Upload
firdausfirsyah
View
80
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI,
DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG
Oleh: Muhammad Firly Talib
C64104065
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI,
DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh: Muhammad Firly Talib
C64104065
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SKRIPSI
Judul Skripsi : STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG
Nama Mahasiswa : Muhammad Firly Talib Nomor Pokok : C64104065
Disetujui,
Dosen pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP. 131 292 004 NIP. 132 090 871
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799 Tanggal lulus : 27 Oktober 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2008
Muhammad Firly Talib C64104065
RINGKASAN
MUHAMMAD FIRLY TALIB. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN dan MUJIZAT KAWAROE
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola zonasi (sebaran) mangrove, struktur mangrove dan makrozoobenthos (moluska) yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove, serta keterkaitan mangrove dengan makrozoobenthosnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2008 di desa Tanah Merah dan desa Oebelo Kecil, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, FPIK IPB, dan P2O LIPI Oseanografi, Jakarta Utara.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, refraktometer, pH-Eh meter, GPS, Roll meter, tali rafia, gunting, kamera, kantung plastik, label beserta alat-alat tulis, data sheet, skop, dan buku penuntun identifikasi mangrove dan makrozoobenthos (moluska), sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan formalin 10%.
Pengukuran kondisi ekosistem mangrove dilakukan menggunakan transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m (kategori pohon), 5 m x 5 m (kategori anakan) dan 1 m x 1 m (kategori semai), sedangkan populasi makrozoobenthos menggunakan transek kuadrat 1 m x 1 m. Analisis Koresponden digunakan untuk mengkaji hubungan antara vegetasi mangrove dengan makrozoobenthos (moluska).
Ekosistem mangrove di lokasi penelitian relatif heterogen dan ditemukan mencapai 11 spesies mangrove. Kondisi hutan mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo kecil sebagian besar sudah rusak akibat adanya aktifitas pembukaan lahan tambak garam abu.
Keanekaragaman makrozoobenthos tinggi pada lokasi yang memiliki kondisi hutan mangrove relatif baik. Makrozoobenthos (moluska) memiliki hubungan yang erat dengan mangrove, tetapi tidak semua jenis makrozoobenthos (moluska) yang ditemukan memiliki hubungan yang erat dengan vegetasi mangrove.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobenthos
yang berkoeksistensi, di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten kupang.
Dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si
selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
tuntunan, dan pengetahuan
2. Rowi selaku asisten lapang yang telah memberikan banyak bantuan dalam
pengambilan data di lapangan
3. BPTP Kupang yang telah memberikan pinjaman alat selama penelitian
4. Keluarga di Kupang terutama Nenek, Baed, Ratna, dan Rahmi yang yang
memberikan tempat tinggal, makan, serta bantuan-bantuan lainnya yang
tidak bisa disebutkan satu-persatu
5. Kelompok tani Dalekesa Oebelo Kecil yang memberikan pinjaman kapal
dan membantu dalam proses penelitian di lapangan
6. Pak Ruslan MSP yang banyak membantu dalam proses identifikasi
makrozoobenthos
7. Orang tua tercinta, Kakak, dan Adik yang banyak memberikan dukungan,
semangat, dan kasih sayang
8. Rissa Maritsa Oktarina yang banyak membantu dalam proses pembuatan
skripsi
9. Pusat penelitian Oceanografi (P2O LIPI) yang memberikan sarana dalam
proses identifikasi makrozoobenthos (moluska)
10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2008
Muhammad Firly Talib
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ........... .............................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 2.1 Pengertian mangrove................................................................................... 4 2.2 Fungsi dan peranan mangrove ................................................................ 6 2.3 Zonasi mangrove.............................................. .......................................... 6 2.4 Karakteristik vegetasi mangrove.................................................................. 9 2.5 Makrozoobenthos yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove............. 10
3. BAHAN DAN METODE .......... .................. 12 3.1 Waktu dan tempat..................................................................................... 12 3.2 Alat dan bahan............................................................................................ 12 3.3 Metode kerja............................................................................................... 12
3.3.1 Penentuan stasiun penelitian............................................................. 12 3.3.2 Pengambilan Contoh Vegetasi Mangrove......................................... 14 3.3.3 Pengambilan data parameter fisika-kimia ... 15 3.3.4 Pengambilan contoh makrozoobenthos............................................. 16
3.4 Analisis data .............................. 16 3.4.1 Vegetasi mangrove ............................................... 16
3.4.1.1 Kerapatan jenis dan kerapatan relatif................................... 17 3.4.1.2 Frekuensi jenis dan frekuensi relatif.................................... 17 3.4.1.3 Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis..... 18 3.4.1.4 Indeks nilai penting...... 19
3.4.2 Struktur komunitas makrozoobenthos....................... 19 3.4.2.1 Kepadatan ........ 19 3.4.2.2 Keanekaragaman ......... 19 3.4.4.2 Keseragaman ....... 20 3.4.4.2 Dominansi ....... 21 3.4.2.5 Indeks Bray-Curtis....................................................... 22 3.4.2.5. Hubungan makrozoobenthos-mangrove menggunakan
analisis koresponden .......................................................... 22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN . .................. 23 4.1. Keadaan umum lokasi penelitian............................................................. 23
4.2 Struktur Vegetasi Mangrove..................................................................... 25 4.2.1 Komposisi jenis .................................................... 25 4.2.2 Kerapatan jenis ..................................................... 28 4.2.3 Indeks nilai penting (INP)......................................... 37 4.2.4 Pola zonasi (sebaran) mangrove ... 42
4.3 Karakteristik fisika dan kimia di perairan................................................. 46 4.3.1 Suhu ..................................................................... 46 4.3.2 Salinitas ............................................................... 50 4.3.3 Derajat keasaman (pH) dan reduksi-oksidasi (Eh) tanah......... 51 4.3.4. Substrat................................................................. 52
4.4 Struktur komunitas makrozoobenthos (moluska) .................................... 53 4.4.1 Komposisi jenis dan kepadatan makrozoobenthos (moluska).. 53 4.4.2 Keanekaragaman (H), keseragaman (E), dan dominansi (D).......... 64 4.4.3 Similaritas antar stasiun penelitian............................... 66 4.4.4 Hubungan antara spesies makrozoobenthos dengan vegetasi mangrove
tertentu ............................................................................................. 68
5. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 72 5.1. Kesimpulan......................................................................................... 72 5.2. Saran................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 74 LAMPIRAN....................................................................................................... 77 RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 86
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Parameter lingkungan mangrove dan makrozoobenthos serta metode atau alat
pengukurannya .............................................................................................. 15 2. Indeks nilai penting pohon.................................................. 38 3. Indeks nilai penting anakan..................................................................... 39 4. Indeks nilai penting semai.......................................... 41 5. Indeks keanekaragaman (H), keseragaman (E), dan dominansi (D)
makrozoobenthos................................................... 64 6. Matriks similaritas antar stasiun...................................................................... 66
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Pola zonasi mangrove (Bengen, 2004) .................................. 8 2. Peta lokasi stasiun penelitian di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil...... 13 3. Skematik penempatan transek pengukuran vegetasi mangrove di lokasi
pengamtan...................................................................................................... 14 4. Transek pengukuran vegetasi mangrove berdasarkan kategori pohon (10m X
10m), anakan (5m X 5m), dan semai (1m X 1m) .............. 15 5. Transek pengukuran makrozoobenthos ............. 16 6. Gambaran umum lokasi penelitian di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil. 24 7. Komposisi (%) spesies mangrove pohon ...................................................... 26 8. Komposisi (%) spesies mangrove anakan...................................................... 26 9. Komposisi (%) spesies mangrove semai ..................................................... 27 10. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 1. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii)
Semai................................................................................................ 29 11. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 2. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii)
Semai ............................................................................................... 30 12. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 3. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii)
Semai.................................................................... ........................... 32 13. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 4. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii)
Semai.................................................................... ....................................... 34 14. Kerapatan jenis (ind/100m2) mangrove Stasiun 5. (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii)
Semai.................................................................... ....................................... 36 15. Indeks nilai penting pohon ........................................................................... 38 16. Indeks nilai penting anakan .............................................. 40 17. Indeks nilai penting semai......................................................................... 41 18. Pola zonasi hutan mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil pada
bulan Maret ......................................... 43
19. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan pertama ........................................................................................................................ 47
20. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan kedua
........................................................................................................................ 48 21. Komposisi (%) spesies makrozoobethos ........................................................ 53 22. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 1............................... 56 23. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 2........................................... 56 24. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 3........................................... 58 25. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 4 .......................... 60 26. Kepadatan (ind/m2) makrozoobenthos Stasiun 5 .............................. 62 27. Dendrogram similaritas antar stasiun ........................................................... 67 28. Grafik hubungan antara makrozoobenthos dan mangrove ............................ 70
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Waktu pengambilan data......................................................... 77 2. Indeks disimilaritas dan similaritas antar 2 lokasi/stasiun................... 77 3. Tabel parameter fisika-kimia.............................................. 78 4. Tipe substrat pada stasiun pengamatan ............................................... 79 5. Matriks kepadatan makrozoobenthos terhadap mangrove............................... 80 6. Hasil pengolahan correspondence analysis..................................................... 81 7. Proses pengambilan dan pengolahan data........................................................ 83 8. Foto-foto makrozoobenthos............................................................................. 84
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Zonasi merupakan suatu fenomena ekologi yang menarik di perairan pesisir,
yang merupakan daerah yang terkena ritme pasang-surut air laut. Pengaruh dari
pasang-surut air laut yang berbeda untuk tiap zona memungkinkan
berkembangnya komunitas yang khas untuk masing masing zona di daerah ini
(Peterson, 1991). Studi zonasi di perairan pantai berbatu telah banyak dilakukan,
sebaliknya studi zonasi di perairan pantai bersubstrat lunak (pasir dan lumpur)
masih sangat kurang. Demikian pula informasi mengenai zonasi di perairan
pantai di daerah subtropis lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan di daerah
tropis (Morton, 1990). Hal ini disebabkan karena penelitian mengenai zonasi di
perairan pantai daerah tropis masih belum banyak dilakukan, tidak terkecuali di
Indonesia.
Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna
daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air
pasang dan surut. Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantai
dari erosi, gelombang laut dan angin topan, serta berperan juga sebagai buffer
(perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap
endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa
ke tengah laut oleh arus. Ekosistem mangrove selain melindungi pantai dari
gelombang dan angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain
seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, dan serangga.
Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove
juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem
kehidupan di sekitarnya. Menurut Bengen (2004) tumbuhan mangrove
merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota
yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya,
komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah
tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan
mangrove (daun, ranting, buah, batang, dsb). Banyak fauna khususnya bentos
yang berkoeksistensi di hutan mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi,
seperti kepiting bakau, beberapa jenis krustasea, kerang-kerangan, dan
gastropoda.
Pemerintah kabupaten Kupang menyatakan bahwa kawasan pesisir di
kabupaten Kupang terkena dampak degradasi sumberdaya pesisir akibat
kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang di sepanjang 10 km garis pantai
selama beberapa dasawarsa terakhir. Walaupun dengan keterbatasan sumberdaya
pesisir seperti tersebut di atas sumberdaya manusia pesisir masih mempertahankan
mata pencahariannya di bidang perikanan dengan cara ekspansi wilayah.
Pemanfaatan potensi yang ada secara maksimal sangat perlu dilakukan agar
hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat, dan data sumberdaya pesisir
(khususnya hutan mangrove) sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar
kemungkinan pengembangan potensi perikanan di kabupaten Kupang, sementara
ini data yang tersedia masih sedikit. Ekosistem mangrove berpotensi sebagai
penyedia sumberdaya seperti kayu, berbagai jenis kepiting, kerang, udang,
moluska yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, ekosistem mangrove
juga berperan sebagai penyedia jasa lingkungan , seperti ekowisata. Oleh karena
itu, penelitian ini mengambil topik Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove
serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi di Dalamnya.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur dan pola zonasi (sebaran)
mangrove; dan struktur komunitas makrozoobenthos (moluska) yang
berkoeksistensi di ekosistem mangrove serta keterkaitan antara sebaran mangrove
dan jenis dari makrozoobenthos (moluska) yang ada.
Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan adanya pengaruh
dari pola zonasi mangrove terhadap sebaran dari jenis-jenis makrozoobenthos
(moluska) yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian mangrove
Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai mangue dan istilah Inggris grove, bila disatukan akan
menjadi mangrove atau mangrave. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa
Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan mangi-mangi atau mangin.
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006).
Mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon-pohonan yang khas atau semak yang memiliki
kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut (Nybakken, 1992). Anwar et al,
(1984) mendefinisikan hutan mangrove sebagai formasi tumbuhan litoral yang
tumbuh di daerah pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya tersebar
di daerah tropis dan subtropis, sedangkan pengertian dari kata mangrove menurut
Darsidi (1986) adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang-surut
tetapi mereka juga terdapat pada pantai karang dan daratan koral mati yang di
atasnya ditimbuni selapis pasir (lumpur) atau pada pantai berlumpur. Dengan
demikian hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Peristiwa pasang-surut yang berpengaruh langsung terhadap ekosistem
mangrove menyebabkan komunitas ini umumnya didominasi oleh spesies-spesies
pohon yang keras atau semak-semak yang mempunyai manfaat pada perairan
payau. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi komunitas mangrove, yaitu
salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dan substrat dasar
(Nybakken, 1992). Kondisi fisika kimia perairan hutan mangrove sangat
dipengaruhi oleh volume air tawar dan air laut yang bercampur. Mangrove
tumbuh dengan baik dari ketinggian permukaan laut sampai dengan rata-rata
permukaan pasang. Jenis tanaman tersebut bukan saja harus toleran terhadap
garam, melainkan juga harus mampu untuk menahan kondisi tergenang dan
kondisi-kondisi bawah yang anaerobik. Menurut Bengen dan Dutton (2004)
dalam Northcote dan Hartman (2004) karakteristik utama ekosistem mangrove di
Indonesia adalah sebagai berikut; tidak dipengaruhi oleh faktor iklim; dipengaruhi
oleh kondisi pasang surut; terletak pada tanah yang sebagian besar terdiri dari
lumpur dan pasir yang tergenang oleh air laut; terletak pada daerah pantai yang
landai; tidak terstruktur berdasarkan penutupannya/stratifikasi berdasarkan
tegakan; jenis-jenis pohon mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora, Avicennia,
Sonneratia, Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera, dan Nypa fruiicans; terdiri dari
pohon-pohon yang dapat tumbuh mencapai lebih dari 30 meter; komposisi
vegetasinya dari pantai adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Rhizophora/Bruguiera, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera, dan Nypa fructicans;
komposisi dari spesies-spesies vegetasi yang berasosiasi adalah Acrostichum
aureum, Acanthus ilicifolius, A. Ebracteatus.
Ekosistem mangrove ini sering disebut juga sebagai hutan payau karena
tumbuh di air payau, sedangkan hutan mangrove yang didominasi oleh jenis-jenis
bakau disebut hutan bakau.
Mangrove tumbuh paling baik di daerah muara sungai dan aliran air dimana
terjadi pengendapan tanah liat yang membentuk dataran rendah berlumpur.
Kecepatan aliran sungai berkurang di muara yang memungkinkan tanah liat
mengendap
. 2.2. Fungsi dan peranan mangrove
Mangrove merupakan contoh ekosistem yang banyak ditemui di sepanjang
pantai tropis dan estuari. Ekosistem ini memiliki fungsi sebagai penyaring bahan
nutrisi dan penghasil bahan organik, serta berfungsi sebagai daerah penyangga
antara daratan dan lautan. Bengen (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove
memiliki fungsi dan manfaat, antara lain; sebagai peredam gelombang dan angin
badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; penghasil
sejumlah besar detritus dari daun dan pohon mangrove; daerah asuhan (nursery
grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan
(spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; penghasil
kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku
kertas (pulp); pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya; dan sebagai
tempat pariwisata.
2.3. Zonasi mangrove
Ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik pada zona pasang-surut di
sepanjang garis pantai daerah tropis seperti laguna, rawa, delta, dan muara sungai.
Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks,
karena di dalam ekosistem mangrove dan perairan maupun tanah di bawahnya
merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Dinamis,
karena ekosistem mangrove dapat terus tumbuh dan berkembang serta mengalami
suksesi serta perubahan zonasi sesuai dengan tempat tumbuh. Labil, karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Kusmana, 1995). Pertumbuhan
mangrove akan menurun jika suplai air tawar dan sedimen rendah.
Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika
dibandingkan dengan hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi
lahan hutan mangrove yang senantiasa atau secara periodik digenangi oleh air
laut, sehingga mempunyai salinitas yang tinggi dan berpengaruh terhadap
keberadaan jenisnya. Jenis yang dapat tumbuh pada ekosistem mangrove adalah
jenis halofit, yaitu jenis-jenis tegakan yang mampu bertahan pada tanah yang
mengandung garam dari genangan air laut.
Kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove
cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies
mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga di
dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien daripada
spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik
setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau
asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai.
Faktor-faktor lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuh-
tumbuhan mangrove muda serta predasi terseleksi terhadap mangrove muda oleh
kepiting akan berpengaruh terhadap pen-zonaan.
Gambar 1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)
Watson (1928) dalam Kusmana (1995) berpendapat bahwa hutan mangrove
dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi
yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia
spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia
spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh
pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup
keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan
biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang
didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis
Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan
lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35-40 m.
Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan
Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-
kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang
didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza.
Menurut Bengen dan Dutton (2004) dalam Northcote dan Hartman (2004)
zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin,
toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut.
Zonasi yang menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan
tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang
disebabkan oleh laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis akan
menentukan komposisi jenis tiap zonasi.
2.4. Karakteristik vegetasi mangrove
Jenis-jenis mangrove di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia,
seluruhnya tercatat 89 spesies yang terbagi menjadi 35 jenis pohon, 5 jenis terna,
9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis efifit dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987).
Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di pesisir Indonesia adalah bakau
(Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), bogem (Sonneratia spp), tancang
(Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tengar (Ceriops spp), dan buta-buta
(Excoecaria spp).
Menurut Istomo (1992), ciri khusus habitat vegetasi mangrove adalah keadaan
tanah yang berlumpur atau berpasir, salinitas, penggenangan, pasang surut, dan
kandungan oksigen tanah. Untuk itu vegetasi mangrove akan beradaptasi melalui
perubahan dan ciri khusus fisiologi, morfologis, fenologi, fisiognomi, dan
komposisi struktur vegetasinya. Ekosistem hutan mangrove dengan sifatnya yang
khas dan kompleks menyebabkan hanya organisme tertentu saja yang mampu
bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menunjukkan keanekaragaman jenis
fauna hutan mangrove yang berafinitas laut kecil, tetapi kepadatan masing-masing
jenis umunya besar (Kartawinata et al, 1979).
Adaptasi pohon mangrove terhadap keadaan tanah (lumpur) dan kekurangan
oksigen dalam tanah adalah pembentukan morfologi sistem perakaran yang
berfungsi sebagai akar nafas (Pneumatofora) dan penunjang tegaknya pohon.
Menurut Bengen (2004), ada empat bentuk sistem perakaran pada hutan
mangrove, yaitu; Akar lutut, seperti yang terdapat pada Bruguiera spp; Akar cakar
ayam, seperti yang terdapat pada Sonneratia spp, Avicennia spp, dan kadang-
kadang Xylocarpus moluccensis; Akar tongkat/penyangga, seperti yang terdapat
pada Rhizophora spp; dan Akar papan seperti yang terdapat pada Ceriops spp.
2.5. Makrozoobenthos yang berkoeksistensi di ekosistem mangrove
Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik
dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan ataupun secara umum
merupakan sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya
berbagai flora dan fauna. Mulai dari perkembangan mikroorganisme seperti
bakteri dan jamur yang memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan dan
hewan-hewan laut kecil lainnya. Pada gilirannya akan menjadi makanan hewan
yang lebih besar dan akhirnya menjadi mangsa predator besar termasuk
pemanfaatan oleh manusia. Misalnya kepiting, ikan blodok, larva udang dan
lobster memakan plankton dan detritus di habitat ini. Kepiting diambil dan
dimanfaatkan manusia sebagai makanan.
Kelompok fauna perairan / akuatik yang berkoeksistensi di ekosistem hutan
mangrove (Irwanto, 2006), terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup di kolam
air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik
keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting,
kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Beberapa jenis invertebrata makrobentik yang bisa dijumpai di habitat
mangrove antara lain adalah; dari jenis krustasea seperti lobster lumpur
(Thalassina sp.), kepiting bakau, serta beberapa jenis dari gastropoda, polychaeta,
brachyurans, dan sipunculida. Masing-masing dari invertebrata makrobentik
tersebut ada yang hidup sebagai epifauna (hidup di atas permukaan substrat)
maupun infauna (hidup di dalam substrat).
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan tempat
Pengambilan data makrozoobenthos dan parameter fisika-kimia air dan
sedimen dilakukan sebanyak dua kali pada tanggal 8 dan 24 Maret 2008,
sedangkan pengambilan data mangrove hanya dilakukan satu kali pada tanggal 8
Maret 2008. Penelitian dilakukan di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lokasi penelitian untuk lebih jelasnya
ditunjukkan pada Gambar 2. Pengidentifikasian vegetasi dan makrozoobenthos
dilakukan di laboratorium biologi laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan adalah termometer air raksa, refraktometer, pH
meter, GPS, Roll meter, transek quadrat (1 m2), tali rafia, gunting, kamera,
kompas, kantung plastik, label beserta alat-alat tulis, data sheet, skop, dan buku
penuntun identifikasi mangrove dan makrozoobenthos, sedangkan bahan yang
digunakan adalah larutan formalin 10% untuk pengawetan makrozoobenthos.
3.3. Metode Kerja
3.3.1. Penentuan stasiun penelitian
Stasiun penelitian dipusatkan di bagian dalam ekosistem mangrove. Stasiun
pengamatan ditetapkan sebanyak 5 stasiun dengan area sepanjang transek garis
yang dibentangkan mulai dari batas daratan tumbuhnya mangrove sampai batas
laut dimana mangrove masih tumbuh. Pada masing-masing stasiun ditentukan 5
Desa Oebelo Kecil
Desa Tanah Merah
Gambar 2. Peta lokasi stasiun penelitian di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil pada bulan Maret
plot transek , kecuali Stasiun 1 yang hanya memiliki 4 transek dan Stasiun 5 yang
hanya memiliki 3 transek.. Transek pertama dimulai dari arah laut menuju ke
daratan dan tegak lurus garis pantai. Untuk daerah hutan yang sempit minimal
harus terdapat tiga plot transek seperti pada Stasiun 5. Masing-masing plot
transek memiliki jarak sekitar 150 meter, sedangkan jarak antar stasiun sekitar
500 meter. Posisi Transek diperlihatkan pada Gambar 3.
1
2
3
4
5 Line transect
Laut Darat
Transect
Stasiun
U
Gambar 3. Skematik penempatan transek pengukuran vegetasi mangrove di lokasi
pengamtan
3.3.2. Pengambilan contoh vegetasi mangrove
Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan
transek garis (line transec). Transek garis ditarik dari titik acuan (pohon
mangrove terluar) dengan arah tegak lurus garis pantai sampai ke daratan.
Identifikasi jenis mangrove langsung ditentukan pada transek tersebut (Bengen,
2004) dan dibuat petak-petak contoh dengan menurut tingkat tegakan :
1. Kategori pohon. Pada petak contoh (10 X 10) meter2 dengan diameter
batang lebih besar dari 4 cm pada ketinggian > 1 meter
2. Kategori anakan. Pada petak contoh (5 X 5) m2 dengan diameter batang
kurang dari 4 cm pada ketinggian > 1 m
3. Kategori semai. Pada petak contoh (1 X 1) m2 dengan ketinggian < 1 m
Contoh transek pengukuran vegetasi mangrove diperlihatkan pada Gambar 4.
10 m
10 m5 m
5 m1 m
1 m
Gambar 4. Transek pengukuran vegetasi mangrove berdasarkan kategori pohon
(10m X 10m), anakan (5m X 5m), dan semai (1m X 1m)
3.3.3 Pengambilan data parameter fisika-kimia
Metode pengambilan dan alat dalam pengambilan data parameter fisika-kimia
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter lingkungan mangrove dan makrozoobenthos serta metode atau
alat pengukurannya. Parameter Metode/alat
pH dan Eh tanah pH meter Suhu air dan udara (oC) Termometer Air Raksa Tipe substrat Secara visual Salinits air () Refraktometer Tegakan mangrove Penghitungan dilakukan terhadap jumlah tegakan pohon,
anakan, dan semai, dimana masing-masing kategori menggunakan luasan transek yang berbeda
Keliling batang mangrove Penghitungan dilakukan terhadap keliling batang pohon, anakan, dan semai, dimana masing-masing kategori menggunakan luasan transek yang berbeda
Jumlah makrozoobenthos Penghitungan dilakukan terhadap jumlah makrozoobenthos yang berada di substrat dan mangrove
3.3.4 Pengambilan contoh makrozoobenthos (moluska)
Makrozoobenthos yang diambil sebagai sampel hanya dari kelompok
moluska. Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan di dalam transek
pengamatan vegetasi 10m X 10m. Dalam setiap plot transek 10m X 10m tersebut
dibuat sub petak dengan lima titik, dimana masing-masing titik tersebut
menggunakan transek (1 X 1) m2. Contoh transek pengukuran makrozoobenthos
yang digunakan diperlihatkan pada Gambar 5.
10 m
10 m
1 m
1 m
Gambar 5. Transek pengukuran makrozoobenthos
Pengambilan contoh makrozoobenthos dilakukan dengan pada masing-masing sub
petak, pengambilan biota dilakukan pada substrat, batang dan akar mangrove.
Contoh biota yang diambil selanjutnya disaring dan diawetkan dengan
menggunakan formalin 10% kemudian diidentifikasi di laboratorium.
3.4. Analisis data
3.4.1. Vegetasi mangrove
Analisa data yang dilakukan menggunakan analisa Bengen (2004)
mencangkup nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi
relatif, penutupan jenis, penutupan relatif, dan indeks nilai penting.
3.4.1.1. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif
Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:
AnD ii =
Keterangan:
Di : Kerapatan jenis ke-i
ni : Jumlah total tegakan ke-i
A : Luas area total pengambilan contoh
Kerapatan relatif (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i dan
jumlah total tegakan seluruh jenis (n)
%100n
nRD ii = Keterangan:
RDi : Kerapatan relatif jenis ke-i
ni : Jumlah total tegakan dari jenis ke-i
n : Jumlah total tegakan seluruh jenis
3.4.1.2. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif
Frekuensi (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati
= PPF ii
Keterangan:
Fi : Frekuensi jenis ke-i
Pi : Junlah plot ditemukannya jenis ke-i
P : Jumlah plot pengamatan
Frekuensi relative (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)
dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (F)
%100F
FRF ii = Keterangan:
RFi : Frekuensi relative jenis i
Fi : Frekuensi jenis ke-i
F : Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
3.4.1.3. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis
Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area
ABA
Ci=
Keterangan:
Ci : Luas penutupan jenis i
BA : A
DBH2 , ( = 3.1416)
A : Luas total area pengambilan contoh (plot)
Penutupan relatif jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan
jenis i (Ci) dan total luas area penutupan untuk seluruh jenis (C)
%100C
CRC ii = Keterangan:
RCi : Penutupan relatif jenis i
Ci : Luas penutupan jenis ke-i
C : Total luas area penutupan untuk seluruh jenis
3.4.1.4. Indeks nilai penting
Indeks nilai penting adalah jumlah nilai kerapatan jenis (RDi), frekuensi relatif
jenis (RFi), dan penutupan relatif jenis (RCi).
iii RCRFRDINP ++= Nilai penting ini untuk memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau
peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem tersebut. Indeks nilai penting
memiliki kisaran antara 0-300.
3.4.2. Struktur komunitas makrozoobenthos (moluska)
3.4.2.1. Kepadatan
Kepadatan adalah jumlah jenis individu per satuan luas (Brower dan Zar,
1989)
AnD ii =
Keterangan:
Di : Kepadatan individu jenis ke-i (individu / m2)
ni : Jumlah individu jenis ke-i yang diperoleh
A : Luas total area pengambilan contoh
3.4.2.2. Keanekaragaman
Keanekaragaman spesies dapat diartikan sebagai heterogenitas spesies dan
merupakan ciri khas struktur komunitas. Formula yang digunakan untuk
menghitung keanekaragaman spesies didasarkan pada indeks Shannon (Brower
dan Zar, 1989), yaitu :
=
=s
1ii2i )PLog(P'H
Keterangan:
H: Indeks keanekaragaman
Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total
dimana Pi = ni / N
ni : Jumlah total individu semua spesies
s : Jumlah spesies atau taksa
3.4.2.3. Keseragaman
Keseragaman dapat diartikan sebagai penyebaran individu antar spesies yang
berbeda dan dapat diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H) dengan
keanekaragaman maksimal. Keseragaman juga dapat dikatakan sebagai
keseimbangan, yaitu komposisi individu tiap jenis yang terdapat dalam suatu
komunitas. Rumus indeks keseragaman (Brower dan Zar, 1989) dinyatakan
sebagai berikut :
maxH'HE =
Keterangan:
E : Indeks keseragaman (evennes)
H : Indeks keanekaragaman
H max : Log2s = 3.3219 Log s
s : Jumlah spesies atau taksa
Nilai indeks keseragaman spesies ini berkisar antara 0-1. Bila indeks
keseragaman mendekati 0, maka dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan
terjadi dominasi spesies yang disebabkan adanya ketidakstabilan faktor-faktor
lingkungan dan populasi. Bila nilai indeks keseragaman mendekati 1, maka
ekosistem tersebut berada dalam kondisi yang relatif merata, yaitu jumlah
individu untuk setiap spesies relatif sama dan perbedaannya tidak terlalu
mencolok (Brower dan Zar, 1989).
3.4.2.4. Dominasi
Dominasi dari spesies tertentu dapat diketahui dengan menggunakan Indeks
Dominasi Simpson (Brower dan Zar, 1989), dengan rumus :
=
=
s
1i
2i
NnD
Keterangan:
D : Indeks dominasi Simpson
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah total individu dari semua spesies
s : Jumlah spesies atau taksa
Nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1. Jika nilai indeks dominasi
mendekati 0, berarti tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti
dengan nilai indeks keseragaman yang besar. Apabila nilai indeks dominasi
mendekati 1 berarti ada salah satu genera yang mendominasi dan biasanya diikuti
dengan nilai indeks keseragaman yang kecil (Odum,1971).
3.4.2.5. Indeks Bray-Curtis
Indeks Bray-Curtis dipergunakan untuk menentukan ketidaksamaan
(disimilaritas) antar dua habitat berdasarkan jumlah anggota spesies antar kedua
habitat tersebut (Bengen, 2000), dengan rumus :
( )=
=
+
= n
1iikij
n
1iiklj
xx
xxB
Keterangan:
B : Indeks ketidaksamaan
n : Banyaknya spesies dalam contoh pengamatan
xik dan xij : Banyaknya individu spesies ke-i dalam setiap contoh ke-j dan
ke-k.
Indeks similaritas dapat ditentukan dengan cara mengurangi 1 dengan nilai
dari indeks disimilaritas (1 B)
3.4.2.5. Hubungan antara makrozoobenthos dan mangrove
Makrozoobenthos yang berasosiasi dengan mangrove dianalisis dengan
menggunakan analisis koresponden (correspondence analysis). Eratnya
hubungan antara jenis mangrove dengan spesies makrozoobenthos tertentu
ditentukan dengan banyaknya jumlah individu makrozoobenthos yang ditemukan
pada lokasi jenis mangrove.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan umum lokasi penelitian.
Lokasi penelitian secara umum berada di teluk Kupang, tepatnya di Kabupaten
Kupang sekitar 30 kilometer dari kota Kupang ke arah timur, yaitu di desa Tanah
Merah dan Oebelo Kecil. Wilayah pesisir di sepanjang teluk Kupang di tumbuhi
oleh mangrove yang sebagian besarnya merupakan ekosistem mangrove alami.
Keberadaan mangrove tersebut memberikan nuansa hijau di daerah pesisir teluk
Kupang. Gambaran umum lokasi penelitian secara visual diperlihatkan pada
Gambar 6.
Ekosistem mangrove pada lokasi penelitian rata-rata memiliki lebar mencapai
600 meter, dan panjang hutan yang dijadikan lokasi penelitian mencapai 2
kilometer yang dibagi menjadi 5 stasiun. Terdapat beberapa lokasi hutan yang
sudah rusak karena adanya pembukaan lahan hutan untuk dijadikan daerah
tambak garam abu, tetapi sekarang tambak tersebut sudah tidak digunakan lagi
oleh masyarakat sekitar. Selain itu, beberapa kerusakan yang terjadi juga
diakibatkan oleh aktifitas penebangan hutan oleh masyarakat sekitar untuk
dijadikan sebagai kayu bakar. Ekosistem mangrove pada lokasi penelitian
dilewati oleh sungai kecil yang memotong di tengah-tengah area hutan (Gambar
6). Sungai ini kemudian bercabang menjadi 3 sungai kecil dan bermuara masih di
areal lokasi penelitian. Sebagian hutan di lokasi penelitian ada yang dijadikan
sebagai areal rehabilitasi oleh pemerintah dan kelompok tani setempat. Beberapa
areal hutan mangrove masih memiliki kerapatan yang relatif sangat tinggi,
sehingga cukup menyulitkan untuk berjalan menembus areal tersebut.
0 0 .5 k m 1 k m
Teluk Kupang
Permukiman
Keterangan :
Sungai
Muara
Mangrove
Pantai
Perairan
Daratan
Tambak Garam
Gambar 6. Gambaran umum lokasi penelitian di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil
Nelayan sekitar menjadikan daerah hutan mangrove terutama di sungai sebagai
lokasi penangkapan udang, keong-keongan (gastropoda dan bivalvia), kepiting,
dan ikan. Dekat dengan lokasi penelitian terdapat lokasi pembibitan tanaman
mangrove yang dikelola oleh kelompok tani daerah tersebut, dimana hasil bibitnya
ada yang ditanam kembali di areal hutan sekitar dan ada yang dijual.
4.2 Struktur vegetasi mangrove.
4.2.1 Komposisi jenis
Mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil merupakan hutan mangrove
alami. Vegetasi mangrove yang ditemukan dibedakan antara pohon, anakan, dan
semai berdasarkan ukuran diameter batangnya. Ditemukan 11 spesies mangrove
pada 5 stasiun pengamatan, yaitu Sonneratia alba, Rhizophora mucronata,
Sonneratia casseolaris, Avicennia marina, Lumnitzera racemosa, Bruguera sp,
Ceriops decandra, Avicennia alba, Nypa fruticans, Aegiceras corniculatum, dan
Acanthus ilicifolius. Komposisi jenis vegetasi mangrove diperlihatkan pada
Gambar 7, 8 dan 9.
Komposisi spesies mangrove pohon yang tertinggi pada lokasi pengamatan
adalah Rhizophora mucronata sebesar 20,38%, dan yang terendah adalah
Aegiceras corniculatum sebesar 0,47% (Gambar 7). Rhizophora mucronata
memiliki komposisi yang tertinggi karena karakteristik yang dimiliki oleh lokasi
penelitian ini cocok dengan karakteristik yang dimiliki oleh Rhizophora
mucronata. Steenis (1958) dalam Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa
Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan baik pada tipe substrat lumpur yang
relatif tebal, pH tanah yang berkisar 6,6 dan 6,2. Rhizophora berkembang dengan
7.58
20.38
9.95
9.4815.64
1.90
6.64
2.37
20.850.47 Sonneratia alba
Rhizophora mucronataSonneratia casseolarisAvicennia marinaLumnitzera racemosaBruguiera spCeriops decandraAvicennia albaNypa fruticansAegiceras corniculatum
Gambar 7. Komposisi (%) spesies mangrove pohon
baik pada kisaran salinitas 10 30 (Bengen dan Dutton, 2004 dalam Northcote
dan Hartman, 2004). Rizophora mucronata ditemukan pada Stasiun 1 Transek 2,
Stasiun 2 Transek 2, 3, dan 4, serta Stasiun 4 Transek 2, 3, 5. Aegiceras
corniculatum hanya ditemukan pada Stasiun 2 Transek 5.
5.24
7.33
3.14
6.81
22.5
1
3.14
45.0
3
4.71 1.57
0.52 Sonneratia alba
Rhizophora mucronataSonneratia casseolarisAvicennia marinaLumnitzera racemosaBruguiera spCeriops decandraAvicennia albaNypa fruticansAegiceras corniculatum
Gambar 8. Komposisi (%) spesies mangrove anakan
Komposisi spesies mangrove anakan yang tertinggi adalah Ceriops decandra
sebesar 45,03%, sedangkan komposisi anakan yang terkecil adalah Aegiceras
corniculatum, yaitu sebesar 0,52% (Gambar 8). Meskipun Ceriops decandra
memiliki nilai komposisi yang tertinggi, namun spesies ini tumbuh mengelompok
dengan jumlah tinggi dan tidak tumbuh menyebar. Ceriops decandra hanya
ditemukan pada Stasiun 2 Transek 3, dan Stasiun 4 Transek 4. Aegiceras
corniculatum hanya ditemukan pada Stasiun 2 Transek 5 dengan jumlah yang
sedikit.
8.704.35
17.39
11.59
4.3514.49
28.99
10.14Sonneratia albaRhizophora mucronataAvicennia marinaLumnitzera racemosaCeriops decandraAvicennia albaAcanthus ilicifoliusAegiceras corniculatum
Gambar 9. Komposisi (%) spesies mangrove semai
Vegetasi semai dengan nilai komposisi tertinggi ditemukan pada spesies
asosiasi mangrove, yaitu Acanthus ilicifolius sebesar 28,99%, sedangkan yang
terendah adalah Rhizophora mucronata dan Ceriops decandra, yaitu sebesar
4,35% (Gambar 9). Acanthus ilicifolius ditemukan pada Stasiun 1 Transek 4,
Stasiun 2 Transek 5, dan sangat melimpah jumlahnya di Stasiun 3 Transek 5,
dimana lokasi-lokasi ini merupakan lokasi yang kondisi hutannya sudah rusak.
Menurut Bengen (2004), Acanthus ilicifolius merupakan tumbuhan berduri yang
dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur, dan merupakan tumbuhan yang
dominan tumbuh di hutan mangrove yang rusak.
4.2.2 Kerapatan jenis
Kerapatan jenis mangrove pohon merupakan jumlah individu mangrove yang
ditemukan dibagi dengan luas area pengamatan, yaitu 100m2 yang merupakan luas
dari transek yang dipergunakan. Dengan menghitung kerapatan jenis mangrove
pada masing-masing stasiun, maka akan terlihat jenis spesies-spesies apa saja
yang ditemukan pada masing-masing transek, sehingga distribusi dari masing-
masing jenis dapat terlihat dengan jelas.
Kerapatan jenis pada Stasiun 1 diperlihatkan pada Gambar 10. Sonneratia
alba merupakan jenis pohon mangrove yang mendiami Transek 1 dengan
kerapatan sebesar 0,01 ind/m2, untuk anakan ditemukan Avicennia marina dengan
kerapatan jenis sebesar 0,04 ind/m2, sedangkan untuk mangrove semai yang
ditemukan adalah Avicennia marina dengan kerapatan jenis sebesar 3 ind/m2
(Gambar 10). Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba untuk kategori pohon
ditemukan pada Transek 2 dengan besar kerapatan jenis masing-masing adalah
0,08 ind/m2 dan 0,04 ind/m2, selain itu pada transek 2 juga ditemukan Rhizophora
mucronata dalam ukuran anakan dan semai dengan kerapatan jenis masing-
masing sebesar 0,12 ind/m2 dan 1 ind/m2 (Gambar 10). Sonneratia alba juga
ditemukan pada Transek 3 dengan jumlah yang lebih sedikit daripada Transek 2
dengan kerapatan jenis sebesar 0,02 ind/m2 (Gambar 10). Selain itu, pada Transek
3 juga terdapat Sonneratia casseolaris dengan ukuran pohon dan anakan yang
memiliki kerapatan jenis sebesar 0,09 ind/m2 untuk pohon dan 0,12 ind/m2 untuk
anakan (Gambar 10). Transek 4 hanya dihuni oleh Sonneratia casseolaris pohon
0.01
0.08
0.04
0.02
0.090.08
00.010.020.030.040.050.060.070.080.09
0.1
Sonneratiaalba
Rhizophoramucronata
Sonneratiaalba
Sonneratiaalba
Sonneratiacasseolaris
Sonneratiacasseolaris
1 2 3 4
Transek
Ker
apat
an J
enis
(Di)
( i ) Pohon
0.04
0.12 0.12
00.020.040.060.08
0.10.120.14
Avicennia marina Rhizophoramucronata
Sonneratiacasseolaris
1 2 3 4
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( ii ) Anakan
3
1
4
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
Avicennia marina Rhizophora mucronata Acanthus ilicifolius
1 2 3 4
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( iii ) Semai
Gambar 10. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 1 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai
yang ditemukan dengan kerapatan jenis yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0,08
ind/m2 dan Acanthus ilicifolius dengan kerapatan jenis sebesar ind/m2 (Gambar
10).
0.090.01
0.08
0.3
0.01 0.02 0.030.12
0.02
0.27
0.44
0.010
0.050.1
0.150.2
0.250.3
0.350.4
0.450.5
Avic
enni
am
arin
aRh
izoph
ora
muc
rona
taAv
icen
nia
mar
ina
Lum
nitz
era
race
mos
a
Brug
uier
a sp
Rhizo
phor
am
ucro
nata
Brug
uier
a sp
Ceri
ops
deca
ndra
Avic
enni
aal
baRh
izoph
ora
muc
rona
taN
ypa
frut
ican
sAe
gice
ras
corn
icula
tum
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis
(Di)
( i ) Pohon
0.480.84
0.24
2.28
0.28 0.12 0.080
0.5
1
1.5
2
2.5
Avic
enni
am
arin
a
Lum
nitze
rara
cem
osa
Brug
uier
a sp
Cerio
psde
cand
ra
Rhizo
phor
am
ucro
nata
Nypa
frutic
ans
Aegi
cera
sco
rnic
ulat
um
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( ii ) Anakan
3
2
5
0
1
2
3
4
5
6
Ceriops decandra Rizophoramucronata
Acanthus ilicifolius
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( iii ) Semai
Gambar 11. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 2 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai
Stasiun 2 merupakan stasiun yang memiliki kondisi ekosistem yang paling
baik dan memiliki keanekaragaman jenis yang terbanyak dibandingkan dengan
stasiun-stasiun yang lainnya. Transek 1 yang langsung berhadapan dengan laut
dihuni oleh spesies Avicennia marina dengan kerapatan jenis sebesar 0,09 ind/m2
untuk pohon dan 0,48 ind/m2 untuk anakan (Gambar 11). Lumnitzera racemosa
merupakan spesies yang mendominasi Transek 2 dengan kepadatan sebesar 0,3
ind/m2 untuk pohon dan sebesar 0,84 ind/m2 untuk anakan (Gambar 11), tetapi
ditemukan juga spesies lainnya pada Transek 2 dengan kerapatan yang kecil,
seperti; Rhizophora mucronata, Avicennia marina, dan Bruguera sp. Pada
Transek 3 ditemukan adanya 4 spesies pohon mangrove, yaitu Rhizophora
mucronata, Bruguera sp, Avicennia alba, dan Ceriops decandra yang merupakan
jenis pohon dengan kerapatan tertinggi pada Transek 3, yaitu sebesar 0,12 ind/m2
untuk kategori pohon, 2,28 ind/m2 kategori anakan, dan 3 ind/m2 kategori semai
(Gambar 11). Rhizophora mucronata ditemukan tumbuh dengan jumlah yang
banyak pada Transek 4 dengan kerapatan sebesar 0,27 ind/m2 untuk kategori
pohon, 0,28 ind/m2 anakan, dan sebesar 2 ind/m2 semai (Gambar 11). Pada
Transek 5 ditemukan Nypa fruticans dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu
dengan kerapatan jenis sebesar 0,44 ind/m2 untuk pohon, dan untuk 0,12 ind/m2
anakan. Acanthus ilicifolius semai cukup banyak ditemukan pada Transek 5
dengan kerapatan jenis sebesar 5 ind/m2, sedangkan Aegiceras corniculatum yang
berukuran pohon dan anakan juga ditemukan meskipun dalam jumlah yang tidak
terlalu banyak.
0.03
0.01 0.01
0.02
00.0050.01
0.0150.02
0.0250.03
0.035
Avicenniaalba
Lumnitzeraracemosa
Lumnitzeraracemosa
Sonneratiaalba
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( i ) Pohon
0.36
1.16
0
0.2
0.4
0.60.8
1
1.2
1.4
Avicennia
alba
Sonneratia
alba
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis
( ii ) Anakan
3
1
65
11
0
2
4
6
8
10
12
Avic
ceni
am
arin
a
Lum
nitze
rara
cem
osa
Sonn
erat
iaal
ba
Lum
nitze
rara
cem
osa
Acan
thus
ilici
foliu
s
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( iii ) Semai
Gambar 12. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 3 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai
Stasiun 3 memiliki kondisi ekosistem yang sudah rusak parah sehingga hanya
sedikit pohon yang masih tersisa. Avicennia alba ditemukan pada Transek 1
dengan kerapatan jenis sebesar 0,03 ind/m2 untuk pohon dan 0,36 ind/m2 (Gambar
12). Lumnitzera racemosa merupakan satu-satunya jenis pohon mangrove yang
masih tersisa pada Transek 2 dengan kerapatan jenis sebesar 0,01 ind/m2 (Gambar
12), sedangkan untuk semai yang ditemukan pada Transek 2 adalah Lumnitzera
racemosa dan Avicennia marina dengan kerapatan jenis masing-masing sebesar 3
ind/m2 dan 1 ind/m2. Tidak ditemukan adanya pohon mangrove pada Transek 3
dan hanya ditemukan Sonneratia alba yang masih berupa anakan dan semai
dengan masing-masing kerapatan jenis 1,16 ind/m2 untuk pohon dan 6 ind/m2
untuk semai (Gambar 12). Transek 3 merupakan bekas daerah tambak garam abu
sehingga sebagian besar daerahnya masih gundul dan baru sedikit tanaman-
tanaman muda yang mulai tumbuh pada daerah ini. Lumnitzera racemosa
ditemukan juga pada Transek 4 dengan kerapatan jenis yang kecil, yaitu sebesar
0,01 ind/m2 untuk kategori pohon dan 5 ind/m2 untuk kategori semai (Gambar 12).
Pada Transek 5 ditemukan Sonneratia alba pohon dengan kerapatan yang relatif
rendah, yaitu sebesar 0,02 ind/m2 (Gambar 12), dan Acanthus ilicifolius semai
dengan kerapatan sebesar 11 ind/m2. Selain itu di dekat lokasi Transek 5 juga
terlihat adanya Hibiscus tiliaceus/Waru yang merupakan tumbuhan asosiasi
mangrove (Kitamura, C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba, 1997).
1.03
0.07 0.01 0.02 0.01 0.040
0.20.40.60.8
11.2
Rhizo
phor
am
ucro
nata
Sonn
erat
iaal
ba
Rhizo
phor
am
ucro
nata
Ceri
ops
deca
ndra
Rhizo
phor
am
ucro
nata
Sonn
erat
iaca
sseo
lari
s
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apta
n je
nis
(Di)
( i ) Pohon
0.16 0.24 0.08 0.16
0.56
1.16
0.12
00.20.40.60.8
11.21.4
Sonn
erat
iaal
ba
Lum
nitze
rara
cem
osa
Sonn
erat
iaal
ba
Rhizo
phor
am
ucro
nata
Lum
nitze
rara
cem
osa
Cerio
psde
cand
ra
Sonn
erat
iaca
sseo
laris
1 2 3 4 5
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( ii ) Anakan
6
2
7
4
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Sonneratia alba Lumnitzeraracemosa
Aegicerascorniculatum
Avicennia alba
1 2 3 4 5Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( iii ) Semai
Gambar 13. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 4 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai
Stasiun 4 merupakan stasiun yang dilewati sungai terbanyak, terdapat 3 sungai
yang cukup besar memotong melewati Stasiun 4. Tidak ditemukan adanya pohon
dan anakan mangrove pada Transek 1 dan hanya ditemukan semai, yaitu
Sonneratia alba dengan kerapatan jenis sebesar 6 ind/m2 (Gambar 13).
Rhizophora mucronata pohon ditemukan dengan kerapatan yang cukup tinggi,
yaitu sebesar 1,03 ind/m2 pada Transek 2 (Gambar 13), sedangkan spesies lain
yang ditemukan dalam jumlah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan
Rhizophora mucronata adalah Lumnitzera racemosa yang memiliki kerapatan
jenis 0,24 ind/m2 untuk anakan dan 2 untuk ind/m2 semai, serta Sonneratia alba
anakan dengan kerapatan jenis 0,16 ind/m2. Transek 3 dihuni oleh spesies
mangrove, yaitu Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, dan Lumnitzera
racemosa dengan kerapatan pohon tertinggi dimiliki oleh Sonneratia alba sebesar
0,07 ind/m2 (Gambar 13), sedangkan kerapatan jenis anakan tertinggi adalah
Rhizophora mucronata sebesar 0,16 ind/m2 (Gambar 13). Spesies Ceriops
decandra ditemukan pada Transek 4 dengan kerapatan jenis abakan yang tinggi,
yaitu sebesar 1,16 ind/m2 (Gambar 13), sedangkan kerapatan jenis pohonnya
relatif rendah, yaitu hanya 0,02 ind/m2 (Gambar 13). Aegiceras corniculatum
semai juga ditemukan pada Transek 4 dengan kerapatan jenis sebesar 7 ind/m2
(Gambar 13). Pada Transek 5 terdapat Sonneratia casseolaris dengan kerapatan
jenis 0,04 ind/m2 untuk pohon dan 0,12 ind/m2 untuk anakan (Gambar 13),
sedangkan Rhizophora mucronata memiliki kerapatan jenis relatif lebih kecil
dibandingkan Sonneratia casseolaris, yaitu hanya sebesar 0,01 ind/m2 untuk
kategori pohon (Gambar 13).
0.03
0.01
00.005
0.010.015
0.020.025
0.030.035
Avicce
nia
mar
ina
Lumni
tzera
race
mos
a
1 2 3Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( i ) Pohon
0.08
00.010.020.030.040.050.060.070.080.09
Lum
nitze
ra
race
mos
a
1 2 3
Trasnek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( ii ) Anakan
6 6
0
1
2
3
4
5
6
7
Avicennia alba Avicennia marina
1 2 3
Transek
Ker
apat
an je
nis (
Di)
( iii ) Semai
Gambar 14. Kerapatan jenis (ind/m2) mangrove Stasiun 5 (i) Pohon; (ii) Anakan; (iii) Semai
Kondisi hutan mangrove yang sudah rusak sangat parah ditemukan pada
Stasiun 5, hampir seluruh hutan sudah gundul dan hanya sedikit vegetasi yang
masih tersisa. Pada Transek 1 hanya terdapat Avicennia alba semai dengan
kerapatan jenis sebesar 6 ind/m2, sedangkan pada Transek 2 juga hanya ditemukan
semai, yaitu Avicennia marina dengan kerapatan jenis 6 ind/m2. Pohon dan
anakan hanya ditemukan pada Transek 3, yaitu Avicennia marina dan Lumnitzera
racemosa yang keduanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dengan kerapatan
jenis sebesar 0,03 ind/m2 untuk Avicennia marina pohon, 0,01 ind/m2 untuk
Lumnitzera racemosa pohon, dan 0,08 ind/m2 untuk Lumnitzera racemosa anakan
(Gambar 14).
4.2.3 Indeks nilai penting (INP)
Indeks Nilai Penting berguna untuk menentukan dominansi suatu spesies
terhadap spesies lainnya pada suatu kawasan, dan juga menentukan seberapa besar
peranan atau pengaruh suatu jenis terhadap lingkungan sekitarnya.
Vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah tentu akan memiliki pengaruh atau
peranan terhadap lingkungan sekitarnya, besarnya pengaruh atau peranan suatu
jenis vegetasi pada suatu lokasi biasa ditentukan dengan INP (Indeks Nilai
Penting), semakin banyak jumlah vegetasi yang ditemukan, semakin tinggi
frekuensi ditemukannya, semakin besar diameter batang yang dimilikinya tentu
akan memperbesar nilai dari INP tersebut. INP memiliki kisaran sebesar 0 - 300,
jika semakin sedikit jenis vegetasi yang ditemukan pada suatu maka akan semakin
besar pula nilai INP dari jenis vegetasinya. Pada Tabel 2 berikut ini disajikan INP
dari pohon pada lokasi pengamatan.
Tabel 2. Indeks nilai penting pohon. Stasiun
No Spesies S1 S2 S3 S4 S5 1 Sonneratia alba 93,55 - 150,40 89,64 - 2 Rhizophora mucronata 56,70 75,59 - 109,10 - 3 Sonneratia casseolaris 149,75 - - 81,72 - 4 Avicennia marina - 34,15 - - 209,75 5 Lumnitzera racemosa - 38,86 79,14 - 90,25 6 Bruguiera sp - 20,75 - - - 7 Ceriops decandra - 25,00 - 19,54 - 8 Avicennia alba - 13,12 70,46 - - 9 Nypa fruticans - 64,67 - - - 10 Aegiceras corniculatum - 27,85 - - -
Kisaran INP pohon pada lokasi penelitian adalah 13,12 209,75 (Tabel 2).
Spesies Sonneratia alba terlihat memiliki nilai INP terbesar pada Stasiun1 dan 3,
yaitu berturut-turut sebesar 93,55 dan 150,33 (Tabel 2). Rhizophora mucronata
memiliki INP terbesar pada Stasiun 2 sebesar 75,59 dan pada Stasiun 4 sebesar
109,10 (Tabel 2), sedangkan Avicennia marina memiliki INP terbesar pada
Stasiun 5 sebesar 209,75 (Tabel 2). Secara grafik (diagram batang) sebaran INP
tiap jenis mangrove pohon yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 15.
0
50
100
150
200
250
S1 S2 S3 S4 S5
Stasiun
Inde
ks N
ilai P
entin
g (I
NP)
Sonneratia albaRhizophora mucronataSonneratia casseolarisAvicennia marinaLumnitzera racemosaBruguiera spCeriops decandraAvicennia albaNypa fruticansAegiceras corniculatum
Gambar 15. Indeks nilai penting pohon
Indeks Nilai Penting terendah pada Stasiun 1 dimiliki oleh Rhizophora
mucronata sebesar 56,70 (Gambar 15), INP terendah pada Stasiun 2 dimiliki oleh
Avicennia alba, yaitu sebesar 13,12 (Gambar 15), untuk Stasiun 3 yang memiliki
INP terendah adalah Avicennia alba sebesar 70,46 (Gambar 15), pada Stasiun 4
INP terendah dimiliki oleh Ceriops decandra sebesar 19,54 (Gambar 15),
sedangkan pada Stasiun 5 yang memiliki INP terendah adalah Lumnitzera
racemosa sebesar 90,25 (Gambar 15).
Tabel 3. Indeks nilai penting anakan
Stasiun No Spesies S1 S2 S3 S4 S5 1 Sonneratia alba - - 102,14 48,52 - 2 Rhizophora mucronata 128,40 32,84 - 27,15 - 3 Sonneratia casseolaris 102,79 - - 25,20 - 4 Avicennia marina 68,81 44,46 - - - 5 Lumnitzera racemosa - 60,39 - 89,15 300,00 6 Bruguiera sp - 23,45 - - - 7 Ceriops decandra - 100,70 - 109,99 - 8 Avicennia alba - - 197,86 - - 9 Nypa fruticans - 22,32 - - - 10 Aegiceras corniculatum - 15,84 - - -
Indeks Nilai Penting untuk anakan memiliki kisaran sebesar 15,84 300,00
(Tabel 3). INP terendah di lokasi penelitian dimiliki oleh Aegiceras corniculatum
pada Stasiun 2, dan yang tertinggi dimiliki oleh Lumnitzera racemosa pada
Stasiun 5. Sebaran INP tiap jenis mangrove anakan yang ditemukan di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 16.
0
50
100
150
200
250
300
S1 S2 S3 S4 S5
Stasiun
Inde
ks N
ilai P
entin
g
Sonneratia albaRhizophora mucronataSonneratia casseolarisAvicennia marinaLumnitzera racemosaBruguiera spCeriops decandraAvicennia albaNypa fruticansAegiceras corniculatum
Gambar 16. Indeks nilai penting anakan
Spesies Avicennia marina pada Stasiun 1 memiliki INP terendah, yaitu
sebesar 68,81, sedangkan INP tertinggi pada Stasiun 1 dimiliki oleh Rhizophora
mucronata sebesar 128,40. INP tertinggi pada Stasiun 2 adalah sebesar 100,70
yang dimiliki oleh Ceriops decandra. Stasiun 3 memiliki INP tertinggi dengan
nilai 197,86 yang merupakan INP dari spesies Avicennia alba, dan yang terendah
dimiliki oleh Sonneratia alba dengan INP sebesar 102,14. Ceriops decandra juga
memiliki INP tertinggi pada Stasiun 4, yaitu sebesar 109,99, sedangkan yang
terendah adalah Sonneratia casseolaris dengan INP sebesar 25,20. Pada Stasiun 5
INP tertinggi ditemukan pada jenis Lumnitzera racemosa dengan INP sebesar
300, karena spesies ini merupakan satu-satunya anakan yang terdapat di lokasi
Stasiun 5.
Tabel 4. Indeks nilai penting semai Stasiun
No Spesies S1 S2 S3 S4 S5 1 Sonneratia alba - - 62,02 96,49 - 2 Rhizophora mucronata 84,54 70,77 - - - 3 Sonneratia casseolaris - - - - - 4 Avicennia marina 120,57 - 52,57 - 131,35 5 Lumnitzera racemosa - - 103,15 35,95 - 6 Bruguiera sp - - - - - 7 Ceriops decandra - 74,53 - - - 8 Avicennia alba - - - 89,29 168,66 9 Nypa fruticans - - - - - 10 Acanthus ilicifolius 94,89 154,69 82,27 - - 11 Aegiceras corniculatum - - - 78,27 -
Kategori vegetasi semai memiliki kisaran INP sebesar 35,95 168,66. INP
terendah ini dimiliki oleh Lumnitzera racemosa pada Stasiun 4, dan tertinggi
dimiliki oleh Avicennia alba pada Stasiun 5 (Tabel 4). Berikut ini ditampilkan
secara grafik sebaran INP tiap jenis mangrove semai yang ditemukan di lokasi
pada Gambar 17.
0
50
100
150
200
S1 S2 S3 S4 S5
Stasiun
Inde
ks N
ilai P
entin
g
Sonneratia alba
Rhizophora mucronata
Sonneratia casseolarisAvicennia marina
Lumnitzera racemosa
Bruguiera sp
Ceriops decandra
Avicennia alba
Nypa fruticansAcanthus ilicifolius
Aegiceras corniculatum
Gambar 17. Diagram batang Indeks Nilai Penting semai
Stasiun 1 memiliki INP terendah sebesar 84,54 yang dimiliki oleh Rhizophora
mucronata, sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh Avicennia marina sebesar
120,56. Pada Stasiun 2 INP dengan nilai yang tertinggi ditemukan pada spesies
Acanthus ilifolius, yaitu sebesar 154,69, dan INP dengan nilai terendah terlihat
pada Rhizophora mucronata yang hanya sebesar 70,77. Stasiun 3 memiliki INP
tertinggi sebesar 103,15 yang dimiliki oleh Lumnitzera racemosa, sedangkan yang
terendah dengan nilai 52,57 adalah Avicennia marina. Sonneratia alba
merupakan jenis semai dengan INP tertinggi pada Stasiun 4, yaitu sebesar 96,49,
sedangkan INP terendah ditemukan pada jenis Lumnitzera racemosa dengan INP
sebesar 35,95. Pada Stasiun 5 ditemukan INP tertinggi sebesar 168,66 yang
dimiliki oleh Avicennia alba, dan untuk INP terendah ditemukan pada spesies
Avicennia marina dengan INP-nya adalah 131,35 (Gambar 17).
4.2.4 Pola zonasi (sebaran) mangrove
Pola zonasi hutan mangrove terbentuk karena adanya pengaruh dari beberapa
faktor lingkungan. Menurut Bengen dan Dutton (2002) dalam Northcote dan
Hartman (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi zonasi dari hutan mangrove
adalah salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin, toleransi terhadap lumpur
(substrat) dan frekuensi genangan air. Pola zonasi vegetasi mangrove pada lokasi
penelitian secara visual diperlihatkan pada Gambar 18.
Zonasi vegetasi yang terbentuk pada Stasiun 1 adalah Sonneratia alba dan
Avicennia marina pada Transek 1, Rhizophora mucronata dan sedikit Sonneratia
alba pada Transek 2, Sonneratia casseolaris dan sebagian kecil ditumbuhi juga
oleh Sonneratia alba, dan pada zona terakhir (Transek 4) ditumbuhi oleh
Sonneratia casseolaris dan juga Acanthus ilifolius yang merupakan tumbuhan
asosiasi mangrove (Kitamura, C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba, 1997).
KeteranganAvicennia marinaAvicennia albaAegiceras corniculatum
Bruguiera spCeriops decandra
Acanthus ilicifolius
Lumnitzera racemosaNypa fruticansRhizophora mucronataSonneratia albaSonneratia casseolaris
U
0 0.25 Km 0.5 Km
Teluk Kupang
Daratan
Gambar 18. Pola zonasi hutan mangrove di desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil pada bulan Maret
Zonasi yang terbentuk pada Stasiun 2 diawali dengan Avicennia marina yang
tumbuh pada Transek 1, Avicennia marina dan Rhizophora mucronata ditemukan
dalam jumlah yang tidak terlalu signifikan, sedangkan Lumnitzera racemosa
anakan ditemukan cukup padat pada Transek 2, Ceriops decandra ditemukan
sangat padat dan terlihat mendominasi pada Transek 3, meskipun juga ditemukan
spesies lain dalam jumlah yang relatif sedikit seperti; Rhizophora mucronata,
Avicennia alba, dan Bruguiera sp, Rhizophora mucronata merupakan satu-
satunya vegetasi yang ditemukan pada Tansek 4 dalam jumlah yang cukup
banyak, sedangkan pada Transek 5 ditemukan 3 jenis vegetasi mangrove, yaitu
Nypa fruticans yang ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak, Aegiceras
corniculatum yang ditemukan dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan
Nypa fruticans, dan Acanthus ilicifolius yang ditemukan cukup banyak pada
transek ini.
Stasiun 3 memiliki zonasi vegetasi yang diawali oleh Avicennia alba pada
Transek 1, kemudian dilanjutkan oleh Lumnitzera racemosa dan Avicennia
marina yang ditemukan pada Transek 2, sedangkan pada Transek 3 hanya dapat
dijumpai Sonneratia alba dalam jumlah kecil saja, karena daerah transek ini
merupakan bekas areal tambak garam abu, demikian halnya pada Transek 4 hanya
dapat dijumpai satu spesies tumbuhan saja, yaitu Lumnitzera racemosa yang
ditemukan dalam jumlah yang kecil, karena areal ini pun merupakan bekas areal
tambak garam abu, dan pada Transek 5 ditemukan Sonneratia alba pohon dengan
ukuran yang besar, tetapi dalam jumlah yang sedikit, sedangkan Acanthus
ilicifolius dengan jumlah yang sangat melimpah pada Transek 4. Zonasi yang
terbentuk pada Stasiun 3 ini tidak terlalu baik karena vegetasi yang ada sangat
sedikit jumlahnya.
Stasiun 4 memiliki zonasi vegetasi yang cukup baik, karena Staiun 4 memiliki
keanekaragaman jenis yang cukup banyak dan jumlah vegetasinya pun masih
cukup banyak. Transek 1 ditumbuhi oleh Sonneratia alba yang masih berupa
semai, pada Transek 2 Rhizophora mucronata yang cukup melimpah dan terlihat
mendominasi, meskipun terdapat juga spesies lainnya seperti; Sonneratia alba dan
Lumnitzera racemosa dengan jumlah yang relatif kecil. Sonneratia alba,
Rhizophora mucronata, dan Lumnitzera racemosa menempati Transek 3 dengan
kerapatan jenis yang tidak terlalu signifikan berbeda, sedangkan Ceriops
decandra dengan jumlah sangat melimpah terdapat di Transek 4 ditemani oleh
Aegiceras corniculatum yang ditemukan masih dalam ukuran semai. Pada transek
5 Sonneratia casseolaris terlihat lebih mendominasi dibandingkan dengan
Avicennia alba yang masih berupa semai.
Stasiun 5 Transek 1 hanya dihuni oleh Avicennia alba semai, untuk Transek 2
hanya dihuni oleh Avicennia marina semai, dan pada Transek 3 baru ditemukan
adanya pohon beserta anakan dengan spesies Avicennia marina (pohon) dan
Lumnitzera racemosa (pohon dan anakan). Selain keragaman jenisnya yang
kurang, vegetasi mangrove yang ada mayoritas masih terbilang muda (semai), dan
jumlah vegetasinya pun terlalu sedikit. Belum terbentuk zonasi pada stasiun 5.
Lokasi penelitian secara umum dibagi menjadi 3 zona, yaitu : Zona 1, Zona 2,
dan Zona 3. Zona 1 merupakan zona yang berbatasan langsung dengan laut dan
merupakan zona dari Avicennia marina, Avicennia alba, dan Sonneratia alba.
Zona 2 adalah zona pertengahan yang merupakan zona dari Rhizophora
mucronata, Lumnitzera racemosa, dan Ceriops decandra. Zona 3 adalah zona
yang berbatasan langsung dengan hutan bukan mangrove dan merupakan zona
dari Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius,dan Sonneratia casseolaris.
4.3 Karakteristik fisika dan kimia di perairan
Penelitian ini melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter fisika-
kimia, yaitu; suhu (udara dan air), pH dan Eh tanah, substrat (visual), serta
salinitas. Rataan dari hasil pengamatan parameter fisika-kimia diperlihatkan pada
Gambar 19 dan 20.
4.3.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter yang penting bagi keberlangsungan
hidup biota laut. Suhu dapat mempengaruhi proses-proses seperti fotosentesis dan
respirasi (Aksornkoae, 1993). Selain itu, suhu atau temperatur juga dapat menjadi
faktor pembatas bagi biota tertentu, seperti kepiting (Aksornkoae, 1993).
Suhu air terendah pada pengambilan data ulangan pertama ditemukan pada
Stasiun 2, yaitu sebesar 28 oC, sedangkan suhu udara terendah pada pengambilan
data ulangan pertama juga ditemukan pada Stasiun 2, yaitu sebesar 27 oC. Variasi
suhu yang rendah ini disebabkan oleh turunnya hujan pada saat pengambilan data.
Suhu air tertinggi ditemukan pada Stasiun 4 sebesar 35 oC, sedangkan suhu udara
tertinggi ditemukan pada Stasiun 5 sebesar 40 oC. Pengambilan data yang
dilakukan pada siang hari atau sekitar pukul 12.00 WITA dimana intensitas
cahaya matahari yang diterima oleh permukaan air tinggi dan sedikitnya air yang
tergenang pada lokasi menyebabkan tingginya temperatur air. Variasi suhu yang
tinggi ini disebabkan oleh kondisi cuaca yang sangat cerah (tanpa awan) dan juga
05
1 0
1 52 02 53 03 54 04 5
1 2 3 4 5
S ta siu n
S
u
h
u
u
d
a
r
a
(
C
e
l
c
i
u
s
)
2 8.0 0
2 9.0 0
3 0.0 0
3 1.0 0
3 2.0 0
3 3.0 0
3 4.0 0
3 5.0 0
3 6.0 0
1 2 3 4 5
S ta siun
S
u
h
u
a
i
r
(
C
e
l
c
i
u
s
)
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5
S ta siun
N
i
l
a
i
E
h
012345678
1 2 3 4 5
S ta siu nN
i
l
a
i
p
H
1
5
1
7
1
0
0
.
5
2
5
.
5
2
5
.
5
5
4
5
2
5
1
2
5
2
0
2
4
.
3
2
0
2
0
.
3
1
8
2
0
0
5
1 0
1 5
2 0
2 5
3 0
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3
1 2 3 4 5
S ta si u n
S
a
l
i
n
i
t
a
s
(
)
0 1 k m 2 k m
U
Stasiu
n
Teluk Kupang
Darat
Gambar 19. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan pertama
U
0 1 k m 2 k m
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.00
1 2 3 4 5
Stasiun
S
u
h
u
a
i
r
(
C
e
l
c
i
u
s
)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5
Stasiun
S
u
h
u
u
d
a
r
a
(
C
e
l
c
i
u
s
)
5 .405 .605 .806 .006 .206 .406 .606 .807 .007 .207 .40
1 2 3 4 5
Sta siu nN
i
l
a
i
p
H
0 .0 05 .0 0
1 0 .0 01 5 .0 02 0 .0 02 5 .0 03 0 .0 03 5 .0 04 0 .0 04 5 .0 05 0 .0 05 5 .0 06 0 .0 0
1 2 3 4 5
S t a s i u n
N
i
l
a
i
E
h
Stasiu
n2
1
2
7
2
5
2
3
2
6
2
4
0 0
2
4
2
3
7
0
2
7
.
5
2
7
.
3
3
2
3
2
3
2
1
0
5
1 0
1 5
2 0
2 5
3 0
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3
1 2 3 4 5
S ta s i u n
S
a
l
i
n
i
t
a
s
(
)
Teluk Kupang
Darat
Gambar 20. Histogram parameter fisika-kimia setiap stasiun pada ulangan kedua
langsung terkenanya termometer oleh sinar matahari. Berdasarkan data pada
kisaran suhu udara pada lokasi pengamatan pada ulangan pertama adalah 27 - 40
oC, sedangkan untuk suhu air memiliki kisaran sebesar 28 35 oC.
Suhu air terendah pada pengambilan data ulangan kedua ini ditemukan di
Stasiun 1 sebesar 22,5 oC, kondisi air yang masih relatif dingin karena
pengambilan data dilakukan sekitar pukul 7.00 WITA menyebabkan suhu perairan
rendah. Variasi suhu udara terendah yang ditemukan pada Stasiun 5, yaitu
sebesar 27 oC. Hal ini terjadi disebabkan oleh keadaan cuaca yang mendung
ditambah lagi dengan turunnya gerimis, selain itu pengambilan data dilakukan
pada pagi hari (pukul 7.45 WITA). Suhu air tertinggi ditemukan pada stasiun 2
sebesar 38 oC, sedangkan suhu udara tertinggi ditemukan pada Stasiun 1 dan 2,
yaitu sebesar 34,8 oC. Tingginya suhu air dan udara disebabkan oleh pengambilan
data yang dilakukan pada siang hari dimana intensitas cahaya matahari yang
diterima oleh permukaan bumi tinggi ditambah lagi dengan sedikitnya air yang
tergenang pada lokasi menyebabkan suhu air semakin meningkat. Berdasarkan
data pada kisaran suhu udara pada lokasi pengamatan pada ulangan kedua adalah
27 34,8 oC, sedangkan untuk suhu air memiliki kisaran sebesar 22,5 38 oC.
Fluktuasi suhu air dan udara yang terjadi antar masing-masing stasiun tidaklah
terlalu signifikan. Perbedaan waktu pengukuran di setiap stasiun yang
berhubungan dengan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan
perairan, kondisi cuaca, ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan, dan
banyak sedikitnya volume air yang tergenang menyebabkan terjadinya fluktuasi
suhu air dan udara antara masing-masing stasiun.
4.3.2 Salinitas
Salinitas dan kisaran salinitas perairan merupakan faktor yang penting bagi
pertumbuhan, kemampuan bertahan, dan zonasi dari spesies mangrove (Bowman,
1917; Macnae dan Kalk, 1968; Mogg, 1963; Macnae, 1968; Teas, 1979; dan
Semeniuk, 1983 dalam Aksornkoae, 1993).
Salinitas pada lokasi penelitian untuk ulangan pertama menunjukkan kisaran
antara 0,5 25,5 . Salinitas yang tertinggi ditemukan pada stasiun 2, yaitu
sebesar 25,5 , dan salinitas terendah ditemukan pada Stasiun 1. Gambar 19
menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas antar transek cukup tinggi, salinitas
tertinggi ditemukan pada Stasiun 2 Transek 1 dan 2 sebesar 25,5 , sedangkan
salinitas terendah ditemukan pada Stasiun 1 Transek 4, yaitu sebesar 0,5 .
Sedikitnya pengaruh dari air tawar dibandingkan dengan transek yang lain dan
sangat dekatnya lokasi transek dengan laut menyebabkan salinitas pada Stasiun 2
Transek 1 dan 2 lebih tinggi daripada transek-transek yang lain. Rendahnya nilai
salinitas disebabkan oleh pengaruh air tawar yang lebih besar dibandingkan
dengan pengaruh air laut khususnya ketika sedang surut. Hal ini terjadi berkenaan
dengan lokasi Transek 4 Stasiun 1 yang sangat dekat dengan beberapa rumah
penduduk.
Turunnya hujan ketika pengambilan sampel menyebabkan salinitas pada
Stasiun 2 Transek 3, 4, dan 5 menjadi relatif rendah (Gambar 19). Fluktuasi
salinitas yang tinggi ini juga terjadi karena terdapat cukup banyaknya sungai yang
melewati Stasiun 2, 3, 4, dan bermuara di dekat lokasi Stasiun 5 Transek 1,
sehingga pengaruh pasokan air tawar terhadap ekosistem relatif cukup tinggi.
Kisaran salinitas pada pengamatan ulangan kedua adalah sebesar 0 27,5 ,
dimana kisaran ini tidak terlalu berbeda jauh dengan pengamatan ulangan
pertama. Salinitas tertinggi terdapat pada Stasiun 4 sebesar 27,5 , sedangkan
salinitas yang terendah terdapat pada Stasiun 2 dan 3, yaitu sebesar 0 .
Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa fluktuasi salinitas relatif cukup
tinggi, rendahnya salinitas pada Stasiun 2 Transek 4 dan 5, serta Stasiun 3
Transek 5 disebabkan karena lokasi transek tidak terkena pasang ketika
pengambilan data. Pengaruh air tawar juga cukup tinggi karena dalam 2 hari
pengambilan data selalu turun hujan.
Tidak adanya data salinitas pada beberapa transek disebabkan karena tidak
adanya air yang tergenang pada lokasi transek ketika pengambilan data.
4.3.3 Derajat keasaman (pH) dan reduksi-oksidasi (Eh) tanah
Nilai pH tanah pada pengamatan ulangan pertama yang tertinggi adalah
sebesar 5 terdapat pada Stasiun 2 sedangkan yang terendah adalah 7 ditemukan di
semua stasiun. Nilai Eh yang terbesar terdapat pada stasiun 4, yaitu sebesar 67,
sedangkan nilai Eh terendah sebesar 0 dapat ditemukan di setiap stasiun.
Nilai kisaran pH yang tidak terlalu besar diperlihatkan oleh Gambar 19 hanya
berkisar 6,14 7, sedangkan untuk Eh berkisar 0 29. Hal ini diungkapkan oleh
Aksornkoae (1993), bahwa tanah mangrove di bagian permukaan memiliki pH
yang rendah dan bersalinitas tinggi. Semakin rendah nilai dari pH akan diikuti
oleh nilai Eh yang rendah juga. Rendahnya nilai Eh mengindikasikan proses
produksi dan respirasi yang terjadi berjalan hampir seimbang, untuk nilai Eh
bernilai 0 menunjukkan bahwa kedua proses tersebut berjalan dengan seimbang.
Nilai pH tertinggi pada pengamatan ulangan kedua ditemukan di Stasiun 1,
yaitu sebesar 5 dan yang terendah adalah 7 ditemukan di semua stasiun. Nilai Eh
tertinggi ditemukan pada Stasiun 1 sebesar 60 dan yang terendah adalah 0
ditemukan di semua stasiun. Nilai rata-rata pH relatif rendah berkisar 6,08 6,90,
sedangkan Eh berkisar 0,20 27,38. Kondisi ini menunjukkan nilai pH dan Eh
yang relatif rendah dimana tidak terlalu berbeda dengan pengamatan pada ulangan
pertama.
4.3.4. Substrat
Karakteristik dari tanah merupakan faktor utama yang membatasi