154
Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru Melalui PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK BERBASIS MASALAH

2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru Melalui

PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK BERBASIS MASALAH

Page 2: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 3: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru Melalui

PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK BERBASIS MASALAH

SRI HARYANI

Page 4: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Hak Cipta © pada Penulis dan dilindungi Undang-Undang Penerbitan Hak Penerbitan pada UNNES PRESS Dicetak oleh UNNES PRESS Jl. Kelud Raya No.2 Semarang 50232 Telp./Fax. (024) 8415032 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penerbit

Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru Melalui

PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK BERBASIS MASALAH SRI HARYANI Penyunting : Prof. Dr. Anna Permanasari, M.Si Desain Cover : Harjono Setting & Layout : Harjono

378.1 SRI M

Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru Melalui Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah/ Sri Haryani; -Cet. 1. – Semarang: Unnes Press, 2012; xii + 142 hal. 23,5 cm. 1. Inovasi Pembelajaran; I. Haryani, Sri; II. Judul ISBN 978 602 8467 37 7

Page 5: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNYA

penulis dapat menyelesaikan monograf yang berjudul

“Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru Melalui

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah.

Metakognisi merupakan suatu komponen penting dalam

pembelajaran sains mendatang, karena di samping membentuk

mahasiswa yang mandiri juga mampu meregulasi diri sendiri

untuk merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi jika

diberikan tugas yang harus diselesaikan. Di samping metakognisi,

terbentuknya karakter calon guru yang kuat dan kokoh, di

samping sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan

bangsa di masa mendatang, juga diyakini merupakan hal penting

dan mutlak dimiliki anak didik untuk menghadapai tantangan

hidup masa depan, terlebih UNNES saat ini telah menempatkan

diri sebagai Universitas Konservasi.

Salah satu indikator dalam butir kompetensi dokumen

Standar Kompetensi Guru Kimia adalah menggunakan sarana

instrumen kimia dalam pengembangan konsep kimia; dan salah

satu substansi kajian yang sesuai untuk indikator tersebut adalah

disediakan praktikum kimia analitik. Permasalahan praktikum

kimia khususnya Kimia Analitik Instrumen yang bersifat

verifikatif serta hasil belajarnya yang baru mampu meningkatkan

pengembangan keterampilan dasar bereksperimen, menjadi

perhatian para peneliti dari berbagai negara. Hasil belajar

praktikum kimia analitik semestinya di samping meningkatkan

penguasaan konsep, juga mengembangkan kemampuan

pemecahan masalah. Oleh karena itu monograf ini bertujuan lebih

menyebarluaskan pembekalan praktikum berbasis masalah bagi

mahasiswa prodi pendidikan maupun prodi non pendidikan

kimia. Hal ini perlu dilakukan karena tugas dosen yang sangat

strategis, yaitu di samping menggali potensi mahasiswa iapun

harus bertindak sebagai model rujukan.

Page 6: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Praktikum kimia analitik instrumen merupakan ilmu yang

berhubungan dengan dengan cara menganalisis sampel secara

kualitatif maupun kuantitatif. Secara praktis, kuantifikasi suatu

analit di dalam sampel yang kompleks dapat menjadi suatu

latihan di dalam penyelesaian masalah. Untuk alasan tersebut,

pembelajaran praktikum semestinya dilakukan agar peserta

didik mampu memecahkan masalah dengan memberikan

pengalaman laboratorium berbasis riset yang menantang dan

bermakna.

Sebagaimana halnya keterampilan, metakognisi dan

karakter akan berhasil jika dibangun melalui latihan, mahasiswa

perlu dibekali belajar memecahkan masalah yakni belajar

bagaimana caranya belajar yang mampu mengembangkan

sekaligus melatihkan metakognisi dan karakter. Pembelajaran

berbasis masalah memberikan lingkungan pembelajaran yang

sesuai untuk membangun metakognisi, karakter peserta didik,

penguasaan konsep, dan keterampilan pemecahan masalah.

Penulis berharap semoga monograf ini dapat memberikan

sumbangan bagi upaya peningkatan kualitas perkuliahan,

khususnya pembelajaran praktikum di perguruan tinggi, yang

berorientasi untuk mempersiapkan calon guru. Kritik dan saran

dari para pembaca akan penulis gunakan sebagai masukan-

masukan yang berharga untuk perbaikan selanjutnya.

Semarang, Oktober 2012

Penulis

Page 7: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................ v

DAFTAR ISI ................................................................................................ vii

DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xi

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1

BAB 2 PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH ......................... 9

A. Pengertian Berbasis Masalah ....................................................... 9

B. Karakter dan Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah .... 11

C. Keunggualan dan Keterbatasan Pembelajaran Berbasis

Masalah ................................................................................................. 13

D. Pedoman Pengelolaan Pembelajaran Berbasis Masalah

untuk Guru .......................................................................................... 15

BAB 3 PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK INSTRUMEN ............. 27

A. Praktikum ............................................................................................ 27

B. Ruang Lingkup Praktikum Kimia Analitik .............................. 30

C. Praktikum Kimia Analitik Instrumen bagi Calon Guru ..... 34

D. Temuan Permasalahan Praktikum Kimia Analitik Instrumen 36

BAB 4 METAKOGNISI DAN PENDIDIKAN KARAKTER ........ 45

A. Metakognisi ......................................................................................... 45

B. Pendidikan Karakter ....................................................................... 59

Page 8: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

BAB 5 IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PRAKTIKUM

BERBASIS MASALAH DALAM PENGUASAAN KONSEP,

METAKOGNISI, PEMECAHAN MASALAH, DAN MEMBANGUN

KARAKTER ............................................................................................ 67

A. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah .................... 67

B. Cakupan Materi Kimia Analitik Instrumen ............................ 71

C. Hasil Implementasi Model ............................................................ 83

BAB 6 PENUTUP ...................................................................................... 129

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 133

GLOSARIUM ............................................................................................ 139

Page 9: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

DAFTAR TABEL

No. halaman

Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah (Arends, 2004)

12

Tabel 3.1 Perbandingan Metode Konvensional dan Instrumental (Buchari, 1990)

33

Tabel 3.2 Tahap Pelaksanaan Praktikum yang sudah baku 37

Tabel 3.3 Rangkuman Kelemahan Eksplanasi Mahasiswa dalam Praktikum Kimia Analisis Instrumen

37

Tabel 3.4 Rerata Nilai Eksplanasi Praktikum 39

Tabel 3.5 Rangkuman Identifikasi Masalah-Masalah yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Uji Coba Praktikum Kimia Analisis Instrumen dan Usaha Perbaikan

41

Tabel 4.1 Indikator Metakognisi (diadaptasi dari Mc Gregor, 2007, Schraw, 1995, dan Anderson & Krathwol, 2001)

58

Tabel 4.2 Nilai dan Deskripsi Nilai untuk Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

60

Tabel 5.1 Langkah pembelajaran praktikum berbasis masalah

70

Tabel 5.2 Pengelompokan Prestasi Subjek Penelitian kelas eksperimen

84

Tabel 5.3 Perbandingan Penguasaan Konsep Mahasiswa untuk Setiap Konsep Kelas eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

86

Tabel 5.4 Rerata % N-gain Penguasaan Konsep Kelas eksperimen dengan Instrumen Utama UV-Vis, AES, AAS, dan HPLC untuk Materi Spektrometri dan HPLC

89

Tabel 5.5 Perbandingan Metakognisi Mahasiswa untuk Setiap Indikator Metakognisi Kelas eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

97

Page 10: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Tabel 5.6 Rerata % N-gain metakognisi Kelas eksperimen dengan Instrumen Utama UV-Vis, AES, AAS, dan HPLC untuk Materi Spektrometri dan HPLC

99

Tabel 5.7 Prosedur Asesmen Proses Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah (observer: dosen pengampu termasuk peneliti, asisten mahasiswa)

107

Tabel 5.8 Rerata Asesmen Proses Pembelajaran Praktikum 109

Tabel 5.9 Rekapitulasi Nilai Pemecahan Masalah Belajar Kelompok Eksperimen

111

Tabel 5.10 Hubungan antara karakter yang muncul dalam tahap pemelajaran praktikum berbasis masalah

125

Page 11: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

DAFTAR GAMBAR No. halaman Gambar 3.1 Rerata Nilai Keterampilan Dasar Praktikum

dan Penguasaan Konsep Praktikum Kimia Analitik

40

Gambar 4.1 Pengertian Metakognisi dari Berbagai Sumber (McGregor, 2003)

46

Gambar 4.2 Model Keterampilan Berpikir Metakognitif (Presseisen dalam Costa, 1985)

55

Gambar 5.1 Karakteristik Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah

69

Gambar 5.2 Perbandingan Penguasaan Konsep Mahasiswa Secara Keseluruhan antara Kelas Kontrol dan Eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

85

Gambar 5.3 Rerata %N-gain Penguasaan Konsep Spektrometri Kelas Eksperimen

87

Gambar 5.4 Rerata %N-gain Penguasaan Konsep HPLC Kelas Eksperimen

88

Gambar 5.5 Rerata %N-gain Penguasaan Konsep Spektrofotometri dan Elektrometri Kelompok Eksperimen

92

Gambar 5.6 Perbandingan Metakognisi Mahasiswa Secara Keseluruhan antara Kelas Kontrol dan Eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

96

Gambar 5.7 % N-gain Tiap Indikator Metakognisi Materi Spektrometri pada Kelas Eksperimen

98

Gambar 5.8 % N-gain Tiap Indikator Metakognisi Materi HPLC pada Kelas Eksperimen, Nomor Indikator

98

Page 12: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 13: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

PENDAHULUAN

Praktikum di perguruan tinggi pada umumnya ditujukan untuk mendukung perkuliahan terutama memvalidasi pengetahuan pada perkuliahan yang sama, oleh sebab itu perkuliahan praktikum dilaksanakan bersamaan maupun sesudah teori. Dalam kaitannya dengan belajar, kegiatan praktikum diperlukan agar siswa memperoleh pengalaman belajar konkrit dan sebagai suatu sarana mengkonfrontasikan miskonsepsi yang dimiliki peserta didik, serta dalam usahanya mengkonstruksi pengetahuan baru (Hodson, 1996). Melalui percobaan dalam suatu praktikum memberikan kesempatan siswa untuk memperoleh pengetahuan peristiwa, proposisi, imaginasi, keterampilan berpikir, keterampilan motorik, serta memperoleh memory of event, suatu gambaran pengalaman yang memiliki efek jangka panjang (Kipnis, 2007).

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa panduan praktikum verifikasi dengan petunjuk rinci yang selama ini banyak dilakukan, cenderung sering membosankan mahasiswa, serta tidak mengajak mahasiswa untuk memecahkan masalah, sehingga kemampuan mahasiswa untuk benar-benar mampu menemukan fakta, serta konsep sebagai hasil temuannya sendiri tidak bisa terwujud (Adami, 2006; Pasha, 2006, dan Haryani, 2010). Rollnick dan Davidowitz (dalam Cooper, 2008) mengingatkan bahwa langkah kerja dalam panduan yang bersifat verivikatif kurang memberi peluang memproses informasi secara mendalam, dan perhatian utama mahasiswa hanyalah penyelesaian tugas praktikum. rdemokrasi, serta menghargai pendapat dan prestasi orang lain. Didasarkan argumen ini nampak bahwa aktifitas metakognisi dan karakter mahasiswa dapat terbagung melalui pembelajaran berbasis masalah. Bahkan, Nakhleh (1996), mengingatkan jurusan kimia di berbagai belahan dunia telah menginvestasikan sejumlah besar uang untuk

BAB

1

Page 14: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

memberikan pengalaman praktikum bagi mahasiswa, akan tetapi jarang mengevaluasi apa yang seharusnya dicapai dalam praktikum. Sementara itu, menurut Woolnough dan Allsop (Rustaman, 2003) serta Anderson dan Krathwol (2001) beberapa alasan penyelenggaraan kegiatan praktikum antara lain: membangkitkan motivasi belajar, menunjang penguasaan konsep, mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar bereksperimen, dan mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.

Dengan demikian, ketrampilan pemecahan masalah penting dilatihkan karena keterampilan tersebut sangat diperlukan mahasiswa calon guru kimia untuk menghadapi tugas dan tantangan dalam dunia kerja. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa juga sering berhadapan dengan masalah-masalah yang sangat kompleks (ill-structured/unstructred). Beberapa realita yang menggambarkan masih rendahnya peserta didik dalam menyelesaikan masalah yakni terjadinya tawuran antar sekolah dan antar mahasiswa, pemakaian narkoba, obat-obatan terlarang dan minuman keras, pengguguran kandungan, serta terjadinya prilaku negatif lainnya. Untuk mengatasi krisis moral tersebut, pemecahan masalah sebagai salah satu berpikir tingkat tinggi perlu dilatihkan melalui pembelajaran yang direncanakan dengan baik. Selanjutnya menurut Haryani (2009) serta Kipnis (2007) kelemahan mahasiswa dalam hal penguasaan konsep, eksplanasi terkait prosedur, gejala yang teramati, dan konsep-konsep dasar praktikum terjadi karena pola pelaksanaan praktikum yang belum memberikan peluang mahasiswa untuk mengidentifikasi masalah, mengelaborasi informasi, memutuskan prosedur serta mengevaluasi prosedur yang akan digunakan. Peluang-peluang tersebut merupakan bagian dari indikator metakognisi (Mc Gregor, 2007; dan Anderson 2001).

Istilah metakognisi hampir sering dikaitkan dengan Yohanes Flavell. Tokoh metakognisi ini menyatakan bahwa metakognisi sebagai "pengetahuan mengenai proses-proses dan produk kognitif seseorang atau apapun yang berhubungan dengannya”, sedangkan proses metakognisi merupakan suatu aktivitas mental dalam struktur kognitif yang dilakukan secara sadar oleh individu untuk mengatur, mengorganisasi atau memantau proses berpikirnya sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal (Flavell, dalam Weinert & Kluwe: 1987). Sementara itu Brown (dalam Weinert & Kluwe, 1987) menggambarkan bahwa metakognisi sebagai

Page 15: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

berpikir tentang pikirannya sendiri, pengetahuan dan pengaturan sistem koginitifnya sendiri, kapasitas merefleksikan aksi dan pikirannya sendiri. Proses metakognisi menurut McGregor (2007) adalah suatu aktivitas mental dalam struktur kognitif yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk mengatur, mengontrol, dan memeriksa proses berpikirnya sendiri.

Facione et al (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa pengembangan metakognisi ditujukan agar peserta didik mampu menjadi pemikir-pemikir kritis yang selalu berpikir dalam menerapkan suatu motivasi internal. Peserta didik dengan tingkah laku pembelajaran yang baik adalah yang mengembangkan metakognisi, dan hal ini dapat diperoleh selama beraktivitas di laboratorium seperti mengecek pekerjaan laboratorium, mencari alasan-alasan untuk aspek-aspek dari pekerjaan yang tepat, dan merencanakan strategi umum sebelum mulai (White dan Mitchel dalam Kipnis, 2007). Pernyataan White dan Mitchel ini sejalan dengan hasil penelitian Rickey (2000), bahwa kelompok mahasiswa dengan kegiatan laboratorium berbasis penelitian ilmiah melalui pemberian masalah, metakognisinya berkembang secara signifikan dibanding kelompok mahasiswa dengan kegiatan praktikum yang sudah baku. Selanjutnya menurut Kipnis (2007) metakognisi peserta didik dewasa ini belum banyak diberdayakan secara sengaja dalam proses pembelajaran di sekolah pada hal metakognisi merupakan suatu komponen penting dalam pembelajaran sains mendatang, karena di samping membentuk siswa yang mandiri juga mampu meningkatkan pemahaman dalam belajar, serta siswa akan dapat meregulasi diri sendiri selama perencanaan, pengarahan, dan evaluasi dalam suatu tugas.

Livingston (1997) dan Hollingword (2002) menyarankan sebagaimana keterampilan maka metakognisi akan berhasil jika dikembangkan melalui latihan, mahasiswa perlu dibekali belajar memecahkan masalah yakni belajar bagaimana caranya belajar yang mampu mengembangkan sekaligus melatihkan metakognisi. Pembelajaran berbasis masalah memberikan lingkungan pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan metakognisi siswa, hal ini senada pernyataan Rickey (2000) dan Cooper (2008) bahwa metakognisi merupakan dasar dalam memperoleh pemahaman kimia dan pengembangan kemampuan penyelesaian masalah.

Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem-based Learning (PBL) awalnya dikembangkan sekitar tahun 1970an

Page 16: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

dalam bidang pendidikan kedokteran. Saat ini telah dipakai pada semua tingkatan pendidikan, dalam sekolah profesional berskala luas, maupun universitas. Proses dalam PBL meminta strategi yang mengarahkan tujuan dan mengarahkan diri, selagi siswa dipengaruhi dalam suatu konteks masalah yang dihadapi (Samford, 2003). Penggunaan lingkungan belajar yang menantang mendorong peserta didik untuk bertanya, mampu mengatasi ketakutan berbuat salah, serta memberi kesempatan untuk mengambil inisiatif dalam mengatasi tugas dan bekerjasama (Tan, 2004). Pada saat siswa mengatasi suatu masalah dalam pembelajaran berbasis masalah, maka siswa harus berusaha untuk merencanakan, mengevaluasi, dan mengatur penggunaan strateginya, yang ketiganya menurut Brown dalam Marzano et al., (1988) termasuk dalam aktivitas metakognisi.

Keunggulan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning = PBL) adalah adanya pengalaman untuk memecahkan masalah yang autentik dan dilakukan secara kolaboratif. Pembelajaran seperti ini akan lebih mendalam dan lebih berarti serta lebih lama diingat, karena pengetahuan mereka dikonstruk oleh mereka sendiri dalam suatu konteks dan dalam respon untuk memenuhi kebutuhan (Ram, et al, 1999). Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa model pembelajaran praktikum berbasis masalah dan berbasis proyek efektif untuk mengembangkan sikap ilmiah, di samping mendukung penguasaan konsep, metakognisi, keterampilan berpikir kritis, dan keterampilan pemecahan masalah (Zhang, 2002; Amarasiriwardena, 2007; Kipnis, 2007; Akınoglu & Tandogan, 2007; Kelly and Finlayson, 2009; dan Dylan et al (2010).

Dalam sistem pendidikan nasional, tujuan pembelajaran mengacu pada taksonomi Bloom yang secara garis besar membagi ke dalam tiga ranah pembelajaran, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Implementasi ranah afektif masih kurang, meskipun para ahli pendidikan menilai bahwa ranah afektif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam tujuan pembelajaran, karena ranah afektif selalu ada dalam setiap ranah pembelajaran (Kratwohl, 1981). Permasalahan ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Sementara itu menurut Popham (1995), keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi

Page 17: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

oleh kondisi afektif peserta didik. Pernyataan ini mengandung arti bahwa literasi sains peserta didik dipengaruhi kondisi afektifnya. Oleh sebab itu, satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif/sikap ilmiah dapat dicapai. Peserta didik yang mempunyai sikap ilmiah adalah peserta didik yang menunjukkan keinginan untuk mengubah opininya berdasarkan bukti-bukti, mencari kebenaran tanpa prasangka, memahami hubungan sebab akibat, membuat keputusan berdasarkan fakta, dan mampu membedakan antara fakta dan teori. Agar peserta didik menjadi seorang yang literasi sains dan mempunyai sikap ilmiah, maka pembelajaran kimia menekankan pentingnya pemberian pengalaman belajar secara langsung (Depdiknas: 2006). Pengalaman belajar secara langsung tersebut dapat diimplementasikan pada beberapa topik tertentu yang menuntut diselenggarakannya praktikum. Dengan demikian cara belajar sains harus melibatkan peserta didik pada pengalaman, yang dikenal dengan istilah hads-on sehingga terjadi minds-on.

Dari uraian tersebut dapat difahami bahwa dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran khususnya praktikum tidak hanya memperhatikan aspek penguasaan konsep (kognitif) dan keterampilan dasar bereksperimen (psikomotorik), namun harus memperhatikan aspek afektif peserta didik dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan afektif berhubungan dengan sikap ataupun karakter yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri (Popham, 1995). Nilai-nilai tersebut erat kaitannya dengan pengembangan pendidikan budaya dan karakter yang direkomendasikan pada Pasal 3 UU Sisdiknas. Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal penting yang mutlak dimiliki anak didik untuk menghadapai tantangan hidup masa depan, serta sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Upaya menghadapi tantangan tersebut perlu dicermati dengan serius terlebih UNNES saat ini telah menempatkan diri sebagai Universitas Konservasi. Konservasi yang dimaksudkan adalah bagaimana UNNES dan segenap aktivitas akademik memiliki konservasi dan kepedulian terhadap lingkungan, sosial budaya, dan konservasi terhadap pengetahuan (keilmuan).

Page 18: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Tugas utama LPTK adalah menghasilkan tenaga kependidikan/guru berkualitas tinggi, yang akan bekerja pada berbagai satuan pendidikan. Tugas utama tersebut dilaksanakan oleh dosen (pendidik guru), sehingga dosen dalam mengajarkan materi perkuliahanpun harus berkualitas tinggi. Mahasiswa calon guru cenderung akan menirukan apa yang dilakukan oleh para dosennya, sehingga berbagai pemodelan dalam proses pembelajaran di bangku kuliah akan sangat membekas pada pelaksanaan tugas mengajarnya di kemudian hari, dengan kata lain bahwa pembelajaran oleh dosen akan mempunyai dampak tersebarluaskan (trickle down effect) melalui mahasiswanya (McDermott, 1990). Dalam hal ini tugas dosen di LPTK menjadi strategis, di samping menggali potensi mahasiswa iapun harus bertindak sebagai model rujukan.

Standar Pendidikan Sains Nasional Amerika (NRC, 1996) menyarankan bahwa dalam perkuliahan penyiapan guru sains, pengembangan profesionalnya harus memberikan pembekalan kemampuan pengambilan keputusan, penguasaan teori, bernalar, dan kerja praktik atau praktikum. Salah satu mata kuliah dalam Kelompok Bidang Keahlian (KBK) Kimia analitik adalah Praktikum Kimia Analitik Instrumen yang diberikan di semester VI. Kimia analitik merupakan ilmu yang berhubungan dengan cara menganalisis sampel secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara praktis, kuantifikasi suatu analit di dalam sampel yang kompleks dapat menjadi suatu latihan di dalam penyelesaian masalah. Agar menjadi efisien dan efektif, dalam pembelajaran kimia analitik difasilitasi untuk mengetahui alat yang tersedia dalam menangani masalah yang berhubungan dengan analisis kimia. Untuk alasan tersebut, pembelajaran Kimia Analitik semestinya dilakukan agar peserta didik mampu memecahkan masalah dengan memberikan pengalaman laboratorium berbasis riset yang menantang dan bermakna. Kebermaknaan proses pembelajaran dapat tercermin dari produknya berupa peningkatan keterampilan/kemampuan yang sangat berarti bagi pengembangan profesi seorang calon guru yang kelak mereka juga harus mampu menjadi model untuk menentukan lingkungan pembelajarannya. Di samping itu guru juga harus mampu memonitor bagaimana pertemuan kelas akan dibawa, menentukan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan, serta bagaimana mengubah kondisi tersebut untuk materi yang berbeda. Dengan demikian guru juga terlibat dalam metakognisinya sendiri (Stepien, dalam Weinert & Kluwe, 1993).

Page 19: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Sebaran mata kuliah untuk prodi Pendidikan Kimia dan Prodi Kimia FMIPA UNNES memuat sekitar 60% Mata Kuliah Keahlian (MKK) yang disertai dengan praktikumnya. Persentase praktikum yang besar tersebut tentu saja merupakan daya dukung yang ideal dan potensial bagi latihan pemecahan masalah, metakognisi, dan menumbuhkan sikap ilmiah. Kondisi ini akan dapat dicapai jika panduan praktikum yang bersifat verifikasi yang selama ini dilakukan diganti menjadi model praktikum berbasis masalah meskipun belum secara keseluruhan.

Berdasarkan argumen yang telah diuraikan dan dari berbagai hasil penelitian maka pembelajaran praktikum kimia analisis instrumen semestinya dilakukan agar mahasiswa terlatih memecahkan masalah, membangun metakognisi dan karakter dengan memberikan pengalaman laboratorium berbasis riset yang menantang dan bermakna sebagaimana dalam PBL. Praktikum kimia analisis instrumen memberikan lingkungan pembelajaran yang sangat baik untuk maksud tersebut, karena di samping esensi ilmu kimia analitik sebagai ilmu untuk menyelesaikan permasalahan (Buchari, 1990), mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang bersifat proses, memiliki variabel yang beragam, serta terdiri dari beberapa metode pengukuran. Selanjutnya untuk mendukung UNNES sebagai universitas konservasi, maka sebagian permasalahan yang dikaji mahasiswa dirancang menggunakan local material sesuai prinsip Green Chemistry. Local material adalah bahan-bahan ataupun alat yang mudah didapat di lingkungan sekitar peserta didik. Keterbatasan alat baik dalam segi jumlah maupun jenis dan mahalnya bahan-bahan sering menjadi kendala yang dihadapi guru (Haryani, 2010). Oleh karena itu calon guru perlu dibekali pemodelan cara mengatasi kendala keterbatasan alat. Pembekalan calon guru yang sesuai pada mata kuliah ini adalah melatihkan membuat piranti peralatan pengukuran yang sederhana (kit), mudah dibawa, namun data pengamatannya memiliki daya responsibilitas yang baik. Daya responsibilitas ini diperoleh dengan membandingkan hasil pengukuran menggunakan peralatan/instrumen laboratorium yang tersedia.

Monograf ini menguraikan strategi untuk membangun metakognisi dan karakter bagi mahasiswa calon guru melalui rumpun mata kuliah praktikum kimia analitik instrumen yang berdampak pada penguasaan konsepnya melalui strategi pembelajaran yang tepat. Adapun strategi intruksional yang diharapkan sejalan dengan tujuan tersebut dan sesuai dengan

Page 20: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

karateristik ilmu Kimia Analitik yaitu pembelajaran berbasis masalah. Materi dalam pembelajaran Kimia Analitik meliputi spektrometri, kromatografi, dan elektrometri.

Mudah-mudahan monograf ini dapat memperkaya khasanah pembelajaran inovatif yang ada. Model pembelajaran praktikum berbasis masalah yang dikembangkan terdiri atas seperangkat pembelajaran (Satuan Acara Perkuliahan, Deskripsi Pembelajaran, dan Lembar Kerja Mahasiswa) dan alat evaluasinya untuk mengukur metakognisi pemecahan masalah, penguasaan konsep, serta alat ukur karakter. Di samping itu, menghasilkan masalah open-endeed, wawancara tidak terstruktur yang dibingkai dalam program pembelajaran berbasis masalah terbimbing untuk membangun metakognisi, karakter, meningkatkan penguasaan konsep, dan meningkatkan pemecahan mahasiswa calon Guru. Model pembelajaran praktikum berbasis masalah ini dapat memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi rekan-rekan Dosen dalam mencari alternatif program perkuliahan yang membekali mahasiswa. Sementara itu bagi calon Guru Kimia, mampu memberikan pengalaman nyata dan berarti dengan proses pembelajaran yang variatif, yang sangat berguna untuk tugas mengajar nantinya. Secara umum model pembelajaran ini bermanfaat menyediakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa mengembangkan metakognisi, meningkatkan penguasaan konsep, membangun karakter, dan meningkatkan pemecahan masalah. Selain itu, manfaat penting lainnya diharapkan mampu mengubah paradigma belajar mahasiswa yang selama ini lebih banyak berperan sebagai “konsumen ide” menjadi berperan sebagai “produsen ide”.

Page 21: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

A. Pengertian Berbasis Masalah Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa

Inggris Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik tolak pembelajaran, dan untuk dapat menyelesaikan suatu masalah peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya. Proses pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan presentasi masalah dan berakhir pada presentasi solusi dan evaluasi (Tan, 2003). Pembelajaran Berbasis Masalah awalnya dikembangkan sekitar tahun 1970an dalam bidang pendidikan kedokteran, dan sekarang telah dipakai pada semua tingkatan pendidikan, dalam sekolah profesional berskala luas, maupun universitas.

Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk memperoleh struktur berbasis pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan kehidupan pribadi.

Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada peserta didik untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru/dosen sementara pada pembelajaran yang umumnya dilakukan, peserta didik lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru. Selain berpusat pada

BAB

2

Page 22: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

peserta didik, pada pembelajaran berbasis masalah dosen atau guru bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai agen ilmu (Samford, 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa belajar mengalami dan mengaitkan pengetahuan sebelumnya ke dalam materi yang sedang dipelajari, mengkomunikasikan sendiri pemahamannya, tidak hanya sekedar menghapal. dan guru sebagai fasilitator membantu siswa pada permulaan dan pada saat-saat diperlukan saja apabila siswa mengalami kesulitan (scaffolding). Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme dengan didukung teori belajar dari Ausubel, Bruner, dan Vygotsky.

Untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal, pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah perlu dirancang dengan baik mulai dari penyiapan masalah yang yang sesuai dengan kurikulum yang akan dikembangkan di kelas, memunculkan masalah, peralatan yang mungkin diperlukan, dan asessmen yang digunakan. Pengajar yang menerapkan pendekatan ini harus mengembangkan diri melalui pengalaman mengelola di kelasnya, atau melalui pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang berkelanjutan.

Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa tujuan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah menghasilkan peserta didik yang akan terlibat dalam suatu tantangan (masalah, tugas yang rumit, situasi) dengan inisiatif dan antusias; bernalar dengan efektif, akurat dan kreatif dengan basis yang terintegrasi, fleksibel, dengan pengetahuan yang sudah ada; merasakan apa yang kurang dimiliki dalam pengetahuan dan keterampilan, diarahkan dengan efisien dan efektif; dan bekerjasama dengan efektif, sebagai anggota dalam tim untuk mencapai tujuan (Samford, 2003). Menurut Tan (2004) tujuan dari pembelajaran berbasis masalah adalah untuk membantu peserta didik belajar reflektif dan mandiri yang dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan. Di samping itu, pembelajaran berbasis masalah bertujuan untuk mengembangkan dasar-dasar pengetahuan yang substansial dengan menempatkan peserta didik dalam peranan sebagai seorang problem solver aktif yang dikonfrontasikan dengan suatu situasi (ill-structured problems). Melalui masalah ill-structured, peserta didik akan memperoleh kesempatan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).

Page 23: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

B. Karakteristik dan Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Menurut Ibrahim dan Nur (2004) pembelajaran berbasis

masalah mempunyai beberapa karakteristik, dan masing-masing kararteristik tersebut mengandung makna. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi: pengajuan pertanyaan atau masalah (memahami masalah), berfokus pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, menghasilkan produk atau karya kemudian memamerkannya, dan kerjasama.

Arends (2004), mendeskripsikan karakteristik pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. (1) Mulai dengan masalah. Masalah yang diajukan berhubungan dengan situasi kehidupan nyata peserta didik dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi terhadap masalah tersebut; (2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berbasis masalah berpusat pada disiplin ilmu tertentu, masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak disiplin ilmu; (3) Penyelidikan otentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki peserta didik melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang nyata; (4) Menghasilkan karya/produk dan memamerkannya. Bentuk penyelesaian masalah dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya tentang apa yang mereka pelajari; (5) Kerjasama.

Beberapa karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Tan (2004) sebagai berikut. (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran; (2) masalah berupa dunia nyata yang tidak terstruktur; (3) masalah memerlukan banyak perspektif;(4) menantang pengetahuan, sikap, dan kompetensi siswa; (5) belajar berlangsung secara mandiri; (6) menggunakan dan mengevaluasi sejumlah sumber informasi; (7) pembelajaran berlangsung secara kolaboratif; (8) pengembangan inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah; (9) sintesis dan integrasi belajar; serta (10) evaluasi dan review pengalaman dan proses belajar.

Dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah ini, guru/dosen harus dapat mengelola kelas melalui mengembangkan berbagai permasalahan. Permasalahan bisa datang dari siswa secara individual atau kelompok, namun demikian belum tentu siswa dapat mengajukan masalah yang baik apalagi yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Oleh

Page 24: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

karena itu fasilitator harus menyiapkan sejumlah permasalahan yang baik.

Ciri-ciri masalah yang baik adalah (Duch et al., 2001): memberikan tantangan kepada mahasiswa, memberikan motivasi untuk menyelidiki pengertian yang lebih dalam tentang suatu konsep. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaitkan subyek dengan dunia nyata sehingga dalam memecahkan masalah siswa dapat terlibat untuk memberikan keputusan dan penjelasan pada suatu fakta, informasi, logika, dan atau rasional. Siswa perlu diajak berpendapat mengapa suatu permasalahan perlu dibahas dalam kerja kelompok, sehingga setiap anggota kelompok merasa ikut ambil bagian dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah kelompok tersebut. Pertanyaan yang diajukan untuk menimbulkan masalah hendaknya mempunyai ciri: terbuka, berhubungan dengan pengetahuan siswa sebelumnya, isu yang kontroversial dapat menimbulkan bermacam-macam pendapat, serta harus menghubungkan antara pengetahuan lama dan pengetahuan baru sehingga siswa betambah pengetahuannya.

Arends (2004) menguraikan lima tahapan utama dalam pembelajaran berbasis masalah. Perilaku guru/dosen pada setiap tahapan diringkaskan pada Tabel 2.1. Alokasi waktu atau jumlah pertemuan yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh tahapan sangat tergantung pada tingkat kompleksitas dari masalah yang dikaji. Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah (Arends, 2004)

Tahapan Prilaku Pengampu Tahap 1: Orientasi peserta didik pada masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran, perlengkapan penting yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya

Tahap 2: Mengorganisasi peserta didik untuk belajar

Membimbing peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut

Tahap 3: Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok

Mendorong peserta didik mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan memperoleh penjelasan dan pemecahan masalah

Tahap 4: Mengembangkan,

Membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang

Page 25: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Tahapan Prilaku Pengampu menyajikan, dan memamerkan hasil karya (artifak)

sesuai, seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya

Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Membantu peserta didik melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan

Pembelajaran Berbasis Masalah dapat mendukung

mahasiswa untuk memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan dihadapi mahasiswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas, dan kehidupan pribadi (Samford, 2003). Ditinjau dari karakteristik, tujuan, dan sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah maka kejadian-kejadian yang harus muncul pada saat implementasi dalam pembelajaran adalah: (1) mengidentifikasi masalah yang akan diselidiki, (2) mengeksplorasi ruang lingkup permasalahan, (3) menggiring siswa melakukan penyelidikan, (4) menggabungkan informasi yang diperoleh, dan (5) mempresentasikan penemuan, evaluasi guru, dan self reflection.

C. Keunggulan dan Keterbatasan Pembelajaran Berbasis

Masalah Menurut Akinoglu & Tandogan (2007), kelebihan

pembelajaran berbasis masalah adalah: (1) pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered), (2) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan pengendalian diri (self-control), (3) peserta didik dapat mempelajari peristiwa secara multidimensi dan mendalam, (4) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, (5) peserta didik termotivasi mempelajari materi dan konsep baru ketika memecahkan masalah, (6) peserta didik dapat mengembangkan kemampuan sosial dan keterampilan berkomunikasi yang memungkinkan mereka belajar dan bekerja dalam tim, (7) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berpikir ilmiah dan tingkat tinggi/kritis, (8) peserta didik dapat mengintegrasikan teori dan praktek yang memungkinkan mereka menggabungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, (9) baik pengampu maupun peserta didik termotivasi untuk belajar, (10) peserta didik memperoleh keterampilan mengelola waktu, pengumpulan data, penyiapan dan evaluasi laporan, dan

Page 26: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

(11) pembelajaran membantu cara-cara siswa untuk belajar sepanjang hayat.

Sementara itu, Ehlert (2004) menyatakan bahwa keuntungan pembelajaran berbasis masalah adalah: (1) menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan penelitian; (2) membangun keterampilan berpikir kritis; (3) mengenal konten materi subyek dan membangun tujuan sesuai dengan konsep; (4) memberdayakan peserta didik menjadi seorang ahli dalam bidang studi tertentu; (5) memungkinkan peserta didik menghasilkan lebih dari satu bentuk solusi; (6) menyajikan ketidaktentuan dan kebutuhan untuk mengembangkan asumsi; dan (7) memotivasi peserta didik belajar.

Walapun pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa keuntungan, pembelajaran ini juga mempunyai keterbatasan (Akinoglu & Tandogan, 2007). Keterbatasan tersebut antara lain adalah: (1) guru-guru mengalami kesulitan untuk mengubah gaya belajarnya, (2) diperlukan cukup banyak waktu bagi siswa untuk memecahkan situasi masalah ketika situasi masalah tersebut pertama kali dipresentasikan kepada siswa, (3) kelompok atau individu siswa mungkin mengakhiri pembelajaran lebih cepat atau lebih lambat dari waktu biasanya, (4) pembelajaran berbasis masalah memerlukan hasil-hasil penelitian dan materi ajar (sumber-sumber belajar) yang kaya, (5) cukup sulit mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah dalam semua kelas, dan (6) cukup sulit mengases pembelajaran.

Hasil temuan Hernani (2010) dan Haryani (2011) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan: (1) masalah open-ended yang menjadi "pintu gerbang" munculnya konflik kognitif pada diri mahasiswa dapat merangsang untuk pembelajaran yang aktif dan mandiri (self-directed), sehingga proses mengkonstruk pengetahuan dalam pikiran mahasiswa dapat terjadi dan menjadi hal yang potensial untuk masuk ke dalam long-term memory; (2) esensi ilmu Kimia Analitik sebagai ilmu untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan analisis kimia, benar-benar terwujud di dalam proses pembelajaran; (3) dapat memfasilitasi pengembangan metakognisi dan keterampilan esensi lain di dalam proses pembelajaran Kimia Analitik sehingga pembelajaran lebih bermakna, serta lebih memotivasi mahasiswa untuk belajar sehingga penguasaan konsepnya juga meningkat, dan (4) dapat

Page 27: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

membangun karakter dan meningkatkan beberapa aspek keterampilan generik sains, keterampilan berkomunikasi ilmiah, berpikir kritis dan domain kognitif tingkat tinggi.

Disamping keunggulan yang dikemukakan di atas, juga terdapat keterbatasan implementasi pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: (1) diperlukan penyediaan waktu yang cukup oleh tutor di luar penjadwalan perkuliahan dan praktikum, untuk memfasilitasi proses diskusi baik sebelum eksperimen dilakukan maupun setelah eksperimen; (2) fasilitator pembelajaran, baik dosen sebagai tutor maupun laboran harus benar-benar solid untuk dapat memfasilitasi proses belajar mahasiswa; dan (3) menuntut tersedianya keragaman peralatan dan bahan yang memadai untuk memfasilitasi proses eksperimen yang bervariasi.

D. Pedoman Pengelolaan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Guru (Haryani, dkk., 2008)

Pedoman pengelolaan pembelajaran merupakan petunjuk guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pedoman ini dimaksudkan agar guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana atau skenario pembelajaran dan berada pada jalur yang direncanakan. Pedoman ini memberi petunjuk kepada guru mulai pra tindakan sampai dengan akhir siklus.

Uraian dari pedoman pengelolaan pembelajaran ini adalah sebagai berikut. 1. Guru mempersiapkan keperluan untuk mendukung

pembelajaran, seperti peralatan laboratorium, bahan-bahan kimia, media pembelajaran, dan sebagainya.

2. Guru, selanjutnya, membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar yang anggotanya terdiri dari 4-5 orang (siswa didistribusikan ke dalam kelompok-kelompok belajar berdasarkan kemampuan akademik dan jenis kelamin). Dalam setiap kelompok, setiap anggota kelompok berperan secara bergiliran masing-masing sebagai ketua, sekretaris, penyaji, dan anggota.

3. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan waktu yang dialokasikan pada masing-masing skenario pembelajaran.

4. Guru membagikan LKS kepada semua siswa dan menugaskan mereka mempelajari dan memahami masalah yang terdapat dalam LKS. Guru menyediakan bimbingan kepada siswa, jika diperlukan. Waktu yang diperlukan oleh siswa untuk memahami masalah sekitar 10-15 menit.

Page 28: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

5. Guru menggambar tabel KNL di papan tulis, kemudian mengundang siswa mengisi kolom pada tabel KNL di papan tulis. Jika siswa menuliskan item-item dalam kolom pada tabel KNL menyimpang dari item-item yang tertera dalam skenario pembelajaran, guru mengarahkan siswa dengan pertanyaan-pertanyaan agar siswa dapat menghasilkan item-item yang diharapkan. Guru menugaskan siswa secara bergiliran mengisi kolom pada tabel KNL. Waktu yang diperlukan oleh siswa untuk mengisi tabel KNL ini sekitar 20-25 menit.

6. Setelah item-item atau isu-isu belajar yang dituliskan dalam kolom pada tabel KNL terasa cukup, guru selanjutnya menugaskan siswa melakukan penelitian untuk memahami atau mempelajari isu-isu belajar yang telah diidentifikasi. Penelitian yang dapat dilakukan oleh siswa antara lain: mempelajari buku-buku yang berhubungan, mengakses internet, mewawancarai ahli atau praktisi, kunjungan lapangan, dan/atau melakukan praktikum. Untuk skenario pembelajaran yang menyediakan kegiatan praktikum, guru menugaskan siswa melakukan praktikum sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam LKS. Guru juga menyediakan bantuan kepada siswa untuk memahami dan melaksanakan prosedur praktikum, jika diperlukan. Guru harus secara aktif mengidentifikasi masalah atau kesulitan yang dihadapi oleh siswa agar dapat memberi bantuan dengan cepat dan tepat. Waktu yang diperlukan oleh siswa untuk melakukan penelitian sekitar 1-6 jam.

7. Guru, selanjutnya, menugaskan siswa melakukan diskusi kelompok untuk membahas hasil-hasil penelitian yang diperoleh, baik hasil yang diperoleh secara individu maupun hasil yang diperoleh secara kelompok. Dalam diskusi kelompok ini, guru berkeliling dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain dan mengajukan pertanyaan untuk membimbing pemahaman siswa terhadap isu-isu belajar yang terlah dirumuskan sebelumnya. Tipe pertanyaan yang diajukan guru sangat tergantung kepada pada pendapat siswa. Pada akhir diskusi kelompok, setiap kelompok diminta merumuskan hasil-hasil diskusinya untuk selanjutnya dilaporkan pada saat diskusi kelas. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan diskusi kelompok ini sekitar 1 jam (60 menit).

Page 29: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

8. Guru, kemudian, menyiapkan pelaksanaan diskusi kelas. Pada diskusi kelas, guru bertindak sebagai muderator dan sekaligus sebagai fasilitator belajar bagi siswa. Guru meminta setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan dalam isu-isu belajar pada tabel KNL. Guru memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk memberi tanggapan satu sama lain. Guru kembali mengajukan pertanyan untuk membimbing siswa pada pemahaman materi kimia. Guru juga menangani miskonsepsi siswa yang muncul selama diskusi kelas dengan jalan mengajukan pertanyaan. Waktu yang dialokasikan untuk melaksanakan diskusi kelas sekitar 1 jam.

9. Pada akhir pembelajaran, guru menugaskan setiap siswa membuat rangkuman hasil-hasil diskusi kelas, kemudian dikumpulkan untuk dievaluasi. Waktu yang diperlukan oleh siswa untuk mengerjakan tes sudah tercantum pada tes. Guru perlu menginformasikan kepada siswa agar siswa menuliskan jawabannya pada lembar jawaban yang telah disediakan dan siswa tidak boleh menulis atau mencoret lembar tes.

10. Setelah berakhirnya satu siklus pembelajaran untuk satu topik materi kimia, guru selanjutnya, melaksanakan tes akhir siklus.

11. Setelah selesai pelaksanaan tes akhir siklus, guru melakukakan evaluasi dan refleksi untuk mempersiapkan silkus berikutnya.

12. Pada akhir siklus setelah tes akhir guru mengedarkan angket kepada siswa untuk mengetahui tanggapannya terhadap pembelajaran yang telah diikuti (peneliti juga meminta pendapat guru tentang implementasi pembelajaran).

Page 30: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Contoh Deskripsi Pembelajaran Tahap 1: mengorientasi siswa pada masalah. Dua kelompok siswa yang masing - masing terdiri dari 4- 5 orang diberi masalah terkait sifat koligatif larutan yang terdiri 5 masalah. Siswa diminta untuk menyelesaikan masalah secara teoritis dan praktek Tahap 2: Mengorganisasi siswa untuk belajar Siswa mengkaji masalah yang diberikan dan membuat hipotesis. Siswa mengidentifikasi materi/ konsep yang mendukung. Siswa juga mendiskusikan persiapan produk terkait sifat koligatif larutan guna mendukung CEP. Guru bertindak sebagai fasilitator Tahap 3: Membimbing penyelidikan kelompok Siswa mengumpulkan data terkait sifat koligatif larutan melalui kajian pustaka dan melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesisnya Tahap 4: Mengembang dan menyajikan hasil karya Siswa membuat laporan hasil penyelidikannya dan mengkomunikasikannya pada kelompok lain. Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Siswa antar kelompok saling memberikan . pendapat terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok lain untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan masing - masing. Tahap 6. Tes akhir siklus, pameran dan penilaian produk terkait CEP

Page 31: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pedoman Kegiatan Pembelajaran (untuk guru)

a. Mempelajari masalah

Guru menugaskan setiap siswa mempelajari masalah di bawah dan menyediakan bimbingan kepada siswa untuk memahami masalah, jika diperlukan.

Masalah

Contoh permasalahan yang diberikan: Fenomena Sifat Koligatif Larutan dalam Kehidupan Kita 1. Tekanan uap pelarut murni seperti air, lebih besar daripada

tekanan uap larutannya misalnya larutan gula. Bagaimana hal ini dapat dibuktikan! Selanjutnya bagaimana pengaruh jumlah gula yang ditambahkan terhadap penurunan tekanan uap airnya?

2. Bila air murni dipanaskan pada tekanan udara 1 atm, maka air akan mendidih pada suhu 1000C, karena pada suhu tersebut tekanan uapnya sama dengan tekanan udara luar. Namun demikian jika ke dalam air ditambah gula pasir, ternyata pada suhu 1000C larutan gula tersebut belum mendidih. Hal ini terkait tekanan uap larutan gula yang terbentuk lebih rendah dari tekanan uap pelarut air murni. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan ? Gunakan diagram P-T!

3. Massa rumus suatu zat sangat diperlukan dalam perhitungan kimia yang terkait dalam berbagai bidang misalnya massa rumus suatu polimer seperti PVC, dekstrin yang masing-masing digunakan dalam industri plastik dan untuk dekstrin sebagai pengganti plasma darah. Massa rumus zat tersebut dapat dilakukan dengan mengukur tekanan uap, titik didih, tekanan osmose maupun titik beku larutannya. Rencanakan suatu percobaan yang mungkin dilakukan!

4. Perhatikan peristiwa berikut! Ketimun yang dilarutkan ke dalam air garam akan mengkerut, wortel yang telah lunak dapat mengeras kembali setelah direndam dalam air, sementara itu buah-buahan kering seperti kismis akan mengembang jika dilarutkan dalam air. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Peristiwa-peristiwa tersebut adalah contoh osmosis dalam kehidupan sehari-hari. Tekanan yang diharapkan untuk menghentikan osmosis dari pelarut murni ke larutan yang lebih pekat dinamakan tekanan osmotik. Tekanan osmotik ini dipengaruhi konsentrasi zat terlarut.

Page 32: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

5. Berdasarkan hasil percobaan penurunan titik beku larutan 0,1 M glukosa dan 0,1 M NaCl berturut-turut 0,01860 C dan 0,3720

C. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan.

b. Menghasilkan isu-isu belajar Melalui diskusi kelompok, siswa menghasilkan isu-isu belajar dengan bantuan tabel KNL (what we KNOW, what we NEED to Know, Learning issues) berikut. Guru menyediakan bimbingan kepada siswa dalam menghasilkan isu-isu pembelajaran, jika diperlukan.

Contoh lengkap untuk guru (seharusnya diisi siswa)! Apa yang diketahui

Apa yang perlu diketahui

Isu-isu belajar

Air mendidih pada 1000C pada tekanan 1 atm

Air membeku pada 00C

Pemberian garam dalam es batu digunakan untuk pengawetan ikan dan pembuatan es putar

Makanan menjadi awet jika mengandung garam maupun gula pada konsentrasi tinggi

Terdapat beberapa sifat fisis larutan yang tergantung pada jumlah pertikel zat terlarut tidak bergantung pada jenis zat terlarut

Apa itu sifat koligatif larutan

Kelompok apa saja yang termasuk dalam sifat koligatif?

Mengapa adanya zat terlarut yang tidak mudah menguap berpengaruh terhadap tekanan uap pelarut murni?

Apa yang dimaksud tekanan uap?

Mengapa dengan adanya zat terlarut menyebabkan penurunan tekanan uap? Dan bagaimana cara membuktikan?

Ungkapkan persamaan hukum Raoult?

Tuliskan hubungan antara penurunan tekanan uap dengan mol fraksi zat terlarut!

Mengapa adanya zat terlarut yang tidak mudah menguap berpengaruh terhadap kenaikan titik

Apa yang dimaksud dengan mendidih?

Terjadinya penurunan uap pada pelarut murni, berakibat titik didih larutan menjadi naik. Mengapa demikian?

Beri penjelasan hubungan

Page 33: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Apa yang diketahui

Apa yang perlu diketahui

Isu-isu belajar

didih pelarut murni?

antara penurunan tekanan uap dengan kenaikan titik didih menggunakan diagram fasa P-T

Tunjukkan suatu persamaan yang menghubungkan kenaikan titik didih dengan konsentrasi larutan!

Apakah arti harga Kb! Dapatkah melalui

pengukuran kenaikan titik didih larutan digunakan untuk menentuan Mr suatu zat terlarut? Jelaskan!

Mengapa adanya zat terlarut yang tidak mudah menguap berpengaruh terhadap penurunan titik beku pelarut murni?

Apa yang dimaksud dengan membeku?

Terjadinya penurunan uap pada pelarut murni, berakibat titik beku larutan menjadi turunk. Mengapa demikian?

Beri penjelasan hubungan antara penurunan tekanan uap dengan penurunan titik beku menggunakan diagram fasa P-T

Tunjukkan suatu persamaan yang menghubungkan penurunan titik beku dengan konsentrasi larutan!

Apakah arti harga Kf! Dapatkah melalui

pengukuran penurunan titik beku larutan digunakan untuk menentuan Mr suatu zat terlarut? Jelaskan!

Bagaimana hubungan antara tekanan osmosis dengan

Apa yang dimaksud osmosis?

Apa yang dimaksud tekanan osmosis?

Page 34: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Apa yang diketahui

Apa yang perlu diketahui

Isu-isu belajar

jumlah zat terlarut?

Apa yang dimaksud selaput permeabel?

Tunjukkan hubungan antara tekanan osmosis dengan konsentrasi zat terlarut dalam suatu persamaan!

Apa yang dimaksud isotonik, hipotonik, dan hipertonik

Kenaikan titik didih dan penurunan titk beku larutan elektrolit lebih besar dibanding larutan non-elektrolit walaupun keduanya memiliki molalitas yang sama?

Apa yang dimaksud larutan elektrolit dan larutan non elektrolit?

Bagaimana kaitan kedua jenis larutan tersebut dengan pengertian sifat koligatif?

Tunjukkan suatu persamaan yang menghubugkan keempat sifat koligatif dengan konsentrasi larutan elektrolit!

c. Melakukan penelitian

(1) Siswa melakukan penelitian untuk memahami atau menjawab isu-isu belajar di atas. Siswa dapat melakukan penelitian dengan mempelajari buku-buku yang berhubungan, mengakses internet, mewawancarai ahli atau praktisi, kunjungan lapangan, dan/atau melakukan praktikum.

(2) Siswa menuliskan rumusan masalah (3) Siswa membuat hipotesis (4) Melaporkan hasil penelitian

Setiap kelompok melaporkan hasil diskusi kelompoknya dalam diskusi kelas. Guru bertindak sebagai pemandu dalam diskusi kelas ini. Guru kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa (kelompok) untuk memperdalam pemahaman materi kimia.

(5) Siswa mempresentasikan hasil pemecahan masalah (6) Review

Page 35: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Siswa membuat rangkuman hasil diskusi kelas dan mengumpulkannya.

d. Siswa memamerkan produk terkait CEP e. Guru melaksanakan posttest. f. Guru mengedarkan angket kepada siswa untuk mengetahui

tanggapannya terhadap pembelajaran yang diikuti.

Page 36: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

CONTOH LEMBAR KERJA SISWA Materi pokok : Sifat Koligatif Kelas : XII Semester : 1

Lembar kerja siswa ini menggunakan masalah kurang

terstruktur (ill-structured) untuk memulai pembelajaran. Dari masalah kurang terstruktur yang diajukan dalam lembar kerja ini, siswa mengidentifikasi dan mempelajari konsep-konsep kimia yang berhubungan. Siswa, selanjutnya, mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah kurang terstruktur tersebut. a. Pelajari masalah berikut!

Masalah Tekanan uap pelarut murni seperti air, lebih besar daripada

tekanan uap larutannya misalnya larutan gula. Bagaimana hal ini dapat dibuktikan! Selanjutnya bagaimana pengaruh jumlah

gula yang ditambahkan terhadap penurunan tekanan uap airnya?

b. Berdasarkan masalah di atas, dengan bimbingan guru isilah

tabel KNL (what we KNOW, what we NEED to Know, Learning issues) berikut.

Apa yang diketahui

Apa yang perlu diketahui

Isu-isu belajar

c. Lakukan penelitian untuk memahami atau menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas pada kolom isu-isu belajar. Penelitian dapat dilakukan dengan mempelajari buku-buku yang berhubungan, mengakses internet, mewawancarai ahli atau praktisi, kunjungan lapangan, dan/atau melakukan praktikum. (1) Rumusan Msalah: (2) Hipotesis (3) Rancangan pemecahan masalah

Page 37: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

d. Hasil-hasil yang diperoleh: e. Diskusikan hasil-hasil penelitian yang diperoleh (termasuk

hasil praktikum) dalam kelompok, kemudian merumuskan hasil-hasilnya.

Rumusan hasil diskusi kelompok:

f. Laporkan hasil diskusi kelompok Anda dalam diskusi kelas. g. Buat rangkuman hasil diskusi kelas dan kumpulkan

Page 38: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 39: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK INSTRUMEN A. Praktikum

Berbagai hasil penelitian, menunjukkan adanya kelemahan dan kekurangan dalam pendidikan khususnya pendidikan kimia dilihat dari kompetensi lulusan yang dihasilkan. Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut implementasi sumber daya yang ada pada Program Studi untuk membentuk kompetensi calon guru agar lulusan memiliki keyakinan diri dan kemantapan dalam mendidik, mengajar, membina, dan melatih peserta didiknya di kemudian hari. Agar arah pendidikan di Program Studi Pendidikan Kimia sesuai visi, misi, tujuan, dan fungsi kelembagaan, perlu adanya perbaikan dalam perkuliahan khususnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pembelajaran-nya.

Sejalan dengan kurikulum berbasis kompetensi, SKGP mengisyaratkan agar lulusan LPTK memiliki kompetensi yang berkelayakan dalam melakukan pendidikan, pembelajaran, pembinaan, dan pelatihan kepada peserta didiknya di sekolah. Salah satu ciri guru profesional adalah dapat melaksanakan pembelajaran dan penilaian yang mendidik. Kemudian, salah satu butir kompetensi dalam SKGP tersebut adalah mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan laboratorium dalam pembelajaran. Kegiatan laboratorium pada pembelajaran Kimia di SMA sudah dicanangkan sejak kurikulum 1975, namun demikian dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep, dan kurang menekankan pada penguasaan dasar (Noer, 2004). Oleh sebab itu upaya untuk mengembangkan kompetensi lulusan, perbaikan/pengembangan proses pembelajaran dalam kegiatan laboratorium perlu diefektifkan, agar mahasiswa calon guru dapat mengimplemen-tasikan cara membelajarkan kimia dengan metode praktikum kepada siswanya.

BAB

3

Page 40: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Praktikum merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran sains yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik melakukan pengujian atau observasi objek nyata berkaitan dengan konsep atau teori. Praktikum juga diartikan sebagai kerja laboratorium atau kerja praktik yang dilakukan di laboratorium berkaitan dengan bidang ilmu. Adapun praktik dapat didefinisikan sebagai cara melakukan sesuatu atau cara melakukan apa yang tersebut dalam teori (Rustaman, et al., 2003).

Menurut Amien (1987), apabila dilaksanakan dengan cara yang benar, praktikum merupakan salah satu kegiatan laboratorium yang sangat berperan dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar IPA termasuk kimia. Dengan kegiatan praktikum, maka peserta didik: 1) akan dapat mempelajari IPA melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala maupun proses-proses IPA, 2) dapat melatih ketrampilan berpikir ilmiah, dapat menemukan dan mengembangkan sikap ilmiah, 3) serta dapat menemukan dan memecahkan berbagai masalah baru melalui metode ilmiah. Lebih lanjut Amien mengatakan bahwa mengingat pentingnya peranan praktikum dalam proses belajar mengajar IPA dinamakan dosen atau asisten harus dapat merencanakan dan mengelola kegiatan ini dengan baik. Tanpa adanya perencanaan dan pengelolaan kegiatan yang baik dan tepat, maka segala aktifitas yang ada tidak akan berfungsi untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan IPA yang diharapkan.

National Science Teacher Association (1998), menegaskan bahwa calon guru sains termasuk kimia seharusnya dipersiapkan melalui keterlibatannya di dalam laboratorium, terlibat inkuiri, merumuskan pertanyaan penelitian, mengembangkan prosedur, mengimplementasikan prosedur, megumpulkan dan menganalisis data, dan melaporkan hasilnya. Guru yang tidak pernah melakukan penyelidikan tidak akan menyukai desain investigasi dalam pembelajaran terhadap siswanya.

Dalam pandangan konstruktivis kegiatan laboratorium/ praktikum yang menarik akan memberi kesempatan mahasiswa untuk memahami sains (Learning Science) dan pada saat yang sama mahasiswa terlibat dalam proses mengkonstruksi pengetahuan melalui perbuatan yang dilakukan (Doing Science) (Arifin, 2005). Lebih lanjut Arifin, mengatakan bahwa dengan melibatkan aktifitas fisik dan mental dalam usaha mengkonstruksi pengetahuan yang baru melalui data primer

Page 41: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

yang diperolehnya dengan menggunakan semua panca inderanya, kegiatan praktikum kimia akan memberi kesempatan anak didik untuk mengembangkan konsep kimia, cara berpikir, sikap dan ketrampilan manipulasi alat termasuk ketrampilan komunikasi. Kegiatan praktikum memberi kesempatan yang lebih luas untuk pengembangan kompetensi, dan hal ini sangat tergantung pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Bentuk praktikum terdiri atas praktikum yang bersifat latihan, praktikum yang bersifat memberi pengalaman, dan praktikum yang bersifat investigasi atau penyelidikan. Praktikum bentuk latihan bertujuan untuk mengembangkan keterampilan dasar, seperti menggunakan alat, mengukur, mengamati (observasi). Praktikum bentuk pengalaman bertujuan untuk meningkatkan pemahaman materi. Pelaksanaan praktikum bentuk pengalaman dapat berupa model induksi atau verifikasi. Praktikum yang bertujuan ingin membangun prinsip, generalisasi, atau teori dari hubungan fakta-fakta termasuk model induksi menurut Francis Bacon. Sebaliknya, menurut Popper praktikum yang bertujuan untuk membuktikan kebenaran prinsip atau teori melalui fakta-fakta termasuk model verifikasi. Selanjutnya, praktikum bentuk investigasi bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Pada praktikum ini siswa dituntut dapat bertindak sebagai seorang scientist (Woolnough dalam Rustaman, 2003).

Bentuk praktikum berkaitan dengan buku panduan praktikum. Untuk praktikum calon guru diperlukan buku panduan baik yang sifat praktikumnya latihan, verifikasi, maupun eksperimen. Kegiatan praktikum pada buku praktikum yang ada, umumnya bersifat latihan dan verifikasi, jarang yang bersifat eksperimen. Buku panduan demikian umumnya tidak memberi kesempatan untuk berpikir bebas, para calon guru hanya dituntut untuk tertib mengikuti langkah-langkah yang ada, dan biasanya tidak dilatih merumuskan masalah, merumuskan tujuan, membuat hipotesis, merencanakan percobaan untuk memecahkan masalah, mengritik data yang diperoleh, dan menarik kesimpulan yang benar (Haryani, 2008 dan 2009).

Berdasarkan implementasi dalam pembelajarannya, yakni berkaitan dengan keterlibatan mahasiswa dalam menentukan tujuan, alat dan bahan, metode atau prosedur, dan hasil praktikum, model panduan praktikum dapat dikelompokkan atas panduan praktikum model resep, model pemecahan masalah, dan model penelitian (Rustaman, 2003).

Page 42: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

B. Ruang Lingkup Praktikum Kimia Analitik Kimia Analitik adalah ilmu yang berhubungan dengan cara

menganalisis sampel secara kualitatif maupun kuantitatif. Cara-cara analisis kualitatif dan kuantitatif dapat dilakukan dengan metode konvensional dan instrumental. Analisis kualitatif dimaksudkan untuk mengidentifikasi komponen-komponen baik unsur-unsur maupun gugus-gugus yang terkandung dalam suatu zat. Umumnya dari analisis kualitatif hanya dapat diperoleh indikasi kasar dari komponen penyusun analit, serta biasanya digunakan sebagai langkah awal untuk analisis kuantitatif. Tujuan utama analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui kuantitas dari setiap komponen yang menyusun analit. Analisis kuantitatif menghasilkan data numerik yang memiliki satuan tertentu. Data hasil analisis kuantitatif umumnya dinyatakan dalam satuan volume, satuan berat maupun satuan konsentrasi dengan menggunakan metode analsis tertentu.

Secara konvensional analisis secara kualitatif pada umumnya dilakukan dengan cara basah; zat yang dianalisis berada dalam fasa cair, sehingga apabila zat dimaksud berada dalam fasa gas atau fasa padat perlu dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut-pelarut dalam urutan : air (H2O) ; asam klorida (HCl); asam nitrat (HNO3) atau air raja (campuran (HCl dan HNO3). Dari perkembangannya, analisis kualitatif menggunakan skema pemisahan dengan hidrogen sulfida sudah sangat jarang digunakan lagi. Namun hal itu sangat membantu untuk mempelajari dan mengorganisasi beberapa reaksi kimia yang dapat pula digunakan bagi cara analisis serta pemisahan modern. Metode analisis kuantitatif umumnya melibatkan proses kimia daan proses fisika. Analisis kuantitatif yang melibatkan proses kimia seperti gravimetri dan volumetri, termasuk metode konvensional, sedangkan analisis kuantitatif yang melibatkan proses fisika umumnya menggunakan prinsip interaksi materi dengan energi pada proses pengukurannya dikenal sebagai analisis instrumen. Peralatan yang digunakan dalam metode instrumental, antara lain: elektroanaliser, konduktometer, potensiometer dan spektrofotometer baik UV-Vis (ultra violet dan sinar tampak) maupun AAS (atomic absorpsion spectrometer), GC (kromatografi gas) dan HPLC atau kromatografi cair kinerja tinggi = KCKT.

Berdasarkan sifat analisis terhadap komponen analitnya, jenis analisis dapat di golongkan menjadi; (a) analisis proksimat, (b) analisis parsial, (c) analisis komponen renik dan, (d) analisis

Page 43: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

lengkap. Disebut analisis perkiraan bila keberadaan komponen dalam sampel belum dapat dinyatakan dengan pasti, hanya perkiraannya saja diketahui, analisis perkiraan disebut sebagai analisis semikualitatif dan semi kuantitatif. Pada analisis parsial hanya sebagian komponen sampel yang dianalisis, sebagian lainnya tidak. Pada analisis mikro, hanya komponen mikro (renik) yang ditetapkan keberadaannya secara kualitatif maupun kuantitatif. Disebut analisis lengkap apabila keseluruhan komponen penyusunan sampel dianalisis, sehingga diperoleh komposisi sesungguhnya dari komponen penyusun sampel. Analisis lengkap mengandung informasi lengkap yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Selanjutnya, berdasarkan kuantitas analit yang ditetapkan, analisis dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu analisis makro, analisis semi mikro, dan analisis mikro. Analisis makro bila kadarnya besar, misalnya dalam dalam orde gram atau prosen, sedangkan analisis mikro bila kadar analitnya sangat kecil, seperti orde mg, µg atau ppm (Christian, O’Reily , 1986; Skoog dan West, 1985).

Adakalanya di dalam suatu analisis, tahap pengukuran baik untuk tujuan kualitatif maupn kuantitatif data diakukan langsung terhadap sampel. Namun, lebih sering terjadi adalah diperlukannya tahap pemisahan analit dari zat-zat pengganggu agar proses pengukuran itu terjadi dalam medium bebas dari gangguan. Bila hal ini terjadi, maka tahap pemisahan seringkali menjadi tahap yang paling sulit dalam serangkian proses analisis.untuk mengetahui kedudukan taha pemisahan dalam serangkaian proses analisis, berikut diberikan secara garis besar tahap-tahap urutan di dalam analisis kuantitatif. Tahap-tahap tersebut adalah: (a) pengambilan dan penyiapan sampel; (b) pengukuran sampel; (c) pelarut sampel; (d) perlakuan sampel awal (seperti pengukuran pH); (c) pemisahan komponen yang diinginkan; (f) pengukuran komponen yang diinginkan; (g) penganalisisan data dan pelaporan. Dari tahap-tahap tersebut tampak bahwa bila komponen yang diinginkan berada bersama-sama dengan komponen lain (sebagai pengganggu), maka akan menimbulkan masalah yakni hasil akan menjadi bias, dan akan mempengaruhi hasil analisis data guna penarikan kesimpulan. Masalah merupakan problema spesifik yang harus dicari jawabannya. Setiap problema yang akan dipecahkan memiliki variabel-variabel terukur yang dikenal sebagai variabel penelitian (Christian, O’Reily , 1986; Skoog dan West, 1985).

Page 44: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Proses analisis kimia merupakan kerja seorang ilmuan. Bila ilmuan melakukan kerja untuk menghasilkan sesuatu kebenaran ilmiah, maka mereka akan melakukan langkah-langkah sistematis yang dikenal sebagai metode ilmiah. Kebenaran ilmiah yang digali dengan metode ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena memiliki reprodusibilitas yang tinggi, sehingga dapat dibuktikan oleh setiap pemerhati keilmuan. Langkah-langkah pokok dalam metode ilmiah dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: (1) menetapkan masalah, (2) melakukan kajian teoritik dan menarik hipotesa, (3) melakukan eksperimen atau observasi, (4) mengolah data hasil observasi, dan (5) menarik kesimpulan.

Seorang ahli kimia analitik memerlukan pengetahuan yang cukup luas, karena cakupan analisis tidak hanya berupa bahan-bahan anorganik atau organik saja, namun bahan-bahan biokimia harus dihadapi pula. Seorang ahli kimia analitik harus memahami masalah perangkat yang digunakan untuk keperluan analisisnya, termasuk masalah instrumentasi (metode instrumental) dari alat yang digunakan. Di samping itu ahli kimia analitik juga harus menguasai prinsip-prinsip analisis, sehingga mampu mengguna-kan atau memodifikasinya guna keperluan analisis. Boleh disebutkan pula bahwa seorang ahli kimia analitik adalah ahli pula dalam memecahkan masalah, walaupun kimia analitik adalah merupakan suatu alat, namun peranannya tidak dapat diremehkan begitu saja.

Untuk memahami peralatan analisis diperlukan seorang ilmuwan yang memahami prinsip-prinsip dasar teknik analitik. Dengan pemahaman dasar metode analitik, seorang ilmuwan apabila dihadapkan dengan masalah analisis yang sulit dapat menerapkan teknik paling tepat. Dengan pemahaman dasar juga membuat lebih mudah untuk mengidentifikasi ketika suatu masalah tertentu tidak dapat diselesaikan dengan metode tradisional, maka pengetahuan analis tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan pendekatan yang kreatif ataupun metode analitik yang baru. Untuk kepentingan ini kimia analitik memerlukan latar belakang pengetahuan yang luas tentang konsep kimia dan fisika (Larive, 2004). Dengan demikian seorang yang bekerja dalam bidang analisis harus mampu menggunakan metode konvensional dengan metode instrumental. Tabel 3.1 meringkaskan perbedaan antara metode konvensional dan instrumental.

Page 45: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Tabel 3.1 Perbandingan Metode Konvensional dan Instrumental (Buchari, 1990)

Kriteria Konvensional Instrumental

Peralatan Menggunakan peralatan yang relatif murah dan mudah dibuat atau mudah didapat

Menggunakan peralatan yang lebih canggih, serta memerlukan keterampilan khusus untuk menjalankan atau mengelolanya

Dasar penggunaan Reaksi kimia sehingga lebih dapat luas penggunaannya.

Pengukuran sifat fisis dari suatu zat, sehingga penggunaannya terbatas pada sampel yang telah ditentukan saja.

Zat standar/referensi

Penetapan zat standar yang tepat menggunakan metode konvensional

Memerlukan referensi zat-zat yang konstituennya telah dike-tahui. Untuk itu diperlukan metode konvensional bagi penetapan secara tepat dari konstituen dalam zat sebagai referensi itu.

Keperluan analisis kurang memadai bila digunakan untuk keperluan analisis yang rutin dan berjumlah banyak

Umumnya didisain untuk kebutuhan analisis rutin pada lingkupnya selain mikro, makro, bahkan nano

Ukuran sampel Analisis makro dan semi mikro

Analisis jenis semimikro, mikro, dan nano.

Preparasi sampel Sampel mengalami destruksi untuk memperoleh analit yang siap dianalisis, sehingga tidak dapat digunakan lagi.

Beberapa metode instrumental mampu melakukan analisis sampel tanpa melalui prosedur destruksi sehingga sampel dapat digunakan kembali untuk keperluan lainnya.

Jumlah sampel Pada umumnya kurang mampu menganalsis beberapa konstituen dalam sampel secara simultan (serentak)

Cukup banyak metode instru-mental yang mampu menga-nalisis secara simultan beberapa konstituen yang diperlukan dalam sampel.

Page 46: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Kriteria Konvensional Instrumental Gangguan-gangguan analisis

Pada umumnya relatif banyak sehingga seringkali memerlukan tahap pemi-sahan. Hal ini menambah rumitnya prosedur analisis.

Cukup banyak metode instrumental yang tidak me-merlukan pemisahan, karena metode itu menggunakan sifat fisik zat yang sangat spesifik.

Penggunaan waktu

Memerlukan waktu yang lebih lama

Memerlukan waktu yang lebih singkat

Uraian di atas menunjukkan ruang lingkup kimia analitik

yaitu mencakup metode analitik konvensional dan instrumental. Seorang calon guru juga calon ilmuwan, meskipun dalam kaitannya dalam kimia analitik tidak secara langsung dididik untuk jadi ahli analitik. Namun demikian, ilmunya akan dapat dimanfaatkan untuk mendidik calon ilmuwan termasuk ahli analitik. Ahli kimia analitik adalah ahli pula dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, melalui perkuliahan kimia analitik diharapkan memiliki kemampuan untuk terbiasa memecahkan masalah. Sementara itu dari uraian sebelumnya, kemampuan memecahkan masalah dapat dikembangkan melalui kegiatan praktikum yang bersifat investigasi. C. Praktikum Kimia Analitik Instrumen bagi Calon Guru

Dalam dokumen SKGP (Depdiknas, 2004) salah satu butir kompetensi dalam penguasaan bidang studi kimia yang harus dimiliki calon guru adalah mengembangkan konsep kimia dengan memanfaatkan teknologi dan seni. Salah satu indikator dalam butir kompetensi tersebut adalah menggunakan sarana instrumen kimia dalam pengembangan konsep kimia. Salah satu substansi kajian yang sesuai untuk indikator dalam butir kompetensi tersebut adalah disediakan praktikum kimia analitik. Praktikum kimia analitik instrumen merupakan bagian dari praktikum kimia analitik yang diberikan di semester VI, dengan kode 431321/1 SKS. Standar kompetensi dari mata kuliah praktikum kimia analitik instrumen adalah penguasaan teknik instrumentasi kimia untuk analisis maupun pemisahan bahan kimia. Kompetensi dasar yang diharapkan diperoleh dari mata kuliah praktikum adalah memahami prinsip dasar dan teknik pengukuran dengan pH meter, konduktometer, spektrometer UV-Vis, spektrometer serapan atom, dan prinsip-prinsip

Page 47: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

pemisahan secara ekstraksi dan kromatografi serta aplikasinya untuk proses pemisahan dan analisisi bahan kimia.

Mata kuliah kimia analitik instrumen dengan jumlah sks 3, membahas tentang berbagai metode pengukuran dari segi analisis kualitatif yaitu metode elektrometri, spektrometri, dan kromatografi. Untuk metode elektrometri dibagi atas potensiometri, konduktometri, koulometri, dan polarografi. Pada bagian kromatografi di dalamnya dibahas mengenai hukum distribusi dan pemisahan kimia, proses Craig dan profil pemisahan, variabel termodinamika pada pemisahan, optimasi kinerja kolom kromatografi, serta pemisahan dengan kromatografi modern yaitu gas (GC) dan kromatografi cair (HPLC). Pada analisis spektrometri dibahas mengenai sifat radiasi elektromagnetik, hubungan kuantitatif radiasi dengan materi, penggolongan spektrometri, intrumentasi, spektrometri molekul, dan spektrometri serapan atom.

Sebagaimana karakteristik Praktikum Kimia Analitik, Praktikum Kimia Analitik Instrumen diharapkan juga dapat menyelesaikan masalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Dengan demikian tidak sekedar menentukan secara kualitatitif dan utamanya kuantitatif, namun dituntut juga untuk bisa menyelesaikan masalah. Di samping itu mata kuliah praktikum kimia analitik instrumen merupakan mata kuliah yang bersifat proses, dan memiliki variabel yang beragam.

Materi praktikum kimia analitik instrumen yang selama ini dilakukan meliputi substansi kajian: (1) penentuan tetapan keasaman secara potensiometri, (2) penentuan tetapan hidrolisis (Kh) garam (Pb(NO3)2) dan Tetapan Hasil kali kelarutan (Ksp) garam PbSO4 dan PbI2 secara potensiometri, (3) penentuan titik ekivalen dengan titrasi konduktometri, (4) Penentuan banyaknya mol ligan CNS- dalam kompleks Fe(CNS)63- secara spektrofotometri, (5) penentuan permanganat dan kromat dalam campuran secara spektrofotometri, dan (6) penentuan kadar besi dalam perairan dengan AAS. Dalam GBPP mata kuliah praktikum tercantum prinsip-prinsip pemisahan secara ekstraksi dan kromatografi serta aplikasinya untuk proses pemisahan dan analisisi bahan kimia. Namun demikian, untuk kromatografi belum bisa dilakukan menggunakan peralatan terutama HPLC, dan yang telah dilakukan menggunakan kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis meskipun sudah dimiliki GC namun sementara ini untukpenelitian.

Page 48: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

D. Temuan Permasalahan Praktikum Kimia Analitik Instrumen

Praktikum Analitik Instrumen yang berjalan sampai dengan

saat ini masih cenderung bersifat verifikatif, yang nampak dari model petunjuk praktikum resep yang kurang memberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa tidak terbiasa untuk mencoba memahami apa yang terjadi secara makroskopis dalam praktikum yang mereka lakukan. Bentuk penilaian masih didominasi kemampuan kognitif, belum dikembangkan penilaian yang mencakup aspek afektif, dan psikomotorik. Penilaian praktikum pada umumnya termasuk praktikum kimia analitik dinilai dengan pendekatan testing, bukan asesmen. Penilaian yang dilakukan kurang berpihak terhadap perbaikan kinerja calon guru. Sebagian besar praktikum dinilai dengan tes selected response, padahal sebagaimana dikemukakan beberapa sumber (Marzano et al., 1994; National Research Council, 1996 & 2000; Joyce et al., 2001) praktikum merupakan sarana penting kegiatan inquiri.

Studi pendahuluan dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang pola pelaksanaan Praktikum Kimia Analitik Instrumen dan pengukurannya yang selama ini berlangsung. Pelaksanaan praktikum kimia umumnya termasuk Kimia Analitik Instrumen di jurusan Pendidikan Kimia di suatu Universitas Negeri di Semarang diawali dengan pengumpulan laporan dan mengecek kehadiran mahasiswa, tes awal, dilanjutkan praktikum sesuai buku panduan praktikum (bersifat verifikatif), dan diakhiri dengan pelaporan data pengamatan. Tes awal dimaksudkan untuk mengetahui kesiapan mahasiswa melakukan praktikum, termasuk di dalamnya penguasaan konsep, dan pengetahuan tentang prosedur kerja. Tes awal ini sering dilakukan secara tertulis karena sebagian besar waktu dosen digunakan untuk mengoreksi laporan praktikum yang harus segera dikembalikan, sedangkan tes akhir dilakukan secara tertulis pada pertemuan terakhir sesudah semua praktikum selesai.

Penilaian terhadap laporan praktikum belum menggunakan kriteria yang diketahui mahasiswa, sehingga kurang memberi feedback berkesinambungan. Tabel 3.2 menunjukkan rangkuman pelaksanaan praktikum yang selama ini dilakukan, di mana ditemukan kelemahan eksplanasi mahasiswa selama mengikuti praktikum Kimia Analisis Instrumen.

Page 49: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Tabel 3.2 Tahap Pelaksanaan Praktikum yang Sudah Baku

No Langkah

pembelajaran Deskripsi

1 Kontrak perkuliahan Pembentukan kelompok (Grup A: kelompok 1-6, dan grub B kelompok 7-12)

2 Latihan menggunakan instrumen

Latihan menggunakan instrumen seperti: spectronic 20, UV-Vis, AAS, konduktometer, dan kalibrasi pH meter

3 Pretes (tertulis atau lisan)

Pretes dilakukan sebanyak 3 kali untuk 6 judul/materi praktikum. Tiap kelompok 2 judul praktikum.

4 Pelaksanaan praktikum ke-1 dan 2

Materi yang dipraktikum tiap kelompok sesuai pretes. Setiap kali praktikum ada 6 judul untuk 6 kelompok. Setiap minggu judul materi praktikum diputar.

5 Postes Dalam bentuk tertulis untuk semua materi

Untuk mengetahui hasil belajar dengan pola pelaksanaan

sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.1 dilakukan tes awal guna mengetahui kesiapan mahasiswa dalam melakukan praktikum, dan catatan lapangan untuk menilai eksplanasi mahasiswa. Soal-soal yang diberikan dalam tes awal meliputi prinsip dasar metode, manfaat komponen peralatan/instrumen, dan maksud langkah dalam prosedur. Sementara itu selagi mahasiswa melaksanakan praktikum dan melaporkan data pengamatan, ditanyakan secara lisan konsep dasar praktikum, gejala yang diamati, dan data pengamatan yang dihasilkan. Selanjutnya dalam hal penulisan laporan tampak adanya kelemahan dalam menghubungkan antara data pengamatan, pembahasan, dan kesimpulan. Tabel 3.3 menunjukkan rangkuman kelemahan eksplanasi mahasiswa. Tabel 3.3 Rangkuman Kelemahan Eksplanasi Mahasiswa dalam

Praktikum Kimia Analisis Instrumen

No Substansi kajian Hal-hal yang tidak dapat dijelaskan 1 Penentuan disosiasi

asam lemah secara potensio metri

- Penentuan titik ekivalen - pH pada setengah titik ekivalen - Pembuatan kurva titrasi - Harga pH pada TAT - Hubungan pKa dengan metode

Page 50: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

No Substansi kajian Hal-hal yang tidak dapat dijelaskan penentu-an dan harga Ka dari literatur

2 Penentuan tetapan hidrolisis (Kh) garam, dan Tetapan Hasil Kali Kelarutan (Ksp)

- Tujuan pengukuran pH larutan Pb(NO3)2 pada berbagai konsentrasi

- Daerah pH larutan Pb(NO3)2 hasil pengamatan

- Hubungan antara hasil pengukuran pH larutan jenuh PbSO4 dan PbI2 dengan harga Kh dan Ksp.

3 Titrasi Konduktometri - Penentuan titik ekivalen - Hubungan antara konsentrasi,

jenis zat, dan daya hantar larutan.

4 Menentukan banyaknya mol ligan CNS- dalam kompleks Fe(CNS)6

3+ secara spektrofotometri

- Menghitung fraksi mol Fe3+ - Data pengamatan absorbansi. - Hubungan antara fraksi mol

dengan absorbansi 5 Menentukan

permanganat dan kromat dalam campuran secara spektrofotometri

- Maksud pengukuran kromat dan permanganat pada λ tertentu

- Data pengamatan absorbansi permanganat, kromat, dan campuran

6 Menentukan kadar besi

dalam perairan dengan AA

- Manfaat penambahan HNO3 - Data absorbansi larutan standar - Hubungan antara data

absorbansi sampel dan kurva kalibrasi

- Membedakan antara metode kurva kalibrasi dan metode standar adisi.

Hasil belajar praktikum dengan pola pelaksanaan yang

selama ini dilaksanakan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3..3 ternyata baru meningkatkan pengembangan keterampilan dasar melaksanakan eksperimen, sedangkan untuk peningkatan penguasaan konsep sebagaimana diharapkan dalam kurikulum mata kuliah praktikum kimia analitik belum dapat dicapai (Haryani, 2008). Di samping itu pada umumnya mahasiswa kurang mampu mengeksplorasi apa yang dilakukan, serta kurang mampu menjelaskan gejala yang diamati atau kemampuan

Page 51: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

mengobservasinya kurang. Tabel 3.4 menunjukkan rangkuman kelemahan eksplanasi mahasiswa secara kuantitatif yang menunjukkan capaian hasil dengan pola pelaksanaan praktikum yang selama ini dilakukan.

Tabel 3.4 Rerata Nilai Eksplanasi Praktikum

No Substansi kajian Rerata nilai aspek

Eksplorasi prosedur

Kemampuan mengobservasi

Penguasaan Konsep

1

Potensiometri a. Penentuan tetapan

kea-saman secara potensiometri

b. Penentuan Kh dan Ksp

56

58

62

58

60

58

2

Spektrofotometri Vis a. Menentukan

banyak-nya mol ligan CNS- dalam kompleks Fe(CNS)6

3- secara spektrofotometri

b. Menentukan perma- nganat dan kromat dalam campuran seca-ra spektro-fotometri

65

60

60

60

60

58

3

Spektrometri Serapan Atom Menentukan kadar besi dalam perairan dengan AAS

60 65 58

4

Konduktometri Penentuan titik ekivalen secara titrasi konduktometri

65

65

60

5 Rerata Total 61 62 59

Page 52: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Keterangan: 1. potensiometri, 2. spektrometri UV-Vis,

3. AAS, 4. konduktometri

Gambar 3.1 Rerata Nilai Keterampilan Dasar Praktikum dan

Penguasaan Konsep Praktikum Kimia Analitik Instrumen.

Rerata eksplanasi mahasiswa (Gambar 3.1) sebagai hasil

belajar praktikum Kimia Analitik Instrumen terendah pada analisis dengan metode potensiometri, tertinggi dengan metode konduktometri. Rerata nilai penguasaan konsep (konsep dasar) juga rendah, bahkan terendah dibanding esksplanasi dan kemampuan mengobservasi, meskipun matakuliah praktikum ini dilakukan sesudah mata kuliah Kimia Analisis Instrumen dalam bentuk teori di kelas. Keterampilan menggunakan alat seperti pH meter, konduktometer, dan spectronic 20 pada umumnya bisa dikuasai mahasiswa, sedangkan untuk pemakaian AAS didampingi pemandu/teknisi.

Secara keseluruhan pencapaian hasil belajar praktikum selain keterampilan menggunakan instrumen, relatif masih rendah. Oleh sebab itu perlu dirancang suatu praktikum yang di samping meningkatkan keterampilan dasar menggunakan instrumen, juga yang mampu meningkatkan penguasaan konsep serta meminimalkan kelemahan-kelemahan yang selama ini berlangsung.

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengubah pola penggunaan panduan praktikum yang bersifat

52

54

56

58

60

62

64

66

1 2 3 4

Eksplorasi prosedur

Kemampuan

mengobservasi

Rer

ata

Nil

ai

Substansi Kajian

Page 53: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

verivikatif, dengan mengajak mahasiswa untuk bisa memecahkan masalah. Melalui pemecahan masalah diharapkan kemampuan mahasiswa untuk benar-benar mampu menemukan fakta, serta konsep sebagai hasil temuannya sendiri bisa terwujud. Hal ini perlu dilakukan, di samping merujuk berbagai pendapat tentang lemahnya panduan praktikum verifikasi dan perlunya peningkatan pemecahan masalah melalui praktikum, juga sesuai karakteristik praktikum Kimia Analitik Instrumen sebagai ilmu untuk menyelesaikan masalah.

Bransfort, et al., dan Wolfock (dalam Tan, 2003) menyatakan bahwa selama pemecahan masalah, peluang mahasiswa untuk mengidentifikasi masalah, mengelaborasi informasi dari berbagai sumber, serta memilih dan mengevaluasi prosedur akan dapat dikembangkan. Peluang-peluang tersebut merupakan bagian dari indikator metakognisi. Lebih lanjut, Kuhn dan Dean (2004) menyatakan bahwa metakognisi mahasiswa penting untuk dikembangkan, karena mahasiswa akan mampu mengontrol proses pemecahan masalah sendiri selagi dihadapkan suatu tugas pembelajaran tertentu. Dengan demikian, jika metakognisi mahasiswa berkembang melalui pembelajaran praktikum yang memberi kesempatan mahasiswa untuk memecahkan masalah, maka diharapkan kelemahan mengeksplanasi langkah-langkah dalam prosedur, maupun dalam menjelaskan apa yang dilakukan serta gejala yang teramati dapat diminimalkan. Mahasiswa akan tumbuh kesadarannya untuk mengidentifikasi dan mengelaborasi informasi, serta mengevaluasi prosedur. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu pembelajaran yang memberi kesempatan mahasiswa untuk memecahkan masalah. Tabel 3.5 Rangkuman Identifikasi Masalah-Masalah yang

Berkaitan dengan Pelaksanaan Praktikum Kimia Analisis Instrumen dan Usaha Perbaikan.

No Masalah yang teridentifikasi

Usaha perbaikan

1 - Pemilihan penggunaan alat ukur gelas kurang tepat

- Diberikan informasi dan contoh bebrapa alat ukur gelas pada saat latihan menggunakan instrumen.

Page 54: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

No Masalah yang teridentifikasi

Usaha perbaikan

2 - Keterampilan menggunakan alat-alat ukur dari gelas sudah baik

- Meskipun mahasiswa tidak memperoleh mata kuliah teknik laboratorium namun telah memperoleh keterampilan cara menggunakan peralatan pada saat praktikum Kimia Dasar I-II, DKA, dan DPA.

3 - Penentuan masalah ada yang berasal dari Dosen, adapula yang berasal dari mahasiswa.

- Kelompok yang merancang per-cobaan sendiri pada umumnya mengambil dari makalah hasil seminar (prosiding).

- Ketersediaan alat dan bahan sering tidak sesuai dengan masalah yang disampaikan mahasiswa

- Dosen menawarkan dan mendiskusikan “masalah” kepada mahasiswa, dengan memperhatikan ketersediaan alat dan bahan.

- Masalah yang harus diselesaikan sebanyak 10 buah untuk 10 kelompok dan diarahkan untuk instrumen AAS, AES, UV-Vis, dan HPLC (virtual)

- Mahasiswa diperbolehkan untuk menggunakan peralatan lain sebagai pembanding.

4 - Perkuliahan praktikum bersamaan dengan perkuliahan Kimia Analitik Instrumen

- Penelitian dilakukan sesuai jadwal perkuliahan, di mana mata kuliah ini diberikan sesudah mata kuliah Kimia Analitik Instrumen

5 - Mahasiswa membutuhkan konsultasi dengan dosen, terutama pada saat pembuatan larutan standar dan pereaksi, data pengukuran, dan perhitungan penentuan kadar.

- Pada setiap tahap pembelajaran berbasis masalah, dijadwalkan waktu untuk berkonsultasi yang sekaligus wawancara tidak terstruktur untuk masing-masing kelompok

- Mahasiswa diberi pertanyaan pengarahan termasuk bagaimana cara membuat larutan dan cara menghitung kadar

6 - Pada saat presentasi hasil, pertanyaan mahasiswa kurang terfokus

- Wawancara tidak terstruktur pada setiap langkah pembelajaran diharapkan akan memunculkan kesadaran mahasiswa untuk mengatur,

Page 55: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

No Masalah yang teridentifikasi

Usaha perbaikan

mengontrol, dan mengevaluasi cara berpikirnya sebelum, selama, dan setelah menyelesaikan masalah sehingga mampu menga-plikasikan pemahamannya serta menganalisisis dan mengevaluasi prosedur

7 - Pada saat presentasi, pada umumnya pertanyaan didominasi beberapa mahasiswa tertentu

- Kesepakatan cara penilaian di awal perkuliahan diharapkan meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam diskusi.

Page 56: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 57: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

METAKOGNISI DAN PENDIDIKAN KARAKTER A. Metakognisi

Istilah metakognisi hampir sering dikaitkan dengan Yohanes Flavell. Tokoh metakognisi ini menyatakan bahwa metakognisi biasanya didefinisikan sebagai pengetahuan dan kognisi tentang obyek-obyek kognitif, yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kognitif. Meskipun demikian, menurutnya, konsep metakognisi dapat diperluas mencakup sesuatu yang bersifat psikologis, seperti jika seseorang memiliki pengetahuan atau kognisi tentang emosi, motif diri sendiri, atau orang lain. Segala bentuk aktivitas pantau-diri (self-monitoring) dapat dianggap sebagai bentuk metakognisi (Flavell dalam Weinert & Kluwe, 1987). Sementara itu Robert dan Erdos (dalam McGregor, 2007) menggambarkan bahwa metakognisi mengacu pada pengetahuan tentang kognisi itu sendiri, cognitizing tentang kognisi. Metakognitif merupakan kata sifat dari metakognisi, metakognisi berasal dari metacognition yang mengandung prefik meta dan kata kognisi. Meta berasal dari bahasa Yunani yang berarti setelah, melebihi, atau di atas, sedangkan kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui serta dipikirkan oleh seseorang atau yang mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berpikir (Costa, 1985)

Metakognisi secara sederhana sering digambarkan sebagai berpikir tentang berpikir. Kenyataannya gambaran tersebut tidak sesederhana seperti itu, karena terdapat beberapa perbedaan istilah atau konsep metakognisi yang sering ditemukan dalam literatur dengan label dan definisi atau batasan yang berbeda-beda seperti metamemori, metacomprehension (Matlin, 2003), self-regulation, executive control (Zile-Tamsen dalam Livingston, 1997). Berpikir tentang berpikir menurut Bayer (dalam Tan, 2004), metakognisi menuntun proses berpikirnya sehingga siswa secara sadar akan mengontrolnya, membuat hubungan logis antara apa yang diketahui dan informasi yang baru diterima.

BAB

4

Page 58: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Sementara itu menurut Winn & Snyder (1998) metakognisi adalah sebuah konsep yang penting dalam teori kognisi.

Metakognisi terdiri dari dua proses dasar yang berlangsung secara simultan yakni memonitor kemajuan ketika belajar dan membuat perubahan serta mengadaptasi strategi-strategi anda jika anda memiliki persepsi bahwa anda tidak melakukan sesuatu yang baik. Orang yang baru belajar tidak berhenti mengevaluasi pemahaman mereka terhadap materi. Pada umumnya mereka tidak menilai kualitas pekerjaan mereka atau berhenti untuk membuat revisi selama mereka belajar. Dalam hal membaca pembelajar amatir akan melanjutkan membaca dan berfikir bahwa membaca halaman tersebut sudah cukup. Pembelajar ahi akan membaca ulang halaman tersebut sampai konsep utamanya difahami, atau menandai bagian yang sulit untuk ditanyakan penjelasannya pada instruktur atau teman. Sejalan dengan Winn & Snyder, menurut Jacob (2003) metakognisi merupakan kesadaran berpikir kita sehingga kita dapat melakukan tugas-tugas khusus, dan kemudian menggunakan kesadaran ini untuk mengontrol apa yang kita kerjakan. Selanjutnya McGregor (2003) menggambarkan tentang berpikir metakognitif dengan menggabungkan berbagai pernyataan tentang pengertian metakognisi dari berbagai ahli.

Gambar 4.1 Pengertian Metakognisi dari Berbagai Sumber (McGregor, 2003)

Berpikir Metakognitif

Metakognisi adalah proses mengelola internal yang

digunakan untuk mengemban tanggung jawab dan

mengarahkan pemikiran sebagai ahli pemikir (Swartz, et al 1998)

Metakognisi mengacu pa-da pengetahuan tentang kognisi

itu sendiri, meng-kognisi tentang kognisi (Roberts and

Erdos, 1990

Berpikir Reflektif adalah berpikir dengan menya-dari

asumsi dan implikasi (Lipman, 2003)

Metakognisi mengacu pada aktifitas memonitor, meregulasi serta menyusun proses-proses dalam hubungan dengan objek kognitif atau data yang mereka

hadapi (Flavell 1976)

Aktif, gigih, dan dengan pertimbangan hati-hati

terhadap suatu keyakinan dari pengetahuan yang mendukungnya (Dewey

1910)

Proses metakognitif diasumsikan berlangsung

ketika memikirkan pemi-kiran sendiri, seperti sedang belajar atau ketika telah melakukan

kesalahan (Smith, 1994

Page 59: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Menurut Flavell segala bentuk aktivitas pantau-diri (self-monitoring), pengaturan-diri (self-regulation) dan efikasi-diri (self-efcacy) dapat dianggap sebagai bentuk metakognisi. Konsep metakognisi berhubungan dengan: kesadaran untuk mengarahkan pemikirannya, pengembangan konsepsi tentang berpikir, dan berhubungan dengan teori kognisi. Secara keseluruhan didasarkan pendapat-pendapat yang telah diuraikan, dapat disarikan bahwa proses metakognisi adalah suatu aktivitas mental dalam struktur kognitif yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk mengatur, mengontrol, dan memeriksa proses berpikirnya sendiri.

1. Pentingnya Pengembangan Metakognisi Flavell (Weinert & Kluwe, 1987) menyarankan bahwa sekolah yang baik harus menjadi tempat ideal bagi perkembangan metakognisi, dengan alasan bahwa begitu banyak pembelajaran kesadaran diri akan berlangsung. Di sekolah, anak-anak mempunyai kesempatan berulangkali untuk memonitor dan mengatur kognisi mereka, mereka juga memiliki pengalaman metakognitif yang begitu banyak serta kesempatan yang begitu banyak pula untuk memperoleh pengetahuan metakognitif orang, tugas, dan strategi.

Flavell menyatakan bahwa metakognisi peserta didik bahkan orang pada umumnya perlu dikembangkan dengan alasan sebagai berkut: (1) peserta didik harus memiliki kecenderungan untuk banyak berfikir, dalam arti semakin banyak metakognisi membutuhkan semakin banyak kognisi, (2) pemikiran peserta didik dapat berbuat salah serta cenderung keliru, dan dalam keadaan ini membutuhkan pemonitoran dan pengaturan yang baik, (3) peserta didik harus mau berkomunikasi, menjelaskan, dan memberikan alasan yang jelas untuk pemikirannya kepada peserta didik lain dan juga pada dirinya sendiri; aktifitas ini tentu saja membutuhkan metakognisi, (4) untuk bertahan dan berhasil dengan baik, peserta didik perlu merencanakan masa depan dan secara kritis mengevalusi rencana-rencana yang lain, (5) jika peserta didik harus membuat keputusan yang berat, maka akan membutuhkan ketrampilan metakognitif, dan (6) peserta didik harus mempunyai kebutuhan untuk menyimpulkan dan menjelaskan kejadian–kejadian psikologi pada dirinya dan orang lain. Kecenderungan untuk

Page 60: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

terlibat dalam tindakan metakognitif tersebut menunjukkan kognisi sosial.

Facione et al (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa pengembangan metakognisi ditujukan agar peserta didik dapat menjadi pemikir-pemikir kritis yang selalu berfikir dalam menerapkan suatu motivasi internal untuk menjadi sadar, ingin tahu, teratur, penuh analisis, percaya diri, toleransi, dan bertanggungjawab ketika menyampaikan alternatif, jujur secara intelektual ketika memulai apakah menerima ide-ide orang lain sebagai kebenaran, atau ketika menilai apakah menerima ide-ide orang lain sebagai kebenaran, maupun ketika tertantang oleh keadaan.

Sementara itu menurut Livingston (1997) metakognisi memiliki peranan penting dalam keberhasilan belajar, oleh karena itu penting mempelajari aktivitas dan pengembangannya untuk menentukan bagaimana siswa dapat diajar menerapkan sumber-sumber pengetahuan mereka dengan lebih baik melalui kontrol metakognitifnya. Pengembangan kecakapan metakognitif pada mahasiswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-regulated learner. Self-regulated learner bertanggung jawab terhadap kemajuan belajar diri sendiri dan adaptasi strategi belajar untuk mencapai tuntutan tugas.

Menurut Kipnis dan Hofstein (2007) dalam beberapa tahun metakognisi dianggap sebagai suatu komponen penting dalam pembelajaran sains. Berikut beberapa alasan mengenai pentingnya metakognisi dikembangkan: (1) di bidang pengajaran sains ditemukan bahwa proses-

proses metakognitif memberikan pelajaran yang penuh arti atau belajar dengan pemahaman,

(2) pengembangan metakognisi akan membuat siswa mampu mempelajari ilmu,

(3) pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa mendatang.

(4) membentuk siswa yang mandiri artinya siswa yang menerapkan dan mengembangkan metakognisinya.

Winn dan Snyder (1998), meninjau pentingnya strategi metakognisi. Ketika siswa semakin terlatih menggunakan strategi metakognisi, mereka menjadi percaya diri dan menjadi pembelajar yang mandiri. Kemandirian merujuk pada kepemilikan ketika siswa menyadari bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan intelektual mereka sendiri dan

Page 61: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

menemukan banyak informasi oleh tangan mereka sendiri. Anak yang memiliki strategi metakognitif akan segera sadar bahwa dia tidak mengerti persoalan dan mencoba mencari jalan keluar. Tugas pendidik adalah menanamkan, memanfaatkan, dan meningkatkan metakognisi pada semua siswa.

2. Komponen Metakognisi

Didasarkan hasil risetnya tahun 1979-1981 Flavell mengklasifikasikan metakognisi menjadi pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif atau peraturan metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengendalikan atau mengontrol proses-proses kognitif. Flavell lebih lanjut membagi pengetahuan metakognisi ke dalam tiga kategori: pengetahuan tentang variabel-variabel. orang, variabel-variabel tugas dan variabel-variabel strategi. Pengalaman metakognitif adalah pengalaman-pengalaman sadar yang bersifat kognitif dan afektif. Seseorang mempunyai pengalaman metakognitif jika ia mempunyai perasaan bahwa sesuatu sulit untuk ditanggapi, dipahami, diingat, atau diselesaikan; atau jika ada perasaan bahwa ia belum mencapai tujuan kognitif, atau jika perasaan muncul bahwa suatu materi menjadi Iebih mudah atau lebih sulit dari sebelurnnya.

Marzano et.al., (1988) menggambarkan dua aspek metakognisi, yaitu bahwa metakognisi melibatkan dua hal yakni pengetahuan-pengendalian diri, dan pengetahuan-pengendalian proses. Nickerson et al., (1985) membagi metakognisi dalam tiga aspek yakni pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Sementara itu Brown (Tan, 2004) menekankan strategi metakognitif ke dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Berikut akan diuraikan tentang komponen-komponen metakognisi. a. Pengetahuan Metakognitif

Menurut Flavell (Weinert & Kluwe, 1987), pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengendalikan atau mengontrol proses-proses kognitif. Flavell lebih lanjut membagi pengetahuan metakognitif ke dalam tiga kategori: pengetahuan tentang variabel-variabel orang, variabel-variabel tugas, dan variabel-variabel strategi.

Page 62: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Variabel Orang (person variable). Pengetahuan variabel-variabel orang mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana manusia belajar dan memproses informasi, juga pengetahuan-pengetahuan individu tentang proses-proses belajar seseorang. Sebagai contoh, anda bisa sadar bahwa waktu belajar anda akan lebih produktif jika anda bekerja di perpustakaan yang tenang daripada di rumah di mana ada banyak benturan. Ada tiga subkategori dalam variabel orang, yaitu: dalam-individu, antar-individu. dan universal. Satu contoh dari variabel dalam-individu adalah keyakinan seseorang bahwa ia sangat baik dalam menangani bentuk-bentuk material yang bersifat hitungan, tetapi kurang pada tugas-tugas yang berhubungan dengan hafalan. Variabel ini terkait dengan variasi dalam-individu dalam hal minat, kecenderungan akan sesuatu, bakat,dan kesenangan. Dalam variabel antar-individu, perbandingan adalah antara orang, bukan dalam diri sendiri. Misalnya, pertimbangan bahwa sahabatnya lebih tenggang rasa daripada adiknya, tetapi adiknya lebih cerdas dari daripada teman-temannya.

Variabel Tugas (task variables). Pengetahuan variabel-variabel tugas termasuk pengetahuan tentang asal tugas, juga jenis tuntutan proses yang akan menempatkan individu itu. Ketika seseorang sedang belajar sesuatu, maka bagaimana sifat informasi yang dihadapi dapat mempengaruhi dan memaksa bagaimana ia menanganinya. Sebagai contoh, kamu akan menyadari bahwa lebih banyak waktu bagi anda untuk membaca dan memahami teks pengetahuan daripada anda sekedar membaca. Untuk memahami dan menangani informasi yang sulit harus secara efektif diperlukan langkah yang lambat dan hati-hati dan diproses lebih dalam dan secara kritis-diri, misalnya dengan aktivitas pemantauan pemahaman yang tinggi. Dengan demikian jenis tugas yang berbeda akan memerlukan pemrosesan informasi yang berbeda pula.

Variabel Strategi (Task Strategy). Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi meliputi strategi kognitif, dan metakognitif, dan juga pengetahuan kondisional/bersyarat tentang kapan dan di mana pengetahuan seperti itu cocok digunakan. Untuk mencapai bermacam-macam tujuan banyak dipelajari tentang strategi atau prosedur kognitif. Strategi kognitif dirancang hanya untuk mencapai tujuan kognitif. Strategi kognitif digunakan untuk membantu perorangan mencapai tujuan tertentu (contoh, mengerti suatu teks), di lain

Page 63: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

pihak strategi metakognitif digunakan untuk memastikan bahwa tujuan sudah dicapai. Kita dapat membedakan strategi kognitif dan strategi metakognitif. Contohnya, strategi kognitif untuk mencari hasil penjumlahan bilangan-bilangan dengan cara menambahkannya. Tujuannya adalah untuk mencari hasil penjumlahan, dan untuk itu bilangan-bilangan itu ditambahkan. Dalam situasi yang sama, strategi metakognitif untuk menambahkan bilangan-bilangan itu dan selanjutnya meyakinkan bahwa jawaban itu benar. Dengan menggunakan strategi kognitif, seseorang terlibat aktif dalam perolehan pengetahuan. Pelibatan aktif ini merupakan hal yang esensial selama proses pemahaman teks, pembentukan konsep dan prinsip, penvelesaian masalah, dan pembuatan keputusan. Dengan demikian, seseorang belajar tentang strategi kognitif untuk membuat kemajuan kognitif, dan tentang strategi metakognitif untuk memantau, memonitor kemajuan kognitifnya. Strategi metakognitif, menurut Beyer (dalam Kipnis dan Hofstein, 2007) mempunyai tiga kompenen, yaitu; perencanaan (planning), pemantauan (monitoring), dan penilaian (assessing).

Pengetahuan metakognitif menurut Schraw dan Moshman (1995) terdiri atas tiga jenis yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional. Pengetahuan deklaratif, meliputi pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pelajar dan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penampilan seseorang. Pengetahuan prosedur atau tata cara, menunjuk pada pengetahuan tentang melakukan sesuatu, pengetahuan ini ditampilkan sebagai cara dan strategi (tahu bagaimana melakukan sesuatu). Pengetahuan kondisional, menunjuk pada tahu kapan dan mengapa menggunakan pengetahuan deklaratif dan prosedur (tahu aspek kognitif “mengapa dan kapan”).

Anderson & Krathwohl (2001) membagi pengetahuan metakognisi ke dalam pengetahuan strategi, pengetahuan tugas, dan pengetahuan tentang diri. Pengetahuan tentang strategi adalah pengetahuan tentang strategi secara umum untuk belajar, berpikir, dan memecahkan masalah. Komponen dari pengetahuan tentang strategi meliputi: informasi, ingatan, elaborasi, mengorganisisir data, perencanaan, pemantauan, dan menganalisis tujuan. Pengetahuan tentang tugas merupakan akumulasi pengetahuan tentang tugas-tugas kognisi yang meliputi memahami sumber, tingkat kesulitan, strategi

Page 64: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

pengembangan, pemecahan masalah, memilah tugas. Sedangkan pengetahuan tentang diri adalah pengetahuan terkait kelebihan dan kelemahan dalam hubungannya dengan belajar dan kognisinya. Komponen pengetahuan meliputi: beberapa bidang, kecenderungan menggunakan strategi pada situasi tertentu, percaya kemampuan diri, mengetahui tujuan, ketertarkan suatu tugas, mempertimbangkan manfaat tugas b. Pengalaman Metakognitif

Pengalaman atau peraturan metakognitif melibatkan pemakaian strategi-strategi metakognitif atau peraturan metakognitif (Brown, dalam Livingston 1997). Strategi metakognitif bersifat proses-proses yang berurutan yang digunakan seseorang untuk mengontrol kegiatan-kegiatan kognitif, dan untuk meyakinkan bahwa tujuan kognitif sudah sesuai (contoh, mengerti suatu teks). Proses-proses ini membantu mengatur dan mengawasi pembelajaran yang terdiri atas perencanaan dan pengawasan kegiatan kognitif juga memeriksa tujuan kegiatan tersebut.

Sebagai contoh, setelah membaca suatu alinea di suatu teks seorang pelajar boleh mempertanyakan dirinya tentang konsep-konsep yang dibahas di dalam alinea itu. Tujuan kognitifnya untuk memahami teks. Self-questioning adalah suatu strategi pemantauan pengertian metakognitif yang umum. Jika seseorang menemukan bahwa dirinya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, atau bahwa dia tidak memahami materi yang dibahas, kemudian harus menentukan apa perlu untuk kembali dan membaca ulang alinea dengan tujuan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan. Jika setelah membaca ulang selanjutnya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya, maka dia boleh menentukan bahwa dirinya memahami materi. Dengan demikian, strategi metakognitif tanya jawab diri sendiri atau self-questioning digunakan untuk memastikan bahwa tujuan kognitif sudah ditemukan.

Menurut Flavell (Weinert & Kluwe, 1987) pengalaman metakognitif adalah pengalaman-pengalaman sadar yang bersifat kognitif dan afektif. Sebagai contoh, jika seseorang tiba-tiba mempunyai perasaan cemas karena tidak dapat memahami sesuatu dan ingin serta perlu untuk memahaminya, maka perasaan itu akan menjadi pengalaman metakognitif. Seseorang mempunyai pengalaman metakognitif jika ia mempunyai perasaan bahwa sesuatu sulit untuk ditanggapi, dipahami, diingat, atau diselesaikan; atau jika ada perasaan

Page 65: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

bahwa dirinya belum mencapai tujuan kognitif, serta jika perasaan muncul bahwa suatu materi menjadi Iebih mudah atau lebih sulit dari sebelurnnya. Jadi, pengalaman metakognitif dapat merupakan bentuk pengalaman sadar yang bersifat kognitif atau afektif yang berhubungan dengan tingkah laku kehidupan intelektual. Pengalaman metakognitif memegang peranan penting dalam kehidupan kognitif sehari-hari.

Menurut Scrhaw dan Moshman (1995) peraturan kognisi menunjuk pada serangkaian kegiatan yang membantu siswa mengontrol belajar mereka, yakni perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Perencanaan melibatkan pemilihan strategi-strategi yang sesuai dan alokasi pene-litian yang mempengaruhi pelaksanaan. Monitoring menunjuk pada kesadaran seseorang yang sejalan pada pemahaman dan pelaksanaan tugas. Evaluasi menunjuk pada menghargai hasil-hasil dan efisiensi belaja.r seseorang. c. Keterampilan Metakognitif

Menurut Winn dan Snyder (1998), yang termasuk dalam keterampilan metakognitif adalah: monitoring kemajuan belajar, mengoreksi kesalahan, strategi perencanaan dan selektivitas, menseleksi-mengorganisasi-dan mengintegrasi informasi, menganalisis strategi belajar yang efektif, serta mengubah tingkah laku dan strategi belajar ketika dibutuhkan. Menurut Brown (dalam Weinert & Kluwe, 1987), proses atau keterampilan metakognitif memerlukan operasi proses mental khusus yang dengan proses ini individu-individu memeriksa, merencanakan, mengatur atau mengorganisasi, memantau, memprediksi, dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri. 3. Metakognisi dan Berpikir.

Metakognisi merujuk pada perintah berpikir yang lebih tinggi, meliputi kontrol aktif melalui proses kognitif yang diusahakan dalam pembelajaran. Kegiatan-kegiatan seperti perencanaan bagaimana mendekati suatu tugas pembelajaran yang diberikan, memantau pemahaman, dan menilai kemajuan terhadap penyelesaian tugas adalah metakognif secara alamiah (Livingston, 1997). Presseisen (Costa, 1985) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang mengenai proses dan produk berpikirnya sendiri.

Berpikir pada umumnya dianggap suatu proses kognitif, suatu aksi mental yang dengan proses dan tindakan itu pengetahuan diperoleh. Proses berpikir berhubungan dengan

Page 66: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

bentuk-bentuk tingkah laku yang lain dan memerlukan keterlibatan aktif pada bagian-bagian tertentu dari si pemikir. Dengan demikian, seorang pembelajar harus secara aktif memonitor penggunaan proses berpikir mereka dan mengaturnya sesuai tujuan kognitif mereka.

Presseisen (dalam Costa, 1985) membagi proses berpikir menjadi dua kategori, yaitu proses berpikir dasar (basic thinking processes) dan proses berpikir kompleks (complex thinking proceses). Presseisen juga mengusulkan bahwa keterampilan metakognitif sebagai suatu atribut kunci dari berpikir formal atau pengajaran keterampilan proses tingkat tinggi, dan menekankan bahwa metodologi guru dalam mengajar di kelas harus melibatkan metakognisi secara konstruktif. Peneliti lain menetapkan bahwa keterampilan metakognitif juga merupakan faktor yang cocok dalam pengembangan keterampilan peserta didik. Salah satu karakteristik metakognisi yang paling utama adalah adanya keterlibatan pertumbuhan kesadaran. Seseorang menjadi lebih sadar tentang proses dan prosedur berpikirnya sendiri sebagai pemikir dan pelaku.

Berpikir metakognitif memiliki dua dimensi utama, yaitu berorientasi pada tugas dan terkait dengan monitoring kinerja aktual dari suatu keterampilan. Menurut Presseisen keterkaitan antara kedua dimensi tersebut dibuat dalam bentuk bagan yang disajikan dalam Gambar 2.2. Pemantauan kinerja tugas memerlukan keterlibatan peserta didik untuk mengawasi aktivitasnya sendiri. Peserta didik tidak dapat menjelaskan jika mereka tidak berada pada tempat yang benar; serta jika mereka tidak peduli dan sadar terhadap tugas yang dihadapi dan petunjuk cara mengerjakannya. Mereka perlu disarankan untuk menjaga sekuens yakni membedakan subtujuan dari suatu tugas dan menghubungkannya dengan tujuan yang sesungguhnya.

Sebagai contoh, dalam masalah matematika yang melibatkan cerita, maka siswa harus mengidentifikasi operasi hitung apa yang tepat sebagai subtujuan, sebelum menentukan jawaban akhir sebagai tujuan. Mengalokasikan waktu dalam kerja atau memeriksa secara kualitatif dapat dilakukan, misalnya, dengan mempertanyakan: apakah pekerjaan saya sudah cukup ekstensif? Selanjutnya mendeteksi kesalahan ketika sedang bekerja dapat melibatkan pemeriksaan, membaca kembali pesan-pesan, atau menghitung ulang maupun menterjemahkan kembali materi yang sedang dihadapi. Semua

Page 67: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

aktivitas dalam pemantauan kinerja tugas ini dapat meningkatkan keberhasilan dari kinerja tugas tertentu. menjadi lebih tinggi.

Gambar 4.2 Model Keterampilan Berpikir Metakognitif (Presseisen dalamCosta, 1985)

Dimensi kedua yaitu dalam memilih strategi yang sesuai

untuk bekerja, teori metakognitif menyarankan bahwa urutan belajar yang pertama adalah mengenali masalah sehingga dapat memfokuskan perhatian terhadap apa yang diperlukan dan menentukan informasi apa yang diperlukan untuk menyelesaikan msalah itu. Melalui pertimbangan seperti itu, peserta didik dapat mengenali keterbatasan belajarnya dan penyelesaian yang sedang dicarinya. Akhirnya, pengujian ketepatan suatu strategi memberikan kesempatan untuk menerapkan bermacam-macam kriteria evaluasi dan menentukan apakah pendekatan yang tepat sudah digunakan. Pembelajar mempunyai kesempatan untuk menilai pemilihan awal suatu strategi dan mengembangkan pemahaman kepada pemilihan terbaik yang potensial. Dalam perspektif metakognitif, pemikir menjadi lebih memiliki kemampuan melakukan proses berpikir yang lebih berdaya guna dan lebih mandiri karena

Metakognisi

Monitoring kinerja tugas: Menjaga tugas, sekuen Mendeteksi dan

mengoreksi kesalahan Alokasi waktu kerja

Pemilihan dan pemahaman strategi yang tepat: memfokuskan perhatian

pada apa yang dibutuhkan mengkaitkan apa yang

diketahui pada materi yang dipelajari

menguji ketepatan suatu strategi

Akurasi kinerja lebih besar Kemampuan melakukan

proses berpikir lebih berdaya guna

Page 68: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

keterampilan-keterampilan ini berkembang dan terus diperbaiki ulang

4. Metakognisi dalam Pembelajaran Laboratorium Sains dan

Pengukurannya Dalam beberapa tahun ini metakognisi dianggap sebagai

suatu komponen penting dalam pembelajaran sains. Dalam berbagai penelitian di bidang pengajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognitif memberikan pembelajaran yang penuh makna (Kuhn and Dean, 2004). Salah satu ciri-ciri pembelajaran penuh makna adalah kemampuan siswa untuk mengontrol proses pemecahan masalah dan pelaksanaan tugas pembelajaran lainnya. Selanjutnya Kuhn menyatakan bahwa pengembangan metakognisi akan membuat siswa mampu mempelajari ilmu pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa mendatang, di samping itu juga membentuk siswa menjadi mandiri.

White dan Mitchel (1994) menyatakan bahwa siswa yang mempunyai tingkah laku pembelajaran yang baik adalah yang mengembangkan keterampilan kognitif tertentu. Sebagian dari tingkah laku itu adalah tindakan yang membutuhkan bagian yang menyatu dari kegiatan laboratorium seperti menanyakan pertanyaan, mengecek pekerjaan laboratorium sesuai petunjuk, membetulkan kesalahan, menyesuaikan pendapat, mencari alasan-alasan untuk aspek-aspek dari pekerjaan yang tepat, menyarankan kegiatan baru dan prosedur alternatif dan merencanakan strategi umum sebelum mulai. Wajar untuk beranggapan bahwa selama belajar di laboratorium siswa dapat mengembangkan keterampilan metakognitif mereka. Baind dan White (dalam Kipnis dan Hofstein, 2007) juga menyatakan, jika dilakukan dengan penuh pemikiran, kegiatan laboratorium dapat meningkatkan metakognisi yang diinginkan. Orang akan tahu tentang strategi belajar efektif dan ketentuannya, akan menyadari dan dapat memahami kemajuan tugas pembelajaran yang tepat. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat empat kondisi yang perlu untuk meningkatkan pengembangan pribadi yang berkaitan dengan kebutuhan langsung, yaitu waktu, kesempatan, bimbingan, dan dukungan.

Instrumen untuk pengukuran metakognisi yang selama ini banyak dikembangkan adalah melalui observasi, kuesioner, dan wawancara. Pengukuran metakognisi tersebut pada umumnya

Page 69: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

mengacu pada Flavell dan Schraw. Pengetahuan metakognisi yang diadaptasi dari Flavell dan Schraw diukur melalui kuesioner, sedangkan peraturan atau pengalaman metakognitif diungkap melalui wawancara dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan sesudah presentasi visual hasil penyelesaian masalah. Schraw dan Moshman (1995) telah menyusun indikator metakognisi yang dapat diases melalui wawancara maupun kuesioner. Sementara itu Anderson & Krathwohl (2001), menyatakan bahwa metakognisi dapat diukur melalui tes sebagaimana penguasaan konsep dengan indikator metakognisi.

Pengembangan metakognisi dalam konteks praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah dalam penelitian ini diukur tes uraian bermuatan konsep dengan indikator metakognisi, dan kuesioner. Indikator metakognisi merupakan hasil adaptasi Schraw, Flavell, Brawn, Anderson & Krathwohl, serta McGregor (Tabel 4.1). Indikator hasil adaptasi dari beberapa ahli metakognisi selanjutnya divalidasi beberapa dosen, untuk selanjutnya disusun kuesioner dan tes yang akan diberikan pada mahasiswa sebagai subyek penelitian.

Untuk membangun keterampilan metakognisi dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan berbagai pendekatan/metode yang mencerminkan pencapaian ke 5 level metakognisi (Tabel 2.3). Salah satu pendekatan yang potensial membangun ke 5 level tersebut adalah pembelajaran berbasis masalah. Barrows (1988) menyatakan bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah, pengampu berperan sebagai pelatih metakognisi dengan membantu peserta didik memahami pertanyaan yang diajukan selama mendefinisikan, menentukan informasi, menganalisis dan mensintesis masalah, dan memilih solusi yang potensial.

Pelatih metakognisi harus dapat menjamin bahwa peserta didik dapat menyadari keterampilan kognitifnya dan dapat memilih dengan bijaksana di antara solusi yang ada. Selanjutnya Brown (dalam Weinert & Kluwe, 1987) menekankan bahwa dalam memilih strategi yang sesuai untuk menyelesaikan tugas, teori metakognitif menyarankan bahwa tingkat belajar yang pertama adalah mengenali masalah yang harus diselesaikan, dan menentukan informasi apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah itu dan dimana informasi itu dapat diperoleh.

Page 70: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Tabel 4.1 Indikator Metakognisi (diadaptasi dari Mc Gregor, 2007, Schraw, 1995, dan Anderson & Krathwol, 2001)

No Level metakognisi Sub level metakognisi (sebagai

indikator) 1

Menyadari proses berpikir dan mampu menggambarkannya

Menyatakan tujuan Mengetahui tentang apa dan bagaimana Menyadari bahwa tugas yang diberikan membutuhkan banyak referensi Menyadari kemampuan sendiri dalam mengerjakan tugas Mengidentifikasi informasi Memilih operasi/prosedur yang dipakai Mengurutkan operasi yang digunakan Merancang apa yang akan dipelajari

2

Mengembangkan pengenalan strategi berpikir

Memikirkan tujuan yang telah ditetapkan Mengelaborasi informasi dari berbagai sumber Memutuskan operasi yang paling sesuai Menjelaskan urutan operasi lebih spesifik Mengetahui bahwa strategi elaborasi meningkatkan pemahaman Memikirkan bagaimana orang lain memikirkan tugas

3 Merefleksi prosedur secara evaluatif

Menilai pencapaian tujuan Menyusun dan menginterpretasi data Mengevaluasi prosedur yang digunakan Mengatasi kesalahan/hambatan dalam pemecahan masalah Mengidentifikasi sumber-sumber kesalahan dari percobaan

4 Mentransfer pengalaman pengetahuan dan prosedural pada konteks lain

Menggunakan operasi yang berbeda untuk penyelesaian masalah yang sama Menggunakan operasi/prosedur yang sama untuk masalah lain Mengembangkan prosedur untuk masalah yang sama Mengaplikasikan pemahamannya pada situasi baru

5 Menghubungkan pemahaman konseptual dengan pengalaman

Mengaitkan data pengamatan dengan pembahasan Menganalisis efisiensi dan efektifitas prosedur

Page 71: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

No Level metakognisi Sub level metakognisi (sebagai

indikator) prosedural Menganalisis kompleksnya masalah

Menyeleksi informasi penting yang digunakan dalam memecahkan masalah Memikirkan proses berpikirnya selama pemecahan masalah

B. Pendidikan Karakter

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada rang lain. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber agama, Pancasila, Budaya, dan Tujuan Pendidikan nasional. Dari keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.

Page 72: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Tabel 4.2 Nilai dan Deskripsi Nilai untuk Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

NILAI DESKRIPSI 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, Toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai rang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan rang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada rang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan rang lain.

9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Page 73: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

NILAI DESKRIPSI 12. Menghargai

Prestasi Sikap dan tindakan yang mendrng dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan rang lain.

13. Bersahabat/ Komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan rang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada rang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung-jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dari ke 18 nilai pada Tabel 4.2, melalui pembelajaran

praktikum berbasis masalah menggunakan local material diduga kuat nilai yang dapat dikembangkan adalah: jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu, komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut berkembang melalui langkah-langkah praktikum pembejaran berbasis masalah dengan karakteristiknya antara lain, kontekstual, kontruktivis, kooperatif, dan pameran hasil karya. Di lain pihak, penggunaan local material mendukung nilai peduli lingkungan. Dengan demikian melalui model pembelajaran berbasis masalah di samping mendukung konservasi akademik, lingkungan, juga konservasi sosial.

Berbeda dengan pendidikan moral, pendidikan karakter memiliki esensi lebih tinggi karena bukan sekedar mengajarakan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari itu, menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa

Page 74: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan mampu melakukannya (psikomotor) (Khan, 2010). Untuk lebih mengetahui pengembangan pendidikan karakter dan cara mengasesnya, yang dapat dibangun melalui pembelajaran yang disiapkan dengan baik, berikut diuraikan tentang penilaian afektif dan pengembangan pendidikan karakter.

1) Penilaian Afektif

Asesmen dalam pembelajaran adalah suatu proses atau upaya formal pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penting pembelajaran sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh guru untuk memperbaiki proses dan hasil belajar peserta didik (Herman et al., 1992, dan Popham, 1995). Dalam sistem pendidikan nasional, tujuan pembelajaran mengacu pada taksonomi Bloom yang secara garis besar membaginya ke dalam tiga ranah pembelajaran, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Andersen dan Krathwall (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, di mana sikap dan nilai berkaitan erat dengan karakter. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap suatu mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti semua mata pelajaran disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai semua konsep yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan sebagainya.

Menurut Popham (1995), keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap suatu pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tersebut, sehingga dapat mencapai hasil

Page 75: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil belajar yang optimal, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran.

Instrumen penilaian afektif memiliki bentuk dan format yang bervariasi. Instrumen dapat berbentuk pertanyaan terbuka dan respon terbatas dengan format kuesioner, pertanyaan/pernyataan kinerja dalam format lembar pengamatan, dan pertanyaan/ pernyataan yang menguji keterampilan berkomunikasi dalam format pedoman wawancara. Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap dan nilai (karakter) dapat digali melalui pengamatan. Penelitian ini menggunakan pengamatan karakteristik afektif peserta didik yang dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran dalamhalini praktikumdi laboratorium. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif dalam hal ini karakter peserta didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan pendidik harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari peserta didik yang berkaitan dengan indikator tersebut. Indikator yang diduga muncul pada saat proses pembelajaran berlangsung adalah: disiplin, kerjasama, jujur terhadap data pengamatan, menghargai pendapat orang lain, kerjasama dalam kelompok, etika dalam berkomunikasi lisan, ketertiban dan ketepatan waktu dalam bekerja. Indikator-indikator ini pada penerapannya digabung dan dianalisis dengan jenis indikator pada uraian sebelumnya (b. penilaian afektif).

2) Pengembangan Pendidikan Karakter

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya tentang UU Sisdiknas Sisdiknas no 3 dan tujuan pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Karakter merupakan bentuk kepribadian yang melekat pada diri seseorang. Berbeda dengan pendidikan moral, pendidikan karakter memiliki esensi lebih tinggi karena bukan sekedar mengajarakan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari itu, menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi paham (kognitif) tentang mana

Page 76: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan mampu melakukannya (psikomotor) (Khan, 2010).

Pada prinsipnya, pengembangan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan RPP, serta asesmennya. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai agama, budaya, dan karakter sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.

Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa, sebagaimana dijelaskan dalam buku pedoman implementasi pendidikan budaya dan karakter bangsa (Puskur Balitbang Kemdiknas, 2010) sebagai berikut : (1) Berkelanjutan : mengandung makna bahwa proses

pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan;

(2) Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler;

(3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa;

(4) Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsal;

(5) Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses

Page 77: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru.

Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui program pengembangan diri, pengintegrasian dalam mata pelajaran, pembentukan budaya sekolah, pendidikan karakter, dan melalui muatan lokal. Pengintegrasian nilai-nilai pendidikan karakter dalam perkuliahan dipilih melalui mata kuliah Perencanaan Pengajaran yang dituangkan dalam silabus, satuan acara perkuliahan (SAP), dan asesmennya. Mata kuliah ini dipilih karena terkait langsung dengan penyusunan silabus dan RPP, sebagai kompetensi yang diharapkan dicapai pada akhir perkuliahan Perencanaan Pengajaran. Sementara itu untuk guru kimia dilakukan melalui kegiatan MGMP dalam menyusun Silabus, RPP, dan asesmen berbasis karakter untuk materi kimia tertentu. Dengan demikian calon guru dan guru kimia diharapkan memiliki kompetensi dalam menyiapkan Silabus dan RPP, serta asesmennya yang mengintegrasikan pendidikan karakter (berbasis karakter).

Page 78: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 79: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KAI BERBASIS MASALAH DALAM PENGUASAAN KONSEP, METAKOGNISI, PEMECAHAN MASALAH, DAN MEMBANGUN KARAKTER A. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah

Tahap pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah diadaptasi dari Pasha (2006), Adami (2006), dan Shamford (2003) yang ditunjukkan pada Tabel 5.1, sedangkan tema masalah yang diberikan ditampilkan lampiran 1. Materi yang diberikan meliputi spektrofometri (UV-Vis, AFS, dan AAS), elektrometri, dan HPLC. Pembelajaran praktikum dengan HPLC digunakan simulasi virtual JCE, 2 D, 2 yang dilengkapi contoh pengukuran menggunakan HPLC. Prosedur dapat dirujuk baik dari text book, laporan penelitian, maupun akses internet. Dosen menginformasikan rambu-rambu yang harus ditulis mahasiswa dalam proposal proyek praktikum, laporan hasil proyek praktikum, serta presentasi secara kelompok. Metakognisi diukur melalui tes bentuk uraian, kuesioner, dan wawancara tidak terstuktur pada setiap tahap pembelajaran.

Pada pengembangan dan penerapannya maka karakteristik pembelajaran praktikum kimia analitik berbasis masalah secara umum meliputi tahap pembelajaran, pelaksanaan praktikum, dan pengukuran sebagai berikut. 1) Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah open-

ended yang memuat konten dari materi spektrometri, elektrometri, dan HPLC.

2) Tahap pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah yang dimplementasikan meliputi: (1) mengorientasi mahasiswa pada masalah, dalam hal ini mengidentifikasi masalah yang akan diselidiki, (2) mengorganisasi mahasiswa untuk belajar, mahasiswa mengeksplorasi ruang lingkup permasalahan serta membuat

BAB

5

Page 80: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

rancangan penelitian, (3) membimbing penyelidikan kelompok, menggabungkan informasi yang diperoleh (4) menyajikan hasil proyek penelitian, mempresentasikan hasil (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, evaluasi dosen, dan self reflection.

3) Praktikum menekankan pada pemecahan masalah atau masalah sebagai titik tolak pembelajaran untuk membangun konsep dan mengembangkan metakognisi. Wawancara tidak terstruktur yang berupa pertanyaan-pertanyaan pada setiap langkah dalam PBL dimaksudkan untuk membantu meningkatkan penguasaan konsep dan mengembangkan metakognisi. Metakognisi yang dapat dikembangkan pada setiap langkah dalam PBL antara lain menyatakan tujuan, menyadari bahwa tugas yang harus diselesaikan membutuhkan banyak referensi, mengidentifikasi dan mengelaborasi informasi, serta memilih dan mengevaluasi prosedur. Selengkapnya indikator metakognisi yang berkembang melalui pembelajaran praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah ditunjukkan pada Tabel 5.1.

4) Model pembelajaran dilaksanakan melalui kegiatan praktikum di laboratorium kimia menggunakan peralatan utama AAS, AES, dan UV-Vis, sedangkan untuk HPLC menggunakan simulasi komputer (virtual laboratory) dalam hal ini simulasi JCE HPLC 3D,2 yang merupakan salah satu software simulasi laboratorium virtual HPLC yang umum digunakan sebagai pengganti praktikum. Untuk mengurangi ketertinggalan software ada 2 mahasiswa yang diikutkan praktik langsung di laboratorium yang memiliki HPLC, sehingga bisa mengukur sampel yang telah disiapkan sebelumnya, dan mengambil gambar dalam setiap langkah pengukuran.

5) Informasi yang digunakan untuk memecahkan masalah dikumpulkan melalui aktivitas individu dan kelompok. Aktivitas kerja kelompok dapat terjadi ketika mahasiswa mulai merancang proposal utamanya menentukan prosedur, melakukan penelitian, membuat laporan, mempresentasikan hasil, dan mempersiapkan poster. Pengumpulan informasi secara individu terjadi ketika mahasiswa membaca buku-buku dan artikel hasil penelitian, mengakses internet, wawancara tidak terstruktur pada setiap langkah pembelajaran, dan presentasi hasil proyek.

Page 81: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

6) Pengukuran metakognisi dilakukan melalui tes bentuk uraian, kuesioner atau lembar penilaian diri sebagaimana banyak dilakukan para peneliti. Wawancara tidak terstruktur dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan arahan di setiap tahap pembelajaran berbasis masalah di samping untuk mengungkap metakognisi yang terjadi juga untuk mendukung pengembangan metakognisi itu sendiri.

Karakteristik pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah sebagaimana diuraikan di atas digambarkan dalam bentuk bagan seperti terlihat pada Gambar 5.1. Melalui wawancara tidak terstruktur di setiap langkah pembelajaran akan menumbuhkan kesadaran mahasiswa baik secara individual maupun kelompok untuk mengatur, mengontrol, dan mengevaluasi proses berpikirnya sehingga meningkatkan penguasaan konsep, membangun karakter, dan metakognisi. Pengembangan metakognisi ini secara kualitatif ditunjukkan dari pengukuran hasil kuesioner, serta hasil wawancara tidak terstruktur. Secara kuantitatif, dari hasil tes bentuk uraian dengan indikator metakognisi. Pelaksanaan tes dan pengisian kuesioner dilakukan pada awal dan akhir pembelajaran praktikum. Penguasaan konsep diukur dari hasil tes bentuk uraian pada awal dan akhir pembelajaran praktikum.

Gambar 5.1 Karakteristik Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Masalah open ended

Rancangan proposal

Wawancara tidak terstruktur

Presentasi hasil dan pameran

poster

Kegiatan laboratorium

Aktivitas kelompok/individual

Membangun metakognisi, karakter, dan peningkatan penguasaan konsep

Aktivitas kelompok/individual

Aktivitas kelompok/ individual

Page 82: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Tabel 5.1 Langkah Pembelajaran Praktikum Berbasis Masalah

Langkah Deskripsi Pendahuluan 1. Diskusi kontrak perkuliahan: penjelasan

mengapa PBL digunakan dalam perkuliahan praktikum, penjadwalan, dan penilaian

2. Pembentukan kelompok 3-4mahasiswa perkelompok, menentukan peran anggota tim dalam kelompok, pemberian masalah

3. Latihan menggunakan instrumen seperti spectronic 20, UV- Vis, dan AAS, pH meter, konduktometer, dan perkenalan software simulator HPLC

Tahap 1: Mengorientasi mahasiswa pada masalah

1. Mahasiswa dalam kelompok diberi masalah terkait penentuan kadar suatu zat dan pembuatan kit diusahakanmenggunakan local material. Masalah juga bisa berasal darimahasiswa. Mahasiswa diminta untuk menyelesaikan masalah dalam suatu kegiatan proyek penelitian laboratorium yang diusahakan melalui rujukan baik dari buku, laporan penelitian, maupun akses internet.

2. Dosen menginformasikan rambu-rambu yang harus ditulismahasiswa dalam Laporan Hasil Penelitian, dan mempersiapkan untuk presentasi secara kelompok.

3. Dosen memberikan pretes Tahap2: Mengorganisa-si mahasiswa untuk belajar

1. Mahasiswa mengkaji masalah yang diberikan, mengidentifikasi materi/konsep yang mendukung, selanjutnya membuat proposal.

2. Dosen bertindak sebagai fasilitator, menyediakan waktu untuk menerima pertanyaan maupun memberikan pertanyaan arahan padamahasiswa

3. Mahasiswa mencari tambahan informasi yang berkaitan dengan masalah yang diberikan

Tahap 3: Membimbing penyelidikan kelompok

1. Mahasiswamengumpulkan data menggunakan instrumen utama spektrofotometer Vis, UV-Vis, AAS, AES, pH meter, dan software simulator HPLC dilakukan perkelompok di laboratorium, dan dilanjutkan analisis data.

2. Dosen sebagai fasilitator dalam kegiatan ini, di samping membimbing penyelidikan juga menyediakan waktu untuk menerima pertanyaan maupun memberikan pertanyaan arahan padamahasiswa, serta mempersiapkan lembar observasi untuk mengetahui kinerjamahasiswa

Page 83: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Langkah Deskripsi Tahap 4: Menyajikan hasil proyek penelitian

1. Mahasiswa membuat laporan hasil penyelidikannya dan mengkomunikasikannya pada kelompok lain. Komunikasi dilakukan melalui presentasi

2. Dosen sebagai fasilitator, mempersiapkan lembar penilaian presentasi

3. Dosen memberikan postes

B. Cakupan Materi Kimia Analitik Instrumen

1. Spektrometri

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik. Metode pengukuran yang didasarkan pada pengetahuan tentang spektroskopi disebut spektrometri. Prinsip dasar spektrometri adalah adanya interaksi antara radiasi elektromegnetik dengan materi. Bila radisi elektromegnetik melewati suatu materi, maka beberapa hal yang mungkin terjadi adalah absorpsi, emisi, hamburan sinar, fluoresensi dan fosforesensi. Berdasarkan keadaan materi, maka spektrometri dapat dibedakan menjadi spektrometri atom dan spektrometri molekul. Selanjutnya berdasarkan sifat radiasinya, spektrometri atom dapat diklasifikasikan ke dalam spektrometrii absorpsi atom, spektrometri emisi atom, dan spektrometrii fluoresensi atom. Penelitian ini berhubungan dengan spektrometri absorpsi yaitu spektrometri absorpsi atom (selanjutnya disebut AAS), dan spektrometri emisi atom (AES), serta spektrometri molekul yaitu spektrometri UV-Vis.

Sebelum sampai tahap pengukuran dengan AAS, AES, maupun UV-Vis harus dilakukan tahap-tahap pengambilan sampel, preparasi sampel, pemisahan komponen yang diinginkan misalnya melalui ekstraksi, dan pembuatan larutan standar. Oleh karena itu, untuk bisa mengikuti mata kuliah praktikum Praktikum Kimia Analitik Instrumen ini mahasiswa harus sudah mengambil mata kuliah Dasar-dasar Kimia Analitik dan praktikumnya, serta Dasar-dasar Pemisahan Analitik dan praktikumnya.

Instrumen untuk spektrometri umumnya terdiri dari 5 komponen pokok, yaitu (1) sumber radiasi, (2) wadah sampel, (3) monokromator, (4) detektor, dan (5) rekorder. Perbedaan antara AAS dengan spektrometri UV-Vis, yaitu wadah sampel, sumber radiasi yang digunakan, juga adanya sistem pengatoman dalam

Page 84: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

AAS; sedangkan antara AAS dengan AES berbeda dalam hal tidak diperlukannya sumber radiasi pada AES.

Sumber radiasi untuk spektrum kontinu adalah lampu: argon pada spektroskopi UV-Vakum, deuterium atau hidrogen pada spektrometri UV, xenon dan wolfram (tungsten) pada spektrometri UV-Vis. Untuk spektrum diskontinu, sumber radiasinya adalah lampu katoda cekung (hollow cathode) yang banyak dipakai pada spektroskopi atom. Wadah sampel diperlukan untuk semua teknik spektrometri kecuali spektrometri emisi. Umumnya wadah sampel disebut kuvet atau sel. Kuvet yang terbuat dari kwarsa baik untuk spektrometri UV dan juga untuk spektrometrisinar tampak (Vis). Kuvet plastik dapat digunakan untuk spektrometri sinar tampak. Monokromator adalah alat yang paling umum dipakai untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang. Monokromator untuk radiasi UV dan Vis adalah serupa, yaitu mempunyai celah atau slit, lensa, cermin dan prisma atau grating. Untuk detektor, dikenal 2 macam yaitu detektor foton dan detektor panas. Detektor panas biasa dipakai untuk mengukur radiasi infra merah, termasuk thermocouple dan bolometer. Signal listrik dari detektor bisanya diperkuat dengan amplifier kemudian direkam sebagai spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Plot antara panjang gelombang dan absorban akan dihasilkan spektrum.

Pada penggunaan AAS dengan sistem pengatoman nyala api untuk menganalisis sampel, suatu sumber radiasi lampu katoda cekung yang sesuai dengan jenis unsur dilewatkan ke dalam nyala api yang berisi sampel yang telah teratomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan ke detektor melalui monokromator. Untuk membedakan antara radiasi yang berasal dari sumber radiasi dan radiasi dari nyala api, biasanya digunakan chopper yang dipasang sebelum radiasi dari sumber radiasi mencapai nyala api. Detektor disini akan menolak arus searah (DC) dari emisi nyala dan hanya mengukur arus bolak balik (signal absorpsi) dari sumber radiasi dan sampel. Konsentrasi unsur diukur berdasarkan perbedaan intensitas radiasi pada waktu ada atau tidaknya unsur yang diukur (sampel) di dalam nyala api.

Untuk metode AES, atom-atom unsur dalam nyala api akan tereksitasi. Pada waktu atom-atom kembali ke tingkat dasar akan memancarkan radiasi elektromagnetik yang disebut radiasi emisi dimana energi radiasi emisi ini sama dengan energi radiasi eksitasi, jadi sumber radiasi disini berasal dari sampel. Intensitas

Page 85: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

radiasi emisi ini kemudian dideteksi oleh detektor setelah melalui monokromator. Dalam hal ini konsentrasi unsur sebanding dengan intensitas radiasi, artinya terdapat hubungan linear antara intensitas radiasi dengan konsentrasi unsur.

Spektometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (Visible = Vis) 380-780 nm dengan memakai instrumen spektrofotometer. Bila radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang UV-Vis melewati suatu molekul dan bila energi fotonnya cukup, maka energi tersebut akan diserab dan di dalam molekul terjadi transisi elektronik yang disebut molekul itu tereksitasi. Pengapsorpsian sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu molekul umumnya menghasilkan eksitasi elektron bonding. Akibatnya, panjang gelombang absorpsi maksimum dapat dikorelasikan dengan jenis ikatan yang ada di dalam molekul yang sedang diselidiki. Oleh karena itu spektrometri serapan molekul berharga untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsi yang ada dalam suatu molekul. Akan tetapi, yang lebih banyak adalah penggunaan untuk penentuan kuantitatif senyawa-senyawa yang mengandung gugus-gugus pengabsorpsi.

Langkah utama dalam analisis spektrofotometri untuk memperoleh pengukuran yang baik meliputi penentuan kondisi kerja/optimasi. Optimasi meliputi peralatan, dan optimasi terkait pra pengukuran (tahap pemisahan). Optimasi pengukuran Spektrofotometer UV-Vis meliputi: (1) pemanasan peralatan, (2) penentuan optimum, (3) optimasi untuk meminimalkan intervensi dari logam lain seperti: optimasi pH pembentukan kompleks, konsentrasi ligan, perbandingan konsentrasi logam dan ligan. Sedangkan, optimasi pada AAS (untuk atomisasi dengan nyala api) meliputi: tinggi pembakar, kecepatan alir gas pembakar, posisi lampu, posisi pembakar terhadap sinar, dan kuat arus.

Teknik analisis yang banyak digunakan dalam spektrometri adalah metode kurva kalibrasi dan metode adisi standar. Pada kurva kalibrasi dilakukan dengan membuat sederetan larutan standar pada konsentrasi tertentu, kemudian masing-masing larutan stndar diukur absorbansinya, terakhir dibuat kurva antara absorbansi versus konsentrasi, dan akan diperoleh garis linier. Konsentrasi sampel dapat dihitung dengan cara mengeplotkan absorbansi yang terukur dalam kurva. Pada teknik standar adisi larutan sampel dengan volume yang sama

Page 86: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

dimasukkan ke dalam masing-masing labu takar, kemudian ditambah larutan standar dengan konsentrasi yang berbeda. Absorbansi dari masing-masing larutan dalam labu takar diukur absorbansinya setelah diencerkan sampai volume tertentu (tanda tera). Kemudian dibuat kurva hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi standar.

2. Kromatografi, High Performance Liquid

Chromatography (HPLC) Kromatografi merupakan proses pemisahan yang

didasarkan adanya perbedaan koefisien distribusi komponen-komponen dalam dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diam. Fasa diam (stasioner) berupa suatu zat padat atau suatu cairan, dan fasa gerak bisa suatu cairan atau suatu gas. Didasarkan jenis fasa dikenal 4 jenis kromatografi: cair-padat, gas-padat, cair-cair, dan gas-cair. Berdasarkan fasa geraknya dibedakan kromatografi gas (contoh GC) dan kromatografi cair (contoh HPLC), sementara itu pembagian dalam kromatografi cair selain didasarkan wujud fasa diam dan fasa geraknya juga didasarkan mekanisme interaksinya.

Selama bertahun-tahun bentuk kromatografi yang digunakan adalah cair-padat (KCP), kemudian berkembang kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi cairan kolom klasik merupakan prosedur pemisahan yang sudah mapan di mana fase cair yang mobil mengalir lambat-lambat lewat kolom karena gravitasi. Umumnya metode itu dicirikan oleh efisiensi kolom yang rendah dan waktu pemisahan yang lama. Karya Martin dan Synge, tahun 1041 membuahkan hadiah Nobel, tidak hanya merevolusikan kromatografi cair, tetapi juga secara umum meletakkan landasan bagi perkembangan kromatografi gas dan kromatografi kertas.

Pembahasan teknik kromatografi modern baru lengkap bila disebut kromatografi cairan kinerja tinggi (HPLC). Dalam metode ini digunakan kolom berdiameter kecil (1-3 mm) dan eluen dipompakan ke dalamnya dengan laju alir yang tinggi (sekitar 1-5 cm3m-1). Pemisahan dengan metode ini dilakukan jauh lebih cepat (sekitar 100 kali lebih cepat) daripada dengan kromatografi cairan yang biasa. Meskipun peralatan yang tersedia di pasar dewasa ini agak mahal, HPLC telah terbukti luas penggunaannya, makin popular dan menjadi teknik yang makin penting di dalam laboratorium analisis. Kepopulerannya sekarang ini mengatasi teknik kromatografi gas (Hendayana, 2006).

Page 87: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah suatu teknik kromatografi yang menggunakan fasa gerak cair, yang dapat untuk pemisahan sekaligus analisis suatu zat. Prinsip dasar pemisahan adalah adanya perbedaan distribusi komponen diantara fasa gerak dan fasa diam yang menyebabkan perbedaan migrasi diferensial komponen-komponen analit dalam kolom kromatografi. Dalam kromatografi cair selain terjadi interaksi komponen dengan fasa diam juga adanya kelarutan relatif antara komponen yang akan dipisahkan dengan fasa gerak, sedangkan dalam kromatografi gas, fasa gerak sifatnya inert, dengan demikian hanya terjadi interaksi antara komponen dengan fasa diam, di samping itu dalam kromatografi gas pemisahan terjadi karena adanya perbedaan titik didih.

Didasarkan kekuatan/kepolaran fasa geraknya HPLC pasangan dibedakan menjadi HPLC fasa normal (normal phase), jika pasangan fasa geraknya kurang polar dibanding fasa diamnya, sebaliknya jika fasa gerak lebih polar dari fasa diam disebut HPLC fasa terbalik (reverse phase). Selain itu, HPLC juga dapat dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam dan atau berdasarkan pada mekanisme sorpsi solut, dengan jenis-jenis HPLC seperti: kromatografi adsorpsi, kromatografi fase terikat, kromatografi penukar ion.

Instrumentasi alat HPLC terdiri atas gerbang penyuntikan (injection port), kolom dan detektor yang dihubungkan satu sama lain. Kolom merupakan tempat terjadinya pemisahan yang berisi fasa diam. Pompa pada HPLC bermanfaat untuk mendorong fasa gerak yang membawa komponen masuk ke dalam kolom karena ukuran partikel fasa diam yang ada dalam kolom kecil, dan diameter dalam kolom juga kecil sehingga tekanannya harus tinggi. Detektor untuk mendeteksi komponen-komponen diletakkan setelah kolom selain berfungsi mendeteksi adanya komponen cuplikan juga mengukur banyaknya/konsentrasi yang telah terpisahkan di kolom. Jenis detektor yang digunakan tergantung sampel yang akan dianalisis dan fasa gerak. Output dari pengukuran HPLC adalah kromatogram yang mempresentasikan waktu retensi (tr) untuk parameter kualitatif, dan luas area untuk parameter kuantitatif dengan respon (mVolt). Untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif tersebut harus ada pembandingnya yang diukur pada kondisi yang sama.

Prinsip kerja dari alat HPLC adalah dengan bantuan pompa, fasa gerak cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan

Page 88: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran, karena adanya perbedaan kekuatan interaksi antara komponen-komponen terhadap fasa diam. Komponen-komponen yang kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom lebih dulu, sebaliknya, komponen-komponen yang kuat berinteraksi dengan fasa diam maka akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap komponen campuran yang keluar kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram. Proses bergeraknya komponen yang dibawa oleh fasa gerak melalui kolom disebut elusi. Berdasarkan laju alir fasa geraknya proses elusi dibedakan dua macam yaitu isokratik jika laju alir tetap pada proses elusi dan gradien jika Laju alir atau komposisi fasa gerak berubah pada proses elusi (Hendayana ,2006).

Parameter yang digunakan pada HPLC meliputi waktu retensi (tr), yaitu waktu yang diperlukan komponen untuk bergerak sepanjang kolom, dan volume retensi (vr) yaitu volume fasa gerak yang diperlukan untuk membawa komponen sepanjang kolom. Parameter pemisahan yang berhubungan dengan interaksi antara komponen dengan fasa diam adalah faktor kapasitas (k’). Kolom yang efisien yaitu kolom yang mampu menghasilkan kromatogram dengan puncak sempit, tajam, dan simetris. Ukuran dari efisiensi kolom ini adalah jumlah plat teoritis (N). Kemampuan kolom untuk bisa membedakan suatu komponen dari komponen lain parameternya adalah selektivitas kolom (faktor selektivitas, ) dan resolusi (Rs).

Tahapan kerja untuk analisis kuantitatif meliputi: (1) penyiapan fasa gerak, (2) preparasi sampel, (3) penyiapan larutan standar, (4) pengukuran sampel. Pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak dalam HPLC harus dipilih sesuai karakteristik sampel dan fasa diam, serta harus memutuskan jenis fasa gerak yang akan digunakan. Selain berfungsi sebagai pembawa komponen-komponen campuran menuju detektor, fasa gerak dapat berinteraksi dengan komponen-komponen. Oleh karena itu, pelarut dalam HPLC merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses pemisahan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai pelarut HPLC adalah: (1) harus murni sekali untuk menghindarkan masuknya kotoran yang dapat mengganggu interpretasi kromatografi, (2) harus jernih sekali untuk menghindarkan penyumbatan pada kolom. Oleh karena itu pelarut harus didegassing, dan disaring dengan membran.

Page 89: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Kelebihan dari teknik HPLC ini antara lain: (1) dapat digunakan untuk isolasi zat yang tidak mudah menguap dan zat yang tidak stabil, (2) HPLC memiliki detektor dengan kepekaan yang tinggi, (3) memiliki daya memisah yang tinggi, (4) dapat menganalisis sampel yang kecil kuantitasnya, (5) biaya pelarut jauh lebih rendah dibandingkan LC konvensional, (6) teknik HPLC dapat dilakukan pada suhu kamar.

Beberapa laboratorium Analisis Kimia di Indonesia sekarang ini sudah memiliki alat HPLC, dengan jenis HPLC yang dipilih beragam seperti dari buatan Beckman, Hawlett-Packard, Waters, dan Shimadzu. Jenis HPLC apapun yang kita miliki, perlu disadari bahwa sebelum dipakai, alat itu perlu dikenal dan dimengerti terlebih dahulu agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari. Dilihat dari sisi pemeliharaan maka komponen yang paling perlu diperhatikan pertama-tama adalah fasa gerak, yang dimaksudkan untuk menghindarkan atau mengurangi kemungkinan munculnya permasalahan selanjutnya harus diperhatikan bagaimana kualitas dan penanganan fasa gerak tersebut. Oleh sebab itu perlu diperhatikan dalam hal: memilih dan mempersiapkan pelarut yang tepat, serta memperhatikan tempat penampungan fasa gerak.

Untuk mencapai derajat analisis HPLC diperlukan kemurnian pelarut yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan sistem deteksi, terutama dengan detektor spektrofotometri ultra violet, umumnya sangat peka terhadap pengotor, sehingga sangat mudah mendeteksi adanya pengotoran di dalam pelarut. Munculnya puncak di daerah yang sama dengan daerah puncak dari sampel yang ditentukan akan mengganggu pengamatan dan analisis. Untuk mengatasi hal tersebut pelarut harus disaring. Penyaring khusus terbuat dari ester selulosa pori bergaris tengah 0.22 mikron, dari politetrafluoroetilen dengan garis tengah pori sebesar 0,2 mikron. Penyaring kertas tidak cukup baik sebab penyaringan dengan kertas saring biasanya akan menyebabkan serat kertas terbawa dan nantinya terakumulasi di bagian awal kolom. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuang gas (degassing). Langkah ini yang sangat penting sebab gas di dalam larutan akan terperangkap di dalam sel detector. Adanya gelembung gas di dalam detektor akan menjadikan garis dasar kromatogram bergerigi, dan jika berlangsung terus akan membentuk noise.

Kolom merupakan bagian yang paling penting dari peralatan kromatografi termasuk HPLC. Waktu hidup yang sangat

Page 90: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

terbatas dari suatu kolom, serta harganya yang sangat mahal, menuntut agar berhati-hati dalam menggunakannya. Banyak faktor yang harus diperhatikan di dalam menggunakan dan memelihara kolom, agar kolom dapat berfungsi dengan baik dalam waktu yang relatif panjang. Pemilihan pelarut dan cara menyiapkannya, merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Sebagaimana telah diuraikan pada alinea sebelumnya kemurnian pelarut dengan derajat HPLC sangat diperlukan yang berkaitan dengan sistem detektor. Perlakuan tersebut juga berkaitan dengan pemeliharaan kolom. Sebelum dialirkan ke dalam kolom, selalu dianjurkan untuk menyaring eluen dan menghilangkan gelembung yang mungkin terdapat pada eluen. Hal ini berlaku baik bagi campuran pelarut oganik murni, larutan buffer, maupun pelarut yang mengandung garam (untuk keperluan kromatografi pasangan ion). Filter yang digunakan mula-mula harus dicuci terlebih dahulu dengan sejumlah tertentu eluen dan filtrat hasil cucian dibuang. Filtrat yang mula-mula ini biasanya mengandung senyawa pengikat (binder), penstabil (stabilizer) dan pengotor (impurity) yang mungkin terdapat pada berbagai membran. Selain itu, daya tahan matriks membran terhadap berbagai pelarut organik harus diuji terlebih dahulu, karena ada beberapa jenis membran yang dapat terlarutkan oleh pelarut tertentu (Kartasubrata, 1989).

3. Elektrometri

Elektrometri merupakan metode analisis baik kualitatif maupun kuantitatif yang didasarkan pada sifat-sifat kelistrikan suatu cuplikan di dalam sel elektrokimia. Suatu sel elektrokimia tersusun atas dua buah elektroda (minimal), larutan elektrolit dan suatu sumber arus bisa voltmeter (sel Galvani) atau sumber arus searah (elektrolisis) tergantung dari tujuannya. Dua buah elektroda pada sel elektrokimia yang pertama adalah elektroda standar (baku) yang mempunyai potensial yang tetap dan kedua adalah elektroda penunjuk (indikator) yang potensialnya bergantung pada aktivitas ion yang akan ditetapkan. Umumnya reaksi yang terjadi pada sel elektrokimia adalah reaksi redoks.

Ada dua jenis sel elektrokimia yaitu sel Galvani dan sel elektrolisis. Sel Galvani merupakan sel elektrokimia yang mampu merubah reaksi kimia menjadi energi listrik (energy producer). Sebaliknya, sel elektrolisis merupakan sel elektrokimia yang mampu merubah energi listrik menjadi suatu

Page 91: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

zat (substance producer). Dalam sel elektrokimia terdapat 2 buah elektroda yang masing-masing disebut dengan anoda dan katoda. Sesuai dengan perjanjian yang dimaksud dengan anoda adalah elektroda tempat berlangsungnya reaksi oksidasi dan katoda adalah elektroda tempat berlangsungnya reaksi reduksi. Kedua elektroda tersebut mempunyai fungsi yang sama baik pada sel Galvani maupun pada sel elektrolisis.

Pengertian selanjutnya yaitu potensial elektroda, yaitu beda potensial yang timbul antara logam dengan larutan ion logamnya. Untuk mengukur harga potensial elektroda dibutuhkan elektroda pembanding, dan yang pertama kali digunakan adalah elektroda normal hydrogen (ENH). Beda potensial dari suatu logam antara elektroda hidrogen standar (elektroda normal hidrogen = ENH) dengan ½ sel logam yang tercelup dalam larutan dengan konsentrasi 1 Molar, dinamakan potensial elektroda standar. untuk memudahkan dan memperjelas suatu sel elektrokimia dalam sel Volta/sel Galvani digunakan notasi sel Garis vertikal (|) menunjukkan batas fase muncul/adanya potensial, dan koma (,) memisahkan spesi yang berada dalam fase yang sama, atau batas dua fase dimana tidak ada potensial yang muncul. Notasi sel dimulai dengan anode, dilanjutkan dengan cathode. Garis vertikal ganda (||) menunjukkan jembatan garam. Garis ini juga menunjukkan adanya perbedaan potensial antara jembatan garam dan masing-masing setengah sel. Sebagai contoh:

Zn(s) | ZnSO4 (aq, x M) || CuSO4 (aq, x M) | Cu(s)

Harga potensial elektroda suatu setengah sel ditentukan

oleh konsentrasi dari elektrolitnya. bagi reaksi reduksi berikut ini:

(3.1)

Bila keaktifan dari Mn+ adalah aM

n+ maka Nernst mengungkapkan potensial elektroda setengah sel itu adalah

log

(3.2)

Page 92: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Untuk reaksi total dari setengah reaksi oksidasi dan setengah reaksireduksi persamaan Nernst secara umum ditulis sebagai berikut.

tan][

][log

0592,0

reak

produk

nEE sel

o

sel

Potensiometri merupakan metode analisis kimia yang

didasarkan hubungan antara potensial dengan konsentrasi larutan dalam suatu sel elektrokimia. Metode ini merupakan aplikasi langsung dari persamaan Nerst, dan dapat digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi pada asidi-alkalimetri, redoks, kompleks, maupun pengendapan. Metode ini terus berkembang sejalan dengan pengembangan metode analisis yang terus dilakukan antara lain elektroda selektif dengan berbagai membran.

Alat-alat yang diperlukan dalam metode potensiometri adalah 1) elektroda pembanding (reference electrode), 2) elektroda kerja/elektrode indikator dan 3) alat pengukur potensial. Elektroda Normal hydrogen (ENH) pada prakteknya kurang praktis sebagai elektroda pembanding, sehingga perlu dicari setengah sel lainnya yang dapat menggantikan sistem tersebut. Tentu saja potensial elektroda dari setengan sel itu telah distandarkan dengan ENH. Syarat sebagai elektroda pembanding adalah 1) harga potensial ½ selnya harus sudah diketahui 2) nilai potensialnya dapat dibuat konstan, serta 3) tidak peka terhadap komposisi larutan yang diselidiki. Contoh elektroda yang umum dipakai: elektroda kalomel dan elektroda perak-perak klorida.

Elektroda indikator yaitu suatu elektroda yang potensialnya tergantung pada spesies tunggal dalam larutan/konsentrasi zat yang diselidiki. Elektroda indikator pada dasarnya terbagi dalam dua jenis, yaitu elektroda logam dan elektroda membran. Elektroda logam sendiri juga dibedakan lagi atas tiga macam, yaitu elektroda order pertama bagi kation, elektroda order kedua bagi anion, dan elektroda bagi sistem redoks.

Sejak Haber dan Klemensiewiez pada tahun 1909 melakukan penelitian secara intensif terhadap sifat elektrokimia dari suatu membran kaca tertentu, maka mulai terbukalah teknik analisis baru yang menggunakan elektroda jenis membran. Dari berbagai penelitian, Cremer telah memperoleh hasil mengenai kepekaan serta keselektifan membran kaca terhadap pH larutan

Page 93: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

dengan kemampuan mendeteksi adanya ion hidrogen dari 10-1 M – 10-14 M. Elekroda membran dapat dikelompokkan menjadi elektroda membran kaca, elektroda bermembran cairan, elektroda bermembran padatan dan elektroda penunjuk gas.

pH meter merupakan contoh aplikasi elektroda membran yang berguna untuk mengukur pH larutan. pH meter dapat juga digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi asam basa pengganti indikartor. Alat ini dilengkapi dengan elektroda gelas dan elektroda kalomel (SCE) atau gabungan dari keduanya (elektroda kombinasi). Mekanisme timbulnya potensial untuk elektroda membran kaca bagi ion H+, disebabkan adanya pertukaran ion antara ion-ion bebas di dalam larutan dengan ion-ion yang terikat pada pusat kedudukan ion-ion di dalam struktur kacanya. Sensitifitas dan selektifitas terhadap ion-ion tertentu tergantung komposisi dari kaca. Untuk mengukur pH langsung dicelupkan ke dalam larutan yang akan diukur. Apabila hendak dipakai, maka konsentrasi H+ harus diketahui terlebih dahulu. Oleh karena itu perlu ditera/distandaisasi dengan larutan yang pHnya sudah diketahui (pH buffer); dengan E sel = E gelas – 0,0591 pH.

Potensial suatu elektroda indikator berguna untuk menentukan titik ekivalen suatu titrasi. Namun demikian, tidak setiap elektroda dapat digunakan sebagai indikator titik akhir titrasi. Sebagai contoh adalah titrasi asam-basa dapat diikuti secara potensiometri dengan menggunakan elektroda yang peka terhadap perubahan pH. Susunan peralatan titrasi secara potensiometri terdiri atas elektroda gelas sebagai elektroda indikator untuk asidi alkalimetri, elektroda indikator untuk pembentukan kompleks adalah elektroda Ag – Hg, dan elektroda indikator untuk redoks adalah elektroda Pt. Titik akhir titrasi ditandai dengan adanya perubahan nilai potensial yang besar setiap penambahan titran. Titik akivalen diperoleh melalui grafik volume versus E, E/V versus V, 2E/V2 versus E.

Metode elektrometri selanjutnya adalah analisis yang melibatkan pengukuran jumlah arus listrik (dalam Coulomn) yang dibutuhkan untuk mengubah secara kuantitatif zat elektroaktif ke tingkat bilangan oksidasi yang berbeda dan dinamakan metode Coulometri. Coulometri dibedakan menjadai tiga yaitu 1) koulometri dengan potensial tetap, 2) koulometri dengan arus tetap, dan 3) titrasi Coulometri. Di samping itu dikenal pula metode elektrogravimetri. Metode ini digunakan untuk penentuan kadar ion logam dalam larutan dengan cara

Page 94: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

mengendapkannya pada suatu elektroda pada beda potensial tertentu. Pemisahan kation-kation dalam larutan berdasarkan arus-tegangan peruraian. Untuk mengetahui tegangan peruraian perlu dibuat kurva I versus E.

Konduktometri merupakan metoda analisis kimia yang didasarkan daya hantar listrik suatu larutan. Besaran hantaran (G) bergantung pada jenis dan konsentrasi ion dalam larutan. Besaran ini merupakan kebalikan dari hambatan atau tahanan R. Pada umumnya konsentrasi elektrolit di dalam larutan banyak menggunakan satuan massa ekivalen. Kemampuan suatu zat terlarut untuk menghantarkan arus listrik disebut Daya hantar ekivalen (^) yang didefinisikan sebagai daya hantar satu gram elivalen zat terlarut diantara dua elektroda dengan jarak kedua elektroda 1cm . Hubungan hantaran ekivalen dengan hantaran jenis dinyatakan dengan : ⋏ = 1000k/C.

Menurut Kohlrausch, daya hantar ekivalen suatu larutan elektrolit akan naik karena pengenceran dan akhirnya mencapai harga batas yang dinyatakan dengan ⋏o atau ⋏ . Data hantaran ekivaln padda pengenceran tak berhingga dari beberapa ion dapat dilihat diberbagai text book. Pada pengenceran tidak berhingga elektrolit mengalami penguraian sempurna, sebagai contoh untuk suatu larutan MX,

MX M+ + X-

⋏o = M+o + X-o dengan M+o + X-o : hantaran ekivalen ion M+ dan X-, dan perhitungan daya hantarnya adalah: 1/R = 1/1000 (CM+ M+o + CX- X-o )

Pengukuran daya hantar memerlukan sumber listrik non

Faraday atau arus AC, tahanan jembatan (rangkaian elektrolit, berupa jembatan Wheatstone), dan sel konduktometer. Sel terdiri dari sepasang elektroda berupa logam yang dilapisi logam platina. Pengukuran secara konduktometri dapat digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi. Jalannya titrasi diikuti dengan mengukur hantaran larutan, selanjutnya dibuat alur titrasi antara hantaran suatu larutan dengan volume titran yang ditambahkan. Pengamatan dilakukan beberapa titik sebelum dan sesudah titrasi. Beberapa jenis reaksi yang dapat diikuti secara

Page 95: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

konduktometri diantaranya titrasi asam-basa, titrasi pengendapan, dan titrasi pembentukan kompleks.

C. Hasil Implementasi Model

Pembelajaran praktikum kimia analisis instrumen berbasis masalah pada penelitian ini dirancang untuk meningkatkan penguasaan konsep keterampilan pemecahan masalah dan mengembangkan karakter mahasiswa calon guru pada materi spektrofotometri dan potensiometri. Masalah yang harus diselesaikan mahasiswa melalui praktikum dapat berasal dari dosen, namun juga dapat berasal dari mahasiswa setelah dikonsultasikan dengan dosen. Masalah yang berasal dari dosen adalah: (1) Perkembangan penduduk dunia yang pesat dengan segala aktifitasnya menyebabkan beban danau dan sungai melebihi kemampuannya untuk membersihkan diri. Senyawa fosfor dan nitrogen yang digunakan dalam deterjen dan pupuk sintetis dapat menyebabkan eutrofikasi. Kit analisis praktis banyak digunakan yang didasarkan metode kolorimetri maupun spektrofotometri. Kit analisis sederhana, bahannya mudah di dapat, harganya murah, efisien penggunaannya, serta pereaksinya stabil merupakan kit yang sangat dibutuhkan terutama dimanfaatkan jika sampel air cukup jauh lokasinya dari laboratorium.(2) Beberapa indikator asam basa yang kita kenal seperti phenol phtalein (p.p), methyl red (m.r), dan methyl orange (m.o), masing-masing memiliki daerah trayek indikator. Berbagai macam ekstrak bunga berwarna memiliki potensi digunakan sebagai indikator titrasi asam basa. Namun yang jadi masalah adalah daerah trayek indikatornya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut berbagai bunga harus diekstrak, dan hasil ekstrak dilihat spektrum absorpsinya di daerah UV-Vis. Bagaimana peluang berbagai bunga dapat dimanfaatkan sebagai indikator asam-basa.

Dari kedua masalah yang diberikan dosen serta masalah yang berasal dari mahasiswa, selanjutnya secara berkelompok mahasiswa menentukan judul penelitiannya sebagai berikut: 1) Penentuan pH Asam Basa Menggunakan Stick Indikator Alami

Melalui Eksperimen Sederhana Berbantuan Kit 2) Pembuatan Kit Elektroda Pembanding Ag/AgCl Sederhana

dengan Menggunakan Membran Agar-Agar 3) Pemanfaatan Baterai Bekas Sebagai Konduktansi

Sederhana 4) Penentuan KadarPb dalam Air Minum

Page 96: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

5) Uji Sederhana Pewarna Tekstil Dalam Minuman Jajanan Anak 6) Uji Adanya Glukosa dalam Urine secara Semikuantitatif 7) Uji Kualitatif Kandungan Formalin dan Boraks pada Makanan

(Bakso dan Siomay) di Sekitar Lingkungan UNNES

Subyek penelitian 36 mahasiswa kelas eksperimen, dan 40 mahasiswa pada kelompok kontrol. Dalam implementasi model mahasiswa dibedakan menjadi dua kategori yaitu kelompok prestasi tinggi selanjutnya disebut kelompok tinggi, dan kelompok rendah, yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah model pembelajaran praktikum kimia analitik instrumen berbasis masalah dapat digunakan untuk kategori kelompok tinggi dan kelompok rendah. Perbedaan kategori kelompok tinggi dan rendah didasarkan tinggi indeks prestasi (IP) semua mata kuliah kimia analitik yang sudah diambil yakni Dasar-dasar Kimia Analitik (DKA), praktikum DKA, Dasar-dasar Pemisahan Analitik (DPA), Praktikum DPA, Kimia Analitik Instrumen. Dipilihnya indeks prestasi (IP) mata kuliah dalam Kelompok Bidang Keahlian (KBK) kimia Analitik sebagai dasar pengelompokan karena IP komulatif lebih menggambarkan kemampuan menyeluruh mahasiswa dalam bidang Kimia Analitik.

Langkah yang ditempuh dalam pengelompokan berdasarkan indeks prestasi (IP) adalah: (a) mengidentifikasikan IP semua mata kuliah dalam KBK Kimia Analitik untuk setiap subjek penelitian, (b) menghitung IP rerata setiap subyek penelitian, (c) menghitung stándar deviasi (d) menentukan kategori kelompok kelompok tinggi dan kelompok rendah dengan rumus µ = mean ± 0,5 sd. Hasil perhitungan kelompok tinggi dan kelompok rendah menggunakan persamaan µ = 2,778 ± 0,1985. Hasil penentuan pengelompokan ditampilkan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Pengelompokan Prestasi Subjek Penelitian Kelas

Eksperimen

No Kelompok

prestasi Jumlah subyek

IP terendah

IP tertinggi

Rerata

1 Tinggi 9 3,00 3,58 3,22 2 Rendah 9 1,91 2,58 2,29 3 keseluruhan 36 2,778

Page 97: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

1. Penguasaan Konsep Spektrometri, HPLC, dan Elektrometri

Pembelajaran praktikum kimia analitik instrumen berbasis

masalah dirancang untuk meningkatkan penguasaan konsep dan mengembangkan metakognisi mahasiswa calon Guru. Materi yang dirancang meliputi spektrometri (UV-Vis, AFS, dan AAS) dan HPLC. Rerata pretes, postes, dan % N-gain penguasaan konsep mahasiswa untuk materi spektrometri keseluruhan konsep pada kelompok kontrol dan eksperimen berdistribusi normal, variansi % N-gain antar kelas (kontrol dan eksperimen) homogen untuk kedua materi. Hasil % N-gain untuk kelas kontrol 22,40 % dengan kategori rendah, sementara kelas eksperimen sebesar 44,08 % dengan kategori sedang. Pencapaian hasil % N-gain ini cukup berarti, dan didukung hasil uji uji beda bahwa % N-gain pembelajaran praktkum kimia analitik berbasis masalah untuk kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan perbedaan yang siginifikan (p =0,00).

Gambar 5.2 Perbandingan Penguasaan Konsep Mahasiswa secara

Keseluruhan antara Kelas Kontrol dan Eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC.

Rerata pretes, postes, dan % N-gain penguasaan konsep

mahasiswa materi HPLC untuk keseluruhan konsep pada kelas kontrol dan eksperimen berdistribusi normal, variansi % N-gain antar kelas (kontrol dan eksperimen) homogen untuk kedua materi. Hasil % N-gain untuk kelas kontrol masing-masing 14,88 % dengan kategori rendah, sementara kelas eksperimen sebesar 40,81% dengan kategori sedang. Sebagaimana pada materi spektrometri, pencapaian hasil % N-gain untuk materi HPLC ini

Page 98: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

cukup berarti, didukung dari hasil uji uji beda bahwa % N-gain pembelajaran praktkum kimia analisis berbasis masalah untuk kelas kontrol dan eksperimen menunjukkan perbedaan yang siginifikan (p =0,00). Dengan demikian pembelajaran praktikum berbasis masalah untuk materi spektrometri dan HPLC lebih baik meningkatkan penguasaan konsep dibanding pembelajaran biasa.

(1) Rerata Pretes, Postes dan % N-gain Penguasaan Konsep

untuk Kategori Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah Materi Spektrometri dan HPLC

Rerata % N-gain penguasaan konsep spektrometri pada kelompok tinggi dan rendah adalah 51,90 % dan 39,46 % . Dari hasil uji beda kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Perolehan rerata %N-gain penguasaan konsep kelompok tinggi dan rendah untuk materi HPLC masing-masing 45,63 % dan 34,78 %. Sebagaimana pada materi spetrometri dari hasil uji beda, penguasaan konsep kelompok tinggi dan rendah juga menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Tabel 5.3 Perbandingan Penguasaan Konsep Mahasiswa untuk

Setiap Konsep Kelas Eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

Materi Konsep Rerata pretes

Rerata postes

Spektrometri

1 59,95 68,48 21,30 2 58,37 72,74 34,52 3 61,48 79,51 46,81 4 66,28 78,48 36,18 5 67,48 84,95 53,72 6 51,91 73,42 44,73 7 39,59 70,74 51,56 8 37,06 66,44 46,68 9 41,91 65,73 41,00

10 32,2 64,14 47,11

HPLC

11 74,10 81,00 26,80 12 65,00 77,00 34,40 13 60,00 78,05 45,23 14 59,50 77,70 45,03 15 55,00 71,00 35,64 16 42,50 72,56 52,34 17 58,00 75,00 40,57 18 46,40 71,52 46,94

Page 99: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Materi Konsep Rerata pretes

Rerata postes

19 49,50 66,00 32,75 20 51,00 70,00 38,86 21 4,90 43,00 40,11

Keterangan: 1. prinsip dasar spektrometri, 2. perbedaan spektrometri atom dan molekul, 3. komponen-komponen spektrometri, 4. hukum Lambert-Beer, 5. preparasi sampel, 6. zat pengabsorpsi, 7. interferensi, 8. optimasi pengukuran, 9. pembuatan larutan standar, dan 10. perhitungan penentuan kadar; 11. pengertian kromatografi 12. prinsip dasar kromatografi, 13. penggolongan kromatografi, 14. interaksi dalam kromatografi, 15. perbandingan GC, HPLC, KLT, dan KKr, 16. kromatografi fasa normal dan fasa terbalik, 17. komponen-komponen HPLC, 18. analisis kualitatif dan kuantitatif, 19. kualitas pelarut dalam fasa gerak, 20.analisis kromatogram, 21. parameter pengukuran kromatografi

(2) Rerata Pretes, Postes, dan %N-gain tiap-tiap Konsep

Penguasaan Konsep Spektrometri dan HPLC

Rerata masing-masing konsep pada materi spektrometri dan HPLC untuk kelas eksperimen ditunjukkan pada Tabel 5.3, dan selanjutnya untuk % N-g ditampilkan dalam bentuk Gambar 5.3. Rerata perolehan % N-gain kelas eksperimen untuk tiap-tiap konsep spektrometri, kecuali konsep nomor 1 termasuk kategori sedang. Hasil yang sama juga terjadi pada penguasaan konsep materi HPLC, perolehan % N-gain untuk semua konsep juga termasuk kategori sedang kecuali konsep nomor 1.

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

% N

-gai

n

topik

Page 100: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Gambar 5.3 Rerata %N-gain Penguasaan Konsep Spektrometri Kelas eksperimen untuk topik: 1. prinsip dasar spektrometri, 2. perbedaan spektrometri atom dan molekul, 3. komponen-komponen spektrometri, 4. hukum Lambert Beer, 5. preparasi sampel, 6. zat pengabsorpsi, 7. interferensi, 8. optimasi pengukuran, 9. pembuatan larutan standar, dan 10. perhitungan penentuan kadar

Gambar 5.4 Rerata %N-gain Penguasaan Konsep HPLC Kelas

Eksperimen untuk topik: 1. pengertian kromatografi 2. prinsip dasar kromatografi, 3. penggolongan kromatografi, 4. interaksi dalam kromatografi, 5. perbandingan GC, HPLC, KLT, dan kromatografi kertas, 6. kromatografi fasa normal dan fasa terbalik, 7. komponen-komponen HPLC, 8. analisis kualitatif dan kuantitatif, 9. kualitas pelarut dalam fasa gerak, 10. analisis kromatogram, 11. parameter pengu-kuran kromatografi

Perolehan % N-gain tertinggi dan terendah materi spektrometri pada kelas eksperimen (Gambar 5.4) masing-masing terjadi pada konsep preparasi sampel (nomor 5) dan prinsip dasar spektrometri (nomor 1). Di lain pihak, % N-gain tertinggi pada kelas eksperimen materi HPLC terjadi pada konsep kromatografi fasa normal dan fasa terbalik diikuti analisis kualitatif dan kuantitatif, serta terendah pada pengertian kromatografi.

(3) Perbandingan Rerata % N-Gain Penguasaan Konsep Kelas Eksperimen Sesuai Instrumen Utama yang Digunakan pada Materi Spektrometri dan HPLC

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

% N

-gai

n

topik

Page 101: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Tema masalah yang diberikan mahasiswa pada penelitian ini sebanyak 10 buah dengan pembagian penggunaan instrumen utama sebagai berikut: (1) UV-Vis untuk 3 kelompok, (2) AES untuk 2 kelompok, (3) AAS untuk 2 kelompok, dan (4) HPLC untuk 3 kelompok. Rerata perolehan % N-gain masing-masing kelompok instrumen ditampilkan pada Tabel 4.13. Perolehan % N-gain kelompok dengan penyelesaian tema masalah menggunakan instrumen utama UV-Vis, AES, AAS lebih tinggi dibanding HPLC, dan sebaliknya kelompok dengan penyelesaian tema masalah menggunakan instrumen utama HPLC rerata % N-gain-nnya juga lebih tinggi dibanding kelompok spektrometri. Tabel 5.4 Rerata % N-gain Penguasaan Konsep Kelas Eksperimen

dengan Instrumen Utama UV-Vis, AES, AAS, dan HPLC untuk Materi Spektrometri dan HPLC

Instrumen utama Rerata % N-gain penguasaan konsep materi

Spektrometri HPLC UV-Vis 40,44 38,58 AES 48,55 37,28 AAS 48,41 33,90 HPLC 35,12 48,46

Rerata perolehan %N-gain penguasaan konsep mahasiswa

dengan instrumen utama spektrometer berturut-turut lebih tinggi dibanding HPLC, (40,44; 48,55, dan 48,41 dengan rerata 45,8), sedangkan untuk materi HPLC sebesar 35,12. Hasil senada juga nampak dari Tabel 5.2 bahwa mahasiswa dengan instrumen utama HPLC, rerata perolehan %N-gain-nya sebesar 48,46 lebih tinggi dari perolehan materi spektrometri sebesar 35,58 (rerata dari . 38,58; 37,28; dan 33,9).

Peningkatan penguasaan konsep kelas eksperimen memiliki nilai yang lebih tinggi dan berbeda secara signifikan dibandingkan kelas kontrol dengan % N-gain masing-masing 44,08 %, dan 22,40 % untuk spektrometri, serta 14,88, % dan 40,81 % untuk HPLC. Peningkatan kedua materi tersebut bervariasi untuk masing-masing konsep, namun secara keseluruhan termasuk kategori sedang untuk kelas eksperimen dan rendah untuk kelompok kontrol. Selanjutnya, capaian peningkatan penguasaan konsep kelas eksperimen kategori kelompok tinggi dan rendah pada materi spektrometri 51,90 % dan 39,46 % , sedangkan pada materi HPLC adalah 45,63 % dan

Page 102: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

34,78 %. Dari uji beda baik untuk materi spektrometri dan HPLC, kedua kelompok kategori tinggi dan rendah tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan.

Hasil-hasil penelitian sebagaimana diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa pembelajaran praktikum kimia analitik instrumen berbasis masalah efektif meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa untuk keseluruhan konsep pada materi spektrometri dan HPLC, serta dapat digunakan untuk kategori kelompok tinggi dan rendah. Namun, jika dicermati lebih lanjut Tabel 4.13, tampak bahwa %N-gain penguasaan konsep mahasiswa dengan instrumen utama spektrometri lebih tinggi dibanding HPLC. Demikian pula sebaliknya %N-gain penguasaan konsep dengan instrumen utama HPLC %N-gain -nya lebih tinggi. Peningkatan yang belum merata ini menunjukkan bahwa ada langkah pembelajaran yang kurang berhasil, dan hal ini diduga pada langkah presentasi hasil. Padahal semestinya menurut Ram et al., (2007) melalui presentasi hasil mahasiswa akan memperoleh pengetahuan gabungan dari yang lain. Hasil ini sejalan dengan fakta bahwa pada langkah presentasi hasil, mahasiswa yang aktif pada umumnya dari kategori kelompok tinggi yang jumlahnya hanya 25 %, serta didukung dari data %N-gain penguasaan konsep antara kelompok tinggi dan rendah.

Didasarkan hasil pretes dan postes spektrometri, tidak ada seorang mahasiswapun dari kelas eksperimen yang penguasaan konsepnya mengalami penurunan, serta tidak ada pula yang tetap. Meskipun kenaikannya beragam, namun data yang diperoleh menunjukkan peningkatan yang cukup berhasil (kategori sedang). Melalui Gambar 4.4, dapat diketahui bahwa % N-gain tertinggi penguasaan konsep terjadi pada preparasi sampel dan terendah pada pengertian dan prinsip dasar spektrometri. Peningkatan tertinggi pada preparasi sampel, dimungkinkan terjadi karena melalui pembelajaran praktikum berbasis masalah para calon guru tidak sekedar dituntut untuk tertib mengikuti langkah-langkah yang ada dalam panduan yang bersifat verifikatif, namun mahasiswa dituntut merencanakan percobaan yang di dalamnya termasuk preparasi sampel. Sebaliknya untuk pengertian dan prinsip dasar spektrometri meskipun mahasiswa menuliskan sebagai kajian teoritis baik dalam proposal maupun laporan hasil penelitian; akan tetapi pada konsep ini mahasiswa kurang memperoleh pengalaman belajar secara langsung sehingga memory of event,

Page 103: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

suatu gambaran pengalaman yang memiliki efek jangka panjang kurang optimal (White dan Mitchel, 1994). Rendahnya % N-gain pengertian dan prinsip dasar spektrometri, diawali pada pada langkah penyusunan proposal di mana perhatian mahasiswa lebih terfokus pada penelusuran prosedur yang berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan.

Peningkatan %N-gain tiap konsep HPLC kelas eksperimen hampir merata untuk konsep-konsep dasar. Hasil ini sedikit berbeda jika dibandingkan dengan materi spektrometri, peningkatan yang terkait dengan pelaksanaan praktikum hasilnya hampir sama dibanding konsep-konsep dasar. Kondisi ini diduga karena hanya beberapa mahasiswa yang mempraktekkan dengan alat langsung, karena pada materi HPLC menggunakan virtual laboratorium. Sebagaimana dalam spektrometri, untuk pengertian dan prinsip dasar kromatografi hasilnya juga relatif lebih rendah dari konsep yang lain. Perolehan ini diduga karena mahasiswa lebih terfokus pada pengumpulan informasi yang berkaitan dengan prosedur penelitian.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan-temuan yang telah dilaporkan sebelumnya bahwa melalui PBL dapat meningkatkan penguasaan konsep (Duch et al., 2001; Akinoglu & Tandogan, 2007). Pada tahap mengorientasi pada masalah mahasiswa dalam kelompok diberi masalah open-ended; pemberian masalah ini akan membangkitkan keingintahuan mahasiswa dan memotivasinya untuk bisa memecahkan masalah sehingga penguasaan konsepnya juga akan meningkat (Fogarty,1997). Menurut Tan (2003), bukti-bukti menyarankan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan transfer konsep kepada situasi baru, integrasi konsep, minat belajar intrinsik, dan keterampilan belajar. Sementara itu, Mitchell (dalam Tan, 2003) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan penalaran dibandingkan dengan pendekatan pengajaran tradisional. Proses pengkonstruksian pengetahuan melalui interaksi sosial dengan teman lain merupakan hal yang potensial ntuk memperkaya perkembangan intelektual siwa (Ibrahim dan Nur, 2004). Gijselaers (1996), di lain pihak, mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori belajar konstruktivis, yaitu pebelajar mengkonstruksi pengetahuan secara aktif.

Page 104: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

(4) Penguasaan Konsep Mahasiswa pada Materi Spektrofotometri dan Elektrokimia

Rerata pretes, postes, dan % N-g penguasaan konsep

mahasiswa untuk materi spektrofotometri dan potensiometri keseluruhan konsep pada kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa data kedua kelompok berdistribusi normal, variansi % N-g antar kelompok (kontrol dan eksperimen) homogen. Hasil % N-g untuk kelompok kontrol dan eksperimen masing-masing 43,28 dengan kategori sedang, sementara kelompok eksperimen sebesar 63,41 juga dengan kategori sedang. Meskipun kategori kedua kelompok sedang, namun pencapaian hasil % N-g ini cukup berarti, dengan didukung hasil uji uji beda bahwa % N-g pembelajaran praktikum kimia analitik berbasis masalah untuk kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan perbedaan yang siginifikan (p<0,05). Rerata perolehan % N-gain kelompok eksperimen untuk tiap-tiap konsep spektrofotometri termasuk kategori sedang dan ada 2 konsep yang termasuk kategori tinggi, sedangkan untuk kelompok kontrol juga bervariasi termasuk kategori sedang dan rendah (Gambar 5.5).

Gambar 5.5 Rerata %N-gain Penguasaan Konsep Spektrofotometri dan

Elektrometri Kelompok Eksperimen untuk Sub Materi: 1. prinsip dasar spektrometri, 2. Penggolongan spektrometri, 3. komponen-komponen spektrometri, 4. hukum Lambert Beer, 5. preparasi sampel, 6. perbedaan spektrometri atom dan molekul, 7. pembuatan larutan standar, 8. perhitungan penentuan kadar, 9. Sel elektrokimia, 10. Potensial elektroda, 11. Persamaan Nernst, 12. Elektroda pembanding, 13. Elektroda indikator, 14. Aspek kuantitatif, 15. Titrasi potensiometri

0

20

40

60

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

N

i

l

a

i

No Konsep

Kontrol Eksperimen

Page 105: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Peningkatan penguasaan konsep materi spektrofotometri

kelompok eksperimen memiliki nilai yang lebih besar dibanding kelompok kontrol dengan N-gain masing-masing 63,41%, dan 43,28%. Peningkatan ini bervariasi untuk masing-masing konsep, namun demikian rerata keseluruhan termasuk kategori sedang untuk eksperimen demikian pula untuk kelas kontrol, dan keduanya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Didasarkan perbandingan hasil pretes dan postes tidak ada seorang mahasiswapun yang penguasaan konsepnya mengalami penurunan, tidak ada pula yang tetap. Meskipun kenaikannya beragam, namun data yang diperoleh menunjukkan peningkatan yang cukup berhasil (kategori sedang). Melalui Gambar 5.5, dapat diketahui bahwa % N-g tertinggi penguasaan konsep terjadi pada prisnsip dasar spektrofotometri dan terendah pada perbedaan spektrofotometri molekul dan atom. Untuk potensiometri tertinggi aspek kuantitatif/hukum Faraday, dan terendah titrasi potensiometri.

Perolehan peningkatan tertinggi untuk prisnsip dasar spektrofotometri disebabkan melalui pembelajaran berbasis masalah para calon guru tidak sekedar dituntut untuk tertib mengikuti langkah-langkah yang ada dalam panduan yang bersifat verifikatif namun mahasiswa dituntut merencanakan percobaan sampai dengan presentasi hasil . Konsep tentang prinsip dasar spektrofotometri meskipun mahasiswa menuliskan sebagai kajian teoritis baik dalam proposal maupun laporan hasil penelitian, sehingga pada konsep ini mahasiswa memperoleh pengalaman belajar secara langsung sehingga memory of event, suatu gambaran pengalaman yang memiliki efek jangka panjang lebih optimal (White, 1996). Rendahnya % N-gain pengertian dan perbedaan spektrofotometri molekul dan atom,diawali pada pada langkah penyusunan proposal di mana perhatian mahasiswa lebih terfokus pada penelusuran prosedur yang berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan.

Pencapaian konsep tertinggi pada coulometri adalah aspek kuantitatif/hukum Faraday. Konsep ini sudah banyak dipelajari mahasiswa mulai dari kimia dasar, dasar kimia analitik, dan pada kelompok bidang keahlian lain seperti kimia fisika. Sebaliknya, rendahnya konsep titrasi potensiometri diduga kuat karena mahasiswa kurang terampil dalam mengubah data ke dalam bentuk tabel untuk selanjutnya dibuat dalam bentuk gambar. Di

Page 106: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

samping itu, mahasiswa pada umumnya juga lemah dalam hal titrasi volumetrik yang merupakan prasyarat untuk materi ini.

Untuk kedua materi spektrofotometri dan elektrometri konsep yang berhubungan secara langsung dengan prosedur penelitian hasilnya relatif baik, hal ini sesuai hasil penelitian terdahulu (Haryani, 2010). Pencapaian spektrofotometri lebih tinggi dibanding elektrometri dimungkinkan analisis menggunakan metode spektrofotometri juga diperoleh melalui praktikum kimia organik, dan kimia anorganik.

Peningkatan tertinggi %N-gain untuk kelompok kontrol yang terkait langsung dengan pelaksanaan praktikum peningkatannya relatif rendah dibanding yang terkait dengan praktikum. Hal ini berbeda dengan hasil dari kelompok eksperimen. Peningkatan tertinggi %N-gain terjadi hukum Lambert-Beer, dan terendah terjadi pada konsep perhitungan penentuan kadar. Sementara itu, rendahnya konsep perhitungan kadar, dimungkinkan selama ini dalam menyusun laporan mahasiswa mencontoh kakak angkatan, di samping itu mahasiswa tidak dituntut untuk mempresentasikan hasilnya. Selain perhitungan penentuan kadar, %N-gain yang peningkatannya relatif rendah pada kelompok kontrol adalah pembuatan larutan standar. Pada setiap jenis praktikum mahasiswa secara berkelompok sering diberi tugas untuk mempersiapkan pereaksi jika akan praktikum, namun demikian selama ini untuk larutan standar pada spektrofotometri disiapkan oleh salah satu kelompok, dan kelompok lain hanya mengukur absorbansinya, sehingga tidak mengherankan kalau hasil peningkatannya kurang bagus. Pemberian tugas pada kelompok tertentu ini dimaksudkan di samping menghemat waktu juga menghemat larutan standar titrisol yang biasa digunakan.

Temuan-temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran praktikum kimia analisis instrumen berbasis masalah memberikan lingkungan yang baik dalam meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa untuk materi spektrofotometri UV-Vis, dan hasil penelitian ini sejalan dengan temuan-temuan yang telah dilaporkan sebelumnya (Duch et al., 2001; Akinoglu & Tandogan, 2007). Pada tahap mengorientasi pada masalah mahasiswa dalam kelompok diberi masalah open-ended yang akan membangkitkan keingintahuan mahasiswa dan memotivasinya untuk bisa memecahkan masalah (Fogarty (1997). Menurut Tan (2003), bukti-bukti menyarankan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan transfer

Page 107: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

konsep kepada situasi baru, integrasi konsep, minat belajar intrinsik, dan keterampilan belajar. Sementara itu, Mitchell (dalam Tan, 2003) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan penalaran dibandingkan dengan pendekatan pengajaran tradisional. Gijselaers (1996), di lain pihak, mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori belajar konstruktivis, yaitu pebelajar mengkonstruksi pengetahuan secara aktif.

(3) Metakognisi Mahasiswa pada Praktikum Spektrometri

dan HPLC

(1) Rerata Pretes Postes dan % N-Gain Keseluruhan Metakognisi pada Materi Spektrometri dan HPLC

Metakognisi diukur menggunakan tes bentuk uraian,

didukung kuesioner dengan indikator metakognisi dan wawancara tidak struktur untuk lebih mendalami metakognisi yang berkembang selama pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan. Penguasaan konsep juga diukur melalui tes bentuk uraian. Rerata pretes, postes, dan % N-gain metakognisi mahasiswa materi spektrometri untuk keseluruhan konsep pada kelompok kontrol dan eksperimen keduanya berdistribusi normal, dan variansi % N-gain antar kelompok tidak homogen. Hasil % N-gain untuk kelompok kontrol dan eksperimen masing-masing 19,11 % dengan kategori rendah, sementara kelas eksperimen sebesar 33,61 % dengan kategori sedang. Pencapaian hasil % N-gain ini cukup berarti, didukung dari hasil uji beda yang menunjukkan bahwa % N-gain pembelajaran praktkum kimia analitik berbasis masalah untuk kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan perbedaan yang siginifikan (p =0,00).

Rerata pretes, postes, dan % N-gain penguasaan konsep mahasiswa materi HPLC untuk keseluruhan konsep pada kelas kontrol dan eksperimen berdistribusi normal, variansi % N-gain antar kelompok tidak homogen. Hasil % N-gain untuk kelompok kontrol 14,55 % dengan kategori rendah, sementara kelas eksperimen sebesar 30,05 % dengan kategori sedang. Sebagaimana pada materi spektrometri, pencapaian hasil % N-gain untuk materi HPLC ini cukup berarti, didukung dari hasil uji beda yang menunjukkan bahwa % N-gain pembelajaran praktikum kimia analisis berbasis masalah untuk kelompok

Page 108: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

kontrol dan eksperimen menunjukkan perbedaan yang siginifikan (p =0,00). Dengan demikian pembelajaran praktikum berbasis masalah untuk materi spektrometri dan HPLC lebih baik meningkatkan penguasaan konsep dibanding pembelajaran biasa.

Gambar 5.6 Perbandingan Metakognisi Mahasiswa Secara Keseluruhan antara Kelas Kontrol dan Eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

(2) Rerata Pretes, Postes dan % N-Gain Metakognisi

untuk Kategori Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah pada Materi Spektrometri dan HPLC

Rerata % N-gain metakognisi pada kelas eksperimen untuk

materi spektrometri pada kelompok tinggi dan rendah adalah 40,63 % dan 30,46 %, keduanya berdistribusi normal, variansi % N-gain antar kelompok tidak homogen. Dari hasil uji beda, kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan.

Perolehan rerata % N-gain metakognisi kelompok tinggi dan rendah untuk untuk materi HPLC pada kelompok tinggi dan rendah berturut-turut 33,50 % dan 25,58 % dan 34,78 %. Kedua kelompok kategori tinggi dan rendah berdistribusi normal, dan variansi % N-gain antar kelompok tidak homogen Sebagaimana pada materi spetrometri dari hasil uji beda, metakognisi kelompok tinggi dan rendah juga menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan.

0

20

40

60

Spektro HPLC Spektro HPLC

Kontrol Eksperimen

pretes

postes

%N-g

Page 109: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Tabel 5.5 Perbandingan Metakognisi Mahasiswa untuk Setiap Indikator Metakognisi Kelas eksperimen pada Materi Spektrometri dan HPLC

Materi Indikator Rerata pretes

Rerata postes

gain

Spektro-metri

1 43,45 56,51 23,09 2 44,95 62,85 32,52 3 36,8 61,75 39,13 4 22,5 51,4 37,29 5 25,6 50,75 33,02 6 25 47,25 34,80 7 12,65 44,25 36,56

HPLC

8 44,37 57,21 23,48 9 34,4 52,16 27,47

10 39,77 59,56 33,26 11 23,79 46,56 30,40 12 27,93 49,51 30,40 13 25,95 50,31 33,30 14 5,48 35,43 32,09

Keterangan: % N-gain tiap indikator metakognisi pada materi

spektrofotometri untuk kelompok kontrol dan eksperimen, nomor indikator: 1. mengidentifikasi informasi, 2. mengelaborasi informasi, 3. mengaplikasikan pemahamannya, 4. memilih prosedur yang akan digunakan, 5. mengembangkan prosedur, 6. menginterpretasi data, 7. mengevaluasi prosedur; 8. mengidentifikasi informasi, 9. mengelaborasi informasi, 10. mengaplikasikan pemahamannya, 11. memilih prosedur yang akan, digunakan, 12. mengembangkan prosedur, 13. menginterpretasi data, 14. mengevaluasi prosedur

(3) Rerata Tiap-Tiap Indikator Metakognisi Materi

Spektrometri dan HPLC Kelas Eksperimen

Rerata pretes, postes, dan % N-gain metakognisi mahasiswa untuk setiap indikator pada materi spektrometri dan HPLC ditunjukkan pada Gambar 5.7 serta 5.8. Perolehan % N-gain kelas eksperimen untuk tiap-tiap indikator materi spektrometri semuanya termasuk kategori sedang kecuali indikator nomor 1 termasuk kategori rendah. Hasil yang sama juga terjadi pada metakognisi materi HPLC, perolehan % N-gain mahasiswa kelompok untuk indikator nomor 1 dan 2 termasuk kategori rendah, sedangkan lainnya nomor 3 sampai 7 termasuk kategori sedang.

Page 110: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Perolehan %N-gain tertinggi dan terendah materi spektrometri pada kelas eksperimen masing-masing terjadi pada indikator mengaplikasikan pemahamannya (indikator nomor 3) dan mengidentifikasi informasi (konsep nomor 1). Sementara itu perolehan %N-gain tertinggi pada materi HPLC masing-masing terjadi pada indikator menginterpretasi data, diikuti mengaplikasikan pemahamannya, dan mengidentifikasi informasi yang terendah. Gambar 5.7 % N-gain Tiap Indikator Metakognisi Materi Spektrometri

pada Kelas Eksperimen, Nomor Indikator: 1. mengidentifikasi informasi, 2. mengelaborasi informasi, 3. mengaplikasikan pemahamannya, 4. memilih prosedur, 5. mengembangkan prosedur, 6. menginterpretasi data, 7. mengevaluasi prosedur

Gambar 5.8 % N-gain Tiap Indikator Metakognisi Materi HPLC pada

Kelas Eksperimen, Nomor Indikator: 1. mengidentifikasi informasi, 2. mengelaborasi informasi, 3. mengaplikasikan pemahamannya, 4. memilih prosedur, 5. mengembangkan prosedur, 6. menginterpretasi data, 7. mengevaluasi prosedur

0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7

% N

-gai

n

No. indikator

0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7

% N

-gai

n

No. indikator

Page 111: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

(4) Perbandingan Rerata % N-Gain Metakognisi Kelas Eksperimen sesuai Instrumen Utama yang Digunakan pada Materi Spektrometri dan HPLC Rerata perolehan % N-gain metakognisi masing-masing

kelas eksperimen ditampilkan pada Tabel 5.6. Perolehan % N-gain metakognisi kelompok dengan penyelesaian tema masalah menggunakan instrumen utama UV-Vis, AFS, AAS lebih tinggi dibanding HPLC, dan sebaliknya kelompok dengan penyelesaian tema masalah menggunakan instrumen utama HPLC rerata % N-gain-nnya juga lebih tinggi untuk materi HPLC dibanding % N-gain materi spektrometri. Rerata % N-gain metakognisi kelompok dengan instrumen spektrometer semuanya tergolong kategori sedang, tidak demikian untuk kelompok dengan tugas utama HPLC rerata metakognisi materi spektrometrinya tergolong rendah.

Rerata perolehan %N-gain metakognisi mahasiswa dengan instrumen utama spektrometer sebesar 36,60 untuk materi spektrometri, sedangkan untuk materi HPLC sebesar 24,44. Hasil senada juga nampak dari Tabel 5.6 bahwa mahasiswa dengan instrumen utama HPLC, rerata perolehan % N-gain-nya 38,35 % lebih tinggi dari perolehan materi spektrometri dengan rerata 27,26 %. Tabel 5.6 Rerata % N-gain metakognisi Kelas eksperimen dengan

Instrumen Utama UV-Vis, AES, AAS, dan HPLC untuk Materi Spektrometri dan HPLC

Instrumen utama Rerata % N-gain penguasaan konsep materi

Spektrometri HPLC UV-Vis 38,28 27,55 AES 35,31 27,54 AAS 36,20 26,70 HPLC 24,44 38,35

(5) Hasil Kuesioner/Penilaian Diri Metakognisi

Mahasiswa Kuesioner metakognisi dalam penelitian ini dimaksudkan

untuk mendukung metakognisi dalam bentuk tes. Respon terhadap pernyataan-pernyataan kuesioner terdiri dari pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), tidak tahu atau tidak ada pendapat (TP), dan tidak setuju (TS), berturut-turut dengan skor Likert untuk masing-masing item adalah 4, 3, 2, dan 1. Selanjutnya

Page 112: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

masing-masing item dikalikan skor Likert, kemudian dijumlah, dan dihitung % N-gain untuk masing-masing subyek untuk selanjutnya dibuat reratanya. Skor total pre dan post untuk kelas eksperimen adalah 4433 dan 4403 dengan rerata % N-gain 6,42 %; sedangkan untuk kelas kontrol 4755 dan 4745 dengan % N-gain 0,19 %. Sementara itu % N-gain untuk kategori kelompok tinggi dan rendah masing-masing 12,55 % dan 1,37 %.

Capaian metakognisi materi spektrometri kelas eksperimen, mengalami peningkatan lebih tinggi dan berbeda secara signifikan dibandingkan kelas kontrol dengan rerata % N-gain masing-masing 33,61 % dan 19,11 %. Peningkatan metakognisi kelas eksperimen materi HPLC juga lebih tinggi dan berbeda secara signifikan dibanding kelas kontrol dengan rerata % N-gain masing-masing 30,05 % dan 14,55 %. Selanjutnya, metakognisi mahasiswa kelas eksperimen materi spektrometri kelompok tinggi mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding kelompok rendah dengan %N-gain berturut-turut 40,63 % dan 30,46 %, namun keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perolehan % N-gain metakognisi pada materi HPLC kelompok tinggi juga lebih tinggi dari kelompok rendah yaitu 33,50 % dan 25,58 %, serta kedua kelompok juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Sebagaimana dalam penguasaan konsep, temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran praktikum kimia analitik instrumen berbasis masalah juga memberikan lingkungan pembelajaran yang baik untuk mengembangkan metakognisi materi spektrometri dan HPLC, serta dapat digunakan untuk kategori kelompok tinggi dan rendah. Sebagaimana dalam penguasaan konsep, %N-gain metakognisi mahasiswa dengan instrumen utama spektrometri lebih tinggi dibanding HPLC. Demikian pula sebaliknya %N-gain metakognisi dengan instrumen utama HPLC juga lebih tinggi dibandingkan instrumen spektrometri (Tabel 5.6). Fakta ini diduga bahwa langkah presentasi hasil kurang memberikan kontribusi mengembangkan metakognisi secara merata dan optimal bagi setiap mahasiswa, meskipun secara keseluruhan peningkatannya termasuk kategori sedang. Pada langkah presentasi hasil, setiap mahasiswa di samping berinteraksi dengan teman dalam kelompok juga dengan teman kelompok lain, yang menurut teori belajar Vygotsy (Dahar, 1996) akan memperkaya perkembangan intelektual siswa.

Page 113: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Rerata % N-gain tertinggi indikator metakognisi pada materi spektrometri adalah mengaplikasikan pemahaman diikuti memilih prosedur, sedangkan yang terendah mengidentifikasi informasi (Gambar 5.7). Di samping memilih prosedur, mengevaluasi prosedur juga memiliki perolehan % N-gain relatif tinggi dibanding lainnya. Untuk materi HPLC , rerata % N-gain tertinggi adalah indikator menginterpretasi data, diikuti mengaplikasikan pemahamannya dan mengevaluasi prosedur, sedangkan yang terendah adalah mengidentifikasi informasi. Mengaplikasikan pemahamannya, memilih dan mengevaluasi prosedur akan terkembangkan selama proses pembelajaran praktikum berbasis masalah ini mulai penulisan proposal, pelaksanaan praktikum, sampai penulisan laporan.

Rerata % N-gain mahasiswa untuk metakognisi level 3 yaitu merefleksi prosedur secara evaluatif ternyata memiliki peningkatan yang paling tinggi dengan 35,68 % untuk spektrometri dan 32,70 % untuk HPLC. Sementara itu rerata % N-gain metakognisi level 1 yaitu menyadari proses berpikir dan mampu menggambarkannya memiliki peningkatan terendah yaitu 30,19 % untuk spektrometri dan 26,94 % untuk HPLC. Menginterpretasi data dan mengevaluasi prosedur termasuk dalam level metakognisi nomor 3, sedangkan mengaplikasikan pemahaman termasuk level 4 yaitu menstransfer pengalaman pengetahuan prosedural dalam konteks lain (McGregor, 2007). Pada saat pembuatan proposal mahasiswa akan mengaplikasikan pemahamannya tentang berbagai hal yang diperoleh dari berbagai informasi yang telah dikumpulkan seperti kajian teori, serta prosedur kerja laboratorium. Pada langkah ini indikator metakognisi memilih prosedur juga akan berkembang, sementara itu dalam kerja laboratorium, penulisan laporan, dan presentasi hasil mengevaluasi prosedur juga memiliki peluang besar untuk bisa berkembang. Selanjutnya, menginterpretasi data berkembang pada saat tahap penyelidikan kelompok serta tahap penulisan laporan. Berkembangnya metakognisi memilih dan mengevaluasi prosedur serta menginterpretasi data berakibat kemampuan mengaplikasikan pemahaman mahasiswa juga berkembang lebih baik.

Mengidentifikasi dan mengelaborasi informasi termasuk dalam level metakognisi nomor 1, yaitu menyadari proses berpikir dan mampu menggambarkannya (McGregor, 2007). Kedua indikator tersebut semestinya dapat dikembangkan secara optimal karena banyak langkah dalam pembelajaran praktikum

Page 114: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

berbasis masalah seperti pembuatan proposal, pembuatan laporan, dan presentasi hasil yang mampu mengembangkan kedua indikator metakognisi tersebut. Namun demikian, kecenderungan mahasiswa yang lebih terfokus pada pencarian informasi tentang prosedur dan termotivasi untuk bisa menyelesaikan masalah, menyebabkan level ketiga metakognisi yaitu merefleksi prosedur secara evaluatif lebih tinggi level metakognisi kesatu. Langkah dalam pembelajaran yang berhubungan dengan kegiatan laboratorium mulai membuat proposal sampai dengan penyelidikan kelompok ternyata berkembang lebih baik dibanding tahap lainnya yaitu mengorientasi pada masalah.

Pembelajaran praktikum kimia analitik instrumen berbasis masalah dengan simulasi laboratorium virtual untuk materi HPLC dan penelitian laboratorium untuk spektrometri memberikan lingkungan pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan metakognisi mahasiswa calon guru. Penggunaan simulasi virtual laboratorium ini sebagai solusi untuk menanggulangi ketiadaan perangkat laboratorium untuk HPLC. Melalui simulasi laboratorium virtual menurut Abdul Waheb (2008), mahasiswa dapat leluasa menggali pengetahuannya melalui penggantian berbagai parameter yang terdapat dalam praktek simulasi tersebut, sehingga dapat dianalisis tanpa harus menggunakan instrumen dan zat-zat kimia yang berbahaya dan mahal. Temuan tentang berkembangnya metakognisi melalui kegiatan praktikum sesuai hasil penelitian White dan Mitchel (1994), serta Livingston (1997).

Untuk mengetahui bahwa langkah dalam pembelajaran praktikum berbasis masalah mampu mengembangkan metakognisi sebagaimana ditunjukkan hasil penelitian ini, berikut diuraikan contoh kaitan antara langkah dalam pembelajaran praktikum berbasis masalah materi spektrometri dengan metakognisi yang berkembang. Data diambil melalui wawancara tidak terstruktur yang dimaksudkan untuk mengungkap apa yang dilakukan dan dipikirkan mahasiswa selama pembelajaran praktikum berbasis masalah. Kipnis dan Hofstein (2007) juga melakukan wawancara selama pembelajaran praktikum berbasis inkuiri untuk mengungkap metakognisi mahasiswa. Pada tahap 1 yaitu mengorientasi mahasiswa pada masalah, mahasiswa secara berkelompok diminta untuk menyelesaikan masalah dalam suatu kegiatan proyek penelitian laboratorium. Pada tahap ini mahasiswa diberi masalah penentuan kadar kalium, amonium,

Page 115: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

fosfat, timbal, kalsium, kadmium, dan indikator alami, yang semuanya dapat diukur secara spektrometri. Pertemuan berikutnya masuk tahap mengorganisasi mahasiswa untuk belajar, mahasiswa dalam kelompok diminta menyusun proposal untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Pada tahap ini mahasiswa menyadari bahwa tugas yang diberikan membutuhkan banyak referensi, untuk bisa mengidentifikasi dan mengelaborasi informasi yang dibutuhkan. Berikut contoh pernyataan dua mahasiswa dari kategori kelompok tinggi (A) dan bawah (B).

Mahasiswa A: Permasalahan yang harus kami selesaikan adalah bagaimana menentukan kadar kalium dalam sampel minuman, kami berdiskusi untuk menentukan metode pengukurannya, selanjutnya kami konsultasikan hasil diskusi kami pada dosen, dan diarahkan untuk menggunakan AES. Selanjutnya kami berdiskusi dan membagi tugas tentang permasalahan tersebut seperti mencari landasan teori tentang kalium, AES, dan terutama prosedur kerja untuk masing-masing mahasiswa. Setelah itu kami kumpulkan semua informasinya dari tiap-tiap anggota, berdiskusi, dan kami menentukan sampel pocary sweet Mahasiswa B: Setelah menerima masalah dari dosen pengampu, yang kami lakukan adalah mendiskusikan permasalah ini pada anggota kelompok yang ada, permasalahan yang di peroleh kelompok kami adalah menentukan kadar Pb2+ dengan AAS. Sampel diambil dari rambut polisi lalu lintas yang ada di Kali Banteng.

Pada tahap mengorganisasi mahasiswa untuk belajar ini,

mahasiswa ditanya tujuan penelitian yang akan dikerjakan. Pertanyaan selanjutnya adalah langkah apa yang harus dilakukan untuk bisa menulis rancangan/proposal penelitian.

Mahasiswa A: Sebelum membuat proposal kami menyusun landasan teori, tujuan, dan rumusan masalah untuk persoalan praktikum tersebut serta cara kerja yang kami peroleh. Untuk selanjutnya kami konsultasikan hal tersebut kepada dosen pengampu terutama untuk prosedur/cara kerja dan alat bahan yang digunakan.

Mahasiswa B: Kami mengumpulkan bahan-bahan dan informasi-informasi yang di butuhkan dalam melakukan

Page 116: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

pemecahan masalah tersebut. Kami mencari dari internet, perpustakaan yang berupa tugas-tugas akhir dan jurnal-jurnal penelitian tentang penentuan kadar logam berat berupa Pb2+.

Dibanding mahasiswa A, mahasiswa B tidak berusaha untuk menanyakan metode penelitian utamanya prosedur, hanya mengalir mengikuti kelompoknya, ketika ditanya baru menjawab.

Tahap membimbing penyelidikan kelompok diawali pengambilan sampel, preparasi sampel, pengukuran, pencatatan data pengamatan, dan terakhir analisis data. Selagi mahasiswa dalam kelompok memulai preparasi sampel, dosen memberikan pertanyaan: bagaimana cara pengambilan sampel? Dan apa yang saudara lakukan setelah sampel diambil? Berikut petikan pernyataan mahasiswa.

Mahasiswa A: Setelah semua prosedur termasuk alat dan bahan sudah disempurnakan kami menyusun proposal. Setelah proposal kami konsultasikan, kelompok kami mencari produk minuman yang di labelnya mengandung kalium, akhirnya kami pilih pocary swet. Selanjutnya kami membuat larutan standar kalium, rencananya kami membuat larutan standar dengan konsentrasi yang sesuai yang ada di botol sebagai KNO3. Pada saat pengukuran saya baru mengerti cara keja AAS dan AES, dan ternyata sampel yang akan diukur terkadang harus diencerkan dulu agar sesuai dengan larutan standar (mengembangkan prosedur). Mahasiswa B: Pertama memilih tempat kerja polisi yang lalu lintasnya relatif ramai, selanjutnya melakukan preparasi sampel, dan pembuatan larutan standar untuk digunakan mengukur secara UV-Vis. Larutan standar Pb disiapkan dan sampel rambut polisi juga hasilnya dikonsultasikan ke dosen. Ternyata pembuatan larutan standar pereaksinya sama dengan pereaksi untuk sampel.

Selanjutnya masih dalam tahap penyelidikan kelompok,

dosen memberikan pertanyaan tentang data pengamatan. Pada saat mahasiswa memperlihatkan data pengamatan, dosen menanyakan: bagaimana komentar anda tentang linearitas absorbansi larutan standar yang dihasilkan?, dan bagaimana hubungannya dengan data absorbansi sampel?

Mahasiswa A: Saya belum tahu linear atau tidak karena belum dicari kurva kalibrasinya, jika linear (harga r-nya lebih besar

Page 117: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

0,9) maka dapat digunakan utuk menentukan kadar KNO3

dalam sampel minuman. Saya bertanya mengapa harus linear? Setelah dosen mengajak kami melihat dengan teliti data absorbansi sampel dibandingkan absorbansi larutan standar saya mengetahui bagaimana hubungan antara kurva kalibrasi dan absorbansi sampel. Saya menyadari bahwa larutan standar yang kami buat kurang baik, kami minta izin untuk mengulang membuat larutan standar lagi. Sekarang saya bisa memprediksi kelinieran, dan mengetahui sebab ketidaklinearan. Mahasiswa B: Saya belum mengetahui mengapa kurva kalibrasinya harus linear, juga belum mengetahui hubungan absorbansi sampel dengan standar.

Didasarkan beberapa contoh pernyataan mahasiswa A yang

mewakili kelompok tinggi dan mahasiswa B untuk kelompok rendah, dapat dinyatakan secara deskriptif bahwa mulai tahap penyelidikan kelompok mahasiswa A lebih aktif dan berusaha memimpin kelompoknya. Fakta ini didukung peningkatan % N-gain metakognisi kelompok tinggi, ternyata lebih tinggi dari kelompok rendah meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil ini sesuai pendapat Livingston (1997) serta Rickey dan Stacey (2000) bahwa metakognisi mahasiswa bisa membedakan ahli dengan bukan ahli, dalam hal ini kelompok tinggi dipandang lebih ahli dibanding kelompok rendah.

Peningkatan metakognisi melalui kegiatan laboratorium berbasis masalah hasil penelitian ini, sesuai hasil penelitian Cooper dan Santiago (2009) yang menyatakan bahwa pemberian masalah melalui penelitian ilmiah yang diselesesaikan di laboratorium kimia, ternyata akan meningkatkan metakognisi dan meningkatkan pemecahan masalah mahasiswa. Selanjutnya Kipnis dan Hofstein (2007 menyimpulkan bahwa selama berada di laboratorium mahasiswa melatih metakognisi dalam berbagai tahap proses pembelajaran praktikum berbasis inkuiri. Senada dengan Kipnis dan Hofstein, Baind dan White (Kipnis, 2007) juga menyatakan, “jika dilakukan dengan penuh pemikiran, kegiatan laboratorium dapat meningkatkan metakognisi yang diinginkan; orang akan tahu tentang strategi belajar efektif dan ketentuannya, serta akan menyadari dan memahami kemajuan tugas pembelajaran yang tepat. White dan Mitchel (1994) juga menegaskan bahwa mahasiswa yang mempunyai tingkah laku pembelajaran yang baik adalah yang mengembangkan

Page 118: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

keterampilan metakognitif tertentu. Sebagian dari tingkah laku itu adalah tindakan yang membutuhkan bagian yang menyatu dari kegiatan laboratorium. Siswa menyadari bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan intelektual mereka sendiri dan menemukan banyak informasi oleh tangan mereka sendiri. Kesadaran untuk bisa mengatur, mengontrol, dan memeriksa dalam suatu tugas tertentu, merupakan proses dalam metakognisi.

Peningkatan metakognisi hasil penelitian ini diikuti peningkatan penguasaan konsep atau sebalikya, peningkatan penguasaan konsep juga diikuti dengan peningkatan metakognisi dan keduanya memiliki korelasi yang positif. Menurut Tan (2004), dalam proses belajar berbasis masalah, rancangan penyelesaian masalah dan tahapannya membantu peserta didik mengembangkan rangkaian hubungan kognitif. Dengan mengumpulkan data dan informasi lebih banyak untuk menyelesaikan masalah, peserta didik perlu menerapkan kemampuan berpikir analitis, seperti membandingkan, dan mengklasifikasikan. Peserta didik akan menentukan strategi belajarnya serta membandingkan dan membagi dengan teman lain dalam usahanya untuk memecahkan masalah. Kesadaran atas pemikiran sendiri untuk mengarahkan, membandingkan, dan membagi strategi belajarnya menunjukkan bahwa peserta didik terlibat dalam belajar bagaimana belajar, yang menurut Ken Bain (dalam Tan, 2004) akan mempromosikan metakognisinya.

Costa (1985) berpendapat bahwa dengan mengenali masalah yang diberikan, mahasiswa akan memfokuskan perhatian terhadap apa yang diperlukan dan menentukan informasi untuk menyelesaikan masalah itu. Sementara itu dalam pembelajaran berbasis masalah, masalah menjadi titik tolak untuk membangun konsep. Tan (2004) menyatakan bahwa dalam PBL mensyaratkan pengetahuan yang banyak, usaha, kegigihan dan pengaturan mandiri peserta didik, serta perlu memikirkan rencana, mengumpulkan informasi, mengevaluasi penemuan, dan merevisi hasil-hasilnya. Proses dalam pengaturan diri, mengevaluasi dan merevisi hasil pemecahan masalah termasuk dalam aktivitas metakognisi. Namun demikian agar aktivitas metakognisi tersebut dapat dikembangkan para pendidik perlu membantu peserta didik dalam membentuk ‘kesempatan’untuk belajar, mengarahkan pemikiran peserta didik dan membantu membentuk pemahaman baru. Untuk mengarahkan pemikiran peserta didik dan mengetahui metakognisi yang berkembang

Page 119: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

dapat dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur sebagaimana pernah dilakukan Kipnis dan Hofstein (2007).

Hasil tes metakognisi tersebut didukung hasil kuesioner untuk kelas eksperimen di mana rerata skor total kelas eksperimen menunjukkan peningkatan lebih tinggi dibanding kelas kontrol dengan % N-gain 6,42 % dan 0,19 %. Meskipun hasil peningkatan untuk kelas eksperimen termasuk kategori rendah, namun peningkatannya cukup berarti jika dibanding kelomok kontrol. Persen N-gain untuk kategori kelompok tinggi pada kelas eksperimen ternyata lebih baik dibanding kelompok rendah dengan % N-gain 12,55 % dan 1,37 %. Temuan ini sesuai pendapat Livingston (1997) bahwa metakognisi mahasiswa bisa membedakan ahli dengan bukan ahli, dalam hal ini kelompok tinggi dipandang lebih ahli di banding kelompok rendah. Pengukuran metakognisi menggunakan kuesioner atau hasil penilaian diri pernah dilakukan Zimmerman dan Printich (dalam Shraw et al., 2006) serta Cooper et al., (2008).

(4) Penilaian Kinerja Praktikum Kimia Analitik Instrumen

berbasis Masalah Penilaian hasil belajar praktikum di samping penguasaan

konsep juga penilaian selama proses pembelajaran praktikum berbasis masalah dalam hal ini observasi kinerja, lembar penilaian presentasi, dan rubrik untuk laporan praktikum. Asesmen proses pembelajaran (asesmen bervariasi) ini telah melalui validasi ahli, dan diskusi dengan dosen pengampu mata kuliah Kimia Analitik.

Tabel 5.7 Prosedur Asesmen Proses Pembelajaran Praktikum

Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah (observer: dosen pengampu termasuk peneliti, asisten mahasiswa)

No Aspek Yang Dinilai Alat Waktu Nilai

Maksimum

1 Asesmen kinerja selama kegiatan laboratorium: (1) persiapan praktikum, (2) pembuatan pereaksi dan larutan standar, (3) pelaksanaan praktikum,

Lembar observasi

Pada awal sampai akhir kegiatan laboratorium

100

Page 120: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

No Aspek Yang Dinilai Alat Waktu Nilai

Maksimum

(4) aspek afektif, dan (5) kegiatan akhir praktikum

2 Laporan pemecahan masalah: (1) sistematika laporan, (2) perumusan masalah, (3) perumusan tujuan, (4) alat dan bahan, (5) kajian teori sesuai materi, ringkas, dan jelas, (6) penulisan tahapan kerja (7) pe-nyusunan data pengamatan secara

Rubrik Pada akhir penyelesaian masalah

90

sistematis dan komunikatif, (8) analisis data secara tepat, (9) pem-bahasan hasil praktikum, meng-kaitkan temuan dengan kajian teori, dan (10) menyimpulkan berdasarkan pembahasan, tujuan dan perumusan masalah (11) merujuk serta menuliskan daftar pustaka minimal 2 buah

3 Penilaian hasil presentasi: (1) penampilan materi yang akan ditampilkan (power point), penguasaan materi, (3) kemam-puan menjelaskan, (4) kemam-puan berargumentasi/menjawab pertanyaan, (5) ak-tivitas, (6) menghormati pendapat teman

Lembar observasi

Selama presentasi

90

Asesmen bervariasi pada mahasiswa dilakukan dengan

teknik dan posedur sebagaimana tercantum pada Tabel 5.7 dan

Page 121: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

rerata nilai dicantumkan pada Tabel 5.8, sedangkan hasil secara keseluruhan dicantumkan dalam lampiran 4. Kinerja mahasiswa untuk kelompok kontrol selama proses pembelajaran dan laporan praktikum diases sama dengan kelas eksperimen, dengan sedikit perbedaan untuk laporan. Penilaian praktikum yang dilakukan selama ini tidak melibatkan observasi kinerja yang dinilai meliputi pretes, postes, laporan sementara, dan laporan akhir praktikum.

Tabel 5.8 Rerata Asesmen Proses Pembelajaran Praktikum

No Aspek Kinerja Rerata Nilai

Kontrol Eksperimen 1 Observasi kinerja*) 81,75 81,94 2 Laporan akhir**) 81,15 83,78 3 Presentasi hasil pemecahan

masalah***) 80,03 82,17

*) Nilai maksimum 100; **)Laporan hasil pemecahan masalah, untuk kelas eksperimen; dan ***) laporan sementara untuk kelas kontrol

Rerata nilai laporan penyelesaian masalah lebih tinggi dari

lainnya hal ini dimungkinkan karena laporan terlebih dahulu dikonsultasikan dan dikerjakan secara berkelompok. Instrumen asesmen kinerja ini sebelum digunakan telah disosialisasikan kepada mahasiswa. Ketika mahasiswa mengetahui kriteria penilaian, mereka akan berfikir tentang latihan-latihan yang kreatif dan turut terlibat dan akan mendefinisikan kriteria performance yang sangat bernilai bagi mereka (Stiggins, 1994), sehingga akan mengurangi penyimpangan perilaku dari sasaran penilaian atau meningkatkan validitas instrumen. Asesmen kinerja yang diterapkan diharapkan sesuai anjuran National Science Teachers Association (1998) yang menyatakan bahwa LPTK sebaiknya dapat menjadi model bagi para calon guru sains tentang bagaimana asesmen kinerja dilakukan.

Aspek kinerja dan laporan praktikum mahasiswa untuk kelas kontrol selama proses pembelajaran dalam penelitian ini diases sama dengan kelas eksperimen, dengan sedikit perbedaan untuk format laporan. Dari ketiga nilai proses pembelajaran, nilai kinerja untuk kelas kontrol dan eksperimen hampir sama, hal ini teramati selama kegiatan laboratorium terutama keterampilan menggunakan peralatan. Selama kegiatan laboratorium, terutama pada awal praktikum teridentifikasi sebagian besar mahasiswa masih mengalami kesalahan dalam: memilih dan menggunakan alat ukur volume, menggunakan wadah zat untuk ditimbang,

Page 122: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

melarutkan zat, dan membaca miniskus. Di samping itu mahasiswa juga sering lupa memberikan label, serta aspek kuantitatif yang berhubungan dengan pengukuran kurang mendapat perhatian.

Hasil pengamatan terhadap keterampilan dasar melakukan praktikum menunjukkan bahwa pada awal praktikum sebagian besar mahasiswa banyak mengalami kesalahan, terutama dalam menggunakan alat ukur, meskipun mata kuliah praktikum ini telah melalui praktikum Kimia Dasar, praktikum Dasar Kimia Analitik, dan praktikum Dasar-dasar pemisahan analitik. Keadaan ini disebabkan penilaian yang dilakukan baru dalam aspek kognitif yakni meliputi: data tes awal dilakukan secara tertulis maupun lisan berisi penguasaan konsep dan prosedur kerja, hasil data pengamatan praktikum, dan laporan praktikum. Penilaian kinerja selama proses pembalajaran belum bisa dilaksanakan, serta belum tersedia perangkat instrumennya. Bimbingan dan evaluasi langkah-langkah dalam prosedur selama proses pembelajaran belum dapat dilaksanakan dengan baik, karena dosen terfokus pada menilai laporan praktikum yang harus segera dikembalikan (Haryani, 2008).

(5) Penilaian Pemecahan Masalah Mahasiswa

Data pemecahan masalah mahasiswa kelompok

eksperimen diperoleh dari laporan/hasil karya pemecahan masalah, presentasi pemecahan masalah, dan produk kit hasil pemecahan masalah yang diambil dari hasil penelitian Haryani, dkk (2012). Berdasarkan hasil yang diperoleh nampak bahwa skor total pemecahan masalah mencapai kriteria sangat tinggi yakni masing-masing aspek lebih besar dari 85 %. Indikator keberhasilan minimum dalam penelitian ini adalah sebesar 80%. Indikator-indikator untuk laporan hasil pemecahan masalah mengacu pada pola pemecahan masalah yang dikembangkan Fogarty (1997). Keterampilan pemecahan masalah secara keseluruhan diukur melalui penilaian unjuk kerja (performance assessment) menggunakan rubrik. Rerata nilai tiap kelompok ditunjukkan pada Tabel 5.9.

Page 123: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Tabel 5.9 Rekapitulasi Nilai Pemecahan Masalah Belajar Kelompok Eksperimen

No Kelompok Laporan Presentasi Produk Rerata

Kelompok I 86,5 87,71 87,71 87,31 Kelompok II 85,33 86,72 86,72 86,26 Kelompok III 85,17 86,14 86,14 85,82 Kelompok IV 85 85,86 85,86 85,57 Kelompok V 84 84,67 84,67 84,45 Kelompok VI 84,23 85,65 85,65 85,17 Kelompok VII 84,25 85,81 85,80 85,28 Kelompok VII 85,5 86,40 86,40 86,10 Rata-rata 85 86,12 86,11 85,75

Untuk dapat memecahkan masalah-masalah tidak

terstruktur, kontekstual, dan open-ended pada PBL, mahasiswa harus menggali dan memahami banyak informasi serta mahasiswa merancang dan melakukan penelitan dalam rangka pemecahan masalah. Mahasiswa semestinya menjadi “arsitek” bagi pembelajaran yang dilakukannya. Akan tetapi, mahasiswa terbiasa dengan pembelajaran “mendengarkan dan mencatat serta melakukan tindakan apabila ada perintah dari dosen”, seperti yang sering mereka ikuti pada kelas-kelas yang lebih rendah, misalnya ketika mereka belajar di SMA. Dengan implementasi PPKAI berbasis masalah beserta alat ukur pemecahan masalah ini, mahasiswa memperoleh pemodelan pembelajaran praktikum secara langsung yang sangat berguna untuk diterapkan nanti sebagaimana pendapat McDermot (1990).

Hasil pengamatan oleh observer (anggota peneliti) terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh dosen (ketua peneliti) menunjukkan bahwa relevansi masalah yang disajikan dengan kompetensi yang dituntut dalam perkuliahan, sistematika sajian materi perkuliahan, ketepatan pemanfaatan waktu perkuliahan, dan kerjasama mahasiswa sudah berlangsung dengan baik. Sedangkan, dorongan pada mahasiswa untuk berdiskusi, bertanya, berkomunikasi, berargumentasi, layanan dosen terhadap pemecahan masalah oleh mahasiswa, mengarahkan jalannya diskusi, motivasi belajar, dan tanggung jawab belajar mahasiswa masih perlu ditingkatkan.

Penggunaan masalah-masalah tidak terstruktur, kontekstual, dan open-ended ternyata dapat meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam pemecahan masalah. Masalah-masalah ini dapat memacu mahasiswa untuk terlibat secara aktif

Page 124: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

dalam diskusi kelompok untuk mencari dan menentukan pemecahan masalah yang terbaik bagi kelompoknya. Pembelajaran ini mengkondisikan mahasiswa menggunakan beberapa intelegensinya (Gardner, 1983) untuk menentukan isu-isu nyata dengan diawali mendefinisikan masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, menyatakan kembali masalah, menghasilkan alternatif, menyarankan solusi, dan menentukan rekomendasi (Fogarty, 1997). Di samping itu, masalah-masalah ini juga dapat melatih mahasiswa memecahkan masalah-masalah kontekstual sehingga mahasiswa mempunyai pengalaman dalam memecahkan masalah yang dijumpai dalam kehidupan nyata mahasiswa. Temuan ini sejalan dengan temuan sebelumnya (Duch, 1996; Masek dan Yamin, 2012; Bilgin et al; 2009).

Page 125: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

(6) Contoh Laporan Hasil Pemecahan Masalah Mahasiswa

A. JUDUL

Pemanfaatan Baterai Bekas Sebagai Konduktansi Sederhana

B. LATAR BELAKANG Kegiatan produksi selain menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi juga menghasilkan limbah, berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah-limbah tersebut akan menyebabkan pencemaran lingkungan meliputi pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran tanah. Pencemaran tanah dapat terjadi akibat penggunaan pupuk secara berlebihan, penggunaan pestisida dan pembuangan limbah yang tidak dapat terurai. Saat ini banyak dijumpai limbah yang tidak dapat diurai seperti plastik, karet, kaleng, dan botol, karena manusia cenderung menginginkan kemudahan dan keindahan dalam hidupnya. Batu batreai adalah salah satu produk hasil industry yang limbahnya tidak dapat diurai oleh lingkungan, karena itu banyak orang yang melakukan penelitian ataupun percobaan untuk mencoba mencari manfaat dari limbah baterai ini, dalam makalah ini akan diangkat salah satu pemanfaatan limbah baterai yaitu pasta karbon sebagai elektroda konduktansi dalam konduktansi sederhana.

C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas muncul beberapa permasalahan, diantaranya :

1. Bagaimana cara memanfaatkan pasta karbon dari baterai kering sebagai elektroda konduktansi dalam konduktansi sederhana?

2. Apakah elektroda konduktansi yang dirancang dari pasta karbon baterai bekas cukup efektif untuk digunakan sebagai elektroda konduktansi dalam pengukuran secara konduktometri?

D. TUJUAN Tujuan yang hendak dicapai adalah :

1. Menjelaskan cara pembuatan elektroda konduktansi dari pasta karbon baterai kering.

Page 126: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

2. Menguji keefektifan elektroda konduktansi dari pasta karbon baterai kering dalam pengukuran secara konduktometri.

E. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan pasta karbon dalam baterai kering untuk elektroda sederhana dalam pengukuran secara konduktometri.

F. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian

Metode konduktometri merupakan suatu metode yang berkaitan dengan sifat-sifat listrik suatu larutan yang tidak tergantung pada reaksi elektrodanya. Menurut hukum ohm yang menyatakan dengan persamaan :

…………….(1)

dimana, i = arus listrik yang mengalir melalui konduktor (A)

E = tegangan listrik (volt) R = tahanan konduktor ( )

Hantaran elektrolit merupakan besaran yang

tergantung pada temperatur, maka pengukuran harus dilakukan pada temperatur yang tetap. Biasanya semua pengukuran dibuat pada 25°C sehingga tergantung pada konsentrasi total, konsentrasi ionik suatu larutan dan akan bertambah besar dengan adanya pengenceran.

Dalam pengukuran konduktivitas, sebelumnya harus mengukur resistansi (resistansi spesifik) dari larutan itu yang dapat dilakukan dengan cara memasukkan larutan ke dalam sebuah sel berbentuk kubus dengan sisi ion yang dua dari bintangnya paralel terbuat dari zat penghantar (konduktor platinum). Hukum ohm menyatakan bahwa :

…………….(2)

dimana, R= tahanan ( ) ρ = tahanan spesifik ( m) L = panjang (m) A = luas penampang (m2)

Page 127: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Kebalikan dari resistansi spesifik dinamakan konduktansi spesifik (K) menjadi :

………….(3)

dimana, K = konduktansi spesifik (ohm-1m-1)

B. Konduktivitas Larutan Elektrolit Larutan elektrolit merupakan larutan yang dapat

menghantarkan listrik, misalnya larutan NaCl. Ketika zat larut dalam air, ion-ion yang tadinya terikat kuat dalam zat padat akan terlepas (terdisosiasi) sehingga terbentuk ion-ion bebas yang menyebabkan larutan menjadi konduktor listrik). Konduktivitas larutan elektrolit bergantung pada 3 faktor, yaitu : 1. Jumlah muatan pada ion yang ada

Ion dengan dua muatan, misalnya A-2 akan dapat menghantarkan dua kali muatan listrik dibandingkan dengan ion A-1.

2. Mobilitas ion Mobilitas ion yaitu kecepatan ion pada beda potensial antara kedua elektroda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan ion : a. Berat dan muatan ion, semakin ringan ion tiap

satuan muatan maka semakin cepat ion bergerak. b. Adanya hidrasi, semakin banyak molekul air yang

mengerumuni ion maka semakin lambat gerakan ion.

c. Orientasi atmosfer pelarut disekitar ion. d. Gaya tarik antara ion, semakin besar gaya tarik

maka semakin lambat gerakan ion. e. Temperatur, semakin tinggi temperatur maka

semakin cepat gerakan ion. f. Viskositas, semakin besar viskositas maka semakin

lambat gerakan ion. 3. Konsentrasi ion

Besarnya konduktansi larutan elektrolit juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion. Pengenceran larutan elektrolit akan menyebabkan konduktansi spesifiknya menurun karena dengan pengenceran akan menurunkan konsentrasi ion.

Page 128: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Konduktivitas larutan elektrolit dengan konsentrasi tertentu dapat ditentukan dengan :

…………….(4)

dimana, Λ = konduktivitas ekuivalen K = konduktansi spesifik

C = konsentrasi ekuivalen larutan Pengenceran larutan elektrolit kuat maupun lemah

akan memperbesar konduktivitas dan mencapai harga maksimal pada pengenceran tidak terhingga. Pada pengenceran tidak terhingga, konduktivitas larutan elektrolit hanya tergantung pada jenis ionnya yang masing-masing ion mempunyai daya hantar ekuivalen (konduktivitas). Kohlrausch’s law menyatakan bahwa konduktivitas larutan elektrolit berbanding langsung dengan jumlah kontribusi ion-ion yang ada dalam larutan, dengan persamaan :

………….(5)

dimana λ° = konduktansi ekuivalen untuk masing-masing ion pada pengenceran tidak terhingga.Misalnya untuk larutan elektrolit dengan satu ion negatif dan ion positif maka ekuivalen konduktansi dari larutan tersebut dalam keadaan sangat encer, yaitu : Λ° = λ°+ + λ°- ..............(6)

Harga λ° untuk masing-masing ion tidak dapat diukur secara langsung dalam larutan, maka dapat diperoleh dengan perhitungan.

C. Pengukuran konduktansi Pengaruh polarisasi akibat penghantaran yang

mengakibatkan perubahan konsentrasi dapat diketahui dengan cara sebagian sumber tegangan digunakan arus AC dengan frekuensi 500-1000 Hz. Namun, jika konduktometer dengan arus AC tidak tersedia maka pengukuran dengan arus DC dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal :

Page 129: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

a. Tegangan dibuat serendah mungkin b. Sebelum polarisasi cukup signifikan maka pengukuran

harus dilakukan dengan cepat c. Tegangan dijaga supaya tetap stabil

Pengukuran cara ini dapat dilakukan dengan multitester yang mempunyai ketelitian tinggi. Daya hantar ekuivalen dan konduktansi ekuivalen : satu mol ion akan mengandung jumlah ion yang sama dengan satu mol ion lain.

D. Titrasi Konduktometri

Metode konduktansi dapat digunakan untuk megikuti reaksi titrasi jika terjadi perbedaan konduktansi cukup besar antara sebelum dan setelah penambahan reagen. Tetapan sel harus diketahui sehingga selama pengukuran yang beturut-turut, jarak elektroda harus tetap. Hantaran sebanding dengan konsentrasi larutan pada temperatur tetap, tetapi pengenceran akan menyebabkan hantaran tidak berfungsi secara linear lagi dengan konsentrasi.

Titrasi asam lemah dengan basa lemah dapat dilaksanakan secara konduktometri secara mudah. Pada titik ekuivalen hantaran turun pada tingkat yang paling rendah. Metode konduktometri kurang bermanfaat untuk larutan dengan konsentrasi ionik yang terlalu tinggi.

Prinsipnya, karbon yang dapat digunakan sebagai elektrode adalah karbon yangmemiliki struktur grafit dimana didalam struktur ini atom-atom karbon membentuk orbital hibridasasi sp2 yang menghubungkan satu atom karbon dengan atom karbon lainnya. Struktur ini memungkinkan terjadinya pergerakaan elektron sehingga dapat menghantarkan arus listrik.

Elektrode ini memiliki keunggulan oleh karena sifatnya yang inert sehingga tidak mudah teroksidasi ataupun tereduksi. Atas dasar sifat inert dari karbon, di dalam penelitian ini bahan karbon digunakan untuk pembuatan elektrode konduktansi dalam metode analisis konduktimetri. Pada dasarnya, konduktimetri merupakan pengukuran kemampuan larutan untuk menghantarkan listrik.

Berbeda dengan kebanyakan metode elektroanalisis yang biasa digunakan, konduktimetri masuk dalam

Page 130: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

kategori tehnik elektroanalisis unik. Tehnik ini pada prinsipnya melibatkan pengukuran sifat fisik tertentu dari larutan, dalam hal ini adalah sifat konduktivitasnya.

G. METODE PENELITIAN

Variabel penelitian 1. Variabel bebas : konsentrasi dari larutan 2. Variabel terikat : konduktansi larutan 3. Variabel kontrol : pasta karbon

Alat dan Bahan Bahan Alat 1. karbon dari baterai

bekas 2. karet dari sandal bekas 3. pipa PVC, dan

potongan kabel untuk pembuatan elekrode

4. NaCl, asam asetat, etanol dan HCl dengan berbagai konsentrasi.

1. avometer sebagai pengukur arus

2. adaptor sebagai pensuplai arus 3. peralatan gelas (beaker gelas,

labu ukur, pipet volum.

Cara Kerja 1. Pembuatan elektrode

a) Siapkan 2 buah batang karbon dari baterai bekas. b) Pasangkan kedua electrode pada karet yang telah

dipotong berbentuk lingkaran sesuai dengan diameter dari pipa PVC.

c) Kemas elektrode yang telah terpasang pada karet dengan menggunakan pipa PVC.

d) Salah satunya ujung elektrode dihubungkan dengan sumber listrik AC (adaptor), sedangkan yang lain dihubungkan dengan dengan salah satu dari ujung alat pengukur arus. Ujung yang lain dari alat pengukur arus dihubungkan dengan sumber listrik.

2. Penentuan Konduktansi Larutan Sampel a) siapkan larutan etanol, NaCl, HCl, dan asam cuka

masing-masing 0,1 M. b) Ukur konduktansinya dengan menggunakan

elektroda konduktansi yang sudah dibuat. 3. Pengukuran konsentrasi terhadap konduktansi larutan

a) Siapkan larutan HCl dengan konsentrasi 0.5, 0.1, 0.05, 0.01, 0.005 M.

b) Ukur konduktansinya dengan menggunakan elektroda konduktansi yang sudah dibuat.

Page 131: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

4. Titrasi konduktometri a) Siapkan 40 ml HCl 0,1 M pada erlenmeyer 100 mL. b) Titrasi dengan larutan NaOH 0,5 M, diaduk

perlahan. c) Ukur konduktansi larutan pada setiap penambahan

1 mL larutan NaOH 0,5 M, dengan elektroda konduktansi yang sudah dibuat.

H. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembuatan Elektroda

Gambar 1. Diagram susunan alat untuk pengukuran konduktometri

2. Penentuan Konduktansi Larutan Sampel

Larutan Arus ( mA ) 0,1 M C2H2OH 0 0,1 M NaCl 12,5 0,1 M HCl 75 0,1 M CH3COOH 5

Didalam sampel 0.1 M C2H5OH (etanol), tidak

terdapat arus yang terekam. Dengan kata lain, pembacaan pada AVO meter menunjukkan besarnya arus adalah 0.0 A. Berdasarkan hasil percobaan ini, dapat dinyatakan bahwa etanol bukan merupakan larutan yang menghantarkan listrik. Walaupun secara struktural molekul etanol mempunyai bagian yang sedikit polar dan mampu terdisosiasi pada pelarut air, namun disosiasi yang terjadi

Page 132: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

teramat kecil sehingga tidak dapat memberikan kontribusi arus pada kondisi percobaan ini (sistem AC pada 12 volt).

Pengukuran pada 0.1 M CH3COOH (asam asetat) memberikan arus sebesar 5 mA. Dibandingkan dengan besarnya arus yang dihasilkan oleh 0,1M HCl (75 mA), hasil yang teramati pada asam asetat jauh lebih kecil. Hal ini mengisyaratkan bahwa asam asetat terionisasi sebagian dalam larutan air. Sedangkan HCl terionisassi secara sempurna dalam air. Molekul asam asetat yang tidak terionisasi akan memberikan hambatan pada mobilitas ion H+ dan CH3COO- sehingga arus yang terbaca cukup rendah.

Pada percobaan selanjutnya, diperoleh pembacaan arus untuk 0,1 M NaCl sebesar 12,5 mA. Hasil ini sesuai dengan teori, dimana besarnya arus lebih rendah dari pada HCl pada konsentrasi larutan yang sama. Hal ini berdasarkan atas perbandingan ukuran ion antara ion hidrogen dengan ion natrium, dimana ion hidrogen jauh lebih kecil sehingga mobilitasnya lebih tinggi dari pada ion natrium. Akibatnya arus yang dihasilkan oleh larutan HCl lebih tinggi daripada larutan NaCl. Dengan mempertimbangkan hasil percobaan ini, maka secara umum hasil optimasi elektrode karbon dengan menggunakan larutan-larutan tersebut sudah cukup baik dan dapat dijadikan pedoman untuk pemanfaatan elektrode ini dalam percobaan-percobaan selanjutnya.

3. Pengukuran Efek Konsentrasi Terhadap Konduktansi

0

20

40

60

80

100

120

0 0,2 0,4 0,6 0,8

Aru

s (m

A)

(HCl)1/2

Hubungan konsentrasi terhadap konduktansi larutan HCl

Page 133: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Hasil percobaan menunjukkan bahwa arus yang

terukur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi dari larutan HCl. Hal ini menunjukkan bahwa konduktivitas larutan akan semakin tinggi bila konsentrasinya juga semakin tinggi. Kohlrausch menurunkan suatu persamaan yang menghubungkan antara konduktivitas larutan dengan konsentrasi seperti terlihat pada persamaan 1.

Ù= Ùo – kc. C1/2 .........................(1) Selain itu, Onsager juga memberikan persamaan yang menghubungkan antara konduktivitas dengan konsentrasi, dimana persamaan yang diturunkan ini mempertimbangkan lebih banyak faktor seperti dinyatakan pada persamaan 2.

Ù= Ùo – (A + B Ùo). C1/2 ..........(2) dimana A dan B masing-masing adalah parameter yang mengkompensasi efek asimetri dan efek elektrophoresis (Hewitt,1991). Dari grafik juga dapat dilihat bahwa hubungan antara konsentrasi dan konduktivitas berupa grafik yang liniear.

4. Titrasi Konduktometri Peristiwa reaksi asam dan basa dapat dimonitor

melalui perubahan dalam konduktansi yang diakibatkan oleh penggantian konduktifitas tinggi dari ion hidrogen dengan ion hidroksida dengan konduktifitas yang rendah. Dalam percobaan ini, dilakukan titrasi asam kuat (HCl) dengan basa kuat (NaOH) secara titrasi konduktimetri. Dari percobaan ini diketahui bahwa titik ekivalen terjadi pada saat volume 0,5 M NaOH yang ditambahkan adalah 6 mL (lihat gambar 5). Arus yang terbaca ketika titik ekivalen belum tercapai dihasilkan oleh mobilitas ion hidrogen (H+) yang tinggi. Semakin banyak larutan 0,5M NaOH yang ditambahkan arusnya semakin menurun oleh karena banyaknya ion hidrogen semakin berkurang. Dalam hal ini ion hidrogen diubah menjadi molekul air akibat bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) dari larutan NaOH. Tepat pada saat titik ekivalen, ion hidrogen telah habis bereaksi dan telah berubah semua menjadi molekul air yang memiliki konduktansi sangat lemah. Besarnya arus yang terbaca pada titik ekivalen adalah 17,5 mA. Arus yang terjadi pada kondisi ini disebabkan oleh mobilitas ion Na+ dan Cl-

Page 134: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

dimana mobilitas ion Na+ lebih lambat daripada ion H+ sehingga arus yang terbaca adalah kecil. Pada penambahan larutan NaOH 0,5 M berikutnya (setelah titik ekivalen tercapai), menghasilkan arus yang kembali meningkat. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya mobilitas ion hidroksida.

I. KESIMPULAN 1. Pasta karbon dapat dimanfaatkan untuk membuat

seperangkat elektroda konduktansi yang cukup efektif. 2. Larutan etanol termasuk dalam kategori non elektrolit

karena tidak menghasilkan arus. Asam asetat sedikit menghantarkan listrik akibat dissosiasinya yang relatif rendah. Larutan HCl dan NaCl merupakan sebuah elektrolit yang baik karena mampu menghantarkan listrik yang cukup besar.

3. Efek konsentrasi ini hampir bersifat linier terhadap konduktansi larutan.

4. Konduktansi larutan sangat erat kaitannya dengan mobilitas ion.

J. DAFTAR PUSTAKA Hendayana S. 1994. Kimia Analitik Instrumen. . Semarang: IKIP

Semarang Press Wilkinson, C. 1976. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: UI-Press Kuswadi, B. 2001. Pemanfaatan Baterai Bekas Sebagai Elektroda

Konduktansi Sederhana Jurnal Ilmu Dasar (2) 1 (34-40).

0102030405060708090

0 5 10 15 20

Aru

s (m

A)

Volume NaOH (mL)

Kurva titrasi HCl 0,1 M vs NaOH 0,5 M

Page 135: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

(7) Karakter Mahasiswa Karakter mahasiswa yang berkembang melalui praktikum

berbasis masalah diperoleh dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran pada setiap pertemuan dengan menggunakan lembar pengamatan mahasiswa. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis terhadap karakter yang muncul/berkembang, dan dihitung % kemunculannya pada setiap langkah/langkah PBL.

Disiplin, diobservasi dan dibangun melalui ketepatan waktu hadir sesuai kesepakatan pada saat kontrak perkuliahan; dalam berpakaian di laboratorium yakni memakai jas lab, rambut diikat; peminjaman alat yang jika sudah selesai harus dikembalikan sesuai apa yang dipinjam; pengaturan waktu kegiatan praktikum, dan pengumpulan laporan praktikum. Aspek karakter disiplin muncul mulai pendahuluan sampai tahap 4 dengan rerata total nilai 90 %. Untuk aspek karakter religious juga muncul mulai pendahuluan sampai tahap 4, yang dibangun melalui salam di awal dan akhir serta berdoa di awal perkuliahan dengan rerata total 95 %.

Rasa ingin tahu mahasiswa, muncul mulai tahap pendahuluan yakni rasa ingin tahu tentang cara kerja alat yang belum pernah dikenal, tahap1 dan 2 sewaktu pemberian masalah, dari pertanyaan yang diajukan terutama mengenai bagaimana cara mencari prosedur dan penentuan prosedur yang tepat dari beberapa prosedur yang diperoleh, serta pada tahap 3, mengkonsultasikan data pengamatan. Rerata persen kemunculan untuk aspek rasa ingin tahu sebesar 60. Selanjutnya untuk karakter jujur, diobservasi dan dibangun pada tahap 3 dan 4. Jujur dapat dibangun melalui cara mahasiswa melakukan penimbangan bahan- bahan, di samping dalam hal peminjaman alat. Mahasiswa harus jujur apabila melakukan kesalahan dalam laboratorium seperti ketika memecahkan alat-alat gelas, serta jujur melaporkan dan mempresentasikan hasil sesuai data. Untuk aspek jujur ini diperoleh rerata totalnya sebesar 90 %.

Berpikir kritis dan kreatif nampak pada tahap 1 dan 2. Mahasiswa dituntut berpikir kritis ketika mengerjakan soal/pre tes dan memikirkan masalah serta mencari cara penyelesaiannya. Mahasiswa juga berpikir kreatif, ketika memilih jenis praktikum/penelitian yang efektif dan efisien sehingga hasilnya maksimal. Di samping itu, harus kreatif merancang produk untuk membuat KIT. Rerata total perolehan untuk karakter berpikir kritis dan kreatif berturut-turut 60 dan 80 %.

Page 136: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Bekerjasama muncul pada tahap 2 sampai 4. Mahasiswa dalam kelompok harus bekerjasama untuk mencari prosedur kerja, serta melakukan praktikum dalam rangka memecahkan masalah. Karakter kepemimpinan juga terbangun pada tahap 2 sampai 4, dimulai dengan pembagian tugas mencari informasi untuk merancang proposal sampai dengan mengatur jalannya praktikum. Rerata total perolehan untuk karakter bekerjasama dan kepemimpinan berturut-turut 90 dan 60 %.

Karakter kerja keras, mandiri, hati-hati, dan teliti paling dominan terbangun pada tahap 3. Praktikum untuk menyelesaikan masalah sangat membutuhkan kerja keras untuk mencapai tujuan percobaan. Kerja keras ini dilakukan mahasiswa dimulai melakukan persiapan/ preparasi sampel dalam kegiatan percobaan. Mahasiswa dituntut dapat membuat larutan secara mandiri sesuai pembagian tugas dari kelompoknya. Dalam menyiapkan alat-alat yang akan digunakan praktikan harus memiliki sikap yang hati-hati karena alat-alat praktikum ada yang terbuat dari kaca, apabila praktikan tidak berhati-hati alat tersebut dapat membahayakan diri sendiri dan orang disekitarnya. Demikian pula terhadap bahan-bahan kimia, harus senantiasa hati-hati karena bahan kimia ada yang bersifat korosif, gasnya beracun, dapat membuat tangan gatal apabila bersentuhan, dan mudah terbakar. Selanjutnya untuk karakter teliti terbangun pada saat praktikan menyiapkan bahan seperti menimbang zat, mengukur volume pelarut, dan mengamati hasil. Rerata total perolehan untuk karakter bekerja keras, mandiri, hati-hati, dan teliti berturut-turut 90; 80; 90; dan 90 %.

Pada tahap 3, mahasiswa mengkomunikasikan hasil pengamatan baik dalam bentuk tabel maupun gambar. Aspek karakter berkomunikasi ini juga dibangun melalui mengkomunikasikan hasil penelitian baik melalui penulisan laporan, penulisan power point, maupun presentasi oral yang terjadi pada tahap 4. Rerata total perolehan untuk berkomunikasi adalah 80 %. Selanjutnya karakter yang terbangun pada tahap 4 lainnya yakni demokratis, menghargai pendapat teman, dan menghargai prestasi orang. Selagi mahasiswa melakukan presentasi hasil percobaan, mereka berlatih menerima masukan dari kelompok lain, di samping itu ketika diskusi pembuatan makalah maupun diskusi untuk pembuatan power point para mahasiswa belajar berdemokrasi serta menghargai pendapat teman dalam kelompoknya. Menghargai prestasi teman terjadi terutama untuk produk yang

Page 137: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

dihasilkan kelompok lain melalui pemberian nilai yang lebih. Rerata total perolehan untuk karakter demokratis, menghargai pendapat teman, dan menghargai prestasi orang berturut-turut 80; 40; dan 60 %. Karakter mahasiswa yang berkembang melalui praktikum berbasis masalah diperoleh dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran pada setiap pertemuan dengan menggunakan lembar pengamatan mahasiswa. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis terhadap karakter yang muncul/berkembang, dan % kemunculannya pada setiap langkah/langkah PBL ditampilkan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Hubungan antara karakter yang muncul dalam tahap

pemelajaran praktikum berbasis masalah

No Indikator Karakter Tahap dalam PBL % 1 Religius Pendahuluan – tahap 4 95 2 Disiplin Pendahuluan – tahap 4 90 3 Rasa ingin tahu Pendahuluan – tahap 3 60 4 Jujur Tahap 3dan 4 90 5 Berpikir kritis Tahap 1dan 2 60 6 Berpikir kreatif Tahap1 dan 2 80 7 Bekerjasama Tahap2-tahap 4 90 8 Kepemimpinan Tahap 2-tahap 4 25 9 Kerja keras Tahap 3 90

10 Mandiri Tahap 3 80 11 Teliti Tahap 3 90 12 Hati-hati Tahap 3 95 13 Komunikasi Tahap 3 dan 4 80 14 Demokratis Tahap 4 80 15 Menghargai pendapat

teman Tahap 4 60

16 Menghargai prestasi orang

Tahap 4 40

Keterangan: tahap 1, mengorientasi mahasiswa pada masalah; tahap 2, mengorganisasi mahasiswa untuk belajar;tahap 3, membimbing penyelidikan kelompok; dan tahap 4, menyajikan hasil proyek penelitian

Peningkatan penguasaan konsep hasil penelitian ini diikuti

keterampilan pemecahan masalah dengan skor mencapai kriteria sangat tinggi dan minimal 16 karakter terbangun melalui langkah-langkah PBL. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi sikap ilmiah

Page 138: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

peserta didik serta menentukan keberhasilan belajar seseorang (Popham, 1995). Selanjutnya Popham menyatakan bahwa menurut beberapa pakar sikap/karakter seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian beberapa peneliti ( Tarhan, 2007; Kelly dan Finlayson, 2009; dan William et al, 2009) bahwa PBL di samping meningkatkan penguasaan konsep, juga meningkatkan keterampilan sosial seperti bekerja kelompok, rasa percaya diri, kerjasama, cara berinteraksi dengan orang lain, dan berkomunikasi. Di samping itu, pembelajaran praktikum berbasis masalah juga meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam hal hati-hati dengan bahan kimia, melakukan pengamatan dengan teliti, dan berusaha mencari informasi sehubungan praktikum yang dilakukan. (8) Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran

Praktikum KAI berbasis Masalah Secara umum, hampir tidak ditemukan adanya kendala

yang berarti dalam mengimplementasikan pembelajaran praktikum kimia analitik instrumen berbasis masalah. Kurangnya fasilitas yang berkaitan dengan masalah teknis yaitu peralatan laboratorium, seperti tidak tersedianya HPLC, serta jumlah pH meter yang masih kurang. Kendala ini dapat diatasi dengan cara praktikum virtual menggunakan JCE HPLC 3D,2 dan mengirim beberapa mahasiswa mengikuti praktikum di perguruan tinggi lainnya, sedangkan penggunaan pH meter diatur jadwal pemakaiannya. Namun demikian, jika ketersediaan peralatan laboratorium lebih memadai dalam hal jumlah dan jenis, maka penerapan pembelajaran praktikum berbasis masalah ini akan lebih efektif karena di samping dosen lebih leluasa memberikan masalah, mahasiswa juga bisa memilih peralatan yang akan digunakan.

Kendala lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi pembelajaran adalah pengaturan jadwal konsultasi dengan mahasiswa pada setiap langkah pembelajaran sebagaimana terekam pada tanggapan mahasiswa. Hal ini sesuai pendapat Akinogulu dan Tandogan (2007) serta Hernani (2010) bahwa implementasi PBL membutuhkan lebih banyak waktu dan pengaturan waktu yang baik. Menurut Akinogulu dan Tandogan pengaturan waktu ini perlu penting, karena ada kelompok yang

Page 139: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat atau lebih lambat. Agar masalah waktu ini tidak menjadi kendala, maka dibutuhkan tim pengampu yang memiliki komitmen tinggi untuk menyediakan waktu dalam melayani kebutuhan mahasiswa untuk berkonsultasi.

Program perkuliahan yang dirancang untuk mengatasi kelemahan pola pelaksanaan dan hasil belajar praktikum kimia analitik instrumen ini memiliki keunggulan yang terungkap dari hasil penelitian yaitu efektif untuk mengembangkan metakognisi dan meningkatkan penguasaan konsep materi spektrometri dan HPLC bagi calon guru. Peningkatan penguasaan konsep dan pengembangan metakognisi diperoleh dari setiap tahap pembelajaran praktikum berbasis masalah berdampak pada peningkatan pemecahan masalah sebagaimana tujuan dilakukannya praktikum. Pada setiap tahap pembelajaran mahasiswa secara kelompok maupun individu akan selalu berusaha mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, berdiskusi dengan teman dalam kelompok, maupun berkonsultasi dengan dosen pengampu, sehingga pembelajaran menjadi lebih aktif, produktif, dan kondusif yang pada akhirnya penguasaan konsepnya akan meningkat dan metakognisinya juga akan berkembang.

Tersedianya perangkat pembelajaran dan asesmennya dari hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan program perkuliahan praktikum lain. Implementasi pembelajaran praktikum, juga merupakan pemodelan bagi calon guru dalam mengelola praktikum, sebagaimana tanggapan positif yang diberikan mahasiswa.

Page 140: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 141: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

PENUTUP

Pembelajaran berbasis masalah atau lebih dikenal dengan

Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik tolak pembelajaran, dan untuk dapat menyelesaikan suatu masalah peserta didik/mahasiswa memerlukan pengetahuan baru. Implementasi pembelajaran ini antara lain ditujukan untuk membantu mahasiswa belajar reflektif dan mandiri yang dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan, dan mengembangkan dasar-dasar pengetahuan dengan menempatkan mahasiswa sebagai seorang problem solver aktif yang dikonfrontasikan dengan suatu situasi yang ill-structured problems dan open endeed. Dosen sebagai fasilitator, membantu mahasiswa dalam kelompok mengidentifikasi pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah, mengorganisasi mahasiswa untuk belajar, memfasilitasi pelaksanaan penyelidikan kelompok untuk memperoleh data, dan memfasilitasi dalam presentasi dan pameran hasilpemecahan masalah. Dengan pemberian masalah kontekstual yang ill-structured dan open endeed, mahasiswa akan memperoleh kesempatan belajar bagaimana belajar (learn how to learn), menghasilkan peserta didik yang akan terlibat dalam suatu tantangan dengan inisiatif dan antusias; serta bernalar dan bekerjasama dengan efektif sebagai anggota dalam tim untuk mencapai tujuan, sehingga keterampilan pemecahan masalah akan berkembang dengan baik.

Sementara itu, melalui praktikum di samping ditujukan untuk meningkatkan penguasaan konsep dan mengembangkan keterampilan dasar bereksperimen, juga mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan membangun sikap ilmiah/karakter. Di lain pihak, permasalahan praktikum kimia termasuk kimia analitik yang bersifat verifikatif terbukti baru meningkatan keterampilan dasar bereksperimen, dan hal ini

BAB

6

Page 142: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

menjadi perhatian para peneliti di berbagai negara. Idealnya, mahasiswa perlu menilai pemikiran mereka sebelum, selama, dan setelah suatu proses pemecahan masalah dalam melaksanakan suatu tugas termasuk praktikum. Di sisi lain, dalam Praktikum Kimia Analitik Instrumen mahasiswa juga dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah penentuan metode, peralatan, dan hasil pengamatan; sehingga esensi ilmu Kimia Analitik sebagai ilmu untuk menyelesaikan permasalahan bisa terwujud.

Dalam proses pembelajaran berbasis masalah, selagi mahasiswa dihadapkan pada suatu masalah maka mahasiswa harus berusaha untuk merencanakan, mengevaluasi, dan mengatur penggunaan strateginya. Belajar mengatur diri merupakan suatu proses dimana mahasiswa menggunakan berbagai strategi untuk mengatur kognisi, motivasi, sikap ilmiah, yang semuanya merupakan aspek metakognisi yang penting. Salah satu upaya untuk meningkatkan pemecahan masalah adalah menumbuhkan kesadaran kognisinya dengan memberikan arahan agar mahasiswa senantiasa bertanya pada dirinya. Pembelajaran melalui upaya penyadaran kognisi mahasiswa ini merupakan pembelajaran dengan pengembangan metakognisi. Praktikum yang direncanakan dengan baik akan memberikan peluang mahasiswa untuk mengembangkan metakognisi dan membangun karakter apabila mahasiswa dihadapkan pada suatu konteks masalah, dan melalui penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa PBL telah terbukti memberikan lingkungan pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan metakognisi dan membangun karakter.

Metakognisi secara sederhana sering digambarkan sebagai berpikir tentang berpikir, dan dari berbagai pengertian dapat disarikan bahwa metakognisi merupakan suatu aktivitas mental dalam struktur kognitif yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk mengatur, mengontrol, dan memeriksa proses berpikirnya sendiri. Pengembangan metakognisi ini penting dilakukan, karena pengetahuan mahasiswa tentang proses kognisi dapat membimbing mereka dalam menyusun lingkungan belajar dan dalam memilih strategi-stategi untuk memperbaiki kinerja kognitif pada masa yang akan datang. Instrumen untuk pengukuran metakognisi yang selama ini banyak dikembangkan adalah melalui observasi, kuesioner, dan wawancara yang mengacu pada Flavell dan Schraw. Pengukuran metakognisi yang penulis lakukan menggunakan wawancara, lembar observasi, kuesioner, dan tes bentuk uraian dengan indikator metakognisi

Page 143: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

hasil adaptasi dari Schraw, Flavell, Brawn, Anderson & Krathwohl, serta McGregor. Indikator metakognisi merupakan turunan dari 5 level metakognisi yaitu (1) menyadari proses berpikir dan mampu menggambarkannya, (2) mengembangkan pengenalan strategi berpikir, (3) merefleksi prosedur secara evaluatif, (4) mentransfer pengalaman pengetahuan dan prosedural pada konteks lain, dan (5) menghubungkan pemahaman konseptual dengan pengalaman prosedural

Karakter mahasiswa yang dibangun melalui Praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah diperoleh dari hasil observasi selama proses pembelajaran pada setiap pertemuan. Di samping itu, mahasiswa juga membuat essay tentang karakter apa yang bisa terbangun dalam dirinya pada setiap langkah PBL. Indikator karakter aspek disiplin dan religius dapat dibangun melalui setiap langkah praktikum berbasis masalah. Tahap 3, yakni penyelidikan kelompok merupakan tahap yang paling banyak membangun karakter. Sementara itu melalui tahap 4 (presentasi hasil pemecahan masalah), meskipun jumlah indikator karakter yang dibangun lebih sedikit, namun demikian pada tahap ini karakter seperti komunikasi, demokratis, serta menghargai pendapat dan prestasi orang lain sangat penting untuk dilatihkan. Semua indikator karakter yang tumbuh melalui praktikum berbasis masalah diharapkan akan mewarnai kehidupan berikutnya sehingga sampai tahap habit of minds. Di samping peningkatan metakognisi dan membangun karakter, melalui implementasi praktikum Kimia Analitik Instrumen berbasis masalah ternyata juga mampu meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa. Hal ini beralasan karena PBL dimulai dari masalah-masalah otentik yang ill structure dan open-endeed yang akan membangkitkan keingintahuan mahasiswa dan memotivasinya untuk bisa memecahkan masalah sehingga penguasaan konsepnya juga akan meningkat. Banyak peneliti menyatakan bahwa PBL dapat meningkatkan transfer konsep kepada situasi baru, integrasi konsep, minat belajar intrinsik, dan keterampilan belajar. Fakta lain menunjukkan bahwa melalui PBL peserta didik akan terbantu dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan penalarannya. Proses pengkonstruksian pengetahuan melalui interaksi sosial dengan teman lain merupakan hal yang potensial untuk memperkaya perkembangan intelektual mahasiwa, sehingga penguasaan konsep sebagai hasil temuannya sendiri bisa terwujud sesuai tujuan dilakukannya praktikum.

Page 144: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Hasil penelitian lain yang penulis ungkap dalam penulisan monograf ini ternyata implementasi PBL dalam praktikum Kimia Analitik Instrumen terbukti dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah yang termasuk dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi. Koleksi data pemecahan masalah diadaptasi dari Fogarti yang meliputi laporan/hasil karya pemecahan masalah, presentasi pemecahan masalah, dan produk kit hasil pemecahan masalah. Untuk dapat memecahkan masalah secara bertahap, mahasiswa memulainya dengan mendefinisikan masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, menyatakan kembali masalah, menghasilkan alternatif, menyarankan solusi, dan menentukan rekomendasi yang semuanya sesuai dengan langkah-langkah dalam PBL. Para peneliti mengingatkan bahwa ketrampilan pemecahan masalah penting dilatihkan karena selain mahasiswa sering dan akan berhadapan dengan masalah-masalah ill-structured, keterampilan ini sangat diperlukan mahasiswa termasuk calon Guru Kimia. Selanjutnya, beberapa realita yang menggambarkan masih rendahnya peserta didik dalam menyelesaikan masalah adalah terjadinya krisis moral seperti tawuran, pemakaian narkoba/obat-obatan terlarang, pemerkosaan, dan pengguguran kandungan. Oleh karena itu PBL sangat perlu dan penting diimplementasikan baik dalam praktikum maupun teori.

Page 145: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahed, Z.K., Nagy., and Blanchard, R.(2008). The TriLab, a

Novel View of Laboratory Education Innovation. Good Practice and Research Enginering Education. 051-064.

Adami, G. A. (2006). New Project-Based Lab for Undergraduate

Environmental and Analytical Cemistry. Journal of Chemical Education, Vol 83 No 2. Februari 2006.

Amien, M. (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

dengan Menggunkan Metode “Discovery”dan “Inquiry”. Depdikbud. Proyek Pengembangan LPTK.

Akınoglu, O dan Ozkardes, T. (2007). Effects of Problem-Based

Active Learning in Science Education on Students Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technologi Education, 2007. 3 (1), 71-81. Tersedia http: www.ejmdte.com. (Februari 2008).

Anderson, L.W, & Krathwol, D.R. (eds). (2001). A Taxonomy for

Learning Teaching and Assessing. A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Arends, R. I. (2004). Learning to Teach. 5th Ed. Boston: McGraw

Hill Bilgin, I., Senocak, E., dan Sozbilir, M. (2009). The Effects Of

Problem-Based Learning Instruction On University Student’s Performance Of Conceptual And Quantitative Problems In Gas Concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science, and Technology Education. 5 (2), 153-164.

Buchari. (1990). Analisis Instrumental, Bagian 1 Tinjauan Umum

dan Analisis Elektrometri. Jakarta: Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.

Page 146: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Cooper, M., Santiago, S., and Stevens, R. (2008). Reliable Multi Method Assesment of Metacognition use in Chemistry Problem Solving. Chemichal Education Research and practice. (9). 18-24. www.rsc.org/cerp. (Desember 2008)

Cooper, M. dan Santiago, S. (2009). Design and Validation of an

Instrument to Assess Metacognitive Skillfulness in Chemistry Probim Solving. Journal of Chemichal Education.. (86). 2 February 2009. www.JJCE.DivCHED.org (Juni 2009)

Costa, A.L. (ed). (1985). Developing Minds, A Resource Book for

Teaching Thinking. Alexandria: ASCD. Dahar, R.W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: ErlanggaCooper,

M. dan Santiago, S. (2008). Design and Validation of an Instrument to Assess Metacognitive Skillfulness. Journal of Chemichal Education. 86 (2) February 2008, www.JJCE.DivCHED.org.

Depdiknas. (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula Program

Studi Pendidikan Kimia Jenjang S1. Jakarta: Derektur Jenderal Perguruan Tinggi.

Depdiknas (2006). Permendiknas No. 22/2006: Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Dylan P., Jonathan R., Sarah, L, dan David, L. 2010.A Tiny

Adventure: The Introduction of Problem Based Learning in an Undergraduate Chemistry Course .Chem. Educ. Res. Prac.. 11. 33-42

Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Multiple

Intelligences Classroom. Melbourne: Hawker Brownlow Education.

Gallagher, S., Stepien, W. J., Sher, B. T. & Workman, D., (1995).

“Implementing Problem-Based Learning in Science Classrooms.” School Science and Mathematics. 95(3), 136-146.

Page 147: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Haryani, S., Prasetya, A.T., dan Wardani, S. 2010. Peningkatan MetakognisiMahasiswa Calon Guru Kimia Melalui Simulasi Laboratorium virtual Berbasis Masalah pada Materi HPLC.ProceedingHimpunan Kimia Indonesia.

Haryani, S. 2011. Praktikum Kimia Analitik InstrumenBerbasis

Masalah pada Spektrometri UV-Vis untuk Meningkatkan Metakognisi Calon Guru. Laporan Penelitian

Duch, B. J. (1996). Problem-based learning in Physics: The power

of students teaching students, Jurnal of Culinary Science Technology, Maret/April, 326-329.

Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Multiple

Intelligences Classroom. Melbourne: Hawker Brownlow Education.

Haryani, S., Prasetya, A.T., dan Wardani, S. (2010). Peningkatan

MetakognisiMahasiswa Calon Guru Kimia Melalui Simulasi Laboratorium Virtual Berbasis Masalahpada Materi HPLC.ProceedingHimpunan Kimia Indonesia.

Haryani, S. (2011). Praktikum Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah pada Spektrometri UV-Vis untuk Meningkatkan Metakognisi Calon Guru. Laporan Penelitian. LP2M UNNES.

Kelly, O.C. dan Finlayson, O.D. (2009). Providing Solutions

Through Problem-Based Learning For The Undergraduate

1st

Year Chemistry Laboratory. Chemistry Education Research and Practice. 8 (3), 347-361.

Masek, A. dan Yamin, S. 2012. The Impact of Instructional

Methods on Critical Thinking: A Comparison of Problem-Based Learning and Conventional Approach in Engineering Education. International Scholarly Research Network ISRN Education.(2012).1-6.

McDermott. (1990). A Perspective on Teacher Preparation in Physics and Other Sciences. American Journal of Physics. 58,(8).

Nakhleh, B. (1996). "Why Some Student Don't Learn Chemistry".

Journal Chemical of Education. 69, (3), 191-196.

Page 148: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

National Research Council (1998). Inquiry and the National Science Education Standards: A Guide for Teaching and Learning. [Online]. Tersedia: http://books.nap. edu/html/inquiry_addendum/notice.html. [9 Oktober 2006].

Pasha, J.A. (2006). A Procedural Problem in Laboratory Teachig:

Experiment and Explanation, or Vice-versa? Journal of Chemical Education: (83). 1. January 2006.

Popham, J. W. (1995). Classroom assessment: What teachers need

to know. Nedham Hights, Mass. 02194: Allyn and Bacon. Ram, P., Ram, A., & Spragur, C. 2007. From Student Learner to

Professional Learner: Training for Lifelong Learning through Online PBL. [Online]. Tersedia:http://gatech.academia.edu/ARam/Papers/21865/From-Student-Learner-To-Professional-Learner--Training-For-Lifelong-Learning-Through-On-Line-PBL. [13 Juni 2009]

Rustaman, N.Y. (2003). Perencanaan dan Penilaian Praktikum di

Perguruan Tinggi. Hand Out Program Applied Approach bagi Dosen Baru Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung, 13-25 Januari 2003.

Samford.edu. (2003). Problem Based Learning. [online]. Tersedia

http://www.samford.edu/pbl/ April 2007 Savery, J. R. & Duffy, T., M. 1991. “Problem-Based Learning: An

Instructional Model and Its Constructivist Framework.” Constructivist Learning Environments. 135-148.

Tan, O. S. (2003). Problem-based Learning Innovation. Singapore:

Thomson Learning. Tan, O.S. 2004. Enhanching Thinking Problem Based Learning

Approached. Singapura: Thomson Tarhan, L.dan Acar, B. (2007). Problem-Based Learning In An

Eleventh Grade Chemistry Class: ‘Factors Affecting Cell Potential’. Research in Science & Technological Education. (25). 3. 351–369.

Page 149: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Thomas, G., Anderson, D. and ashon, S. (2008). “Development of

an Instrument Designed to Investigate Elements of Science Students’ Metacognition, Self-Efficacy and Learning Processes: The SEMLI-S”. International Journal of Science Education. 30, (13), (17). 1701–1724.

Williams, D.P., Woodward, J.R., Symons, S.R. dan Davies, D.L.

(2010). A Tiny Adventure: The Introduction of Problem Based Learning in an Undergraduate Chemistry Course. Chemistry Education Research and Practice. (11). 33–42 .

Yu, W.dan Yang H. 2005. Applying Green Chemistry Education To

The Teaching Of Chemistry Experiment. Journal of Cangzhou Teacher's College. Cangzhou Teacher's College: China. http://en.cnki.com.cn/ journal-en/H-H000-CSZX-2005-01.htm.

Yuzhi .2003. Using Problem Based Learning in Teaching Analytical

Chemistry. http:/www/jce.divched.org/JCEDLib Zhu, X. 2003.Paying Attention to the Green Chemistry Concept in

Middle school. Jurnal. Journal of Ankang Teachers College. Shaanxi Institution of Science and Engineering: China.http://en.cnki.com.cn/ journal-en/H-H000-AKSZ-2003-03.htm.

Page 150: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Page 151: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

GLOSARIUM Elektrometri

:

Suatu metode kualitatif dan kuantitatif yang didasarkan pada sifat-sifat kelistrikan cuplikan dalam sel elektrokimia.

Indikator Metakognisi

: (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran, (2) masalah bersifat kontekstual, open ended, dan ill structure, (3) belajar berlangsung secara mandiri, dan kolaboratif; (4) Penyelidikan otentik Berfokus pada keterkaitan antar disiplin (5) pengembangan inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah; (5) belajar berlangsung secara mandiri, dan kolaboratif; (6) Menghasilkan karya/produk dan memamerkannya; (7) evaluasi dan review pengalaman dan proses belajar

Karakter : Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak

Karakteristik pembelajaran berbasis masalah

: (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran, (2) masalah bersifat kontekstual, open ended, dan ill structure, (3) belajar berlangsung secara mandiri, dan kolaboratif; (4) Penyelidikan otentik Berfokus pada keterkaitan antar disiplin (5) pengembangan inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah; (5) belajar berlangsung secara mandiri, dan kolaboratif; (6) Menghasilkan karya/produk dan memamerkannya; (7) evaluasi dan review pengalaman dan proses belajar

Keterampilan pemecahan masalah

: besaran kinerja (performance) yang antara lain meliputi: 1) kemampuan mendefinisikan masalah, 2) kemampuan mengumpulkan fakta, 3) kemampuan merumuskan pertanyaan, 4) kemampuan merumuskan hipotesis, 5) kemampuan melakukan penelitian, 6) kemampuan merumuskan kembali masalah, 7) kemampuan menghasilkan solusi alternatif, dan 8) kemampuan menentukan solusi yang rasional. Indikator-indikator ini mengacu pada

Page 152: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

pola pemecahan masalah yang dikembangkan oleh Fogarty (199&).

Karakter : Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak

Keterampilan pemecahan masalah

: besaran kinerja (performance) yang antara lain meliputi: 1) kemampuan mendefinisikan masalah, 2) kemampuan mengumpulkan fakta, 3) kemampuan merumuskan pertanyaan, 4) kemampuan merumuskan hipotesis, 5) kemampuan melakukan penelitian, 6) kemampuan merumuskan kembali masalah, 7) kemampuan menghasilkan solusi alternatif, dan 8) kemampuan menentukan solusi yang rasional. Indikator-indikator ini mengacu pada pola pemecahan masalah yang dikembangkan oleh Fogarty (199&).

Kromatografi : Merupakan proses pemisahan yang didasarkan

adanya perbedaan koefisien distribusi komponen-komponen dalam dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diam

Pendidikan karakter

: perilaku yang diaktualisasikan oleh mahasiswa pada saat pembelajaran praktikum kimia analitik instrument berbasis masalah

Praktikum : kerja laboratorium atau kerja praktik yang

dilakukan di laboratorium berkaitan dengan bidang ilmu. Adapun praktik dapat didefinisikan sebagai cara melakukan sesuatu atau cara melakukan apa yang tersebut dalam teori (Rustaman, et al., 2003).

Page 153: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

RIWAYAT HIDUP

Sri Haryani, adalah anak ketiga dari pasangan Muchrachmad (Alm) dan Sumarti (alm). Dilahirkan di Temanggung, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 8 Agustus 1958. Menikah dengan Drs. Sugiyo, putra dari pasangan Sudargo( alm) dan Sarti (alm) pada tanggal 25 Januari 1985. Saat ini telah dikaruniai 1 orang putra, yaitu Muhammad Haryoko, ST.

Pendidikannya dari SD sampai SMP diselesaikan di kabupaten Temanggung, yaitu SD Negeri 1

Rejasari (1965-1970), SMP Negeri I Temanggung (1971-1973), sedangkan SLTA di STMA Negeri Yogyakarta (1974-1976). Selanjutnya, menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Negeri Semarang lulus tahun 1982. Mulai tahun 1983 diangkat menjadi dosen di Jurusan Pendidikan FPMIPA IKIP Negeri Semarang (sekarang UNNES). Mata kuliah yang diampu, antara lain, adalah Kimia Dasar, Dasar Kimia Analitik dan Praktikumnya, Dasar-dasar Pemisahan Analitik dan Praktikumnya, Kimia Analitik Instrumen dan Praktikumnya, dan Kimia Larutan. Pada tahun 1990 mendapat tugas pendidikan S2 di Jurusan Kimia UGM (matrikulasi 1 tahun) dan lulus tahun 1994 dengan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si). Pada tahun 2006 tercatat sebagai mahasiswa S3 di program studi Pendidikan IPA SPs UPI, lulus tahun 2011 dan memperoleh gelar Doktor. Pengalaman kerja dimulai dengan menjadi guru di SMF YAPHAR Semarang (1982-1984), dan SMA Sint Louis (1981-1983). Penelitian yang telah dilakukan, diantaranya (1) Pembelajaran Berbasis Masalah pada Materi Ajar Sifat Koligatif Larutan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA (2008), (2) Pemberian Penugasan Perencanaan Percobaan pada Praktikum Kimia Dasar untuk Meningkatkan Ketrampilan Proses Sains Mahasiswa (2006), (3) Penggunaan Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA N 1 Semarang dalam Pembelajaran Materi Hidrolisis dan Buffer, (4) Pembelajaran Praktikum Kimia Analisis Berbasis Masalah Materi Spektrometri UV-Vis untuk Meningkatkan Metakognisi dan Pemahaman Konsep Calon Guru, Senior, (2011), (5) Pengembangan Pendidikan Karakter Melalui Model Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah Menggunakan Local Material (2012) (4) Diethilditiokarbamat (DDTC) dan Dithizon Sebagai Pengekstrak Ganda pada Ekstraksi Tembaga dengan Pelarut Kloroform (2003), (5) Kinetika dan Mekanisme Pembentukan Senyawa Kompleks Tembaga dengan di-n-butilditiokarbamat (2003). Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat yang dilakukan diantaranya: (1) Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kimia SMA Berbasis Masalah sebagai Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2008), (2) Sosialisasi Cara

Page 154: 2013 ok Buku B Haryani rev Juli 2013.pdf

Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah

Mengidentifikasi Bahan Aditif pada Makanan bagi Guru-guru SD dalam KKG Kecamatan Gajahmungkur Semarang (2006), (3) Sosialisasi penerapan pemanfaatan indikator bahan alam dalam pembelajaran titrasi asam-basa bagi guru kimia dalam MGMP kota Semarang (2010), (4) Upaya meningkatkan keterampilan guru-guru kimia dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah melalui kegiatan MGMP (2011).

Dalam kegiatan seminar nasional dan internasional, telah disajikan makalah diantaranya: (1) Analisis Kelemahan Eksplanasi Mahasiswa dan Kaitannya dengan Pengembangan Metakognisi dalam Praktikum Kimia Analitik Instrumen (2009), (2) Pertanyaan produktif untuk meningkatkatkan hasil Belajar Praktikum Kimia Analitik Instrumen Calon Guru (2008) (3) Peningkatan Metakognisi Mahasiswa Calon Guru Kimia Melalui Simulasi Laboratorium virtual Berbasis Masalah (2010), (4) Praktikum Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah pada Spektrometri UV-Vis untuk Meningkatkan Metakognisi dan Penguasaan Konsep Calon Guru (2010), (5) Pembekalan Kemampuan Metakognisi Calon Guru Melalui Implementasi Praktikum Open- Endeed Pada Materi Spektrometri (2012), (6) Pembekalan Keterampilan Proses Sains Calon Guru Kimia Melalui Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Insrtrumen Berbasis Masalah (2012), (7) Pembelajaran Dasar Kimia Analitik Berbasis Multimedia bagi Calon Guru (2011), (8) Identifikasi Materi Kimia Sma Sulit Menurut Guru dan Calon Guru (2012) Publikasi dalam jurnal ilmiah, antara lain: (1) Peningkatan Metakognisi Mahasiswa Calon Guru Melalui Implementasi Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah pada Topik Spektrometri (Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, 2010), (2) Pengaruh Praktikum Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah terhadap Metakognisi dan Penguasaan Konsep Calon Guru Kimia (JPMS FMIPA UNY, Juni 2010) (2) Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah pada Topik Spektrometri untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Calon Guru (Jurnal Pendidikan MIPA, Juli 2011) (3), (4) Implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah pada Materi Ajar Koloid untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA JIPK, Jurusan Kimia FMIPA UNNES (2010), (5) Praktikum Kimia Analitik Instrumen Berbasis Masalah pada Topik Spektrometri untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Calon Guru (Jurnal Pendidikan MIPA, 2011), Peningkatan Keterampilan Guru-guru Kimia dalam Menerapkan Model Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Kegiatan MGMP (Jurnal: REKAYASA, 2012).