13
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber bahang utama adalah sinar matahari. Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari adalah daerah yang terletak pada lintang rendah dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Weyl, 1970). Pada lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat, arus- arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub serta pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Pada hakekatnya di daerah tropis terdapat amplitude suhu permukaan yang kecil. Oleh karena itu, perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di daerah- daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (Illahude, 1999). Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan yang terdiri atas: a) Lapisan homogen Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur, lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan. b) Lapisan termoklin Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada

2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Menurut Valiela (1984), produktifitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut. Laju produktifitas primer

Embed Size (px)

Citation preview

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suhu

Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu

adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang

terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber bahang utama adalah sinar

matahari. Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari

adalah daerah yang terletak pada lintang rendah dan akan semakin berkurang bila

letaknya semakin mendekati kutub (Weyl, 1970).

Pada lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh banyak faktor,

diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat, arus-

arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub serta

pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Pada

hakekatnya di daerah tropis terdapat amplitude suhu permukaan yang kecil. Oleh

karena itu, perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di daerah-

daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (Illahude, 1999).

Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di

lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan

yang terdiri atas:

a) Lapisan homogen

Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m

dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan

ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur,

lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim

barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari

perairan.

b) Lapisan termoklin

Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas

(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada

lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan

termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m

atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada

6

termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C

pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m.

c) Lapisan dalam

Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya

mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada

daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.

d) Lapisan dasar

Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada

samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai

5000 m.

Kondisi suhu permukaan umumnya dipengaruhi oleh arus permukaan,

penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan

intensitas radiasi matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada

musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan sehingga suhu berkisar

antara 29-30oC dan di bagian khatulistiwa suhu berkisar antara 27-28

oC. Pada

musim Timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-30oC

dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-28oC

(Wyrtki, 1961).

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena

mendapat radiasi siang hari. Karena pengaruh angin maka lapisan teratas antara

50–70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat

(sekitar 280C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan ini sering disebut lapisan

homogen. Namun, karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa

menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai

kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari

lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat

disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan

adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan

ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).

Illahude (1999) mengemukakan bahwa Suhu Permukaan Laut (SPL) di Selat

Makassar selama musim timur berkisar 28,2-28,7oC dan pada musim barat naik

sebesar 0,8oC dengan suhu sekitar 29,4

oC. Lapisan termoklin utama ditemukan

7

pada 60-300 m dengan suhu menurun dari 27,0oC hingga 10,0

oC dengan gradien

mencapai 0,7oC/m.

2.2. Klorofil-a

Istilah klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu Chloros artinya hijau dan

phyllos artinya daun. Ini diperkenalkan tahun 1818, dimana pigmen tersebut

diekstrak dari tumbuhan dengan menggunakan pelarut organik. Hans Fischer

peneliti klorofil yang memperoleh nobel prize winner pada tahun 1915 berasal

dari Technishe Hochschule, Munich Germany.

Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan

bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang berperan dalam proses fotosintesis

tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia.

Klorofil-a berkaitan erat dengan produktifitas yang ditunjukkan dengan

besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan

pelagis. Menurut Valiela (1984), produktifitas primer perairan pantai melebihi

60% dari produktifitas yang ada di laut.

Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson.

Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari sebaran

konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a

tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi

upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur.

Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di

perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai

konsantrasi nutrien di perairan lebih kecil. Nontji (2005) menyatakan bahwa

konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia rata-rata 0,19 mg/m3 selama musim

barat sedangkan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Fitoplankton sebagai tumbuhan

yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis

dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara

dan menghasilkan senyawa seperti karbohidrat. Karena adanya kemampuan untuk

membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai

produsen primer. Oleh karena itu kandungan korofil-a dalam perairan merupakan

salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat

kesuburan suatu perairan (Yamaji, 1966).

8

Laju produktifitas primer lingkungan laut ditentukan oleh bebagai faktor

fisika. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik

adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel

(fitoplankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang

produktifitas primer dan kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan

informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah

bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi

klorofil-a yang hampir homogen.

Menurut Nybakken (1992), produktifitas primer perairan pantai sepuluh kali

lipat produktifitas perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar

zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan lepas pantai.

Perairan pantai menerima sejumlah unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalam bentuk

PO4 dan NO3 melalui run off (aliran air) dari daratan. Zat-zat hara ini menjadi

sumber nutien bagi pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton.

2.3 Pola Angin dan Arus

Letak geografis sangat berperan dalam menentukan pergerakan arus di

perairan Selat Makassar. Dengan letak selat yang memanjang dalam arah utara-

selatan, maka sepanjang tahun arus permukaan tidak mengalami perubahan arah,

yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah

pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makassar

bagian Selatan.

Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa secara umum gerakan arus

permukaan laut terutama disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus permukaan laut antara lain:

(1) Bentuk topogafi dasar laut dan pulau-pulau yang ada disekitarnya; (2) Gaya

Coriolis dan Arus Ekman; (3) Perbedaan tekanan air; (4) Arus musiman;

(5)Upwelling dan sinking dan (6) Perbedaan densitas.

Terdapat tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu

dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik

(Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan

sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari

Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan

9

penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga

tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water

(NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera

Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Ketika sampai di ujung selatan

Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air ini akan berbelok ke arah timur

bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini kemudian terus bergerak

memasuki ujung selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki ujung

selatan Samudera Pasifik selatan. Pada ujung bagian selatan Samudera Hindia

sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar khatulistiwa dan naik ke

permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera

Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati

khatulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997).

Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem

peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh

tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air

yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa

air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik

mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang

dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) atau biasa disebut Indonesian

Seas Throughflow. ARLINDO dianggap sebagai “bocoran” dari massa air di

bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera Hindia Tropis

melalui perairan Indonesia.

Menurut Wyrtki (1987), arus-arus permukaan yang melintas di Indonesia

sangat menarik, karena hal ini menunjukkan pertalian yang erat antar arah dan

kekutan arus dan kekuatan dan peralihan musim (monson) di Indonesia. Selain

itu, arus sangat erat dengan proses-proses oseanografi lainnya, antara lain

terjadinya proses upwelling dan downwelling yang terjadi di Laut Banda dan

tempat-tempat lainnya.

10

Gambar 2. Sirkulasi Massa Air (the great conveyor belt) (W. Broecker 1997).

ARLINDO merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal

iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air

dengan salinitas rendah yang dibawa oleh ARLINDO diketahui mempengaruhi

perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al.

2004).

Selat Makassar merupakan perairan yang terletak antara Pulau Kalimantan

dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara

dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah selatan. Kondisi oseanografi

Selat Makassar ini selain dipengaruhi oleh dinamika oseanografi dalam selat itu

sendiri juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan

iklim. Perairan pantai Kalimantan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang

mengapit Selat Makassar juga berperan terhadap dinamika massa air selat tersebut

(Illahude, 1978).

Pada bulan Mei-November dipengaruhi oleh angin musim dari tenggara,

mencapai puncaknya pada bulan Juni-Agustus dan disebut sebagai musim timur

karena angin bertiup dari timur ke barat. Pada bulan Desember-April dipengaruhi

oleh angin musim dari barat laut, mencapai puncaknya pada bulan Desember-

Februari dan disebut sebagi musim barat karena angin bertiup dari barat ke timur.

Bulan Maret-Mei dan September-November disebut sebagai musim peralihan

11

dimana pada musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode

musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji, 2005).

Pergantian angin muson dari muson barat ke muson timur menimbulkan

berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makassar. Selama angin

muson barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya

nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada muson timur, terjadi peningkatan salinitas

akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang

bersalinitas tinggi dari Samudra Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke

perairan Selat Makassar (Wyrtki, 1961).

Selain tingkat salinitas, perubahan pada arus permukaanpun terjadi, hal ini

dipengaruhi dengan adanya angin muson. Selama muson timur, massa air dari

Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir

bersama ke Laut Jawa. Pada muson barat, massa air dari Laut Jawa bertemu

dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah

Laut Flores.

Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang

berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor

maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat

Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat

bertiupnya angin muson tenggara antara Juli–September dan minimum saat

muson barat laut antara November–Februari (Meyers et al., 1995; Gordon et al.,

1999; Hautala et al., 2001).

Pada Gambar 3 sistem arus lintas Indonesia menunjukkan adanya aliran

massa air yang mengalir sepanjang tahun dari arah utara ke selatan perairan Selat

Makassar dan juga arus permukaan yang mengalir dari laut Jawa masuk ke Selat

Makassar dan sebagian ke Laut Flores.

12

Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia di Perairan Indonesia (Gordon et al.

1996)

2.4 Upwelling

Upwelling didefinisikan sebagai fenomena naiknya massa air yang dingin

dan berat serta kaya zat hara dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan atas atau

menuju permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan

kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Hutabarat

dan Evans, 1985).

Laut dikenal memiliki stratifikasi massa air secara vertikal yaitu air di

lapisan dalam mempunyai suhu lebih rendah dan zat hara lebih tinggi

dibandingkan di permukaan. Peristiwa upwelling menyebabkan suhu lebih rendah

dan zat hara menjadi lebih tinggi di permukaan. Di daerah upwelling, lapisan

termoklin akan naik, bahkan mungkin mencapai permukaan dan terjadi anomali

suhu rendah di permukaan dibanding sekitarnya (Smith, 1968).

Upwelling yang terjadi di laut lepas sering dijumpai di sepanjang

khatulistiwa dimana angin pasat bertiup sepanjang tahun, menyebabkan daerah

divergen berkembang begitu kuat, sehingga lapisan termoklin bergerak vertikal ke

permukaan. Keadaan pada daerah divergen tersebut menimbulkan “kekosongan”

pada lapisan permukaan yang diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya

(Barnes and Hughes, 1988).

13

Terdapat tiga proses yang menyebabkan yang dapat menyebabkan

terjadinya upwelling. Pertama, ketika terdapat tikungan yang tajam di garis pantai

yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan

massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi

kekosongan tersebut.

Gambar 4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai

(Thurman and Trujillo, 2004)

Kedua, ketika terjadi proses upwelling, dimana upwelling itu sendiri terjadi

karena adanya angin yang berhembus terus menerus dengan kecepatan cukup

besar dan dalam waktu yang cukup lama. Bila angin bertiup ke suatu arah sejajar

dengan garis pantai atau benua, garis pantai berada di sebelah kiri dari angin

untuk Belahan Bumi Utara atau di sebelah kanan dari angin untuk Belahan Bumi

Selatan, maka akibat gaya coriolis (gaya yang timbul akibat perputaran bumi pada

porosnya) massa air yang bergerak sejajar dengan garis pantai akan dibelokkan

arahnya menjauhi garis pantai dengan arah tegak lurus angin ke laut lepas. Angin

menyebabkan air laut menjauhi pantai. Peristiwa tersebut menyebabkan

terbentuknya “ruang kosong” di daerah pantai yang kemudian diisi oleh massa air

di bawahnya dengan cara bergerak vertikal ke permukaan (Wyrtki, 1961).

14

Gambar 5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh offshore wind (Thurman and

Trujillo, 2004)

Selain dua kejadian di atas, upwelling juga dapat terjadi bila arus dalam

(deep current) membentur penghalang di dasar laut (mid-ridge ocean) yang

kemudian arus tersebut dibelokkan ke atas menuju permukaan (Barnes dan

Hughes, 1988).

Gambar 6. Mekanisme terjadinya upwelling oleh mid-ridge ocean (Thurman and

Trujillo, 2004)

Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini

disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)

dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan

menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air

permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada

air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti

kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam

menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997).

15

Menurut Wyrtki (1961), upwelling dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Tipe stationer, yaitu bila upwelling terjadi sepanjang tahun meskipun dengan

intensitas yang bervariasi, misalnya upwelling di pantai Peru.

2. Tipe periodic, yaitu bila upwelling yang terjadi hanya selama satu musim saja,

contohnya upwelling di Selat Makassar bagian selatan (Illahude, 1971).

3. Tipe berganti, yaitu upwelling dan sinking terjadi bergantian dalam satu tahun.

Pada satu musim (misalnya musim timur di Indonesia) terjadi upwelling dan

musim berikutnya (musim barat) terjadi sinking. Tipe seperti ini terjadi di Laut

Banda dan laut Arafura.

Menurut Diposaptono (2010), upwelling di bagian selatan perairan Selat

Makassar terjadi pada waktu musim tenggara (Juni – September). Pada saat terjadi

upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu berkisar antara 26,4oC–

27,8oC, kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik dengan

mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi.

2.5 Sistem Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh (inderaja) merupakan teknologi yang

digunakan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan

jalan menganalisis menggunakan kaidah ilmiah terhadap data yang diperoleh

dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau

gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1987).

Dalam kaitannya dengan teknologi inderaja, maka segala bentuk informasi

tersebut akan direkam oleh sebuah alat yang dinamakan sensor. Pada sistem

penginderaan jauh, warna air laut menjadi transfer radiasi dalam sistem sinar

matahari ke perairan dan ke sensor satelit. Sensor pada satelit menerima pantulan

radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Radiasi sinar matahari

pada saat menuju perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul

udara, dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan

diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti

fitoplankton (Sutrisno,2002).

Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah

adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya.

Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh

16

seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near

sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang

dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro (Susilo,

1997).

2.7 Satelit MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah salah

satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite,

yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National

Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program

jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan,

atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. Satelit Terra berhasil

diluncurkan pada Desember 1999 dan kemudian disempurnakan dengan satelit

Aqua pada tahun 2002.

MODIS mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari dengan whisk-

broom scanning imaging radiometer. MODIS dengan lebar view atau tampilan

lebih dari 2300 km menyediakan citra radiasi matahari yang direfleksikan pada

siang hari dan emisi termal 13 siang/malam di seluruh penjuru bumi. Resolusi

spasial MODIS berkisar dari 250-1000 m (Janssen dan Huurneman, 2001).

MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian

705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar

cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan

gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 band (36

interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1

µm=1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega byte

setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bit, artinya obyek dapat dideteksi dan

dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen

citranya pixel (picture element) berukuran 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7)

dan 1.000 m (band 8-36) dalam dunia penginderaan jauh (remote sensing), ini

dikenal dengan resolusi spasial. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di

permukaan bumi setiap hari untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari

untuk kawasan di bawah lintang 30 termasuk Indonesia.

17

Data yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal

yakni warna perairan, suhu permukaan laut (SPL), dan produktifitas primer

perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil. Seluruh produk tersebut sangat

berguna untuk membantu penelitian mengenai sirkulasi lautan, biologi laut, dan

kimia laut termasuk siklus karbon di perairan.

Tabel 1. Spesifikasi Kanal-Kanal Satelit Pengamat Bumi MODIS

Kegunaan Utama Kanal Panjang Gelombang

(nm)

Resolusi Spasial (m)

Darat/Awan/Aerosols Boundaries 1 620-670 250

2 841-876 250

Darat/Awan/Aerosols Properties 3 459-479 500

4 545-565 500

5 1230-1250 500

6 1628-1652 500

7 2105-2155 500

Ocean Color/Fitoplankton/

Biogeokimia

8 405-420 1000

9 438-448 1000

10 483-493 1000

11 526-536 1000

12 546-556 1000

13 662-672 1000

14 673-683 1000

15 743-753 1000

16 862-877 1000

Atmospheric

Water Vapor

17 890-920 1000

18 931-941 1000

19 915-965 1000

Surface/Cloud Temperature 20 3.660-3.840 1000

21 3.929-3.989 1000

22 3.929-3.989 1000

23 4.020-4.080 1000

Atmospheric Temperature 24 4.433-4.498 1000

25 4.482-4.549 1000

Cirrus Clouds Water Vapor 26 1.360-1.390 1000

27 6.535-6.895 1000

28 7.175-7.475 1000

Cloud Properties 29 8.400-8.700 1000

Ozone 30 9.580-9.880 1000

Surface/Cloud Temperature 31 10.780-11.280 1000

32 11.770-12.270 1000

Cloud Top Altitude 33 13.185-13.485 1000

34 13.485-13.785 1000

35 13.785-14.085 1000

36 14.085-14.385 1000

Sumber : Maccherone, 2005.