Upload
vandat
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Persepsi Dukungan Organisasi
2.1.1 Definisi Persepsi Dukungan Organisasi
Persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai
sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada
kesejahteraan mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002). Jika karyawan menganggap
bahwa dukungan organisasi yang diterimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan
menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri mereka
dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap
organisasi tersebut. Dengan menyatunya keanggotaan dalam organisasi dengan
identitas karyawan, maka karyawan tersebut merasa menjadi bagian dari organisasi
dan merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan kinerja
terbaiknya pada organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002). Rhoades dan
Eisenberger (2002) mengungkapkan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasi
juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang dibentuk oleh tiap karyawan
mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi. Keyakinan
ini dibentuk berdasarkan pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan
prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasinya
(misalnya supervisor), dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi
terhadap kesejahteraan mereka.
11
Dari berbagai organisasi ditemukan bahwa karyawan yang merasa dirinya
mendapatkan dukungan dari organisasi akan memiliki rasa kebermaknaan dalam diri
karyawan tersebut. Hal inilah yang akan meningkatkan komitmen pada diri
karyawan. Komitmen inilah yang pada akhirnya akan mendorong karyawan untuk
berusaha membantu organisasi mencapai tujuannya, dan meningkatkan harapan
bahwa performa kerja akan diperhatikan serta dihargai oleh organisasi (Rhoades &
Eisenberger, 2002). Bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi
kebutuhan sosioemosional mereka seperti respect (penghargaan), caring
(kepedulian), dan tangible benefit seperti gaji dan tunjangan kesehatan. Perasaan
dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan terhadap
approval (persetujuan), esteem (penghargaan) dan affiliation (keanggotaan)
(Eisenberger & Rhoades, 2002). Lanjut Eisenberger dan Rhoades (2002), penilaian
positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha
dalam bekerja akan dihargai. Oleh karena itu karyawan akan memberikan perhatian
yang lebih atas penghargaan yang mereka terima dari atasan mereka.
Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), walaupun organisasi menghargai
kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan adalah hal yang penting,
organisasi harus tetap memperhatikan bahwa karyawan akan tetap menggabungkan
dukungan nyata yang ditunjukkan oleh organisasi dengan persepsi individual yang
mereka miliki. Para karyawan yakin bahwa organisasi mempunyai tujuan dan
orientasi, baik positif maupun negatif terhadap mereka, yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap penghargaan akan kontribusi dan kesejahteraan karyawan
tersebut.
12
2.1.2 Dimensi Persepsi Dukungan Organisasi
Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Rhoades dan Eisenberger (2002)
mengindikasikan bahwa 3 kategori utama dari perlakuan yang dipersepsikan oleh
karyawan memiliki hubungan dengan Persepsi Dukungan Organisasi. Ketiga
kategori utama ini adalah sebagai berikut:
1. Keadilan
Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk
menentukan bagaimana mendistribusikan sumber daya di antara karyawan.
(Greenberg, dalam Rhoades & Eisenberger 2002). Shore dan Shore (dalam
Rhoades & Eisenberger, 2002) menyatakan bahwa banyaknya kasus yang
berhubungan dengan keadilan dalam distribusi sumber daya memiliki efek
kumulatif yang kuat pada persepsi dukungan organisasi dimana hal ini
menunjukkan bahwa organisasi memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
karyawan. Cropanzo dan Greenberg (dalam Rhoades & Eisenberger, 2002)
membagi keadilan prosedural menjadi aspek keadilan struktural dan aspek
sosial. Aspek struktural mencakup peraturan formal dan keputusan mengenai
karyawan. Sedangkan aspek sosial seringkali disebut dengan keadilan
interaksional yang meliputi bagaimana memperlakukan karyawan dengan
penghargaan terhadap martabat dan penghormatan mereka.
2. Dukungan atasan
Karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana
atasan menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka
(Kottke & Sharafinski, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Karena atasan
bertindak sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk
13
mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan, karyawan pun melihat
orientasi atasan mereka sebagai indikasi adanya dukungan organisasi
(Levinson dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).
3. Penghargaan Organisasi dan Kondisi Pekerjaan
Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini adalah
sebagai berikut:
a. Gaji, pengakuan, dan promosi. Sesuai dengan teori dukungan
organisasi, kesempatan untuk mendapatkan hadiah (gaji, pengakuan,
dan promosi) akan meningkatkan kontribusi karyawan dan akan
meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Rhoades & Eisenberger,
2002).
b. Keamanan dalam bekerja. Adanya jaminan bahwa organisasi ingin
mempertahankan keanggotaan di masa depan memberikan indikasi
yang kuat terhadap persepsi dukungan organisasi (Griffith dkk., dalam
Eisenberger and Rhoades, 2002).
c. Kemandirian. Dengan kemandirian, berarti adanya kontrol akan
bagaimana karyawan melakukan pekerjaan mereka. Dengan organisasi
menunjukkan kepercayaan terhadap kemandirian karyawan untuk
memutuskan dengan bijak bagaimana mereka akan melaksanakan
pekerjaan, akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Cameron
dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).
d. Peran stressor. Stress mengacu pada ketidakmampuan individu
mengatasi tuntutan dari lingkungan (Lazarus & Folkman, dalam Rhoades
& Eisenberger, 2002). Stres berkorelasi negatif dengan persepsi
14
dukungan organisasi karena karyawan tahu bahwa faktor-faktor
penyebab stres berasal dari lingkungan yang dikontrol oleh organisasi.
Stres terkait dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi yang
berkorelasi negatif dengan persepsi dukungan organisasi, yaitu: tuntutan
yang melebihi kemampuan karyawan bekerja dalam waktu tertentu
(work-overload), kurangnya informasi yang jelas tentang tanggung jawab
pekerjaan (role-ambiguity), dan adanya tanggung jawab yang saling
bertentangan (role-conflict) (Lazarus & Folkman, dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002).
e. Pelatihan. Pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada
karyawan yang nantinya akan meningkatkan persepsi dukungan
organisasi (Wayne dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).
2. 2 Motivasi Kerja
2.2.1 Definisi Motivasi
Istilah motivasi (motivation) berasal dari perkataan bahasa Latin, yakni
Movere, yang berarti “menggerakkan” (to move) (Winardi, 2001). Beberapa istilah
motivasi menurut para ahli dijelaskan sebagai berikut: Mitchell (dalam Winardi, 2001)
menjelaskan bahwa motivasi mewakili proses-prsoses psikologikal, yang
menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya peristensi kegiatan-kegiatan
sukarela (volunteer) yang diarahkan kearah tujuan tertentu. Motivasi menurut Grey
dkk., (dalam Winardi, 2001) adalah hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau
eksternal bagi seseorang individu yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme
dan persistensi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Knootz (dalam
15
Winardi, 2001) menjelaskan motivasi sebagai adanya dorongan dan usaha untuk
memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. Robbins (dalam Winardi, 2001)
menjelaskan motivasi sebagai suatu kerelaan untuk berusaha seoptimal mungkin
dalam pencapaian tujuan organisasi yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha
untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu. Munandar (2006) menyatakan
bahwa motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong
seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya
tujuan tertentu. American Encyclopedia (dalam Winardi, 2001) menjelaskan bahwa
motivasi adalah kecenderungan dalam diri seseorang yang mengarahkan
perilakunya. Sedangkan menurut Chaplin (1981), motivasi adalah satu variabel
penyelang (yang ikut campur tangan) yang digunakan untuk menimbulkan faktor-
faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola,
mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran.
Jadi, motivasi adalah dorongan untuk berusaha semaksimal mungkin dalam
mencapai tujuan tertentu yang dipengaruhi oleh kemampuan untuk memuaskan
beberapa kebutuhan individu.
2.2.2 Motivasi Kerja
Motivasi kerja adalah kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk
mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisikan oleh adanya kemampuan
untuk berusaha sedemikian rupa dalam memenuhi kebutuhan individu (Robbins
dkk., 1999).
Terdapat 2 tipe teori motivasi, yaitu content theories dan process theories
(Schultz & Schultz, 2006). Teori konten berfokus pada pentingnya pekerjaan itu
16
sendiri, termasuk didalamnya tantangan dan tanggung jawab pekerjaan, yang akan
memotivasi dan mengarahkan perilaku manusia. Sedangkan teori proses tidak
berfokus pada pekerjaan itu, namun berfokus pada proses kognitif yang digunakan
oleh manusia dalam membuat pilihan dan keputusan mengenai pekerjaan mereka
(Schultz & Schultz, 2006).
Teori yang termasuk ke dalam teori konten yaitu teori karakteristik pekerjaan
(job-characteristic theory). Karakteristik spesifik suatu pekerjaan dapat memengaruhi
kondisi psikologis karyawan dan mampu memotivasi karyawan apabila mereka
memiliki kebutuhan yang tinggi untuk terlibat didalam nya (Hackman & Oldman,
dalam Schultz & Schultz, 2006). Karakteristik yang dimaksud, yaitu:
1. Variasi pekerjaan, menyangkut seberapa jauh karyawan menggunakan
keterampilan dan kemampuan mereka dalam bekerja. Semakin pekerjaan itu
menantang maka pekerjaan itu semakin berarti.
2. Identitas pekerjaan, yaitu kesatuan dari pekerjaan. Artinya, apakah karyawan
melakukan tugas secara keseluruhan atau hanya sebagian dari pekerjaan
tersebut.
3. Signifikansi pekerjaan, yaitu mengenai derajat kepentingan suatu pekerjaan
bagi kehidupan dan kesejahteraan orang banyak.
4. Otonomi, yaitu kebebasan karyawan dalam melakukan pekerjaan mereka.
5. Umpan balik, yaitu jumlah informasi yang diterima karyawan mengenai
efektivitas dan kualitas dalam mengerjakan tugas.
17
2.2.3 Dimensi Motivasi Kerja (Brady, 2008)
Motivasi adalah faktor yang berkontribusi dalam proses pemilihan karir
(Vroom, dalam Brady, 2008). Pada tahap eksploratori dalam perkembangan karir,
keputusan akhir dalam pemilihan karir dipengaruhi oleh nilai yang mereka anut
(Ginzberg dkk., dalam Brady, 2008). Nilai yang telah terinternalisasi dalam diri
mereka akan diarahkan ke pencapaian tujuan sehingga akan memotivasi individu
untuk menampilkan performa terbaik dalam bekerja (Meglino dkk., dalam Brady,
2008). Berikut ini dijelaskan dimensi motivasi kerja menurut Brady (2008).
1. Motif Pemenuhan
Motif pemenuhan ini mengacu pada kebutuhan untuk bekerja yang
menyediakan kesempatan bagi pekerja untuk mencapai potensi maksimal mereka.
Ciri-ciri orang dengan motif ini yaitu adanya kompetensi, kreativitas, dan rasa ingin
tahu yang tinggi. Motif ini dibagi menjadi 2 sub-dimensi, yaitu orientasi terhadap
kesukesan dan orientasi misi.
a. Orientasi terhadap Kesuksesan
Karakteristik individu yang berorientasi terhadap kesuksesan dapat dilihat
oleh adanya kebutuhan yang tinggi akan prestasi. (McClelland, dalam
Brady, 2008). Mereka sangat termotivasi untuk mencapai tujuan dalam
berkarir dan mengerahkan potensi sepenuhnya selama bekerja. Mereka
biasanya digambarkan sebagai orang yang bersemangat atas pekerjaan
mereka dan biasanya bersedia untuk bertahan selama peroide yang sulit
guna mencapai keberhasilan (McClelland, dalam Brady, 2008). Mereka
juga memiliki keinginan intrinsik untuk mencapai prestasi lewat
kemampuan dan usaha mereka sendiri (Bracker dkk., dalam Brady, 2008).
18
b. Orientasi Misi
Bekerja untuk tujuan jangka panjang adalah karakteristik dari individu
yang sangat menghargai orientasi terhadap misi. Ada perasaan terlibat
dalam sesuatu pada skala yang lebih besar, melihat gambaran besarnya,
menghasilkan produk akhir, atau berkontribusi pada kesejahteraan orang
lain merupakan dimensi dari orientasi misi ini (Brady, 2008).
2. Motif Harga Diri
Motif harga diri mengacu pada penggunaan tanggung jawab dalam bekerja, serta
adanya kebutuhan untuk mencapai prestasi pada pekerjaan yang menantang
(Brady, 2008). Motif ini terdiri dari 2 sub-dimensi, yaitu mengelola orang lain dan
orientasi tugas.
a. Mengelola Orang Lain
Mengelola orang lain terlihat pada perilaku seperti mengarahkan,
mengawasi atau melakukan pemantauan atas pekerjaan orang lain.
Orang-orang yang memberi penilaian lebih pada konstruk ini adalah
mereka yang menghargai kekuasaan dan pengakuan dari orang lain,
namun mereka juga harus memiliki latar belakang pendidikan yang
memadai dan pengalaman dalam memimpin orang lain. Mereka
berkeinginan untuk mengambil tanggung jawab atas kinerja suatu unit
kerja (Brady, 2008)
b. Orientasi Tugas
Kemampuan untuk terlibat dalam perencanaan kerja dan pemanfaatan
sumber daya dalam bekerja, identitas tugas, makna tugas dan
kebervariasian tugas adalah beberapa karakteristik orang yang memiliki
19
orientasi terhadap tugas (Humphrey dkk., dalam Brady 2008). Individu
dengan skor yang tinggi dalam konstruk ini berorientasi ke arah
penyelesaian tugas, dimana mereka melakukan perencanaan dan
berfokus pada pekerjaan mereka. Mereka akan ragu untuk melakukan
fungsi di luar yang berkaitan dengan pekerjaan utama mereka.
3. Motif Afiliasi
Motif ini mengacu pada kebutuhan karyawan akan penerimaan dan dukungan dari
atasan dan rekan kerja. Adanya kerjasama dan kolaborasi dalam bekerja menjadi
poin utama dalam dimensi ini, yang terbagi menjadi 2 sub-dimensi yaitu relasi
dengan atasan dan relasi antar-pekerja.
a. Relasi dengan atasan
Individu yang sangat menghargai relasi dengan atasan mendapat
kepuasan dengan melaksanakan arahan dan keinginan orang-orang yang
bertanggungjawab atas pekerjaan mereka. Mereka senang apabila bisa
bekerja sama dengan supervisor mereka
b. Relasi antar-pekerja
Mampu bekerja dengan orang lain, merasa menjadi bagian dari
organisasi, memiliki keterampilan komunikasi dan keterampilan sosial,
serta mampu berbaur dengan rekan sekerja adalah karakteristik individu
dalam konstruk ini. Mereka merasa bahwa menjaga hubungan baik
dengan rekan menjadi hal yang penting. Mereka lebih suka untuk secara
aktif terlibat dalam organisasi di tempat kerja dan di luar pekerjaan.
Mereka sangat menghargai kerjasama dan kerja tim (Brady, 2008).
4. Motif Bertahan Hidup dan Keselamatan
20
Motif ini mengacu pada kebutuhan karyawan terhadap gaji dan tunjangan
serta lingkungan kerja yang aman. Sub-dimensinya adalah kondisi pekerjaan; dan
pendapatan dan keuntungan.
a. Kondisi Pekerjaan
Memiliki lingkungan kerja yang nyaman dan alat bantu yang
memungkinkan untuk mendukung pekerjaan adalah penting bagi sebagian
pekerja. Contohnya: bagi seorang pekerja konstruksi atau petani, bekerja
di luar ruangan dengan melakukan tugas-tugas yang menuntut keamanan
dan didukung oleh peralatan memadai dianggap sebagai lingkungan kerja
yang ideal. Namun bagi seorang perawat, bekerja didalam ruangan yang
bersih adalah suatu lingkungan kerja yang ideal. Dengan adanya
dukungan peralatan dan sumber daya fisik dari tempat kerja dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi mereka dalam bekerja (Brady,
2008).
b. Pendapatan dan Keuntungan
Penelitian membuktikan bahwa gaji yang cukup menduduki peringkat 1
sebagai faktor motivasi oleh para pekerja dari 6 negara yang berbeda di 3
Benua, yaitu: Eropa, Australia, dan Amerika Utara (Lebo dkk., dalam
Brady, 2008). Kebanyakan pekerja melihat adanya jaminan finansial, gaya
hidup yang nyaman dan pemenuhan sarana dan kebutuhan bagi diri
mereka dan keluarga sebagai faktor yang dapat meningkatkan motivasi
bekerja.
21
2.3 Shift Kerja
2.3.1 Definisi Shift Kerja
Kerja shift menjadi suatu permasalahan yang kompleks, karena selain
mempengaruhi perilaku individu juga berhubungan dengan perilaku dalam kelompok
(Ahasan dkk., 2002). Pekerjaan yang dijadwalkan di luar jam kerja normal (jam 9
pagi – 5 sore) disebut dengan kerja shift. Shiftwork memungkinkan pelayanan dan
produksi berlangsung selama 24 jam non-stop sehingga memaksimalkan efisiensi
dan produktivitas kerja (Occupational Health Clinics for Ontario Workers Inc., 2005).
The International Labour Office (International Labour Organization, 1990)
mendefiniskan kerja shift sebagai suatu metode dalam bekerja dari suatu organisasi
dimana para pekerja berhasil satu sama lain di tempat kerja sehingga dapat
beroperasi lebih lama daripada jam kerja yang normal (France, 2010). Para pekerja
shift akan bekerja di malam hari hingga tengah malam. Menurut France (2010)
terdapat 2 jenis kerja shift, yaitu sistem rotasi dan sistem permanen. Dalam hal shift
rotasi, pekerjaan dibagi secara bergiliran dalam waktu 24 jam. Pekerja yang terlibat
dalam sistem kerja shift rotasi akan berubah-ubah waktu kerjanya, pagi, sore, dan
malam hari, sesuai dengan sistem kerja shift rotasi yang ditentukan. (Tepas, dalam
Monk, 1989). Hal ini dapat terjadi dalam seminggu bahkan dalam sebulan.
Contohnya adalah polisi dan pemadam kebakaran. Sedangkan sistem permanen
terjadi apabila pekerja shift bekerja hanya pada shift malam atau petang saja, tidak
ada perputaran jam kerja pada sistem permanen ini (Tepas, dalam Monk, 1989).
22
2.3.2 Faktor-faktor yang yang dapat mempengaruhi toleransi terhadap kerja
shift
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi toleransi terhadap kerja shift Sumber : Painting, firefighting, and shiftwork (Costa, dalam France, 2010)
Sistem kerja shift yang berbeda berpotensi menimbulkan dampak yang
beragam pula pada pekerja shift. Seperti digambarkan diatas terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi toleransi terhadap kerja shift, yaitu: kondisi keluarga dan
kehidupan para pekerja shift, kondisi pekerjaan, karakteristik individu, kondisi sosial,
dan waktu kerja. Strategi koping pekerja shift malam dapat dilihat dari 3 faktor, yaitu:
jam biologis, faktor tidur dan faktor sosial (Monk, 1989).
Waktu Kerja
Penjadwalan shift
Pengaturan jam kerja
yang fleksibel
Waktu kerja yang berlebihan
Kondisi Sosial
Tradisi Kerja shift
Komunitas Organisasi
Keterlibatan social
Dukungan social
Layanan publik
Kondisi Pekerjaan
Kompensasi
Struktur Organisasi
Kepuasan kerja
Beban kerja
Konseling
Kondisi Keluarga dan Kehidupan
Status pernikahan
Jumlah anak dan usia anak
Kondisi rumah
Perilaku keluarga
Penghasilan
Karakteristik Individu
Usia
Jenis kelamin
Struktur sirkadian
Kepribadian dan perilaku
Strategi tidur
Status kesehatan
23
1. Faktor Jam Biologis
Jam biologis adalah mekanisme penjagaan waktu yang terjadi di
otak, dimana didalamnya terjadi proses yang saling berkaitan (Monk,
1989). Jam biologis ini akan tetap berlangsung bahkan ketika individu tidur
dan tidak menyadari waktu hariannya. Fungsi dari jam biologis ini adalah
untuk menghasilkan irama sirkadian harian yang menyediakan lingkungan
fisik dan psikologis untuk siklus tidur dan bangun termasuk didalamnya
ritme tidur, temperatur, dan metabolisme tubuh (Carr, dalam Monk, 1989).
Irama sirkadian ini mengasumsikan bahwa pola normal dari manusia
disebut diurnal, dimana individu tidur saat malam dan terjaga saat siang
hari, sehingga sistem sirkadian harus disesuaikan dengan rutinitas yang
lebih sesuai dengan jadwal para pekerja shift (Monk, 1989). Ketika jam
biologis disesuaikan dengan shift kerja malam terjadi guncangan dalam
sistem jam biologis tubuh yang awalnya seimbang. Ketidakseimbangan
sistem dengan komponen didalam tubuh disebut dengan disosiasi internal
dan dapat berlangsung selama seminggu bahkan lebih dari itu. Disosiasi
internal dapat menghasilkan gejala-gejala klasik, seperti: jet lag, kondisi
tidak enak badan, gangguan tidur, dan gangguan pencernaan (Monk,
1989).
Shift malam terjadi saat sistem sirkadian pada keadaan tidur,
sehingga untuk mengerjakan tugas-tugas pada malam hari dapat
menyebabkan produktivitas pekerja menurun (Monk, 1989). Kerja shift
beresiko terhadap kesehatan masyarakat, seperti: dapat merusak
kemampuan individu dalam melakukan pekerjaan secara efektif dan
24
menyebabkan kecelakaan saat bekerja (Culpepper, 2010). Usia menjadi
faktor penentu dari penyesuaian sirkadian. Orang tua lebih sulit untuk
menyesuaikan diri dengan shift malam dibandingkan para pekerja muda.
Secara jelas usia berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik dari para
pekerja. Terdapat beberapa masalah kesehatan yang berhubungan
dengan kesehatan fisik para pekerja malam, seperti diabetes, insomnia
kronis, epilepsy, radang lambung, dan penyakit jantung, gangguan
metabolisme yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan
dengan pekerjaan dan perilaku saat bekerja (Costa & Knutsson, dalam
Monk, 1989).
Strategi koping yang dilakukan adalah: Para pekerja malam
seharusnya tidur sesaat setelah mereka bekerja daripada harus
menunggu untuk tidur di siang hari. Tidur siang digunakan sesekali
sebagai pengganti waktu tidur yang terbuang, namun bukanlah sebagai
sumber utama waktu tidur dan harus dibatasi selama 2 jam bahkan
kurang. Para pekerja malam harus dapat mengenali isyarat waktu yang
mendorong mereka ke arah orientasi nokturnal (bekerja di malam hari).
Isyarat waktu yang berorientasi nokturnal seperti : waktu tidur di pagi hari,
makan 3x sehari, makan siang yang tepat (minum banyak air putih dan
menghindari makanan cepat saji). Para pekerja malam harus
membayangkan didalam diri mereka seperti jam biologis, suatu jam
dimana mereka sendirilah yang menentukan kapan saatnya “siang hari”
dan kapan “malam hari”. Kesimpulannya, semakin banyak informasi yang
25
merupakan pola konsisten dari aktivitas malam hari, maka semakin cepat
pula jam biologis akan menyesuaikan.
2. Faktor Tidur
Para pekerja yang membutuhkan waktu tidur lebih sedikit akan
melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dibandingkan dengan mereka
yang membutuhkan waktu tidur lebih panjang. Fakta ini akan mengantar
kita pada kesimpulan yang salah. Dalam suatu penelitian menunjukkan
bahwa pekerja malam yang “suka” bekerja pada malam hari dilaporkan
memiliki waktu tidur yang lebih sedikit per minggunya dibandingkan
dengan mereka yang “tidak suka” bekerja di malam hari. Padahal, untuk
melakukan pekerjaan yang monoton mereka harus mengeluarkan ekstra
tenaga dan pengurangan waktu tidur selama shift malam yang seharusnya
dibayar pada saat mereka memiliki waktu untuk tidur (Tepas, dalam Monk,
1989).
Strategi koping yang dilakukan: Saat waktu tidur, pekerja benar-
benar harus mengistirahatkan dirinya untuk menggantikan energi yang
terbuang selama bekerja malam, sehingga semua alat elektronik dan
komunikasi seperti telepon genggam, bel pintu, dan sebagainya harus
berada dalam keadaan bungkam. Selama waktu tidur, keadaan harus
tenang dan dibuat se-gelap mungkin. Para pekerja malam ini harus
menghindari mengkonsumsi kafein 5 jam sebelum waktu tidur, dan tidak
mengkonsumsi alkohol sebagai obat penenang; karena jika hal ini
dilakukan maka waktu tidur mereka akan sangat terganggu. Demikian juga
penggunaan obat tidur hanya digunakan pada saat-saat yang darurat.
26
3. Faktor Sosial dan Domestik
Faktor sosial dan domestik adalah faktor yang paling sedikit
berpengaruh dalam tiga faktor shift kerja. Masyarakat adalah makhluk
diurnal dimana waktu malam digunakan untuk tidur dan aktivitas
dilakukan pada saat siang hari. (Monk, Folkard, Wedderburn, 1996).
Selain itu, masyarakat pada umumnya melakukan aktivitas rekreasi
keluarga pada saat malam hari dan di akhir minggu. Hal ini menjadi
masalah bagi para pekerja shift dimana mereka harus bekerja pada waktu
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Tepas (dalam Monk, 1989)
menemukan bahwa hanya 20 - 30% dari sekian ribu pekerja shift yang
menyatakan puas terhadap kehidupan sosial mereka. Pengaruh faktor
sosial dan domestik lain adalah kebutuhan untuk merawat anak dan
mengatur urusan rumah tangga. Dalam budaya Barat, beban ini menjadi
tanggung jawab para wanita dan hal ini lebih disebabkan oleh adanya
tuntutan sosial dari lingkungan, dimana wanita lah yang harus mengambil
alih masalah rumah tangga. Dukungan sosial dapat menjadi pertimbangan
penting dalam kemampuan mengatasi shift kerja. Ketidakmampuan
pekerja shift dalam menghadiri beberapa kegiatan dan acara dalam
kehidupan mereka akan menyebabkan munculnya perasaan terasingkan
oleh lingkungan sosial, karena kehilangan waktu untuk terlibat dalam
aktivitas sosial (Wedderburn, dalam Monk, 1989).
Strategi koping yang dilakukan adalah pekerja malam harus mencari
dukungan dari keluarga untuk dapat memahami keadaan sulit, yaitu
bekerja pada shift malam. Resiko khusus dialami oleh para wanita pekerja
27
shift, dimana mereka masih diharapkan untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga dan mengasuh anak-anak. Para suami harus mengerti keadaan
ini, karena tidak jarang masalah ini akan menimbulkan masalah dalam
rumah tangga. Komponen utama dalam menghadapi faktor sosial dan
domestik ini adalah berusaha untuk menciptakan komunikasi terbuka
antar keluarga dengan menjadwalkan satu hari untuk melakukan kegiatan
bersama.
2.4 Teori tentang subjek yang berkaitan dengan variabel
2.4.1 Definisi Keperawatan
Menurut The International Council of Nurses tahun 1987, keperawatan sebagai
bagian integral dari sistem perawatan kesehatan, meliputi promosi kesehatan,
pencegahan penyakit, dan perawatan kepada orang yang sakit fisik, sakit mental,
dan penyandang cacat dari segala usia di semua pelayanan kesehatan dalam
masyarakat (dalam Clark, 2003). Keperawatan adalah praktik etis yang
berhubungan dengan perilaku mengasuh kepada mereka yang membutuhkan
bantuan khusus dalam hal gangguan kesehatan dan kesejahteraan. (Moody &
Pesut, 2006). Misi dalam keperawatan adalah membantu individu, keluarga, dan
kelompok untuk mencapai potensi fisik, mental dan sosial dalam konteks lingkungan
dimana mereka hidup dan bekerja. Keperawatan juga berasal dari pengetahuan dan
teknik yang berasal dari ilmu humaniora dan fisik, sosial, kedokteran serta biologi
(World Health Organization, dalam Clark, 2003).
Perawat adalah tenaga penyedia asuhan terhadap individu, keluarga, dan
kelompok disepanjang rentang kehidupan mulai dari lahir hingga meninggal (Clark,
28
2003). Dibutuhkan perawat untuk mengembangkan fungsi yang berhubungan
dengan promosi dan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dilakukan pencegahan
terhadap penyakit. Perawat memiliki kewajiban moral dan etis dalam melakukan
asuhan yang berkompeten secara professional (Moody & Pesut, 2006). Asuhan
keperawatan ini dipengaruhi oleh konteks, budaya, dan perbedaan individu diantara
para perawat. Merawat adalah karakteristik yang penting dalam praktik keperawatan
(Glen, dalam Clark, 2003). Secara sadar maupun tidak sadar, perawat memiliki
kontrak psikologis dengan organisasi (Rumah Sakit), karyawan, serta pasien.
Kontrak psikologis antara perawat dan rumah sakit ini menjadi variabel penghubung
dengan motivasi bekerja (Glen, dalam Clark, 2003).
2.4.2 Teori Perkembangan Karir
Teori konsep diri tentang karir (the career self-concept theory) adalah
pandangan Donald Super bahwa konsep diri individu memainkan peran pokok
dalam pemilihan karir. Super percaya banyak perubahan perkembangan dalam
konsep diri tentang pekerjaan terjadi pada waktu remaja dan dewasa muda (Super,
dalam Santrock, 2003). Pertama, pada usia 14-18 tahun, remaja mengembangkan
gagasan tentang bekerja yang berhubungan dengan konsep diri global yang sudah
mereka miliki – fase ini disebut kristalisasi (crystallization). Antara usia 18 hingga 22
tahun, mereka mempersempit pemilihan karir dan memulai perilaku yang
memungkinakan mereka memasuki beberapa tipe karir – fase ini disebut
pengkhususan (specification). Antara usia 21 hingga 24 tahun, orang dewasa muda
menyelesaikan pendidikan dan pelatihan mereka dan memasuki dunia kerja – fase
ini disebut implementasi (implementation). Keputusan untuk memilih dan cocok
29
dengan karir tertentu dibuat antara usia 25 hingga 35 tahun disebut stabilisasi
(stabilization). Akhirnya, setelah usia 35 tahun, individu berusaha menunjukan karir
dan mencapai posisi yang statusnya lebih tinggi – fase ini disebut konsolidasi
(consolidation). Rentang usia hendaknya dianggap lebih sebagai suatu perkiraan
dan bukan suatu yang kaku. Super percaya bahwa eksplorasi karir pada masa
remaja adalah unsur kunci dari konsep diri tentang karir pada remaja (Super, dalam
Santrock, 2003).
Ketika individu memasuki sebuah pekerjaan untuk pertama kalinya, mereka
mungkin dihadapkan pada masalah dan kondisi yang tidak mereka antisipasi
sebelumnya sehingga transisi diperlukan ketika individu mencoba untuk
menyesuaikan diri dengan peran yang baru. Memenuhi tuntutan karir dan
menyesuaikan diri dengan peran yang baru adalah hal yang penting bagi individu
saat dalam fase perkembangan karir (Heise & Smither, dalam Santrock, 2003).
Sebuah penelitian yang melihat perbedaan gender terhadap moral
menyimpulkan bahwa perempuan berfokus pada hubungan dengan orang lain dan
memiliki prinsip dalam mengasuh orang lain, sedangkan laki-laki lebih berfokus pada
otonomi dan kebebasan individu dalam bekerja (Gilligan, dalam Susan, 2001).
Perempuan sangat memperhatikan perasaan dan kebutuhan orang lain sehingga
sering kali mereka mengorbankan kebutuhan diri mereka. Sebuah studi yang
dilakukan oleh Boughn dan Lentini di tahun 1999 (dalam Susan 2001),
menyimpulkan bahwa keinginan untuk memberikan asuhan kepada orang lain
menjadi faktor yang memotivasi perempuan sehingga memilih keperawatan sebagai
karir mereka.
30
2.5 Kerangka Berpikir
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan publik dinyatakan berhasil tidak
hanya pada kelengkapan fasilitas yang diunggulkan, melainkan sikap dan layanan
sumber daya manusia adalah elemen yang berpengaruh signifikan terhadap kualitas
pelayanan yang dihasilkan. Kualitas pelayanan ini dipengaruhi oleh motivasi kerja.
Perawat merupakan salah satu pekerja di rumah sakit yang memberikan asuhan
keperawatan secara langsung kepada pasien selama 24 jam, sehingga dituntut
untuk bekerja pada shift malam. Mengingat perawat adalah ujung tombak pelayanan
di rumah sakit, maka kualitas pelayanan dapat dipengaruhi oleh motivasi yang
dimiliki perawat untuk bekerja. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi kerja
perawat, yaitu atribut organisasi yang meliputi: otonomi, keberartian pekerjaan,
identitas pekerjaan, kebebasan dalam megambil keputusan, sistem gaji, komunikasi
terbuka antara organisasi dan karyawan, adanya kesempatan untuk
mengembangkan diri serta adanya umpan balik dari organisasi. Jika perawat
menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanya tinggi, maka perawat
akan menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri
dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap
rumah sakit.
Dari penjelasan diatas, maka dapat diasumsikan bahwa terdapat hubungan
antara dukungan organisasi yang dipersepsikan oleh perawat dan motivasi mereka
untuk bekerja pada shift malam di rumah sakit Y.
31
Gambar 2.2. Kerangka berpikir Sumber: diolah oleh penulis
Rumah Sakit
sebagai institusi
pelayanan
kesehatan
(pelayanan 24 jam)
Kualitas
pelayanan
dipengaruhi oleh
motivasi kerja
perawat
Salah satu faktor
yang
mempengaruhi
motivasi kerja
perawat adalah
atribut organisasi
Asumsi : terdapat
hubungan antara
persepsi
dukungan
organisasi dan
motivasi perawat