Upload
dinhkhanh
View
261
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Adat Istiadat
Di Indonesia, istilah adat seringkali digunakan oleh masyarakat umum
dalam bentuknya yang sederhana, namun istilah yang lebih rumit seperti adat-
istiadat atau adat kebiasaan sering digunakan juga. Karenanya sebagaimana yang
di sampaikan Snouck Hurgronje (dalam Ratno Lukito 2012 : 3)
Seseorang mesti sadar akan perbedaan antara istilah adat yang digunakan
dalam dialek Melayu maupun Minangkabau. Jika dalam bahasa Melayu
istilah adat-istiadat mempunyai arti sebagai institusi manusia secara
keseluruhan, maka dalam istilah Minangkabau ia digunakan untuk
menunjuk kepada kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain.
Sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia tidak pernah berhenti
beraktifitas. Adapun aktifitas ini adalah sebagai realisasi hasil pemikiran manusia
yang kemudian diaplikasikan dalam berbagai segi kehidupan yang nyata. Dan
karena hasil aktifitas ini bersifat abstrak maka dapatlah hal ini digolongkan dalam
wujud ideal kebudayaan, yang menurut Koetjaraningrat (1980:19) bahwa adat
adalah tata kelakuan atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau dalam
jamaknya disebut adat istiadat.
Sehubungan dengan pengertian adat istiadat diatas, Syah (dalam Nurlina
Ibrahim 2009:5) mengemukakan bahwa :
Adat adalah kaidah-kaidah sosial yang tradisional yang sakral ini berarti
bahwa adat adalah ketentuan leluhur dan ditaati secara turun temurun. Ia
merupakan tradisi yang mengatur masyarakat penduduk asli Indonesia
yang dirasakan oleh anggota-anggotanya sangat mengikat. Sebagai kaidah-
kaidah sosial yang dianggap sakral, maka pelaksanaan adat ini hendaknya
dilaksanakan berdasarkan norma-norma adat yang berlaku, disetiap daerah
26
yang tanpa memperhatikan adanya stratifikasi dalam kehidupan
masyarakat.
Orang Minang terbiasa membedakan antara tiga kata : adat-istiadat, adat
nan diatakan, dan adat nan teradat, yang masing-masing mempunyai arti yang
berbeda pula. Sebagaimana yang dijelaskan Snouck Hurgronje juga (Ratno
Lukito 2012:3),
Bagi sebagian orang adat-istiadat mempunyai makna sebagai “
keseluruhan hukum dari masyarakat pendahulu maupun kebiasaan yang
disusun oleh para tetua, yang berbeda dari apa yang disusun oleh generasi
kemudian dan berbeda dari adat yang dapat berubah.” Sebaliknya dua
istilah lain yaitu adat nan diadatkan dan adat nan teradat,
mengindikasikan kebiasaan yang diturunkan dan ditentukan melalui
kesepakatan (mufakat), yang karenanya tidak dapat diklaim mempunyai
arti yang sama dengan adat yang tidak pernah berubah-ubah.
Menurut Soerjono Soekanto (1981 : 73)
Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam
masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau
bagian masyarakat) yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama
berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa sepertinya terdapat perbedaan
adat istiadat dan kebiasaan. Ditinjau dari fungsinya kebudayaan mempunyai
fungsi yang sama yaitu berfungsi untuk mengkaji tentang tingkah laku manusia
dalam kehidupannya. Sedangkan di tinjau dari segi perbedaannya adat istiadat
merupakan kumpulan dari beberapa tingkah laku atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat. Sedangkan kebiasaan hanya merupakan bagian dari adat
istiadat yang hanya menyangkut beberapa segi kehidupan manusia saja.
Menurut manahon (dalam Nurlina Ibrahim 2009 : 6)
Bahwa adat istiadat adalah merupakan suasana peraturan yang mengatur
cara-cara bergaul antara masyarakat besar yang kecil terlebih pula
mengatur akhlak supaya anggota masyarakat saling hormat menghormati.
26
Konsep ini menggambarkan bahwa adat istiadat adalah sebagai aturan
yang memberikan batasan kepada anggota masyarakat yang berada dalam
suatu daerah tertentu untuk saling mengadakan interaksi ataupun mengenai
satu sama lain dan tanpa memperhatikan status-statusnya dalam
masyarakat.
Secara lebih khusus M. Nasroen (dalam Soerjono Soekanto 1981 : 70)
menjelaskan adat merupakan suatu system pandangan hidup yang kekal, segar
serta actual, oleh karena didasarkan pada :
1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai
positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.
2. Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama dan
kepentingan bersama untuk seseorang.
3. Kemakmuran yang merata
4. Pertimbangan pertentangan, yakni pertentangan dihadapi secara nyata serta
dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.
5. Meletakan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
7. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan.
2.2 Hukum Adat
Istilah hukum adat bukan rangkaian dari istilah hukum istilah melainkan
sebagai terjemahan dari istilah-istilah buatan orang Belanda yang di sebut Adotre
cht. Pertama kalinya Adotre cht, di pakai oleh Hungriniyc buku karangannya yang
berjudul : orang-orang aceh dengan maksud untuk menyatakan adanya adat-adat
yang mempunyai akibat hukum.
26
Menurut Bushar Muhammad (Dewi Wulansari 2010:5)
Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia
dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan
kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di
masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat
itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang
mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para
penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa
memberi keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan
lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim.
Sedangkan menurut R. M. Soeripto (Dewi Wulansari 2010 : 6)
Hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturan-peraturan adat tingkah
laku yang bersifat hukum disegala segi kehidupan orang Indonesia, yang
pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan
mengikat para anggota masyarakat yang bersifat hukum oleh karena ada
kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan itu harus
dipertahankan oleh para petugas hokum dan petugas masyarakat dengan
upaya memaksa atau ancaman hukuman (sanksi).
Dalam hukum adat, misalnya jika sistem kekerabatan diartikan secara
kaku maka pengertian, pengetahuan dan pemahaman terhenti pada mozaik system
kekerabatan matrilineal, patrilineal, dan bilineal. Namun jika didekati dengan
pendekatan dinamisional misalnya pemangku system kekerabatan yang berbeda
tersebut malakukan perkawinan lintas adat atau dengan kata lain terjadi
perkawinan antara dua orang yang berbeda system kekerabatan maka implikasi –
implikasi hukumnya menjadi menarik untuk dibahas, seperti lahirnya bangunan
baru rumah tangga yang membahas hubungan antara orang tua biologis atau orang
tua adat dengan anak – anak warisan.
Soerjono Soekanto (dalam Dewi Wulansari 2010:6) mengemukakan
bahwa:
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan memiliki sanksi dari hokum itu.
26
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hokum kebiasaan, artinya
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hokum. Berbeda dengan
kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah
perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang
menuju pada “rechtsvardigeordening dersamenlebing”.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa hukum adat berdasarkan asas-asas
yang mengutamakan kekeluargaan dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya saja pada pembukaan UUD 1945 antara lain pada alinea ketiga
dinyatakan bahwa pernyataan kemerdekaan Negara kita adalah atas berkat rahmat
ALLAH Yang Maha kuasa kemudian pada alinea keempat di tunjukan bahwa
Negara Republik Indinesia termasuk dalam susunan Negara berdasarkan
pancasila.
Seopomo (dalam Renol Hasan 2008 : 10) mengemukakan bahwa hukum
adat merupakan hukum non statuteir yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan
dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat itu melengkapi hukum yang
berdasarkan keputusan-keputusan yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan
di mana memutuskan perkara. Hukum adat merupakan hukum yang hidup, karena
ia menjalankan proses hukum yang netral dari rakyat sesuai dengan fitrahnya
sendiri.
2.3 Ciri Khas Hukum Adat
Sukanto (dalam Nurlina Ibrahim 2009:8) pada umumnya adat memiliki
ciri-ciri khas sebagai berikut :
1. Keagamaan (Magiscg Religious)
26
Adat menghendaki agar setiap manusia percaya dan taqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dengan mengakui segala sesuatu terjadi karena berkat
dan rahmat Tuhan, dan yang ada di muka bumi tidak ada yang kekal abadi
selalu, ada awal ada akhirnya. Oleh karena itu hukum adat selalu menghendaki
agar setiap perbuatan mendapat ridho dari Tuhan dan di jauhkan dari segala
ancaman kemarahan Tuhan.
2. Kebersamaan (Comunal)
Sifat kebersamaan dalam hukum adat ini mengandung arti bahwa manusia
menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang
erat seluruh lapisan makhluk diliputi oleh rasa kebersamaan anggota baik
sesama keluarga, kerabat, tetangga yang didasarkan pada tolong-menolong
saling membantu satu sama lain.
Sifat-sifat kebersamaan dapat dilihat dari kenyataan sehari-hari, seperti
hukum kampung, rukun tetangga atau rukun warga, di mana jika ada yang
sakit atau meninggal dunia maka berduyun-duyunlah para tetangga
mendatangi sanak saudara untuk turut serta berduka cita.
3. Serba kongkrit
Serba kongkrit mengandung hubungan-hubungan hukum dilakukan
tidak samar-samar antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata.
Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian baru terjadi jika jelas dan nyata
pembeli telah membayar harganya dan penjual telah menyerahkan barang
yang telah dijualnya.
26
4. Sangat visual
Hukum adat bercorak sangat visual mengandung arti hubungan-
hubungan hukum itu dianggap terjadi jika sudah ada tanda ikatan yang
nampak, jika belum ada tanda-tanda maka hubungan itu baru merupakan
omong kosong saja, baru sekedar menyampaikan keinginan atas menaruh
perhatian.
5. Tidak dikodifikasi
Hal ini mengandung arti tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab
undang-undang menurut system tertentu, sebagaimana halnya dengan hukum
yang berasal dari Eropa. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada hukum adat
yang tertulis dan dibuat menjadi buku, namun tidak sedikit hukum adat yang
tidak pernah dicatat, dibukukan menurut cara setempat.
6. Tradisional
Traditional disini mengandung arti turun-temurun sejak dahulu hingga
sekarang tetap dipertahankan dan dihormati, misalnya orang Minangkabau
tetap mempertahankan Datuk Parpatihman Sebatan. Hukum adat yang
traditional ini disesuaikan dengan tradisi kepercayaana alam saat ini masih
besar pengaruhnya terhadap alam pikiran masyarakat.
7. Dapat berubah dan mampu menyesuaikan diri
Perubahan hukum dilakukan tidak dengan cara melengkapi atau
menghilangkan ketentuan yang ada, tetapi membiarkan saja membuat
ketentuan-ketentuan yang baru. Hal ini juga menggambarkan bahwa adat
mudah dan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Kemampuan
26
menyesuaikan diri ini bukan saja dikarenakan sifat hukum yang tidak tertulis
dan tidak dikualifikasi melainkan karena sifat keterbukaannya.
2.4 Ekologi Budaya
Ekologi budaya adalah yang terakhir di antara pendekatan-pendekatan
yang pada hakekatnya bersifat metodologis (dalam David Kaplan 1999:101
disebut “orientasi teoretik”). Pendekatan alias ancangan, atau pun metodologi,
atau orientasi ekologi-budaya, merupakan perhatian pokok para antropolog yang
dikenal sebagai kelompok evolusionis-budaya. Suatu ciri dalam ekologi budaya
ialah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran :
Pertama sehubungan dengan cara system budaya beradaptasi terhadap
lingkungan totalnya, dan kedua sebagai konsekuensi adaptasi sistematik
itu. Ekologi budaya menyatakan bahwa di pentingnya proses-proses
adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan
dan transformasi berbagai konfigurasi budaya (David Kaplan 1999 : 101).
Julian Steward dalam bukunya Roger M keeng (1999:146) mendalilkan
bahwa:
Ada bagian inti dari sistem sosial budaya, yang khususnya tanggap
terhadap adaptasi ekologis, pembagian kerja, ukuran dan stabilitas dari
kelompok-kelompok local dan penyebarannya dalam suatu wilayah dan
ketentuan-ketentuan pemukiman. Berbagai penyesuaian terhadap tekanan
ekologis secara langsung mempengaruhi unsure-unsur inti dari struktur
sosial ini, jadi iklim yang bermusim, tersedianya air, atau kesuburan tanah
akan menentukan beberapa banyak orang dapat tinggal disuatu
pemukiman, berapa lama mereka bisa menetap, bagaimana penyebaran
mereka, dan bagaimana penduduk mengatur upaya produktif mereka.
Pengaruh pada struktur social ini kemudian bercabang-cabang melalui
suatu budaya agar perkembangan perubahan dalam berbagai bidang hanya
secara sekunder dikaitkan dengan ekologi dalam gagasan kosmologi, pola
suksesi politik, seni dan sebagainya.
26
Umumnya ekologi kultural cenderung menekankan teknologi dan ilmu
ekonomi dalam analisis mereka terhadap adaptasi budaya, karena dalam segi-segi
budaya itulah kelihatan jelas perbedaan di antara budaya-budaya di samping
perbedaan dari waktu ke waktu di dalam sesuatu budaya. Apakah kesadaran moral
manusia atau mutu kehidupan sosialnya telah berubah atau maju sepanjang
beberapa ribu tahun yang lalu, adalah soal yang mudah memancing perselisihan
pendapat. Akan tetapi jelas sekali bahwa penguasaan manusia atas lingkungannya
telah meningkat hebat sejak zaman palaeolithic. Dapat di katakana bahwa
peningkatan ini sebagian besar terjadi karena perbaikan sarana teknologi yang
dapat digunakan manusia dank arena pertumbuhan pengetahuan ilmiah. Budaya-
budaya modern sekarang ini sanggup menganut filsafat moral yang usianya telah
2000 tahun.
Demikianlah maka berbeda dengan ekologi umum, ekologi budaya tidak
sekedar membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem
tertentu, melainkan membahas cara manusia (berkat budaya sebagai sarananya)
memanipulasi dan membentuk ekosistem itu sendiri. Para ekolog budaya
menekankan bahwa berbagai corak manipulasi lingkungan (adaptasi nonpasif)
telah menghasilkan berbagai ragam konfigurasi dan system budaya.
Dari pembahasan diatas menjadi jelas bahwa dua konsep sentral dalam
ekologi-budaya ialah lingkungan (environment) dan adaptasi (adaptation). Kata
lingkungan umumnya disama-artikan dengan ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang
menandai habitat alami: cuaca, flora dan fauna, tanah, pola hujan, dan bahkan
ada-tidaknya mineral di bawah tanah. Salah satu kaidah dasar ekologi-budaya
26
adalah pembedaan antara lingkungan-sebagaimana-adanya dengan lingkungan
efektif, yakni lingkungan sebagimana dikonseptualisasikan, dimanfaatkan dan
dimodifikasi oleh manusia.
Adaptasi merupakan proses yang menghubungkan sistem budaya dengan
lingkungannya. Budaya dan lingkungan berinteraksi dalam sesuatu sistem tunggal
tidaklah berarti bahwa pengaruh kausal dari budaya ke lingkungan niscaya sama
besar dengan pengaruh lingkungan terhadap budaya. Dengan kemajuan teknologi,
maka faktor dinamik dalam kepaduan budaya dan lingkungan makin lama makin
didominasi oleh budaya dan bukannya oleh lingkungan sebagai lingkungan itu
sendiri.
Konsep adaptasi menurut para antropolog adalah bahwa suatu budaya
yang sedang bekerja, dan mengganggap bahwa warga budaya itu telah melakukan
semacam adaptasi terhadap lingkungannya secara berhasil baik. Seandainya tidak
demikian, budaya itu niscaya sudah lenyap, dan kalaupun ada peninggalannya itu
hanya akan berupa kenangan arkeologis tentang kegagalan budaya itu beradaptasi.
Artinya kegagalannya untuk lestari sebagai sebentuk budaya yang hidup. Dua
budaya dalam lingkungan yang sama, salah satunya mampu melebarkan sayapnya
dengan merugikan budaya lainnya. Hal ini berarti kelestarian budaya yang
pertama mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya dibanding
dengan adaptasi budaya yang digusurnya.
Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan
lingkungan hidup dalam perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana
memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik antara
26
lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi
Budaya
Menurut Julian Steward (dalam Ihromi 2006:70)
Ekologi budaya yaitu analisa mengenai hubungan antara suatu kebudayaan
alam dengan sekitarnya atau lingkungannya. Steward merasa bahwa
penjelasan untuk beberapa aspek-aspek variasi kebudayaan dapat dicari
dalam adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya.
Teori ekologi berbeda dengan teori yang lain. Teori ekologi menempatkan
tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis. Teori ini mengajukan
suatu pandangan bahwa lingkungan sangat kuat mempengaruhi perkembangan.
Teori ekologi ( ecological theory) ialah pandangan sosio kultural tentang
perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan mulai dari masukan
interaksi langsung dengan agen-agen sosial (social agent) yang berkembang baik
hingga masukkan kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem dalam teori
ekologi bronfenbrenner ialah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem,
dan kronosistem.
Mikrosistem (micrisystem) dalam teori ekologi Bronfebrenner ialah setting
dalam mana individu hidup. Mikrosistem adalah yang paling dekat dengan pribadi
anak yaitu meliputi keluarga, guru, individu, teman-teman sebaya, sekolah,
lingkungan dan sebagainya yang sehari-hari ditemui anak. Dalam mikrositem
inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung,
misalnya; dengan orang tua, teman sebaya dan guru. Individu tidak dipandang
sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai
seseorang yang menolong membangun setting. Bronfrenbrenner menunjukkan
26
bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus
pada mikrosistem.
Mesosistem adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro
meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks misal
hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, gru-teman, dapat juga
hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga, pengalaman
sekolah dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman keluarga dengan
pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak
mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan
guru. Para developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam
setting majemukuntuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang
perkembangan individu.
Eksosistem dalam teori Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-
pengalaman dalam setting sosial lain – dimana individu tidak memiliki peran yang
aktif – mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Atau
sederhananya menurut eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak
memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat
mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang
ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak
perjalanan yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola
interaksi orang tua-anak. Maka diketahui bahwa eksosistem tidak langsung
menyentuh pribadi anak akan tetapi masih besar pengaruhnya seperti koran,
televisi, dokter, keluarga besar, dll.
26
Makrosistem meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kita ketahui
bahwa kebudayaan mengacu pada pola prilaku, keyakinan, dan semua produk lain
dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kita ketahui
pula bahwa studi lintas budaya – perbandingan antara satu kebudayaan dengan
satu atau lebih kebudayaan lain – memberi informasi tentang generalitas
perkembangan. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi,
agama, hukum, adat istiadat, budaya, dll.
Kronosistem meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian
kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Misal, dalam mempelajari dampak
perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif
sering memuncak pada tahun pertama setelah percaraian. Atau dengan
mempertimbangkan keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan
tampaknya sangat didorong untuk meniti karier dibanding pada 20 atau 30 tahun
lalu.
2.5 Struktural Fungsional
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan
dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa
dasawarsa silam. (Sudah barang tentu menonjolkan fungsionalisme dan kerja
lapangan lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan hal kebetulan).
Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi
yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologi bahwa kita harus
mengesplorasi ciri sistematik budaya. Artinya kita harus mengetahui bagaimana
26
perkaitan antara stitusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga
membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah memandang budaya
sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang muncul di
sana sini karena kemunculan historis.
Kiranya perwujudan metologi seperti metodologi fungsionalisme inilah yang
diuraikan oleh Kingsley Davis (dalam David Kaplan 1999:76) yang menyatakan
bahwa :
Fungsionalisme sinonim dengan analisis sosiologis dan antropologis. Akan
tetapi karena semua ilmu berkepentingan dengan pengisolasian system secara
konseptual dan pengeksplorasian variabel dalam system tersebut, pandangan
fungsionalisme bukan hanya sinonim bagi ilmu social saja. Dalam arti yang
lebih luas , sinonim dengan semua ilmu.
Dalam teori fungsionalisme struktural dikenal sebagai integration approach,
order approach, dan equilibrium approach, menekankan keteraturan sebagai
sumber integrasi dan keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat merupakan
suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada
suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi
dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sisitem sosial, fungsional terhadap
yang lain, secara ekstrim dapat digambarkan bahwa semua peristiwa dan semua
struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Adapun dalam ilmu antropolog biasanya bekerja dengan menggunakan asumsi
yang tersirat, yakni mengenai batasan unit yang sedang diamati (desa, suku dan
komunitas). Robert marton (dalam David Kaplan 1999:79) menyebutkan asumsi
tersirat itu sebagai :
26
1) Postulat keutuhan fungsional masyarakat, yakni bahwa segala sesuatu
berhubungan fungsional dengan segala sesuatu yang lain.
2) Postulat fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya
melaksanakan sesuatu fungsi dan tidak ada satu pun unsure lain yang
melaksanakan fungsi yang sama itu.
Dalam upaya menjernihkan konsep fungsi Marton (dalam David Kaplan
1999:79) telah memperkenalkan perbedaan antara fungsi manifest dan fungsi laten
(fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak atau unsure budaya.
Fungsi manifest ialah konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada
penyesuaian atau adaptasi system yang dikehendaki dan disadari oleh
partisipan system tersebut. Sebaliknya fungsi laten adalah konsekuensi
objektif dari suatu budaya yang tidak dikehendaki maupun disadari oleh warga
masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural memiliki titik prioritas pada keteraturan sosial dan
sedikit memperhatikan masalah perubahan sosial. Titik prioritas itu antara lain :
1. Sistem memiliki property keteraturan dan bagian-bagian yang saling
tergantung.
2. Sistem cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan-diri atau
keseimbangan.
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian suatu system berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian
yang lain.
5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan system.
7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan-diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian
26
dengan keseluruhan system, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda
dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah system dari dalam.
Dalam hal ini Raymond Firth (dalam David Kaplan 1999:83) mengemukakan
bahwa satu diantara masalah-masalah pokok analisis fungsional adalah :
Kesulitan dipihak pengamat untuk memperkirakan fungsi-fungsi dalam
situasi empirik. Banyak hal bergantung pada pandangan pengamat tentang
karakter keseluruhan hubungan-hubungan sosial, dan bergantung pula
pada teori yang menurut pengamat dapat diterapkan. Contohnya orang
dapat membahas “fungsi protes” dan fungsi “penekan” yang dimiliki
serikat-serikat dengan sebagai fungsi introvert yang melayani
kepentingannya sendiri dan keterpeliharaannya solidaritas internalya.
Akan tetapi orang dapat memandangnya sebagai sesuatu yang
disfungsional dari titik pandang bahwa masyarakat adalah suatu
keseluruhan yang bulat, dan ada praktek-praktek tertentu yang bersifat
menghambat atau mengganggu keutuhan itu. Sebaliknya orang dapat
memandangnya sebagai bagian dari proses keseluruhan dimana kelompok-
kelompok serta-merta mengungkapkan diri serta bekerja ditengah
masyarakat, memberikan keyakinan diri dan energy kepada anggota-
anggotanya, dan mempersembahkan hasil karyanya kepada masyarakat
yang mengandalkan upaya kelompok-kelompok tersebut.
Dalam fungsionalis struktural dikenal juga teori tentang Stuktur sosial dan
anomie yakni analisis mengenai hubungan antar kultur, struktur, dan anomie.
Kultur sebagai seperangkat nilai normative yang terorganisir, yang menentukan
perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok. Struktur sosial
adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang dengan berbagai cara
melibatkan anggota masyarakat atau kelompok didalamnya. Anomie terjadi bila
ada keputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang
terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan
nilai kultural. Artinya bahwa karena posisi mereka didalam struktur sosial
26
masyarakat beberapa orang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normative.
Kultur menghendaki tipe prilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur sosial.
Teori Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam
sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah
struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme
menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen
konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum
yang dipopulerkan Herbert Spencer http://rifghy.blogspot.com/2012/06/teori-
fungsionalisme-struktural-dan.html (di akses tanggal 11 juli 2013)
Menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai “organ” yang bekerja
demi berfungsinya seluruh “badan” secara wajar. Dalam arti paling
mendasar, istilah ini menekankan “upaya untuk menghubungkan, sebisa
mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap
berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.
Selain itu, 2 macam mekanisme yang dapat mengintergrasikan sistem-
sistem personal ke dalam sistem sosial, yaitu mekanisme sosialisasi dan
mekanisme kontrol sosial. Melalui operasi kedua mekanisme ini, sistem personal
akan menjadi terstruktur dan secara harmonis terlihat di dalam struktur sistem
sosial.
Didalam pengertiannya yang secara abstrak mekanisme sosial dipandang
sebagai cara dimana pola-pola kultural, seperti nilai-nilai, kepercayaan-
kepercayaan, bahasa serta simbol-simbol lain diinternalisasikan ke dalam sistem
personal. Mekanisme kontrol sosial melibatkan cara-cara di mana tindakan-
tindakan sosial diorganisasikan didalam sistem sosial untuk mengurangi
26
ketegangan dan penyimpangan. Ada beberapa mekanisme spesifik dari kontrol
sosial, antara lain: a) institusionalisasi, yang membuat pengharapan-pengharapan
didalam masyarakat menjadi jelas dan terkontrol, b) adanya sanksi, dimana
anggota masyarakat terikat di dalamnya, c) aktivitas-aktivitas keagamaan, dimana
ketegangan dan penyimpangan dapat diredam dan dikurangi, d) struktur kutub
pengamanan, dimana kecenderungan-kecenderungan penyimpangan dapat
diarahkan ke kondisi normal kembali, e) struktur-struktur reintegrasi, dan f)
sistem yang memiliki kemampuan dalam menggunakan kekuasaan dan tekanan.
Menurut pandangan Melinowski (dalam Ihromi 2006:62)
Tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang
sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Pendekatan yang fungsional mempunyai suatu nilai praktis yang penting. Nilai
yang praktis dari teori tersebut diatas (teori fungsionalisme) adalah bahwa
teori ini mengajar tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang
beragam itu.
Pembahasan tersebut diatas adalah gambaran tentang teori fungsional
structural, seperti yang telah kita ketahui bersama adalah teori fungsional
structural melahirkan sebuah reaksi sehingga lahirlah teori konflik yang
berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme structural dan akibat berbagai
kritik dari teori fungsional structural. Masalah mendasar dalam teori konflik
adalah teori tersebut tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar structural
fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme structural yang
angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap
masyarakat.
26
Dalam penelitian ini, walaupun menggunakan jenis atau desain penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus, pendekatannya tetap objektif,
karena peneliti tetap dalam posisi outsider yang menggambarkan, menganalisa
dan menginterpretasikan hasil penelitian sebagaimana yang dikemukakan oleh
informan. Oleh karena penelitian ini lebih menekankan pada metode kualitatif-
studi kasus; maka fungsi dan kedudukan teori-teori di sini lebih merupakan
”rambu-rambu” yang membatasi wilayah fenomena yang diteliti.
Salah satu pendekatan sosiologi komunikasi yang digunakan untuk
menelaah sistem politik dalam hal ini fungsi komunikasi politik pada Partai
Persatuan Pembangunan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya
adalah teori struktural fungsional sebagai teori umum (general theory) dalam
disiplin ilmu komunikasi. Model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai
berikut: (1) sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur
yang saling berkaitan; (2) adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-
faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem; (3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat
yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem; (4) adanya spesifikasi jalan
yang menentukan perbedaan nilai; dan (5) adanya aturan tentang bagaimana
bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga
eksistensi sistem.
Untuk mengetahui aktifitas sosial, norma dan kepercayaan tertentu dalam
suatu masyarakat, sebenarnya dapat dilihat bagaimana satuan atau bagian tertentu
itu dalam lingkup keseluruhan masyarakat, seperti melihat sebagian dari seluruh
masyarakat dan manakah yang berfungsi secara khusus dari sistem ekonomi
26
ataukah politik; asumsi yang kedua, fungsional itu bersifat sejagat atau universal;
andaian ini bersifat positif karena unsur-unsur organisasi sosial atau tingkah laku
itu haruslah memenuhi fungsi yang berfaedah apabila masih berwujud dalam
jangka waktu tertentu.
Keadaan itu kemudian mengandung makna bahwa tidaklah semua unsur
memenuhi fungsi yang positif. Mungkin tidak semua unsur itu berfungsi bagi
seluruh masyarakat, tetapi pada sisi lain ada unsur yang berfungsi pada bagian
yang satu dan tidak berfungsi pada bagian lainnya. Unsur yang tidak berfungsi
pada bagian tertentu memiliki nilai negatif dan menimbulkan ketidakpahaman
sistem. Sehingga tidak berfungsi (disfungsional) atau menceraiberaikan
kemampuan keseluruhan sistem sosial; asumsi yangketiga, tanpa kekecualian
(indispensibility) yang termasuk dalam dua konsep, yaitu: kebutuhan yang
berfungsi dan konsep praktis, institusi sosial, yang dengan perspektif fungsional
ini mengungkapkan suatu pendekatan tentang kehidupan sosial atau kehidupan
diri kita sendiri dalam suatu masyarakat. Dalam analisis sosial terdapat suatu
perbedaan antara fungsi yang tampak (manifest), dan fungsi terpendam (latent).
Fungsi yang tampak adalah tindakan tingkah laku sosial yang dialami oleh para
individu tersebut. Karena itu selalu ada kemungkinan dari sebagian sistem
kepercayaan, adat kebiasaan, dan tingkah laku sosial lainnya yang tidak atau
kurang berfungsi bagi sebagian anggota masyarakat lainnya.
Walaupun teori struktural fungsional banyak manfaatnya, namum kritik
dan revisi atas teori ini masih terus berlangsung, diantaranya kekurangan teori ini
sebagai berikut: (1) keyakinan bahwasanya ada masyarakat yang tanpa lapisan
26
sosial harus diabaikan; (2) beberapa tindakan dan institusi sosial tampak tidak
nyata hubungannya dengan tindakan dan institusi sosial lainnya; (3) teori ini
beranjak dari pengalaman lapangan formatif untuk menemukan bahwa masyarakat
itu dapat dipahami sebagai suatu sistem yang berkaitan dan rasional, tanpa melihat
kaitan unsur-unsur budaya yang diteliti masa silam; (4) pertimbangan teori ini
sebagian terletak hanya pada gambaran eksplanasi yang memerlukan fakta yang
diketahui dan mampu diobservasi, terutama kebudayaan material atau benda-
benda yang tampak.