03
1.02
1.00
0.98
0.95
Dua lajur tak
terbagi 2/2
UD atau
Jalan satu-
arah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0.94
0.92
0.89
0.82
0.73
0.96
0.94
0.92
0.86
0.79
0.99
0.97
0.95
0.90
0.85
1.01
1.00
0.98
0.95
0.91
Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation / DS), rumus DS yaitu:
𝐷𝑆 = 𝑉
𝐶
Keterangan :
𝐷𝑆 = Derajat Kejenuhan (DS) 𝐶 = Kapasitas jalan
𝑉 = Volume lalu lintas (smp/jam)
2.11. Peramalan/Proyeksi Trafik (Lalu Lintas)
Trafik ada dua macam, trafik muatan dan trafik alat angkutan. Trafik muatan
adalah jumlah penumpang dan atau barang yang diangkut oleh kendaraan atau alat
angkutan pada suatu jalan. Sedangkan trafik alat angkutan adalah jumlah kendaraan
atau alat angkutan lalu lintas pada jalannya. Pengertian yang kedua inilah yang
lazim disebut sebagai trafik atau lalu lintas formula (Nasution 2004 dan Kamaludin,
Rustian 2013). Trafik kendaraan atau alat angkutan atau lalu lintas dibedakan
menjadi volume lalu lintas dan kepadatan lalu lintas. Jika volume lalu lintas adalah
jumlah kendaraan yang melewati titik tertentu yang melintas pada arah tertentu
pada suatu bagian ruas jalan, dinyatakan dalam jumlah kendaraan per jam, per hari,
dan per minggu. Sedangkan kepadatan lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang
menempati suatu bagian dari ruas jalan tertentu pada saat tertentu, dinyatakan
dalam jumlah kendaraan per mil atau per km sepanjang jalan yang dilalui.
13
Tabel 6 Faktor Penyesuaian FCsf pada kapasitas untuk jalan perkotaan dengan kerb
Jenis Jalan Kelas
Hambatan
Samping
(FCSF)
FP untuk Hambatan Samping dan Jarak Kerb
Jarak Kerb – Penghalang WK (m)
≤ 0.5 1.0 1.5 ≥ 2.0
Empat lajur
terbagi 4/2 D
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0.95
0.94
0.91
0.86
0.81
0.97
0.95
0.93
0.89
0.85
0.99
0.98
0.95
0.92
0.88
1.01
1.00
0.98
0.95
0.92
Empat lajur
terbagi 4/2 UD
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0.95
0.93
0.90
0.84
0.77
0.97
0.95
0.92
0.87
0.81
0.99
0.97
0.95
0.90
0.85
1.01
1.00
0.97
0.93
0.90
Dua lajur tak
terbagi 2/2 UD
atau
Jalan satu-arah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0.93
0.90
0.86
0.78
0.68
0.95
0.92
0.88
0.81
0.72
0.97
0.95
0.91
0.84
0.77
0.99
0.97
0.94
0.88
0.82
Tabel 7 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS)
Ukuran Kota
(Juta penduduk)
Faktor Penyesuaian
Ukuran Kota (FCCS)
Kelas Ukuran Kota
(CS)
< 0.1
0.1 – 0.5
0.5 – 1.0
1.0 – 3.0
> 3.0
0.86
0.90
0.94
1.00
1.04
Sangat kecil
Kecil
Sedang
Besar
Sangat besar
Volume lalu lintas adalah hasil dari kepadatan dan kecepatan lalu lintas.
Dapat saja terjadi pada suatu jalan yang volume lalu lintasnya rendah, tetapi
kepadatannya tinggi. Kepadatan tinggi terjadi apabila kendaraan praktis diam atau
tidak bergerak, di mana volume lalu lintas mendekati nol, kondisi ini disebut
sebagai kemacetan. Peramalan pertumbuhalan volume kendaraan ini menggunakan
metode peramalan double exponential smoothing. Perhitungan nilai smoothing data
ke-t sebagai berikut:
St = Lt + Tt
Tt = (Lt – Lt-1) + (1-)Tt-1
Lt = Xt + (1- )(Lt-1 + Tt-1)
Keterangan:
St = nilai smoothing data ke-t
Tt = nilai tren data ke-t, merupakan bobot komponen tren
Lt = nilai level data ke-t, merupakan bobot komponen level