Upload
okiruseraazharipuswanda
View
31
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sumber berasal dari digilib.uns.ac.id
Citation preview
Spirit Publik Volume 9, Nomor 1 Halaman: 37 - 50
ISSN. 1907 - 0489 Oktober 2014
37
IMPLEMENTASI MODEL PENYULUHAN KB BERBASIS GENDER DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN KELUARGA
DI KABUPATEN PURBALINGGA (Implementation of Gender-based Family Planning Extension Model to Increase the Family
Resilience in Purbalingga District)
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jenderal Soedirman [email protected]
( Diterima tanggal 15 Nopember 2013 , disetujui 7 Januari 2014)
Abstract
This second year research was the implementation of the model obtained in the first year wich purpose: (1) to understand the impact of the establishment of many hair factories built in Purbalingga regency which absorb thousands of women labour to the existence of their family And to promote family empowerment programs are integrated and sustainable, (2) to increase the competence of family planning extension agent in family planning conseling with gender-perspective, and (3) to increase the competence of family planning social workers in family planning conseling with gender-perspective. The target of this research were: (1) policy makers related to family empowerment program in the Regency Purbalingga, (2) family planning extension agent and family planning cadres. Strategy for achieving the first goal was sharing and discussion activities, while strategy for the second and third one were presentation and discussion. It was concluded that: (1) not all policy makers understand about the fenomenon of shifting of gender role in family and the increase of divorce and there was not integrated program in family empowerment, (2) the mastery of family planning extension agent and the family planning cadres were needs to be increased, particularly in technical matter Keyword: Gender-based Family Planing Extension, family recilience, shiftting of genderrole in family.
1. Pendahuluan
Tantangan penyuluhan KB setelah
program ini didesentralisasikan ke tingkat
kabupaten/kota semakin berat seiring dengan
semakin kompleksnya permasalahan keluarga.
Di samping masih cukup tingginya jumlah
kelahiran, juga adanya pergeseran/peralihan
peran gender dalam keluarga di mana istri-lah
yang menjadi pencari nafkah utama. Hal ini
biasanya disebabkan suami bekerja tidak tetap
(serabutan ) atau bahkan tidak bekerja sama
sekali.
Salah satu kabupaten yang mempunyai
banyak keluarga yang mengalami alih peran
gender tersebut adalah Kabupaten Purbalingga.
Hal ini diperkirakan muncul sekitar tahun
2005-an semenjak berdirinya puluhan
perusahaan rambut (membuat bulu mata dan
rambut palsu) yang menyerap ribuan pekerja
perempuan. Dari sinilah kemudian muncul
istilah lokal pamong praja (papa momong
mama kerja). Fenomena ini menarik dan
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
38
penting untuk dikaji agar diketahui dampaknya
terhadap relasi suami-istri, orangtua-anak serta
dengan lingkungan di sektiar mereka. Di
samping itu juga agar diketahui sejauhmana
kebijakan Pemerintah kabupaten (Pemkab)
setempat telah berorientasi pada fenomena
tersebut. Kajian terhadap fenomena ini juga
perlu dilakukan mengingat belum adanya
kajian tentang hal ini. Untuk itu, kajian awal
tahun pertama (Puspita, dkk., 2012) telah
dilakukan untuk menggali informasi tentang:
(1) fenomena keluarga pamong praja
tersebut, (2) pandangan pejabat-pejabat terkait
tentang masalah ini, (3) pelaksanaan
penyuluhan KB, dan (4) model penyuluhan KB
berbasis gender dalam upaya meningkatkan
ketahanan keluarga.
Penelitian tersebut dilaksanakan di
empat kecamatan (Kecamatan Purbalingga,
Kalimanah, Padamara dan Bojongsari) yang
warga perempuannya banyak bekerja di
perusahaan-perusahaan rambut yang banyak
berdiri di lokasi tersebut. Mengingat
terbatasnya data dan hasil penelitian
sebelumnya, maka sasaran penelitian yang
dipilih adalah para Kader KB Desa/Kelurahan
yang pada umumnya telah sangat mengenal
kondisi dan permasalahan PUS di sekitar
mereka disebabkan masa kerja mereka yang
lama dalam membantu program KB. Di
samping itu, pada umumnya mereka juga
menjadi kader untuk bidang-bidang lain seperti
kesehatan dan PKK. Dengan demikian, mereka
merupakan salah satu tokoh informal di
lingkungan mereka. Untuk itulah mereka
kemudian menjadi mendapat tugas untuk
menjadi kader kesehatan dan KB yang dikenal
dengan Sub Klinik Desa (SKD).
Data dikumpulkan melalui wawancara
individual yang didukung dengan diskusi
terarah (Focus Group Discussion/FGD) yang
kemudian dianalisis menggunakan pendekatan
kualitatif berperspektif gender. Dari proses ini
diperoleh empat temuan penting.
Pertama, fenomena keluarga
pamong praja memang ada di sekitar
lingkungan informan, meskipun belum
diketahui pasti jumlahnya. Paling tidak di
wilayah terdekat mereka (Rukun Tetangga/RT)
terdapat sekitar 10-20 keluarga yang
mengalami alih peran gender tersebut. Istrinya
bekerja di PT, sedangkan suaminya biasanya
adalah buruh bangunan, buruh tani, tukang
becak atau menganggur (tidak jelas
pekerjaannya). Di satu sisi, bekerja di PT
telah meningkatkan ekonomi keluarga mereka.
Akan tetapi, dengan adanya kesenjangan
penghasilan, menyebabkan mereka rentan
mengalami disharmoni keluarga, terutama
yang terkait dengan relasi suami-istri. Hal ini
tampak dari beberapa kasus perceraian yang
terjadi di beberapa wilayah di sekitar informan.
Hal ini mendukung data dari Pengadilan
Agama setempat yang menunjukkan tingginya
tingkat perceraian di kabupaten ini.
Kedua, meskipun fenomena tersebut
telah berjalan lebih dari lima tahunan, akan
tetapi keberadaan keluarga pamong praja ini
belum banyak mendapat perhatian dari
Pemkab Purbalingga. Hal ini tampak dari hasil
wawancara dengan para pejabat di beberapa
instansi yang terkait dengan program
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
39
pemberdayaan keluarga seperti BKBPP,
Bappeda, Kementerian Agama dan Dinas
Ketenagakerjaan. Bahkan pejabat di
lingkungan BKBPP yang sasaran utama
instansinya adalah keluarga juga belum terlalu
paham dan menyadari munculnya persoalan
pergeseran peran gender dan tingginya angka
perceraian. Rendahnya pemahaman tentang
permasalahan tersebut juga ditemui di
lingkungan Tim Penggerak PKK Kabupaten
yang programnya sangat jelas ditujukan bagi
keluarga. Hal inilah yang menyebabkan tidak
adanya grand design kebijakan Pemkab dalam
upaya penanganannya.
Ketiga, penyuluhan KB oleh para
kader KB Desa/Kelurahan di keempat
kecamatan yang menjadi lokasi penelitian
masih diskriminatif gender, disebabkan pada
umumnya hanya diberikan kepada para
perempuan/istri. Alasannya adalah karena
mereka menganggap bahwa urusan KB lebih
merupakan urusan kaum perempuan/isri. Di
samping itu juga karena pendekatan terhadap
istri dianggap lebih mudah baik dilihat dari
waktu maupun cara penyampaiannya.
Penyampaian dapat dilakukan kepada
kelompok (pada saat pertemuan rutin bulanan
di tingkat RtT dan RW) maupun pendekatan
personal/konseling.
Di samping masih diskriminatif
gender, materi penyuluhannya pun masih
terbatas tentang KB dalam arti sempit yakni
berupa pemotivasian untuk menggunakan
metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP).
Sangat jarang dilakukan penyuluhan tentang
issue-issue yang terkait dengan keluarga
seperti kesetaraan dan keadilan gender, KDRT
dan permasalahan remaja. Hal ini disebabkan
terbatasnya kemampuan mereka tentang
materi-materi tersebut. Forum bulanan yang
diadakan oleh BKBPP Unit Kecamatan
setempat pada umumnya hanya berupa
pemberian informasi dan tugas yang terkait
dengan pemotivasian untuk menggunakan alat
kontrasepsi jangka panjang, pencarian akseptor
untuk jenis tersebut serta pendataan keluarga.
Materi gender dan KDRT pernah diberikan,
akan tetapi sangat singkat dan hanya diberikan
materinya untuk dipelajari sendiri. Dengan
jenis arahan dan keterbatasan informasi ini,
mereka hampir tidak pernah memberikan
materi yang menyangkut permasalahan
keluarga di sekitar mereka, termasuk
banyaknya keluarga pamong praja.
Keempat, kondisi keterbatasan para
kader tersebut juga disebabkan kurangnya
penguasaan PKB (sebagai tenaga formal
penyuluh dan atasan para kader) disebabkan
sangat jarangnya pelatihan/refreshing bagi
mereka karena keterbatasan anggaran.
Semenjak desentralisasi program ini,
kesempatan PKB mendapatkan pelatihan
tersebut menjadi sangat terbatas. Beberapa
pelatihan yang diadakan oleh Balai Diklat KB
di wilayah Banyumas biasanya hanya diikuti
oleh beberapa PKB yang ditunjuk secara
bergiliran. Adapun forum pertemuan rutin
bulanan di tingkat BKBPP lebih sering diisi
dengan pemberian informasi kegiatan-kegiatan
pelayanan KB yang akan diikutkan disertai
pemberian tugas untuk menginformasikannya
kepada para SKD di wilayah mereka.
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
40
Berdasarkan hasil kajian pada tahun
pertama tersebut, perlu dilakukan revitalisasi
model penyuluhan KB yang berbasis gender
agar pendekatan dan materi yang diberikan
sesuai dengan kondisi, permasalahan dan
kebutuhan PUS setempat. Revitalisasi ini
melibatkan keseluruhan proses penyuluhan KB
sejak tahap awal pembuatan kebijakan
program KB hingga teknis penyuluhannya.
Dari hasil kajian tersebut, diperoleh model
revitalisasinya yang dapat disederhanakan
sebagai berikut:
Gambar 1. Model Penyuluhan Berperspektif Gender dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga di
Kabupaten Purbalingga
Pada tahun kedua, model tersebut
diujicoba di lokasi penelitian. Dengan
demikian, tujuan penelitian tahun kedua ini
adalah: (1) menumbuhkankan sensitivitas
gender di kalangan para pembuat kebijakan
yang terkait dengan program KB dan
pemberdayaan keluarga, (2) meningkatkan
penguasaan dan keterampilan para PKB
tentang penyuluhan KB berbasis gender dan
((3) meningkatkan penguasaan dan
keterampilan para Kader KB Desa tentang
penyuluhan KB berbasis gender. Manfaat yang
dihasilkan adalah: (1) meningkatnya
sensitivitas gender dalam program KB dan
pemberdayaan keluarga di kalangan para
pejabat dari berbagai instansi yang terkait, (2)
meningkatnya pemahaman dan penguasaan
PKB tentang penyuluhan berbasis gender, dan
(3) meningkatnya pemahaman dan penguasaan
para Kader KB Desa tentang penyuluhan
berbasis gender.
2. Kajian Literatur
Penyuluhan KB adalah kegiatan
penyampaian informasi untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan
masyarakat guna mewujudkan keluarga
berkualitas (BKKBN, 2004). Adapun gender
adalah interpretasi mental dan kultural
Komitmen Pembuat Kebijakan dlm program
KB & pemberdayaan
Kompetensi PKB ttg Penyuluhan Berperspektif
gender
Ketahanan Keluarga Pamong
Praja
Kompetensi Kader KB ttg Penyuluhan Berperspektif
gender
Ketahanan Keluarga
Purbalingga
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
41
terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki
dan perempuan. Gender biasanya digunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang
dianggap hhtepat bagi laki-laki dan
perempuan (Umar, 1999). Dapat dikatakan
bahwa gender adalah jenis kelamin (yang
ditentukan secara ) sosial (Fakih, 1995;
Mosse, 1996).
Jadi, penyuluhan yang berbasis gender
adalah proses pendidikan nonformal yang
bertujuan di samping memenuhi kebutuhan
praktis gender dari kelompok sasarannya, juga
memenuhi kebutuhan strategis gender mereka.
Kebutuhan praktis gender adalah pemenuhan
kebutuhan individu jangka pendek yang
bertujuan mengubah kehidupan melalui
kebutuhan pasar, akan tetapi tidak mengubah
posisi perempuan yang subordinat. Adapun
kebutuhan strategis gender adalah pemenuhan
kebutuhan gender agar perempuan dan laki-
laki dapat berbagi adil dalam pembangunan.
Contoh kegiatannya adalah perubahan dalam
pembagian kerja gender, perbaikan
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan,
perlindungan hukum dan jaminan
kesejahteraan tenaga kerja wanita (Astuti,
2002).
Sebetulnya, BKKBN juga telah
memiliki konsep penyuluhan berperspektif
gender melalui konsep Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE) responsive gender. KIE
adalah proses penyampaian dan penerimaan
pesan dalam rangka meningkatkan dan
memanfaatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat, dan mendorongnya agar
secara sadar menerima program KB (Pusat
Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas
Perempuan - BKKBN, 2007:39).
KIE yang responsif gender adalah
salah satu pendekatan dalam komunikasi yang
bertujuan mempercepat perubahan
pengetahuan, sikap dan perilaku. Ini diukur
dari berbagai saluran komunikasi, di mana
penyampaian dan penerimaan pesannya
memperhatikan kepentingan laki-laki dan
perempuan. Tujuannya adalah: (1) mengubah
pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang,
keluarga dan masyarakat agar mempunyai
pemahaman tentang adanya kepentingan antara
laki-laki dan perempuan; (2) mendorong
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
(3) mengurangi atau menghilangkan segala
bentuk diskriminasi gender yang berkembang
di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya
kebijakan/program/peraturan yang responsif
gender. Caranya adalah dengan melalui lima
tahap yakni: (1) analisis situasi, (2) desain
strategi, (3) pengembangan rencana, ujicoba
bahan dan produksi, (4) pelatihan dan
monitoring, dan (5) kegiatan evaluasi
(BKKBN, 2007).
Dari uraian di atas tampak bahwa
komitmen untuk menerapkan penyuluhan KB
berbasis gender sebetulnya sudah ada sejak
lama, akan tetapi seringkali tidak diterapkan.
Untuk itulah perlu dilakukan banyak kajian
tentang hal ini agar dapat diketahui
kendalanya, sehingga dapat diupayakan
solusinya. Salah satu syarat menerapkan
pendekatan ini adalah dengan melibatkan
kaum laki-laki/suami. Rendahnya partisipasi
laki-laki dalam program KB dimungkinkan
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
42
disebabkan karena terdiskriminasikannya
mereka dalam proses penyuluhan KB.
Sebagaimana ditemukan Imroni et al. (2009),
dukungan suami ikut andil dalam
meningkatkan penggunaan implant ibu-ibu di
Indramayu.
Penyuluhan KB tidak berhenti pada
tujuan untuk perencanaan jumlah dan jarak
kelahiran anak saja, melainkan harus terus
berlanjut pada tahap berikutnya yang
tantangannya justru semakin berat. Setelah
melahirkan, orangtua masih memiliki
serangkaian tugas dan kewajiban yakni
mendidik dan mengasuh anak dengan penuh
kasih sayang serta menerapkan hak-hak anak
lainnya (pendidikan, kesehatan, pengembangan
potensi dan lainnya). Banyak bukti
menunjukkan adanya hubungan positif antara
pengasuhan dengan tumbuhkembang anak
pada tahap-tahap berikutnya, terutama remaja
dan dewasa. Dalam proses tumbuhkembang
anak, Myers (1992) mengukuhkan peran
sinergis antara aspek psikososial, gizi dan
kesehatan yang merupakan satu kesatuan
tumbuhkembang anak. Wallender (1989)
menambahkan bahwa kompetensi sosial dan
emosional pada anak-anak akan mengurangi
resiko perilaku negatif seperti mengunsumsi
alkohol dan penggunaan narkoba. Kompetensi
sosial dan emosional yang baik dalam masa
anak-anak akan meningkatkan kesehatan
sepanjang siklus hidupnya.
Penyuluhan KB berbasis gender juga
bertujuan untuk meningkatkan ketahanan
keluarga. Sunarti (2001) menyebutkan bahwa
ketahanan keluarga adalah suatu kondisi
keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan, baik secara fisik maupun psikis
mental spiritual, guna hidup mandiri serta
mampu mengembangkan diri dan anggota
keluarganya untuk hidup harmoni, sejahtera
lahir dan batin. Ukuran ketahanan keluarga
yang sahih adalah yang menunjukkan kapasitas
keluarga dalam memenuhi ketahanan fisik,
ketahanan psikologis dan ketahanan sosial.
Penyuluhan KB dilaksanakan oleh
para petugas yang secara resmi diberi mandat
untuk itu. Penyuluh KB (PKB) adalah Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh
pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan
pengembangan Keluarga Berencana Nasional.
Dengan kata lain, PKB adalah PLKB yang
berstatus sebagai pejabat fungsional (BKKBN,
2002).
Mengingat keterbatasan jumlah
PKB/PLKB yang tidak seimbang dengan luas
wilayah dan jumlah kelompok sasaran, maka
dalam program KB, dikembangkan konsep
Kader KB. Kader KB dikenal juga dengan
nama kelompok Institusi Masyarakat Pedesaan
(IMP). Mereka adalah anggota masyarakat
yang secara sukarela membantu pelaksanaan
program KB. Mereka yang menjalankan tugas
di tingkat desa tergabung dalam Pembantu
Pembina KB Desa (PPKBD), di tingkat RW
dikenal dengan Sub PPKBD dan di tingkat RT
dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.
Peran mereka sangat besar, yakni
mempromosikan KB, mengadakan pertemuan,
menyediakan informasi, mengorganisasi
pengumpulan dana, membantu tabungan dan
kredit, mengumpulkan data serta membantu
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
43
aktivitas sosial lainnya (Utomo et al., (2006).
Di sisi lain, tantangan kerja mereka semakin
berat seiring berkurangnya dukungan media
massa sebagaimana tampak dari hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007 (BKKBN online, 30 Maret 2009).
Di samping itu, juga karena tingkat
pengetahuan para tokoh agama tentang KB
masih belum mendalam (BKKBN online, 17
Februari 2008).
Meski tidak digaji, militansi mereka
cukup tinggi. Bahkan, dalam kondisi krisis
ekonomi tahun 1998 di mana mereka sendiri
sebenarnya ikut terkena imbas krisis, sebagian
besar kader KB dan kesehatan di wilayah
Ciputat masih bertahan. Mereka membantu
PKB dan petugas Puskesmas menjalankan
program penanggulangan krisis, yang berarti
menambah beban kerja mereka (Puspita,
2000). Hasil kajian Revitalisasi Penyuluhan
KB pada tahun pertama (Puspita, dkk., 2012)
memperkuat kesimpulan tingginya militansi
kader. Kader-kader KB Desa di empat
kecamatan (Purbalingga, Kalimanah,
Bojongsari dan padamara) adalah kader-kader
senior, baik dari segi umur maupun masa
kerja. Pada umumnya mereka berusia 50
tahun dengan masa kerja 15 tahun yang nyaris
tanpa pernah berhenti/DO.
Untuk itulah, seiring dengan
menurunnya jumlah PKB dan anggaran
penyuluhan KB semenjak
didesentralisasikannya program KB dan
semakin kompleksnya permasalahan keluarga
di masyarakat, maka mereka dapat diberikan
peranan yang lebih strategis sebagai agen
perubahan dalam menjaga ketahanan keluarga
di masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan,
karena mereka adalah penduduk setempat,
sehingga mengetahui dan memahami dinamika
kebutuhan dan permasalahan yang terjadi pada
keluarga-keluarga di lingkungan tempat
tinggalnya.
3. Metode Penelitian
Penelitian tahun ke-2 ini menggunakan
pendekatan kualitatif karena lebih mampu
menjelaskan, memberikan pengertian serta
menggali penyebab, alasan-alasan hingga ke
akar-akarnya (Sriyuningsih, 2003). Fokus
penelitian pada tahun kedua ini adalah pada
kegiatan: (1) meningkatkan pemahaman
tentang permasalahan keluarga bagi para
pembuat kebijakan dan organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang terkait dengan program
pemberdayaan keluarga, (2) refreshing
pelatihan penyuluhan KB berperspektif gender
di kalangan para PKB, dan (3) refreshing
pelatihan penyuluhan KB berperspektif gender
di kalangan para Kader KB Desa/kelurahan.
Untuk itulah, sasaran penelitiannya adalah: (1)
para pembuat kebijakan yang terkait dengan
program pemberdayaan keluarga di lingkungan
Pemkab Purbalingga, (2) para Penyuluh KB
(PKB) di 4 kecamatan lokasi penelitian dan (3)
Kader KB Desa/Kelurahan (yang disebut
dengan SKD) di keempat kecamatan tersebut.
Strategi pencapaian tujuan pertama adalah
melalui sharing kegiatan dan diskusi. Adapun
strategi pencapain tujuan kedua dan ketiga
adalah pemaparan materi dan tanya jawab.
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
44
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Diskusi dengan Para Pejabat dari
Instansi Pemberdayaan KB&
Keluarga
Fenomena Pamong praja yang
mulai menggejala di Kabupaten
Purbalingga, khususnya kecamatan-
kecamatan yang di wilayahnya banyak
berdiri perusahaan rambut tidak terlepas
dari kebijakan pro investasi Pemkab
Purbalingga. Untuk itulah, tanggal 25 Juni
2013 telah dilakukan diskusi dengan 20
perwakilan dari berbagai instansi yang
terkait dengan program KB dan
pemberdayaan keluarga serta dari
perwakilan organisasi kemasyarakatan dan
media. Tujuannya adalah: (i)
mendiseminasikan hasil penelitian yang
telah dilakukan, (ii) menggali kebijakan
yang telah dilakukan dan (iii) menggagas
terbentuknya forum Ketahanan Keluarga.
Hasil diskusi tersebut adalah:
pertama, sebagian besar peserta belum
mengetahui issue pamong praja dan
tingginya angka perceraian di Purbalingga
ini. Kebanyakan mereka tidak menduga
bahwa kebijakan pro investasi yang telah
berhasil mendorong masuknya investor
luar negeri ternyata memiliki dampak
negatif. Yang kebanyakan dipahami adalah
bahwa kebijakan ini telah menignkatkan
kondisi perekonomian warga Purbalingga
dengan bekerja di perusahaan-perusahaan
rambut tersebut. Hal ini juga menurunkan
tingkat urbanisasi (ke Jakarta dan kota-
kota besar lainnya) kebanyakan perempuan
Purbalingga yang berpendidikan rendah
(SMP/SMA). Bekerja di sektor ini juga
meningkatkan status sosial mereka
dibandingkan dengan bekerja sebagai
pembantu rumah tangga maupun pekerja di
sektor informal lainnya.
Kedua, cukup banyak instansi yang
memiliki program pemberdayaan. BKBPP
misalnya, memasukkan program ini di
bawah Bidang Keluarga Sejahera/KS.
Kegiatannya antara lain memberikan
bantuan modal melalui program Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga
Akseptor (UPPKA) sebesar Rp5 juta per
kelompok. Namun demikian, sasaran
programnya tidak dikhususnya kepada
keluarga pamong praja, tetapi para istri
yang telah memiliki usaha seperti
membuat rempeyek, membuka warung dan
sebagainya.
Adapun untuk penguatan
ketahanan psikis dan sosial diwadahi
dalam program Bina Keluarga Balita
(BKB) dan Bina Keluarga Remaja (BKR).
Sasarannya adalah keluarga yang memiliki
anak balita dan atau anak remaja.
Materinya adalah adalah tentang tumbuh
kembang anak dan berbagai persoalan
remaja. Materi ini diberikan pada saat
pelaksanaan Posyandu yang dilaksanakan
setiap bulan di tingkat Rukun Warga
(RW). Namun demikian, program-program
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
45
inipun sekarang terkendala oleh
menurunnya jumlah PKB yang tinggal 44
orang untuk mengurus 239 desa.
Sementara itu, dukungan kader KB di
tingkat RT/RW juga tidak dapat
diandalkan disebabkan lemahnya kualitas
kompetensi mereka dan terbatasnya
jumlahnya.
Sementara itu, issue kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) ditangani
oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan
yang dalam pelaksanaannya bekerjasama
dengan instansi-instansi lain yang terkait
dalam sebuah wadah Tim Hapus
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
(Harapan). Instansi-instansi tersebut
antara lain Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, Pengadilan Agama, Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat.
Selama ini tim ini mampu membantu
menangani kasus-kasus KDRT dan kasus
kekerasan terhadap perempuan secara
umum yang masuk/dilaporkan. Namun
demikian, upaya pencegahannya cukup
terkendala antara lain oleh keterbatasan
anggaran dan lemahnya koordinasi antar-
anggota.
Instansi lain yang memiliki
program pemberdayaan keluarga adalah
Kementerian Agama Kabupaten
Purbalingga dengan program Keluarga
Sakinah yang menyeleksi keluarga-
keluarga teladan dari tingkat kecamatan
hingga kabupaten. Program lainnya adalah
mereposisi peran Badan Penasehat
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian
(BP4) tidak lagi berada di bawah
Departemen Agama (kini Kementerian
Agama), tetapi sejak tahun 2009 menjadi
organisasi profesional sosial keagamaan yang
menjadi mitra kerja Kementerian Agama
dalam mewujudkan keluarga sakinah mawadah
warahmah. Jadi peran dan fungsinya tidak
sekedar menjadi lembaga penasihat, tetapi
juga sebagai mediator dan advokasi. Salah
satu kegiatannya adalah dengan
memberikan penasihatan calon pengantin
melalui program terintegrasi dan terukur
yang mengacu kepada kurikulum
sebagaimana Peraturan Direktur Jenderal
Bimas Islam Nomor Dj.II/491 Tahun 2009
tentang Kursus Calon Pengantin.
Badan Pemberdayaan Masyarakat
(Bapermas) dan Tim PKK pun memiliki
banyak program pemberdayaan keluarga.
Di antaranya adalah program-program
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri. Namun
demikian, diakui bahwa sasaran program-
program tersebut tidak secara khusus
diberikan kepada keluarga pamong
praja, tetapi kepada kelompok-kelompok
perempuan/istri maupun kelompok-
kelompok laki-laki/suami yang
mengajukan. Permasalahannya adalah para
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
46
suami pamong praja tersebut belum
terwadahi dalam kelompok, sehingga tidak
terdeteksi dan tidak diprioritaskan untuk
mendapat bantuan keterampilan, modal
kerja dan sebagainya.
Ketiga, sebetulnya selama ini telah
dibentuk Forum Penanggulangan
Kemiskinan yang melibatkan banyak
instansi terkait dan langsung dipimpin
Wakil Bupati. Akan tetapi, forum ini tidak
berjalan karena baru pernah mengadakan
pertemuan sekali. Adapun Forum
Ketahanan Keluarga tidak ada dan
tampaknya tidak mudah untuk
membentuknya.
Dari diskusi tersebut disimpulkan
bahwa evaluasi terhadap suatu kebijakan
Pemkab yang telah dibuat (termasuk
kebijakan pro investasi) perlu dilakukan
agar dapat dianalisis dampak positif dan
negatifnya yang akan menjadi dasar
kebijakan berikutnya. Forum
Penanggulangan Kemiskinan dapat
menjadi wadah untuk mengatasi
permasalahan munculnya pergeseran peran
gender dalam keluarga dan tingginya
perceraian dengan memrioritaskan
pemberian pelatihan/modal kepada suami-
suami yang masih pengangguran/setengah
pengangguran.
4.2 Refreshing Penguatan Kompetensi
PKB dalam Meningkatkan Ketahanan
Keluarga di Purbalingga
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari
Rabu, 17 Juni 2013 jam 09-14.00 di Aula
BKBPP Kabupaten Purbalingga.
Pesertanya adalah 16 orang PKB di empat
kecamatan lokasi penelitian di mana empat
di antaranya adalah laki-laki. Materinya
adalah: (1) Gender dan Permasalahan
Gender, (2) Konsep dan Isu Gender dalam
Kesehatan Reproduksi, (3) Kekerasan
dalam Rumah Tangga dan (4) Kompetensi
kader PKB. Pada topik Gender dan
Permasalahan Gender, dijelaskan
pengertian gender dan bedanya dengan
jenis kelamin serta mengapa gender perlu
dipermasalahkan. Materi Gender dan
kesehatan Reproduksi menjelaskan bahwa
faktor sosial budaya dan hubungan
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan
merupakan faktor penting yang berperan
dalam mendukung atau merugikan
kesehatan seseorang. Materi Kekerasan
dalam Rumah Tangga mengungkapkan
pengertian KDRT, jenis-jenisnya,
kontradiksi dalam fenomena KDRT serta
upaya penanganan dan pencegahannya.
Adapun materi Kompetensi Kader KB
menjelaskan tentang makna kompetensi,
jenis-jenis kompetensi dan kompetensi
yang harus dimiliki oleh kader KB.
Dari diskusi yang muncul dapat
diketahui belum meratanya penguasaan
peserta tentang materi yang diberikan. Hal
ini terutama tampak pada pemahaman
tentang penyuluhan dan konseling
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
47
berperspektif gender. Masih cukup kuat
pemahaman bahwa KB hanyalah urusan
kaum perempuan/istri. Hal ini juga terjadi
di kalangan penyuluh laki-laki. Forum-
forum sosial bagi kaum laki-laki yang
masih berjalan di masyarakat (misalnya
forum RT/RW) nyaris tidak pernah
digunakan untuk menyosialisasikan issue
KB dan kesehatan kepada kaum laki-laki.
Pemahaman dan kurangnya keberanian
untuk berinovasi ini antara lain disebabkan
karena berkurangnya motivasi kerja
mereka mengingat kebanyakan penyuluh
saat ini hampir memasuki usia pensiun (55
tahun).
Sementara itu, proses komunikasi
dan sosialisasi materi-materi tersebut
kepada para Kader KB Desa/kelurahan di
wilayah masing-masing juga belum
optimal disebabkan keterbatasan waktu
pertemuan. Pada umumnya forum
pertemuan dengan para Kader perwakilan
dari masing-masing desa/kelurahan ini
hanya dilakukan sebulan sekali dan
berjalan selama 2-3 jam. Untuk itu, forum
ini lebih banyak digunakan untuk
menyosialisasikan kegiatan-kegiatan KB di
tingkat kabupaten yang akan diadakan
yang membutuhkan partisipasi kader.
Misalnya, mencari akseptor yang akan
diikutkan dalam pelayanan gratis
(misalnya Metode Operasi Wanita/MOW
maupun Metode Operasi Pria/MOP).
Untuk itulah perlu disiasati agar waktu
yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan
juga untuk pendalaman materi-materi
terkait.
Rendahnya kinerja PKB dalam era
otonomi daerah juga ditemukan di
beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat.
Hal ini disebabkan karena rendahnya
motivasi kerja, lingkungan kerja dan
kompetensi mereka. Rendahnya motivasi
ditandai dari rendahnya dorongan
berprestasi dan dorongan untuk memiliki
kompetensi memadai. Faktor lingkungan
kerja ditandai oleh kurangnya dukungan
lingkungan sosial (para tokoh masyarakat
dan tokoh agama) serta dukungan
Pemkab/Pemkot (pemahaman tentang KB
dan kependudukan dari para pejabat di
instansi lain yang tekait, adanya visi dan
misi pembangunan yang berpihak kepada
issu KB dan kependudukan serta adanya
alokasi anggaran yang mendukung)
(Puspita, 2011). Adanya hubungan antara
rendahnya dukungan komitmen
Pemkab/Pemkot terhadap program KB
baik secara politis maupun operasional
juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara
(Rangkuti, 2007).
4.3 Refreshing Penguatan Kompetensi
Kader KB Desa/kelurahan dalam
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
48
Meningkatkan Ketahanan Keluarga di
Purbalingga
Kegiatan ini dilaksanakan tanggal
23 Juli 2013 jam 09.00-14.00 yang diikuti
55 Kader KB Desa/Kelurahan di 4 lokasi
penelitian. Kesemuanya adalah perempuan
yang kebanyakan berusia sekitar 50 tahun
dengan masa kerja lebih dari 10 tahun.
Hal ini memperkuat temuan bahwa kader
KB dan kesehatan memang memiliki
militansi yang tinggi, termasuk dalam
kondisi krisis ekonomi sekalipun (Puspita,
2000). Peran mereka tidak saja terkait
dengan upaya memromosikan program
KB, melainkan juga mengadakan
pertemuan, menyediakan informasi,
mengorganisasi pengumpulan dana,
membantu tabungan dan kredit,
mengumpulkan data serta membantu
aktivitas sosial lainnya (Utomo et al.,
2006). Peran Kader KB semakin penting
dalam era otonomi daerah seiring dengan
berkurangnya jumlah PKB, sebagaimana
juga ditemukan Puspita di Kota Bogor dan
Depok serta kabupaten Cianjur (2011).
Tantangan kerja para PKB dan
kader KB semakin berat seiring dengan
menurunnya dukungan media massa. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2007
menunjukkan menurunnya peranan
berbagai media massa dalam
menginformasikan KB. Tahun 2002/2003,
terdapat 52,0 persen perempuan pernah
kawin yang dalam waktu satu bulan
sebelum wawancara pernah
mendengar/melihat pesan KB dari
radio/TV/koran/majalah/poster/pamphlet.
Adapun pada SDKI 2007, persentasenya
menurun menjadi 33,3 persen (BKKBN
online, 30 Maret 2009). Di samping itu,
juga karena tingkat pengetahuan para
tokoh agama tentang KB masih belum
mendalam (BKKBN online, 17 Februari
2008). Untuk itulah, forum refreshing bagi
kader ini juga mengikutkan 8 orang laki-
laki perwakilan dari kalangan tokoh
masyarakat dan agama di ke-4 lokasi
penelitian.
Mempertajam materi pada
pembekalan bagi PKB, isu gender yang
ditampilkan dalam acara ini lebih
dikhususkan pada masalah gender dalam
perspektif Islam. Hal ini dianggap penting,
karena baik kader dan PUS mayoritas
beragama Islam. Dari hasil diskusi dan
tanya jawab melalui teknik permainan dan
pemberian door price tampak bahwa
tingkat pemahaman peserta tentang gender,
gender dari perspektif Islam serta teknik
konseling berperspektif gender masih
rendah. Untuk itu perlu dilakukan
pemberian materi secara lebih intensif.
5. Kesimpulan dan Saran
Dari proses penelitian tahun kedua
yang merupakan ujicoba model ini
disimpulkan sebagai berikut:
Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
49
(1) Belum semua pejabat terkait telah
memahami permasalahan rendahnya
ketahanan keluarga di Kabupaten
Purbalingga dan belum ada forum
ketahanan keluarga yang
menanganinya. Forum Penanggulangan
Kemiskinan yang beranggotakan lintas
instansi yang dipimpin Wakil Bupati
yang sudah adapun tidak berjalan
efektif. Padahal sebetulnya lembaga ini
cukup strategis sebagai wadah untuk
sekaligus meningkatkan ketahanan
keluarga di Purbalingga.
(2) Tingkat pemahaman PKB tentang
gender dan penyuluhan berperspektif
gender masih perlu ditingkatkan,
terutama yang menyangkut hal-hal
teknis.
(3) Tingkat pemahaman kader KB tentang
gender dan penyuluhan berperspektif
gender juga masih perlu ditingkatkan,
terutama yang menyangkut hal-hal
teknis.
Sehubungan dengan temuan
tersebut, disarankan beberapa hal yakni:
(1) Pemkab Purbalingga perlu
mengefektifkan Forum
Penanggulangan Kemiskinan agar di
samping mempunyai program terpadu
dan berkesinambungan guna
menanggulangi kemiskinan, juga
sekaligus meningkatkan ketahanan
keluarga dengan memrioritaskan
pemberian pelatihan dan modal kepada
para suami dari keluarga-keluarga
pamong praja
(2) Untuk memenuhi kebutuhan
peningkatkan kompetensi PKB dan
Kader KB, BKBPP Kabupaten
Purbalingga perlu secara aktif menjalin
jejaring dengan Perguruan Tinggi (baik
sebagai institusi maupun individu-
individu).
Daftar Pustaka
BKKBN. 2002. Pedoman Kerja PLKB dalam Menghadapi Perubahan. BKKBN. Jakarta.
BKKBN. 2007. Pemantauan Pasangan usia Subur (PUS) Melalui Mini Survei di Indonesia Tahun 2007. BKKBN. Jakarta
BKKBN online. 17 Februari 2008. Tokoh Agama = Champion. http://www.bk kbn.go.id/article_detail.php?aid=910. [19 September 2008].
Fakih, Mansour. 1995. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Imroni M, Fajar N.A., Febry F. 2009.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Implan di Desa Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009. Upm.fkm.unsri.ac/id/uploads/files/u_Absrk3.doc. [3 Oktober 2010].
Moose, Julia Cleves. 1993. Gender dan Pembangunan. Rifka Annisa Womens Crisis Centre dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Myers R. 1992. The Twelve who Survive: Strengthening Programs of Early Childhood Development in the
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50
50
Thrid World. Routledge Publication. London.
Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan
Kualitas Perempuan BKKBN. 2007. Desain Komunikasi Gender dalam Program Keluarga Berencana Nasional. Program Pembinaan Jarak Jauh Pengarusutamaan Gender (PJJ-PUG). BKKBN. Jakarta.
Puspita, Dyah Retna. 2000. Analisis Kehidupan Kader Posyandu dalam Masa Krisis Ekonomi (Studi Kasus di Desa Cipayung, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat). Tesis. Jakarta. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
--------. 2011. Pengaruh Motivasi, Kompetensi dan Lingkungan Kerja pada Kinerja Aparatur Penyuluh Keluarga Berencana. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Vol. 11. Nomor 1, Januari 2011. Hal. 87-96. Riau. Program Magister Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau bekerjasama dengan Perhimpunan Sarjana Ilmu Administrasi Indonesia Pusat (PERSADI) dan dengan Indonesia Association for Public Administration (IAPA).
--------. 2011. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader Keluarga Berencana di Tiga Kabupaen/kota di Provisi Jawa Barat. Jurnal Pembangunan
Pedesaan Vol. 11 No. 2, Desember 2011. hal. 86-94. Purwokerto. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman.
Puspita, Dyah Retna. Rin Rostikawati. Lilis SS. 2012. Revitalisasi Penyuluhan KB (Model Penyuluhan KB Berbasis Gender dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga). LPPM Unsoed. (Tahun ke-1). Purwokerto.
Sunarti, Euis. 2001. Studi Ketahanan keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Umar, Nasaruddin, 1000. Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al_Quran. Paramadina. Jakarta.
Utomo ID, Arsyad SS dan Hasmi EN. 2006. Village Family Planning Volunteers in Indonesia: Their Role in the Family Planning Programme. Reproductive Health Matters. 2006:14(27):73-82. www.rhmjournal.org.uk. [30 Mei 2010].
Wallender JL, Feldman WS dan Varni JW. 1989. Physical Status and Psychosocial Adjustment in Children with Spinn Bufida. Journal of Pediatric Psychology 14, 89-102. [15 Mei 2010].