Upload
ilham-akbar
View
98
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya lembaga
keuangan syariah. Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang
dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (an
taraddin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi.
Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi
dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan.
Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah
dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya)
dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam
pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro,
bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran
bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed
and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak
mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam
bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat
ditentukan dari awal. 1
1 Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta, IIIT Indonesia, 2003) Ed.I Cet I, hal. 40.
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman
merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu
diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed
and predetermined tetapi menolak untuk menanggung resikonya (al ghunmu bi
laa ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank
konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung
biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for
any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam
teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return
goes along with risk).2
Di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran pemikiran
sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama berpendapat
bahwa bahwa bunga bank tidak tergolong riba, karena yang disebut riba adalah
pembungaan uang oleh mindering yang bunganya sangat tinggi sehingga disebut
“lintah darat”.
Tetapi aliran yang melahirkan ide bank Islam berpendapat bahwa bunga
bank itu tetap riba. Akan tetapi keberadaan bank sebagai lembaga keuangan, tidak
dilarang, bahkan diperlukan. Sehingga menjadi sebuah kewajaran, atau mungkin
keharusan jika lembaga keuangan syariah yang muncul memberikan warna baru
yang lebih menawarkan keadilan, baik kepada pemilik modal ataupun peminjam
(pengusaha).
Sebagai sebuah alternatif, bank (lembaga keuangan) syariah telah
memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek
2 Ibid, hal 43
2
negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa
sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak
bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal
dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudharabah atau qiradh.3
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai
penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana)
kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada
keuntungan dibagi secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi
kerugian maka ditanggung uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat
tertentu.4
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak
tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak
yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui
pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian
menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang
digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah.5
3 Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta).
4 Al Jaziri, Kitab al- fiqh ‘ala mazahib al- Arba’ah, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), hal.34
5 Musthafa Ahmad Az Zarqa, al fiqh fi Tsubih al Jadi (Beirut, Dar-al Fikr,1989) juz I hal. 55.
3
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan
positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang
menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian.
Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau
disebut dengan tasharruf. Mustafa Al Zarqa mendefinisikan tasharruf adalah
“segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’
menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban)”.6
Suatu tindakan dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika
memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang
harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada
secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu
sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad.
BMT Bina Ihsanul Fikri adalah salah satu BMT di Yogyakarta, yang
sebagaimana BMT pada umumnya berorientasi pada upaya peningkatan
kesejahteraan anggota dan masyarakat. Selama ini BMT Bina Ihsanul Fikri dalam
kaitannya dengan nasabah, telah melakukan dua kegiatan, yaitu menabung atau
menitip dan meminjamkan dana (uang).
BMT Bina Ihsanul fikri telah memberikan bantuan pembiayaan dalam
bentuk fasilitas pembiayaan mudharabah (bagi hasil), yang sedapat mungkin
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nasabahnya.
Dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara BMT dan nasabah,
sistem mudharabah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan
6 Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet.1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002), hal. 77.
4
mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudharabah dan mekanisme
pelaksanaan bagi hasil. Aturan mengenai hal itu tentu saja secara teoritis berkiblat
pada perspektif literatur fiqh klasik muamallah tentang mudharabah yang
kemudian direaktualisasikan oleh para praktisi dan akademisi perbankan syariah
kontemporer.
Karena dalam masyarakat banyak muncul asumsi bahwa BMT dan
lembaga keuangan syariah lainnya sama saja dengan lembaga keuangan
konvensional lainnya, maka penelitian ini dibuat guna mencari solusi alternatif
bagi permasalahan tersebut, serta untuk mengetahui apakah para nasabah
memahami konsep pembiayaan mudharabah baik dari segi pemahaman arti akad
maupun sistem nisbah bagi hasilnya, sekaligus dalam rangka membangun sistem
transaksi ekonomi yang Islami (berkeadilan) dalam sebuah lembaga keuangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, persoalan yang akan
dibahas dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah nasabah BMT telah memahami mengenai konsep pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasil pada waktu melaksanakan akad ;
2. Apakah pemahaman nasabah dalam konsep akad pembiayaan mudharabah
dan kesepakatan nisbah bagi hasil tersebut dapat menimbulkan sengketa
antara nasabah dengan pihak BMT ?
3. Bagaimana cara penyelesaian yang ditempuh jika terjadi sengketa antara BMT
dengan nasabah ?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasil.;
2. Untuk mengetahui kemungkinan timbulnya sengketa berkaitan dengan
pemahaman nasabah mengenai konsep akad pembiayaan mudharabah dan
kesepakatan nisbah bagi hasilnya;
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
a. Bagi institusi pendidikan
Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran sebagai pembanding
penemuan-penemuan peneliti terdahulu tentang pemahaman nasabah
mengenai akad pembiayaan mudharabah dari BMT .
b. Bagi penulis lain
Dapat dijadikan referensi untuk pengembangan penelitian dan dasar atau
acuan penelitian lain.
2. Manfaat Sosial
a. Bagi BMT
Masukan bagi BMT untuk bahan pertimbangan melakukan peningkatan
kinerja dan srategi dalam pemberian fasilitas pembiayaan mudharabah
bagi nasabahnya.
6
b. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan tentang pemahaman nasabah mengenai akad
pembiayaan mudharabah serta nisbah bagi hasilnya dan kemungkinan
timbulnya sengketa berkaitan dengan akad pembiayaan mudharabah.
E. Telaah Pustaka
Penelitian mengenai mudharabah dan bagi hasil ini bukanlah yang pertama
yang pernah dilakukan, namun ada penelitian yang dilakukan dan mirip dengan
penelitian yang dilakukan baik oleh peneliti dari Magister Studi Islam Universitas
Islam Indonesia maupun oleh peneliti lain, antara lain sebagai berikut :
Ahmad Dahlan dalam tesisnya menemukan bahwa didalam lembaga
keuangan BMT menerapkan sistim mudarabah muqayyadah fi al-nisbah bi al-
miyyah7. Mudarabah ini mempunyai asumsi perhitungan nisbah yang ditetapkan
2,5 % atas dasar besarnya pembiayaan yang dikeluarkan pihak BMT sebagai
shohib al- mal (pemodal) sehingga mekanisme ini menyerupai perhitungan
bunga. Penemuan ini menunjukkan bahwa disini didalam aplikasi pembiayaan
mudharabah terdapat kelemahan sistim bagi hasil yang menyimpang dari sejarah
pendiriannya yang bebas bunga.
Amirudin membicarakan konsep mudarabah dalam perspektif fiqh Islam
dan praktisi perbankan syariah melalui studi perbandingan dua kasus LKS di
Ponorogo. Perspektif fiqh juga disampaikan dalam penelitiannya.8 Selain itu
7 Ahmad Dahlan, Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Bina Artha Tegal: Studi Kasus Tahun 1996-2001, Tesis (Yogyakarta : MSI UII,2002).
8 Amiruddin, Studi Perbandingan Pelaksanaan Prinsip Mudarabah pada Koperasi Pondok Pesantren al-Muslim dan Lembaga Keuangan Syariah PT Bank Perkreditan Syariah al-Mabrur Ponorogo, Tesis (Yogyakarta: MSI UII,2003).
7
penelitian lain yang dilakukan oleh Subroto, yang mengemukakan tentang
prosedur pembiayaan mudarabah dan mekanisme pembagian keuntungan serta
menyelesaikan masalah kredit macet di 5 BMT di Ponorogo.9
Sumiyanto membicarakan mengenai atribut mudarib, ciri-ciri proyek, dan
minat BMT terhadap pembiayaan Mudarabah. Ketiganya digali dari perspektif
shahibul mal dan menggunakan analisis statistik sehingga analisisnya sangat kuat
bernuansa kuantitatif semata. Dari penelitiannya diketahui bahwa pembiayaan
mudharabah belum menjadi pola pembiayaan yang menarik bagi BMT sehingga
temuan tersebut memperkuat motivasi penelitian tesis ini.
Hikmatullah melakukan penelitian mengenai kemampuan alternatif
mudarabah atas sistim riba.10 Menurutnya bunga adalah riba dan bagi hasil yang
terdapat pada proyek mudarabah adalah sistim pengganti riba itu. Muatan
penelitiannya mengetengahkan teori alternatif yang aman dan tepat untuk
menggunakan pembiayaan mudarabah. Terkait dengan penelitian ini akan
digunakan dalam kerangka pemikiran perbaikan pada aspek pelaksanaannya.
Masudul Alam Choudhury mencermati prinsip bagi untung (profit
sharing) pada mudarabah.11 Dia mengartikan mudarabah sebagai suatu kerjasama
kemitraan yang didalamnya masing-masing menyertakan modal, pengelola
ataupun perusahaan dengan kesepakatan untuk berbagi keuntungan dalam bentuk
persentase. Dalam pandangannya, mudarabah terjadi hanya untuk memperoleh
keuntungan dari masing-masing pihak. Pandangan ini berbeda dengan pandangan 9 Subroto, Mudarabah Studi atas Teori dan Aplikasinya pada BMT di Ponorogo, Tesis
(Yogyakarta : MSI UII, 2004)10 Hikmatullah, Mudarabah Suatu Sistim Ekonomi Alternative tanpa Riba : Studi tentang
Perspektif Islam Terhadap Ekonomi , Tesis (Yogyakarta : MSI UII, 2003).11 Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory : a Study in
Social Economics (New York : St. Martin’s Press,1986).
8
bahwa mudarabah merupakan kerjasama kemitraan dalam keuntungan maupun
kerugian. Akan tetapi penelitian ini akan sangat mempertimbangkan analisisnya
atas hubungan tingkat keuntungan (profit rate) dengan rasio pembagian
keuntungan (profit –sharing ratio) untuk mencermati kemampuan BMT
memandang kelayakan suatu proyek sekaligus kemampuan manajemennya.
Zaidi Satar (ed) mengetengahkan pemikiran dan tulisan banyak tokoh
ekonomi Islam mulai dari segi etika moral ekonomis bagi untung rugi hingga
konsekuensi maupun model investasi dinamis pembagian untung rugi. 12Ulasan
tiap bagiannya sangat mendukung dalam kerangka berpikir tentang realisasi
pemikiran moralitas kepada realitas ekonomi sehingga sistim bagi hasil sebagai
prinsip pembiayaan pada lembaga keuangan syariah selanjutnya dikenali secara
utuh.
F. Kerangka Teori
Mudharabah atau qiradh disebut juga perjanjian bagi hasil, yaitu berupa
kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak
pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak
lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis,
dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh
masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka
ketentuannya berdasarkan syara’ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan
kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.13
12 Zaidi Satar (ed), Resource Mobilization and Investment in An Islamic Economic Framework (U.S.A : the international institute of islamic thought, 1412 H-1992 M).
13 Afazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4, (Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf,1996),hlm 380
9
Dalam teori yang dikembangkan para pemikir dan praktisi perbankan,
dimunculkan kata amin dan wakil sebagai sebutan bagi mudharib dalam kontrak
mudharabah. Kata amin dimaksudkan agar mudharib benar-benar menjaga titipan
(modal) yang diberikan shahib al-mal kepadanya. Namun perbedaan makna amin
dalam amanah dan amin dalam mudharabah sebagai inisial dari mudharib
terdapat dalam penggantian kerugian. Dalam makna yang sebenarnya kerugian
harus ditanggung oleh amin, sedangkan dalam mudharabah kerugian dipikul oleh
shahib al-mal atau orang yang menitipkan barang.14
Begitu pula dengan wakil, penyiasatan ini muncul ketika dalam kerugian
mudharib tidak akan mendapatkan apa-apa sementara wakil tetap mendapatkan
laba sebagai renumeration tetapnya. Namun penyiasatan ini muncul dalam
konteks wakalah nya atau sistim perwakilannya dimana shahib al mal mempunyai
kewenangan apapun dalam mengatur wakil nya. Sementara mudharib sebagai
wakil tidak akan berbuat bebas karena dia hanyalah seorang agen, tangan kedua
dari shahib al-mal.15
Kesan yang mudah ditangkap dalam kaitannya dengan penyebutan itu
adalah adanya tindakan antisipatif shahibul al-mal bank syariah (baca BMT)
sekaligus penggiringan mudharib dalam sebuah ruang yang dirancang agar
mudharib tidak dapat berbuat apapun jika pada suatu saat terjadi kerugian dalam
kontrak mudharabah.
14 Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, (Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003),Cet-1, hal 156.
15 Ibid, hal 157.
10
Masalah amin atau wakil seharusnya ditempatkan pada porsinya yang
tepat. Penyiasatan kedua istilah tersebut untuk kepentingan pengukuhan
keberadaan sistem mudharabah dalam perbankan syariah (baca BMT) merupakan
tindakan yang mengada-ada. Perlu kiranya dimunculkan pemahaman yang benar
akan hakikat mudharabah. Mudharabah memang sebuah kerjasama yang
membutuhkan kejujuran total dari kedua belah pihak terlebih bagi mudharib.
Kejujuran yang dimaksud meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan
usaha dan pelaporan hasil usahanya. 16
Perlu dipahami, persepsi masyarakat tentang bank syari’ah masih keliru.
Bank syari’ah dipandang sebagai : 17
(1) Bank Syari’ah sebagai bank sosial (Baitul Mal) untuk membantu
pembangunan (ekonomi) umat. Implikasi kekeliruan persepsi ini
berdampak pada pemahaman masyarakat bahwa : (a) bank syari’ah tidak
boleh meminta jaminan dalam memberikan pembiayaan, (b) bank syari’ah
tidak mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat pada waktunya,
(c) bank syariah tidak boleh menyita jaminan.
(2) Bank Syari’ah sebagai bank bagi hasil. Implikasinya adalah pemahaman
masyarakat bahwa : (a) Untuk semua kebutuhan nasabah harus
menggunakan produk mudharabah atau musyarakah, (b) Bagi hasil yang
diberikan bank kepada nasabah harus lebih besar jika dibandingkan dengan
bunga dari bank konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan
16 Moedigdo Sigit Prakosa, Permasalahan Penerapan Mudharabah di Bank Syari’ah, Makalah disampaikan pada diskusi rutin Forum Pemberdayaan Lembaga Keuangan Syari’ah Yogyakarta, p.3.
17 Muhammad, Konstruksi, hal 172-173.
11
harus lebih kecil daripada bunga bank, (c) bagi hasil dibayar setahun sekali,
seperti waktu pembayaran deviden, (d) Bank akan turut campur dalam
manajemen perusahaan nasabah, dan (e) Bank akan turut memiliki
perusahaan nasabah.
Kesalahan persepsi masyarakat ini bertambah parah lagi dengan sikap
sebagian karyawan bank Islam yang cenderung terlalu menyederhanakan konsep
bank Islam di lapangan, sehingga umat Islam sebagian diantara mereka lebih
senang berhubungan dengan bank konvensional, karena ketidakmampuan bank
syariah memenuhi kebutuhan umat.
Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad
berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari
pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak
pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul
agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut :18
a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;
b. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul;
c. Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa;
18 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et.al., cet.1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001) hal 249-251.
12
Nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad
mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan
imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah.
Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul al-mal
mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang
akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara
pembagian keuntungan, adapun nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai
nominal Rp tertentu.19
G. Metode Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kantor BMT Bina Ihsanul Fikri yang
berlokasi di Jalan Semangu No. 26 Gedongkuning Yogyakarta. Waktu penelitian
dilaksanakan selama 3 bulan yaitu sejak bulan Juni sampai dengan Agustus 2007.
2. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif disini digunakan untuk
19 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan edisi II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal.194.
13
mengungkapkan, mengemukakan, dan memperjelas hubungan antara keterangan
dari BMT dan nasabah.
Metode penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deskripsi
tentang suatu keadaan secara obyektif.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 51 orang nasabah pembiayaan
mudharabah. Sampel yang diambil sebanyak 12 orang nasabah dan 2 orang
karyawan BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta sebagai responden.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Non
Random (Non Probability) Sampling yaitu : Pengambilan sampel bukan secara
acak atau random adalah pengambilan sampel yang tidak didasarkan atas
kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata-mata hanya berdasarkan
kepada segi-segi kepraktisan belaka.. Sampelnya adalah praktisi dan nasabah
BMT Bina Ihsanul Fikri.
Sedangkan teknik penentuan besarnya sampel menggunakan Porposive
Sampling yaitu : pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan pada ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penentuan besarnya sampel pada
penelitian ini menggunakan cara key person dari populasi penelitian yaitu :
nasabah. Dalam penelitian ini nasabah yang dijadikan responden diambil
berdasarkan : 1) Nasabah dengan umur terendah, 2) Nasabah dengan umur
tertinggi, 3) Nasabah dengan pendidikan terendah, 4) Nasabah dengan pendidikan
14
tertinggi, 5) Nasabah yang berprofesi sebagai Pedagang, 6) Nasabah yang
berprofesi sebagai pengusaha/swasta, 7) Nasabah berjenis kelamin laki-laki, 8)
Nasabah berjenis kelamin wanita, 9) Nasabah dengan pembiayaan tertinggi, 10)
Nasabah dengan pembiayaan terendah, 11) Nasabah baru dalam pembiayaan
mudharabah, 12) Nasabah lama dalam pembiayaan mudharabah dan 2 orang
sebagai sumber yaitu karyawan BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning
Yogyakarta.
4. Pengumpulan Data
a. Metode Interview
Adapun metode yang paling tepat untuk memperoleh data adalah dengan deep
interview sebagai suatu tanya jawab lisan dimana 2 orang atau lebih berhadap-
hadapan secara fisik yang satu dapat melihat yang lain dapat mendengarkan
suara dengan telinganya sendiri. Ini merupakan pengumpulan informasi yang
langsung mengenai beberapa jenis data.
b. Metode Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang diperoleh dengan sumber
pada dokumentasi antara lain catatan, laporan tertulis serta akad perjanjian.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data dari BMT Bina Ihsanul Fikri
Yogyakarta.
c. Kuesioner (angket)
15
Yaitu pertanyaan yang disusun secara tertulis untuk memperoleh data berupa
jawaban-jawaban dari para responden.20 Responden yang akan dimintai angket
adalah nasabah dan karyawan BMT Bina Ihsanul Fikri. Data yang diperoleh
dari angket ini merupakan sumber data utama primer dalam penelitian ini.
d. Metode Observasi
Sebagai metode ilmiah, observasi biasanya diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki
baik secara langsung maupun tidak langsung.
H. Identifikasi Variabel
Menurut Notoatmojo, Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai
ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang
suatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, tingkat pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, dan sebagainya. Di dalam penelitian ini menggunakan dua variabel
yaitu :
1. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat, dalam
penelitian ini variabel bebasnya adalah akad pembiayaan mudharabah dan
nisbah bagi hasil.
2. Variabel terikat.
Variabel terikat adalah variabel yang terikat oleh variabel bebas, dalam
penelitian ini variabel terikatnya adalah pemahaman nasabah.
20 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Cet.3, (Jakarta : PT Gramedia, 1977), hal. 215.
16
I. Jenis Data
Jenis data pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer yang diperoleh dengan wawancara dengan 12 orang nasabah
(jumlah sampel) dan 2 orang sebagai sumber di BMT Bina Ihsanul Fikri
Gedongkuning Yogyakarta.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan dan hasil kegiatan
di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta yang ada kaitannya
dengan penelitian ini.
J. Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Pada penelitian ini data yang diperoleh adalah data kualitatif yaitu
data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik, atau sifat variabel.
Sesuai dengan jenis data yang diperoleh dari penelitian tersebut maka teknik
pengolahan data pada penelitian ini menggunakan teknik non statistik yakni
pengolahan data dengan tidak menggunakan analisa statistik, melainkan
dengan analisis kualitatif. Analis kualitatif pada penelitian ini dilakukan
secara induktif yakni pengambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil
observasi yang khusus.
2. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis bivariat yaitu
analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yaitu variabel terikat dan
variabel bebas.
K. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data.
Didalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah :
1. Form panduan wawancara tentang :
a) Persepsi nasabah tentang akad pembiayaan mudharabah
b) Persepsi nasabah tentang nisbah bagi hasil.
2. Observasi
3. Alat tulis.
L. Kelemahan dan Kesulitan Penelitian
1. Kelemahan Penelitian
Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti, baik tentang metode
penulisan maupun tentang pengertian tentang pemahaman nasabah, sehingga
pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan, diantaranya : a) hasil dari
penelitian ini belum bisa 100 % mewakili jawaban dari seluruh nasabah
pembiayaan mudharabah di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning
Yogyakarta, karena jumlah sampelnya hanya 12 orang dari keseluruhan yang
berjumlah 51 orang, b) Metode pengolahan dan penyajian data dari penelitian
ini sangat sederhana sehingga belum bisa menggambarkan pemahaman
nasabah yang ada di lokasi penelitian secara lengkap dan tepat.
2. Kesulitan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa kesulitan yang dialami oleh
peneliti, diantaranya : a) nasabah yang dimaksud oleh peneliti tidak selalu
bersedia setiap saat diwawancarai sehingga harus dicari waktu yang senggang,
b) keterbatasan waktu peneliti sehingga data yang diperoleh tidak bisa
langsung diolah sehingga menghambat jalannya penelitian,c) keterbatasan
penulis tentang metode analisis data sehingga pada waktu proses pengolahan
dan analisis data sering terhenti dan harus mencari buku referensi atau
bertanya kepada yang tahu.
M .Sistimatika Pembahasan
Agar pembahasan dalam tesis ini lebih terarah dan sistematis, maka
diperlukan sistematika yang dibagi menjadi beberapa pokok bahasan. Bab I yang
merupakan bab Pendahuluan memuat latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan. Jika bab pertama telah menjelaskan permasalahan
mendasar sebelum penelitian, maka Bab II mengemukakan gambaran umum
mengenai BMT dan Akad Pembiayaan Mudharabah dalam kaitannya dengan
BMT sebagai lembaga keuangan syariah disamping bank Islam yang memberikan
pelayanan pembiayaan mudharabah dengan prinsip bagi hasil.
Bab III Deskripsi BMT Bina Ihsanul Fikri dan Hasil Penelitian
menyajikan laporan penelitian lapangan untuk memperjelas dan menghubungkan
segi-segi penyebab yang dihimpun. Bab IV akan diulas pembahasan tentang hasil
penelitian. Analisa kualitatif berperan menjelaskan kenyataan yang dijumpai di
lapangan berupa data sekaligus keterangan dan penjelasan pelaku BMT maupun
keterkaitannya dengan bangunan teoritis yang melandasi.
Sedangkan sebagai penutup Bab V terdiri dari kesimpulan dan saran.
Didalamnya disajikan ulang secara singkat beberapa jawaban atas permasalahan
yang mendorong diadakannya penelitian ini.
BAB II
BMT DAN AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH
A. Wacana Tentang BMT
1. Pengertian BMT
BMT singkatan dari Baitul māl wattamwil. BMT terdiri dari dua istilah
yaitu baitul māl dan baitul tamwil. Apabila diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti rumah uang dan rumah pembiayaan. Baitul māl lebih mengarah
pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti
zakat, infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan peraturan dan
amanahnya.21 Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial.22
Menurut Makhalul ‘Ilmi, secara istilah pengertian baitul māl adalah
lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya
menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infak, shodaqoh
(ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al Qur’an dan sunnah Rasul
Nya, dan pengertian dari baitul tamwil adalah lembaga keuangan yang
kegiatannya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan)
maupun deposito dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam
dunia perbankan.23
21 Republika Online tanggal 14 Desember 2001;22 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2,
Yogyakarta Ekonisia, 2004, hal 9623 Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah,
Cet.1,Yogyakarta, UII Press,2002 hal 64.
Sedangkan menurut Muhammad, pengertian baitul māl adalah suatu
badan yang bertugas mengumpulkan, mengelola serta menyalurkan zakat, infak,
dan shodaqoh yang bersifat social oriented, dan baitut tamwil adalah suatu
lembaga yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk
suatu tujuan profit oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah,
syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u bitsaman ajil/angsur, murabahah /tunda)
maupun sewa (al-al-ijarah).24
Dengan demikian BMT sesungguhnya merupakan lembaga yang bersifat
sosial keagamaan sekaligus komersial. BMT menjalankan tugas sosialnya dengan
cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk zakat, infaq,
dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan. Disisi lain ia mencari dan
memperoleh keuntungan melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam
bentuk penghimpunan, pembiayaan, maupun layanan-layanan pelengkapnya
sebagai suatu lembaga keuangan Islam.
Dilihat dari bangunan suatu kelompok, maka BMT tidak berbeda dari
ormas Islam lainnya kecuali pada bidang geraknya secara ekonomis dan bisnis
keuangan. Mulai dari tujuan, asas dan landasan, visi dan misi BMT, semuanya
terlihat sebagai organisasi keuangan orang Islam pada umumnya. Visi BMT
adalah semakin meningkatnya kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu
berperan sebagai wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan
mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil
24 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Watamwil, Yogyakarta, UII Press, 2004, hal 16.
22
dan makmur berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. 25Disini BMT
menempati fungsi lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu
melayani nasabah usaha mikro dan kecil-bawah.
Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai lembaga
yang berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial. Akan tetapi ia bergerak juga
untuk penyaluran dan penggunaan zakat, infaq, dan sadaqoh; ditumbuhkan dari
bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya, milik bersama
masyarakat kecil-bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik
seseorang atau orang dari luar masyarakat itu. Ciri khasnya meliputi etos kerja
bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota
dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian
tentang bisnis.26
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena
mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. 27 Dalam
prakteknya PINBUK menetaskan BMT dan pada gilirannya BMT menetaskan
usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat
dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir
kepentingan ekonomi masyarakat.
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan
pendanaan yang berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting
25 PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, (Jakarta, PT. Bina Usaha Indonesia, tt) hal 2-3.
26 Ibid, hal. 4-527 M. Dawam Raharjo, Perspektif Dkelarasi Makkah, Menuju Ekonomi Islam, Mizan,
Bandung, 1989, hal.431
23
prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga
keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil
yang serba kekurangan baik di bidang ilmu pengetahuan atau materi, maka BMT
mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek
kehidupan masyarakat.
2. Sejarah Berdirinya BMT
Sesuatu yang revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah
pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut baitul māl. Apa yang dilakukan
oleh Rasulullah tersebut merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue
collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang transparan dan bertujuan seperti
apa yang sekarang disebut dengan welfare oriented. 28Hal ini dirasakan asing pada
masa itu, karena pajak yang dikumpulkan oleh penguasa di kerajaan-kerajaan
tetangga di jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia, dikumpulkan oleh menteri
dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan raja. 29
Baitul māl yang didirikan oleh Rasulullah SAW tidak mempunyai bentuk
yang formal sehingga memberikan fleksibilitas yang tinggi dan nyaris tanpa
birokrasi. Keadaan ini bertahan sampai pada masa pemerintahan khalifah Abu
Bakar ra, dimana dapat dikatakan tidak ada perubahan yang signifikan dalam
pengelolaan baitul māl. Baru pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra,
sejalan dengan bertambah luasnya wilayah pemerintahan Islam, volume dana
yang dikelola dan keragaman kegiatan baitul māl juga bertambah besar dan
28 Muhammad, Manajemen Bank Syariah , Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2003 hal. 23.29 Muhammad Ridwan, Manajemen, hal 56.
24
bertambah kompleks. Keadaan ini mendorong khalifah untuk membuat sistem
administrasi dan pembukuan yang mampu menangani perkembangan ini.30
Sejak jaman Rasulullah saw baitul māl bukanlah sekedar lembaga sejenis
BAZIS yang dikenal sekarang ini. Baitul māl merupakan lembaga pengelola
keuangan negara, maka baitul māl memainkan fungsi kebijakan fiskal
sebagaimana yang dikenal dalam ekonomi sekarang. Kebijakan fiskal yang
dilakukan oleh baitul māl sejak jaman rasulullah saw memberikan dampak
langsung pada tingkat investasi dan secara tidak langsung memberikan dampak
pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.31
Dalam hal kebijakan moneter, sampai dengan masa pemerintahan Umar
Ibn Khattab ra, boleh dikatakan pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank
sentral yang mengatur kebijakan moneter, karena pada masa itu belum ada dinar
Islam yang dicetak oleh pemerintah Islam. Ketika itu dinar Romawi dan dirham
Persia yang digunakan sebagai alat bayar. Barulah di masa pemerintahan Khalifah
Ali ra, dicetak dinar Islam dalam bentuk yang khas pemerintahan Islam. Namun
karena keadaan politik saat itu mengakibatkan peredarannya sangat terbatas. Jadi
dapat dikatakan bahwa baitul māl di jaman Rasulullah saw dan Khulafaur
Rasyidin ra tidak menjalankan fungsi kebijakan moneter dalam arti mengelola
jumlah uang yang beredar. 32
Para ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam sendiri memiliki
sedikit perbedaan dalam menafsirkan baitul māl ini. Sebagian berpendapat, bahwa
30 Ibid, hal. 5931 Ibid.32 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta, Jurusan SPI Fak. Adab IAIN
Suka dan LESFI, 2002,hal. 57
25
baitul maal itu semacam bank sentral yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai
kesederhanaannya karena keterbatasan yang ada. Sebagian lagi berpendapat
bahwa baitul māl itu semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal ini
mengingat fungsinya untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja
negara. Kalaupun lembaga baitul māl yang menurut para orientalis bukan sesuatu
yang baru, maka proses siklus dana masyarakat (zakat,infaq dan shodaqoh) yang
dinamis dan berputar cepat merupakan preseden yang sama sekali baru. 33
Penjajahan yang terjadi di negara-negara Islam membawa perubahan
dalam sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun akhirnya banyak
negara Islam yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya, namun kenyataannya
mereka hanya merdeka secara politik, karena sisa-sisa penjajahan masih
dirasakan terutama dalam bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Sistem
ekonomi pada umumnya tidak bisa lepas dari sistim politik. Penjajahan telah
membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan sekuler, yang secara
tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidah dari para
pemimpinnya. Warisan ekonomi penjajahan membawa masalah seperti
pengangguran, inflasi serta terpisahnya agama dan ekonomi serta politik, yang
mengakibatkan ketidakberhasilan dalam pembangunan ekonomi. 34
Hal ini menimbulkan pemikiran di kalangan negara Islam, bahwa perlu
dicari terobosan baru sebagai solusi untuk mengatasi masalah ekonomi. Yang
menarik adalah bahwa solusi tersebut dikembalikan dan dikaitkan dengan
ideologi. Konsep ini berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam bahwa
33 Muhammad Ridwan, Manajemen,, hal 56-57.34 Ibid, hal 66
26
sistem ekonomi penjajah tidak dapat mengatasi masalah. Dalam masalah
keuangan, ditemukan terminologi baru bahwa sistem bunga yang ribawi yang
dikenalkan oleh penjajah telah menghilangkan baitul māl dalam khasanah
kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengarahkan pada sistem keuangan yang
bebas riba.35
Gerakan lembaga keuangan yang bebas riba dengan sistem modern
didirikan pada tahun 1969 oleh Abdul Hamid An Maghar di desa Mith Gramer,
tepi sungai Nil di Mesir. Meskipun akhirnya ditutup karena masalah manajemen,
akan tetapi kelahiran Bank ini telah mengilhami diadakannya Konferensi
Ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua tahun kemudian
lahirlah Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB).36
Kelahiran IDB merupakan hasil serangkaian kajian yang mendalam dari
pakar ekonomi dan keuangan juga dari para ahli hukum Islam. Negara yang
tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam menjadi motor penggerak
berdirinya IDB. Mesirlah yang pertama kali mengusulkan pendiriannya. Pada
sidang Menteri Luar Negeri negara anggota OKI di Karachi Pakistan tahun 1970,
Mesir mengusulkan perlunya pendirian Bank Islam Dunia. Usulan tersebut ditulis
dalam bentuk proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank Islam
Internasional untuk Perdagangan dan pembangunan serta pendirian Federasi Bank
Islam.37 .
Tujuan utama IDB adalah untuk memupuk dan meningkatkan
perkembangan ekonomi dan social negara-negara anggota dan masyarakat muslim
35 Ibid, hal 6736 Ibid, hal 6737 Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 67
27
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Fungsi utama bank ini berperan serta dalam modal usaha dan bantuan cuma-cuma
untuk proyek produksi dan perusahaan disamping memberikan bantuan keuangan
bagi negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk perkembangan ekonomi dan
sosial.38
Keberadaan IDB sangat berpengaruh dalam memberikan inspirasi pada
pendirian dan perkembangan bank syariah di berbagai negara Islam.Komite ahli
IDB kemudian menyusun berbagai peraturan dan perangkat pengawasan, untuk
mengakomodasi rencana pendirian bank Syariah tersebut. Secara garis besar,
bank Syariah tersebut dibagi menjadi dua, yakni Bank Islam Komersial (Islamic
Commercial Bank ) dan Lembaga Investasi dalam bentuk International Holding
Companies. Pada periode tahun 1970 -an negara Islam telah banyak yang
mendirikan lembaga keuangan syariah, seperti Mesir, Sudan, Dubai, Pakistan,
Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia, dan termasuk Indonesia pada dekade 1990-
an.39
Di Indonesia pada tahun 1990 mulai ada prakarsa mengenai bank syariah,
diawali adanya Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan pada
tanggal 18-20 Agustus 1990 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasil
lokakarya tersebut dilanjutkan dan dibahas dalam Musyawarah Nasional IV
(MUNAS IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid Jaya Jakarta.
Hasil Munas membentuk Tim Perbankan MUI yang bertugas mensosialisasikan
38 M. Abdul Manan, Islamic Economic Theory and Practice, Terjemahan M. Nastangin, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 1993, hal 191.
39
? Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 69
28
rencana pendirian bank syariah di Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 1
Nopember 1991, tim ini berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI)
yang mulai beroperasi sejak September 1992. Pada awalnya kehadiran BMI
belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan.
Namun dalam perkembangannya, ketika BMI dapat tetap eksis ketika terjadi krisis
ekonomi tahun 1997, telah mengilhami pemerintah untuk memberikan perhatian
dan mengatur secara luas dalam undang-undang, serta memacu segera berdirinya
bank-bank syariah lain baik dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) maupun Windows Syariah untuk bank umum.40
Kehadiran BMI pada awalnya diharapkan mampu untuk membangun
kembali sistem keuangan yang dapat menyentuh kalangan bawah (grass rooth).
Akan tetapi pada prakteknya terhambat, karena BMI sebagai bank umum terikat
dengan prosedur perbankan yang telah dibakukan oleh undang-undang. Sehingga
akhirnya dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan
dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah. Namun
dalam realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya
pada segelintir orang, yakni para pemilik modal. Sehingga komitmen untuk
membantu derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala baik dari sisi
hokum maupun teknis. Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dan
dengan BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis. 41
Dari persoalan diatas, mendorong munculnya lembaga keuangan syariah
alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi juga
40 Ibid, hal. 71-72.41 Ibid, hal. 72
29
sosial. Juga lembaga yang tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagian
kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan penghisapan pada mayoritas orang,
tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Lembaga
yang terlahir dari kesadaran umat dan ditakdirkan untuk menolong kaum
mayoritas, yakni pengusaha kecil /mikro. Lembaga yang tidak terjebak pada
permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi membangun kebersamaan
untuk mencapai kemakmuran bersama. Lembaga yang tidak terjebak pada pikiran
pragmatis tetapi memiliki konsep idealis yang istiqomah. Lembaga tersebut
adalah Baitul Māl Wa Tamwil (BMT).42
BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai
lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan
yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan, yakni menghimpun dana
anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya pada sektor ekonomi
yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk
mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sector keuangan lain
yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank,
maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.43
BMT telah mampu menarik minat mereka yang berpendidikan. Dengan
mengetahui fungsi baitul māl di jaman awal Islam, maka sebenarnya mereka yang
telah terlibat dalam BMT diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan lembaga baitul māl. Menempatkan dominasi peran BMT sebagai
lembaga keuangan syariah dan atau sebagai lembaga ekonomi sektor riil, dapat
42 Ibid hal. 7343 Ibid, hal 126
30
menjadi suatu ijtihad ummat sebagai reaksi terhadap berbagai persoalan ekonomi,
terutama marjinalisasi peran ekonomi, terutama marjinalisasi peran ekonomi
ummat di Indonesia.
3. Azas dan Dasar Hukum BMT
BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta
berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah),
kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme.44
Tujuan dari BMT adalah untuk menyediakan dana murah dan cepat guna
pengembangan usaha kecil bagi anggotanya. BMT juga bertujuan meningkatkan
kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. 45
Pada awalnya BMT adalah sebuah organisasi informal dalam bentuk
Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
yaitu suatu lembaga yang melakukan penghimpunan dana dari anggota dan
diperuntukkan bagi anggota. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mencontoh
proyek yang sering dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan
masyarakat.Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistim
operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk
yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah.
Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada
Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9
44 PINBUK, Modul Pelatihan Pengelola Baitut Tamwil (Jakarta, PINBUK, tt). Hal 2-3.45 Ibid
31
tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi.46 Juga
dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan
syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya BMT ( Lembaga
Keuangan Mikro Syari’ah). Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena
simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja,
sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota
tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah
selesai. 47
Peraturan operasional bank syari’ah berdasarkan undang-undang
Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dengan ketentuan pelaksanaannya seperti PP
Nomor 71 tahun 1992 tentang BPR serta PP Nomor 72 tahun 1992 yang mengatur
mengenai bank dengan prinsip bagi hasil. Kemudian Undang-undang Nomor 7
tahun 1992 tersebut telah diganti dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.48
Gerakan BMT dicanangkan sebagai gerakan nasional oleh presiden
Soeharto pada pembukaan silaknas ICMI di Jakarta pada tanggal 7 Desember
1995.49 Dalam beberapa tahun kemudian BMT dibina dan dikembangkan oleh
PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) yang merupakan badan pekerja dari
YINBUK (Yayasan Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil). YINBUK didirikan pada
tanggal 13 Maret 1995 dengan tujuan untuk mengembangkan BMT secara meluas
dan sehat.Upaya yang dilakukan PINBUK dengan beberapa langkah kelembagaan
46 Baihaqi Abd. Madjid (Ed), Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syariah : Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT, (Jakarta, PINBUK,2000), hal. 85-91.
47 Ibid, hal 92.48 Umi Pujiastuti, Pendirian dan Pengelolaan BMT di Lingkungan Pondok Pesantren,
(Jakarta, Depag, 2000), hal.6.49 Baihaqi Abd Madjid (ed), Paradigma, hal. 222.
32
antara lain, berupa kerjasama dengan BI sejak 1995 melalui Proyek Hubungan
Kerjasama (PHBK) dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). 50
Seiring dengan perkembangan keberadaan BMT, selanjutnya PINBUK
tidak lagi menjadi satu-satunya perintis dan pendukung pendiriannya. Ormas
Islam atau lembaga keislaman juga mengambil peran mereka dalam memunculkan
BMT-BMT baru. Ormas itu antara lain ICMI, MUI, NU dan Muhammadiyah. 51
Bahkan sejak tahun 2005 pendirian BMT telah bergeser kepada perusahaan bisnis
yang disokong oleh seorang investor kuat atau kelompok bisnis. Tanda-tandanya
dapat dilihat dari kepemilikan dan kemunculan kantor kas-kantor kasnya dalam
jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Pada sisi legalitasnya terdapat
pergeseran pengakuan kewenangan legalitasnya yang semula diberikan oleh
PINBUK dengan bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan PHBK BI
beralih menjadi kewenangan sepenuhnya Departemen Koperasi sehingga yang
bertanggungjawab membinanya secara legal tetaplah departemen koperasi.
B. Struktur Organisasi dan Mekanisme Operasional
1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi BMT menunjukkan adanya garis wewenang dan
tanggungjawab, garis komando serta cangkupan bidang pekerjaan masing-masing.
Struktur ini menjadi sangat penting supaya tidak terjadi benturan pekerjaan serta
memperjelas fungsi dan peran masing-masing bagian dalam organisasi. Tentu saja
masing-masing BMT dapat memiliki karakteristik tersendiri, sesuai dengan besar
50 Ibid, hal 256.51 Muhammad (Ed), Bank Syari’ah, Analisis Kekuatan, Kelenahan, Peluang dan Ancaman,
(Yogyakarta, Ekonisia,2006), hal 144-148.
33
kecilnya organisasi. Namun demikian, struktur organisasi dalam setiap BMT
terdiri dari :
- Musyawarah Anggota Tahunan
- Dewan Pengurus
- Dewan Pengawas Syariah
- Dewan Pengawas Manajemen
- Pengelola yang terdiri minimal terdapat Manajer, Marketing,Accounting dan
Kasir52
Gambar 3.1
Struktur Organisasi BMT
52 Tim Penyusun Pedoman BMT Jaringan Muamalat Center Indonesia, Yogyakarta, 2004.
34
2. Mekanisme Operasional
a. Musyawarah Anggota Tahunan
Musyawarah ini dilaksanakan setiap tahun sekali, yang dihadiri oleh
semua anggota atau perwakilannya. Musyawarah ini merupakan kekuasaan
tertinggi dalam sistem manajemen BMT dan oleh karenanya berhak memutuskan :
- Pengesahan atau perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
organisasi;
- Pemilihan, pengangkatan dan sekaligus pemberhentian pengurus dan pengawas,
baik pengawas syariah maupun manajemen;
- Penetapan anggaran pendapatan dan belanja BMT selama satu tahun ;
- Penetapan visi dan misi organisasi ;
- Pengesahan laporan pertanggungjawaban pengurus tahun sebelumnya;
Musyawarah AnggotaTahunan
Dewan PengawasPengawasManajemen
Dewan PengawasSyari’ah
Manajer/Direksi
Marketing/PemasaranAccounting/Pembukuan
Teller/Kasir
35
- Pengesahan rencana program kerja tahunan.53
b. Dewan Pengurus
Dewan Pengurus BMT pada hakekatnya adalah wakil dari anggota dalam
melaksanakan hasil keputusan musyawarah tahunan. Oleh karenanya, pengurus
harus dapat menjaga amanah yang telah dibebankan kepadanya. Amanah ini
nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada anggota pada tahun berikutnya.
Masa kerja pengurus sangat tergantung pada kepentingan organisasi. Artinya
BMT dapat menetapkan masa kerjanya 2,3,4 atau 5 tahun. Secara umum fungsi
dan peran serta tanggungjawab pengurus dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Perencanaan
Dewan pengurus berfungsi menyusun perncanaan, baik jangka panjang
maupun jangka pendek, baik keuangan maupun non keuangan, sehingga
diperlukan pengurus yang memiliki wawasan luas, pengetahuan, dan pengalaman
bisnis, serta rasa optimis yang tinggi.
2) Personifikasi badan hukum
Dewan Pengurus merupakan personifikasi BMT baik dimuka maupun
diluar peradilan sesuai dengan keputusan musyawarah anggota. Pengurus pula
yang paling bertanggungjawab terhadap pelaksanaan AD/ART organisasi.
3) Penyediaan sumber-sumber yang diperlukan
53 Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 141
36
Dewan Pengurus harus mengusahakan berbagai sumber (resources) yang
diperlukan agar BMT dapat berjalan dengan baik.
4) Personalia
Dewan pengurus pada dasarnya memegang kuasa atas jalannya BMT,
namun karena keterbatasan tenaga kerja dan waktu, pengurus dapat mengangkat
wakilnya si pengelola. Namun hal ini tidak mengurangi sedikitpun
tanggungjawabnya.
5) Pengawasan
Karena pengurus telah menunjuk pengelola dalam menjalankan
operasional rutin, maka fungsi pengurus terpenting berada pada fungsi
pengawasan. 54 Fungsi melekat pada semua lini kepengurusan. Baik secara
bersama-sama maupun perbidang, pengurus harus melakukan fungsi ini secara
berkala.55
c. Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah memiliki tugas utama dalam pengawasan BMT
terutama yang berkaitan dengan sistem syariah yang dijalankannya. Landasan
kerja dewan ini berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama
tersebut meliputi :
1) sebagai penasehat dan pemberi saran dan atau fatwa kepada pengurus dan
pengelola mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah seperti penetapan
produk.
54 Modul Materi Umum dan Perkoperasian, Pusat Pengembangan Bisnis, LPKwu, Universitas Sebelas Maret, Solo, 2003, hal 7.
55 Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 142.
37
2) sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional atau Dewan
Pengawas Syariah Propinsi.
3) mewakili anggota dalam pengawasan syariah.
d. Dewan Pengawas Manajemen
Dewan pengawas Manajemen merupakan representasi anggota terutama
berkaitan dengan operasional kerja pengurus. Masa kerja pengawas sama dengan
pengurus. Anggota dewan pengawas manajemen dipilih dan disyahkan dalam
musyawarah anggota tahunan. Setiap anggota BMT memiliki hak yang sama
untuk dipilih menjadi dewan pengawas manajemen. Fungsi dan peran utamanya
meliputi :
1) mewakili anggota dalam memberikan pengawasan terhadap kerja pengurus
terutama berkaitan dengan pelaksanaan keputusan musyawarah tahunan;
2) memberikan saran, nasehat, dan usulan kepada pengurus;
3) mempertanggungjawabkan hasil kerja pengawasannya kepada anggota
dalam musyawarah tahunan.56
e. Pengelola
Pengelola merupakan satuan kerja yang dibentuk oleh dewan pengurus.
Mereka merupakan wakil pengurus dalam menjalankan fungsi operasional
keseharian. Ia bertanggungjawab kepada pengurus dan jika diminta dapat
memberikan penjelasan kepada anggota dalam musyawarah anggota. Satuan kerja
pengelola dipimpin oleh manajer atau direktur diusulkan oleh pengurus dan
ditetapkan dalam musyawarah tahunan. Namun demikian, pengurus dapat
mengusulkan diadakan musyawarah bersama pengawas untuk memberikan dan
56 Ibid, hal. 143-144.
38
mengganti direksi atau manajer, jika nyata-nyata manajer /direktur telah
melanggar aturan BMT.
Satuan kerja pengelola dapat terdiri minimal : manajer, pembukuan,
marketing dan kasir. Dalam tahap awal dan dalam permodalan yang masih sangat
terbatas, fungsi pemasaran dapat dirangkap oleh manajer, sehingga strukturnya
hanya terdiri dari manajer, kasir dan pembukuan.
1) Manajer/ Direktur
- Ia merupakan struktur pengelola yang tertinggi oleh karenanya ia yang
paling bertanggungjawab terhadap operasional BMT ;
- Manajer berfungsi merumuskan strategi dan taktik operasional dalam
rangka melaksanakan keputusan pengurus atau keputusan musyawarah
tahunan;
- Ia dapat juga mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan karyawan ;
- Ia juga melakukan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja
karyawan ;
- Manajer melaporkan kinerjanya kepada pengurus dalam periode waktu
tertentu minimal enam bulan sekali.57
2) Pembukuan
- Staf khusus pembukuan sedapat mungkin diangkat dari mereka yang
memahami masalah akuntansi keuangan syariah;
- Bagian ini berfungsi membuat laporan keuangan yang minimal meliputi :
laporan neraca, laba rugi, dan perubahan modal dan arus kas;
57 Ibid, hal. 145.
39
- Ia dapat memberikan masukan kepada manajer terutama yang berkaitan
dengan penafsiran atas laporan keuangan.
- Bagian ini juga berfungsi memberikan laporan perkembangan arus kas
pembiayaan dan penghimpunan dana pada setiap periode seperti harian,
mingguan, atau bulanan.
- Bagi organisasi yang sudah berkembang, dapat membentuk unit
administrasi tersendiri yang meliputi bagian administrasi pembiayaan, dan
bagian administrasi tabungan.
- Bagian administrasi pembiayaan akan berfungsi menyediakan berbagai
kelengkapan untuk realisasi pembiayaan, dokumentasi, serta informasi
berbagai hal tentang kondisi pembiayaan tersebut. Ia juga berfungsi
mencatat angsuran supaya sesuai antara kartu angsuran yang dibawa
nasabah /anggota dengan catatan BMT.
- Bagian administrasi tabungan akan berperan dalam penyiapan buku
tabungan bagi anggota baru, pencatatan saldo pada kartu monitoring,
pemindahbukuan bagi hasil, serta catatan atas perilaku anggota penabung
termasuk jadwal pengambilan tabungan dan informasi deposito jatuh
tempo dan pengambilan tabungan besar.58
3) Marketing /Pemasaran
- Bagian ini menjadi ujung tombak BMT dalam merebut pasar;
- Ia berfungsi dalam merencanakan sistem dan strategi pemasaran meliputi :
segmentasi pasar, taktis operasional, sampai pada pendampingan
anggota/nasabah;
58 Ibid, hal 145-146
40
- Bagian ini juga berfungsi untuk melakukan analisis usaha anggota
/nasabah calon peminjam;
- Menarik kembali pinjaman yang sudah digulirkan;
- Menjemput simpanan dan tabungan anggota ;
- Dalam keadaan tertentu (pada tahap awal dan modal masih terbatas)
fungsi marketing dapat dirangkap oleh manajer/direktur;
- Bila organisasi yang sudah berkembang, bagian marketing dapat dibagi
menjadi bagian funding atau menghimpun dana, dan financing atau
pembiayaan. Selanjutnya pada bagian funding dapat terdiri dari funding
officer–funding officer dan pada bagian financing dapat terdiri dari
account officer-account officer. Kedua bagian ini dipakai oleh kepala
bagian marketing.59
4) Kasir /Teller
- Bagian ini merupakan yang berkaitan langsung dengan bagian keuangan;
- Pada setiap hari, kasir harus melakukan pembukuan dan penutupan kas;
- Bagian ini bertugas membuat, merencanakan kebutuhan kas harian,
mencatat semua transaksi kas serta menerapkannya dalam catatan uang
keluar dan masuk;
- Staf khusus pada kasir harus terpisah dengan bagian pembukuan;
- Pada tahap awal staf kasir dapat berfungsi ganda yaitu sebagai fungsi
pelayanan nasabah atau anggota;
- Namun pada perkembangannya dapat dibentuk staf khusus yang akan
menangani masalah jasa pelayanan anggota. Bagian ini merupakan bagian
59 Ibid.
41
terdepan dari pelayanan BMT. Ia akan memberikan penjelasan
secukupnya terhadap berbagai hal tentang BMT kepada calon anggota
/nasabah.60
Dalam perkembangannya struktur organisasi BMT dapat dirubah dan
disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Pengembangannya struktur tersebut
dapat menjadi :
- Direktur
- Manajer Operasional yang membawahi bagian kasir, pembukuan, bagian
administrasi pembiayaan- tabungan dan bagian pelayanan nasabah /anggota.
- Manajer Marketing yang membawahi bagian funding officer (FO), account
officer (AO), dan remedial (penagihan).
- Bagian pembukuan yang akan membawahi : internal audit dan staf
pembukuan.61
3. Produk dan Jasa BMT
Pendirian BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang
tidak bisa dijamah oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini
perbankan masih kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini
karena jenis usaha ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan
dari bank. Belum lagi karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta
kondisi administrasi keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
60 Ibid.61 Ibid, hal 147
42
Kegiatan utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan
kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai
syariah.
Dasar-dasar pengelolaan BMT dengan sistim syari’ah tidak menggunakan
bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian
mengenai Q.S. 2 :278-279, 2 : 275-276, 3:130, 4:29, dan 30:39. Apalagi setelah
MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa
bunga bank haram hukumnya sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan
gagasan Islamisasi perbankan, maka BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil
sebagai pengganti sistim bunga.62
Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang
mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup
lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran
pandangan mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai satu
kesatuan dalam kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu
membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka
62 Penegasan ini diketahui dari permulaan pendirian bank syari’ah dan kemudian BMT. Hingga sekarang ini penilaian bahwa bunga adalah riba mungkin cenderung berkembang kepada pandangan bahwa riba itu adalah bunga. “ Sistim bunga “ dinyatakan mempunyai dampak buruk berupa pertentangan dengan nilai akidah oleh karena perolehan keuntungan yang ditetapkan dimuka tanpa mengindahkan untung atau rugi dari usaha yang dibiayai dengan uang pinjaman; pertentangan dengan nilai keadilan yang terjadi pada peminjaman baik produktif maupun konsumtif; penyebab kejahatan moral berupa terbentuknya sifat rakus kehartaan, egoisme atau individualisme, hilangnya persaudaraan sosial dan sifat saling mengasihi, dan melemahnya etos kerja di sektor riil oleh karena pembungaan uang; penyebab kebencian dan permusuhan sesama dan penyebab kejahatan ekonomi yaitu penciptaan tingginya harga jual dan ekonomi biaya tinggi untuk pinjaman produktif dan penurunan daya beli masyarakat gara-gara pinjaman konsumtif dengan sistim bunga. Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta, UII Press, 2003), hal.33-34.
43
menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya
teori dengan praktik atau antara ilmu dengan kenyataan.63
Dalam pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank
syari’ah. BMT juga menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang
kepadanya untuk mengajukan permohonan dana. Besar kecil dana dalam
permohonan pengusaha itu pada akhirnya mendapatkan ketetapannya dari pihak
BMT.
Jenis-jenis layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis
layanan bank syari’ah, yang dapat dibagi menjadi 3 :
a. Sistim jual beli
1) Ba’i Bitsaman Ajil
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan
(margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan
cara mengangsur.
2) Murobahah
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan
(margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan
cara jatuh tempo/sekaligus.
3) Ba’i As-Salam
63 Lihat pencermatan Kuntowijoyo, seputar perkembangan sejarah umat dalam Muslim tanpaMasjid, (Bandung, Mizan,2001) hal 102 dan dalam keseuruhan gagasan ilmu sosial profetiknya. Disamping itu kelemahan mendasar sistim perbankan Islam adalah tidak tahan kritik baik dalam teori maupun praktik.
44
Penjualan hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan anggota
dengan kriteria tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang muka
kemudian barang dikirim belakangan (setelah jadi).
4) Jual beli Istisna’
Penjualan hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria
tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam
proses pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur.
5) Ijaroh
Pembelian suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih dahulu
setelah masa sewa habis maka anggota membeli barang sewa tersebut.64
b. Sistim Bagi Hasil
1). Musyarokah
Kerjasama penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya
sesuai kesepakatan bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek
tertentu.
Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarokah tidak ada jaminan, namun
untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah dapat
meminta jaminan. Kerugian harus dibagi antara para anggota secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarokah akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.
Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari lainnya dalam hal ini
64 Ibid, hal. 168-169
45
ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Hal ini dapat
dijadikan dasar dalam penentuan nisbah dimana anggota BMT sebagai pengelola
usaha mendapatkan porsi yang lebih tinggi.
2). Mudharabah
Pemberian modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola
usaha/proyek yang dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan. Modal 100 % dari shohibul maal, tidak terdapat jadwal
angsuran, bagi hasil tidak ditetapkan dimuka dan sifatnya tidak tetap, tergantung
fluktuasi keuntungan yang diperoleh.
BMT sebagai penyandang dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib /anggota melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai/menyalahi perjanjian. Dalam akad ini biaya operasional dibebankan kepada
mudharib.65
c. Sistim Jasa
1). Qord
Pemberian pinjaman untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat
konsumtif. Pengembalian pinjaman sesuai dengan jumlah yang ditentukan dengan
cara angsur atau tunai. Contohnya untuk biaya rumah sakit, biaya pendidikan,
biaya tenaga kerja.
2). Al-Wakalah
65 Ibid, hal 170-171
46
Pemberian untuk melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan
waktu tertentu. Penerima kuasa mendapat imbalan yang ditentukan dan disepakati
bersama.
3). Al-Hawalah
Penerimaan pengalihan utang/piutang dari pihak lain untuk kebutuhan
mendesak dan bukan bersifat konsumtif. BMT sebagai penerima pengalihan
hutang /piutang akan mendapatkan fee dari pengaturan pengalihan (management
fee).
4). Rahn
Pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dengan membayar jatuh tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum)
ditanggung oleh penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik sendiri (rahin),
untuk itu hendaknya rahin bersedia mengisi surat pernyataan kepemilikan.
5). Kafalah
Pemberian garansi kepada anggota yang akan mendapatkan pembiayaan
(pelaksanaan suatu usaha/proyek) dari pihak lain. BMT mendapatkan fee dari
anggota sesuai dengan kesepakatan bersama. 66
Sejalan dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan suatu
penegasan terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti bunga
bank. Prinsip bagi hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam
upaya mencari pengganti bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam
pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
66 Ibid, hal 171-174
47
Didalam pembahasan selanjutnya hanya akan dibatasi pembahasan
mengenai pembiayaan mudharabah.
C. Al-Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa
Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya
memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah,
mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.67 Perubahan makna tersebut
bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam
oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu
perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu
pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”68 Sedangkan madzhab Maliki
menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah
uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang
itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.69
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan
sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang
dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.70 Sedangkan
67 Al-Mu’jām al-Wasit, Al-juz’ al-awwal, Cet III, (Kairo, Majma’ al-lughah al-Arabiyah), 1972.68
? Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz IV, (Beirut: Dar Ihya al-Turas,1987) hal 483.
69 Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr,1989),hal 63.
70 Al-Nawawi, Riyad al-Salihin, Vol.IV, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal 289.
48
madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya
dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya
dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.71
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal)
dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disepakati di awal akad. 72
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak
zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya
Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang,73 ia
melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari
segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al
Qur’an, Sunnah maupun Ijma’. 74
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu
Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad
saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal
(shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana
usaha (mudharib). 75
71 Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina,Vol.II, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal.509.72 Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana,
2005,hal.13073 Kala itu Nabi Muhammad SAW berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi
Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta) hal. 180;
74 M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya.
75 Sayyid Sabbiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung, Al Maarif
49
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS.
Al Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT “.76 Dalam ayat tersebut terdapat kata
yadribun yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang
berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul
Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia
mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut,
yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-
syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun
membolehkannya. (HR. Tabrani).77
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280,
kitab at-Tijarah). 78
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul
atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-
mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama 76 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an Depag RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,1989), hal 990.
77 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, (Jakarta, Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia, 2001) hal 96.
78 Ibid.
50
menyediakan 100 % modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian
tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut.79
Sudarsono80 mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari kata
adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh
yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat
si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
2. Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan
suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia
modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi
keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk
79 Ibid, hal. 95. 80
? Sudarsono, Bank, hal.54-55.
51
menanggung resiko. 81 Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk
prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan
tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-
gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal
itu seluruhnya (100 %) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh
tenaga dan waktunya atau 0 % modal.82 Pembagian kerugian ini didasarkan pada
kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi
yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak
investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam
(bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan
karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai
pertimbangan.83
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko
rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi
mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk
menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)”84 atau dengan
kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko
yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar
81 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta, Djambatan,2001). Hal 164-167. 82
? Ibid, hal 168.83 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul Mubin, Nurul Huda
dan Ahmad Sahidah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003) hal. 105.84 http:// www.pupress.princeton.edu mengenai karya Timur Kuran, Islam and Mammon :
The Economic Predicaments of Islamism (Princeton : Princeton University,2004), bab I.
52
nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif
dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah
dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
3. Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah
mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah
(Restricted Investment Account).85
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment
Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal
selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau
dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan
(disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu
usaha, maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu
kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan
pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal
jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain
yang serupa.86
85 Adiwarman, Bank, hal. 18886
53
D. Akad Perjanjian
1. Akad Perjanjian Menurut KUHPerdata dan Hukum Islam
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (aqd) atau perjanjian
menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang
digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian,
yaitu al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.87
Kata al-‘aqdu terdapat dalam QS. Al Maidah (5) ayat 1 bahwa manusia
diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah
al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUH Perdata). 88 Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain. 89 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron (3) : 76,
yaitu “ sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertakwa,
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa “.90
87 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamallah Konstekstual, Cet. 1 (Jakarta, Raja Grafindo Persada,2002), hal. 75.
88 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah” dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et al, cet.1, (Bandung, Citra Aditya Bakti,2001), hal. 247-248.
89 Ibid, hal. 248.90 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed. Revisi, (Semarang :
Kumudasmoro Grafindo Semarang,1994), hal. 88.
54
Perikatan dalam hukum Perdata Barat diambil dari istilah bahasa Belanda
“Verbintenis”. Istilah Hukum Perdata ini mencakup semua ketentuan dalam buku
ketiga dari KUH Perdata yang termasuk ikatan hukum yang berasal dari perjanjian
dan ikatan hukum yang terbit dari undang-undang. Ikatan hukum yang terbit dari
undang-undang ini pun ada yang terbit dari undang-undang saja dan ada yang dari
undang-undang karena perbuatan manusia yang bisa berupa perbuatan halal
maupun yang melawan hukum.91
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai :
“pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap obyeknya”.92
Menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan
(al-‘aqdu) melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut :93
a. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan
orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan
janji tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Ali Imran : 76.
b. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji
pihak pertama.
91 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1984) hal. 12292 Mas’adi, op.cit hal. 76. Lihat juga Djamil, op.cit hal.247. Ahmad Azhar Basyir, Asas
asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed Revisi, (Yogyakarta, UII Press,2000) hal 65; dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet 1, ed.2, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,1997), hal.14.
93 Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Djakarta, Bulan Bintang,1970), hal.122-123.
55
c. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan ‘akdu’ oleh Al Qur’an terdapat dalam QS Al-
Maidah (5) :1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu tetapi ‘akdu.
Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Menurut Subekti,
Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu “. 94
Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah “ suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.95 Peristiwa perjanjian ini menimbulkan
hubungan diantara orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan
demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian
menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam pasal 1233 KUH Perdata,
bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.
Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan
KUH Perdata adalah tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji
pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru
kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak
pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan
94 Subekti, Hukum Perjanjian, cet 14, (Jakarta, Intermasa, 1992), hal 195 Ibid.
56
menimbulkan perikatan diantara mereka. Menurut Abdul Gani Abdullah, dalam
Hukum Perikatan Islam, titik tolak yang paling membedakannya adalah pada
pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji
antara para pihak tersebut disepakati, dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan
kabul), maka terjadilah ‘aqdu (perikatan).96
2. Syarat dan Rukun Akad
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun dan syarat
yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan”,97 sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan,
petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”. 98 Dalam syari’ah, rukun dan
syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi,
rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dan ada atau tidaknya sesuatu itu”99 Definisi syarat adalah “ sesuatu yang
tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu
sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh bahwa
rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia
termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang
96 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005) Ed.1.Cet.1,2005) hal. 47.
97 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002) hal. 966.
98 Ibid hal. 1114.99 Abdul Azis Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta : Ichtiar Baru van
Hoeve,1996) hal.1510
57
kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu
sendiri.
Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad
dalam Hukum Islam, terdapat beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh.
Dikalangan mazhab Hanafi bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain (subyek akad) dan mahallul-
‘aqd (obyek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan
merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal
tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari
kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki
termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk
rukun akad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya
akad.100
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain,
mahallul ‘aqd, dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-
Zarqa menambah maudhu’ul ‘aqd (unsur-unsur penegak akad).
Sedangkan Ash-Shidieqy berpendapat bahwa, keempat hal tersebut
merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu
akad.101
a. Subyek Perikatan (Al’Aqidain)
100 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet.1, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 79.
101 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet.1,ed.2,(Semarang, Pustaka Rizki Putra,1997),hal.14.
58
Al’aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari
suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad
(perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subyek hukum. Subyek hukum
sebagai pelaku perbuatan hukum seringkali diartikan sebagai pihak pengemban
hak dan kewajiban. Subyek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan
badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam.102
1). Manusia
Manusia sebagai subyek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat
dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang
telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan
maupun dalam kehidupan sosial. Kata “Mukallaf” berasal dari bahasa Arab
yang berarti “yang dibebani hukum” yang dalam hal ini adalah orang-
orangyang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan
Allah SWT baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-
Nya.103
Pada kehidupan seseorang ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang
dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang
dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal
capacity).104 Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih
telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 tahap subyek hukum
(Stages of Legal Capacity). 105
102 Gemala Dewi, Hukum, hal.51.103 Ade Armando, dkk, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van
Hoeve,tt) hal 77104 Gemala Dewi, Hukum, hal 52.105 Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophy of Islamic Law of Transactions,
(Kuala Lumpur, Univision Press,1999), hal 94-96.
59
a). Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga
lahir dalam keadaan hidup. Sebagai subyek hukum, janin disebut
“Ahliyyah Al-Wujub Al Naqisah”. Dalam tahap ini, janin dapat
memperoleh hak namun tidak mengemban kewajiban hukum
b). Marhalah al-Saba (Childhood Stage)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia
berusia 7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut “Al-SabiyGhayr
Al-Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya
dilaksanakan melalui walinya (Guardian).
c). Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage)
Tahap ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa
pubertas (Aqil-Baligh). Pada tahap ini seseorang disebut “Al Sabiy Al-
Mumayyiz” (telah bisa membedakan yang baik dan yang buruk).
Seseorang yang mencapai tahap ini dapat memperoleh separuh
kapasitasnya sebagai subyek hukum (tanpa ijin dari walinya). Oleh karena
itu segala aktivitas /transaksi penerimaan hak yang dilakukan oleh anak
yang mumayyiz ini adalah sah (valid). Menurut Imam Muhammad Abu
Zahrah, seorang mumayyiz sudah memiliki kecakapan bertindak hukum
meskipun masih kurang atau lemah sehingga dapat disebut “ahliyyah al-
ada an-naqisah”. Sehingga tindakan hukum atau transaksi yang dilakukan
oleh seorang anak yang mumayyiz ini dapat dianggap sah selama tidak
dibatalkan oleh walinya.106
106 Ibid.
60
d). Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty)
Tahap ini seseorang telah mencapai Aqil-Baligh dan dalam keadaan
normal ia telah dianggap menjadi mukallaf. Kapan seseorang dianggap
telah baligh ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas
ulama menyebutkan usia 15 tahun, sedangkan sebagian kecil ulama
madzhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun, ada yang memudahkan
perkiraan baligh ini dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu ketika seorang
perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah mengalami
perubahan suara dan fisiknya. Seseorang dalam tahap ini disebut
“Ahliyyah Al-ada Al-Kamilah”. Orang tersebut telah memperoleh
kapasitas penuh sebagai subyek hukum. Intelektualitasnya telah matang
dan dianggap cakap, kecuali terbukti sebaliknya.
Mengenai tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama
kontemporer, menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi
seseorang lagi sebagai tahapan ke-5 (lima) yaitu :
e). Daur al-Rushd (Satge of Prudence)
Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subyek hukum,
dikarenakan telah mampu bertindak demi keamanan dalam mengelola dan
mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya
kebijaksanaan (Rushd/Prudence) seseorang dapat dicapai secara
bersamaan, sebelum atau sesudah baligh, bila telah memiliki sifat-sifat
kecakapan berdasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk
kepentingan bisnis, usaha, atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut.
61
Orang yang telah mencapai tahapan Daur ar-Rushd ini disebut orang yang
Rasyid. Diperkirakan tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang
mencapai usia 19,20,atau 21 tahun.107
Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada
halangan-halangan yang dapat dibuktikan. Tindakan hukum seseorang yang
telah baligh dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan apabila dapat
dibuktikan adanya halangan-halangan (implements) sebagai berikut :108
a) Minors (masih dibawah umur) atau safih ;
b) Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau gila);
c) Idiocy/’Atah (Idiot);
d) Prodigality/Safah (royal,boros);
e) Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran);
f) Sleep/Naum ( tertidur dalam keadaan tidur gelap);
g) Error/Khata dan Forgetfulness/Nisyan (kesalahan dan terlupa) ; dan
h) Acquired Defects/’Awarid Muktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan
(akal) atau kehilangan). Kerusakan atau terganggunya akal seseorang
dapat dikarenakan oleh Intoxication/Sukr (mabuk, keracunan obat, dan
sebagainya) atau karena Ignorance /Jahl (ketidaktahuan dan kelalaian).
107 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta, UII Press, 2000), hal 32.
108 Ghufron A.Mas’adi, Fiqh, hal 82.
62
Selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad kondisi
psikologis perlu juga diperhatikanuntuk mencapai sahnya suatu akad. Ya’cub
mengemukakan syarat-syarat subyek akad adalah sebagai berikut :109
a) Aqil (berakal)
Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila,
terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur,
sehingga dapat mempertanggungjawabkan transaksi yang dibuatnya.
b) Tamyiz (dapat membedakan)
Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang
baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
c). Mukhtar (bebas dari paksaan)
Syarat ini didasarkan oleh ketentuan QS. An-Nisa (4) : 29 dan Hadits Nabi
SAW yang mengemukakan prinsip An-Taraddin (rela sama rela). Hal ini
berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan
tekanan.
2). Badan Hukum
Badan hukum menurut Wirjono adalah badan yang dianggap dapat bertindak
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan
perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.110 Badan hukum ini
memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian,
109 Hamzah Ya’cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, (Bandung, CV. Diponegoro, 1984) hal. 79.
110 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata,cet 8, (Bandung, Sumur Bandung,1981) hal 23.
63
meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan
tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum adalah dapat berupa negara,
daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan atau yayasan.111
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat dari
beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan
istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam :
- QS An Nisa (4):12 disebutkan “ Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu……..”112
- QS. Shād (38) :24, disebutkan “ Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman………………”113
- Pada hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “ Aku (Allah) adalah
pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari
keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat
terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya”.114
Adanya kerjasama diantara beberapa orang menimbulkan kepentingan-
kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya
111 Ibid.112 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed.Revisi, (Semarang,
Kumudasmoro, Grafindo, Semarang, 1994), hal. 117.113 Ibid, hal. 735.114 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh, hal.192.
64
dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subyek hukum yang
disebut dengan badan hukum.115
b. Obyek Perikatan (Mahallul ‘Aqd)
Mahallul’aqd adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan
padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa benda
berwujud, seperti mobil dan rumah maupun benda tidak berwujud seperti manfaat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul’aqd adalah sebagai berikut :116
1) Obyek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
Suatu perikatan yang obyeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak
hewan yang masih dalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum
tumbuh. Alasannya bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum ada. Terdapat pengecualian terhadap
bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna dan musyaqah, yang
obyeknya diperkirakan ada dimasa yang akan datang. Pengecualian ini
didasarkan pada istihsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan
muamallat.
2) Obyek perikatan dibenarkan oleh syara’.
Pada dasarnya benda-benda yang menjadi obyek perikatan haruslah memiliki
nilai dan manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam
tasharruf akad tidak mensyaratkan kesucian obyek akad. Selain itu jika obyek
115 Gemala Dewi, Hukum, hal 59116 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih, hal. 86-89 dan Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian
Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, et.al.Cet.1,(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 255-256.
65
perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan
syariah, seperti pelacuran, pembunuhan,117 adalah tidak dapat dibenarkan pula,
batal.
3) Obyek ada harus jelas dan dikenali.
Suatu benda yang menjadi obyek perikatan harus memiliki kejelasan dan
diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman
diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika obyek tersebut
berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya.
Jika obyek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki
keahlian sejauh mana kemampuan, ketrampilan, dan kepandaiannya dalam
bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli, terampil, mampu
maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak
memahaminya. 118
4) Obyek dapat diserahterimakan.
Benda yang menjadi obyek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi,
atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, disarankan bahwa
obyek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah
menyerahkannya pada pihak kedua. Untuk obyek perikatan yang berupa
manfaat maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan.
117
? Yani Salma Barlinti, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam, tesis pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 2001), hal. 68.
118 Gemala Dewi, hukum, hal 62
66
c. Tujuan Perikatan (Maudhu’ul’Aqd)
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk
tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT
dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam hadits. Menurut ulama fiqh,
tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut.
Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.119
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai
berikut :120
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan ;
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad;
dan
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’;
d. Ijab dan Kabul (sighat al-‘aqd).
Sighat al’aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad
berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari
pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak
pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab kabul agar
memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut :121
119 Faturrahman Djamil, Hukum, hal 257-258.120 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal. 99-100.121 Faturrahman Djamil, Hukum, hal 253
67
1) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu
jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki ;
2) Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan
3) Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan
kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Menurut Azhar Basyir, Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara
yaitu secara :122
a. Lisan.
Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas.
b. Tulisan.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya
lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
c. Isyarat.
Orang cacat misalnya tuna wicara, juga dimungkinkan untuk melakukan satu
perikatan (akad) dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan
tersebut mempunyai pemahaman yang sama.
d. Perbuatan.
Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling
memahami suatu perbuatan perikatan dan segala akibat hukumnya, disebut
dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima).
122 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal. 68-71.
68
3. Hak dan Kewajiban dalam Akad
Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang saling bertimbal balik dalam
suatu transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain,
begitupun sebaliknya, kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak lain.
Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam. Dalam hukum
Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau
pada keduanya, yang diakui oleh syarak. Berhadapan dengan hak seseorang
terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya.123
a. Hak
1). Pengertian hak.
Menurut kamus, terdapat banyak sekali pengertian dari kata hak. Salah
satunya menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk
menuntut sesuatu. Arti lain adalah wewenang menurut hukum.124 Sedangkan
menurut ulama mutākhirin “ hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan
secara syara.” Sedangkan Mustafa Az-Zarqa mengatakan bahwa “hak adalah
sesuatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan atau
taklif”. Ibnu Nujaim (ahli fiqh Madzhab Hanafi) mengatakan bahwa “ hak
adalah sesuatu kekhususan yang terlindungi”.125
2). Macam-macam hak.
123 Ibid, hal 19.124 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), (Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal 3.125 Ibid.
69
Menurut ulama fiqh, dilihat dari segi pemilik hak, hak terbagi menjadi 3 (tiga)
yaitu :126
a) Hak Allah SWT
Yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,
mengagungkan Nya, seperti melalui berbagai macam ibadah, jihad, dan
amar ma’ruf nahi munkar. Hak Allah disebut juga hak masyarakat karena
karena hak Allah bertujuan untuk kemanfaatan umat manusia pada
umumnya dan tidak dikhususkan bagi orang-orang tertentu. Seluruh hak
Allah tidak dapat digugurkan baik melalui perdamaian (al-shulh), maupun
pemaafan, dan tidak boleh diubah.
b) Hak Manusia
Hak ini pada hakekatnya ditujukan untuk memelihara kemaslahatan setiap
pribadi manusia. Mengenai hak manusia ini, seseorang boleh
menggugurkan haknya, memaafkannya dan mengubahnya, dan boleh pula
mewariskannya kepada ahli waris. Disini tampak adanya kebebasan
berbuat dan bertindak atas dirinya sendiri.
c) Hak Gabungan antara hak Allah dan hak Manusia.
Mengenai hak gabungan ini, ada kalanya hak Allah lebih dominan, dan
ada kalanya hak manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh hak Allah
yang lebih dominan dalam masalah idah dan dalam hal menuduh zina
tanpa bukti yang cukup. Sedangkan hak manusia yang lebih dominan
adalah dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau penganiayaan dengan
sengaja, dimana dapat diganti dengan diyat yang berupa pembayaran
126 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal 20-22.
70
sejumlah harta oleh pihak pelaku sebagai ganti kerugian bagi pihak si
korban.
3). Kewenangan Pengadilan
Ulama Fiqh membagi masalah ini dalam dua macam :
a) Haqq Diyāni (keagamaan)
Yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri (intervensi) oleh kekuasaan
kehakiman. Misalnya dalam persoalan utang yang tidak dapat
dibuktikan oleh pemberi utang karena tidak cukup alat bukti didepan
pengadilan. Sekalipun tidak dapat dibuktikan didepan pengadilan,
tanggungjawab yang berutang di hadapan Allah tetap ada dan dituntut
pertanggung jawabannya di akherat kelak. Oleh sebab itu, bila lepas
dari hak kekuasaan kehakiman, seseorang tetap dituntut dihadapan
Allah dan dituntut hati nuraninya sendiri.127
b) Haqq Qadhāi
Adalah seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan
pemilik hak itu mampu membuktikan haknya didepan hakim.
Perbedaan antara Haqq Diyani dan Haqq Qadhāi terletak pada
persoalan zahir (lahir) dan batin. Hakim hanya dapat menangani hak-
hak yang lahir (tampak nyata) atau yang dapat dibuktikan saja.
Sedangkan Haqq Diyani menyangkut persoalan-persoalan yang
tersembunyi dalam hati yang tidak terungkap didepan pengadilan.128
127 Gemala Dewi, hukum, hal 72.128 Ibid, hal. 73.
71
Dalam kaitan dengan kedua hak ini ulama fiqh membuat kaidah yang
menyatakan “ Hakim hanya menangani persoalan-persoalan yang nyata
saja, sedangkan Allah akan menangani persoalan-persoalan yang
tersembunyi (yang sebenarnya) dalam hati.129
b. Kewajiban
Kewajiban berasal dari kata “wajib” yang diberi imbuhan ke-an. Dalam
pengertian bahasa kata wajib berarti : (sesuatu) harus dilakukan, tidak boleh
tidak dilaksanakan. 130 Wajib ini juga merupakan salah satu kaidah dari hukum
taklifi yang berarti hukum yang bersifat membebani perbuatan mukallaf. 131
Adapun pemahaman kewajiban dalam pengertian akibat hukum dari suatu
akad biasa diistilahkan dengan “iltizam”.
Secara istilah iltizam adalah :”Akibat (ikatan) hukum yang
mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu
perbuatan atau tidak berbuat sesuatu”. Substansi hak sebagai taklif (yang
menjadi keharusan yang terbebankan pada orang lain) dari sisi penerima
dinamakan hak, sedang dari sisi pelaku dinamakan Iltizam yang artinya
“keharusan atau kewajiban”. Jadi antara hak dan iltizam keduanya terkait
dalam satu konsep.132
129 Ibid.130 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus, hal 1266.131 Gemala Dewi, Hukum, hal 77.132 Ibid, hal. 78.
72
4. Penggolongan Akad
Menurut para ulama fiqih,secara garis besar akad dapat diklasifikasikan
dalam berbagai segi :
a. Dari segi penamaannya, akad dibagi menjadi dua macam yaitu :
1) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’
serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa,
perikatan.
2) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang jaman dan
tempat, seperti istishna’, bai’al-wafa’, dan lain-lain.133
b. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya
akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah.
2) Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak
perlu ditempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.134
c. Dilihat dari maksud dan tujuannya, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Akad Tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah, sama sekali
tidak ada unsur mencari ” return” atau motif. Akad yang termasuk dalam
133 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000), hal.108134
? Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy, Pengantar, hal 110.
73
kategori ini adalah hibah, wakaf, wasiat,ibra, wakalah, kafalah, hawalah,
rahn,dan qirad.
2) Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi
semuanya. Akad yang termasuk disisni adalah murabahah, salam,
istisna’, dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudharabah dan
musyarakah.135
d. Dilihat dari akibat hukumnya, akad dibagi menjadi :136
1) Akad pemberian hak milik, yaitu akad yang bertujuan memberikan hak
milik seseorang kepada orang lain, baik berupa benda atau manfaat benda,
baik dengan imbalan atau tanpa imbalan, seperti jual beli, sewa menyewa,
dan lain-lain. Pemberian hak milik dengan imbalan disebut akad tukar
menukar (mu’awadhah), yang tanpa imbalan disebut akad kebajikan
(tabarru’).
2) Akad pelepasan hak (isqath), yaitu melepaskan hak dengan atau tanpa
ganti. Misalnya membebaskan pihak berutang dari kewajiban membayar
hutang (Ibra’).
3) Akad pelepasan kekuasaan (ithlaq) yaitu akad yang bertujuan untuk
melakukan sesuatu perbuatan kepada orang lain, Misalnya orang
memberikan kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas nama orang
yang mewakilkan.
135 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta, Kencana,2004), hal.19.
136 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas, hal.123-124.
74
4) Akad pengikatan (taqyid) yaitu akad yang bertujuan mengikat orang dari
wewenang berbuat yang semula dimilikinya. Misalnya orang yang
mewakilkan menghentikan kekuasaan wakilnya.
5) Akad persekutuan (syirkah), yaitu akad yang bertujuan bekerjasama untuk
memperoleh suatu hasil /keuntungan. Misalnya persekutuan bagi hasil.
6) Akad pertanggungan (dhaman, takmin, atau tautsiq), yaitu akad yang
bertujuan untuk memperkuat sesuatu akad lain, seperti akad gadai sebagai
penguat akad utang piutang.
5. Berakhirnya Akad
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain
telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh
(pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab
sebagai berikut :
a. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya jual beli barang
yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat,atau
majelis.
c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena
merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini
disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi Riwayat Abu Daud
mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang
75
yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan
kesukarannyapada hari Kiamat kelak.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka
waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
f. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang;
g. Karena kematian.137
Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha
mengenai masalah apakah kematian pihak-pihak yang melakukan akad
mengakibatkan berakhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka
apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian
pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu
serta sifat (watak) masing-masing.
6. Penyelesaian Perselisihan.
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya
boleh dilakukan dengan 3 jalan, yaitu :
a. Shulhu ( jalan perdamaian).
Jalan pertama yang dilakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu akad
adalah dengan menggunakan jalan perdamaian (shulhu) antara kedua pihak.
Dalam fiqh pengertian shulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri
perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri
137 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih, hal 114-117.
76
sengketa.138 Disini tampak adanya pengorbanan dari masing-masing pihak
untuk terlaksananya perdamaian. Jadi dalam perdamaian ini tidak ada pihak
yang mengalah total ataupun penyerahan keputusan kepada pihak ketiga.139
Perdamaian (shulhu) disyariatkan berdasarkan Al-Quran (QS. 49:9), Sunnah
dan Ijma’. Umar ra pernah berkata : “ Tolaklah permusuhan hingga mereka
berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan
mengembangkan kedengkian diantara mereka”.140
b. Tahkim (jalan arbitrase)
Istilah tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai.
Sedangkan secara terminologis tahkim berarti pengangkatan seorang atau
lebih, sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang
bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara
damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk menyelesaikan perkara bukan
oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk langsung oleh dua orang yang
bersengketa. Aktivitas penunjukan itu disebut tahkim, dan orang yang
ditunjuk itu disebut hakam (jamaknya hukam). Penyelesaian yang dilakukan
oleh hakam pada abad modern ini disebut dengan arbitrase.141
Dasar hukum dari tahkim ini adalah : QS. An Nisa (4) : 35 , QS. Asy Syura
(17) : 38, QS. Ali Imran (3) : 159, Hadits Nabi Riwayat Tarmizi dari Amru
bin ‘Auf yang berbunyi : “ Kaum muslimin sangat terikat dengan
138 A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan Perikatan (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1983) hal.135.
139 Ibid.140 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 12, terjemahan oleh H. Kamaluddin A.M, (Bandung,
PT. Al Ma’arif,1988), hal. 190.
141 Gemala Dewi, Hukum, hal 91.
77
perjanjiannya, kecuali persyaratan (perjanjian) yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram “.142 Maksud dari hadits ini yaitu bahwa
dalam perjanjian dapat dicantumkan klausul arbitrase.
c. Al-Qadha (Proses Peradilan).
Al-Qadha secara harfiah antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut
istilah fiqh kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa
atau sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan mengikat. Lembaga
peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu
yang mencakup perkara atau masalah keperdataan, termasuk didalamnya
Hukum Keluarga, dan masalah tindak pidana. Orang yang berwenang
menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini dikenal dengan qadhi
(hakim).143
Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat skema mengenai bagaimana
sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan penyelesaiannya apabila
perdamaian tidak dapat diperoleh, ke lembaga mana sengketa tersebut dapat
diselesaikan.144
142 Ibid, hal 92143 Ibid
144 Ibid, hal 93.
78
Gambar 3.2
BAGAIMANA BISA TIMBUL SENGKETA145
145 Hartono Mardjono, Menjalankan Syari’ah Islam, (Jakarta, Studia Press,2000) hal 90.
Dengan Sempurna
Tidak Sempurna
Terlaksana
Beda pendapat dengan memahami isi
Tidak terlaksana
Akan timbul Sengketa
Bagaimana menyelesaikannya
Harus dilihat apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengenai cara penyelesaian sengketa
Melalui Pengadilan Melalui Arbitrase
Perjanjian
79
Penyelesaian serngketa melalui peradilan melewati beberapa proses, salah
satu proses yang penting adalah pembuktian. Alat bukti menurut hukum Islam
yaitu :
1) Ikrar (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu);
2) Syahadat (persaksian);
3) Yamin (sumpah);
4) Riddah (murtad);
5) Maktubah (bukti-bukti tertulis), seperti akta dan surat keterangan;
6) Tabayyun (upaya perolehan kejelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan
majelis pengadilan yang memeriksa);
7) Alat bukti bidang pidana, seperti pembuktian secara kriminologi ;146
Sedangkan alat bukti menurut Hukum Perdata pasal 164 HIR antara lain :147
1) Alat bukti tertulis, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan ;
2) Keterangan saksi ;
3) Pengakuan; dan
4) Persangkaan hakim/pengetahuan hakim ;
Secara umum, alat bukti menurut hukum Islam dan hukum perdata sama.
Letak perbedaan yang jelas terletak pada fungsi alat bukti sumpah (yamin) dalam
hukum Islam dengan pengakuan pada hukum Perdata dimana dalam hukum Islam
alat bukti sumpah adalah alat bukti yang berdiri sendiri (mutlak) dan mengikat
sebagai bukti yang terkait (contoh : sumpah li’an) tanpa disertai petunjuk lain.
Sedangkan menurut hukum Perdata sumpah adalah salah satu bentuk pengakuan
146 Ibid147 Ibid.
80
yang menegaskan adanya pengaduan atau gugatan saja, sehingga sumpah tersebut
harus disertai dengan petunjuk lainnya. Dalam Hukum Islam syarat-syarat saksi
serta jumlah mereka telah jelas untuk masing-masing perkara, sedangkan dalam
Hukum Perdata Barat tidak ditentukan demikian.
E. PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH
1. Pengertian Akad Pembiayaan Mudharabah
Akad mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu
pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya
untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni pihak pelaksana usaha, dengan tujuan
untuk mendapatkan untung. Atau singkatnya, akad mudharabah adalah
persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak
lain.148
Sedangkan menurut Muhammad, Mudharabah adalah suatu akad
(kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau sema’nanya tertentu dalam
jumlah, jenis dan karakternya (sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola
harta (jaiz attashruf) kepada orang lain yang ‘aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang
ia pergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari
keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan.149
2. Syarat dan Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a. Syarat Akad Pembiayaan Mudharabah
148 M. Anwar Ibrahim, hal 1.149 Muhammad, Konstruksi, hal. 47.
81
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut150 :
1. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang
perhiasan, emas, perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami
jaga /hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai
hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa
barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke dalam nilai uang.
2. Bahwa ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal
yang diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah
pihak sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad.
3. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas
nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan
penduduk Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari
perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang
bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase,
karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4. Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik
modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk
menggunakannya dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus
bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik
dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau
bebas.
150 Sayyid Sabiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan),( Bandung, Al Ma’arif, 2001),hal 23.
82
b. Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :151
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Obyek mudharabah (modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab- qobul)
4. Nisbah keuntungan
Ad.3.1. Pelaku
Dalam akad mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama
bertindak selaku pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak
sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad
mudharabah tidak ada.
Ad.3.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek
mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek
mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang
dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk
keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Ad. 3.3. Persetujuan
Faktor ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi
dari prinsip at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus
151 Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Mudharabah, (Yogyakarta, Magistra Insania Press,2005) hal. 3-6.
83
secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si
pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana sedangkan
pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Ad. 3.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor yang keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad
mudharabah. Faktor inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad
jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua
pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya,
sedangkan shahib al-māl mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.
3. Permasalahan dalam Penerapan Akad Mudharabah
a. Mengenai penentuan jangka waktu
Terdapat perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai penentuan jangka
waktu dalam akad mudharabah. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan kalau
seandainya Mudharabah ditentukan jangka waktu berlakunya, dan jika telah lewat
masa berlakunya, maka akadnya dianggap batal dengan sendirinya, adalah
diperbolehkan. 152 Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan, penentuan itu tidak
dibolehkan dan tidak sah. Karena melakukan usahanya dan merusak tujuan dari
mudharabah, sebab mungkin ia tidak mendapat keuntungan dalam waktu yang
ditentukan, padahal mungkin keuntungan baru akan didapatkan setelah lewat
waktu yang telah ditentukan itu.
152 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta, UII Press,2001), hal.54-55.
84
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam penentuan jangka waktu
berlakunya pengelolaan mudharabah dan lainnya sebenarnya dikembalikan
kepada ‘urf (kondisi sosio kultural dan kebiasaan) para pengusaha dalam
perdagangan. Oleh karena itu apa yang berlaku pada para pedagang yang
merupakan suatu batasan (ketentuan) yang bermanfaat bagi kepentingan maka
batasan itu diperbolehkan seperti masa berlakunya akad mudharabah, namun apa
yang mereka anggap tidak relevan dan tidak bermanfaat maka tidak sah.153
b. Kemungkinan Shahibul menarik modal mudharabah sewaktu-waktu
Mudharabah pada prinsipnya adalah akad jaiz (boleh dan tidak mengikat)
dan bukan akad lazim (wajib, harus dan mengikat) menurut semua fuqaha
madzhab. Oleh karena itu dibolehkan bagi kedua belah pihak (mudharib dan
shāhibul māl) untuk membatalkannya kapanpun mereka mau, dengan syarat
modal tersebut sudah dalam bentuk uang tunai.154
Dengan demikian shahibul māl boleh menarik kembali modalnya
sewaktu-waktu, dan mudharib mendapat kompensasi yang lazim/kompensasi
dengan standar konvensional (ujroh mitsl) atau sesuai kesepakatan antar
keduanya bila mudharib atau ‘amil telah memulai usaha kerjanya, sebab tidak
boleh ada yang dirugikan atau mendapatkan bahaya dalam kepentingannya.
Adapun jika modal tersebut masih berujud barang atau komoditi maka fasakh
(penarikan modal atau pembatalan akad) tersebut dapat dilaksanakan tetapi
mudharib masih memiliki kewenangan untuk mengelolanya sampai dapat
153 Ibid.154 Ibid, hal. 56
85
menguangkannya agar menjadi jelas bagiannya.menurut Madzhab Hanafi dan
Syafi’i. Sedangkan madzhab Hambali membolehkan bagi kedua belah pihak
untuk sepakat menjual barang tersebut atau membaginya.155
c. Kemungkinan shahibul māl menetapkan syarat-syarat penggunaan modal
mudharib
Para ulama telah sepakat membolehkan dan mengakui syarat-syarat atau
ketentuan yang ditetapkan shahibul māl dalam penggunaan modal mudharabah
dan mereka mewajibkan kepada mudharib selaku ‘amil untuk menepatinya selama
bermanfaat bagi kepentingan syarikat dan tidak bertentangan dengan kaidah dan
hukum syarikat.Karena firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 1 dan
hadits Rasulullah SAW yang artinya : “ orang-orang muslim terikat dengan
syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal”.156
d. Kemungkinan Mudharib membatalkan akad mudharabah sewaktu-waktu
Mudharib dapat membatalkan akad mudharabah sewaktu-waktu
sebagaimana shahibul māl dengan syarat sepengetahuan pihak mitranya untuk
membatalkan akad dan modal berbentuk uang tunai. Adapun modal berbentuk
barang, jika ia menuntut pembatalan, maka supaya menunggu sampai modal dan
155 Muhammad, Permasalahan Fiqhiyah dalam Penerapan Mudharabah, (Yogyakarta, Pusat Studfi Ekonomi Islam, 2003), hal.82.
156 Ibid, hal 91
86
aset tersebut menjadi tunai, dengan demikian menjadi jelas keuntungan atau
kerugian usaha tersebut.157
e. Kemungkinan shahibul māl menetapkan sanksi dalam akad mudharabah
kepada mudharib bila ia melanggar syarat-syarat shahibul māl.
Shahibul māl diperbolehkan untuk menetapkan sanksi yang akan
diberlakukan kepada mudharib bila ia melanggar syarat-syarat shahibul māl.
Sebab hal itu termasuk dalam kesepakatan bersama yang harus dipenuhi dan
ditepati, maka jika melanggar harus menanggung akibatnya dan menjamin
kerugian yang menimpa modal atau kepentingan shahibul māl. Sebab ia adalah
wakil dari shahibul māl dalam menjalankan modal, maka tindakannya yang
terkait dengan mudharabah harus sesuai dengan ketentuan atau syarat yang
ditetapkan oleh muwakkil dalam hal ini shahibul māl.158
F. Nisbah Bagi Hasil
1. Pengertian Bagi Hasil
Menurut kamus bahasa Indonesia, bagi hasil diartikan sebagai pemberian
perolehan suatu usaha kepada mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja
pengelolaan dalam jumlah yang ditentukan bersama sebelumnya. Secara rinci
pengertian kata hasil menunjuk pada perolehan atau pendapatan.159
Disini bagi hasil dapat mengandung pengertian bagi perolehan revenue
sharing bagi untung rugi profit-and loss sharing dan bagi untung (profit sharing).
157 Ibid, hal. 83158 Ibid, hal 92159 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989) hal 300
87
Tetapi dalam tehnik penghitungan, dikenal dua istilah bagi hasil yang terdiri dari
bagi untung (profit sharing) dan bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi untung
profit sharing adalah pembagian keuntungan usaha yang dihitung dari pendapatan
setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Didalam BMT, pola ini juga digunakan
untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaganya pada penabung (depositor).
Bagi hasil (revenue sharing) ialah bagi hasil yang dihitung dari seluruh
total pendapatan pengelolaan dana. Demikian juga, pola ini dapat digunakan
untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan Islam seperti BMT.
Karena itu sistim bagi hasil pada BMT berarti sistim yang diterapkan dalam
ekonomi yang diatas namakan Islam yang menekankan pada pembagian hasil
usaha yang besarannya sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terkait.
Dalam perkembangannya Lembaga Keuangan Syariah biasanya memberlakukan
pola bagi hasil itu untuk pembiayaan perdagangan. Dalam hukum Islam lama
(fiqh), bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah (syirkah). Kedua
bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang
mengambil bentuk bunga. 160
Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan
keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut :161
160 Waqaar Msood Khan, Towards, An Interest –Free Islamic Economic System, (UK: The Islamic Foundation UK and The International Association For Islamic Economies, Islamabad,1985M-1406 H) hal.28.
161 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2001) hal 61.
88
Tabel 3.1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA BAGI HASIL
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad dengan asumsi harus selalu
untung
a.Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi
hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan ganti
rugi
b.Besarnya prosentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah keuntungan yang
diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi.
c.Bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan.
Bila usaha merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak.
d.Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan
ekonomi sedang “booming”.
d. Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau
tidak dikecam) oleh semua agama
termasuk Islam.
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan
bagi hasil.
f.Jika terjadi kerugian ditanggung f. Jika terjadi kerugian ditanggung
89
nasabah saja. kedua belah pihak, nasabah dan
lembaga.
Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara
shahibul māl dengan mudharib. Dengan demikian semua pengeluaran rutin yang
berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib,
dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi
antara shahibul māl dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati
sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada
pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul māl telah
dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian
akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.162
Secara umum bagi hasil dalam mudharabah dapat digambarkan sebagai
berikut :163
Gambar 3.3. Bagi Hasil dalam Mudharabah
Perjanjian Bagi Hasil Keahlian/ Modal 100%Ketrampilan
Nisbah X % Nisbah X%
162 Muhammad, Teknik, hal 24163 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank, hal 94
Konsumen (mudharib)
Bank (Shahibul maal)Proyek /usaha
Pembagian keuntungan
90
( sumber : Antonio, 1997:94) pengembalian modal pokok
Implementasi konsep pembiayaan bagi hasil akan menimbulkan
konsekuensi lebih lanjut bahwa seluruh kerugian dalam usaha yang dibiayai akan
ditanggung oleh bank (shahibul māl) , kecuali jika kerugian tersebut disebabkan
oleh kelalaian nasabah atau melanggar persyaratan yang telah disepakati. Selain
itu juga pihak shahibul māl harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan
terjadinya kerugian nasabah sejak awal, sehingga keduanya cenderung
bekerjasama untuk mengatasi masalah yang timbul.
2. Nisbah Keuntungan
Nisbah keuntungan adalah proporsi pembagian keuntungan dari hasil
aktivitas mudharabah. Nisbah harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara
kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu.
Penentuan nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan pada porsi setoran
modal, walaupun dapat juga bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar
porsi setoran modal. 164
Ketentuan bagi untung dan bagi rugi merupakan konsekuensi logis dari
karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak
investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing
cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Apabila laba bisnisnya
164 Muhammad, Konstruksi, hal 184.
Modal
91
besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya
kecil, mereka mendapat bagian kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika
nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal
rupiah tertentu.165
Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian Madzhab Syafi’i, keuntungan
harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum
dibagikan). Sedangkan, Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali
menyebut, bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan secara
tunai kepada kedua pihak.166
Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan mengembalikan lebih
dahulu modal yang ditanamkan shahibul māl, namun kebanyakan ulama
menyetujui bila kedua belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa
mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung.
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung, bila
keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami kerugian, sebagian
ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta menutupi kerugian tersebut
dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.167
Keuntungan adalah milik bersama antara shahibul māl dan mudharib,
karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan membutuhkan,
maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah masing-masing.
Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah mudharib dapat
lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahibul māl tergantung pada
165 Ahmad Sumiyanto, Problem, hal 10-11.166 Gemala Dewi,dkk, Hukum, hal. 128.167 Ibid.
92
kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa
keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahibul māl dan mudharib)
harus dalam jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa
seperempat (25%) atau setengah (50 %) bagi mudharib misalnya, maka hal itu
sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya adalah bagi shahibul māl,
semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, baik nisbah
masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan harus ditepati. Sebab
umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati.168
168 Muhammad, Teknik, hal 63-64.
93
BAB III
DESKRIPSI BMT BINA IHSANUL FIKRI DAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum BMT Bina Ihsanul Fikri
1. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya
BMT Bina Ihsanul Fikri adalah lembaga keuangan mikro syariah yang
berdiri pada tahun 1996 di Gedongkuning Yogyakarta. BMT Bina Ihsanul Fikri
didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) organisasi satuan
Gedongkuning yang salah satu programnya adalah pemberdayaan ekonomi
kerakyatan. Pendiriannya dilatar belakangi oleh adanya keprihatinan atas
banyaknya usaha kecil yang kebutuhan modalnya dicukupi oleh rentenir yang
memungut bunga tinggi. Disamping itu juga kecendurungan dakwah Islamiyah
yang belum mampu menyentuh kebutuhan ekonomi sehingga misi dakwah belum
terasa sempurna. Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1997 BMT Bina Ihsanul Fikri
resmi berdiri dengan Badan Hukum Nomor : 159/BH/KWK.12/ V/1997 yang
berkedudukan di Jl. Semangu No. 28 Gedongkuning Yogyakarta.
Prinsip usaha BMT Bina Ihsanul Fikri dibagi menjadi dua yaitu usaha
sosial ( Baitul Māl ) dan usaha bisnis ( Baitul Tamwil ). Usaha sosial ini
bergerak dalam bidang penghimpunan dana zakat, infaq, dan shodaqoh kemudian
mentasyarufkan kepada delapan ashnaf, dengan skala prioritas untuk
94
mengentaskan kemiskinan melalui program ekonomi produktif dan bea siswa.
Sedangkan usaha bisnisnya bergerak dalam pemberdayaan masyarakat ekonomi
kelas bawah dan intensifikasi penarikan dan penghimpunan dana masyarakat
dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka serta menyalurkannya dalam
bentuk pembiayaan (kredit) kepada pengusaha atau pedagang kecil dengan sistem
bagi hasil.
Sasaran penghimpunan dananya adalah golongan masyarakat kelas
menengah atas ( aghnia) tetapi masyarakat kelas bawah tetap diarahkan untuk
menabung sesuai dengan kesanggupannya. Sedangkan sasaran utama penyaluran
pembiayaan adalah para pengusaha dan pedagang kecil yang tidak mampu
berhubungan dengan bank, dengan pola pengembalian dananya meliputi harian,
mingguan, dua mingguan, bulanan, serta pasaran.
Antusiasme masyarakat terhadap kehadiran BMT Bina Ihsanul Fikri
menjadi semangat pengelola untuk lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan usaha
kecil, namun mereka belum bisa berbuat maksimal karena terbatasnya modal yang
dimiliki.
2. Visi dan Misi serta Tujuan BMT Bina Ihsanul Fikri.
1. BMT Bina Ihsanul Fikri mencanangkan visinya untuk menjadi lembaga
keuangan syariah yang mandiri, amanah dan profesional serta unggul di
bidangnya dalam upaya memberdayakan ekonomi umat.
95
2. Misi BMT Bina Ihsanul Fikri adalah adalah menerapkan prinsip syariah,
membina kepedulian aghniya’ kepada dhuafa secara terpola dan
berkesinambungan menuju peningkatan kualitas kehidupan umat.
3. Tujuan BMT Bina Ihsanul Fikri adalah membangun kehidupan ekonomi umat
dengan pola syariah, menghindarkan sistem ekonomi dan keuangan dari
praktek ribawi, serta meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat.
Sedangkan untuk mencapai ketiga tujuan tersebut diatas, BMT Bina
Ihsanul Fikri menerapkan strategi sebagai berikut :
1. Penguatan Basis Anggota (jam’iyah)
BMT Bina Ihsanul Fikri melakukan pengembangan dan penguatan basis masa
keanggotaan, meningkatkan kualitas dan loyalitas anggota, membina yang
kecil dan bermitra dengan yang besar. Sebab dengan jumlah yang banyak dan
berkualitas serta memiliki loyalitas yang kuat, meskipun kecil niscaya akan
mampu memberikan akumulasi ekonomi yang besar dan relatif lebih stabil.
Atas usaha ini BMT Bina Ihsanul Fikri dalam waktu sebelas tahun telah
berhasil karena telah berkembang dan memiliki 5 kantor cabang.
2. Kemitraan Pelanggan (silaturahim)
Untuk memenangkan persaingan, BMT Bina Ihsanul Fikri telah memilih
strategi dengan cara menjalin atau membangun komunikasi bisnis dan sosial,
memperbanyak silaturahim, hubungan yang baik dan kemitraan, baik sebelum
maupun sesudah menjadi nasabah atau anggota, karena dengan kedekatan dan
96
kehangatan bermitra akan tercipta hubungan bisnis secara transparandan adil,
sehingga kepuasan nasabah dapat tercapai.
3. Proaktif (ruhul jadid)
BMT Bina Ihsanul Fikri selalu proaktif dan progresif terhadap perkembangan
bisnis dan sosial, selalu berkreasi dalam persaingan, dan inovatif dalam
produk maupun strategi bisnis.
4. Penguatan jaringan (ukhuwah)
BMT Bina Ihsanul fikri terus mengembangkan usaha, baik secara internal
maupun eksternal melalui pembukaan jaringan (cabang,, unit, kas) pada
sentra-sentra bisnis (dimana ada BRI disitu ada BMT Bina Ihsanul Fikri),
mengambil alih managemen BMT lain yang mengalami masalah, aktif dalam
setiap organisasi yang berhubungan dengan BMT, menjalin kerjasama dengan
lembaga funding, baik bank maupun non bank di dalam maupun diluar negeri.
5. Pengembangan Sumber Daya Insani ( tarbiyah)
BMT Bina Ihsanul Fikri secara terus menerus dan berkesinambungan
membangun keyakinan bahwa bekerja merupakan ibadah dan jihad ekonomi
Islam. Peningkatan sumber daya insani ini dibangun pada semua aspek, sikap,
wawasan, dan ketrampilan dengan mekanisme proses belajar tiada henti.
3. Produk dan Jasa BMT Bina Ihsanul Fikri
1. Un it Simpan Pinjam
97
a. Produk Penghimpunan Dana
BMT Bina Ihsanul Fikri memberikan pelayanan produk
penghimpunan dana dalam bentuk simpanan berdasarkan akad wadi’ah dan
mudharabah.
1) Tabungan Wadi’ah Domanah
Yaitu simpanan titipan murni dari ta’mir masjid atau kelompok pengajian
atau perorangan. Dana yang dititipkan akan dikelola oleh BMT Bina
Ihsanul Fikri dan nasabah akan mendapatkan bonus dengan nisbah bagi
hasil. Aplikasi dalam operasional BMT Bina Ihsanul Fikri antara lain :
Tabungan Haji, Tabungan Qurban, Tabungan Lembaga Islam, Tabungan
Walimahan, Tabungan Idul Fitri yang digolongkan dalam wadi’ah
domanah.
2) Tabungan Mudharabah
Yaitu simpanan umum, yaitu simpanan dana yang penyetoran dan
penarikannya dapat dilakukan sesuai perjanjian yang telah disepakati dan
BMT Bina Ihsanul Fikri memiliki kewenangan penuh untuk mengelola
sesuai dengan prinsip syariah. Atas produk ini penyimpan akan
mendapatkan bagi hasil setiap bulan.
Adapun produk tabungan mudharabah yang dikembangkan pada BMT
Bina Ihsanul Fikri antara lain :
a) Simpanan Umum
Yaitu bentuk simpanan yang disediakan bagi masyarakat umum dalam
bentuk tabungan BIF dimana setorannya dapat dilakukan sewaktu-
98
waktu dan pengambilannya juga dapat setiap saat. Kepada penabung
BMT Bina Ihsanul Fikri akan diberikan nisbah /bagi hasil sesuai
dengan perjanjian setiap bulannya dan diberikan pada setiap akhir
bulan.
b) Simpanan Idul fitri
Simpanan ini digunakan untuk keperluan hari raya idul fitri dimana
setorannya dapat dilakukan sewaktu-waktu, tetapi pengambilannya
hanya dapat dilakukan pada saat hari raya idul fitri.
c) Simpanan Idul Qurban dan Aqiqah
Simpanan ini khusus untuk pelaksanaan idul qurban atau aqiqah
dimana setorannya dapat dilakukan harian atau mingguan dan
pengambilan dananya dilakukan pada waktu akan melakukan ibadah
qurban atau pada saat kelahiran seorang anak.
d) Simpanan Haji
Simpanan yang digunakan khusus untuk persiapan menunaikan ibadah
haji, pembayarannya dapat dilakukan harian atau mingguan, sedang
pengambilannya ditentukan pada saat menjelang berangkat ibadah
haji.
e) Simpanan Pendidikan
Simpanan pendidikan yang simpanannya digunakan untuk keperluan
biaya pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Sama halnya dengan simpanan yang lain, simpanan pendidikan inipun
dapat dibayarkan secara harian atau mingguan tetapi pengambilannya
99
hanya dapat diambil pada waktu saat menjelang kebutuhan yang
berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan dan disesuaikan
dengan kesepakatan sebelumnya.
f) Simpanan Walimah
Simpanan yang diperuntukkan untuk keperluan pernikahan atau
walimahan, khitanan atau sejenisnya. Penyetorannya dapat disetor
sewaktu-waktu baik secara harian maupun mingguan dan
pengambilannya sewaktu menjelang walimahan.
3) Deposito Mudharabah
Yaitu simpanan yang jangka waktu pengambilannya sudah dipastikan.
Atas produk ini penyimpan akan mendapatkan bagi hasil yang umumnya
lebih tinggi bila dibandingkan dengan tabungan. Deposito yang tersedia
untuk pilihan waktunya yaitu minimal 3 bulan dengan nominal minimal
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
4) Sertifikat Bagi hasil atau Obligasi Syariah
Yaitu sejenis surat berharga atau obligasi syariah, dengan jangka waktu
minimal satu tahun. Penyimpanan akan mendapatkan bagi hasil setiap
bulan yang umumnya lebih besar dari deposito, penyimpan dapat memilih
sendiri calon peminjam (muqoyyadah) namun kelayakan usahanya tetap
menjadi kewenangan BMT, sedangkan jangka waktu yang ditentukan
minimal 1 tahun dengan nominal minimal Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
100
5) Penyertaan Musyarakah
Yaitu sejenis sertifikat pendiri yang besarnya akan ditetapkan setiap
tahunnya. Pemegang rekening merupakan pemilik yang terbatas atas BMT
Bina Ihsanul Fikri, karena mereka tidak dapat dipilih menjadi pengurus,
tetapi dapat memilih dalam setiap Musyawarah Akhir Tahun. Jangka
waktu minimal satu tahun dan hanya dapat diambil setelah disetujui dalam
Forum Musyawarah Tahunan. Nilai per lembar penyertaan setiap tahun
akan ditinjau ulang dan sejak tahun 2004 dijual dengan harga
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per lembarnya. Masyarakat dapat
memiliki lebih dari satu lembar akan tetapi suaranya pada Forum
Musyawarah Akhir Tahun tetap hanya satu.
6) Sertifikat Pendiri
Yaitu simpanan pokok anggota sebagai modal pada saat awal BMT Bina
Ihsanul Fikri didirikan. Pemegang Rekening ini merupakan pemilik BMT
Bina Ihsanul Fikri secara mutlak, oleh karenanya dapat dipilih dan
memilih dalam Forum Musyawarah Akhir Tahun. Sertifikat ini tidak dapat
dipindah tangankan, sehingga BMT Bina Ihsanul Fikri secara otomatis
akan menjadi pembeli langsung jika yang bersangkutan mengundurkan
diri. Besarnya nilai satu sertifikat adalah Rp. 250.000,- (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) dan dapat memiliki lebih satu lembar, tetapi suara
dalam rapat tetap satu. Anggota baru akan terus dikembangkan dengan
cara mengangsur sesuai kesanggupan.
7) Wakaf Tunai
101
Yaitu wakaf dalam bentuk uang yang diserahkan kepada Panti Asuhan dan
diinvestasikan di BMT Bina Ihsanul Fikri. Setiap hasil investasinya
disalurkan untuk membiayai / bea siswa sekolah anak-anak panti asuhan.
Besarnya wakaf tunai untuk masing-masing tingkatan sekolah adalah :
- SD : Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
- SLTP : Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)
- SLTA : Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
dana wakaf ini sebagaimana kedudukan wakaf sendiri tidak akan habis
dan terus bergulir, sehingga jika penerima beasiswa wakaf yang pertama
telah selesai sekolahnya, akan dialihkan kepada anak yang lain.
2. Produk Pembiayaan /Penyaluran Dana
Untuk menjangkau umat sampai pada lapisan paling bawah, dalam bidang
pembiayaan BMT Bina Ihsanul Fikri mengembangkan produknya ke dalam :
a. Jual Beli (murobahah)
Yaitu penyediaan barang modal dan atau barang konsumtif oleh BMT Bina
Ihsanul Fikri kepada peminjam. Atas dasar akad ini BMT akan mendapatkan
keuntungan yang besarnya dihitung atas dasar kesepakatan. Ada kalanya jual
beli ini diawali dengan akad sewa beli (ijarah).
b. Bagi Hasil (mudarabah-musyarakah)
Yaitu penyediaan modal usaha atas dasar kemitraan dan patungan modal
(musyarakah) atau dapat juga semua permodalan dari BMT Bina Ihsanul
102
Fikri (mudharabah). Atas akad ini, BMT Bina Ihsanul Fikri akan
mendapatkan bagi hasil sesuai dengan proporsi (nisbah) yang disepakati.
c. Jasa (Hiawalah-Ar-Rahn- Kafalah)
Yaitu produk jasa talangan dana yang dibutuhkan sangat cepat sementara
piutang nasabah ditempat lain belum jatuh tempo (hiwalah). BMT Bina
Ihsanul Fikri juga akan mengembangkan produk gadai syariah (Ar-Rahn)
dalam hal ini BMT Bina Ihsanul Fikri akan berperan sebagai penjamin atas
usaha nasabah terhadap pihak lain (Kafalah). Atas akad ini, BMT Bina
Ihsanul Fikri akan mendapatkan fee manajemen yang besarnya tergantung dari
kesepakatan.
d. Kebajikan (Al-Qord- Al Qordhul Hasan)
Yaitu peminjam kebajikan yang pokoknya harus kembali disebut Al-Qord.
Sedangkan dana yang bisa tidak kembali disebut Al-Qordhul Hasan. Al-Qord
sumber dananya dapat berasal dari dana produktif maupun sosial (ZIS), tetapi
Al-Qordhul Hasan dananya hanya bersumber dari dana sosial (ZIS). Namun
BMT Bina Ihsanul Fikri baru mengembangkan produk Al-Qord. Atas akad ini
BMT Bina Ihsanul Fikri akan mendapatkan fee atau infaq yang besarnya tidak
ditentukan.
4. Bentuk Sosialisasi di Masyarakat
103
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat penyandang dana serta
mengembangkan usahanya, juga untuk memperkenalkan keberadaan BMT Bina
Ihsanul Fikri beserta produk-produknya kepada masyarakat luas, BMT Bina
Ihsanul Fikri melakukan sosialisasi antara lain dengan cara :
1. Membagi-bagikan brosur tentang BMT Bina Ihsanul Fikri.
2. Memberi penjelasan melalui pengajian-pengajian di masjid-masjid dan
sekolah-sekolah berbasis Islam.
3. Memberikan pembinaan kepada pedagang-pedagang pasar ataupun kepada
pengrajin /pengusaha kecil, dan home industri.
4. Bekerjasama dengan instansi-instansi yang dianggap interes terhadap
perkembangan ekonomi yang Islam.
Selain meningkatkan pelayanan terhadap nasabah, BMT Bina Ihsanul
Fikri juga melakukan pembinaan ke dalam yakni meningkatkan sumber daya
karyawannya, antara lain dengan cara :
1. Setiap hari Jum’at diadakan tadarus dan majelis taklim di masing-masing
cabang dengan dipandu oleh manajer cabang masing-masing ;
2. Setiap bulan sekali diadakan pembinaan dan majelis taklim yang wajib diikuti
oleh seluruh pengurus baik pusat maupun cabang.
3. Setiap hari Rabu diadakan majelis rebon bagi para manajer cabang yang
membahas perkembangan BMT dan pertukaran informasi serta diskusi.
4. Setiap dua bulan sekali pada minggu kedua diadakan pembinaan khusus bagi
para petugas marketing..
104
5. Setiap tiga bulan sekali diadakan pembinaan khusus bagi para kasir dan
petugas pembukuan.
Selain pembinaan rutin sebagaimana tersebut diatas, secara temporal juga
diadakan pelatihan-pelatihan secara mandiri serta pelatihan-pelatihan yang
bermitra dengan pihak luar, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan
kinerja, pengetahuan, dan pemahaman tentang lembaga ekonomi syariah bagi
pengurus BMT Bina Ihsanul Fikri.
5. Keadaan dan Kondisi Nasabah
Sejak berdiri tahun 1997 hingga sekarang, BMT Bina Ihsanul Fikri
mengalami perkembangan yang cukup membanggakan. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah nasabah, cabang-cabang yang dimiliki, total asset dan lain sebagainya
yang setiap tahun mengalami peningkatan.
1. Perkembangan Nasabah
Jumlah nasabah BMT Bina Ihsanul Fikri setiap tahun mengalami
kenaikan, hal ini dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 3.2. Jumlah Nasabah BMT Bina Ihsanul Fikri tahun 2006
No. Data 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1. Penabung 1.139 1.287 1.400 1.896 4.113 4.983 5.493
2. Peminjam 550 645 675 763 2.467 3.029 4.837
* data per 31 Desember 2006
105
2. Sektor Ekonomi Anggota / Nasabah
Pemanfaatan pembiayaan nasabah dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel. 3.2.2. Pemanfaatan pembiayaan nasabah
No. Sektor Ekonomi Prosentase
1. Perdagangan 52,42 %
2. Pertanian 12,99 %
3. Industri 4,41 %
4. Konsumtif 12,73 %
5. Jasa 17,45 %* data per 31 Desember 2006
3. Perkembangan Profil Keuangan
Perkembangan keuangan pada BMT Bina Ihsanul Fikri dari tahun ke
tahun terus meningkat, hal ini dapat dilihat sebagaimana tabel berikut :
Tabel 3.2.3. Perkembangan Keuangan BMT Bina Ihsanul Fikri
tahun 2000-2006
Keterangan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Laba 8.074 13.698 12.145 14.600 22.384 46.613 51.252
106
Simpanan 532.420 692.425 961.272 1.739.755 4.338.543 8.628.471 51.252
Pembiayaan 412.246 504.320 606.300 1.146.335 3.561.737 8.813.398 8.813.398
Asset 436.035 508.046 726.493 1.275.900 4.053.192 4.179.249 5.154.944
Kondisi CS CS CS S S S S
Tumbuh 41,5 % 43 % 75,6 % 76 % 177 % 56,6 % 64,4 %
* Data per 31 Desember 2006
6. Kendala Operasional Yang Dihadapi dan Solusi Penyelesaiannya
BMT Bina Ihsanul Fikri telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat, tetapi tidak lepas dari kendala-kendala yang dihadapi dalam
operasionalnya, antara lain :
1. Pemahaman masyarakat khususnya umat Islam yang masih
keliru penilaiannya terhadap lembaga keuangan syariah.
2. Adanya pendapat sebagian masyarakat yang menilai bunga
bank konvensional itu bukan riba.
3. Keterbatasan sumber daya insani yang profesional dan
memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang lembaga keuangan syariah.
4. Kurangnya kepercayaan sebagian masyarakat pemilik dana
terhadap lembaga keuangan mikro syariah, yang disebabkan tidak adanya
Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dari pemerintah atau Bank Indonesia.
Disamping kendala-kendala tersebut diatas, melihat perkembangan BMT
Bina Ihsanul Fikri yang mengalami peningkatan yang cukup pesat, apalagi
melihat potensi pasar yang terbuka luas serta mulai tumbuhnya kesadaran
masyarakat akan kelebihan perekonomian dengan sistim syariah, sehingga
107
memungkinkan BMT Bina Ihsanul Fikri berkembang sebagai lembaga keuangan
syariah yang cukup berperan di masa depan.
B. Hasil Wawancara
Berikut ini adalah hasil wawancara peneliti dengan seluruh responden
yang berjumlah 12 orang nasabah, untuk mencari kebenaran tentang informasi
atau data yang diperoleh peneliti melalui wawancara pada responden, peneliti
melakukan wawancara dengan 2 orang sebagai sumber yaitu : (1) seorang petugas
administrasi dan informasi dan (2) seorang petugas marketing.
Adapun pertanyaan yang diajukan peneliti kepada responden dan sumber
yaitu :
1. Apakah Saudara mengerti apa yang dimaksud dengan pembiayaan
mudharabah ?
2. Bagaimana sistem pengelolaan modal yang diterapkan dalam pembiayaan
mudharabah ?
3. Bagaimana prosedur pembuatan laporan perkembangan usaha Saudara
setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna penghitungan nisbah
bagi hasil ?
4. Bagaimana Saudara menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
5. Bagaimana prosedur penentuan bagi hasil dalam akad pembiayaan
mudharabah ?
108
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Berikut ini kutipan hasil wawancara kepada 12 responden :
Responden No.1
Wawancara dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 12 Juli 2007 jam 09.15 sampai
dengan 09.30 WIB bertempat di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning
Yogyakarta dengan seorang nasabah dengan kategori nasabah dengan umur tertua.
Berikut kutipan hasil wawancaranya :
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud
dengan pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Tidak tahu, saya hanya tahu mengajukan pinjaman dan diberi
pinjaman modal, tetapi saya tidak tahu apa nama akadnya.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistim pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu, saya hanya menerima pinjaman modal dan
melakukan usaha saya semampu saya sendiri. Dan selama ini tidak
ada masalah dengan pihak BMT.
109
3. Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan
perkembangan usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada
BMT guna penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu, memang pada waktu akad petugas BMT
menerangkan bahwa setiap bulan saya harus melaporkan
keuntungan yang saya dapat dari usaha saya ini kepada petugas
BMT. Katanya untuk menghitung pembagian keuntungan yang
harus saya setor bersama angsuran pengembalian modal.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam
akad pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang paham.
Alasan : Saya hanya diberi tahu pada waktu akad, ada pembagian
keuntungan yang ditawarkan kepada saya. Tetapi karena saya
tidak paham, maka perhitungannya saya serahkan pada petugas
BMT.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu.
Responden No. 2
110
Wawancara dilaksanakan pada hari Senin tanggal 16 Juli 2007 jam 10.15 sampai
dengan 10.45 WIB bertempat di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning
Yogyakarta dengan seorang nasabah dengan kategori nasabah dengan umur
termuda.
Berikut kutipan hasil wawancaranya :
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud
dengan pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Setahu saya pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang
diberikan oleh BMT untuk modal usaha. Modal yang diberikan
100 % berasal dari BMT dan saya hanya berkewajiban untuk
mengelola usaha saya.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistim pengelolaan modalnya ?
Jawab : Paham.
Alasan : setahu saya pihak BMT tidak memberi batasan mengenai usaha
yang saya jalankan. Jadi saya juga menjalankan usaha saya
berdasarkan keinginan dan kemampuan saya.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Paham.
Alasan : Sebenarnya saya tidak begitu paham prosedurnya, tetapi saya tahu
setiap bulan ada kewajiban melaporkan keuntungan yang saya
peroleh dari usaha yang saya kelola.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
111
Alasan : Menurut keterangan petugas BMT, dalam pembiayaan
mudharabah tidak ada bunga, tetapi ada pembagian keuntungan
yang disebut dengan nisbah bagi hasil.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi
hasil dalam akad pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Ketika akad dilakukan, telah disepakati pembagian keuntungan
yang diperoleh tiap bulan berdasarkan prosentase.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam
akad pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Paham.
Alasan : Setahu saya didalam akad pembiayaan itu disebutkan jika terjadi
perselisihan antara BMT dengan nasabah akan diselesaikan di
Pengadilan Agama.
Responden No. 3
Wawancara dilaksanakan pada hari Senin tanggal 16 Juli 2007 jam 11.15 sampai
dengan 11.30 WIB bertempat di Wonocatur Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan pendidikan tertinggi.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Maksud pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang
diberikan oleh BMT sebagai modal usaha, dimana modal usaha
yang diberikan berupa keseluruhan modal usaha. Sedangkan
nasabah sebagai penerima modal berkewajiban menjalankan
usahanya
112
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Paham.
Alasan : Ya setahu saya sistem pengelolaan modalnya diserahkan
sepenuhnya kepada nasabah, kecuali nasabah yang diberi
pembiayaan dalam jumlah besar maka sistem pengelolaannya
diatur bersama dengan pihak BMT.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Paham.
Aalasan : Setiap bulan saya membuat laporan perkembangan usaha saya.
Memang dalam pembiayaan mudharabah diperlukan adanya
kejujuran nasabah, sehingga saya juga berusaha jujur dengan
memberikan laporan sesuai dengan kenyataan.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
Alasan : Menurut pemahaman saya bagi hasil adalah perhitungan
pembagian keuntungan yang diperoleh dalam menjalankan usaha
dengan modal dari pembiayaan mudharabah.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Pada saat melaksanakan akad pembiayaan mudharabah, pihak
BMT telah menjelaskan tentang adanya pembagian keuntungan
yang akan diperoleh sebagai hasil usaha, dan pembagian
keuntungan tersebut akan dibagi antara pihak BMT selaku
113
pemberi modal dengan nasabah berdasarkan perhitungan
prosentase. Besarnya bagian masing-masing juga disepakati pada
saat akad dilaksanakan.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Paham.
Alasan : Setahu saya biasanya jika terjadi perselisihan akan diselesaikan
secara intern oleh pihak BMT melalui jalan damai, akan tetapi
jika tidak terjadi penyelesaian, didalam akad disebutkan akan
diselesaikan melalui proses di Pengadilan Agama.
Responden No. 4.
Wawancara dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2007 jam 11.00 sampai
dengan 11.25 WIB bertempat di Kranggan Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan pendidikan terendah.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak paham maksudnya, yang saya tahu saya mendapat
bantuan modal untuk usaha saya, dengan pinjaman tanpa bunga.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistim pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu, usaha saya hanya usaha kecil, saya malah bingung
dengan penjelasan yang diberikan oleh karyawan BMT, jadi saya
hanya menjalankan usaha saya semampu saya saja.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
114
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Ketika menandatangani akad, saya diberitahu oleh karyawan BMT
bahwa dalam pemberian modal ini saya diberi kewajiban
melaporkan keuntungan yang saya peroleh tiap bulan, untuk
menghitung jumlah uang yang harus saya angsur kepada pihak
BMT. Tetapi saya tidak pernah membuat laporan, saya hanya
memberikan laporan secara lisan kepada karyawan BMT dan
mereka yang membantu saya menghitung jumlah uang yang harus
saya bayar sebagai angsuran bulanan.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Kurang paham.
Alasan : Saya tidak tahu.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya juga tidak paham.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak paham.
Responden No. 5
Wawancara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 18 Juli 2007 jam 14.00 sampai
dengan 14.1d5 WIB bertempat di Wonocatur Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan jenis pekerjaan swasta/menjahit.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
115
Jawab : Paham.
Alasan : Yang dimaksud pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang
diberikan oleh BMT sebagai modal usaha, dimana modal usaha
yang diberikan berupa keseluruhan modal usaha. Sedangkan
nasabah sebagai penerima modal berkewajiban menjalankan
usahanya
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Paham.
Alasan : Ya setahu saya sistem pengelolaan modalnya diserahkan
sepenuhnya kepada nasabah, kecuali nasabah yang diberi
pembiayaan dalam jumlah besar maka sistem pengelolaannya
diatur bersama dengan pihak BMT.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Paham.
Alasan : Setiap bulan saya membuat laporan perkembangan usaha saya.
Memang dalam pembiayaan mudharabah diperlukan adanya
kejujuran nasabah, sehingga saya juga berusaha jujur dengan
memberikan laporan sesuai dengan kenyataan.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
Alasan : Menurut pemahaman saya bagi hasil adalah perhitungan pembagian
keuntungan yang diperoleh dalam menjalankan usaha dengan modal
dari pembiayaan mudharabah.
116
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Pada saat melaksanakan akad pembiayaan mudharabah, pihak BMT
telah menjelaskan tentang adanya pembagian keuntungan yang akan
diperoleh sebagai hasil usaha, dan pembagian keuntungan tersebut
akan dibagi antara pihak BMT selaku pemberi modal dengan
nasabah berdasarkan perhitungan prosentase. Besarnya bagian
masing-masing juga disepakati pada saat akad dilaksanakan.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Paham.
Alasan : Setahu saya biasanya jika terjadi perselisihan akan diselesaikan
secara intern oleh pihak BMT melalui jalan damai, akan tetapi jika
tidak terjadi penyelesaian, didalam akad disebutkan akan
diselesaikan melalui proses di Pengadilan Agama.
Responden No. 6
Wawancara dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 24 Juli 2007 jam 14.00 sampai
dengan 14.20 WIB bertempat di Kranggan Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan jenis pekerjaan dagang di pasar.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak paham maksudnya, yang saya tahu saya mendapat
bantuan modal untuk usaha saya, dengan pinjaman tanpa bunga.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistim pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
117
Alasan : Saya tidak tahu, usaha saya hanya usaha kecil, saya malah bingung
dengan penjelasan yang diberikan oleh karyawan BMT, jadi saya
hanya menjalankan usaha saya semampu saya saja.
3. Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Ketika menandatangani akad, saya diberitahu oleh karyawan BMT
bahwa dalam pemberian modal ini saya diberi kewajiban
melaporkan keuntungan yang saya peroleh tiap bulan, untuk
menghitung jumlah uang yang harus saya angsur kepada pihak
BMT. Tetapi saya tidak pernah membuat laporan, saya hanya
memberikan laporan secara lisan kepada karyawan BMT dan
mereka yang membantu saya menghitung jumlah uang yang harus
saya bayar sebagai angsuran bulanan.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Tanpa alasan.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang paham.
Alasan : Tanpa alasan.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Tidak tahu.
118
Responden No. 7
Wawancara dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 24 Juli 2007 jam 10.00 sampai
dengan 10.20 WIB bertempat di Gedongkuning Yogyakarta dengan seorang
nasabah dengan kategori nasabah penerima modal pembiayaan kecil.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya mengerti namanya akad mudharabah, namun apa yang
dimaksud dengan pembiayaan mudharabah saya tidak paham.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu, selama ini saya malah tidak pernah tahu yang
dimaksud dengan sistem pengelolaan modal dalam pembiayaan
mudharabah yang saya terima. Pihak BMT juga tidak pernah
memberi tahu, mungkin karena pembiayaan yang saya terima
cuma sedikit, jadi tidak perlu pengelolaan yang rumit.
3. Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Setiap bulan saya hanya melaporkan keuntungan yang saya
peroleh kepada karyawan BMT untuk dihitung prosentase bagi
hasilnya.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Kurang Paham.
119
Alasan : Setahu saya nisbah bagi hasil adalah perhitungan pembagian
keuntungan dari modal pembiayaan mudharabah yang saya
peroleh dari usaha yang saya kelola setiap bulannya..
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak paham prosedurnya, hanya pada waktu akad dijelaskan
oleh pihak BMT bahwa dalam pembiayaan mudharabah tidak ada
bunga, tetapi diganti dengan pembagian keuntungan yang
diperoleh dari hasil usaha, yang pembagiannya dihitung berdasar
prosentase. Tetapi prosedurnya bagaimana saya kurang paham,
jadi saya manut perhitungan dari karyawan BMT.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya juga kurang paham. Setahu saya diselesaikan secara intern
dengan pihak BMT.
Responden No. 8
Wawancara dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 24 Juli 2007 jam 10.00 sampai
dengan 10.30 WIB bertempat di Gedongkuning Yogyakarta dengan seorang
nasabah dengan kategori nasabah penerima modal pembiayaan besar.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Ya saya mengerti maksudnya, dimana disini BMT bertindak
selaku pemberi dana (shahibul māl) dan saya selaku nasabah
sebagai pengelola usaha (mudharib). Disini tidak diterapkan sistim
120
bunga tetapi ada perhitungan bagi hasil sebagai pembagian dari
keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dijalankan.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistim pengelolaan modalnya ?
Jawab : Paham.
Alasan : Sepengetahuan saya mengenai sistem pengelolaan dananya, dana
100 % berasal dari pihak BMT, sedang saya selaku nasabah
tinggal mengelola usaha yang telah disepakati dengan pihak BMT.
Disini karena modal yang saya peroleh besar, maka pihak BMT
juga ikut memberikan arahan dalam pengelolaan usaha saya.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Paham.
Alasan : Saya paham, setiap bulan saya membuat pembukuan mengenai
keuntungan yang diperoleh dalam pengelolaan usaha saya,
sehingga dalam memberikan laporan mengenai perkembangan
usaha saya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
Alasan : Nisbah bagi hasil adalah sistem perhitungan pembagian
keuntungan yang diperoleh setiap bulannya antara pihak BMT
selaku shahibul māl dengan nasabah selaku mudharib.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Bagi hasil kan perhitungannya sudah disepakati pembagiannya
berdasar prosentase yang disepakati di awal akad. Jadi setiap bulan
121
pembagian bagi hasil hanya tinggal didasarkan pada prosentase
yang telah disepakati tersebut.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Paham.
Alasan : Jika ada perselisihan didalam akad telah ditunjuk penyelesaiannya
melalui Pengadilan Agama.
Responden No. 9
Wawancara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Juli 2007 jam 09.00 sampai
dengan 09.30 WIB bertempat di Kotagede Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan kategori wanita.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Ketika mencari modal untuk usaha saya, saya diberitahu oleh
karyawan BMT bahwa saya mendapat pembiayaan mudharabah.
Menurut penjelasan yang saya terima, BMT akan memberi modal
100 % yaitu sejumlah modal yang saya perlukan, dengan
pembagian keuntungan usaha yang dihitung setiap bulan sebagai
pengganti sistem bunga.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu, selama ini pihak BMT tidak menentukan sistem
apa yang harus saya pakai dalam mengelola usaha saya. Jadi saya
selama ini menjalankan usaha sesuai dengan sistem saya sendiri.
122
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Disamping alasan saya kurang paham, juga karena jumlah modal
yang saya terima hanya kecil, dan usaha saya juga masih kecil,
meski saya tahu ada kewajiban membuat laporan perkembangan
usaha yang saya kelola, tetapi saya merasa tidak perlu membuat
laporan secara tertulis dan terperinci. Jadi saya melaporkan
keuntungan yang saya peroleh setiap bulan secara lisan dan
menyerahkan perhitungan prosentase keuntungannya kepada
BMT.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya kurang begitu paham. Tapi menurut yang saya dengar nisbah
bagi hasil adalah perhitungan pembagian keuntungan dari hasil
pengelolaan modal pembiayaan mudharabah.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang paham.
Alasan : Saya tidak paham, pada waktu akad dijelaskan oleh pihak BMT
bahwa dalam pembiayaan mudharabah ada pembagian keuntungan
berdasarkan prosentase yang waktu itu juga saya sepakati
pembagiannya.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Kurang paham.
123
Alasan : Setahu saya diselesaikan secara damai saja.antara nasabah dengan
pihak BMT.
Responden No. 10
Wawancara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 Juli 2007 jam 09.00 sampai
dengan 09.30 WIB bertempat di Kotagede Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan kategori laki-laki.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya memang nasabah pembiayaan mudharabah, saya tahu
namanya akad mudharabah dari penjelasan karyawan BMT,
namun apa yang dimaksud dengan pembiayaan mudharabah saya
tidak paham.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak tahu, selama ini modal yang saya dapat saya kelola
berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan saya , dan pihak BMT
selama ini juga tidak mengharuskan ada aturan atau sistem yang
harus saya ikuti.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak paham, tapi saya tahu ada kewajiban untuk melaporkan
keuntungan yang diperoleh guna menghitung prosentase bagi
hasilnya. Usaha saya termasuk usaha kecil, jadi saya belum
membuat pembukuan keuangan, jadi laporan yang saya buat pun
hanya berdasar perkiraan jumlah keuntungan yang saya peroleh
124
tiap bulan, jadi bukan keuntungan dengan perhitungan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
Alasan : Ya saya tahu, nisbah bagi hasil adalah perhitungan pembagian
keuntungan dari modal pembiayaan mudharabah yang saya
peroleh dari usaha yang saya kelola setiap bulannya..
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya tidak mengerti prosedurnya, hanya pada waktu akad
dijelaskan oleh pihak BMT bahwa dalam pembiayaan mudharabah
ada perhitungan pembagian keuntungan yang diperoleh dari hasil
usaha, yang pembagiannya dihitung berdasar prosentase. Tetapi
karena saya kurang paham, jadi saya serahkan perhitungannya
pada BMT.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Paham.
Alasan : Saya membaca di akad perjanjian, bahwa jika ada perselisihan
akan diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Responden No. 11
Wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 28 Juli 2007 jam 11.00 sampai
dengan 11.30 WIB bertempat di Kotagede Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan kategori nasabah baru..
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
125
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Pada waktu akad saya diberi penjelasan namanya akad
mudharabah, namun sebagai nasabah baru apa yang dimaksud
dengan pembiayaan mudharabah saya masih belum paham.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya juga tidak tahu, selama ini saya baru mengenal istilah
pembiayaan mudharabah sehingga saya juga belum tahu yang
dimaksud dengan sistem pengelolaan modal dalam pembiayaan
mudharabah yang saya terima. Pihak BMT juga tidak pernah
memberi tahu, sehingga saya mengelola modal yang saya terima
ya sebisa saya saja.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Kurang Paham.
Alasan : Saya diberi penjelasan bahwa setiap bulan ada kewajiban untuk
melaporkan keuntungan usaha yang saya kelola, tetapi karena
masih belum paham maka saya minta tolong pihak BMT untuk
menghitungkan prosentase bagi hasilnya.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
Alasan : Setahu saya nisbah bagi hasil adalah perhitungan pembagian
keuntungan dari modal pembiayaan mudharabah yang diperoleh
dari usaha yang dikelola setiap bulannya..
126
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Saya tahu karena pada waktu akad dijelaskan oleh pihak BMT
bahwa dalam pembiayaan mudharabah ada pembagian keuntungan
yang diperoleh dari hasil usaha, yang pembagiannya dihitung
berdasar prosentase.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Kurang paham.
Alasan. : Setahu saya diselesaikan secara damai saja.antara nasabah dengan
pihak BMT.
Responden No. 12
Wawancara dilaksanakan pada hari Senin tanggal 30 Juli 2007 jam 09.00 sampai
dengan 09.30 WIB bertempat di Umbulharjo Yogyakarta dengan seorang nasabah
dengan kategori nasabah dengan kategori nasabah lama.
1. Apakah Bapak/Ibu selaku nasabah BMT mengetahui yang dimaksud dengan
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan. : Ya saya mengerti, pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan
yang diberikan untuk mengelola usaha, dimana 100 % modalnya
berasal dari BMT. Tidak ada perhitungan bunga tetapi ada
perhitungan bagi hasil setiap bulannya.
2. Apakah selaku nasabah pembiayaan mudharabah Bapak /Ibu juga mengetahui
mengenai sistem pengelolaan modalnya ?
Jawab : Paham.
Alasan : Yang saya tahu, selama ini hanya dijelaskan oleh pihak BMT
bahwa meski 100 % modal dari BMT tetapi saya diberi kebebasan
127
untuk mengelola usaha saya sendiri, asal tidak menyimpang dari
syariat Islam.
3.Apakah Bapak /Ibu mengetahui prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha Saudara setiap bulan yang harus dilaporkan kepada BMT guna
penghitungan nisbah bagi hasil ?
Jawab : Paham.
Alasan : Ya saya tahu, setiap bulan saya membuat laporan perhitungan
keuntungan yang saya peroleh meski dalam bentuk yang
sederhana. Yang penting bisa untuk menghitung prosentase
pembagian keuntungannya.
4. Bagaimana Bapak/Ibu menafsirkan apa yang dimaksud dengan pengertian
nisbah bagi hasil?
Jawab : Paham.
Alasan : Menurut penafsiran saya nisbah bagi hasil adalah perhitungan
pembagian keuntungan dari hasil usaha yang dikelola mudharib
dari modal pembiayaan mudharabah yang diperoleh.
5. Bagaimana Bapak/Ibu memahami prosedur penentuan bagi hasil dalam akad
pembiayaan mudharabah ?
Jawab : Paham.
Alasan : Prosentase pembagian keuntungan kan sudah disepakati pada
awal akad, jadi tiap bulan tinggal dihitung dengan keuntungan
yang diperoleh.
6. Bagaimana cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan dalam akad
pembiayaan mudharabah ini ?
Jawab : Paham.
Alasan : Setahu saya dulu melalui arbitrase, tetapi di akad yang baru
disebutkan jika ada sengketa akan diselesaikan di Pengadilan
Agama.
128
Hasil wawancara responden tersebut dapat digambarkan dengan tabel
sebagai berikut :
Tabel 3.3. Rekapitulasi Jawaban Hasil Wawancara Peneliti dengan
Responden mengenai pemahaman akad pembiayaan mudharabah
No Item pertanyaan mengenai
Jawaban Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Pengertian nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah
KP P P KP P KP KP P P KP KP P
2. Pengertian nasabah tentang sistem pengelolaan modal pembiayaan mudharabah
KP P P KP P KP KP P KP KP KP P
3. Pengertian nasabah mengenai prosedur pembuatan laporan perkembangan usaha
KP P P KP P KP KP P KP KP KP P
129
Tabel 3.3.2. Rekapitulasi Jawaban Hasil Wawancara Peneliti dengan
Responden mengenai pemahaman Nisbah bagi hasil
No Item Pertanyaan mengenai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Penafsiran nisbah bagi hasil KP P P KP P KP KP P P P P P
2. Pengertian mengenai prosedur penentuan bagi hasil
KP P P KP P KP KP P KP KP P P
3. Pengertian mengenai cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan
KP P P KP P KP KP P KP P K
P
P
Untuk mempermudah memahami tabel 1 dan tabel 2 yaitu tabel
Rekapitulasi Jawaban Hasil Wawancara Peneliti dengan Responden mengenai
pemahaman akad mudharabah dan nisbah bagi hasil, maka dapat disederhanakan
seperti terlihat pada tabel 3 sebagai berikut :
130
Tabel 3.3.3. : Jumlah Jawaban Responden
No Item Pertanyaan mengenaiPaham (P) Kurang
Paham (KP)
Total
1. Pengertian nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah
6 6 12
2. Pengertian nasabah tentang sistem pengelolaan modal pembiayaan mudharabah
5 7 12
3. Pengertian nasabah mengenai prosedur pembuatan laporan perkembangan usaha
5 7 12
4. Penafsiran nisbah bagi hasil 8 4 12
5. Pengertian mengenai prosedur penentuan bagi hasil
6 6 12
6. Pengertian mengenai cara yang ditempuh jika terjadi perselisihan
5 7 12
Jumlah42 30 72
Berdasarkan tabel 3 tersebut, disini dapat digambarkan dalam bentuk grafik
sebagai berikut :
131
Gambar 3.3. Rekapitulasi Hasil wawancara nasabah pembiayaan
Mudharabah di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta
132
Rekapitulasi Hasil Wawancara Nasabah Pembiayaan Mudarobah BMT Bina Insanul Fikri Gedong Kuning Yogyakarta
6
5 5
8
6
5
6
7 7
4
6
7
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4 5 6
Nomor Item Pertanyaan
Jum
lah
Paham Kurang Paham
BAB IV
PEMBAHASAN
133
A. Akad Pembiayaan Mudharabah
Dari penelitian, didapat hasil bahwa ada faktor internal dan eksternal yang
dapat mempengaruhi nasabah dalam memahami akad pembiayaan mudharabah
dan nisbah bagi hasil. Didalam penelitian ini, faktor internal yang mempengaruhi
pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi
hasil meliputi 6 hal yaitu : umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, jumlah
pembiayaan, dan lama menjadi nasabah. Sedangkan faktor eksternal adalah
penjelasan yang diperoleh dari BMT mengenai akad pembiayaan mudharabah dan
nisbah bagi hasil. Pemahaman mengenai akad pembiayaan mudharabah dibagi
menjadi 3 item yaitu pemahaman mengenai akad pembiayaan mudharabah,
pemahaman tentang pengelolaan usaha, pemahaman tentang kewajiban membuat
laporan, sedang pemahaman mengenai nisbah bagi hasil dibagi menjadi 3 yaitu
pemahaman tentang nisbah bagi hasil, pemahaman tentang kesepakatan
pembagian keuntungan, pemahaman tentang penyelesaian sengketa, dimana
keenam hal ini dijadikan oleh penulis sebagai indikator dalam menilai seorang
nasabah paham atau kurang paham mengenai akad pembiayaan mudharabah dan
nisbah bagi hasil. Berikut ini adalah pembahasan dari hasil wawancara dengan
responden :
1. Pemahaman Nasabah mengenai Akad Pembiayaan Mudharabah
134
Dari 12 responden, 6 orang menyatakan kurang paham dan 6 orang
menyatakan paham. Faktor eksternal yaitu penjelasan dari pihak BMT
memegang peran yang sangat penting. Karena dari faktor inilah nasabah yang
biasanya masih awam mulai diperkenalkan mengenai pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasil. Disini faktor internal yang mempengaruhi
adalah faktor usia, pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah pembiayaan, jenis
kelamin dan lama menjadi nasabah.
Nasabah yang menyatakan kurang paham mengaku sudah diberi
penjelasan secara garis besar oleh pihak shahibul māl (BMT), tetapi mereka
hanya mengerti mendapat pinjaman modal dari BMT untuk mengelola usaha,
namun tidak mengerti nama dan maksud akadnya karena menurut mereka
istilahnya masih awam bagi mereka.
Responden yang mempunyai umur muda, tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, nasabah yang menerima pembiayaan besar, dan nasabah lama
mengaku memahami penjelasan yang diberikan oleh pihak BMT mengenai
maksud akad pembiayaan mudharabah, dimana dipahami akad pembiayaan
mudharabah adalah suatu bentuk kemitraan, disini pihak BMT bertindak
selaku penyerta modal ( shahibul māl ) sedangkan nasabah sebagai pengelola
modal, dengan perhitungan pembagian keuntungan dari hasil usaha tersebut.
Akad mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak dimana
satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah
modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni pihak pelaksana usaha,
dengan tujuan untuk mendapatkan untung. Atau singkatnya, akad
135
mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak
dengan kerja dari pihak lain.
Dalam pembiayaan mudharabah, sebagian besar nasabah tidak
memahami apa yang dimaksud dengan mudharabah begitu juga dengan sistim
bagi hasil yang diterapkan, tetapi karena kebutuhan modal maka mereka
kemudian menyepakatinya;
Dari hasil penelitian ini, didapat hasil bahwa nasabah yang tidak
paham tentang akad pembiayaan mudharabah ini juga tidak memahami bahwa
akad yang dilakukan memiliki akibat hukum. Bahwa dilihat dari pendapat
para ulama, bahwa ijab kabul akan memiliki akibat hukum jika memenuhi
kehendak para pihak secara pasti, juga apabila tujuan yang terkandung dalam
pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki
(Jala’ul ma’na). Sehingga jika para nasabah tidak memahami akad
pembiayaan mudharabah yang dilakukan, maka seharusnya bisa dianggap
akad tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Namun selama ini didalam
pelaksanaan akad di BMT, termasuk akad pembiayaan mudharabah, jika
nasabah sudah menandatangani akad, maka berlaku seperti dalam akad di
Bank Konvensional, bahwa nasabah dianggap tahu tentang akad pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasilnya ;
Dalam hal ini, terlepas dari paham atau tidak pahamnya nasabah
tentang isi dan maksud dari akad tersebut, tetap berlaku azas yaitu apabila ia
telah menanda tangani akad tersebut berarti ia dianggap mengerti dan
memahami akad tersebut. Ia telah dianggap sepakat dan menyetujui akad
136
tersebut beserta seluruh akibat hukumnya. Akad tersebut mengikat bagi kedua
belah pihak, dan sebagai konsekuensinya menimbulkan hak dan kewajiban
yang mengikat bagi kedua belah pihak, yaitu bagi pihak BMT dan nasabah
serta.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Sumiyanto, yang
membicarakan mengenai atribut mudharib, ciri-ciri proyek dan minat BMT
terhadap pembiayaan mudharabah. Dari penelitiannya diketahui bahwa
pembiayaan mudharabah belum menjadi pola pembiayaan yang menarik bagi
BMT. Penelitian ini memperkuat pendapat tersebut dimana nasabah
pembiayaan mudharabah ternyata kurang paham dengan maksud pembiayaan
ini, sehingga BMT sebagai shahibul māl mempunyai resiko yang besar
dalam hal terjadi kerugian. Dengan demikian menjadikan akad pembiayaan
mudharabah prosentasenya lebih kecil dibanding dengan akad pembiayaan
lain.
2. Pengertian nasabah tentang sistem pengelolaan modal pembiayaan
mudharabah
Tentang sistem pengelolaan modal, 5 responden menyatakan paham
sedang 7 responden menyatakan kurang paham. Nasabah yang mempunyai
tingkat pendidikan lebih tinggi mengaku paham. Nasabah dengan jumlah
pembiayaan modal besar juga mengaku paham karena pihak BMT memang
lebih memantau perkembangan pengelolaan usahanya daripada nasabah
dengan pembiayaan kecil. Selain itu juga nasabah yang telah lama menjadi
137
nasabah sudah mengetahui tentang sistem pengelolaan modal dalam
pembiayaan mudharabah.
Responden yang menyatakan paham merasa penjelasan yang
diberikan oleh pihak BMT sudah cukup jelas. Bahwa didalam pembiayaan
mudharabah, pihak nasabah sebagai pengelola modal kerja mempunyai hak
kebebasan dalam mengelola modal yang diberikan, karena sistem pengelolaan
modalnya 100 % diserahkan kepada nasabah selaku mudharib, asal tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sumiyanto yang menyatakan bahwa
sistem pengelolaan modal didalam pembiayaan mudharabah adalah pemilik
modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal
yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai
uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian,
ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Responden yang kurang paham menyatakan bahwa mereka merasa
penjelasan yang diberikan oleh BMT kurang terperinci, sehingga mereka
melaksanakan usahanya berdasarkan persepsi mereka sendiri. Diantara
responden itu juga ada yang tidak memahami bahwa nasabah diberi kebebasan
dalam mengelola usahanya. Sehingga sering timbul kekhawatiran adanya
intervensi pihak BMT dalam mengelola usahanya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Muhammad, bahwa persepsi
masyarakat tentang Bank Syari’ah (baca BMT) masih keliru. Selama ini
138
masih ada pemahaman nasabah bahwa pihak bank (baca BMT) akan turut
campur dalam manajemen perusahaan/usaha.
Penanganan seluruh kegiatan usaha dilakukan oleh nasabah
(mudharib). BMT sebagai penyedia modal tidak akan mencampuri
manajemen usaha, tetapi mempunyai hak untuk melakukan kontrol atau
pengawasan. Dalam hal ini sangat diperlukan penguasaan dan pemahaman
atas karakteristik resiko usaha nasabahnya, akan semakin ketat pengawasan
dan kontrol yang harus dilakukan oleh pihak BMT guna mengantisipasi hal-
hal yang tidak diharapkan.
3. Pengertian nasabah mengenai prosedur pembuatan laporan perkembangan
usaha
Dari item ini 7 responden menyatakan kurang paham, 5 lainnya
menyatakan paham. Pada umumnya nasabah/responden sudah mengetahui
bahwa pada akhir periode usaha, Mudharib harus mengembalikan modal
kepada shahibul māl ditambah dengan sejumlah keuntungan dari hasil usaha.
Besarnya keuntungan tersebut didasarkan pada nisbah bagi hasil yang telah
disepakati bersama sebelumnya. Besarnya keuntungan tersebut dihitung
berdasar laporan bulanan yang dibuat oleh nasabah.
Responden yang menyatakan kurang paham mengaku selama ini juga
telah membuat laporan mengenai perkembangan usahanya setiap bulan,
namun diakui kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan
diantara mereka ada yang benar-benar tidak mengerti cara perhitungannya,
139
ada yang memang dengan sengaja membuat laporan yang tidak sesuai dengan
kenyataan dengan alasan karena tidak mempunyai sistem pembukuan yang
baik, sehingga tidak punya data keuangan yang baik.
Menurut hasil wawancara penulis dengan karyawan BMT sebagai nara
sumber, pihak BMT memang tidak memberikan keharusan bagi nasabah
untuk membuat laporan secara tertulis, hal ini terutama bagi nasabah dengan
jumlah pembiayaan kecil. Karena mereka yang menerima pembiayaan dalam
jumlah kecil sebagian besar adalah para pedagang di pasar yang
pendidikannya rendah. Selain tidak bisa mereka juga beralasan malas untuk
membuat laporan secara tertulis. Sehingga mereka cukup memberi laporan
kepada petugas BMT secara lisan, dan petugas BMT yang akan menghitung
berapa besar pembagian keuntungan yang diperoleh pada bulan itu. Disini
yang diperlukan adalah kejujuran nasabah dan kepercayaan dari BMT.
Adapun bagi nasabah dengan jumlah pembiayaan yang besar, pihak
BMT mewajibkan adanya laporan secara tertulis dan tertib. Pihak BMT juga
mengharuskan adanya catatan pembukuan yang tertib dan terperinci tentang
keuntungan yang diperoleh dalam pengelolaan usaha tersebut. Hal ini
dimaksudkan untuk mengamankan pembayaran kembali dari nasabah. Oleh
karena itu maka administrasi atas segala transaksi penjualan dan pendapatan
usaha diupayakan setransparan dan serapi mungkin. Mengingat pencatatan
tersebut nantinya akan menjadi dasar ketika melakukan perhitungan bagi
hasil.
140
Menurut peneliti, sejalan dengan pendapat Moedigdo, perlu kiranya
dimunculkan pemahaman yang benar akan hakikat mudharabah. Mudharabah
memang sebuah kerjasama yang membutuhkan kejujuran total dari kedua
belah pihak terlebih bagi mudharib. Kejujuran yang dimaksud meliputi hal-hal
yang berkaitan dengan pengelolaan usaha dan pelaporan hasil usahanya.
B. Nisbah Bagi Hasil
1. Pemahaman mengenai Nisbah bagi hasil
Pada umumnya nasabah sudah pernah mendengar istilah nisbah bagi hasil
dalam transaksi di BMT, hanya maksud dari nisbah bagi hasil yang kadang belum
dipahami. Dari hasil penelitian terdapat 4 orang yang menyatakan kurang paham
mengenai nisbah bagi hasil, sedang 8 responden lainnya menyatakan paham.
Responden yang kurang paham menyatakan pernah mendengar istilah nisbah bagi
hasil pada saat akan melakukan akad pembiayaan mudharabah, tetapi maksud
sebenarnya mengaku tidak tahu. Mereka mempunyai persepsi bahwa didalam
pembiayan mudharabah tidak ada bunga dan sebagai gantinya adalah dengan cara
bagi hasil. Akan tetapi bagaimana prosedur pelaksanaan nisbah bagi hasil itu,
responden tersebut menyatakan kurang paham, karena yang lebih penting bagi
mereka adalah mendapat pinjaman modal untuk usahanya, sedang untuk bagi
hasilnya dipercayakan pada perhitungan yang dilakukan oleh pihak BMT.
Sedangkan 8 responden yang paham menyatakan bahwa bagi hasil adalah
sistem pembagian keuntungan antara pihak BMT dan sebagai penyandang dana
dengan nasabah selaku mudharib didalam pembiayaan mudharabah. Bagi hasil
141
dipahami sebagai pengganti bunga yang diyakini mengandung unsur riba yang
diharamkan. Sehingga responden merasa lebih aman untuk bertransaksi dengan
pembiayaan mudharabah karena bebas dari riba dalam sistim konvensional.
Menurut Gemala, pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan
mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul māl, namun
kebanyakan ulama menyetujui bila kedua belah pihak sepakat membagi
keuntungan tanpa mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama
masih berlangsung. Didalam prakteknya di BMT Bina Ihsanul Fikri
Gedongkuning, jika bulan yang bersangkutan nasabah tidak mendapatkan
keuntungan, maka nasabah tetap berkewajiban untuk membayar angsuran modal.
Dalam pandangan ilmu ekonomi Islam, bagi hasil merupakan prinsip
pembagian untung bagi kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih dengan peran
serta masing-masing pihak dalam bentuk modal ataupun keahlian yang disebut
dengan mudharabah. Keuntungan adalah milik bersama antara shahibul māl dan
mudharib, karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan
membutuhkan, maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah
masing-masing.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko
yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar
nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif
dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah
dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
142
2. Pemahaman dalam Penentuan Nisbah Bagi Hasil
Dari hasil penelitian didapat hasil 6 Responden menyatakan kurang
paham, sedangkan 6 responden menyatakan paham.
Responden yang kurang paham menyatakan tidak tahu pasti sistem yang
diterapkan dalam penentuan bagi hasil dalam akad mudharabah. Mereka mengaku
mengerti adanya penentuan prosentase bagi hasil pada saat dibacakan akad
pembiayaan mudharabah. Pada waktu akad pihak BMT telah mempunyai standar
prosentase yang ditawarkan kepada nasabah, dan responden tinggal
menyetujuinya karena merasa tidak tahu prosedurnya, dan menyerahkan kepada
pihak BMT untuk menentukan prosentase pembagian keuntungannya.
Responden yang paham menyatakan bahwa bagi hasil antara pihak BMT
dengan nasabah ditentukan berdasarkan prosentase yang disepakati pada awal
akad pembiayaan mudharabah. Setiap bulan jumlah bagi hasil yang diterima tidak
sama besarnya karena bergantung pada keuntungan yang didapat mudharib dari
pengelolaan usahanya, yang dihitung berdasarkan laporan yang dibuat mudharib
setiap bulannya.
Dalam penelitian ini juga ditemukan persepsi /pemahaman nasabah yang
keliru mengenai bagi hasil. Seperti apa yang dikemukakan oleh Muhammad,
bahwa nasabah menganggap bagi hasil yang diberikan oleh bank (baca BMT)
kepada nasabah harus lebih besar dibandingkan dengan bunga dari bank
konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan harus lebih kecil dari
bunga bank.
143
Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah mudharib dapat
lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahibul māl tergantung pada
kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa
keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahibul māl dan mudharib)
harus dalam jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa
seperempat (25%) atau setengah (50 %) bagi mudharib misalnya, maka hal itu
sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya adalah bagi shahibul māl,
semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, baik nisbah
masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan harus ditepati.
3. Pemahaman Penyelesaian Sengketa
Responden yang menyatakan paham ada 5 responden, sedang yang
kurang paham ada 7 responden. Responden yang paham menyatakan bahwa
didalam akad pembiayaan mudharabah yang dilakukan telah disebutkan bahwa
jika terdapat perselisihan akan ditentukan melalui Pengadilan Agama. Sedang 7
nasabah lainnya mengaku tidak tahu karena tidak memperhatikan isi akadnya.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik pemahaman bahwa responden yang
kurang paham juga kurang memahami bahwa penandatanganan akad pembiayaan
mudharabah tersebut menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan,
disamping juga mempunyai konsekuensi hukum.
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai :
“pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap obyeknya”.
144
Menurut pendapat ulama, jalan pertama yang dilakukan apabila terjadi
perselisihan dalam suatu akad adalah dengan menggunakan jalan perdamaian
(shulhu) antara kedua pihak. Jika tahap pertama ini belum berhasil dilakukan
dengan cara mengangkat seorang atau lebih, sebagai wasit atau juru damai oleh
dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka
perselisihkan secara damai. Dalam hal ini, seseorang yang ditunjuk langsung oleh
dua orang yang bersengketa disebut hakam. Penyelesaian yang dilakukan oleh
hakam pada abad modern ini disebut dengan arbitrase.
Apabila tidak juga mencapai penyelesaian, diserahkan kepada Al-Qadha
yang artinya secara harfiah antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut
istilah fiqh kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau
sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan mengikat. Al-Qadha secara harfiah
antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fiqh kata ini berarti
menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk
menyelesaikan secara adil dan mengikat, yang dalam hal ini adalah menjadi
wewenang Pengadilan Agama.
Didalam akad pembiayaan mudharabah yang dilakukan di BMT Bina
Ihsanul Fikri, didalam akad sudah disebutkan bahwa apabila timbul perselisihan
akan diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Meskipun pada prakteknya apabila
terjadi perselisihan tetap lebih dahulu melakukan perdamaian (shulhu) antara
BMT dengan nasabah. Dan apabila tidak mencapai kesepakatan barulah ditempuh
jalan melalui Pengadilan Agama, meskipun dalam prakteknya sampai sekarang
masih belum pernah ada yang prosesnya sampai di Pengadilan Agama, karena
145
selama ini masih diselesaikan secara intern antara pihak BMT dengan nasabah.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan mengingat jumlah pembiayaan yang
diberikan masih relatif kecil, sehingga jika dilihat dari pertimbangan waktu, biaya
dan tenaga dirasakan kurang efisien. Juga dengan tingkat pendidikan dan
pemahaman nasabah yang masih rendah, proses perdamaian secara intern
dirasakan lebih memungkinkan dan lebih menguntungkan dalam penyelesaian
perselisihan yang terjadi selama ini.
B A B V
KESIMPULAN DAN SARAN
146
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa :
1. Pada waktu melakukan akad tidak semua nasabah memahami maksud
pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi hasilnya. Hal ini didasarkan pada 6
hal yang dijadikan tolok ukur penelitian oleh peneliti dalam mengukur tingkat
pemahaman nasabah yaitu pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan
mudharabah dan nisbah bagi hasil, pemahaman mengenai nisbah bagi hasil,
pemahaman mengenai kewajiban membuat laporan perkembangan hasil
usaha nasabah setiap bulan, pemahaman mengenai sistem pengelolaan modal,
pemahaman mengenai kesepakatan prosentase penentuan bagi hasil, dan
pemahaman penyelesaian sengketa.
2. Bahwa adanya ketidakpahaman nasabah mengenai maksud dan prosedur
dalam akad pembiayaan mudharabah ini menurut peneliti bisa menimbulkan
sengketa antara pihak BMT dengan nasabah. Hal ini dikarenakan
ketidakpahaman nasabah akan menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak
BMT sebagai shahibul māl dengan pihak nasabah selaku mudharib.
3. Bahwa tidak semua nasabah mengerti mengenai prosedur penyelesaian
apabila terjadi sengketa antara pihak BMT dengan nasabah. Sebagian nasabah
tidak memahami bahwa akad yang dilakukan menimbulkan hak dan
kewajiban yang mempunyai akibat hukum bagi kedua belah pihak. Sebagian
nasabah mempunyai persepsi bahwa penyelesaian sengketa cukup hanya
dengan jalan damai saja seperti yang dilakukan selama ini, dan tidak
147
memperhatikan bahwa didalam akad telah pula disebutkan bahwa
penyelesaian sengketa dilakukan di Pengadilan Agama.
B. Saran-saran
1. Bahwa dalam memberikan suatu layanan pembiayaan mudharabah dengan
suatu akad, pihak BMT perlu lebih meningkatkan atau mengintensifkan dalam
menjelaskan maksud akad tersebut, termasuk mengenai prosedur pengelolaan
modalnya, pembuatan laporannya, dan juga pengertian bagi hasilnya secara
lebih terperinci, sehingga lebih memudahkan bagi nasabah untuk melakukan
hak dan kewajibannya dengan benar. Bisa juga diberikan tambahan fasilitas
pendampingan / bimbingan bagi nasabah yang membutuhkan.
2. Bahwa perlu lebih disosialisasikan bahwa akad yang dilakukan mempunyai
konsekuensi hukum, dimana apabila ada perselisihan / sengketa, jika jalan
damai tidak diperoleh kesepakatan, maka sesuai akad yang sudah disepakati,
bisa diselesaikan melalui jalur hukum yaitu melalui Pengadilan Agama.
148
149
150
151