Upload
hoangtuyen
View
245
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
��
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Lokasi penelitian mengambil tempat di Kawasan Pulau Pramuka Kepulauan
Seribu teapatnya di kelurahan Pulau Pramuka. Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi
DKI Jakarta (Lampiran 1). Penelitian dilakukan pada bulan Maret - Mei 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data di lapangan antara lain:
1) GPS (Global Position System) alat bantu dalam mengetahui posisi artificial reef
diletakkan;
2) Alat Dasar Selam (ADS) yang digunakan dalam membantu dalam observasi
bawah laut;
3) Underwater camera yang membantu dalam dokumentasi keadaan terumbu
buatan pada saat perendaman;
4) Data sheet pengumpulan informasi yang diperoleh;
5) Buku identifikasi ikan karang;
6) Measuring board untuk mengukur panjang ikan;
7) Alat tulis membantu dalam pencatatan data dan informasi;
8) Sabak bawah air;
9) Botol sampel (film);
10) Timbangan;
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu :
1) Terumbu buatan
Bahan yang digunakan untuk terumbu buatan adalah tempurung kelapa, dengan
dasar beton berbentuk segi empat dengan ukuran 50 x 50 cm dengan ketebalan
10 cm, setiap unit terumbu karang buatan terdiri dari 45-50 buah tempurung
kelapa (Gambar 13). Jumlah terumbu buatan yang digunakan adalah 3 unit
sehingga terdapat 3 stasiun pengamatan.
���
Gambar 13 Konstruksi terumbu buatan
2) Bubu
Jenis bubu yang digunakan adalah bubu tambun dengan tutupan yang
digunakan adalah karang mati. Jumlah bubu tambun adalah 3 buah, yang
dipasang pada tiap terumbu buatan atau per stasiun. Bubu tambun yang
digunakan (Gambar 14) terbuat dari bambu, dimana memiliki ukuran badan
panjang 50 cm, dengan lebar bubu 60 cm sedangkan ukuran mulut bubu yaitu
dengan bukaan 20 cm dengan panjang 43 cm.
Gambar 14 Bubu tambun
Jarak pemasangan antar bubu adalah 8-10 m. Secara keseluruhan posisi mulut
bubu dipasang menghadap kearah daratan (Gambar 15). Hal ini dimaksudkan
agar ikan yang melakukan migrasi pada saat pasang surut bisa terperangkap
oleh bubu.
�
Operasional penangk
penangkapan. Proses
bubu tambun sekitar 2
pada Gambar 16.
Keteran
TB = T
Gambar 15 Posisi peletakan bubu tambun
kapan ikan menggunakan bubu tambun in
pemasangan bubu yang dilakukan setiap ha
24 jam atau selama sehari. Konstruksi bubu t
�
ngan :
Terumbu buatan
ni dilakukan 5 kali
ari dan perendaman
tambun dapat dilihat
���
43 cm
20 cm
Sumber : Ramadan 2011
Gambar 16 Konstruksi bubu tambun
���
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode uji coba penangkapan
(experimental fishing), dimana peneliti langsung melakukan eksperimen di lapangan
untuk mengambil data. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan secara langsung.
Data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur.
Data primer yang dikumpulkan antara lain:
1) Jenis spesies ikan karang di sekitar terumbu karang buatan dan terumbu
karang alami.
2) Berat dan panjang total hasil tangkapan bubu.
3) Dimensi terumbu buatan, kapal dan daerah operasi artificial reefs.
Sementara pengambilan data sekunder diperoleh dari :
1) Dinas Kelautan dan Perikanan Cabang Kepulauan Seribu.
2) Keadaan umum daerah penelitian.
3.4 Metode Kerja
3.4.1 Pengamatan ikan karang
Perakitan sebanyak 3 unit, terumbu karang buatan dimasukkan ke laut dan
diletakkan pada kedalaman 17 meter dengan menggunakan peralatan SCUBA (Self
Contained Underwater Breathing Apparatus). Jarak masing-masing terumbu karang
buatan adalah 5 meter, dan jarak posisi terumbu karang buatan dengan terumbu
karang alami sekitar ± 100 meter. Pengambilan data ikan karang dilakukan dengan
cara penyelaman SCUBA, pada pengambilan data ini menggunakan Metode
Pencacahan Visual (Underwater Visual Census).
Pengamatan ikan karang di terumbu buatan dilakukan 2 minggu sekali. Data
ikan yang diperoleh dilihat dari spesies serta famili ikan tersebut kemudian selain
dianalisis dengan indeks keragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) juga
dianalisi kenormalan data dengan menggunakan analisis Chi Square. Pencatatan
menggunakan sabak bawah air dan pensil.
1) Pengamatan ikan karang di terumbu buatan
���
Pengamatan ikan karang pada terumbu buatan diperoleh dari pengamatan dengan
2 jarak visualisasi yaitu 1 meter dan 2 meter di sekitar terumbu buatan untuk dapat
melihat ikan yang terdapat pada terumbu buatan. Setelah itu ikan diidentifikasi
dengan menggunakan buku panduan analisis ikan karang
2) Pengamatan ikan karang di terumbu karang alami
Pengamatan ikan karang pada terumbu karang alami menggunakan roll meter
skala 100 meter. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis
pantai dan sesuai dengan kontur kedalaman. Pencatatan ikan karang dilakukan
sepanjang 50 meter dengan jarak 2,5 meter ke kiri dan kanan pencatat. Terumbu
karang alami yang diamati adalah yang berada pada kedalaman 15 meter.
3.4.2 Metode pengoperasian bubu tambun
Metode pengoperasian bubu tambun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu
adalah sebagai berikut:
1) Persiapan
Setelah bubu tambun telah siap digunakan, sebelum dilakukan penangkapan. Bubu
tersebut di rendam terlebih dahulu selama 2 minggu pada perairan dengan
kedalaman 1 meter, dengan tujuan agar di bubu tersebut akan terdapat organism-
organisme kecil yang akan berguna dalam proses selanjutnya. Setelah itu
dilakukan persiapan meliputi persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu
penangkapan, persiapan kapal perikanan, dan persiapan perbekalan. Persiapan alat
tangkap diataranya menyiapkan bubu yang akan dioperasikan.
Persiapan alat bantu penangkapan dilakukan dengan menyiapkan alat bantu
penangkapan berupa kaca mata renang, ganco,dan dongdang. Persiapan kapal
perikanan meliputi pembelian bahan bakar kapal dan pengecekan kondisi kapal.
Adapun persiapan perbekalan meliputi persiapan makanan dan minuman yang
diperlukan selama operasi penangkapan dilakukan. Setelah tahap persiapan
dilakukan, selanjutnya pergi ke fishing ground.
���
2) Pemasangan bubu (setting)
Bubu diletakkan di dasar perairan tanpa menggunakan pelampung tanda.
Pemasangan bubu dilakukan dengan cara menimbun bagian sisi-sisi bubu
menggunakan karang mati. Hal ini dimasudkan agar ikan menganggap bahwa
bubu tersebut merupakan gugusan karang, sehingga ikan tertarik untuk masuk ke
dalam bubu. Posisi mulut bubu ketika dipasang menghadap ke arah daratan. Hal
ini bertujuan agar ikan yang melakukan ruaya pasang surut dapat masuk ke dalam
bubu. Bubu tambun dipasang pada kedalam 17 meter dan pemasangan bubu
dilakukan pada pagi hari. Pemasangan bubu berlangsung selama kurang lebih 3 –
5 menit per bubu. Proses pemasangan bubu dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Proses pemasangan (setting) bubu
3) Perendaman bubu (soaking)
Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. Selama proses
perendaman, bubu tersebut ditinggalkan di perairan. Selanjutnya nelayan kembali
ke fishing base untuk beristirahat di rumah atau melakukan penanaman
transplantasi karang. Selain itu, bagi nelayan yang memiliki tambak kerapu,
setelah pulang memasang bubu biasanya nelayan tersebut memberi makan ikan
kerapu
4) Pengangkatan bubu (hauling)
Pengangkatan bubu dilakukan pada pagi hari setelah bubu direndam selama sehari
semalam. Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang
yang digunakan untuk menimbun bubu. Proses pengangkatan bubu
berlangsung selama kurang lebih 3 – 5 menit per bubu. Setelah bubu diangkat,
kemudian pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Hasil
���
tangkapan kemudian dimasukkan ke dalam kantong kresek untuk memudahkan
dalam proses identifikasi dan pendataan ikan, setelah itu ikan hasil tangkapan
diukur panjang dan ditimbang bobot ikan. Proses pengangkatan bubu (hauling)
dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Proses pengangkatan (hauling) bubu
3.5 Analisis Data
3.5.1 Indeks Keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C)
1) Indeks keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman (H’) adalah ukuran kekayaan jenis komunitas ikan
karang dilihat dari jumlah spesies dalam suatu kawasan berikut jumlah individu
dalam setiap spesiesnya. Tingginya keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem
yang seimbang dan memberikan peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan
terhadap kejadian yang merusak ekosistem dan suatu spesies dibandingkan spesies
lain. Ekosistem yang tidak seimbang akan mempengaruhi pakan sehingga jika pakan
tidak tersedia maka keseimbangan cenderung akan terancam (Krebs, 1972 yang diacu
dalam Alfian, 2005). Nilai indeks keanekaragaman (H’) menunjukkan distribusi
individu-individu antar spesies ikan dalam komunitasnya. Semakin tinggi nilai indeks
keanekaragaman, menunjukkan keseimbangan makin baik. Untuk perhitungan
digunakan indeks Shanon-Wiener (persamaan 1) :
�� � ���� � ���
��������������������� � � �������������
��
Keterangan :
H’ : Indeks keanekargaman Shanon-Wiener
s : Jumlah spesies ikan karang; dan
pi : Proporsi jumlah ikan karang spesies ke-i terhadap jumlah total
ikan karang pada stasiun pengamatan.
Kisaran indeks keanekaragaman diklasifikasikan untuk ikan karang adalah :
H’ 2 : Keanekaragaman kecil, tekanan lingkungan kuat;
2< H’ 3 : Keanekaragaman sedang, tekanan lingkungan sedang; dan
H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem.
2) Indeks keseragaman (E)
Untuk mengukur keseimbangan komunitas digunakan indeks keseragaman
populasi (E), yaitu ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu
komunitas. Perhitungan keseragaman (E) berdasarkan persamaan 2:
E = ������� � � �� ����� ������������ � ����������� �
Keterangan :
E : Indeks keseragaman;
H’max : Indeks keanekaragaman komunitas : ln S; dan
S : Jumlah spesies dalam komunitas.
Nilai indeks keseragaman antara 0 – 1 dengan criteria sebagai berikut :
0 < E � 0,5 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan
0,5 < E � 0,75 : Keseragaman sedang, komunitas labil; dan
0,75 < E � 1 : Keseragaman tinggi, komunitas stabil.
Dari kisaran nilai ini terlihat semakin kecil nilai indeks keseragaman (E),
semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu
setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan populasi didominasi oleh jenis
organisme tertentu. Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai E maka populasi
tersebut menunjukkan keseragaman yang tinggi, yaitu jumlah individu setiap jenis
dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda.
3) Indeks dominansi (C)
����
Apabila indeks dominansi suatu komunitas tinggi maka komunitas tersebut
cenderung labil. Rumus yang digunakan adalah berdasarkan persamaan 3 :
! � ��"�
���������������������� � � � �� � �����������#�
Keterangan :
C : Indeks dominansi; dan
pi2 : Proporsi jumlah ikan karang spesies ke-i terhadap jumlah total ikan
karang pada stasiun pengamatan
Indeks dominansi berkisar antara 0 – 1, apabila nilai mendekati 1 maka ada
kecenderungan satu individu mendominansi yang lainnya. Kisaran indeks
diklasifikasikan sebagai berikut :
0 < C � 0,5 : Dominansi rendah;
0,5 < C � 0,75 : Dominansi sedang; dan
0,75 < C � 1 : Dominansi tinggi.
3.5.2 Analisis panjang dan berat ikan
Untuk mengetahui kondisi morfometrik ikan yang tertangkap secara temporal
digunakan model pertumbuhan dengan analisis hubungan panjang dan berat ikan.
Persamaan umum yang digunakan adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta).
Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L dengan dasar
perhitungannya berdasarkan regresi. Nilai a dan b harus ditentukan dari persamaan
tersebut, sedangkan nilai W (berat ikan) dan L (panjang ikan) diperoleh dari hasil
pengukuran (Effendie, 1979). Analisis panjang dan berat ikan ini dilakukan
menggunakan Microsoft Excel.
Nilai b diuji terhadap nilai b=3 menggunakan uji-t dengan tingkat kepercayaan
95%. Nilai b sebagai penduga kedekatan hubungan antara panjang dan berat dengan
kriteria:
1) Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang
dengan pertambahan panjang);
2) Nilai b > 3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat lebih besar
dari pertambahan panjang);
���
3) Nilai b < 3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat lebih kecil
dari pertambahan panjang).
3.5.3 Analisis perbandingan hasil tangkapan
Data jumlah, panjang dan berat hasil tangkapan diuji kenormalannya dengan
menggunakan Uji Chi Square test pada software SPSS Package (Santoso, 1999). Bila
data yang didapat menyebar secara normal, maka akan dilakukan analisis data
menggunakan Uji-F, tetapi bila data tidak menyebar normal, maka akan dilakukan
analisis data non parametrik menggunakan uji Kruskall Wallis. Hipotesis untuk Uji
Chi Square test yaitu:
H0: Jumlah hasil tangkapan menyebar normal.
H1: Jumlah hasil tangkapan tidak menyebar normal.
Dasar pengambilan keputusan:
Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima.
Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.
3.5.4 Analisis tingkat kematangan gonad
TKG (Tingkat Kematangan Gonad) menunjukkan suatu tingkatan kematangan
seksual ikan. Sebagian besar hasil metabolisme digunakan selama fase
perkembangkan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina sebesar
10-25% dari berat tubuh, sedangkan untuk ikan jantan berkisar antara 5-10%. Dalam
mencapai kematangan gonad, dapat dibagi dalam beberapa tahapan. Secara umum
tahap tersebut adalah akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah.
Ukuran ikan saat pertama kali matang gonad (length at first maturity, Lm)
bergantung pada pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor lingkungan.
Pembagian tahap kematangan gonad dilakukan dalam dua cara, yakni analisis
laboratorium dan pengamatan visual. Cara yang umum digunakan ialah metode
pengamatan visual berdasarkan ukuran dan penampakan gonad, sebagai catatan
metode ini bersifat subyektif.
����
Indikator pembagian tahapan kematangan gonad dengan cara visual ialah
(Effendie, 2002):
1) Ukuran gonad dalam menempati rongga badan (kecil, 1/4 bag, 1/2 bag, 3/4 bag
atau penuh);
2) Berat gonad segar (ditimbang);
3) Penampakan: warna gonad;
4) Penampakan butiran telor (ovarium) utk ikan betina
5) Ada tidaknya pembuluh darah, dan lain-lain.
Karena sifatnya yang subyektif, sering terjadi perbedaan tahap TKG baik karena
perbedaan observer maupun perbedaan waktu. Sebagai acuan standar, umum
digunakan 5 tahap TKG (Five stage of visual maturity stage for partial spawning
fishes), yakni:
1) TKG I (immature, dara);
2) TKG II (developing, dara berkembang);
3) TKG III (maturing/ripening, pematangan);
4) TKG IV (mature/ripe/gravid, matang);
5) TKG V (spent, salin).
Ikan betina dan jantan memiliki ciri-ciri atau karakteristik tingkat kematangan gonad
yang berbeda tiap tingkatan. Berikut disajikan karakteristik tingkat kematangan
gonad (Tabel 1).
Tabel 1 Tingkat kematangan gonad ikan Tingkat Betina Jantan
I Ikan mudaGonad seperti sepasang benang yang memanjang pada sisi lateral rongga peritoncum bagian depan, berwarna bening dan permukaan licin.
Gonad berupa sepasang benang tetapi jauh lebih pendek dibandingkan ovarium ikan betina pada stadium yang sama dan berwarna jernih.
II Masa PerkembanganGonad berukuran lebih besar, berwarna putih kekuningan, telur-telur belum bisa dilihat satu persatu dengan mata telanjang
Gonad berwarna putih susu dan terlihat lebih besar dibandingkan pada gonad tingkat I
III DewasaGonad mengisi hampir setengah rongga perintoncum, telur-telur mulai terlihat dengan mata telanjang berupa butiran halus, gonad berwarna kuning kehijauan.
Gonad mengisi hampir setengah dari rongga peritoncum. Berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoncum
� ��
Tingkat Betina Jantan
IV MatangGonad mengisi sebagian besar ruang perintocum. Warna menjadi hijau kecoklatan dan lebih gelap. Telur-telur jelas terlihat dengan butiran-butiran yang jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat III
Gonad makin besar dan pejal berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoncum
V MijahGonad masih seperti tingkat IV, sebagian gonad kemps karena sebagian telur telah mengalami oviposisi (mijah)
Gonad bagian anal telah kosong dan lebih lembut
Sumber : Siregar 1991
�