8

Click here to load reader

20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Masmawati : Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan 

115

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN

Masmawati Balai Penelitian Tanaman Serelia, Maros

ABSTRAK Kerusakan lingkungan sebagai akibat dari penggunaan teknologi produksi sekarang dirasakan dimana-mana. Fenomena tersebut akibat dari penerapan teknologi yang kurang bijaksana, tidak ramah lingkungan dan tidak tepat sasaran. Mengantisipasi meluasnya dampak buruk yang ditimbulkan, maka upaya pemanfaatan teknologi biosida yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disosialisasikan. Tulisan ini mencoba mengangkat tentang urgensi pemanfaatan agen biologi yang ada di alam sebagai komponen pengendali organisme pengganggu tanaman. Refrensi dan acuan temuan-temuan teknologi dari tiga jenis agensia biologis yang lazim digunakan seperti Nuclear Polyhedrisis Virus (NPV), Basillus turingiensis, Beauveria bassiana dan unjuk kerjanya dilapangan juga disajikan dalam makalah ini, termasuk peluang pengembangan secara massal khususnya untuk jamur Beauveria bassiana. Kebijakan yang mendukung seperti pada kasus implementasi program Sekolah Lapangan Pengendali hama Terpadu (SLPT) yang notabenenya merupakan penjabaran dalam rangka menjawab issue lingkungan yang senantiasa mengemuka ditampilkan sebagai ilustrasi. Intinya adalah menekankan dan merekomendasikan peluang dan pemanfaatan agensia hayati dialam untuk dikemas menjadi pestisida biologi. Kata kunci: Teknologi pertanian dan lingkungan

PENDAHULUAN Pengendalian hayati merupakan tehnik dasar yang penting dalam konsep pengendalian hama, yakni dengan memanfaatkan musuh alami serangga hama itu sendiri yang berupa predator, parasit dan patogen. Agen hayati yang paling banyak digunakan adalah dari jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Basillus turingiesis, sedangkan untuk jamur dan virus yang lazim digunakan masing-masing adalah Beauveria bassiana dan Nuclear Polyhedrosis Virus. Agensia pengendali hayati tersebut dapat dipadukan dengan komponen pengendali lain seperti penggunaan varietas tahan, cara bercocok tanam, pengaturan waktu tanam yang bekerjanya tidak bertentangan dengan fungsi faktor-faktor ekologis alami dari suatu ekosistem pertanian. Pemaduan komponen-komponen pengendali yang bertujuan untuk memanfaatkan metoda-metoda yang memenuhi syarat-syarat ekonomi, toksikologi dan ekologi disebut sebagai pengendalian hama terpadu(PHT). Implementasi dari konsep pengendalian hama terpadu sebenarnya sudah dicetuskan oleh para ahli sejak dekade 1970an, akan tetapi produk formalnya baru berlangsung sekitar 1986 sejak dikeluarkannya Inpres no.3/1986 tentang pelarangan penggunaan 57 jenis pestisida untuk komoditi padi yang dianggap telah terbukti menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada waktu itu, kasus-kasus resistensi serangga terhadap suatu pestisida tertentu maupun resurgensi serangga oleh aplikasi pestisida tertentu merupakan fenomena yang mengemuka dan memerlukan penanganan serius. Kebijakan tersebut merupakan langkah awal dan dukungan politis yang nyata dari pemerintah tentang perlunya penggunaan agen biologi sebagai teknologi alternatif untuk menekan gangguan-gangguan organisme yang merusak tanaman.

Page 2: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007  

116

FAKTA KONDISI AKTUAL DI LAPANGAN Ditingkat petani, masalah pencemaran lingkungan sebagai akibat penerapan teknologi produksi yang berbasis pada konsep ramah lingkungan belum dirasakan secara nyata. Ini disebabkan karena petani belum mampu melihat dan menganalisis variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur ada tidaknya indikasi suatu lingkungan untuk dikategorikan telah tercemar atau tidak. Disatu sisi, dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, menurunnya tingkat kesuburan tanah, menyempitnya lahan-lahan produktif karena beralih fungsi, maka peningkatan produksi dan produktivitas hasil tetap menjadi tumpuan utama akan tetapi kebijakan peningkatan produksi harus berbasis kepada keselamatan lingkungan. Dengan begitu maka nantinya penciptaan komponen teknologi produksi sudah ada kajian amdalnya. Referensi dan kajian-kajian terapan yang bersangkut paut dengan teknologi pengelolaan organisme pengganggu tanaman cukup banyak tersedia. Pada komoditi jagung misalnya, kasus kerusakan dan infestasi yang signifikan menurunkan hasil adalah disebabkan oleh penggerak batang (Ostrinia furnacalis Guenee) dan penggerek tongkol (Helicoverpa armigera Hubner), yang status ekonominya masuk kategori hama utama yang dominan(major pest). Refrensi Duffey et al. (1986) dan Proce (1986) dalam Surapaty (1998) menyimpulkan bahwa telah diidentifikasi 8 jenis agen biologi yang dapat digunakan untuk mengendalikan kedua serangga target tersebut. Untuk penggerek tongkol tercatat ada 3 jenis kelas cendawan masing-masing Aspergillus species, Metarhizium anipsopleae dan Beauveria bassiana, 3 jenis dari kelas virus masing-masing isolat HanPV, Nonocclude bacullovrus dan Ascovirus, 2 jenis dari kelas protozoa masing-masing Microsporidia dan Nosema heliothis, 2 jenis kelas bakteri masing-masing Serotype (Thuringiensis) dan Serotype 7 (Aizawai), sedangkan untuk penggerek batang tercatat ada 2 jenis kelas cendawan masing-masing Beauveria bassiana dan Aspegillus species, 1 jenis dari kelas protozoa yakni Leptomonas species dan 1 jenis dari kelas bakteri yakni Serotype 1(Thuringiensis) yang bersifat feeding deterrent. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya potensi agen hayati di alam cukup banyak untuk dimanfaatkan sebagai salah satu anasir komponen pengendali, akan tetapi informasi temuan-temuan teknologi yang berkembang saat ini belum digunakan secara maksimal akibat keterbatasan dana dan kurang memadainya kualitas kepakaran sumber daya pengelolanya.

PERFORMANSI PENERAPAN TEKNOLOGI DITINGKAT PETANI Pada percobaan beberapa produk biopestisida terhadap ulat Spodoptera exiqua Hubner pada bawang merah nampak rata-rata kumulatif kepadatan populasi pada setiap periode pengamatan menunjukkan hasil yang nyata dibanding kontrol berdasarkan hasil uji BNT (00,5) (Tabel 1). Ini berarti bahwa biopestisida seperti Dipel WP, Thuricide HP dan HP masing-masing mempunyai kemampuan menekan peningkatan populasi larva Spodoptera exiqua pada bawang merah (Burhanuddin Nasir, 1999).

Page 3: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Masmawati : Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan 

117

Tabel 1. Rata-rata kumulatif kepadatan populasi larva Spodoptera exiqua pada tanaman bawang merah dalam 7 interval pengamatan

Jumlah larva (ekor/rumpun) pada hari setelah tanam (HST) Perlakuan 11 18 25 32 39 46 53

Diperl WP Thuricde HP Turex HP Kontrol

1,00 a 0,82 a 1,07 a 2,11 b

1,88 a 1,83 a 2,01 a 4,30 b

3,33 a 3,40 a 3,45 a 5,93 b

4,51 a 3,92 a 4,34 a 7,25 b

4,58 a 4,74 a 5,74 a 8,43 b

3,70 a 3,74 a 4,51 a 6,90 b

3,75 a 3,37 a 3,77 a 5,96 b

BNJ 005 KK (%)

1,07 30,35

1,28 18,11

1,47 12,86

0,93 6,60

1,79 10,85

1,99 14,96

2,07 17,39

Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %. Sumber : Burhanuddin Nasir (1999)

Santoso et al. (1992) telah mencoba penggunaan patogen Nuclear Polyhedrosis Virus(NPV) dan Basillus thuringiensis (Bt) untuk serangga ulat grayak. Hasilnya sangat signifikan yakni pada aplikasi dengan konsentrasi 7,8 x 106 PIB, tingkat mortalitas serangga dapat mencapai angka 90%, hal yang sama juga ditemukan Arifin (1988). Pada penelitian Tenrirawe et al. (1996) pada 2 lokasi (Soppeng dan Wajo) memberi gambaran bahwa penggunaan NPV dan Basillus thuringiensis pada dosis tertinggi memberikan hasil yang paling efektif dalam pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura). Penggunaan NPV pada konsentrasi 5,5 x 109 PIB/ml dan Basillus thuringiensis dari 1500g/ha dapat menekan Spodoptera litura pada kedua lokasi, tingkat hasil yang dicapai pada perlakuan dosis 5,5 x 109 PIB/ml adalah 1,1 t/ha lebih tinggi 20% dari produksi yang dicapai dengan penggunaan insektisida. Pada tahun 1999, efektifitas Nuclear Polyhidrosis Virus (NPV) dan Cytoplasmic Polyhidrosis Virus (CPV) dicobakan pada larva penggerek batang jagung Ostrinia furnacalis menunjukkan kedua jenis virus tersebut diatas potensial mengendalikan serangga target. Pada pengamatan 12 HSI yaitu untuk perlakuan CPV, menunjukkan efektifitasnya lebih besar dibanding perlakuan NPV. Pada konsentrasi 0.30 ml mortalitas larva mencapai 82,78% pada pengamatan 8 HSI dan 91,85% pada pengamatan 12 HSI (Tabel 2).

Page 4: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007  

118

Tabel 2. Rata-rata mortalitas larva Ostrinia furnacalis oleh akibat perlakuan NPV dan CPV

Pengamatan hari setelah inokulasi Perlakuan Dosis

(ml) 8 10 12 NPV Kontrol CPV Kontrol

0,15 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30

-

0,15 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30

-

10,00 b 10,00 b 16,00 a 18,00 a 18,23 a 20,00 a 0,00 c

27,78 d 48,85 c 44,07 c 63,52 b 66,48 b 82,78 a 0,00 c

11,67 c 13,33 c 20,67 b 21,67 ab 23,33 ab 25,00 a 0,00 d

36,11 e 50,18 d 58, 15 e 66,86 b 73,15 b 90,18 a 0,00 f

11,67 d 15,00 c 23,33 b 25,00 b 26,67 b 30,00 a 0,00 a

31,11 e 50,18 d 59,81 c 68,52 b 73,15 b 91,85 a 0,00 f

KK (%) NPV CPV

20,80 14,50

13,80 8,80

10,00 7,10

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda pada uji BNT 5% Sumber : Yasin (1999)

Pemanfaatan jamur Beauveria bassiana sebagai agen pengendali penggerek batang jagung telah banyak digunakan (Soehardjan dan Sudarmadji, 1993) di China digunakan untuk mengendalikan Ostrinia nubinalis (Yang, 1988; Steinhause, 1967). Jamur B.bassiana menginfeksi serangga melalui kutikula, mulut, sistem pencernaan dan pernafasan. Jamur ini mempunyai enzim lipase yang digunakan untuk merusak lapisan epidermis kulit dan enzim protease yang dapat mempengaruhi terbukanya kulit serangga. Pada penelitian Surtikanti et al. (1997) menunjukkan bahwa penyemprotan B.bassiana dengan konsentrasi 5 x 107, 5 x 106, 5 x 105 konidia/ml efektif menekan kerusakan daun dan bunga jantan, jumlah lubang gerekan dan panjang gerekan serangga Ostrinia furnacalis. Penyemprotan dengan konsentrasi 5 x 107 konidia/ml setiap minggu dapat meningkatkan hasil 80,7%, sedangkan pada penelitian Yasin et al. (1997) efektivitas cendawan mulai nampak pada 3 HSI. Inokulasi cendawan B.bassiana dengan konsentrasi 5 x 105, 5 x 106, 5 x 107 konidia/ml efektif mengendalikan larva Ostrinia furnacalis. Pada penelitian Soenartiningsih et al. (1999) bahwa cendawan B.bassiana yang telah disimpan pada suhu kamar selama 2 bulan dengan penyemprotan 3 kali dengan konsentrasi 5 x 107 masih cukup efektif mengendalikan penggerek batang jagung. Penyimpanan inokulum selama 3 bulan ternyata terjadi penurunan yang sebaliknya disebabkan karena terjadi penurunan daya kecambah. Dari hasil analisis ragam menujukkan bahwa ada perbedaan nyata diantara perlakuan tetapi jika dibandingkan dengan kontrol atau tanpa aplikasi cendawan B.bassiana, maka terlihat perbedaan sangat nyata (Tabel 3).

Page 5: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Masmawati : Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan 

119

Tabel 3. Rata-rata jumlah lubang gerekan dan persentase kerusakan bunga jantan akibat O. furnacalis. Lanrang, MH. 1998.

7 MST 9 MST

Perlakuan Jumlah lubang Gerekan

Kerusakan Bunga jantan

(%)

Jumlah lubang

Gerekan

Kerusakan Bunga jantan

(%) B0P0

B0P1

B0P2

B0P3

B1P0

B1P1

B1P2

B1P3

B2P0

B2P1

B2P2

B2P3

B3P0

B3P1

B3P2

B3P3

1,74 a 1,52 a 1,35 a 1,65 a 0,79 b 0,85 ab 0,87 ab 0,90 ab 0,65 b 0,76 b 0,74 b 0,83 ab 0,54 b 0,50 b 0,68 b 0,72 b

3,13 a 3,46 a 3,60 a 4,16 a 1,05 bc 1,30 b 1,82 b 1,85 b 0,79 c 0,80 c 1,04 bc 1,11 b 0,26 b 0,53 c 0,81 c 1,08 bc

1,92 e 1,90 e 1,67 e 1,78 e 0,91 g 1,02 f 1,01 f 1,12 f 0,80 g 0,88 g 0,85 g 0,92 g 0,65 g 0,63 g 0,79 g 0,82 g

5,81 a 6,38 a 6,74 a 6,32 a 1,30 bc 2,34 b 2,86 b 2,91 b 1,05 bc 1,34 bc 2,08 b 2,49 b 0,52 c 0,81 c 1,07 bc 1,88 bc

KK (%) Interaksi 18,7 12,6 20,8 17,7 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada taraf 5% uji berganda Duncan

B0 = Tanpa Beauveria P0 = Inokulum Beauveria tanpa disimpan B1 = Penyemprotan Beauveria 1 kali P1 = Inokulum Beauveria disimpan 1 bulan B2 = Penyemprotan Beauveria 2 kali P2 = Inokulum Beauveria disimpan 2 bulan B3 = Penyemprotan Beauveria 3 kali P3 = Inokulum Beauveria disimpan 3 bulan Sumber : Soenartiningsih et al. (1999) Demikian pula mengenai kerusakan bunga jantan pada tanaman yang tanpa diaplikasi dengan cendawan B.bassiana, maka kerusakan dapat mencapai 5,81 – 6,74% tetapi yang aplikasi dengan cendawan B.bassiana dengan satu kali diaplikasi, maka kerusakan bunga jantan mencapai 1,30% pada media yang tanpa penyimpanan dan yang disimpan 1-3 bulan, maka persentase kerusakan bunga jantan antara 2,342 – 2,91%. Pemberian cendawan B.bassiana pada dua kali aplikasi dengan tanpa penyimpanan maka kerusakan bunga jantan 1,05% dan yang disimpan 1 – 3 bulan kerusakan bunga jantan mencapai 1,34 – 2,49%. Pemberian cendawan B.bassiana pada tiga kali aplikasi dengan tanpa penyimpanan dan satu bulan penyimpanan, maka kerusakan bunga jantan dari 0,52 – 0,81%. Sedangkan pada inokulum yang disimpan 2 – 3 bulan kerusakan bunga jantan hanya mencapai 1,07 – 1,88%. Dari hasil analisis ragam dapat dikatakan bahwa ada perbedaan nyata diantara perlakuan dan jika dibandingkan dengan kontrol sangat berbeda nyata. Perlakuan yang terbaik adalah pemberian cendawan B.bassiana yang diaplikasi tiga kali dengan penyimpanan inokulum dari 0 – 1 bulan. Menurunnya kerusakan bunga jantan disebabkan karena meningkatnya mortalitas penggerek batang, menurut Robert (1981) (Cit.Suntoro, 1991) meningkatnya mortalitas suatu serangga karena di dalam cendawan tersebut mengandung suatu racun dan telah dapat dibuktikan dengan mengadakan analisis kimia dari tubuh cendawan B.bassiana dan dapat ditemukan antara lain beauvericine, beauverilide, bassianolide, istolide serta asam

Page 6: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007  

120

oskalat. Dari beberapa hasil penelitian diungkapkan adanya kandungan racun tersebut mengakibatkan terjadinya patolisis secara agresif pada larva maupun imago baik pada serangga Coleoptera maupun serangga Lepidoptera. Oleh sebab signifikannya cara kerja dari jamur tersebut dalam menekan serangga hama, maka pengembangan dari jamur tersebut perlu diupayakan segera. Pendekatan-pendekatan ke arah itu telah dilakukan dengan pembiakan-pembiakan dalam skala penelitian pada beberapa media tumbuh dan dilakukan uji efektivitas pada beberapa tingkat konsentrasi dan dicobakan pada beberapa jenis serangga target. Yohana et al. (1996) membiakan pada medium sekam padi, jagung, kentang, ubi kayu, campuran serbuk kayu + kacang hijau + pasir (perbandingan 15:3:1/1 liter air steril) dan medium beras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa medium yang terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan cendawan B.bassiana adalah beras dengan produksi spora 4,07 x 107 /ml (12HSI) dengan daya kecambah 98,6%, menyusul medium jagung dan produksi spora 7,71 x 106 /ml (12HSI) dengan daya kecambah 94,9%. Pada pengujian pertumbuhan dan perkembangan spora cendawan B.bassiana pada 5 media yakni PDA, beras, jagung, sekam padi dan serbuk gergaji yang dilakukan oleh Soenartiningsih et al. (1997) ditemukan bahwa media yang terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan cendawan B.bassiana adalah media beras dengan jumlah spora 4,83 x 108 /ml pada pengamatan 10 HSP, 6,25 x 108 /ml pada 12 HSP, 6,37 x 108 /ml pada 14 HSP dan 6,43 x 108 /ml pada 16 HSP dan berbeda sangat nyata dibanding semua perlakuan pada semua interval. Media sekam padi dan serbuk gergaji terlihat tidak nyata pada semua interval dan merupakan media yang terendah pertumbuhan sporanya. Pertumbuhan sporanya dan daya kecambah yang terbaik diperoleh pada umur 10 – 12 HSP, karena pada media beras dan jagung dapat mencapai 94 – 96%.

PRINSIP KEBIJAKSANAAN YANG DIPERLUKAN Sebagai tindak lanjut Inpres No 3/1986 sebagai upaya untuk lebih

memasyarakatkan penggunaan agen biologi sebagai asas pengendali serangga, pemerintah menyelenggarakan program pelatihan dan pendidikan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bekerjasama dengan FAO. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar secara nasional masyarakat petani lebih mengenal teknologi pengendalian serangga dengan tidak menggunakan senyawa kimia sintetis, akan tetapi memanfaatkan potensi musuh alami yang ada. Petani dibekali komponen teknologi PHT yang mencakup teknologi budidaya (rotasi tanaman, waktu tanam, penggunaan varietas tahan, ambang ekonomi). Partisipasi petani dalam menerapkan teknologi dicatat dan dibandingkan dengan petani yang tidak dilatih PHT (non-SLPHT). Demikian pula proporsi dan persentase petani yang mengikuti sistematika tata tertib dalam berusaha tani dalam rangka pelaksanaan panduan dan tata laksana kerja lapangan untuk program pengendalian hama terpadu lebih besar tercatat pada petani yang mengikuti program (petani SLPHT) dibanding petani yang ada disekitarnya yang tidak dilibatkan dalam program sekolah lapangan (petani non-SLPHT). Misalnya saja, aplikasi insektisida secara berjadwal pada petani non-SLPHT proporsinya sangat tinggi (100%) dikedua lokasi (Sidrap dan Pinrang) dibanding petani yang dilatih (petani SLPHT) (Fatahuddin, 1998). Demikian pula, tingkat efisiensi penggunaan input khususnya insektisida dalam program PHT (peserta sekolah lapang PHT) tercermin dari hasil analisis R/C-ratio yang menunjukkan bahwa nilainya pada SLPHT cenderung lebih besar dibanding dengan nilainya pada non-SLPHT baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Apabila petani non-SLPHT beralih atau menerapkan konsep PHT sebagaimana yang diterapkan oleh petani SLPHT, maka mereka akan mendapat keuntungan dari setiap panggunaan satu-satuan biaya sebesar Rp. 2,4 pada musim penghujan dan Rp. 19,6 pada musim

Page 7: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Masmawati : Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan 

121

kemarau. Produksi hasil yang dicapai oleh petani SLPHT lebih tinggi daripada petani non-SLPHT yang berarti menunjukkan bahwa kontribusi pengendalian hama secara terpadu terjadi peningkatan produksi/pendapatan petani adalah melalui pengurangan pemakaian pestisida dan pengamatan potensi hasil.

KESIMPULAN Agen biologi yang banyak dicobakan pada beberapa lokasi dan range perlakuan adalah masing-masing Nuclear Polyhedrosis Virus dan Cytoplasmic Polyhedrosis Virus untuk jenis virus, Bacillus thuringiensis untuk jenis bakteri dan Beauveria bassiana untuk jenis jamur. Agen biologi tersebut potensil untuk dikembangkan menjadi pestisida biologi dimasa akan datang karena hasilnya cukup signifikan menekan pertumbuhan dan perkembangan serangga target.

DAFTAR PUSTAKA Arifin, M., Fauzy Djafri dan I. Made Samudra. 1988. Kematian, perkembangan dan daya

rusak ulat grayak Spodoptera litura akibat residu monokratofos pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan.

Bahtiar, Sudjak Saenong,M., M. Yusuf Makmun. 1986. Kontribusi SLHPT dalam Peningkatan produksi padi di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X, PEI, PFI dan HPTI komda Sul-Sel. Maros 10 Januari 1996.

Burhanuddin Nasir. 1999. Pengendalian Hama Bawang Merah Spodoptera exiqua Hbn dengan bioinsektisida Bacillus thuringiensi Berl. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian . Palu, 3-4 Nopember 1999.

Fatahuddin, 1998. Laju penerapan konsep pengendalian hama terpadu oleh petani padi di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI, PEI, PFI dan HPTI komda Sul-Sel. Maros. 5 Desember 1998.

Santosa, T., Dadang, D. Sartiani, S. Widiyati dan K.H. Muftakim. 1992. Penggunaan Nuclear Polyhedrosis virus Spodoptera litura dan Bacillus thuringiensis untuk pengendalian hama penggerek daun kedelai. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu.

Soehardjan, M dan Sudarmadji. 1993. Pemanfaatan organisme mikro sebagai bioinsektisida di negara yang sedang berkembang. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XII (1) : 7-10

Soenartiningsih, M. Yasin., Surtikanti dan D. Baco. 1997. Pertumbuhan dan perkembangan spora cendawan Beauveria bassiana pada beberapa media. Hasil penelitian Hama dan Penyakit 1996/1997.

Soenartiningsih, D. Baco, dan M. Yasin. 1999. Pengendalian Penggerek batang jagung dan Penggerek tongkol dengan cendawan entomopatogenik Beauveria bassiana Hubner. Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Pengendalian Hama Terpadu. Cisarua, 30 Juni 1999. Program Nasional PHT. Departemen Pertanian.

Steinhaus, A.E. 1963. Insect Pathology an Anvanced Treatise. Vol 2. Academic Press. New York. pp. 134-151.

Page 8: 20. Pemanfaatan Teknologi Pertanian Ramah Masmawati

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007  

122

Surapati, U. 1998. Pengendalian hama tanaman jagung (Helicoverpa armigera Hubner dan Ostrinia furnacalis Guence) dalam perspektif ekologi kimia. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI, PEI, PFI dan HPTI Komda Sul-Sel. Maros. 5 Desember 1998.

Surtikanti, Soenartiningsih, M. Yasin, dan D. Baco. 1997. Efektivitas cendawan Beauveria bassiana Vuillemin terhadap Ostrinia furnacalis Guenee di lapangan. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit 1996/1997.

Tenrirawe, J. Tandiabang., M.S. Pabbage, dan D. Baco. 1996. Pengaruh takaran NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) dan Bacillus thuringiensis terhadap ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai. Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X, PEI, PFI dan HPTI Komda Sul-Sel. Maros. 10 Januari 1996.

Yang, J. 1988. Using insect to battle pest. Agric. Information. Dev. Bull. 32p

Yasin, M., Soenartiningsih, Surtikanti dan D. Baco. 1997. Pengendalian hama penggerek batang Jagung Ostrinia furnacalis dengan cendawan Beauveria bassiana Vuillemin. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit 1996/1997.

Yasin. M. 1999. Uji patogenitas ”in vitro” Nuclear Polyhedrisis Virus (NPV) dan Cytoplasmic Polyhedrosis Virus (CPV) pada Penggerek Batang Jagung Ostrinia furnacalis (Tesis). Program Pascasarjana. UNHAS. hal. 107

Yohana, R. , A. Papulung, dan Ade Rosmana. 1996. Pengaruh beberapa macam media terhadap pertumbuhan dan perkembangan cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuill (Moniliaceae : Hypomycetes). Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X, PEI, PFI dan HPTI Komda Sul_Sel. Maros, 10 Januari 1996.