Upload
bias-herkawentar
View
5
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
alergic
Citation preview
INHAL ANATOMI
RHINITIS ALERGI
Bias Herkawentar
G0013061
10 September 2015
ACC
Mbak Yunita
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015
RHINITIS ALERGI
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah terpajan dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut.
Epidemiologi
Berdasar studi epidemiologi, prevalensi rhinitis alergi diperkirakan
berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat. Usia rata-rata onset rhinitis
alergi adalah 8-11 tahun dan 80% rhinitis alergi berkembang dengan usia 20
tahun. Biasanya timbul pada usia muda. Dalam suatu penelitian di Medan,
penderita rhinitis alergi berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-
laki dengan perbandingan 1,58:1. Keluarga atopi memiliki prevalensi lebih besar
daripada non atopi.
Etiologi
- Faktor internal, meliputi genetik, jenis kelamin, ketidakseimbangan
hormon (misal pada kehamilan)
- Faktor eksternal, termasuk perubahan suhu dan kelembaban udara,
gaya hidup berkaitan dengan akumulasi alergen seperti merokok,
polusi
Berdasar cara masuknya, alergen diklasifikasikan menjadi:
- Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan, serta jamur
- Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan
kacang-kacangan
- Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah
- Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan
Patofisiologi
Tahap sensitasi, merupakan tahap provokasi, dimana alergen akan
ditangkap oleh APC (makrofag/monosit) untuk kemudian dipresentasikan kepada
sel T helper (Th0), serta mengeluarkan IL-1 yang mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13, yang kemudian diikat oleh reseptor di permukaan sel limfosit B sehingga
limfosit B teraktivasi dan memproduksi IgE. IgE kemudian mengaktifkan sel
basofil atau mastosit dengan cara berikatan pada reseptor di permukaan sel
terebut.
Pada paparan ulang dengan alergen yang sama, IgE akan mengikat alergen
dan terjadi degranulasi basofil yang melepas mediator terutama histamin, yang
menginduksi reaksi alergi fase cepat dengan merangsang reseptor H1 di ujung
saraf vidianus, sehingga timbul rasa gatal dan bersin, kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi
rhinore. Reaksi fase cepat ini berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga 1
jam setelahnya.
Reaksi alergi fase lambat berlangsung kemudian, yaitu 2-4 jam setelah
terpapar dengan allergen, dengan puncak 6-8 jam dan dapat berlangsung hingga
24-48 jam. Pada fase ini, terjadi penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil, dan mastosit serta peningkatan sitokin
sehingga timbul gejala hiperresponsif hidung yang dapat diperberat dengan asap
rokok, bau yang menyengat, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.
Manifestasi Klinis
- Hidung gatal, bersin berturut-turut, rhinore, hidung tersumbat
- Mata gatal, berair
Diagnosis
Anamnesis
- Serangan bersin berulang
- Rhinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal disertai lakrimasi (mata berair)
Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan rinoskopi anterior mukosa edema, basah, pucat,
disertai sekret encer yang banyak, bila gejala persisten mukosa inferior
akan tampak hipertrofi
- Dinding posterior faring tampak granuler dan edema, serta dinding
lateral faring menebal
- Lidah tampak seperti gambaran peta
Pemeriksaan penunjang
- Hitung eosinofil normal/meningkat
- IgE spesifik dengan metode RAST (radio immune sorbent test) atau
ELISA
- Sitologi hidung eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan, basofil >5 sel/lapang pandang mungkin
menunjukkan alergi makanan, dan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri
Tatalaksana
- Menghindari kontak dengan alergen
- Antihistamin, yaitu antagonis histamin H1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target, dengan atau tanpa
kombinasi dekongestan (golongan agonis adrenergik) secara peroral
- Kortikosteroid digunakan jika sumbatan hidung reaksi fase lambat
tidak dapat diatasi dengan obat lain
- Antikolinergik topikal digunakan untuk mengatasi rhinore karena
aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor
- Operatif konkotomi parsial, konkoplasti, inferior turbinoplasty
perlu dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi menggunakan AgNO3 25%
atau triklor asetat
- Imunoterapi bertujuan untuk membentuk IgG blocking antibody
dan penurunan IgE
Komplikasi
- Polip hidung
- Otitis media
- Rhinosinusitis
Prognosis
Penderita rhinitis alergi dapat hidup normal dan sembuh dengan terapi
yang tepat dan spesifik. Rhinitis alergi dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun
setelah pemberhentian imunoterapi.
Kesimpulan
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko rhinitis alergi ditemukan pada
penelitian ini meliputi jenis kelamin, riwayat atopi keluarga, peningkatkan kadar
IgE serum total, peningkatan jumlah eosinofil dan uji kulit tusuk positif pada
alergen makanan dan hirup. Anak laki-laki ditemukan lebih banyak menderita
rinitis alergi (62%) dibandingkan anak perempuan (38%). Riwayat atopi pada
keluarga ditemukan dengan urutan proporsi terbesar pada ibu dan selanjutnya
ayah, kakek, saudara kandung dan nenek. Peningkatan IgE serum total ditemukan
pada 88,57% pasien. Anak berusia 1-5 tahun paling banyak mengalami
peningkatan IgE serum total yaitu sebesar 48,57% dari seluruh pasien.
Peningkatan jumlah eosinofil darah juga ditemukan pada 80% pasien. Uji kulit
tusuk terhadap alergen makanan dari 25 pasien didapatkan hasil positif terbanyak
pada udang. Sedangkan alergen hirup yang teridentifikasi positif pada uji kulit
tusuk ditemukan terbanyak pada tungau debu rumah. Sejalan dengan fakta
epidemiolgis lain penelitian menemukan 22% pasien rinitis alergi juga menderita
asma bronkiale. Oleh karena itu pengendalian rinitis alergi juga dapat menurunkan
risiko penyakit asma. Disamping itu perlu kajian lebih lanjut tentang berbagai
faktor yang meningkatkan resiko terjadinya rinitis alergi