14
Spirit Publik Volume 9, Nomor 1 Halaman: 37 - 50 ISSN. 1907 - 0489 Oktober 2014 37 IMPLEMENTASI MODEL PENYULUHAN KB BERBASIS GENDER DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN KELUARGA DI KABUPATEN PURBALINGGA (Implementation of Gender-based Family Planning Extension Model to Increase the Family Resilience in Purbalingga District) Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman [email protected] ( Diterima tanggal 15 Nopember 2013 , disetujui 7 Januari 2014) Abstract This second year research was the implementation of the model obtained in the first year wich purpose: (1) to understand the impact of the establishment of many hair factories built in Purbalingga regency which absorb thousands of women labour to the existence of their family And to promote family empowerment programs are integrated and sustainable, (2) to increase the competence of family planning extension agent in family planning conseling with gender-perspective, and (3) to increase the competence of family planning social workers in family planning conseling with gender-perspective. The target of this research were: (1) policy makers related to family empowerment program in the Regency Purbalingga, (2) family planning extension agent and family planning cadres. Strategy for achieving the first goal was sharing and discussion activities, while strategy for the second and third one were presentation and discussion. It was concluded that: (1) not all policy makers understand about the fenomenon of shifting of gender role in family and the increase of divorce and there was not integrated program in family empowerment, (2) the mastery of family planning extension agent and the family planning cadres were needs to be increased, particularly in technical matter Keyword: Gender-based Family Planing Extension, family recilience, shiftting of genderrole in family. 1. Pendahuluan Tantangan penyuluhan KB setelah program ini didesentralisasikan ke tingkat kabupaten/kota semakin berat seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan keluarga. Di samping masih cukup tingginya jumlah kelahiran, juga adanya pergeseran/peralihan peran gender dalam keluarga di mana istri-lah yang menjadi pencari nafkah utama. Hal ini biasanya disebabkan suami bekerja tidak tetap (“serabutan” ) atau bahkan tidak bekerja sama sekali. Salah satu kabupaten yang mempunyai banyak keluarga yang mengalami alih peran gender tersebut adalah Kabupaten Purbalingga. Hal ini diperkirakan muncul sekitar tahun 2005-an semenjak berdirinya puluhan perusahaan rambut (membuat bulu mata dan rambut palsu) yang menyerap ribuan pekerja perempuan. Dari sinilah kemudian muncul istilah lokal “pamong praja” (papa momong mama kerja). Fenomena ini menarik dan

3. Implementasi Model Penyuluhan KB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sumber berasal dari digilib.uns.ac.id

Citation preview

  • Spirit Publik Volume 9, Nomor 1 Halaman: 37 - 50

    ISSN. 1907 - 0489 Oktober 2014

    37

    IMPLEMENTASI MODEL PENYULUHAN KB BERBASIS GENDER DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN KELUARGA

    DI KABUPATEN PURBALINGGA (Implementation of Gender-based Family Planning Extension Model to Increase the Family

    Resilience in Purbalingga District)

    Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Jenderal Soedirman [email protected]

    ( Diterima tanggal 15 Nopember 2013 , disetujui 7 Januari 2014)

    Abstract

    This second year research was the implementation of the model obtained in the first year wich purpose: (1) to understand the impact of the establishment of many hair factories built in Purbalingga regency which absorb thousands of women labour to the existence of their family And to promote family empowerment programs are integrated and sustainable, (2) to increase the competence of family planning extension agent in family planning conseling with gender-perspective, and (3) to increase the competence of family planning social workers in family planning conseling with gender-perspective. The target of this research were: (1) policy makers related to family empowerment program in the Regency Purbalingga, (2) family planning extension agent and family planning cadres. Strategy for achieving the first goal was sharing and discussion activities, while strategy for the second and third one were presentation and discussion. It was concluded that: (1) not all policy makers understand about the fenomenon of shifting of gender role in family and the increase of divorce and there was not integrated program in family empowerment, (2) the mastery of family planning extension agent and the family planning cadres were needs to be increased, particularly in technical matter Keyword: Gender-based Family Planing Extension, family recilience, shiftting of genderrole in family.

    1. Pendahuluan

    Tantangan penyuluhan KB setelah

    program ini didesentralisasikan ke tingkat

    kabupaten/kota semakin berat seiring dengan

    semakin kompleksnya permasalahan keluarga.

    Di samping masih cukup tingginya jumlah

    kelahiran, juga adanya pergeseran/peralihan

    peran gender dalam keluarga di mana istri-lah

    yang menjadi pencari nafkah utama. Hal ini

    biasanya disebabkan suami bekerja tidak tetap

    (serabutan ) atau bahkan tidak bekerja sama

    sekali.

    Salah satu kabupaten yang mempunyai

    banyak keluarga yang mengalami alih peran

    gender tersebut adalah Kabupaten Purbalingga.

    Hal ini diperkirakan muncul sekitar tahun

    2005-an semenjak berdirinya puluhan

    perusahaan rambut (membuat bulu mata dan

    rambut palsu) yang menyerap ribuan pekerja

    perempuan. Dari sinilah kemudian muncul

    istilah lokal pamong praja (papa momong

    mama kerja). Fenomena ini menarik dan

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    38

    penting untuk dikaji agar diketahui dampaknya

    terhadap relasi suami-istri, orangtua-anak serta

    dengan lingkungan di sektiar mereka. Di

    samping itu juga agar diketahui sejauhmana

    kebijakan Pemerintah kabupaten (Pemkab)

    setempat telah berorientasi pada fenomena

    tersebut. Kajian terhadap fenomena ini juga

    perlu dilakukan mengingat belum adanya

    kajian tentang hal ini. Untuk itu, kajian awal

    tahun pertama (Puspita, dkk., 2012) telah

    dilakukan untuk menggali informasi tentang:

    (1) fenomena keluarga pamong praja

    tersebut, (2) pandangan pejabat-pejabat terkait

    tentang masalah ini, (3) pelaksanaan

    penyuluhan KB, dan (4) model penyuluhan KB

    berbasis gender dalam upaya meningkatkan

    ketahanan keluarga.

    Penelitian tersebut dilaksanakan di

    empat kecamatan (Kecamatan Purbalingga,

    Kalimanah, Padamara dan Bojongsari) yang

    warga perempuannya banyak bekerja di

    perusahaan-perusahaan rambut yang banyak

    berdiri di lokasi tersebut. Mengingat

    terbatasnya data dan hasil penelitian

    sebelumnya, maka sasaran penelitian yang

    dipilih adalah para Kader KB Desa/Kelurahan

    yang pada umumnya telah sangat mengenal

    kondisi dan permasalahan PUS di sekitar

    mereka disebabkan masa kerja mereka yang

    lama dalam membantu program KB. Di

    samping itu, pada umumnya mereka juga

    menjadi kader untuk bidang-bidang lain seperti

    kesehatan dan PKK. Dengan demikian, mereka

    merupakan salah satu tokoh informal di

    lingkungan mereka. Untuk itulah mereka

    kemudian menjadi mendapat tugas untuk

    menjadi kader kesehatan dan KB yang dikenal

    dengan Sub Klinik Desa (SKD).

    Data dikumpulkan melalui wawancara

    individual yang didukung dengan diskusi

    terarah (Focus Group Discussion/FGD) yang

    kemudian dianalisis menggunakan pendekatan

    kualitatif berperspektif gender. Dari proses ini

    diperoleh empat temuan penting.

    Pertama, fenomena keluarga

    pamong praja memang ada di sekitar

    lingkungan informan, meskipun belum

    diketahui pasti jumlahnya. Paling tidak di

    wilayah terdekat mereka (Rukun Tetangga/RT)

    terdapat sekitar 10-20 keluarga yang

    mengalami alih peran gender tersebut. Istrinya

    bekerja di PT, sedangkan suaminya biasanya

    adalah buruh bangunan, buruh tani, tukang

    becak atau menganggur (tidak jelas

    pekerjaannya). Di satu sisi, bekerja di PT

    telah meningkatkan ekonomi keluarga mereka.

    Akan tetapi, dengan adanya kesenjangan

    penghasilan, menyebabkan mereka rentan

    mengalami disharmoni keluarga, terutama

    yang terkait dengan relasi suami-istri. Hal ini

    tampak dari beberapa kasus perceraian yang

    terjadi di beberapa wilayah di sekitar informan.

    Hal ini mendukung data dari Pengadilan

    Agama setempat yang menunjukkan tingginya

    tingkat perceraian di kabupaten ini.

    Kedua, meskipun fenomena tersebut

    telah berjalan lebih dari lima tahunan, akan

    tetapi keberadaan keluarga pamong praja ini

    belum banyak mendapat perhatian dari

    Pemkab Purbalingga. Hal ini tampak dari hasil

    wawancara dengan para pejabat di beberapa

    instansi yang terkait dengan program

  • Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

    39

    pemberdayaan keluarga seperti BKBPP,

    Bappeda, Kementerian Agama dan Dinas

    Ketenagakerjaan. Bahkan pejabat di

    lingkungan BKBPP yang sasaran utama

    instansinya adalah keluarga juga belum terlalu

    paham dan menyadari munculnya persoalan

    pergeseran peran gender dan tingginya angka

    perceraian. Rendahnya pemahaman tentang

    permasalahan tersebut juga ditemui di

    lingkungan Tim Penggerak PKK Kabupaten

    yang programnya sangat jelas ditujukan bagi

    keluarga. Hal inilah yang menyebabkan tidak

    adanya grand design kebijakan Pemkab dalam

    upaya penanganannya.

    Ketiga, penyuluhan KB oleh para

    kader KB Desa/Kelurahan di keempat

    kecamatan yang menjadi lokasi penelitian

    masih diskriminatif gender, disebabkan pada

    umumnya hanya diberikan kepada para

    perempuan/istri. Alasannya adalah karena

    mereka menganggap bahwa urusan KB lebih

    merupakan urusan kaum perempuan/isri. Di

    samping itu juga karena pendekatan terhadap

    istri dianggap lebih mudah baik dilihat dari

    waktu maupun cara penyampaiannya.

    Penyampaian dapat dilakukan kepada

    kelompok (pada saat pertemuan rutin bulanan

    di tingkat RtT dan RW) maupun pendekatan

    personal/konseling.

    Di samping masih diskriminatif

    gender, materi penyuluhannya pun masih

    terbatas tentang KB dalam arti sempit yakni

    berupa pemotivasian untuk menggunakan

    metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP).

    Sangat jarang dilakukan penyuluhan tentang

    issue-issue yang terkait dengan keluarga

    seperti kesetaraan dan keadilan gender, KDRT

    dan permasalahan remaja. Hal ini disebabkan

    terbatasnya kemampuan mereka tentang

    materi-materi tersebut. Forum bulanan yang

    diadakan oleh BKBPP Unit Kecamatan

    setempat pada umumnya hanya berupa

    pemberian informasi dan tugas yang terkait

    dengan pemotivasian untuk menggunakan alat

    kontrasepsi jangka panjang, pencarian akseptor

    untuk jenis tersebut serta pendataan keluarga.

    Materi gender dan KDRT pernah diberikan,

    akan tetapi sangat singkat dan hanya diberikan

    materinya untuk dipelajari sendiri. Dengan

    jenis arahan dan keterbatasan informasi ini,

    mereka hampir tidak pernah memberikan

    materi yang menyangkut permasalahan

    keluarga di sekitar mereka, termasuk

    banyaknya keluarga pamong praja.

    Keempat, kondisi keterbatasan para

    kader tersebut juga disebabkan kurangnya

    penguasaan PKB (sebagai tenaga formal

    penyuluh dan atasan para kader) disebabkan

    sangat jarangnya pelatihan/refreshing bagi

    mereka karena keterbatasan anggaran.

    Semenjak desentralisasi program ini,

    kesempatan PKB mendapatkan pelatihan

    tersebut menjadi sangat terbatas. Beberapa

    pelatihan yang diadakan oleh Balai Diklat KB

    di wilayah Banyumas biasanya hanya diikuti

    oleh beberapa PKB yang ditunjuk secara

    bergiliran. Adapun forum pertemuan rutin

    bulanan di tingkat BKBPP lebih sering diisi

    dengan pemberian informasi kegiatan-kegiatan

    pelayanan KB yang akan diikutkan disertai

    pemberian tugas untuk menginformasikannya

    kepada para SKD di wilayah mereka.

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    40

    Berdasarkan hasil kajian pada tahun

    pertama tersebut, perlu dilakukan revitalisasi

    model penyuluhan KB yang berbasis gender

    agar pendekatan dan materi yang diberikan

    sesuai dengan kondisi, permasalahan dan

    kebutuhan PUS setempat. Revitalisasi ini

    melibatkan keseluruhan proses penyuluhan KB

    sejak tahap awal pembuatan kebijakan

    program KB hingga teknis penyuluhannya.

    Dari hasil kajian tersebut, diperoleh model

    revitalisasinya yang dapat disederhanakan

    sebagai berikut:

    Gambar 1. Model Penyuluhan Berperspektif Gender dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga di

    Kabupaten Purbalingga

    Pada tahun kedua, model tersebut

    diujicoba di lokasi penelitian. Dengan

    demikian, tujuan penelitian tahun kedua ini

    adalah: (1) menumbuhkankan sensitivitas

    gender di kalangan para pembuat kebijakan

    yang terkait dengan program KB dan

    pemberdayaan keluarga, (2) meningkatkan

    penguasaan dan keterampilan para PKB

    tentang penyuluhan KB berbasis gender dan

    ((3) meningkatkan penguasaan dan

    keterampilan para Kader KB Desa tentang

    penyuluhan KB berbasis gender. Manfaat yang

    dihasilkan adalah: (1) meningkatnya

    sensitivitas gender dalam program KB dan

    pemberdayaan keluarga di kalangan para

    pejabat dari berbagai instansi yang terkait, (2)

    meningkatnya pemahaman dan penguasaan

    PKB tentang penyuluhan berbasis gender, dan

    (3) meningkatnya pemahaman dan penguasaan

    para Kader KB Desa tentang penyuluhan

    berbasis gender.

    2. Kajian Literatur

    Penyuluhan KB adalah kegiatan

    penyampaian informasi untuk meningkatkan

    pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan

    masyarakat guna mewujudkan keluarga

    berkualitas (BKKBN, 2004). Adapun gender

    adalah interpretasi mental dan kultural

    Komitmen Pembuat Kebijakan dlm program

    KB & pemberdayaan

    Kompetensi PKB ttg Penyuluhan Berperspektif

    gender

    Ketahanan Keluarga Pamong

    Praja

    Kompetensi Kader KB ttg Penyuluhan Berperspektif

    gender

    Ketahanan Keluarga

    Purbalingga

  • Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

    41

    terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki

    dan perempuan. Gender biasanya digunakan

    untuk menunjukkan pembagian kerja yang

    dianggap hhtepat bagi laki-laki dan

    perempuan (Umar, 1999). Dapat dikatakan

    bahwa gender adalah jenis kelamin (yang

    ditentukan secara ) sosial (Fakih, 1995;

    Mosse, 1996).

    Jadi, penyuluhan yang berbasis gender

    adalah proses pendidikan nonformal yang

    bertujuan di samping memenuhi kebutuhan

    praktis gender dari kelompok sasarannya, juga

    memenuhi kebutuhan strategis gender mereka.

    Kebutuhan praktis gender adalah pemenuhan

    kebutuhan individu jangka pendek yang

    bertujuan mengubah kehidupan melalui

    kebutuhan pasar, akan tetapi tidak mengubah

    posisi perempuan yang subordinat. Adapun

    kebutuhan strategis gender adalah pemenuhan

    kebutuhan gender agar perempuan dan laki-

    laki dapat berbagi adil dalam pembangunan.

    Contoh kegiatannya adalah perubahan dalam

    pembagian kerja gender, perbaikan

    kesempatan untuk memperoleh pekerjaan,

    perlindungan hukum dan jaminan

    kesejahteraan tenaga kerja wanita (Astuti,

    2002).

    Sebetulnya, BKKBN juga telah

    memiliki konsep penyuluhan berperspektif

    gender melalui konsep Komunikasi, Informasi

    dan Edukasi (KIE) responsive gender. KIE

    adalah proses penyampaian dan penerimaan

    pesan dalam rangka meningkatkan dan

    memanfaatkan pengetahuan, sikap dan

    perilaku masyarakat, dan mendorongnya agar

    secara sadar menerima program KB (Pusat

    Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas

    Perempuan - BKKBN, 2007:39).

    KIE yang responsif gender adalah

    salah satu pendekatan dalam komunikasi yang

    bertujuan mempercepat perubahan

    pengetahuan, sikap dan perilaku. Ini diukur

    dari berbagai saluran komunikasi, di mana

    penyampaian dan penerimaan pesannya

    memperhatikan kepentingan laki-laki dan

    perempuan. Tujuannya adalah: (1) mengubah

    pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang,

    keluarga dan masyarakat agar mempunyai

    pemahaman tentang adanya kepentingan antara

    laki-laki dan perempuan; (2) mendorong

    terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,

    (3) mengurangi atau menghilangkan segala

    bentuk diskriminasi gender yang berkembang

    di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya

    kebijakan/program/peraturan yang responsif

    gender. Caranya adalah dengan melalui lima

    tahap yakni: (1) analisis situasi, (2) desain

    strategi, (3) pengembangan rencana, ujicoba

    bahan dan produksi, (4) pelatihan dan

    monitoring, dan (5) kegiatan evaluasi

    (BKKBN, 2007).

    Dari uraian di atas tampak bahwa

    komitmen untuk menerapkan penyuluhan KB

    berbasis gender sebetulnya sudah ada sejak

    lama, akan tetapi seringkali tidak diterapkan.

    Untuk itulah perlu dilakukan banyak kajian

    tentang hal ini agar dapat diketahui

    kendalanya, sehingga dapat diupayakan

    solusinya. Salah satu syarat menerapkan

    pendekatan ini adalah dengan melibatkan

    kaum laki-laki/suami. Rendahnya partisipasi

    laki-laki dalam program KB dimungkinkan

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    42

    disebabkan karena terdiskriminasikannya

    mereka dalam proses penyuluhan KB.

    Sebagaimana ditemukan Imroni et al. (2009),

    dukungan suami ikut andil dalam

    meningkatkan penggunaan implant ibu-ibu di

    Indramayu.

    Penyuluhan KB tidak berhenti pada

    tujuan untuk perencanaan jumlah dan jarak

    kelahiran anak saja, melainkan harus terus

    berlanjut pada tahap berikutnya yang

    tantangannya justru semakin berat. Setelah

    melahirkan, orangtua masih memiliki

    serangkaian tugas dan kewajiban yakni

    mendidik dan mengasuh anak dengan penuh

    kasih sayang serta menerapkan hak-hak anak

    lainnya (pendidikan, kesehatan, pengembangan

    potensi dan lainnya). Banyak bukti

    menunjukkan adanya hubungan positif antara

    pengasuhan dengan tumbuhkembang anak

    pada tahap-tahap berikutnya, terutama remaja

    dan dewasa. Dalam proses tumbuhkembang

    anak, Myers (1992) mengukuhkan peran

    sinergis antara aspek psikososial, gizi dan

    kesehatan yang merupakan satu kesatuan

    tumbuhkembang anak. Wallender (1989)

    menambahkan bahwa kompetensi sosial dan

    emosional pada anak-anak akan mengurangi

    resiko perilaku negatif seperti mengunsumsi

    alkohol dan penggunaan narkoba. Kompetensi

    sosial dan emosional yang baik dalam masa

    anak-anak akan meningkatkan kesehatan

    sepanjang siklus hidupnya.

    Penyuluhan KB berbasis gender juga

    bertujuan untuk meningkatkan ketahanan

    keluarga. Sunarti (2001) menyebutkan bahwa

    ketahanan keluarga adalah suatu kondisi

    keluarga yang memiliki keuletan dan

    ketangguhan, baik secara fisik maupun psikis

    mental spiritual, guna hidup mandiri serta

    mampu mengembangkan diri dan anggota

    keluarganya untuk hidup harmoni, sejahtera

    lahir dan batin. Ukuran ketahanan keluarga

    yang sahih adalah yang menunjukkan kapasitas

    keluarga dalam memenuhi ketahanan fisik,

    ketahanan psikologis dan ketahanan sosial.

    Penyuluhan KB dilaksanakan oleh

    para petugas yang secara resmi diberi mandat

    untuk itu. Penyuluh KB (PKB) adalah Pegawai

    Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung

    jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh

    pejabat yang berwenang untuk melaksanakan

    kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan

    pengembangan Keluarga Berencana Nasional.

    Dengan kata lain, PKB adalah PLKB yang

    berstatus sebagai pejabat fungsional (BKKBN,

    2002).

    Mengingat keterbatasan jumlah

    PKB/PLKB yang tidak seimbang dengan luas

    wilayah dan jumlah kelompok sasaran, maka

    dalam program KB, dikembangkan konsep

    Kader KB. Kader KB dikenal juga dengan

    nama kelompok Institusi Masyarakat Pedesaan

    (IMP). Mereka adalah anggota masyarakat

    yang secara sukarela membantu pelaksanaan

    program KB. Mereka yang menjalankan tugas

    di tingkat desa tergabung dalam Pembantu

    Pembina KB Desa (PPKBD), di tingkat RW

    dikenal dengan Sub PPKBD dan di tingkat RT

    dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.

    Peran mereka sangat besar, yakni

    mempromosikan KB, mengadakan pertemuan,

    menyediakan informasi, mengorganisasi

    pengumpulan dana, membantu tabungan dan

    kredit, mengumpulkan data serta membantu

  • Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

    43

    aktivitas sosial lainnya (Utomo et al., (2006).

    Di sisi lain, tantangan kerja mereka semakin

    berat seiring berkurangnya dukungan media

    massa sebagaimana tampak dari hasil Survei

    Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

    tahun 2007 (BKKBN online, 30 Maret 2009).

    Di samping itu, juga karena tingkat

    pengetahuan para tokoh agama tentang KB

    masih belum mendalam (BKKBN online, 17

    Februari 2008).

    Meski tidak digaji, militansi mereka

    cukup tinggi. Bahkan, dalam kondisi krisis

    ekonomi tahun 1998 di mana mereka sendiri

    sebenarnya ikut terkena imbas krisis, sebagian

    besar kader KB dan kesehatan di wilayah

    Ciputat masih bertahan. Mereka membantu

    PKB dan petugas Puskesmas menjalankan

    program penanggulangan krisis, yang berarti

    menambah beban kerja mereka (Puspita,

    2000). Hasil kajian Revitalisasi Penyuluhan

    KB pada tahun pertama (Puspita, dkk., 2012)

    memperkuat kesimpulan tingginya militansi

    kader. Kader-kader KB Desa di empat

    kecamatan (Purbalingga, Kalimanah,

    Bojongsari dan padamara) adalah kader-kader

    senior, baik dari segi umur maupun masa

    kerja. Pada umumnya mereka berusia 50

    tahun dengan masa kerja 15 tahun yang nyaris

    tanpa pernah berhenti/DO.

    Untuk itulah, seiring dengan

    menurunnya jumlah PKB dan anggaran

    penyuluhan KB semenjak

    didesentralisasikannya program KB dan

    semakin kompleksnya permasalahan keluarga

    di masyarakat, maka mereka dapat diberikan

    peranan yang lebih strategis sebagai agen

    perubahan dalam menjaga ketahanan keluarga

    di masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan,

    karena mereka adalah penduduk setempat,

    sehingga mengetahui dan memahami dinamika

    kebutuhan dan permasalahan yang terjadi pada

    keluarga-keluarga di lingkungan tempat

    tinggalnya.

    3. Metode Penelitian

    Penelitian tahun ke-2 ini menggunakan

    pendekatan kualitatif karena lebih mampu

    menjelaskan, memberikan pengertian serta

    menggali penyebab, alasan-alasan hingga ke

    akar-akarnya (Sriyuningsih, 2003). Fokus

    penelitian pada tahun kedua ini adalah pada

    kegiatan: (1) meningkatkan pemahaman

    tentang permasalahan keluarga bagi para

    pembuat kebijakan dan organisasi-organisasi

    kemasyarakatan yang terkait dengan program

    pemberdayaan keluarga, (2) refreshing

    pelatihan penyuluhan KB berperspektif gender

    di kalangan para PKB, dan (3) refreshing

    pelatihan penyuluhan KB berperspektif gender

    di kalangan para Kader KB Desa/kelurahan.

    Untuk itulah, sasaran penelitiannya adalah: (1)

    para pembuat kebijakan yang terkait dengan

    program pemberdayaan keluarga di lingkungan

    Pemkab Purbalingga, (2) para Penyuluh KB

    (PKB) di 4 kecamatan lokasi penelitian dan (3)

    Kader KB Desa/Kelurahan (yang disebut

    dengan SKD) di keempat kecamatan tersebut.

    Strategi pencapaian tujuan pertama adalah

    melalui sharing kegiatan dan diskusi. Adapun

    strategi pencapain tujuan kedua dan ketiga

    adalah pemaparan materi dan tanya jawab.

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    44

    4. Hasil dan Pembahasan

    4.1 Diskusi dengan Para Pejabat dari

    Instansi Pemberdayaan KB&

    Keluarga

    Fenomena Pamong praja yang

    mulai menggejala di Kabupaten

    Purbalingga, khususnya kecamatan-

    kecamatan yang di wilayahnya banyak

    berdiri perusahaan rambut tidak terlepas

    dari kebijakan pro investasi Pemkab

    Purbalingga. Untuk itulah, tanggal 25 Juni

    2013 telah dilakukan diskusi dengan 20

    perwakilan dari berbagai instansi yang

    terkait dengan program KB dan

    pemberdayaan keluarga serta dari

    perwakilan organisasi kemasyarakatan dan

    media. Tujuannya adalah: (i)

    mendiseminasikan hasil penelitian yang

    telah dilakukan, (ii) menggali kebijakan

    yang telah dilakukan dan (iii) menggagas

    terbentuknya forum Ketahanan Keluarga.

    Hasil diskusi tersebut adalah:

    pertama, sebagian besar peserta belum

    mengetahui issue pamong praja dan

    tingginya angka perceraian di Purbalingga

    ini. Kebanyakan mereka tidak menduga

    bahwa kebijakan pro investasi yang telah

    berhasil mendorong masuknya investor

    luar negeri ternyata memiliki dampak

    negatif. Yang kebanyakan dipahami adalah

    bahwa kebijakan ini telah menignkatkan

    kondisi perekonomian warga Purbalingga

    dengan bekerja di perusahaan-perusahaan

    rambut tersebut. Hal ini juga menurunkan

    tingkat urbanisasi (ke Jakarta dan kota-

    kota besar lainnya) kebanyakan perempuan

    Purbalingga yang berpendidikan rendah

    (SMP/SMA). Bekerja di sektor ini juga

    meningkatkan status sosial mereka

    dibandingkan dengan bekerja sebagai

    pembantu rumah tangga maupun pekerja di

    sektor informal lainnya.

    Kedua, cukup banyak instansi yang

    memiliki program pemberdayaan. BKBPP

    misalnya, memasukkan program ini di

    bawah Bidang Keluarga Sejahera/KS.

    Kegiatannya antara lain memberikan

    bantuan modal melalui program Usaha

    Peningkatan Pendapatan Keluarga

    Akseptor (UPPKA) sebesar Rp5 juta per

    kelompok. Namun demikian, sasaran

    programnya tidak dikhususnya kepada

    keluarga pamong praja, tetapi para istri

    yang telah memiliki usaha seperti

    membuat rempeyek, membuka warung dan

    sebagainya.

    Adapun untuk penguatan

    ketahanan psikis dan sosial diwadahi

    dalam program Bina Keluarga Balita

    (BKB) dan Bina Keluarga Remaja (BKR).

    Sasarannya adalah keluarga yang memiliki

    anak balita dan atau anak remaja.

    Materinya adalah adalah tentang tumbuh

    kembang anak dan berbagai persoalan

    remaja. Materi ini diberikan pada saat

    pelaksanaan Posyandu yang dilaksanakan

    setiap bulan di tingkat Rukun Warga

    (RW). Namun demikian, program-program

  • Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

    45

    inipun sekarang terkendala oleh

    menurunnya jumlah PKB yang tinggal 44

    orang untuk mengurus 239 desa.

    Sementara itu, dukungan kader KB di

    tingkat RT/RW juga tidak dapat

    diandalkan disebabkan lemahnya kualitas

    kompetensi mereka dan terbatasnya

    jumlahnya.

    Sementara itu, issue kekerasan

    dalam rumah tangga (KDRT) ditangani

    oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan

    yang dalam pelaksanaannya bekerjasama

    dengan instansi-instansi lain yang terkait

    dalam sebuah wadah Tim Hapus

    Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

    (Harapan). Instansi-instansi tersebut

    antara lain Kepolisian, Kejaksaan,

    Pengadilan, Pengadilan Agama, Rumah

    Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat.

    Selama ini tim ini mampu membantu

    menangani kasus-kasus KDRT dan kasus

    kekerasan terhadap perempuan secara

    umum yang masuk/dilaporkan. Namun

    demikian, upaya pencegahannya cukup

    terkendala antara lain oleh keterbatasan

    anggaran dan lemahnya koordinasi antar-

    anggota.

    Instansi lain yang memiliki

    program pemberdayaan keluarga adalah

    Kementerian Agama Kabupaten

    Purbalingga dengan program Keluarga

    Sakinah yang menyeleksi keluarga-

    keluarga teladan dari tingkat kecamatan

    hingga kabupaten. Program lainnya adalah

    mereposisi peran Badan Penasehat

    Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian

    (BP4) tidak lagi berada di bawah

    Departemen Agama (kini Kementerian

    Agama), tetapi sejak tahun 2009 menjadi

    organisasi profesional sosial keagamaan yang

    menjadi mitra kerja Kementerian Agama

    dalam mewujudkan keluarga sakinah mawadah

    warahmah. Jadi peran dan fungsinya tidak

    sekedar menjadi lembaga penasihat, tetapi

    juga sebagai mediator dan advokasi. Salah

    satu kegiatannya adalah dengan

    memberikan penasihatan calon pengantin

    melalui program terintegrasi dan terukur

    yang mengacu kepada kurikulum

    sebagaimana Peraturan Direktur Jenderal

    Bimas Islam Nomor Dj.II/491 Tahun 2009

    tentang Kursus Calon Pengantin.

    Badan Pemberdayaan Masyarakat

    (Bapermas) dan Tim PKK pun memiliki

    banyak program pemberdayaan keluarga.

    Di antaranya adalah program-program

    Program Nasional Pemberdayaan

    Masyarakat (PNPM) Mandiri. Namun

    demikian, diakui bahwa sasaran program-

    program tersebut tidak secara khusus

    diberikan kepada keluarga pamong

    praja, tetapi kepada kelompok-kelompok

    perempuan/istri maupun kelompok-

    kelompok laki-laki/suami yang

    mengajukan. Permasalahannya adalah para

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    46

    suami pamong praja tersebut belum

    terwadahi dalam kelompok, sehingga tidak

    terdeteksi dan tidak diprioritaskan untuk

    mendapat bantuan keterampilan, modal

    kerja dan sebagainya.

    Ketiga, sebetulnya selama ini telah

    dibentuk Forum Penanggulangan

    Kemiskinan yang melibatkan banyak

    instansi terkait dan langsung dipimpin

    Wakil Bupati. Akan tetapi, forum ini tidak

    berjalan karena baru pernah mengadakan

    pertemuan sekali. Adapun Forum

    Ketahanan Keluarga tidak ada dan

    tampaknya tidak mudah untuk

    membentuknya.

    Dari diskusi tersebut disimpulkan

    bahwa evaluasi terhadap suatu kebijakan

    Pemkab yang telah dibuat (termasuk

    kebijakan pro investasi) perlu dilakukan

    agar dapat dianalisis dampak positif dan

    negatifnya yang akan menjadi dasar

    kebijakan berikutnya. Forum

    Penanggulangan Kemiskinan dapat

    menjadi wadah untuk mengatasi

    permasalahan munculnya pergeseran peran

    gender dalam keluarga dan tingginya

    perceraian dengan memrioritaskan

    pemberian pelatihan/modal kepada suami-

    suami yang masih pengangguran/setengah

    pengangguran.

    4.2 Refreshing Penguatan Kompetensi

    PKB dalam Meningkatkan Ketahanan

    Keluarga di Purbalingga

    Kegiatan ini dilaksanakan pada hari

    Rabu, 17 Juni 2013 jam 09-14.00 di Aula

    BKBPP Kabupaten Purbalingga.

    Pesertanya adalah 16 orang PKB di empat

    kecamatan lokasi penelitian di mana empat

    di antaranya adalah laki-laki. Materinya

    adalah: (1) Gender dan Permasalahan

    Gender, (2) Konsep dan Isu Gender dalam

    Kesehatan Reproduksi, (3) Kekerasan

    dalam Rumah Tangga dan (4) Kompetensi

    kader PKB. Pada topik Gender dan

    Permasalahan Gender, dijelaskan

    pengertian gender dan bedanya dengan

    jenis kelamin serta mengapa gender perlu

    dipermasalahkan. Materi Gender dan

    kesehatan Reproduksi menjelaskan bahwa

    faktor sosial budaya dan hubungan

    kekuasaan antara laki-laki dan perempuan

    merupakan faktor penting yang berperan

    dalam mendukung atau merugikan

    kesehatan seseorang. Materi Kekerasan

    dalam Rumah Tangga mengungkapkan

    pengertian KDRT, jenis-jenisnya,

    kontradiksi dalam fenomena KDRT serta

    upaya penanganan dan pencegahannya.

    Adapun materi Kompetensi Kader KB

    menjelaskan tentang makna kompetensi,

    jenis-jenis kompetensi dan kompetensi

    yang harus dimiliki oleh kader KB.

    Dari diskusi yang muncul dapat

    diketahui belum meratanya penguasaan

    peserta tentang materi yang diberikan. Hal

    ini terutama tampak pada pemahaman

    tentang penyuluhan dan konseling

  • Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

    47

    berperspektif gender. Masih cukup kuat

    pemahaman bahwa KB hanyalah urusan

    kaum perempuan/istri. Hal ini juga terjadi

    di kalangan penyuluh laki-laki. Forum-

    forum sosial bagi kaum laki-laki yang

    masih berjalan di masyarakat (misalnya

    forum RT/RW) nyaris tidak pernah

    digunakan untuk menyosialisasikan issue

    KB dan kesehatan kepada kaum laki-laki.

    Pemahaman dan kurangnya keberanian

    untuk berinovasi ini antara lain disebabkan

    karena berkurangnya motivasi kerja

    mereka mengingat kebanyakan penyuluh

    saat ini hampir memasuki usia pensiun (55

    tahun).

    Sementara itu, proses komunikasi

    dan sosialisasi materi-materi tersebut

    kepada para Kader KB Desa/kelurahan di

    wilayah masing-masing juga belum

    optimal disebabkan keterbatasan waktu

    pertemuan. Pada umumnya forum

    pertemuan dengan para Kader perwakilan

    dari masing-masing desa/kelurahan ini

    hanya dilakukan sebulan sekali dan

    berjalan selama 2-3 jam. Untuk itu, forum

    ini lebih banyak digunakan untuk

    menyosialisasikan kegiatan-kegiatan KB di

    tingkat kabupaten yang akan diadakan

    yang membutuhkan partisipasi kader.

    Misalnya, mencari akseptor yang akan

    diikutkan dalam pelayanan gratis

    (misalnya Metode Operasi Wanita/MOW

    maupun Metode Operasi Pria/MOP).

    Untuk itulah perlu disiasati agar waktu

    yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan

    juga untuk pendalaman materi-materi

    terkait.

    Rendahnya kinerja PKB dalam era

    otonomi daerah juga ditemukan di

    beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat.

    Hal ini disebabkan karena rendahnya

    motivasi kerja, lingkungan kerja dan

    kompetensi mereka. Rendahnya motivasi

    ditandai dari rendahnya dorongan

    berprestasi dan dorongan untuk memiliki

    kompetensi memadai. Faktor lingkungan

    kerja ditandai oleh kurangnya dukungan

    lingkungan sosial (para tokoh masyarakat

    dan tokoh agama) serta dukungan

    Pemkab/Pemkot (pemahaman tentang KB

    dan kependudukan dari para pejabat di

    instansi lain yang tekait, adanya visi dan

    misi pembangunan yang berpihak kepada

    issu KB dan kependudukan serta adanya

    alokasi anggaran yang mendukung)

    (Puspita, 2011). Adanya hubungan antara

    rendahnya dukungan komitmen

    Pemkab/Pemkot terhadap program KB

    baik secara politis maupun operasional

    juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara

    (Rangkuti, 2007).

    4.3 Refreshing Penguatan Kompetensi

    Kader KB Desa/kelurahan dalam

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    48

    Meningkatkan Ketahanan Keluarga di

    Purbalingga

    Kegiatan ini dilaksanakan tanggal

    23 Juli 2013 jam 09.00-14.00 yang diikuti

    55 Kader KB Desa/Kelurahan di 4 lokasi

    penelitian. Kesemuanya adalah perempuan

    yang kebanyakan berusia sekitar 50 tahun

    dengan masa kerja lebih dari 10 tahun.

    Hal ini memperkuat temuan bahwa kader

    KB dan kesehatan memang memiliki

    militansi yang tinggi, termasuk dalam

    kondisi krisis ekonomi sekalipun (Puspita,

    2000). Peran mereka tidak saja terkait

    dengan upaya memromosikan program

    KB, melainkan juga mengadakan

    pertemuan, menyediakan informasi,

    mengorganisasi pengumpulan dana,

    membantu tabungan dan kredit,

    mengumpulkan data serta membantu

    aktivitas sosial lainnya (Utomo et al.,

    2006). Peran Kader KB semakin penting

    dalam era otonomi daerah seiring dengan

    berkurangnya jumlah PKB, sebagaimana

    juga ditemukan Puspita di Kota Bogor dan

    Depok serta kabupaten Cianjur (2011).

    Tantangan kerja para PKB dan

    kader KB semakin berat seiring dengan

    menurunnya dukungan media massa. Hasil

    Survei Demografi dan Kesehatan

    Indonesia (SDKI) tahun 2007

    menunjukkan menurunnya peranan

    berbagai media massa dalam

    menginformasikan KB. Tahun 2002/2003,

    terdapat 52,0 persen perempuan pernah

    kawin yang dalam waktu satu bulan

    sebelum wawancara pernah

    mendengar/melihat pesan KB dari

    radio/TV/koran/majalah/poster/pamphlet.

    Adapun pada SDKI 2007, persentasenya

    menurun menjadi 33,3 persen (BKKBN

    online, 30 Maret 2009). Di samping itu,

    juga karena tingkat pengetahuan para

    tokoh agama tentang KB masih belum

    mendalam (BKKBN online, 17 Februari

    2008). Untuk itulah, forum refreshing bagi

    kader ini juga mengikutkan 8 orang laki-

    laki perwakilan dari kalangan tokoh

    masyarakat dan agama di ke-4 lokasi

    penelitian.

    Mempertajam materi pada

    pembekalan bagi PKB, isu gender yang

    ditampilkan dalam acara ini lebih

    dikhususkan pada masalah gender dalam

    perspektif Islam. Hal ini dianggap penting,

    karena baik kader dan PUS mayoritas

    beragama Islam. Dari hasil diskusi dan

    tanya jawab melalui teknik permainan dan

    pemberian door price tampak bahwa

    tingkat pemahaman peserta tentang gender,

    gender dari perspektif Islam serta teknik

    konseling berperspektif gender masih

    rendah. Untuk itu perlu dilakukan

    pemberian materi secara lebih intensif.

    5. Kesimpulan dan Saran

    Dari proses penelitian tahun kedua

    yang merupakan ujicoba model ini

    disimpulkan sebagai berikut:

  • Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

    49

    (1) Belum semua pejabat terkait telah

    memahami permasalahan rendahnya

    ketahanan keluarga di Kabupaten

    Purbalingga dan belum ada forum

    ketahanan keluarga yang

    menanganinya. Forum Penanggulangan

    Kemiskinan yang beranggotakan lintas

    instansi yang dipimpin Wakil Bupati

    yang sudah adapun tidak berjalan

    efektif. Padahal sebetulnya lembaga ini

    cukup strategis sebagai wadah untuk

    sekaligus meningkatkan ketahanan

    keluarga di Purbalingga.

    (2) Tingkat pemahaman PKB tentang

    gender dan penyuluhan berperspektif

    gender masih perlu ditingkatkan,

    terutama yang menyangkut hal-hal

    teknis.

    (3) Tingkat pemahaman kader KB tentang

    gender dan penyuluhan berperspektif

    gender juga masih perlu ditingkatkan,

    terutama yang menyangkut hal-hal

    teknis.

    Sehubungan dengan temuan

    tersebut, disarankan beberapa hal yakni:

    (1) Pemkab Purbalingga perlu

    mengefektifkan Forum

    Penanggulangan Kemiskinan agar di

    samping mempunyai program terpadu

    dan berkesinambungan guna

    menanggulangi kemiskinan, juga

    sekaligus meningkatkan ketahanan

    keluarga dengan memrioritaskan

    pemberian pelatihan dan modal kepada

    para suami dari keluarga-keluarga

    pamong praja

    (2) Untuk memenuhi kebutuhan

    peningkatkan kompetensi PKB dan

    Kader KB, BKBPP Kabupaten

    Purbalingga perlu secara aktif menjalin

    jejaring dengan Perguruan Tinggi (baik

    sebagai institusi maupun individu-

    individu).

    Daftar Pustaka

    BKKBN. 2002. Pedoman Kerja PLKB dalam Menghadapi Perubahan. BKKBN. Jakarta.

    BKKBN. 2007. Pemantauan Pasangan usia Subur (PUS) Melalui Mini Survei di Indonesia Tahun 2007. BKKBN. Jakarta

    BKKBN online. 17 Februari 2008. Tokoh Agama = Champion. http://www.bk kbn.go.id/article_detail.php?aid=910. [19 September 2008].

    Fakih, Mansour. 1995. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

    Imroni M, Fajar N.A., Febry F. 2009.

    Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Implan di Desa Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009. Upm.fkm.unsri.ac/id/uploads/files/u_Absrk3.doc. [3 Oktober 2010].

    Moose, Julia Cleves. 1993. Gender dan Pembangunan. Rifka Annisa Womens Crisis Centre dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

    Myers R. 1992. The Twelve who Survive: Strengthening Programs of Early Childhood Development in the

  • Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 50

    50

    Thrid World. Routledge Publication. London.

    Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan

    Kualitas Perempuan BKKBN. 2007. Desain Komunikasi Gender dalam Program Keluarga Berencana Nasional. Program Pembinaan Jarak Jauh Pengarusutamaan Gender (PJJ-PUG). BKKBN. Jakarta.

    Puspita, Dyah Retna. 2000. Analisis Kehidupan Kader Posyandu dalam Masa Krisis Ekonomi (Studi Kasus di Desa Cipayung, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat). Tesis. Jakarta. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

    --------. 2011. Pengaruh Motivasi, Kompetensi dan Lingkungan Kerja pada Kinerja Aparatur Penyuluh Keluarga Berencana. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Vol. 11. Nomor 1, Januari 2011. Hal. 87-96. Riau. Program Magister Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau bekerjasama dengan Perhimpunan Sarjana Ilmu Administrasi Indonesia Pusat (PERSADI) dan dengan Indonesia Association for Public Administration (IAPA).

    --------. 2011. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader Keluarga Berencana di Tiga Kabupaen/kota di Provisi Jawa Barat. Jurnal Pembangunan

    Pedesaan Vol. 11 No. 2, Desember 2011. hal. 86-94. Purwokerto. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman.

    Puspita, Dyah Retna. Rin Rostikawati. Lilis SS. 2012. Revitalisasi Penyuluhan KB (Model Penyuluhan KB Berbasis Gender dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga). LPPM Unsoed. (Tahun ke-1). Purwokerto.

    Sunarti, Euis. 2001. Studi Ketahanan keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Umar, Nasaruddin, 1000. Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al_Quran. Paramadina. Jakarta.

    Utomo ID, Arsyad SS dan Hasmi EN. 2006. Village Family Planning Volunteers in Indonesia: Their Role in the Family Planning Programme. Reproductive Health Matters. 2006:14(27):73-82. www.rhmjournal.org.uk. [30 Mei 2010].

    Wallender JL, Feldman WS dan Varni JW. 1989. Physical Status and Psychosocial Adjustment in Children with Spinn Bufida. Journal of Pediatric Psychology 14, 89-102. [15 Mei 2010].