40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Bahkan adat istiadat merupakan dasar utama hubungan antar personal atau kelompok. 1 Adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana harus dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat. Hukum adat dalam masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. 2 Akan tetapi, sebagai hukum yang hidup (living law), hukum adat tidak selamanya memberi rasa adil kepada masyarakatnya. Hal itu dikarenakan, pemberlakuan hukum adat dipaksakan oleh penguasa adat dan kelompok sosialnya. 3 Hukum adat juga tidak bisa dipisahkan dengan agama. Meskipun merupakan hal yang masing-masing berdiri sendiri, hukum adat dan agama yang dalam hal 1 Bahreint Sugihen, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. Hal. 26 2 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 2007. Hal. 156 3 Ibid. hal. 155

28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan

masyarakat yang bertempat tinggal di pedesaan yang masih

memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota masyarakat di

pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat

yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun.

Bahkan adat istiadat merupakan dasar utama hubungan antar

personal atau kelompok.1

Adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut

kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana harus

dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat. Hukum adat dalam

masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk

mencapai kedamaian dalam masyarakat.2 Akan tetapi, sebagai

hukum yang hidup (living law), hukum adat tidak selamanya

memberi rasa adil kepada masyarakatnya. Hal itu dikarenakan,

pemberlakuan hukum adat dipaksakan oleh penguasa adat dan

kelompok sosialnya.3

Hukum adat juga tidak bisa dipisahkan dengan agama.

Meskipun merupakan hal yang masing-masing berdiri sendiri,

hukum adat dan agama yang dalam hal ini adalah hukum Islam,

mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum adat

berasimilasi dengan hukum Islam atau hukum Islam yang

diterapkan dalam masyarakat menjadi hukum adat.

1 Bahreint Sugihen, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. Hal. 262 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 2007. Hal. 1563 Ibid. hal. 155

Page 2: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Kepentingan sosial akan hukum dipengaruhi oleh ajaran

agama yang dianut oleh masyarakat sehingga nilai-nilai yang

terkandung dalam ajaran agama diterapkan dalam kehidupan

masyarakat yang kemudian berproses menjadi norma sosial

yang mencitrakan moralitas masyarakatnya.4 Sebagai

contohnya, slametan pada adat Jawa banyak dipengaruhi oleh

Islam dan didasarkan pada Al Qur’an dan Hadits.5

Hal itu senada dengan teori receptio in complexu yang

dicetuskan oleh LWC. Van Den Berg. Menurut teori tersebut,

hukum pribumi harus mengikuti agama yang dipeluk oleh

masyarakat. Oleh karena itu jika memeluk suatu agama, maka

harus mengikuti hukum-hukum agama itu dengan sebenarnya.6

Dengan demikian, apabila masyarakat memeluk agama Islam,

maka hukum-hukum lokal juga harus mengikuti agama Islam

yang dipeluk oleh masyarakat.

Namun pada perkembangan selanjutnya, teori tersebut

berhasil dipatahkan oleh teori receptie yang diusung oleh Snouck

Hurgronje. Teori ini yang oleh Hazairin disebut sebagai ‘teori

iblis’,7 sangat berlawanan dengan teori sebelumnya, dimana

menurut teori ini, sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah

hukum adat asli meskipun ada pengaruh dari hukum Islam.8

Lebih lanjut teori ini menyebutkan bahwa hukum Islam baru

mempunyai kekuatan hukum jika sudah diterima oleh hukum

adat dan produk hukum yang keluar berupa hukum adat.9

4 Ibid. hal. 1535 Mark R. Woodward. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKis. 2004. Hal. 1366 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Cet. 3. Jakarta: Rajawali Pers. 1996. Hal. 537 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional. cet. 2. Jakarta: Tintamas. 1968. Hal. 28. 8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006. Hal. 2979 Ibid, hal. 298

1

Page 3: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Isi teori ini sangat menyimpang dari kenyataan yang ada

dalam masyarakat. Namun, penyimpangan tersebut memang

disengaja dengan tujuan untuk melemahkan pengaruh hukum

Islam dan memberlakukan hukum adat secara utuh. Dengan

demikian nasionalisme masyarakat Indonesia akan luntur, dan

sebaliknya kolonialisme akan semakin berkembang. Sehingga

tidak heran jika setelah itu banyak teori-teori lain yang

menentang teori receptie ini, diantaranya teori receptie exit,

receptie a contrario, dan teori eksistensi.

Terlepas dari berbagai teori tersebut, adat istiadat yang

kemudian menjadi hukum adat, bukanlah suatu regulasi yang

tertulis seperti halnya undang-undang. Akan tetapi, hukum

tersebut tidak pernah tertulis, meskipun memang ada beberapa

hukum adat yang sudah tertulis10, dan hidup ditengah-tengah

masyarakat sebagai kaidah atau norma.11 Sebagai contoh adalah

hukum waris adat.

Waris yang merupakan sarana untuk melanjutkan suatu

kepemilikan harta benda, merupakan salah satu bentuk hukum

adat yang sampai sekarang masih dipegang teguh, terutama

oleh masyarakat pedesaan. Mereka lebih memilih menyelesaikan

perkara waris menggunakan hukum adat daripada hukum

konvensional, karena menganggap hukum waris adat lebih bisa

memberikan keadilan bagi ahli waris.

Di sinilah yang kemudian menjadi akar masalah. Negara

telah memberikan aturan baku dalam penyelesaian masalah

waris ini. Namun, masyarakat agaknya lebih tertarik kepada

hukum adat masing-masing daerah. Memang, hukum adat pada

10 Contohnya adalah hukum Tawan Karang yang diterapkan di Kerajaan Buleleng, Bali. Dalam hukum tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kapal asing yang terdampar dan masuk wilayah perairan kerajaan Buleleng akan menjadi hak kerajaan. 11 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia... Hal. 61

2

Page 4: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

masing-masing daerah cenderung berbeda meskipun banyak

mempunyai kesamaan. Hukum waris adat di Jawa berbeda

dengan di Batak, begitu juga berbeda dengan di Minangkabau.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa

undang-undang hanya menjadi pilihan kedua atau bahkan tidak

dipilih oleh masyarakat dalam penyelesaian kasus pewarisan.

Apakah undang-undang memang belum bisa mengakomodasi

seluruh sistem kewarisan adat yang notabene sangat berbeda

substansinya antara satu daerah dengan daerah lainya.

Dalam makalah ini penulis secara khusus akan

memaparkan tentang sistem kewarisan masyarakat adat yang

berlaku di Jawa serta relevansinya dengan hukum Islam di

Indonesia yang secara khusus menangani masalah kewarisan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan demi

memudahkan pembahasannya, maka penulis membatasi

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pewarisan dalam masyarakat adat Jawa?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan proses pewarisan

masyarakat adat Jawa dengan hukum Islam di Indonesia?

3. Bagaimana relevansi proses pewarisan masyarakat adat Jawa

dengan hukum Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah:

1. Menjelaskan proses pewarisan dalam masyarakat adat Jawa

2. Menjelaskan persamaan dan perbedaan proses pewarisan

masyarakat adat Jawa dengan hukum Islam di Indonesia

3

Page 5: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

3. Menjelaskan relevansi proses pewarisan masyarakat adat

Jawa dengan hukum Islam di Indonesia

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN

MASYARAKAT ADAT JAWA

A. Pengertian Waris Adat

Penggunaan istilah waris adat ini adalah untuk

membedakan dengan istilah hukum waris barat, hukum waris

Islam, dan hukum waris Indonesia. Karena substansi

pembahasan dari ketiga istilah tersebut sangat berbeda meski

dalam satu bidang yang sama.

Istilah waris sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang

kemudian diadopsi langsung ke dalam bahasa Indonesia. Hukum

waris adat merupakan hukum adat yang memuat garis-garis

ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta

waris, pewaris, dan ahli waris serta prosedur bagaimana harta

waris tersebut dialihkan pemilikan dan penguasaannya dari

pewaris kepada ahli waris.12

Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan

hukum yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta

kekayaan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari

generasi ke generasi.13

12 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat. Cet. 4. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1990. Hal. 713 Ibid

4

Page 6: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Sedangkan menurut Soepomo, hukum adat waris memuat

beberapa aturan yang mengatur proses penerusan serta

pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang

tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada

turunannya.14

Dari beberapa pengertian tersebut kiranya dapat diambil

kesimpulan bahwa hukum waris adat adalah serangkaian kaidah

yang mengatur tata cara peralihan dan penerusan harta baik

yang berupa benda berwujud maupun benda yang tidak

berwujud dari pewaris kepada ahli warisnya.

Selain itu, dari berbagai term pengertian diatas, dapat

disimpulkan pula bahwa hukum waris adat memuat tiga unsur

pokok, yaitu: pertama, mengenai subyek hukum waris, yaitu

siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris.

Kedua, mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan

bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris

tersebut, serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.

Ketiga, mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang

harta apa saja yang dinamakan harta warisan serta apakah

harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.15

B. Sistem Kekerabatan Masyarakat adat Jawa

Mengetahui sistem kekerabatan dalam hal kewarisan

merupakan sesuatu yang sangat urgen. Karena pembagian

warisan dalam masyarakat adat sangat bergantung pada sistem

kekerabatan ini. Dan agaknya tidak berlebihan jika Hazairin

mengatakan bahwa dari seluruh hukum yang ada, maka hukum

perkawinan dan kewarisan lah yang menentukan dan

14 Ibid, hal. 815 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Rajawali. 1990. Hal. 287-288

5

Page 7: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

mencerminkan sistem kekerabatan yang berlaku dalam suatu

masyarakat.16

Di dalam masyarakat Indonesia secara teoritis sistem

kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sistem

patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral.

Sistem patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang

ditarik menurut garis bapak, maksudnya dalam hal ini setiap

orang hanya menarik garis keturunannya kepada ayahnya saja.17

Hal ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol

pengaruhnya dari pada wanita dalam pewarisan. Sistem ini di

anut oleh masyarakat Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,

Seram, Nusa Tenggara, dan Irian.18

Sistem matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik

menurut garis ibu, sehingga dalam hal kewarisan kedudukan

wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada pria. Sistem

kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Minangkabau, Enggano,

dan Timor.19

Sedangkan masyarakat Jawa, seperti halnya masyarakat

Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan,

seluruh Sulawesi, Madura, Ternate, dan Lombok menganut

sistem kekerabatan parental atau bilateral. Sistem ini ditarik dari

dua garis keturunan yaitu keturunan bapak dan ibu. Sehingga

memberikan implikasi bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan

dalam hal waris adalah seimbang dan sama.

Dengan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan

perempuan, maka masyarakat Jawa merupakan masyarakat

yang terbuka. Artinya, suami secara otomatis telah menjadi

16 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an dan Hadits. Cet. 5. Jakarta: Tintamas. 1981. Hal 1117 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 17518 Hilman..., Hukum Waris... hal. 2319 Ibid

6

Page 8: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

bagian keluarga perempuan dan sebaliknya perempuan menjadi

keluarga pihak laki-laki,20 sehingga dengan keadaan tersebut

dimungkinkan akan menimbulkan kesatuan-kesatuan keluarga

yang besar seperti tribe dan rumpun.21

C. Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa

Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam

masyarakat adat tergantung dari jenis sistem kekerabatan yang

dianut. Namun, menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang

paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk

masyarakat dimana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya,

asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang

menganut asas bilateral, tetapi juga bisa ditemukan pada

masyarakat yang menganut asas patrilineal.22 Seperti misalnya,

masyarakat Batak yang notabene menganut sistem kekerabatan

patrilineal dalam asas pewarisannya menganut asas individual

seperti masyarakat Jawa dan Sulawesi.23

Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem

kekerabatan matrilineal, dalam asas pewarisannya menganut

asas kolektif, yaitu para ahli waris secara kolektif (bersama-

sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi

pemilikannya kepada ahli waris masing-masing.24 Setiap ahli

waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, dan

mendapatkan hasil dari harta peninggalan tersebut berdasarkan

musyawarah mufakat di antara para ahli warisnya.25

20 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Cet 2. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991. Hal.721 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cet 4. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Hal.8122 Soerjono..., Hukum Adat... hal. 28623 Ibid, hal. 28524 Ibid25 Hilman..., Hukum Waris... hal. 26

7

Page 9: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Selain itu, masih ada lagi asas mayorat yang dibagi

menjadi mayorat laki-laki dan perempuan. Asas mayorat ini

sebenarnya sama dengan asas kolektif. Bedanya adalah bahwa

penerusan harta waris diserahkan kepada anak laki-laki atau

perempuan yang paling tua. Hal ini mengandung konsekuensi

bahwa anak tertua tersebut harus menggantikan ayah yang

meninggal dalam memelihara, memberi nafkah, menyekolahkan,

mendidik saudara-saudaranya dan dalam segala hal bertindak

atas nama ayahnya.26

Sedangkan pada masyarakat adat Jawa, seperti yang

sedikit telah dijelaskan di muka, menganut asas individual

karena pada sistem kekerabatannya menganut sistem parental

atau bilateral. Sistem ini mengharuskan setiap ahli waris

mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki

haknya masing-masing.

Faktor yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian

warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi

keinginan untuk memiliki harta waris tersebut secara kolektif.

Hal itu disebabkan para ahli waris tidak lagi pada satu rumah

kerabat atau rumah orang tuanya serta telah tersebar sendiri-

sendiri mengikuti para istri atau suaminya (mencar).27

Kebaikan dari sistem individual ini adalah bahwa para ahli

waris yang telah memiliki secara pribadi dapat dengan leluasa

untuk menguasai dan mengembangkan harta tersebut sebagai

bekal kehidupannya yang selanjutnya tanpa dipengaruhi oleh

saudara yang lain.

Namun, sistem ini juga meninggalkan celah yang negatif.

Kelemahan dari sistem ini adalah bahwa pecahnya harta warisan

26 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat. Cet 4. Jakarta: Pradnya Paramita. 1988. Hal.4327 Hilman..., Hukum Waris... hal. 25

8

Page 10: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

dan merenggangnya tali kekerabatan dapat mengakibatkan

timbulnya hasrat untuk menguasai harta secara pribadi dan

mementingkan diri sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, hal

ini bisa mengakibatkan perselisihan-perselisihan antara ahli

waris itu sendiri.28

D. Harta Waris dalam Masyarakat Adat Jawa

Berbicara mengenai harta waris berarti membahas tentang

obyek dari hukum waris itu sendiri, yaitu harta-harta yang bisa

diwariskan. Secara umum, harta warisan tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:29

1. Harta pusaka, yaitu suatu benda yang tergolong kekayaan di

mana benda tersebut mempunyai kekuatan magis.

2. Harta bawaan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang dibawa

oleh (calon) istri atau suami pada saat pelaksanaan

perkawinan.

3. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh oleh suami-

istri dalam ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama

maupun sendiri-sendiri.

4. Harta yang berasal dari pemberian seseorang kepada suami

atau istri maupun kedua-duanya.

Pada masyarakat adat Jawa harta waris diklasifikan

menjadi dua macam, yang mana kedua macam harta warisan

yang akan dijelaskan kemudian dirasa telah merepresentasikan

keempat klasifikasi harta waris di atas. Adapun harta-harta yang

menjadi harta waris pada masyarakat adat Jawa adalah:

a. Gawan (Harta Bawaan)

Harta ini merupakan harta asal yang dibawa oleh suami

atau istri pada saat akan melaksanakan perkawinan. Termasuk

28 Ibid, hal. 25-2629 Soerjono..., Hukum Adat... hal. 305

9

Page 11: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

ke dalam pengertian harta bawaan, harta bawaan lain yang

berasal dari hasil usaha sendiri (harta penghasilan), harta

pemberian atau hibah wasiat, baik yang diterima dari kerabat

atau orang lain sebelum atau selama perkawinan.30

Apabila dalam perjalanan perkawinan seseorang terjadi

perceraian, maka harta bawaan tersebut kembali kepada

masing-masing pihak suami dan istri. Seperti yang dinyatakan

oleh orang Jawa, “tetep dadi duwekke dewe-dewe, bali menyang

asale.”31 Kecuali dalam perkawinan antara istri rendah (miskin)

dengan suami tinggi (kaya) atau yang disebut dengan manggih

koyo, maka semua harta menjadi milik suami dan dikuasai oleh

suami.32

b. Gono-gini (Harta Bersama)

Harta ini merupakan harta yang diperoleh selama dalam

ikatan perkawinan, yang diperoleh dalam usaha bersama-sama.

Di Jawa, harta gono-gini itu adalah “sraya ne wong loro lan

duwekke wong loro”.33

Namun, hal itu agak berbeda dengan putusan Mahkamah

Agung tanggal 7 September 1956 No. 51/K/Sip/1956 yang

menyatakan bahwa, menurut hukum adat semua harta yang

diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk dalam

gono-gini, meskipun hasil kegiatan suami sendiri.34

Kedua jenis harta diatas, pada dasarnya belum menjadi

harta waris. Akan tetapi, harta tersebut masih bersifat harta

peninggalan. Oleh karena itu harus dikurangi terlebih dahulu

30 Hilman... Hukum Waris... hal. 4631 Ungkapan Jawa yang berarti “tetap menjadi kepunyaan masing-masing dan kembali pada asalnya.”32 Ibid, hal. 4833 Ungkapan Jawa yang berarti ”hasil kerja dua orang (suami dan istri) sahingga menjadi hartanya dua orang (harta bersama)34 Ibid, hal. 60

10

Page 12: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

dengan hutang si pewaris. Sisa setelah dikurangi hutang itulah

yang kemudian menjadi harta waris dan dibagi-bagi.35

E. Ahli Waris dan Bagiannya

Pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah para warga

pada generasi berikutnya yang paling karib dengan pewaris atau

disebut dengan ahli waris utama, yaitu anak-anak yang

dibesarkan dalam keluarga/brayat si pewaris dan yang pertama

mewaris adalah anak kandung.36

Menurut adat tradisional Jawa, semua anak baik laki-laki

maupun perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan,

mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya.37

Namun, di beberapa daerah terutama di Jawa Tengah, berlaku

sistem sepikul segendong38 di mana anak laki-laki mendapat

bagian dua kali lipat lebih banyak dari pada bagian anak

perempuan.39

Jika pewaris tidak mempunyai anak sama sekali, tidak pula

mempunyai anak pupon atau anak angkat dari anak saudara

atau dari anak orang lain, maka harta akan diwarisi berturut-

turut oleh, pertama, orang tua, bapak atau ibu pewaris, dan

apabila tidak ada baru saudara-saudara kandung pewaris atau

keturunannya, dan jika ini tidak ada pula barulah kakek atau

nenek pewaris. Dan apabila kakek/nenek pewaris juga tidak ada

maka diberikan kepada paman atau bibi baik dari garis ayah

maupun dari garis ibu pewaris. Jika sampai tingkat ini tidak ada,

maka akan diwarisi oleh anggota keluarga lainnya.40

35 Soerjono... hukum Adat... hal. 30636 Imam Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas. Cet 2. Yogyakarta: Liberty. 1981. Hal. 16237 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Cet 14. Jakarta: Pradnya Paramita. 1996. Hal. 8038 Ungkapan Jawa yang berarti “laki-laki memikul dan wanita menjunjung”.39 Hilman..., Hukum Waris... hal. 7240 Ibid

11

Page 13: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Mengenai anak angkat, dia mendapatkan waris dengan

sistem ngangsu sumur loro, artinya mempunyai dua sumber

warisan, yaitu dari orang tua angkat dan dari orang tua

kandungnya sendiri.41 Meskipun begitu, seorang anak angkat

dalam memperoleh wasiat tidak boleh melebihi dari anak

kandung jika masih ada.42

Sedangkan mengenai kedudukan janda atau duda43 dalam

sistem kekerabatan bilateral atau parental masih sedikit

menimbulkan masalah. Hal itu berkisar tentang apakah ia dapat

mewarisi suami yang wafat ataukah hanya berhak menikmati

warisan itu saja.

Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda atau duda

bukan ahli waris dari suami atau istri yang meninggal. Akan

tetapi, mereka berhak mendapatkan bagian dari harta

peninggalan suami atau istri bersama-sama dengan ahli waris

lain atau menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya

hidup seterusnya.44 Namun, hukum yang menyatakan janda

bukan ahli waris suaminya, hanya ada sebelum kemerdekaan.

Sedangkan setelah kemerdekaan, janda merupakan ahli waris

dari suaminya.45

Ada banyak yurisprudensi yang menyatakan bahwa janda

adalah ahli waris suaminya. Diantaranya adalah keputusan

Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1959 No. 387 K/Sip/1958

yang menyatakan bahwa menurut hukum adat yang berlaku di

Jawa Tengah seorang janda mendapat separoh dari harta gono-

gini. Selain itu juga keputusan MA tanggal 29 Oktober 1958 No.

41 Ibid42 Ibid, hal. 8143 Janda atau duda yang dimaksud disini adalah janda atau duda yang diakibatkan oleh putusnya perkawinan karena kematian bukan karena cerai talak, disebut juga dengan istilah balu.44 Ibid, hal. 87-8845 Ibid

12

Page 14: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

298 K/Sip/1958 menyatakan bahwa menurut hukum adat yang

berlaku di pulau Jawa apabila dalam suatu perkawinan tidak

dilahirkan seorang anak pun, maka janda dapat tetap menguasai

barang-barang gono-gini sampai ia meninggal atau kawin lagi.46

Selain itu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh

Wirjono di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1937 (T.

149-148) berkesimpulan bahwa janda perempuan mendapat

bagian yang sama dengan bagian anak keturunan pewaris.47

F. Kewarisan dalam Hukum Islam di Indonesia

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dijelaskan terlebih

dahulu, yang dimaksud oleh penulis tentang hukum Islam di

Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum kewarisan

yang terdapat dalam kompilasi ini bersumber dari kitab-kitab

fiqh, BW yang sampai sekarang masih berlaku, serta kenyataan

yang berlaku dalam masyarakat yang tertuang dalam

jurisprudensi Pengadilan Agama.48 Kewarisan dalam Kompilasi

Hukum Islam ini diatur dalam buku II tentang hukum kewarisan

sebanyak 23 pasal, yaitu pasal 171 sampai dengan pasal 193.

Dalam kompilasi ini, yang dimaksud dengan kewarisan

adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-

siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing.49

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan

beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta

46 Ibid, hal 8947 Ibid48 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana. 2004. Hal. 32749 Pasal 171 poin a Kompilasi Hukum Islam

13

Page 15: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

peninggalan.50 Sedangkan ahli waris adalah orang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

karena hukum untuk menjadi ahli waris.51

Kompilasi Hukum Islam ini membedakan antara harta

peninggalan dan harta warisan. Adapun yang dimaksud dengan

harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun

hak-haknya.52 Sedangkan harta warisan adalah harta bawaan

ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya

pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian

untuk kerabat.53

Mengenai para ahli waris, KHI mengklasifikasikan menjadi

dua klasifikasi, yaitu menurut hubungan darah dan menurut

hubungan perkawinan. Menurut hubungan darah golongan laki-

laki adalah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan

kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu, anak

perempuan, dan nenek. Sedangkan yang menurut hubungan

perkawinan adalah duda atau janda. Apabila semua ahli waris

tersebut ada, maka yang mendapatkan bagian warisan adalah

anak, ayah, ibu, dan janda atau duda.54

Selanjutnya mengenai bagian masing-masing ahli waris,

KHI juga telah menjelaskan secara panjang lebar. Secara ringkas

adalah sebagai berikut:

1. Anak Perempuan

50 Pasal 171 poin b Kompilasi Hukum Islam51 Pasal 171 poin c Kompilasi Hukum Islam52 Pasal 171 poin d Kompilasi Hukum Islam53 Pasal 171 poin e Kompilasi Hukum Islam54 Pasal 174 ayat (1) dan (2) KHI

14

Page 16: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Anak perempuan apabila dia mewaris sendirian, maka

bagiannya adalah separoh dan apabila dua orang atau lebih

bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Sedangkan bila

bersama anak laki-laki mendapatkan ashabah (bagian sisa)

dengan formulasi pembagian dua dibanding satu.

2. Ayah

Ayah mendapatkan ashabah jika pewaris tidak

meninggalkan anak. Sedangkan apabila pewaris meninggalkan

anak, ayah mendapatkan bagian seperenam.

3. Ibu

Ibu mendapatkan sepertiga apabila tidak ada anak atau

dua saudara atau lebih. Sedangkan apabila ada anak atau dua

saudara atau lebih, maka ibu mendapat bagian seperenam.

Selain itu apabila ibu mewaris hanya bersama dengan

ayah, dan istri (janda) atau suami (duda), maka bagiannya

adalah sepertiga bagian dari sisa setelah diambil oleh janda atau

duda. Kewarisan seperti ini lebih dikenal dengan istilah

gharawain, umariyatain, atau gharibatain.55

4. Duda (suami)

Duda (suami) mendapat separoh bagian apabila pewaris

tidak meninggalkan anak. Sedangkan apabila ada anak maka

mendapat seperempat bagian.

5. Janda (istri)

Bagian janda (istri) adalah seperempat apabila pewaris

tidak meninggalkan anak. Dan apabila pewaris meninggalkan

anak, maka bagiannya adalah seperdelapan.

6. Saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu

Apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, maka

saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing

55 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 107

15

Page 17: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

mendapat seperenam bagian. Dan jika mereka itu dua orang

atau lebih, maka mendapat sepertiga bagian.

7. Saudara perempuan kandung atau seayah

Apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, sedangkan

ia mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau

seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Apabila dua orang

atau lebih, maka bersama-sama mereka mendapatkan dua

pertiga bagian. Dan jika saudara perempuan tersebut bersama

saudara laki-laki maka pembagiannya dengan formulasi dua

dibanding satu.

Pada pasal 184 juga dijelaskan bahwa jika ada ahli waris

yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan

kewajibannya, maka akan diangkat wali berdasarkan keputusan

hakim atas usul anggota keluarga.

Apabila ada ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari

pada si pewaris maka dapat digantikan oleh anaknya dengan

catatan tidak ada penghalang untuk mewarisi,56 bagiannya pun

tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat

dengan yang digantikan.57 Kewarisan semacam ini lebih dikenal

dengan istilah munasakhah.58

56 Menurut pasal 173 KHI, seseorang teerhalang menjadi ahli waris apabila dia dihukum karena: a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.57 Pasal 185 ayat (1) dan (2)58Munasakhat terjadi apabila ada ahli waris yang mati sebelum harta warisan dari pewaris terdahulu dibagikan.

16

Page 18: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

BAB III

PROSES PEWARISAN

DALAM MASYARAKAT ADAT JAWA

Proses pewarisan yang dimaksud pada bab ini merupakan

suatu cara bagaimana seorang pewaris berbuat untuk

meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan

ditinggalkannya kepada para ahli waris ketika pewaris masih

hidup serta bagaimana cara warisan tersebut diteruskan

penguasaan dan pemakaiannya. Selain itu juga tentang

bagimana pelaksanaan pembagian warisan kepada para ahli

waris setelah pewaris wafat.

Dan memang, dalam masyarakat adat, tak terkecuali

masyarakat Jawa, proses pewarisan terbagi dua, yaitu proses

pewarisan sebelum pewaris meninggal dan setelah pewaris

meninggal. Proses pewarisan pada saat pewaris masih hidup

pada masyarakat Jawa dapat dilaksanakan dengan cara lintiran

(penerusan atau pengalihan), cungan (penunjukan), atau dengan

cara weling atau wekas (berpesan, berwasiat).59

Pada bab ini yang akan lebih banyak dibahas adalah

mengenai proses pewarisan ketika pewaris masih hidup,

sedangkan pewarisan setelah pewaris wafat tidak akan banyak

dibahas karena banyak kesamaan dengan hukum konvensional.

A. Pewarisan Sebelum Pewaris Meninggal

Seperti telah disinggung di muka, proses pewarisan

sebelum pewaris meninggal ada berbagai jenis yang masing-

masing berbeda namun secara substansi tetap sama. Adapun

lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut.

59 Hilman… Hukum Waris… hal. 95

17

Page 19: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

1. Penerusan atau Pengalihan (Lintiran)

Ketika pewaris masih hidup, adakalanya telah melakukan

penerusan atau pengalihan kedudukan atau jabatan adat, hak

dan kewajiban dan harta kekayaan kepada ahli waris. Akibat dari

penerusan atau pengalihan ini adalah harta pewaris berpindah

pemilikan dan penguasaannya kepada ahli waris sejak penerusan

atu pengalihan diucapkan.

Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta

kekayaan pada saat pewaris masih hidup adalah diberikannya

harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan sebagai bekal

untuk melanjutkan hidup bagi anak-anak yang akan kawin

mendirikan rumah tangga baru, atau dalam istilah Jawa disebut

mencar atau mentas.60

Biasanya anak laki-laki atau perempuan yang akan kawin

dibekali tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya atau

ternak. Benda-benda tersebut merupakan bagiannya dalam

harta keluarga yang akan diperhitungkan pada pembagian harta

waris sesudah orang tuanya meninggal.61

Selain untuk anak kandung, penerusan atau pengalihan ini

juga biasa diberikan kepada anak angkat, karena telah banyak

mengabdi, memberikan jasa-jasa baiknya untuk kehidupan

rumah tangga. Pewarisan secara penerusan ini dilakukan karena

adanya kekhawatiran dari pewaris kalau anak angkat tersebut

tersingkir oleh anak kandungnya apabila pembagiannya

dilakukan setelah wafatnya.62

Sebagai contoh pewarisan dengan cara penerusan adalah

keluarga yang terdiri dari dua anak laki-laki dan dua anak

perempuan. Karena anak laki-laki tertua telah dewasa dan dan

60 Ibid, hal. 9661 Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa… hal. 15862 Oemar… Dasar-Dasar Hukum… hal. 80

18

Page 20: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

kuat gawe, maka ayahnya memberikan sebidang tanah. Anak

kedua, perempuan, pada saat dinikahkan ia diberi sebuah

rumah.63

2. Penunjukan (Cungan)

Berbeda dengan penerusan atau pengalihan, pewarisan

secara penunjukan oleh pewaris kepada ahli warisnya membawa

akibat hukum, yaitu berpindahnya hak pemilikan dan pengusaan

harta baru berlaku sepenuhnya kepada ahli waris setelah

pewaris meninggal. Adapun sebelum pewaris meninggal, pewaris

masih berhak dan berwenang menguasai harta yang ditunjukkan

itu, tetapi pengurusan dan pemanfaatan, serta penikmatan

hasilnya sudah ada pada ahli waris yang ditunjuk.64

Kemudian apabila dalam keadaan yang mendesak

disebabkan adanya kebutuhan mendadak yang harus

diselesaikan, pewaris masih bisa merubah maksudnya tersebut.

Atau dengan kata lain, pewaris masih bisa menarik kembali atau

mentransaksikan harta tersebut kepada orang lain.65 Dan

tentunya hal itu harus ada musyawarah dengan ahli waris yang

sudah ditunjuk.

Penunjukan tersebut bukan hanya berlaku untuk barang-

barang bergerak saja, tetapi juga berlaku pada barang-barang

yang tidak bergerak seperti tanah lading, sawah, atau kebun.

Pada masyarakat Jawa hal itu lebih dikenal dengan istilah

garisan, karena pewaris menunjuk garis batas tanah yang

diberikan kepada ahli waris.66 Sebagai contoh, misalnya pewaris

menyatakan, tanah dari pohon aren sampai pohon nangka itu

63 Soepomo, Bab-Bab Tentang… hal. 8264 Hilman… Hukum Waris… hal. 9765 Ibid66 Ibid, hal. 98

19

Page 21: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

adalah untuk si A, sedangkan dari pohon nangka sampai tepi

sungai adalah untuk si B.

Dikalangan orang Jawa, adakalanya setelah bidang-bidang

tanah pertanian ditunjukkan atau diteruskan pengusaannya

kepada anak lelaki atau perempuan yang telah mencar

(berpisah) dan hidup mandiri diharuskan memberi punjungan.67

Cara itu berlaku juga meskipun telah diteruskan atau dioperkan.

Sebagian dari tanah itu masih ada yang dikuasai dan dikerjakan

oleh orang tua untuk kepentingan orang tua. Baru setelah orang

tua wafat, akan sepenuhnya menjadi milik ahli waris.68

3. Pesan atau Wasiat (Welingan, Wekasan)

Pesan (welingan) ini biasanya dilakukan pada saat pewaris

sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika

akan bepergian jauh seperti naik haji. Cara ini baru berlaku

setelah pewaris tidak pulang atau benar-benar meninggal. Jika

pewaris masih pulang atau belum meninggal, pesan ini bisa

dicabut kembali.69

Tujuan dilakukan pewarisan secara welingan ini pada

dasarnya adalah untuk mewajibkan kepada para ahli waris untuk

membagi-bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut

anggapan pewaris. Selain itu juga supaya tidak terjadi

perselisihan. Dan tujuan ketiga, pewaris menyatakan secara

mengikat sifat-sifat barang/harta yang ditingggalkannya.70

B. Pewarisan Setelah Pewaris Meninggal

67 Yaitu kewajiban bagi seiap anak yang telah diberi tanah itu untuk tetap member bagian hasil tertentu kepada orang tuanya selama ia masih hidup.68 Ibid. Hal ini juga bisa dikatakan sebagai tanah gantungan, yang mana kepemilikan baru beralih sepenuhnya kepada ahli waris setelah orang tua meninggal.69 Ibid, hal. 9970 Soejono… Hukum Adat… hal. 297

20

Page 22: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Secara umum pewarisan setelah pewaris meninggal dunia

sama dengan pewarisan pada hukum konvensional. Pada

masyarakat adat Jawa yang sistem kekerabatannnya parental

atau bilateral dan menganut asas pewarisan individual, maka

harta warisan tidak dikuasai oleh anggota keluarga tertentu atau

tetua adat, tetapi dibagi kepada para ahli waris yang ada.

Adapun yang lebih menonjol pada pewarisan setelah

pewaris meninggal adalah mengenai bagaimana cara pembagian

warisan tersebut kepada ahli warisnya, dan kapan waktu

pembagiannya.

C. Pembagian Warisan

Pada sub bab ini akan banyak diterangkan mengenai waktu

pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal dan juga

bagaimana cara pembagiannya.

1. Waktu Pembagian dan Juru Bagi

Pada umumnya hukum adat tidak mengatur secara baku

kapan waktu pembagian warisan harus dilakukan. Begitu juga

mengenai juru bagi juga tidak ada ketentuan.

Pada masyarakat Jawa pembagian warisan tersebut dapat

dilaksanakan setelah slametan (selamatan). Selamatan itu

sendiri ada berbagai macam dan dilaksanakan pada waktu-waktu

tertentu setelah meninggalnya seseorang. Misalnya, mitung dino

(setelah tujuh hari pasca meninggalnya seseorang), matang

puluh (setelah 40 hari), nyatus (setelah seratus hari), dan nyewu

(setelah seribu hari).71

Namun, kebanyakan pembagian warisan dilaksanakan

pada waktu nyewu atau dengan istilah lain nemu tahun wafat,

yaitu pada hari ulang tahun meninggalnya pewaris. Karena pada 71 Himan… Hukum Waris… hal. 104

21

Page 23: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

hari itu diharapkan semua anggota keluarga dan ahli waris

berkumpul di tempat pewaris almarhum.72 Dengan demikian,

ketika semua pewaris telah berkumpul akan lebih memudahkan

pembagian harta waris dan sosialisainya kepada seluruh anggota

keluarga.

Adapun mengenai juru bagi juga tidak ada ketentuan pasti.

Akan tetapi, yang dapat menjadi juru bagi adalah sebagai

berikut:73

a. Orang tua yang masih hidup (janda atau duda pewaris),

b. Anak tertua lelaki atau perempuan,

c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil, dan

bijaksana,

d. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau

pemuka agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih oleh para

ahli waris.74

2. Cara Pembagian

Hukum adat dalam tata cara pembagian warisan tidak lah

mengenal pembagian secara matematis. Tetapi pembagian pada

masyarakat adat selalu didasarkan atas pertimbangan wujud

benda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi

meskipun dikenal adanya persamaan hak dan keseimbangan,

tidak berarti setiap ahli waris mendapatkan bagian yang sama,

dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian

tertentu.

Pada masyarakat adat Jawa mengenal dua cara pembagian

harta warisan, yaitu dengan cara segendong sepikul, dimana

72 Ibid73 Ibid, hal. 10574 Sebenarnya tetua adat atau pemuka agama tidak terlalu dipentingkan. Mereka dipanggil untuk menengahi para ahli waris pada saat pembagian warisan hanya ketika jalannya musyawarah pembagian ada masalah atau perselisihan.

22

Page 24: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

pada cara pembagian ini bagian anak laki-laki dua kali lipat anak

perempuan. Kedua, dengan cara dundum kupat,75 dimana bagian

anak laki-laki dan perempuan sama dan seimbang.76

Sebagai contoh pembagian waris secara berimbang antara

laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut:

”Setroidjojo bertempat tinggal di kelurahan Tandjunghardjo, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon-Progo, meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak lelaki dan dua orang anak perempuan. Ketiga anak tersebut telah kawin. Setahun kemudian anak lelaki yaitu Setrowagijo meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan. Warisan yang berwujud tanah pekarangan seluas 1000 m2 dan 2000 m2

dari Setrodidjojo dibagi tiga. Harta lain sudah tidak ada karena telah dipakai untuk membiayai penguburan dan selamatan. Pemabagian itu adalah seperti berikut: 1) Anak perempuan tertua tanah pekarangan tabon (pekarangan tempat rumah orang tua berdiri 1000 m2 seharga Rp 1000,-), 2) Anak perempuan kedua tanah pekarangan 1000 m2 seharga Rp 1000,- dan 3) Tjutju, anak dari anak laki-laki tanah pekarangan 1000 m2 berharga Rp 800,-“77

75 Istilah Jawa, secara bahasa berarti membagi ketupat76 Sama seimbang tersebut tidak diukur secara matematis, tetapi dengan perkiraan dan iktikad baik.77 Soedarso, Hukum Adat Waris. 1961 dalam Hilman… Hukum Adat… hal. 106

23

Page 25: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

BAB IV

ANALISA PROSES PEWARISAN

DALAM MASYARAKAT ADAT JAWA

Secara umum, sistem kewarisan yang biasa digunakan di

dalam masyarakat adat Jawa banyak mempunyai kesamaan

dengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia yang

dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebut

terutama terletak pada sistem kekerabatan dan asas kewarisan

yang digunakan dan melekat pada keduanya.

Kewarisan adat Jawa maupun kewarisan dalam Kompilasi

Hukum Islam sama-sama menggunakan sistem kekerabatan

bilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini tidak

berlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur ibu.

Akan tetapi, penarikan garis keturunan pada sistem bilateral

atau parental diambil dari kedua orang tua (bapak dan ibu). Hal

ini berakibat dalam masalah kewarisan, dimana ahli waris tidak

didominasi oleh anggota keluarga garis keturunan bapak atau

ibu, tetapi oleh kedua-duanya, perempuan mempunyai

kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Mengenai asas kewarisannya pun, mempunyai kesamaan,

yaitu sama-sama menggunakan asas kewarisan individual.

Artinya, harta warisan tidak dikuasi hanya oleh anggota keluarga

tertentu dan tidak pula digunakan secara bersama-sama dengan

hanya mengambil manfaatnya. Akan tetapi, harta warisan

tersebut dibagi-bagi kepada masing-masing ahli waris menurut

bagiannya masing-masing dan setiap ahli waris berhak memiliki

dan menguasainya, karena harta pada asas kewarisan individual

bersifat ‘bisa dibagi-bagi’.

24

Page 26: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Sistem kewarisan adat Jawa dengan Kompilasi Hukum

Islam juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang cukup

signifikan. Perbedaan tersebut terutama terletak pada proses

pewarisanya, ahli waris, dan cara pembagian hartanya. Adapun

secara singkat akan dijelaskan pada sub bab berikut.

A. Mengenai Proses Pewarisan

Proses pewarisan dalam sistem adat Jawa dan Kompilasi

Hukum Islam sangat berbeda. Perbedaan ini akibat adanya

perbedaan salah satu asas kewarisannya. Selain asas individual,

dalam waris sistem KHI juga menganut asas kematian semata,

sehingga ahli waris baru bisa mendapatkan harta warisan ketika

pewaris meninggal. Demikian juga pewaris, baru bisa

mewariskan hartanya kepada para ahli warisnya ketika ia sudah

meninggal.

Berbeda dengan sistem kewarisan adat Jawa yang tidak

menganut asas kematian semata. Sehingga hal ini

mengakibatkan harta warisan bisa diwariskan ketika pewaris

masih hidup. Dengan kata lain, pada kewarisan adat Jawa, harta

warisan selain diwaris setelah pewaris meninggal, juga bisa

diwariskan pada saat pewaris masih hidup. Cara yang biasa

ditempuh ada tiga macam, yaitu dengan cara penerusan atau

pengalihan, penunjukan, dan weling atau wekas (berpesan,

berwasiat).

B. Mengenai Ahli Waris dan Cara Pembagian

Dalam hal ahli waris kedua sistem tersebut juga

mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Yang pertama,

mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam,

yang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai

25

Page 27: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.

Dengan demikian, anak angkat bukan merupakan ahli waris dari

pewaris karena tidak mempunyai hubungan darah dengan

pewaris.

Sedangkan dalam sistem kewarisan adat Jawa, anak

angkat merupakan ahli waris dari pewaris. Bahkan,

kedudukannya sangat isimewa dan bisa saja mengalahkan anak

kandung. Biasanya, anak angkat akan mendapatkan warisan

sebelum orang tua angkatnya meninggal dengan cara

pengalihan atau penerusan. Hal itu dikarenakan adanya

kekhawatiran orang tua angkat, apabila warisan diberikan

setelah wafatnya, anak angkat tersebut akan kalah dengan anak

kandung.

Yang kedua mengenai ahli waris utama. Di dalam sistem

kewarisan adat Jawa, dikenal dengan adanya ahli waris utama,

yaitu orang-orang yang dibesarkan dalam keluarga pewaris

(anak kandung atau anak angkat). Hal ini mengakibatkan yang

akan mendapatkan harta waris pertama kali adalah ahli waris

utama. Karena adat Jawa menganut sistem pembagian

bertingkat, yaitu apabila ahli waris utama tidak ada maka

warisan akan diberikan kepada orang tua pewaris, dan jika tidak

ada kepada saudara kandung pewaris dan begitu seterusnya.

Namun apabila ada ahli waris utama, maka gugurlah

kesempatan anggota keluarga yang lain untuk mendapatkan

warisan.

Berbeda dengan KHI yang tidak menganut adanya ahli

waris utama. Harta warisan dibagikan kepada para ahli waris

yang memang tidak terhalang untuk mewaris (karena mahjub

atau sebab lain). Sehingga setiap ahli waris mempunyai

26

Page 28: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

kesempatan yang sama untuk mendapatkan harta warisan

sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Selanjutnya dalam hal pembagian, sistem kewarisan adat

Jawa tidak berdasarkan perhitungan matematis seperti dalam

sistem KHI. Perhitungannya dilakukan secara dundum kupat,

yaitu harta warisan dibagi sama antara para ahli waris baik laki-

laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada suatu perkiraan dan

iktikad baik bahwa dengan pembagian yang seperti itu keadilan

dan keseimbangan antara para ahli waris dapat tercapai.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Demikian pembahasan tentang sistem kewarisan pada

masyarakat adat Jawa. Dari pembahasan di atas maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Antara sistem kewarisan adat Jawa dan hukum Islam di

Indonesia (KHI) terdapat suatu kesamaan, yaitu dalam hal

sistem kekerabatan dan asas kewarisannya. Keduanya

menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental dan

menggunakan asas kewarisan individual.

2. Antara sistem kewarisan adat Jawa dan KHI terdapat

perbedaan yang sangat kontras, diantaranya:

a. Pada adat Jawa proses pewarisan dapat dilakukan

sebelum dan sesudah kematian, sedangkan dalam KHI

hanya dapat dilakukan setelah adanya kematian.

b. Pada adat Jawa anak angkat diakui sebagai ahli waris,

sedangkan dalam KHI tidak diakui, karena anak angkat

tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.

27

Page 29: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

c. Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan

menggunakan sistem pembagian bertingkat, sehingga

apabila ahli waris utama ada, maka ahli waris lain akan

terhalang. Sedangan dalam KHI tidak menganut adanya

ahli waris utama. Semua ahli waris yang memang tidak

berhalangan mewaris mendapat kesempatan yang

sama sesuai dengan bagiannya.

d. Cara pembagian dalam kewarisan adat Jawa dilakukan

dengan cara pembagian yang sama besar, sehingga ahli

waris perempuan mendapatkan bagian yang sama

dengan ahli waris laki-laki. Sedangkan dalam KHI,

pembagiannya sesuai dengan bagian masing-masing

ahli waris yang telah ditentukan dengan formulasi dua

banding satu, sehingga laki-laki mendapatkan dua kali

lipat dari pada perempuan.

3. Sistem kewarisan adat Jawa tidak relevan dengan hukum

Islam di Indonesia (KHI). Karena antara keduanya

mempunyai perbedaan dalam hal-hal yang sangat

mendasar dan prinsipil.

B. Saran

Masalah kewarisan adalah masalah yang sangat urgen.

Kesalahan sedikit saja dalam pembagiannya akan menimbulkan

suatu perselisihan yang besar diantara para ahli waris karena

dianggap tidak memenuhi aspek keadilan. Oleh karena itu,

pembagian warisan harus dilakukan dengan tepat dan cermat

sehingga hak-hak masing-masing ahli waris dapat terpenuhi.

28

Page 30: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Cet. 4. Bandung: PT

Citra Aditya Bakti. 1990.

Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional. cet. 2. Jakarta:

Tintamas. 1968.

________. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an dan

Hadits. Cet. 5. Jakarta: Tintamas. 1981.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang

Kompilasi Hukum Islam

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.

Jakarta: Kencana. 2006.

Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. Cet 4. Jakarta:

Pradnya Paramita. 1988.

Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Cet 2.

Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991.

Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum

Acara Peradilan Agama, dan Zakat Menurut Hukum Islam.

Cet 4. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia.

2007.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Cet. 4. Jakarta:

Rajawali. 1990.

Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar

Untuk Mempelajari Hukum Adat. Cet. 3. Jakarta: Rajawali

Pers. 1996.

Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Cet 14. Jakarta:

Pradnya Paramita. 1996.

29

Page 31: 28975432 Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Jawa

Sudarsono. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka

Cipta.

Sudiyat, Imam. Hukum Adat: Sketsa Asas. Cet 2. Yogyakarta:

Liberty. 1981.

Sugihen, Bahreint. Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar).

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.

Syarifudin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.

2004.

Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus

Kebatinan. Yogyakarta: LKis. 2004.

30