20080129031035Skripsi Dan Daftar Pustaka

  • Upload
    hanitis

  • View
    770

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah bagi setiap orangtua. Kehadiran anak membawa kebahagiaan bagi seluruh keluarga serta sebagai

penerus yang diharapkan akan membawa kebaikan bagi keluarga. Memiliki anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikaruniai anak yang normal dalam hal ini mengalami retardasi mental. Menurut 2007) Kabid Dikdas Dinas Pendidikan 3000 DIY anak

(Kedaulatan

rakyat,

terdapat

sebanyak

berkebutuhan khusus usia 4-15 tahun yang sudah bersekolah di 58 SLB yang tersebar di Yogyakarta. Jumlah anak retardasi mental yang sudah bersekolah di SLB yang tersebar di Yogyakarta tahun 2005/2006 1928 orang. Jumlah ini belum termasuk yang tidak di sekolahkan orangtuanya di SLB ataupun yang tidak terdata sama sekali. Retardasi mental ditandai dengan fungsi anak dalam capabilities yaitu fungsi intelektual di bawah ratarata disertai ketidakmampuan fungsi adaptasinya. Anak tidak mampu untuk mandiri sebagai individu yang mampu melakukan aktivitas sehari-hari sendiri (motoriknya), keterbatasan dalam memahami perilaku sosial dan perkembangan keterampilan sosial. Selain itu, kondisi anak yang retardasi mental akan membawa pengaruh pada kemampuan anak dan keterlibatan anak untuk berfungsi dalam setting lingkungan seperti di kehidupan

2

belajar, bermain, bekerja, sosialisasi dan interaksinya (Wenar & Kerig, 2000). Konsep pemikiran orangtua tentang anak idaman yaitu keturunan yang sehat fisik maupun mental mempengaruhi reaksi orangtua terhadap anak retardasi mental. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua pertama kali adalah merasa kaget, mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak atau marah-marah karena sulit untuk mempercayai kenyataan retardasi mental anaknya. Kondisi tersebut memicu tekanan dan kesedihan terhadap orangtua, khususnya ibu sebagai figur terdekat dan

umumnya lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan anak. Penelitian Bowlby (Notosoedirjo & Latipun, 2002) mengemukakan bahwa kelekatan anak sangat kuat kepada ibunya hingga usia 3-6 tahun dan setelah itu mulai berkurang. Reaksi yang terjadi membuat orangtua sulit menerima kondisi anak retardasi mental padahal memiliki anak retardasi mental membutuhkan perhatian yang lebih besar jika di bandingkan dengan anak yang normal. Hasil dari wawancara tanggal 21 November 2006 yang

dikemukakan ibu S yang memiliki anak retardasi mental sambil menangis mengatakan sudah merasa lelah merawat anaknya karena menurut ibu S anaknya sulit untuk diatur dan tidak bisa melakukan kegiatan sehari-harinya sendiri. Anaknya juga membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan anaknya yang lain, ibu S juga pernah mencoba meninggalkan anaknya karena takut akan masa depan serta pengasuhan anaknya jika dia sudah tidak ada.

3

Hasil dari wawancara lainnya dengan Ibu T yang memiliki putra retardasi mental yang ditemui di SLB Pembina pada waktu yang sama mengungkapkan bahwa ia merasa lelah mengurus anaknya yang satu ini terutama dalam merawat anaknya karena menghabiskan biaya yang banyak sekali terutama pada saat obatnya habis dan harus kontrol ke dokter di Rumah Sakit Sardjito. Ibu T juga mengatakan saya bingung harus berbuat apalagi. Kondisi anak retardasi mental akan menambah kesulitan yang dihadapi orangtua meliputi perhatian penuh orangtua dalam

perawatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Menurut Rosen (Clifford et al, 1986) tahapan reaksi orangtua yaitu menyadari anaknya berbeda dari kebanyakan anak lainnya, mengenali retardasi mental anaknya, mencari penyebab dan penanganannya kemudian baru bisa menerima kondisi tersebut. Pada tahap penanganan biasanya orang tua akan banyak mencari tahu keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosa dari dokter maupun terapis, yang bisa memberikan prognosis lebih positif. Banyak orangtua mempunyai pengertian terbatas mengenai proses tumbuh kembang anak, membuat para orangtua cemas dan membawa anaknya ke dokter dan rumah sakit (Notosoedirjo & Latipun, 2002). Banyaknya beban yang dirasakan ibu sebagai figur terdekat anak retardasi mental dalam mengasuh akan menyebabkan stres pengasuhan. Kondisi stres ibu yang memiliki anak retardasi mental akan mengalami gangguan dalam ibu proses dalam pengasuhan mengasuh karena anaknya

pengalaman

menjadi

seorang

4

memunculkan reaksi-reaksi psikologis yang positif maupun negatif yang mendalam. Hal ini sesuai dengan model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) yang mengatakan bahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orangtua terhadap anak, pada pokoknya menjelaskan ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. Penelitian Harris & McHale (Lam & Mackenzie) juga mengatakan bahwa secara psikologis, ibu kehilangan harapan akan anak yang normal menerima kenyataan kehilangan kesempurnaan dari anaknya, mengintegrasikan anak ke dalam

keluarga dan merupakan tanggungjawab ibu yang kekal dalam proses pembesaran anak yang berbeda dari oranglain. Ketidakpastian jangka panjang dari kelangsungan hidup anak, kesehatan dan pertumbuhan anak di masa depan adalah faktor penambah stres secara psikologis. Berbagai macam tanggungjawab ibu baik pada saat sekarang maupun terhadap masa depan anak retardasi mental akan menambah tekanan dan goncangan yang dialami individu. Stres pengasuhan yang dialami ibu anak retardasi mental akan berpengaruh pada

tanggungjawab ibu dalam merawat anaknya. Hal ini akan berakibat buruk dalam pengasuhan ibu karena stres yang dialami seseorang seringkali tidak memiliki perilaku sehat positif. Stres pengasuhan juga akan menghambat pekerjaan yang biasa dilakukan sehari-hari bahkan menghambat pertumbuhan individu dalam kehidupannya. Penelitian Nachschen, Woodford & Minnse (Gunarsa, 2006) menunjukkan bahwa rendahnya tingkat adaptasi keluarga cenderung menghambat kemampuan mereka menghadapi tantangan

5

pengasuhan, khususnya dalam melakukan pengasuhan terhadap anakanak yang mengalami gangguan perkembangan. Akan tetapi, menurut Hasting (Gunarsa, 2006) stres pengasuhan bukan hanya ditentukan oleh kemampuan adaptif keluarga yang bersangkutan tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku anak dalam hal ini retardasi mental. Menurut Lam et al (Gunarsa, 2006) perilaku anak akan mempengaruhi sikap ibu dalam mengasuh anak-anak. Tekanan yang dirasakan oleh orangtua karena tidak mengetahui bagaimana cara penanganan atau pengasuhan anak yang mengalami retardasi mental secara efektif (Maramis, 1994). Oleh sebab itu untuk membuat keadaan menjadi lebih nyaman di butuhkan cara untuk mengurangi stres pengasuhan yang sesuai dengan kondisi yang dialami ibu yang memiliki anak retardasi mental. Banyak faktor yang mempengaruhi individu yang mengalami stres pengasuhan, Menurut Johnston dkk (2003) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan sebagai faktor penentu stres pengasuhan yaitu seperti coping skills, problem solving, maternal culpability, religious affiliation, maternal psychological well-being, child behavioral problems, status dan kepuasaan pernikahan, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, kesehatan anak. Menurut merupakan Johnston dkk (2003) salah satu faktor yang internal berperan

faktor

dalam

diri

individu

sendiri

mempengaruhi stres adalah coping skills. Coping melibatkan cakupan yang lebih luas dari potensi strategi, keterampilan dan kemampuan yang efektif dalam mengelola peristiwa stres dalam hal ini stres

6

pengasuhan. Strategi coping yang digunakan untuk mengurangi stres pengasuhan yang dialami ibu yang memiliki anak retardasi mental yaitu active coping. Carver, Scheider & Weintraub (1989) berpendapat active coping yaitu proses pengambilan langkah-langkah secara aktif dengan mencoba mencari cara untuk mengatasi pengaruh dari sumber tekanan. Alasan pemilihan active coping karena berbagai aspek di dalam active coping terfokus pada pola perilaku dan kognitif sebagai langkah aktif dalam mengurangi beban yang dihadapi ibu yang memiliki anak retardasi mental dalam proses pengasuhan yang berkelanjutan. Pola coping ini diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul misalnya kurangnya pengetahuan dan informasi ibu mengenai anak retardasi mental sehingga membutuhkan langkah aktif seperti perencanaan terhadap perawatan dan

penanganan anak retardasi mental sehingga ibu tidak merasa putus asa terhadap masa depan anaknya yang yang bisa di antisipasi lebih awal. Sejalan dengan perencanaan diatas ibu bisa lebih memiliki pemikiran dan tindakan yang positif dan menjadi lebih optimis terhadap anak retardasi mental ini dengan bimbingan ibu dan tenaga profesional akan bisa berfungsi terhadap kehidupan anak retardasi mental dengan lebih baik. Active coping ini digunakan ibu yang memiliki anak retardasi mental untuk lebih berpikir secara aktif dalam menangani masalah yang dihadapinya secara langsung pada pokok permasalahan yang dihadapi. Oleh sebab itu perlu dibuktikan secara empirik mengenai permasalahan pada penelitian ini yaitu Apakah ada hubungan antara

7

active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental?

B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, seperti:

1.

Secara teoritis Penelitian tentang hubungan antara active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental ini akan memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan, psikologi klinis dan psikologi sosial serta cabang ilmu psikologi lainnya yaitu psikologi keluarga.

2.

Secara Praktis Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan

sumbangan kepada para orangtua terutama ibu yang memiliki anak retardasi mental untuk berusaha dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang tidak dapat dirubah ini sebagai anugerah yang ditakdirkan Tuhan. Melalui active coping akan terbukanya

pemikiran para ibu yang memiliki anak retardasi mental terhadap aspek-aspek baru dan pengalaman baru serta mengubah cara pandang ibu terhadap kondisi anak retardasi mental yang menjadi

8

pedomannya dalam mendidik anaknya dengan baik tanpa perlu mengalami stres pengasuhan yang berlebihan dalam merawat dan ketakutan akan perkembangan masa depan anak retardasi mental.

D. Keaslian Penelitian Berbagai penelitian yang membahas tentang Stres Pengasuhan dan coping memang sudah sering dilakukan namun khususnya pada variabel coping sebagian besar tidak spesifik terhadap coping yang digunakan. Peneliti mengacu pada berbagai penelitian yang hampir sama walaupun dengan salah satu variabel yang berbeda dengan tujuan untuk tetap menjaga keaslian penelitian. Beberapa penelitian sebelumnya antara lain adalah:

a.

Pediatric Parenting Stress Among Parents of Children

with Type 1 Diabetes: The Role of Self-Efficacy, Responsibility, and Fear oleh Streisand dkk (2005). Penelitian ini menggunakan subjek 134 orangtua yang memiliki anak yang didiagnosa diabetes tipe 1. Penelitian ini menggunakan variabel tergantung yaitui Pediatric Parenting Stress yang diukur dengan skala the Pediatric Inventory for Parents (PIP) yang menggunakan teori dari Streisand dkk. Skala ini terdiri dari 42 aitem meliputi aspek communication, emotional functioning, child medical care, dan role functioning. Sedangkan pada variabel bebasnya terdiri dari self efficacy, responsibility for diabetes management, dan fear of hypoglycemia. Hasil penelitian menunjukkan self efficacy, responsibility for diabetes management,

9

dan fear of hypoglycemia digunakan sebagai intervensi perilaku untuk mengurangi atau mengontrol pediatric parenting stress dan menunjukkan peningkatan kondisi psikologis orangtua serta kondisi kesehatan anak.

b.

Parenting Stress and Parenting Competence Among

Latino Men Who Batter oleh Baker, Perilla & Norris (2001). Penelitian ini menggunakan subjek 43 pasangan imigran Latin yang tinggal di bagian tenggara wilayah metropolitan. Pasangan di bagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari 27 pasangan yang mana untuk pasangan prianya pernah dipanggil ke pengadilan untuk menghadiri program intervensi yang berkaitan dengan perilaku kekerasan terhadap pasangannya. Partisipasi wanita yang mengalami abuse dan anaknya secara sukarela. Kelompok kedua sebagai pembanding terdiri dari 17 pasangan yang kurang memiliki kecocokan satu sama lain. Kelompok ini dipilih melalui program dan pelayanan dari Missionaris Khatolik. Kelompok ini mencoba

menciptakan kelompok pembanding yang memiliki karakteristik yang hampir sama dari segi umur, pendidikan, dan kesamaan wilayah. Variabel stres pengasuhan dan competence di ukur dengan menggunakan Perceived Stress Scale (PSS) dari Berry dan Jones. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres pengasuhan dan competence antara ibu dan ayah tidak seragam. Stres pengasuhan pada ayah tidak berhubungan dengan variabel lain sebagai prediktor sedang stres pengasuhan pada ibu berkaitan abuse secara fisik. Hasil lainnya parenting competence pada ayah

10

berhubungan

dengan

abuse

psikologis

dan

fisik

sedangkan

parenting competence pada ibu tidak berhubungan dengan variabel lain sebagai prediktor

c.

Coping and Survival in Lung Cancer: A 10-Year Follow-

Up oleh Faller & Bulzebruk (2002). Penelitian ini menggunakan subjek yang didiagnosa awal menderita penyalit kanker paru-paru dan belum memulai perawatan utama. Penelitian ini juga

menggunakan metode cohort berjumlah 103 orang yang diikuti selama 10 tahun serta dipilih dengan teratur di Thorax-Clinic Heidelberg-Rohrbach in Heidelberg Jerman diantara juni tahun 1989 dan desember 1991. Penelitian ini menggunakan variabel coping yang terdiri dari depressive coping dan active coping terhadap kelangsungan hidup penderitan penyakit kanker paru-paru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode wawancara dan self report berdasarkan aspek dari The Freiburg Questionnaire on Coping With Illness. Active coping terdiri dari lima aspek yaitu seeking information about illness and treatment, undertaking problem-solving efforts, making plans of action and following them, intending to live more intensively, dan deciding to fight against the illness sedangkan Depressive coping juga terdiri dari lima aspek yaitu brooding, arguing with fate, pitying oneself, acting impatiently and taking it out on others, dan withdrawing from other people. Hasil dari penelitian ini yaitu coping style dapat memprediksi kelangsungan hidup penderita panyakit kanker paru-paru. Active coping menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih panjang pada

11

penderita penyakit kanker paru-paru sedangkan depressive coping menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih pendek. Berdasarkan penelitian diatas dan sejauh peneliti ketahui, maka penelitian ini dapat dikatakan orisinil dari segi : 1. Keaslian Topik Variabel tergantung yang digunakan dalam penelitian ini adalah Stres pengasuhan sedangkan untuk variabel bebasnya adalah active coping. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, hal ini berbeda dari penelitian sebelumnya dari segi variabel bebasnya yaitu self efficacy, responsibility dan fear oleh Streisand dkk (2005). Penelitian kali ini mengangkat topik Active Coping sebagai variabel bebasnya sehingga topik dalam penelitian ini dapat dikatakan orisinil. 2. Keaslian Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Abidin (Ahern, 2004) untuk variabel tergantungnya yaitu Stres pengasuhan, sedangkan untuk variabel bebasnya yaitu Active Coping menggunakan teori dari Ayers, Sandler, West & Roosa (1999). Hal ini berbeda dari penelitian Stres pengasuhan sebelumnya yaitu yang menggunakan teori dari Streisand dkk (2005) dan Berry dan Jones (1995), sedangkan untuk penelitian active coping oleh Faller & Bulzebruk (2002)

menggunakan teori dari Freiburg. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini orisinil dari segi teori. 3. Keaslian Alat Ukur

12

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa skala. Aitemaitem dalam skala ini di buat sendiri oleh peneliti yang mewakili masing-masing aspek dari variabel bebas dan tergantung yaitu stres pengasuhan dan active coping. Dari seluruh aspek tersebut penulis menyusun blueprint sehingga menghasilkan skala dengan aitem-aitem yang orisinil. Hal ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang menggunakan alat ukur dengan metode

wawancara oleh Faller & Bulzebruk (2002).

Dalam hal ini,

penelitian ini juga dapat dikatakan orisinil dari segi alat ukur. 4. Keaslian Subjek Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu-ibu anak retardasi mental yang menyekolahkan anaknya di SLB N Pembina Yogyakarta. Hal ini berbeda dengan penelitian penelitian

sebelumnya yang menggunakan ibu anak yang memiliki penyakit diabetes tipe 1, orangtua imigran latin yang mengalami abuse oleh pasangannya serta subjek yang didiagnosa awal menderita penyalit kanker paru-paru dan belum memulai perawatan utama. Belum ada penelitian yang menggunakan karakteristik dan subjek serta lokasi yang sama sehingga dapat juga dikatakan bahwa subjek dalam penelitian kali ini adalah orisinal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

13

A.

Stres Pengasuhan

1.

Pengertian Stres Pengasuhan Menurut Abidin (Ahern, 2004) stres pengasuhan digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampaui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran orangtua dan interaksi antara orangtua dengan anak. Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) juga memberikan tidak perumpamaan bahwa stres

mendorong terhadap

kearah

berfungsinya

pengasuhan

orangtua

anak,

pada

pokoknya

menjelaskan

ketidaksesuaian

respon orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. Menurut Patterson, DeBaryshe & Ramsey ((Ahern, 2004)

mengatakan stres pengasuhan yaitu stres memberikan peranan dalam gangguan praktek pengasuhan dan tidak berfungsinya manajemen keluarga. Satiadarma (Gunarsa, 2006) menyebutkan stres pengasuhan memiliki kekhasan sendiri yaitu meliputi (1) kondisi anak (termasuk perilaku anak yang menyimpang), (2) kondisi kehidupan

menyeluruh yang menimbulkan stres, (3) dukungan sosial (4) fungsi keluarga, dan (5) sumber material. Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas dapat

disimpulkan bahwa stres pengasuhan yaitu tidak berfungsinya peran orangtua dalam pengasuhan dan interaksi dengan anak karena ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik

14

dengan

anak

retardasi

mental

yang

menghambat

dalam

kelangsungan hidupnya.

2.

Aspek-aspek Stres Pengasuhan Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) memberikan perumpamaan bahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orangtua terhadap anak, pada pokoknya menjelaskan ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi konflik

dengan anak-anak mereka. Model ini tentang pengasuhan orang tua yang dicerminkan dalam aspek-aspeknya meliputi : 1. The Parent Distress Stres pengasuhan disini menunjukkan pengalaman perasaan stres orangtua sebagai sebuah fungsi dari faktor pribadi dalam memecahkan personal stres lain yang secara langsung

dihubungkan dengan peran orangtua dalam pengasuhan anak. Tingkat stres pengasuhan ini berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami gangguan. Indikatornya meliputi :

a.

Feelings of competence yaitu Orangtua diliputi oleh

tuntutan dari perannya dan kekurangan perasaan akan kemampuannya dalam merawat anak. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya pengetahuan orangtua dalam hal

perkembangan anak dan keterampilan menejemen anak yang sesuai.

b.

Sosial isolation yaitu orangtua merasa terisolasi

secara sosial dan ketidakhadiran dukungan emosional dari teman sehingga meningkatkan kemungkinan tidak

15

berfungsinya

pengasuhan

orangtua

dalam

bentuk

mengabaikan anaknya.

c.

Restriction imposed by parent role yaitu adanya

pembatasan pada kebebasan pribadi, orangtua melihat dirinya sebagai hal yang yang dikendalikan dan yang dikuasai oleh kebutuhan dengan dan permintaan penghargaan anaknya. terhadap

Berhubungan

hilangnya

identitas diri yang sering diekspresikan. Seringkali, adanya kekecewaan dan kemarahan yang kuat yang dihasilkan oleh frustrasinya.

d.

Relationships with spouse yaitu adanya konflik

antar hubungan orangtua yang mungkin menjadi sumber stres utama. Konflik utamanya mungkin melibatkan

ketidakhadiran dukungan emosi dan material dari pasangan serta konflik mengenai pendekatan dan strategi manajemen anak.

e.

Health of parent yaitu sampai taraf tertentu,

efektivitas proses pengasuhan orangtua terhadap anak dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orangtua.

f.

Parent depression

yaitu orangtua mengalami

beberapa gejala depresi ringan hingga menengah dan rasa bersalah (kecewa), yang mana pada suatu waktu dapat

melemahkan kemampuannya untuk menangani tanggungjawabnya terhadap pengasuhan. Permasalahan ini secara

16

khas dihubungkan dengan tingkatan depresi meliputi keluhan hilangnya energi. 2. The Difficult Child Stres pengasuhan disini digambarkan dengan menghadirkan perilaku anak yang sering telibat dalam mempermudah

pengasuhan atau malah lebih mempersulit karena orangtua merasa anaknya memiliki banyak karakteristik tingkah laku mengganggu. Indikatornya meliputi :

a.

Child

adaptability

yaitu

anak

menunjukkan

karakteristik perilaku yang membuat anak sulit untuk diatur. Stres orangtua berhubungan dengan tugas pengasuhan orangtua yang lebih sulit dalam ketidakmampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan lingkungan.

b.

Child demands yaitu anak lebih banyak permintaan

terhadap orangtua berupa perhatian dan bantuan. Umumnya anak-anak sulit melakukan segala sesuatu secara mandiri dan mengalami hambatan dalam perkembangannya.

c.

Child mood

yaitu orangtua merasa anaknya

kehilangan perasaan akan hal-hal positif yang biasanya merupakan cirri khas anak yang bisa dilihat dari ekspresinya sehari-hari.

d.

Distractability

yaitu

orangtua

merasa

anaknya

menunjukkan perilaku yang terlalu aktif dan sulit mengikuti perintah. 3. The Parent-Child Dysfunctional Interaction

17

Stres pengasuhan disini menunjukkan interaksi antara orangtua dan anak yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari anak terhadap orangtua serta tingkat harapan orangtua terhadap anak. Indikatornya meliputi :

a.

Child reinforced parent yaitu orangtua merasa tidak

ada penguatan yang positif dari anaknya. Interaksi antara orangtua dengan anak tidak mengahasilkan perasaan yang nyaman terhadap anaknya.

b.

Acceptability

of

child

to

parent

yaitu

stres

pengasuhan orangtua karena karakteristik anak seperti intelektual, fisik, emosi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua sehingga lebih besar dapat

menyebabkan penolakan orangtua.

c.

Attachment

yaitu

orangtua

tidak

memiliki sehingga

kedekatan

emosional

dengan

anaknya

mempengaruhi perasaan orangtua. Dengan pengasuhan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek stres

khususnya pada ibu yang memiliki anak retardasi

mental adalah fungsi ibu yang berperan dalam pengasuhan anak retardasi mental. Aspek-aspek stres yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh model teori stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) yaitu the parent distress, the difficult child, the parent-child dysfunctional

interaction.

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Pengasuhan

18

Menurut

Johnston

dkk

(2003)

faktor-faktor faktor

yang

dapat stres

mempengaruhi

persepsi

dan

sebagai

penentu

pengasuhan yaitu :

1. a.

Personal, family dan environmental factor Child Behavioral Problems dan dukungan sosial Perilaku anak yang bermasalah berhubungan dengan stres pengasuhan yaitu perasaan keibuan yang meliputi aspek kemampuan, penerimaan ibu serta perasaan terisolasi. Stres pengasuhan pada aspek ibu yang merasa terisolasi

menunjukkan peningkatan dukungan sosial yaitu dengan bergabung bersama para orangtua lain yang memiliki anak dengan hambatan dalam perkembangan akan

mempermudah penyesuaian orangtua terhadap kondisi anak sehingga mengurangi perasaan terisolasi. b. Family Cohesion Family cohesion menekankan pada berbagi rasa

tanggungjawab dan dukungan interpersonal di rumah. Hasil penelitian terisolasi, menunjukkan merasa lebih penurunan yakin rasa tersinggung, keterampilan

terhadap

pengasuhan ketika mendapat bantuan dan dukungan dari anggota keluarga yang lain. Pengenalan sistem dukungan informal adalah sebagai penyedia intervensi terhadap

keluarga anak yang berkebutuhan khusus c. Family Income

19

Family income meliputi status sosial ekonomi, dukungan keluarga dan sumberdaya coping yaitu coping skills . Menurut Halonen & Santrock (1999) coping melibatkan cakupan yang lebih luas dari potensi strategi, keterampilan dan kemampuan yang efektif dalam mengelola peristiwa stres. Menurut Rathus (1991) kemampuan untuk meramalkan membawa individu menguatkan diri untuk tidak menghindar dan mengaktifkan cara menghadapi masalah (coping).

Kemampuan untuk meramalkan ini akan lebih memiliki nilai bagi internal seseorang dibandingkan eksternalnya. Menurut Passer & Smith (2001) juga menambahkan bahwa faktor protective terhadap kemampuan individu untuk berhasil

dalam mengatasi stres dalam hal ini berhubungan dengan stres pengasuhan yaitu coping skills yang efektif. Family

income berhubungan negatif dengan stres pengasuhan khususnya pada perasan ketidakmampuan dalam peneriman terhadap anak. Ketiadaan yang relatif dari karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan anak-anak dengan hambatan dalam perkembangan menyebabkan harapan yang tidak realistis pada pihak orang tua terhadap anak-anak ini, dengan demikian mendorong ke arah kemampuan menerima yang lebih rendah terhadap anak tersebut. Penjelasan yang lain adalah bahwa bertemunya kebutuhan keuangan dasar suatu keluarga dapat menggantikan waktu ibu untuk

mengakses dan mengambil keuntungan dari dukungan dan

20

sumber

daya

informasi,

sehingga

menghasilkan

suatu

kemampuan menurun untuk menerima anaknya. d. Maternal Psychological Well-Being Kesejahteraan psikologis para ibu anak-anak dengan fragile x syndrome berhubungan dengan stres pengasuhan

khususnya pada aspek perasaan terisolasi dan penerimaan. Jika seorang ibu sedang menderita dari permasalahan psikologis berat, ibu mungkin tidak memiliki sumber daya pribadi yang cukup tersedia untuk orang lain atau anaknya, dengan demikian meningkatnya perasaan terisolasi pengurangan keterampilan perasaan pengasuhan akan kemampuan dan dalam

juga sehingga mempengaruhi

kesejahteraan psikologis. Johnston dkk (2003) juga mengungkapkan potensi demografik lain seperti psikososial dan faktor biologis sebagai prediktor stres pengasuhan yaitu meliputi maternal age, jaringan sosial dan

dukungan, problem solving dan coping skills, religious affiliation, sumberdaya komunitas, status dan kepuasaan pernikahan,

pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, kesehatan anak, maternal culpability yang dihubungkan dengan x-linked disorder. Tambahan pula untuk faktor biologis seperti FMRI protein, activation ratio dan status methylation. Menurut Raikes dan Thompson (2005) faktor prediktor stres pengasuhan yaitu terdiri dari self efficacy dan dukungan sosial.

21

Menurut Svavarsdottir, McCubbin & Kane (Gunarsa, 2006) menyebutkan resiliency factor atau faktor ketangguhan

mempengaruhi stres pengasuhan. Stres pengasuhan dapat teratasi jika keluarga memiliki rasa kebersamaan dan ketangguhan dalam menghadapi tuntutan kehidupan. Berdasarkan pendapat dan uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stres yang meliputi faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi coping, resiliency factor, problem solving, self efficacy, maternal culpability, religious

affiliation, maternal psychological well-being, child behavioral problems, FMRI protein, activation ratio dan status methylation. Faktor eksternal meliputi status sosial ekonomi, maternal age, pekerjaan individu, dukungan sosial.

4.

Stres pengasuhan Mental

pada Ibu yang memiliki Anak Retardasi

Stres pengasuhan memiliki kekhasan sendiri yaitu meliputi (1) kondisi anak (termasuk perilaku anak yang menyimpang), (2) kondisi kehidupan menyeluruh yang menimbulkan stres, (3)

dukungan sosial (4) fungsi keluarga, dan (5) sumber material. Kondisi anak yang tidak normal membuat orangtua mengalami kekhawatiran misalnya masalah finansial, kesempatan yang

terbentang di depan anaknya serta realitas yang akan dihadapi anak pada saat dewasa kelak. Ibu sebagai figur terdekat anak seringkali merasa khawatir dengan masalah emosional yang akan

22

muncul anaknya.

dalam

kemampuan

menyediakan serta

kebutuhan

untuk

Ketakutan-ketakutan

kecemasan-kecemasan

semacam ini tak jarang memicu perceraian orangtua anak retardasi mental. Hal ini sesuai dengan penelitian Block (Mangunsong, 1998) bahwa masalah perkawinan, bunuh diri, dan alkoholisme lebih banyak muncul dalam keluarga yang memiliki anak yang tidak normal. Reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi mental berupa perasaan dan tingkah laku adalah berbeda-beda misalnya

khususnya yang dialami oleh ibu meliputi menolak kehadiran anaknya dengan bersikap dingin, menolak dengan rasionalisasi yaitu dengan menahan anaknya di rumah, perasaan bersalah karena melahirkan anak yang berkelainan, bingung dan malu secara sosialnya, perasaan melindungi anak secara berlebihan terlebih ibu yang sering berinteraksi dengan anaknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Floyd & Zmich (Clifford et al, 1986) mengatakan bahwa ibu yang memiliki anak retardasi mental biasanya lebih bersikap negatif pada diri dan pasangannya. Perasan ibu lebih menyalahkan diri dan pasangannya terhadap kelainan pada anaknya. Penelitian Hodap & Zigler (Wenar & kerig, 2000) menyebutkan bahwa ibu anak retardasi mental lebih mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anaknya. Ibu anak retardasi mental lebih menggunakan penegasan kalimat yang pendek kata dan penekanan atau

serta

mengulang

kunci

ketika

mengajarkan

23

anaknya berbicara. Perilaku ibu terhadap anak retardasi mental di motivasi oleh persepsi terhadap anak retardasi mental yang memerlukan pengajaran, bersamaan dengan ketakutan ibu

mengenai kemampuan anak untuk belajar berbicara. Ironisnya, ibu merasa terganggu kebebasannya sehingga beresiko pada berbagai kesulitan komunikatif bagi anak. Terdapat perbedaan antara dukungan yang diberikan orangtua yaitu ayah dan ibu dalam mengatasi permasalahan yang muncul dengan memiliki anak retardasi mental. Ibu lebih membutuhkan dukungan sosial-emosional dalam waktu yang lama dan lebih banyak informasi tentang kondisi anak serta dalam hal merawat anak, sebaliknya ayah lebih terfokus pada finansial dalam

membesarkan anak.

B.

Active Coping

1.

Pengertian Active Coping Carver, Scheider & Weintraub (1989) berpendapat bahwa active coping adalah proses pengambilan langkah-langkah secara aktif dengan mencoba mencari cara untuk mengatasi pengaruh dari sumber tekanan. Moss & Billing (Besser & Priel, 2003) mengatakan active coping terdiri dari strategi termasuk didalamnya usaha berupa perilaku yang dihadapi secara langsung dengan tantangan dan usaha untuk mengatasi penilaian individu terhadap suatu peristiwa.

24

Menurut Ayers, Sadler, West & Roosa (Ruffalo, 1998) active coping melibatkan pemecahan masalah dan kognisi yang positif terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa active coping yaitu usaha individu yang melibatkan kognitif dan perilaku secara aktif untuk mencari cara untuk mengatasi suatu peristiwa yang penuh dengan tekanan. Aspek-aspek Active Coping Menurut Ayers, Sandler, West & Roosa (Ruffalo, 1998)

2.

tanggapan individu terhadap active coping yaitu :

a.

Cognitive

decision

making,

yaitu

berpikir atau merencanakan langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dengan cara mencari jalan yang terbaik.

b.

Direct problem solving, yaitu usaha

yang dilakukan untuk memperbaiki situasi yang menimbulkan masalah dengan berbuat sesuatu untuk menjadikan keadaan lebih baik.

c.

Seeking understanding, yaitu usaha

untuk menemukan apa makna dari masalah yang sedang dihadapi atau mencoba lebih mengerti permasalahan tersebut dengan lebih baik.

d.

Positive cognitive restructuring, yaitu

berpikir dengan lebih positif dalam melihat masalah sehingga

25

dapat lebih optimis tentang masa depan dan mampu untuk mengontrol masalah apapun yang terjadi.

Berdasarkan aspek-aspek active coping yang telah disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek active coping yaitu cognitive decision making, direct problem solving, seeking

understanding, dan positive cognitive restructuring

C. Hubungan Antara Active Coping dengan StresPengasuhan pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental Kehadiran anak retardasi mental membawa pengaruh di dalam kehidupan keluarga terutama ibu sebagai figur terdekat anak. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa penanganan anak retardasi mental merupakan resiko psikiatri keluarga. Beckman, Dyson, Rodriguez & Murphy (Lam & Mackenzie, 2002) mengindikasikan bahwa orangtua anak dengan berbagai gangguan (ketidakmampuan) lebih mengalami stres pada tingkatan yang tinggi dibandingkan orangtua anak yang normal. Penelitian Lam & Mackenzie (2002) mengidentifikasikan tujuh stressor pada ibu anak down syndrome yang baru lahir sampai usia enam tahun yaitu kelahiran tak terduga dari anak yang tidak normal, penerimaan terhadap anak, kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut anak, cemas akan masa depan, kurangnya pengetahuan, pengaruh kehadiran anak down syndrome terhadap hubungan pernikahan serta

26

pembatasan sosial. Banyak ibu yang merasa takut akan kelangsungan hidup anaknya dalam waktu dekat maupun yang akan datang. Keraguan yang dapat di lihat adalah tentang penempatan sekolah bagi anak dan kesehatan anak down syndrome. Keraguan orangtua akan masa depan anaknya juga meliputi kemampuan orangtua dalam mengasuh anaknya, kemampuan anak untuk menjadi mandiri dan mencari uang. Hasil penelitian juga menemukan bahwa banyak ibu yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hasil diagnosa maupun pengasuhan anaknya. Banyak ibu yang tidak mempunyai gagasan apapun terhadap anaknya bahkan tidak mempercayai

diagnosa dokter dengan berusah mengingat apa yang dikatakan dokter dan mereka seperti tidak merasakan apapun karena terkejut dengan pengetahuan yang baru saja mereka dengar. Hanya sedikit ibu yang menyatakan terima kasih kepada dokter yang memberikan pandangan positif terhadap perkembangan masa depan anak mereka. Tekanan yang dirasakan oleh orangtua karena tidak mengetahui bagaimana cara penanganan atau pengasuhan anak yang mengalami retardasi mental secara efektif (Maramis, 1994). Oleh sebab itu untuk membuat keadaan menjadi lebih nyaman dibutuhkan cara untuk mengurangi stres yang sesuai dengan kondisi yang dialami ibu yang memiliki anak retardasi mental. Proses yang digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres adalah coping (kemampuan menangani masalah). Strategi coping yang digunakan untuk mengurangi stres yang dialami ibu yang memiliki anak retardasi mental salah satunya

27

adalah

active

coping.

Carver,

Scheider

&

Weintraub

(1989)

berpendapat active coping yaitu proses pengambilan langkah-langkah secara aktif dengan mencoba mencari cara untuk mengatasi pengaruh dari sumber tekanan. Coping merupakan usaha untuk mengontrol, mengurangi, berusaha untuk bertoleransi terhadap ancaman yang mendorong ke arah stres. Halonen & Santrock (1999) juga

menambahkan bahwa coping melibatkan cakupan yang lebih luas dari potensi strategi, keterampilan dan kemampuan yang efektif dalam mengelola peristiwa stres. Hasil penelitian Seltzer, Greenberg, Krauss (1995) yaitu terjadi penurunan gejala depresi yang signifikan ketika para ibu yang memiliki anak retardasi mental menggunakan active coping. Hal ini di

karenakan active coping memiliki hubungan negatif dengan gejala depresi dengan mengabaikan sumber stres yang dialami oleh para ibu. Strategi ini dianggap sebagai hal yang positif, dengan menggunakan strategi ini individu dapat mulai bekerjasama dengan tindakan yang mempunyai potensi untuk merubah situasi yang penuh dengan stres atau dapat mempertimbangkan dan memperoleh hikmah yang penting dari situasi tersebut. Strategi ini menandai adanya suatu usaha untuk menguasai atau menggunakan kendali terhadap peristiwa yang penuh dengan stres dan untuk menggunakan peristiwa yang penuh dengan stres sebagai media untuk pertumbuhan pribadi. Melalui active coping, individu mampu untuk berpikir dengan lebih positif dalam melihat masalah sehingga dapat lebih optimis tentang masa depan dan mampu untuk mengontrol masalah apapun

28

yang terjadi. Kartono (1989) mengungkapkan kemauan menerima situasi dan kesulitan yang dihadapi dengan sikap yang rasional dan lapang dada membuat seseorang terbebas dari konflik batin yang menekan. Goldfried & Merbaum (Astuti, 2003) mengatakan bahwa kemampuan mengontrol diri merupakan kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur serta mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah positif. Kuatnya kemampuan mengontrol diri membuat individu mempunyai daya tahan terhadap stres yang tinggi (sarafino, 1994). Active coping juga meliputi usaha yang dilakukan untuk memperbaiki situasi yang menimbulkan masalah dengan berbuat sesuatu untuk menjadikan keadaan lebih baik. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah diri dan lingkungan serta tidak terlalu larut dalam permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gayton & Walker (Clifford et al, 1986) menyebutkan kebutuhan orangtua anak retardasi mental adalah adanya informasi yang akurat lebih awal untuk mengurangi kemungkinan kecemasan dan lebih mempersiapkan diri dengan perasaan bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk dapat mengatasi hal tersebut. Berbagai usaha dan

perencanaan serta penilaian yang berbeda tentang anak retardasi mental akan membuat ibu lebih dapat memiliki pemikiran positif terhadap kemampuan ibu dalam merawat dan membesarkan anaknya sehingga menjadi lebih optimis terhadap anak retardasi mental ini dengan bimbingan ibu dan tenaga profesional akan bisa berfungsi dengan baik dalam kehidupannya.

29

D. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara antara active coping dengan stres pengasuhan. Semakin tinggi active coping maka stres pengasuhan ibu yang memiliki anak retardasi mental akan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah active coping maka stres pengasuhan ibu yang memiliki anak retardasi mental akan semakin tinggi.

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Identifikasi Variabel Variabel Penelitian : Stres Pengasuhan : Active Coping

1. Variabel Tergantung 2.Variabel Bebas

B.

Definisi Operasional

Guna menghindari kesalahpahaman dan membatasi ruang lingkup permasalahan serta menghindari pengambilan data yang tidak terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan, maka dalam penelitian ini perlu diajukan batasan operasional variabel-variabel penelitian secara jelas.

1. Stres pengasuhanStres pengasuhan merupakan tidak berfungsinya peran

orangtua dalam pengasuhan dan interaksi dengan anak karena

30

ketidaksesuaian dengan anak

respon retardasi

orangtua mental

dalam yang

menanggapi menghambat

konflik dalam

kelangsungan hidupnya Stres pengasuhan diungkap dengan skala yang disusun

berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh model teori stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) yaitu the parent distress, the difficult child, the parent-child dysfunctional interaction. Dalam skala ini, semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi pula stres pengasuhan dan semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah pula tingkat stres

pengasuhan.

2.

Active Coping Active coping yaitu usaha individu yang melibatkan kognitif dan perilaku secara aktif untuk mencari cara untuk mengatasi suatu peristiwa yang penuh dengan tekanan (Carver, Scheider &

Weintraub, 1989; Moss & Billing; Ayers, Sadler, West & Roosa ). Active coping diungkap dengan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Ayers, Sandler, West & Roosa yaitu cognitive decision making, direct problem solving, seeking understanding, dan positive cognitive restructuring. Dalam skala ini, semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi pula active coping yang dimiliki subjek sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah pula active coping yang dimiliki subjek

31

C.

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak retardasi mental yang menyekolahkan anaknya di SLB N Pembina Yogyakarta.

D.

Metode Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan Data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Menurut Azwar (2005) alasan yang digunakan dalam menggunakan metode skala ini yaitu karena subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri. Stimulusnya berupa pertanyan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku atribut yang bersangkutan. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban yang benar ataupun salah. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode skala yang di buat sendiri oleh peneliti dan mengandung butirbutir pandangan dan perasaan subjek. Selain itu juga digunakan informed consent yang berisi tentang identitas subjek dan kerahasiaan jawaban yang subjek berikan. Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala pengukuran yaitu skala stres pengasuhan dan active coping. Adapun kedua skala tersebut adalah sebagai berikut :

1.

Skala Stres pengasuhan Skala pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

Stres pengasuhan. Skala disusun berdasarkan aspek-aspek yang

32

dikemukakan oleh model teori stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) yaitu the parent distress, the difficult child, the parent-child dysfunctional interaction Skala stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental ini terdiri atas 54 aitem yang terdiri dari 34 aitem favorable dan 20 aitem unfavorable. Aitem favorable adalah pernyataan yang mendukung variabel penelitian, sedangkan pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang tidak mendukung varibel penelitian. Sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya, penelitian ini menggunakan metode try-out terpakai dimana hanya dilakukan hanya satu kali saja menyebarkan skala kemudian di analisis secara statistik yang mengukur validitas dan reliabilitas aitem. Dalam tabel di bawah ini akan terlihat distribusi aitem skala stres pengasuhan sebagai berikut : Tabel 1 Distribusi Butir Skala Stres Pengasuhan Sebelum Uji Coba Butir Favourable Aspek Nomor Butir 1, 2, 3, 6, 14, 15, 23, 24, 32, 33, 34, 43, 44, 49, 50, 51, 53 8, 11, 20, 21, 29, 30, 39, 40 7, 17, 18, 26, 35, 36, 46, 54, 45 Jumlah Butir Unfavourable Nomor Butir Jumlah 9, 10, 19, 27, 28, 37, 38, 41, 42, 47, 48, 52 4, 5, 16, 25

The parent distress

17

12

The difficult child The ParentChild Dysfunctiona l Interaction

8

4

9 34

12, 13, 22, 31

4 20

33

Pola dasar pengukuran skala stres pengasuhan ini mengikuti pola Metode Skala Likert. Pilihan jawaban memiliki 5 alternatif yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Kurang Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Adapun kriteria pemberian nilai adalah sebagai berikut: untuk aitem yang berfungsi sebagai aitem favorable, jawaban SS mendapat nilai 5, jawaban S mendapat nilai 4, jawaban KS mendapat nilai 3, jawaban TS mendapat nilai 2, dan jawaban STS mendapat nilai 1. Sedangkan untuk aitem yang berfungsi sebagai aitem unfavorable kriteria pemberian nilai adalah sebagai berikut : jawaban SS mendapat nilai 1, jawaban S mendapat nilai 2, jawaban KS mendapat nilai 3, jawaban TS mendapat nilai 4, dan jawaban STS mendapat nilai 5. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi stres pengasuhan dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah stres pengasuhan.

2.

Skala Active Coping Skala kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

active coping. skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Ayers, Sandler, West & Roosa yaitu cognitive decision making, direct problem solving, seeking understanding, dan positive cognitive restructuring. Skala Active Coping ini terdiri atas 45 aitem yang terdiri dari 27 aitem favorable dan 18 aitem unfavorable. Aitem favorable adalah pernyataan yang mendukung variabel penelitian, sedangkan

34

pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang tidak mendukung varibel penelitian. Sebelum digunakan pada penelitian yang

sesungguhnya, penelitian ini menggunakan metode try-out terpakai dimana hanya dilakukan hanya satu kali saja menyebarkan skala kemudian di analisis secara statistik yang mengukur validitas dan reliabilitas aitem. Dalam tabel di bawah ini akan terlihat distribusi aitem skala active coping sebagai berikut : Tabel 2 Distribusi Butir Skala Active Coping Sebelum Uji Coba Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek Nomor Butir Jumlah Nomor Butir Jumlah Cognitive decision making Direct problem solving Seeking understandin g Positive cognitive restructuring 1, 2, 26, 27, 41, 42

6

15, 16, 22, 37

4

9, 10, 17, 18, 32, 33 5, 6, 23, 24, 44, 45 13, 14, 20, 21, 29, 35, 36, 39, 40

6

3, 4, 28, 38 4

6

11, 12, 19, 34 4

9

6 27 18 Pola dasar pengukuran skala Active Coping ini mengikuti pola

7, 8, 25, 30, 31, 43

Metode Skala Likert. Pilihan jawaban memiliki 5 alternatif yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Kurang Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Adapun kriteria pemberian nilai adalah sebagai berikut: untuk aitem yang berfungsi sebagai aitem favorable, jawaban SS mendapat nilai 5, jawaban S mendapat nilai 4, jawaban KS mendapat nilai 3, jawaban TS mendapat nilai 2, dan jawaban STS

35

mendapat nilai 1. Sedangkan untuk aitem yang berfungsi sebagai aitem unfavorable kriteria pemberian nilai adalah sebagai berikut : jawaban SS mendapat nilai 1, jawaban S mendapat nilai 2, jawaban KS mendapat nilai 3, jawaban TS mendapat nilai 4, dan jawaban STS mendapat nilai 5. Semakin tinggi skor yang diperoleh berarti active coping yang dimiliki subjek semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh berarti active coping yang dimiliki subjek semakin rendah. 3. Validitas dan Reliabilitas Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut, sedangkan tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai test yang memiliki validitas rendah. Suatu alat ukur yang valid, tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut (Azwar, 2005). Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata reliability yaitu sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas juga menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat pengukur yang sama. Hasil pengukuran

36

dapat dipercaya hasilnya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Relatif sama berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Bila perbedaan itu sangat besar dari waktu ke waktu, maka hasil pengukuran tersebut tidak dapat dipercaya dan dikatakan tidak reliabel (Azwar, 2005). Berdasarkan kondisi yang ada, maka tampak bahwa peran alat pengumpulan data cukup vital. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam mengungkap kondisi yang ingin diukur, tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan. Oleh karena itu, validitas dan reliabilitas merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan dalam setiap penelitian ilmiah. Uji validitas dalam penelitian kali ini dilakukan berdasarkan pada validitas permukaan (Face Validity) yang dinyatakan melalui

bagaimana kelihatannya suatu alat pengumpul data itu dalam mengungkapkan data yang diperlukan untuk memecahkan

permasalahan. Perhitungan reliabillitas kedua skala menggunakan bantuan SPSS 12,0 for windows dengan teknik perhitungan Cronbachs Alpha.

E.

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis statistik, dengan pertimbangan bahwa statistik bekerja dengan angka, bersifat

37

objektif, dan universal dalam artian dapat digunakan hampir pada semua bidang penelitian (Hadi, 1997). Data yang telah dikumpulkan pada penelitian kali ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson untuk menguji hubungan antara active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental dan menggunakan analisis statistik SPSS 12.0 for windows.

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

38

A. Orientasi Kancah dan Persiapan 1. Orientasi Kancah Penelitian tentang active coping dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental ini dilakukan dengan mengambil subjek di SLB Negeri Pembina yang berlokasi di Jl. Imogiri 224 Giwangan Umbulharjo Yogyakarta. Segala aspek pelayanan Pelayanan di sekolah dilakukan dengan Pelayanan bahwa Tuntas. anak

Tuintas

mengandung

pengertian

memerlukan bimbingan dalam upaya mencapai kemandiriannya. Pelayanan Tuntas dilakukan dari semasa anak masuk sekolah sampai anak mencapai kemandiriannya. Program intervensi dini sekolah berencana untuk menyelenggarakan klinik terpedu artinya penanganan anak dengan melibatkan tenaga ahli di bidang kedokteran, terapi, pendidikan yang dilakukan dengan kerjasama dengan lembaga terkait yang menangani anak dari sebelum masuk sekolah untuk mewujudkan pelayanan tuntas dilakukan

bekerjasama dengan orangtua anak, masyarakat dan lembaga terkait baik negeri maupun swasta. Beberapa alasan peneliti memilih SLB N Pembina Yogyakarta sebagai tempat penelitian adalah 1) Jumlah anak retardasi mental lebih besar daripada SLB lainnya yang ada di Yogyakarta 2) Tempat tinggal subjek penelitian yang umumnya berada di sekitar lokasi penelitian memudahkan dalam pengambilan data 3) Adanya kerjasama dan kemudahan dalam prosedur penelitian.

39

Gambaran mengenai subjek penelitian yaitu ibu-ibu yang mempunyai anak retardasi mental sebagai berikut : Tabel 3 Informasi data Responden Penelitian No Faktor Kategori 1. Usia Orangtua < 40 tahun 40 x 60 tahun > 60 tahun 2. Usia Anak < 10 tahun 10 x 20 tahun > 20 tahun 3. Agama Islam Kristen Katolik 4. Pendidikan Terakhir SD SLTP SLTA D2 D3 S1 S2 5. Status Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak Bekerja 6. Status Anak a. Sulung b. Bungsu c. Tengah d. Tunggal Sumber (Pengajaran SLB N Pembina 2007/2008) 2. Persiapan a. Persiapan administrasi

Jumlah 15 orang 28 orang 2 orang 13 orang 28 orang 4 orang 38 orang 1 orang 6 orang 10 orang 10 orang 15 orang 3 orang 2 orang 3 orang 2 orang 22 orang 23 orang 14 orang 18 orang 12 orang 1 orang Yogyakarta tahun

Untuk dapat melakukan pengambilan data penelitian, peneliti menggunakan surat perizinan yang dikeluarkan oleh pihak Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Surat perizinan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Surat Permohonan Ijin Penelitian untuk Skripsi dengan nomor: 439/Dek/70/Akd/V/2007, tertanggal 29 Mei 2007,

40

ditujukan kepada Walikota Yogyakarta c.q Kepala Dinas Perizinan. 2. Surat Permohonan Ijin Penelitian untuk Skripsi dengan nomor: 439/Dek/70/Akd/V/2007, tertanggal 29 Mei 2007, ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Surat Permohonan Ijin Penelitian untuk Skripsi dengan nomor: 439/Dek/70/Akd/V/2007, tertanggal 29 Mei 2007, ditujukan kepada Kepala Sekolah SLB Negeri Pembina Yogyakarta. Sebelum mengurus perijinan, peneliti melakukan survey terlebih dahulu terhadap beberapa SLB di yogyakarta. Peneliti berkonsultasi dengan pihak sekolah guna mencari berbagai informasi yang jelas tentang karakteristik subjek penelitian. Setelah mendapatkan surat ijin penelitian dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, peneliti menyerahkannya kepada BAPEDA DIY dengan tembusan kepada Walikota Yogyakarta c.q Kepala Dinas Perizinan beserta proposal penelitian dan Dinas Pendidikan Provinsi DIY serta SLB Negeri Pembina Yogyakarta. Persetujuan penelitian dari BAPEDA DIY diberikan secara

langsung pada hari yang sama kemudian peneliti mengajukan surat tembusan kepada Walikota Yogyakarta c.q Kepala Dinas Perizinan dan menunggu persetujuan penelitian selama dua hari, setelah itu peneliti mendapatkan tembusan kepada Kepala Dinas Pendidikan DIY dan mendapatkan surat pengantar persetujuan penelitian ke

41

SLB

Negeri

Pembina

Yogyakarta.

Peneliti

secara

langsung

menyerahkan surat ijin penelitian kepada SLB Negeri Pembina sesuai syarat tembusan penelitian yang diberikan pihak sekolah beserta proposal dan angket penelitian. Peneliti juga berdiskusi dengan pihak sekolah mengenai prosedur pengambilan data penelitian dengan menyesuaikan pengambilan data penelitian dengan agenda acara pertemuan subjek penelitian di sekolah sehingga lebih memudahkan penelitian. b. Persiapan alat ukur

Pada penelitian ini peneliti membuat sendiri alat ukurnya yaitu berupa skala. Peneliti menggunakan skala terpakai (try-out

terpakai) sehingga hanya satu kali saja menyebarkan skala. Peneliti tidak melakukan uji coba alat ukur (try-out) tapi peneliti meminta professional judgement untuk memastikan bahwa aitem sudah sesuai dengan blue-print dan indikator perilaku yang hendak diungkap, ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang benar, dan tidak mengandung social desirability yang tinggi. Peneliti juga mengujikan kepada tiga orang subjek yang sesuai dengan

karakteristik penelitian untuk mengetahui tingkat pemahaman subjek terhadap bahasa yang peneliti gunakan. Alasan peneliti tidak menggunakan try-out karena peneliti menggunakan metode try-out terpakai dimana sedikitnya jumlah sampel subjek yang akan dilakukan penelitian sehingga peneliti memutuskan untuk

menggunakan metode ini.

42

Alat ukur yang digunakan terdiri dari dua buah skala yang disebar kepada 48 subjek akan tetapi yang memenuhi persyaratan untuk dilakukan analisis penelitian adalah 45 subjek. Setelah skala di sebar peneliti melakukan analisis aitem stres pengasuhan dan active coping. Azwar (2005) menyatakan ada dua alternatif untuk menentukan kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem total, yaitu dengan menggunakan batas 0,30 dan dengan menggunakan batas 0,25. Sebagai kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem total, peneliti menggunakan batasan 0,30. Kriteria ini diambil karena semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya pembedanya sudah dianggap memuaskan. Analisis secara kuantitatif menggunakan program komputer Statistical Package for Social Science (SPSS) for Windows 12.0 untuk mengetahui nilai validitas dan reliabilitas skala. 1) Skala Stres Pengasuhan Skala yang digunakan untuk mengukur Stres pengasuhan adalah skala yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh model teori stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) yaitu the parent distress, the difficult child, the parent-child dysfunctional interaction. Peneliti kemudian menyusun blueprint skala stres pengasuhan yang berjumlah 54 aitem yang terdiri dari 34 aitem favorable dan 20 aitem unfavorable yang mewakili aspek-aspek diatas dan siap untuk dilakukan pengambilan data penelitian.

43

Hasil

analisis

aitem

yang

dilakukan

pada

Skala

Stres

pengasuhan menunjukkan bahwa dari 54 aitem yang diujicobakan diperoleh 41 aitem yang sahih. Adapun aitem yang gugur adalah aitem nomer 4, 5, 9, 10, 11, 16, 21, 27, 35, 38, 40, 45, dan 52. Koefisien validitasnya bergerak antara 0,320 sampai dengan 0,770 dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,937. Berikut ini distribusi penyebaran aitem pada skala Stres pengasuhan setelah melalui uji coba: Tabel 4 Distribusi Penyebaran Aitem Skala Stres pengasuhan Setelah Uji Coba Jumah Butir Favourable Butir Unfavourable Butir Aspek Nomor Butir Nomor Butir Sahih 1(1), 2(2), 3(3), 6(4), 14(9), 15(10), 23(16), 9, 10, 19(13), 27, 24(17), 28(20), 37(28), The parent 32(24),33(25), 38, 41(30), 24 distress 34(26), 43(32), 42(31), 47(35), 44(33), 49(37), 48(36), 52 50(38), 51(39), 53(40) The difficult child The ParentChild Dysfunctiona l Interaction 8(6), 11, 20(14), 21, 29(21), 30(22), 39(29), 40 7(5), 17(11), 18(12), 26(19), 35, 36(27), 46(34), 54(41), 45 34 4, 5, 16, 25(18) 6

12 (7), 13(8), 22(15), 31(23) 20

11 41

Catatan: angka dalam kurung ( ) adalah nomor urut butir baru seteleh di uji coba 2) Skala Active Coping

Skala yang digunakan untuk mengukur active coping adalah skala yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Ayers, Sandler, West & Roosa yaitu cognitive

44

decision making, direct problem solving, seeking understanding, dan positive cognitive restructuring. Peneliti kemudian menyusun blueprint skala active coping yang berjumlah 45 aitem yang terdiri dari 28 aitem favorable dan 17 aitem unfavorable yang mewakili aspek-aspek diatas dan siap untuk dilakukan pengambilan data penelitian. Hasil analisis aitem yang dilakukan pada Skala Active Coping menunjukkan bahwa dari 45 aitem yang diujicobakan diperoleh 21 aitem yang sahih. Adapun aitem yang gugur adalah aitem nomer 1, 4, 5, 6, 7, 9, 13, 15, 17, 20, 22, 24, 26, 29, 30, 32, 33, 36, 38, 39, 41, 42, 43, dan 45. Koefisien validitasnya bergerak antara 0,308 sampai dengan 0,756 dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,873. Berikut ini distribusi penyebaran aitem pada skala Active Coping setelah melalui uji coba: Tabel 5 Distribusi Penyebaran Aitem Skala Active Coping Setelah Uji Coba Aspek Cognitive decision making Direct problem solving Seeking understandin g Positive cognitive restructuring Butir Favourable Nomor Butir 1, 2(1), 26, 27(14), 41, 42 9, 10(4), 17, 18(9), 32, 33 5, 6, 23(12), 24, 44(21), 45 13, 14(7), 20, 21(11), 29, 35(18), 36, 39, 40(20) 10 Butir Favourable Nomor Butir 15, 16(8), 22, 37(19) 3(2), 4, 28(15), 38 11(5), 12(6), 19(10), 34(17) 7, 8(3), 25(13), 30, 31(16), 43 11 Jml. Butir Sahih 4

4 6

7 21

45

Catatan: angka dalam kurung ( ) adalah nomor urut butir baru seteleh di uji coba B. Laporan Pelaksaan Penelitian Pengambilan data penelitian dilakukan di SLB Negeri Pembina Yogyakarta yang berlangsung dari hari Selasa tanggal 27 Juni 2007 sampai dengan Jumat tanggal 20 Juli 2007. Pemilihan subjek untuk penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan subjek penelitian berdasarkan kesesuaian dengan karakteristik yang telah peneliti tetapkan. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan skala kepada 48 subjek akan tetapi yang memenuhi persyaratan untuk di analisis adalah 45 orang. Dalam pengambilan data peneliti datang ke sekolah tanggal 27 dan 30 Juni 2007. Jumlah subjek yang mengisi skala tanggal 27 Juni sebanyak 2 orang dan 10 orang tanggal 30 Juni. Sedangkan dari tanggal 1-20 Juli peneliti mendatangi rumah subjek karena sekolah sedang libur. Lamanya pengambilan data di karenakan subjek yang lama dalam pengembalian skala penelitian sampai peneliti mendatangi lagi rumah subjek. Sebelum pengambilan data, peneliti mengadakan rapport dari masing-masing ibu-ibu yang menunggui anaknya di sekolah serta pada saat pembagian rapor di sekolah. Setelah terjadi rapport pengawasan terhadap pengisian skala di saat pengisian di sekolah dapat terkontrol oleh peneliti, akan tetapi pada saat pengisian di rumah peneliti tidak bisa mengontrol karena subjek meminta untuk skalanya ditinggal jadi membutuhkan waktu lebih lama untuk pengembaliannya. Akan tetapi

46

untuk menghindarkan kecurangan dalam pengisian peneliti memohon sendiri secara langsung kepada subjek untuk mengisi sendiri dengan jujur sesuai keadaan sebenarnya.

C. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah ibu-ibu memiliki anak retardasi mental yang menyekolahkan anaknya di SLB Negeri Pembina Yogyakarta.

Tabel 6 Deskripsi Subjek Penelitian No Faktor 1. Usia Orangtua 2. 3. 4.

5. 6.

Kategori < 40 tahun 40 x 60 tahun > 60 tahun Usia Anak < 10 tahun 10 x 20 tahun > 20 tahun Agama Islam Kristen Katolik Pendidikan Terakhir SD SLTP SLTA D2 D3 S1 S2 Status Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak Bekerja Status Anak a. Sulung b. Bungsu

Jumlah 15 orang 28 orang 2 orang 13 orang 28 orang 4 orang 38 orang 1 orang 6 orang 10 orang 10 orang 15 orang 3 orang 2 orang 3 orang 2 orang 22 orang 23 orang 14 orang 18 orang

47

c. Tengah d. Tunggal 2. Deskripsi Statistik

12 orang 1 orang

Data penelitian yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 7 berikut: Tabel 7 Deskripsi Data Penelitian Skor Hipotetik Variabel Stres pengasuha n Active Coping X max 205 105 X min 41 21 Mean 123 63 SD 27,33 3 14 X ma x 148 102

Skor Empirik X mi Mean SD n 53 49 92,22 79,09 23,177 10,027

Mean

=

X min + X max 2X max X min 6

SD

=

Berdasarkan deskripsi statistik penelitian di atas dapat diketahui tinggi rendahnya stres pengasuhan dan active coping subjek melalui pengkategorian skor total yang diperoleh oleh masing-masing subjek pada kedua skala. Tujuan pengkategorian ini adalah untuk

menempatkan subjek dalam kelompok-kelompok terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur, sehingga dapat diketahui kontinum jejang dari tingkat rendah hingga ke tingkat tinggi. Terdapat lima kategorisasi yang akan digunakan dalam

penelitian ini, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat

48

tinggi. Untuk menentukan batasan kategori akan digunakan rumus sebagai berikut: Tabel 8 Rumus Norma Kategorisasi No. Kategori 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat Tinggi Ket: : Mean Hipotetik : Standar Deviasi

Rumus Norma x < ( - 1,8) ( - 1,8) x < ( - 0,6) ( - 0,6) x < ( + 0,6) ( + 0,6) x ( + 1,8) x > ( + 1,8)

a.

Stres Pengasuhan Kategorisasi variabel stres pengasuhan ditentukan berdasarkan skor total subjek pada Skala stres pengasuhan. Skala tersebut terdiri dari 41 aitem dengan skor minimal 1 dan skor maksimal 5. Rentang skor minimum dan maksimum skala tersebut adalah 41x1 sampai dengan 41x5, yaitu 41 205. Standar deviasinya adalah 27,333 tersebut sedangkan dapat mean-nya adalah 123. Berdasarkan variabel data Stres

ditentukan

kategorisasi

untuk

pengasuhan sebagai berikut: Tabel 9 Kriteria Kategorisasi Skala Stres Pengasuhan Jumla Kategori Rumus Norma h Sangat 9 x < 73,8006 Rendah 73,8006 x < 23 Rendah 106,6002 106,6002 x < 11 Sedang 139,3998 139,3998 x 2 Tinggi 172,1994 x> 0 Sangat Tinggi 172,1994 45

Persentase 20% 51,111% 24,444% 4,444% 0% 99,999100

49

% Berdasarkan hasil kategorisasi diatas, dapat dilihat bahwa tidak terdapat tingkat stres pengasuhan dengan kategori sangat tinggi. Setengah dari jumlah subjek (51,111%) memiliki tingkat stres pengasuhan yang rendah dan sisanya (20%) berada pada kategori sangat rendah dan (24,444%) kategori sedang serta (4,444%) dengan kategori tinggi. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa stres pengasuhan berada pada kategori rendah, karena jumlah subjek yang berada pada rentang skor 73,8006 106,6002 lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah subjek pada rentang skor lain. b. Active Coping Kategorisasi variabel active coping juga dapat diperoleh melalui cara yang sama. Skala active coping terdiri dari 21 aitem, dengan skor minimal 1 dan skor maksimal 5. Rentang skor minimum dan maksimumnya antara 21x1 sampai dengan 21x5, yaitu 21 105. Standar deviasinya adalah 14 sedangkan mean-nya adalah 63. Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan kategorisasi untuk variabel active coping sebagai berikut:

Tabel 10 Kriteria Kategorisasi Skala Active Coping Kategori Rumus Norma Sangat x < 37,5

Jumlah 0

Persentase 0%

50

Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

37,5 x < 54,6 54,6 x < 71,4 71,4 x 88,2 x > 88,2

1 6 33 5 62

2,222 % 13,333 % 73,333 % 11,111 % 99,999100 %

Berdasarkan hasil kategorisasi diatas, dapat dilihat bahwa tidak terdapat active coping dengan kategori sangat rendah dan hanya satu orang subjek yang memiliki active coping yang rendah yaitu dengan persentase 2,222%. Setengah dari jumlah subjek (73,333%) memiliki active coping yang tinggi dan sisanya (13,333%) berada pada kategori sedang dan (11,111%) dengan kategori sangat tinggi. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa active coping yang dimiliki subjek berada pada kategori tinggi, karena jumlah subjek yang berada pada rentang skor 71,4 88,2 lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah subjek pada rentang skor lain. 3. Uji asumsi Sebelum melakukan analisis data penelitian dengan teknik korelasi Product Moment dari Pearson, maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis, yaitu berupa uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas sebagai syarat untuk pengetesan nilai korelasi agar kesimpulan yang Uji ditarik tidak ini menyimpang dilakukan dari

kebenaran

yang

seharusnya.

asumsi

dengan

menggunakan program komputer Statistical Package for Social Science (SPSS) for Windows 12.0.

51

a.

Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah bentuk sebaran dari skor jawaban subjek normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan terhadap distribusi skor stres pengasuhan dan active coping, dengan menggunakan teknik One Sample Kolmogorov Smirnov test pada program komputer SPSS for windows 12.0. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data adalah jika p>0,05 maka sebaran dinyatakan normal, namun jika p0,05) dan data active coping diperoleh K-SZ = 0,582 dengan p = 0,888 (p>0,05). Hasil uji normalitas tersebut menunjukkan bahwa data stres pengasuhan dan active coping terdistribusi atau tersebar dengan normal. Uji Linieritas Uji linieritas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel active coping dengan stres

b.

pengasuhan mengikuti garis linier atau tidak, dengan menggunakan program komputer SPSS for windows 12.0. Dari hasil pengolahan data diperoleh F = 36,282 dengan p = 0,000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara active coping dengan stres pengasuhan bersifat linier atau mengikuti garis lurus. 4. Uji Hipotesis

52

Uji normalitas dan uji linearitas sebelumnya menunjukkan bahwa data penelitian memenuhi syarat normalitas yaitu skor kedua variabel berdistribusi normal dan memiliki korelasi linear. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, maka uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara active coping dengan stres pengasuhan. Pengujian terhadap hipotesis tersebut menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson pada program komputer SPSS for windows 12.0. Dari hasil pengolahan data active coping dengan stres

pengasuhan diperoleh koefisien korelasi r = - 0,668 dan p = 0,000 (p0,05) sehingga dapat dikatakan varians populasi stres pengasuhan yang bekerja dan tidak bekerja adalah sama. Analisis t-test selanjutnya menggunakan asumsi varians sama (equal variances assumed), Selanjutnya diperoleh nilai t= 0,926 dengan p = 0,359 (p > 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan stres pengasuhan berdasarkan status pekerjaan.

b.

Untuk mengetahui sumbangan efektif

yang paling berpengaruh dari variabel independent yaitu active coping terhadap variabel dependent yaitu stres pengasuhan

dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistic Program For Social Science) versi 12,0 for Windows dengan teknik

54

Regression Linear. Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai sumbangan efektif yang diberikan oleh positive cognitive

restructuring dengan nilai R Scuare 0,417 atau 41,7 %. Sedangkan jika positive cognitive restructuring dan direct problem solving dijadikan prediktor untuk melihat stres pengasuhan sumbangan efektifnya menjadi lebih besar yaitu dengan nilai R Scuare 0,479 atau 47,9 %. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa aspek active coping yang dapat dijadikan prediktor untuk melihat stres

pengasuhan adalah aspek positive cognitive restructuring dan aspek direct problem solving.

D. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya hubungan negatif antara stres pengasuhan dengan active coping. Setelah melalui analisis pengolahan data diperoleh hasil yang

mendukung hipotesis tersebut. Hasil analisis dari data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis tersebut terbukti melalui nilai koefisien korelasi yang diperoleh r = - 0,668 dan p = 0,000 (p