36
31 HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DENGAN EFEKTIFITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL Poppy Sofia Anisa Hepi Wahyuningsih Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dengan efektifitas komunikasi interpersonal. Semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah efektifitas komunikasi interpersonalnya, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonalnya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala. Adapun skala pengukuran yang dipakai adalah Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Orangtua yang dibedakan menjadi Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu. Skala penelitian ini menggunakan skala model Likert. Subyek penelitian adalah mahasiswa D III FE UII Yogyakarta, yang masih aktif berkuliah dan masih tercatat sebagai mahasiswa, berjenis kelamin laki – laki dan perempuan dan subyek memiliki orangtua kandung (tidak memiliki ayah tiri atau ibu tiri). Jumlah subyek penelitian sebanyak 116 orang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson. Proses analisis ini menggunakan SPSS release 11.0 for Windows. Hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara persepsi pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar r = -0,518 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Sedangkan hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar r = - 0,381 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Kata kunci : Efektifitas Komunikasi Interpersonal, Pola Asuh Otoriter Orangtua.

31 HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DENGAN

Embed Size (px)

Citation preview

31

HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DENGAN

EFEKTIFITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Poppy Sofia Anisa

Hepi Wahyuningsih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dengan efektifitas komunikasi interpersonal. Semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah efektifitas komunikasi interpersonalnya, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonalnya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala. Adapun skala pengukuran yang dipakai adalah Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Orangtua yang dibedakan menjadi Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah dan Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu. Skala penelitian ini menggunakan skala model Likert. Subyek penelitian adalah mahasiswa D III FE UII Yogyakarta, yang masih aktif berkuliah dan masih tercatat sebagai mahasiswa, berjenis kelamin laki – laki dan perempuan dan subyek memiliki orangtua kandung (tidak memiliki ayah tiri atau ibu tiri). Jumlah subyek penelitian sebanyak 116 orang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson. Proses analisis ini menggunakan SPSS release 11.0 for Windows. Hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara persepsi pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar r = -0,518 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Sedangkan hasil analisis data menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar r = - 0,381 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Kata kunci : Efektifitas Komunikasi Interpersonal, Pola Asuh Otoriter Orangtua.

31

Pengantar

Manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi untuk

kelangsungan hidupnya. Pada proses pemenuhan kebutuhan, komunikasi sebagai cara

untuk melakukan hubungan dengan orang lain memegang peran yang sangat penting.

Bahkan Montagu (Rakhmat, 2003), seorang antropolog terkenal, menyatakan dengan

tegas bahwa agen yang paling penting bagi anak untuk belajar menjadi manusia

adalah komunikasi, baik verbal maupun non verbal.

Menurut Tien (Laily dan Matulessy, 2004), komunikasi verbal sering

dikatakan merupakan sarana untuk mengekspresikan ide–ide, sedangkan komunikasi

non verbal dapat diartikan sebagai komunikasi yang menggunakan isyarat–isyarat

tertentu tanpa menggunakan kata – kata yang dapat menyangkut hal – hal seperti

intonasi dan tekanan suara, gerakan wajah, gerakan tubuh, tatapan maupun jarak antar

individu

Manusia berhubungan dengan sesamanya karena mereka saling

membutuhkan dan dengan komunikasi, manusia dapat berkembang dan dapat

melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Walgito, 1991). Menurut Cangara (1998)

tidak ada data otentik yang menerangkan kapan manusia mampu berkomunikasi

dengan manusia lainnya. Hanya saja diperkirakan bahwa kemampuan manusia untuk

berkomunikasi dengan orang lain secara lisan adalah suatu peristiwa yang

berlangsung secara mendadak. Kecakapan manusia berkomunikasi secara lisan

menurut perkiraan berlangsung sekitar 50 juta tahun, kemudian memasuki generasi

kedua di mana manusia mulai memiliki kecakapan berkomunikasi melalui tulisan.

31

Mulyana (2001) juga menambahkan bahwa manusia telah berkomunikasi selama

puluhan ribu tahun.

Komunikasi berfungsi sebagai jembatan yang dapat menghubungkan

seseorang dengan orang lain. Pada proses interaksi sosial, komunikasi memegang

peranan yang sangat penting karena selalu digunakan dalam kehidupan sehari – hari,

bahkan menurut Rakhmat (2003) manusia menggunakan 70% waktu bangunnya

untuk berkomunikasi karena dengan berkomunikasi seseorang dapat menyampaikan

informasi, ide ataupun pemikiran, pengetahuan, konsep dan lain – lain kepada orang

lain secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun sebagai penerima

komunikasi (Walgito, 1991).

Menurut Onong (1986), komunikasi interpersonal merupakan komunikasi

yang paling efektif. Komunikasi jenis ini dianggap efektif dalam hal upaya mengubah

sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya dialogis, berupa percakapan.

Efektifnya komunikasi antar pribadi itu ialah karena adanya arus balik langsung

dimana komunikator dapat melihat seketika tanggapan komunikan, baik secara verbal

dalam bentuk jawaban dengan kata, maupun secara non-verbal dalam bentuk gerak –

gerik, sehingga komunikator dapat mengulangi atau menyakinkan pesannya kepada

komunikan.

Menurut Sinambela (2004) bila dilihat dari grafik industri, sering ada

keluhan mengenai kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi. Mahasiswa sering

terbawa arus teoritis sehingga mahasiswa kesulitan ketika harus berhadapan dengan

publik. Mahasiswa tidak jarang terjebak dalam tuntutan tugas sehingga

31

mengesampingkan kemampuan dalam berkomunikasi. Semua gagasan serta ide – ide

yang cemerlang akan tidak ada artinya jika tidak diiringi kemampuan untuk

menyampaikannya kepada publik. Hantoro (2004) juga menambahkan bahwa

ternyata besarnya indeks prestasi seseorang bukanlah jaminan bahwa mahasiswa akan

mudah memenangkan persaingan tenaga kerja. Hal ini juga dibuktikan bahwa mereka

yang memiliki indeks prestasi tinggi ternyata tidak cukup mampu untuk bisa berkerja

sebaik nilai yang didapatkannya selama kuliah karena ada beberapa kelemahan

lulusan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu: pemahaman terhadap tanggung jawab

dan etika profesional, pengetahuan terhadap pemahaman terkini (mutakhir),

kemampuan berkomunikasi dengan efektif, kemampuan untuk berperan dalam tim

multidisiplin, kesadaran akan kebutuhan untuk memenuhi proses belajar sepanjang

hayat.

Hal tersebut selaras dengan survei awal pada mahasiswa di mana sebagian

mahasiswa masih sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, seperti di dalam

suasana informal, di mana pada pergaulan sehari – hari di kampus, sebagian

mahasiswa menunjukkan kesulitan berkomunikasi yang bisa dilihat manifestasinya

lewat kata – kata yang tidak teratur atau salah tingkah, seperti berbicara dengan

terbata – bata, seringnya berbicara dengan gerakan tubuh (menggaruk – garuk kepala,

mata yang berkedip – kedip, dan lain – lain). Kesulitan berkomunikasi yang di alami

mahasiswa tidak saja dengan teman – temanya tetapi juga dengan beberapa dosen

pembimbing akademik maupun dosen yang mengajar mata kuliah yang mereka

tempuh. Misalnya, pada saat berkonsultasi dengan DPA (dosen pembimbing

31

akademik), dimana seorang mahasiswa yang ingin meminta pendapat dosen

akademik tentang mata kuliah yang akan diambilnya pada semester berikutnya,

mahasiswa merasa kebingungan untuk menyusun kata – kata awal agar dosen tidak

banyak bertanya tentang perkembangan kuliahnya selama ini, terlebih – lebih lagi

bila nilai IPK (indeks prestasi akademik) yang jelek membuat mahasiswa merasa

malas untuk bertemu dan berkomunikasi sehingga hasilnya tidak jarang mahasiswa

salah mengambil mata kuliah. Namun sekarang di beberapa universitas di

Yogyakarta, mahasiswa sudah sangat dipermudah karena sistem pemilihan mata

kuliah yang akan diambil maupun untuk mengetahui nilai IPK sudah dapat diketahui

melalui sistem komputerisasi, dengan kata lain segala urusan akademik bisa langsung

di akses melalui komputer. Kasus lain yang juga sering di jumpai di lingkungan

kampus seperti mahasiswa yang mempunyai kesulitan dalam mengikuti perkuliahan.

Mereka jarang sekali aktif bertanya dalam kelas maupun luar kelas. Beberapa

mahasiswa menganggap dosen kurang bisa bersikap ramah dengan mahasiswa

sehingga mereka merasa takut untuk bertanya, begitu juga dalam situasi berdiskusi di

dalam kelas, hanya orang – orang tertentu saja yang terlihat aktif menginformasikan

sesuatu sementara yang lainnya hanya sebagai pendengar saja. Fenomena di atas

menunjukkan adanya ketidakefektifan dalam komunikasi interpersonal pada

mahasiswa.

Ketidakefektifan seorang mahasiswa di dalam berkomunikasi tidak saja

terdapat di lingkungan kampus tetapi sering dijumpai juga di lingkungan di luar

kampus, seperti yang di ungkapkan Hantoro (2004), kesulitan berkomunikasi seorang

31

mahasiswa tidak saja terjadi di lingkungan kampus tapi juga dapat dijumpai pada

lingkungan sekitar mahasiswa tersebut, seperti kurang berpartisipasi mahasiswa di

dalam kegiatan – kegiatan di lingkungan tempat tinggal mereka (karang taruna,

kegiatan di tempat ibadah, gotong royong, dll). Hal seperti ini dikarenakan seorang

mahasiswa merasa dirinya tidak pantas untuk ikut dalam kegiatan – kegiatan yang

mereka anggap kurang sesuai dengan peran mereka atau tidak sesuai dengan label

kemahasiswaan, yang mereka pikir di jaman sekarang kedudukan seseorang yang

berstatus mahasiswa adalah tinggi dan harus di hormati.

Kesulitan berkomunikasi semakin diperparah dengan munculnya kelompok

– kelompok pada pergaulan remaja. Satu hal yang ditakuti oleh remaja ketika

bergabung dalam suatu kelompok adalah takut terkucil atau terisolasi dari

kelompoknya. Remaja yang ditolak oleh teman sebayanya akan merasa sedih dan

merasa dikucilkan dari kelompoknya. Akibat langsung dari adanya penolakan oleh

kelompoknya yaitu adanya frustrasi yang menimbulkan rasa kecewa akibat penolakan

atau pengabaian itu, mungkin sekali membuat seorang remaja bertingkah laku yang

luar biasa, baik yang berupa pengunduran diri (withdrawal) maupun agresif seperti

suka menyendiri, melamun, mengkritik, suka berdebat, suka menyebarkan gosip,

suka memfitnah, dan sebagainya (Mappiare, 1982).

Hantoro (2004) mengungkapkan bahwa faktor pendidikan non formal

berupa kegiatan ekstrakulikuler dalam berbagai lembaga atau organisasi

kemahasiswaan ternyata memiliki peran yang cukup penting di dalam proses

pembentukan manusia siap saing di dunia kerja. Seperti misalnya kegiatan olahraga

31

di kampus. Bicanawati dkk (1999) mengatakan kelompok olahraga termasuk

kelompok kecil, sehingga komunikasi yang terjadi juga dalam lingkup komunikasi

kelompok kecil. Komunikasi bentuk ini, semua anggota dapat memiliki kesempatan

untuk saling berkomunikasi sehingga orang lain bisa mengerti apa yang orang lain

pikirkan. Apalagi dengan jabatan berbeda, otomatis cara berfikir juga berbeda,

sehingga sangat perlu untuk membuka saluran komunikasi yang baik dengan orang

lain yang mungkin adalah bawahannya. Jika perbedaan yang ada tidak diatasi besar

kemungkinan hubungan yang terjadi akan sangat kaku, rendahnya kerjasama dan

produktifitas serta kurangnya pemahaman anggota kelompok tentang hal – hal yang

mereka lakukan. Maka dengan adanya komunikasi dapat digunakan untuk

menjelaskan tentang hal – hal yang belum jelas dan menyampaikan hal – hal lain

yang mungkin adalah jalan keluar dari masalah yang harus dihadapi atau dilakukan.

Orang – orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia, bisa

dipastikan akan tersesat, karena ia tidak berkesempatan menata dirinya dalam suatu

lingkungan sosial. Tanpa melibatkan diri dalam komunikasi, seseorang tidak akan

tahu bagaimana makan, minum, berbicara sebagai manusia dan memperlakukan

manusia lain secara beradab, karena cara – cara berperilaku tersebut harus dipelajari

lewat pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain yang intinya adalah

komunikasi. Perilaku komunikasi pertama yang dipelajari manusia berasal dari

sentuhan orangtua sebagai respons atas upaya bayi untuk memenuhi kebutuhannya.

Orangtua menentukan upaya mana yang akan diberi imbalan dan anak segera belajar

merangsang dorongan itu dengan menciptakan perilaku mulut yang memuaskan si

31

pembelai. Pada tahap itu, komunikasi ibu dan anak masih sederhana. Komunikasi

anak hanya memadai bagi lingkungannya yang terbatas. Pada tahap selanjutnya, anak

memasuki lingkungan yang lebih besar lagi seperti kerabat, keluarga, kelompok

bermain, komunitas lokal (tetanggga), kelompok sekolah, dan seterusnya. Ketika

anak itu dewasa dan mulai memasuki dunia kerja, lebih banyak lagi keterampilan

komunikasi yang ia butuhkan untuk mempengaruhi atau menyakinkan orang lain.

Ringkasnya, komunikasi itu penting bagi pertumbuhan sosial sebagaimana makanan

penting bagi pertumbuhan fisik (Mulyana, 2004).

Komunikasi dalam keluarga mempunyai peranan penting bagi remaja untuk

menyelesaikan masalahnya. Menurut Yatim dan Irwanto (Indrijati, 2001) pada diri

remaja timbul kebutuhan yang kuat untuk dapat berkomunikasi. Mereka tampak

selalu ingin tahu, ingin mempunyai banyak teman dan sebagainya, karena keluarga

merupakan lingkungan terdekat, maka bisa dimengerti bila remaja membutuhkan

kesempatan untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang mereka anggap lebih

dewasa, yang pada umumnya adalah orang tua mereka. Berkaitan dengan hal tersebut

Sanusi dkk (Indrijati, 2001) menyebutkan perlunya suasana yang akrab dengan anak,

sehingga ia setiap saat akan merasa bahwa orang tuanya selain menyayanginya juga

selalu membantunya dalam kesulitan, bahwa ia menghadapi orang tua yang berusaha

memahaminya sehingga ia mau berbicara terus terang dan terbuka membicarakan

masalah dan kesulitannya.

Seperti pada kasus yang terdapat dalam Qurrotua’yun newsletter (2004)

dimana seorang ibu yang mempunyai kesulitan membagi waktu komunikasi dengan

31

tiga anak – anaknya yang mana kebetulan sang ibu dan suaminya sama – sama

bekerja, lima hari dalam seminggu. Setiap hari pulang ke rumah pukul 15.00 wib.

Pada kolom konsultasi ini dijelaskan ada sekurangnya tiga kiat perlu diperhatikan

dalam komunikasi dengan anak, yaitu: gunakan waktu yang meskipun sedikit untuk

berkomunikasi intensif dengan anak, bersikaplah rela dalam berkomunikasi dengan

anak, luangkan waktu khusus untuk rekreasi keluarga, sehingga orangtua dan (semua)

anak dapat berkomunikasi langsung. Ketika itulah komunikasi langsung anak dan

orangtua dapat terjalin. Selain menerima masukan (aspirasi dan keluhan) dari anak,

orangtua dapat menyampaikan berbagai pesan penting (nasihat, informasi, pelajaran,

penerangan) secara informal pada waktu-waktu luang seperti ini.

Terlihat pada kasus di atas, dimana pentingnya komunikasi antara orangtua

dengan anak, seperti yang diungkapkan Steede (2003), komunikasi orangtua dan anak

sangat penting sebab sejalan dengan bertambahnya usia anak, besarnya pengawasan

secara langsung dari orangtua akan berkurang secara signifikan. Ketika orangtua

kehilangan kemampuan untuk mempengaruhi secara langsung lingkungan terdekat

anak – anaknya, dialog terbuka dan jujur menjadi cara paling efektif dan sering kali

satu – satunya cara. Jika seorang remaja dapat berbicara dengan orangtuanya tentang

sahabat – sahabatnya, obat – obat terlarang, atau seks, maka ia dapat memiliki

peluang yang lebih baik untuk berhasil melewati masa – masa remaja yang penuh

gejolak itu. Namun pada kenyataannya, terlalu sering orangtua tanpa sadar

mematikan komunikasi dua arah dengan anaknya.

31

Yatim dan Irwanto (Indrijati, 2001), mengatakan tidak terpenuhinya

kesempatan untuk berkomunikasi dalam keluarga akan dapat memberikan dampak

yang merugikan bagi remaja, dimana remaja tidak puas dengan keluarganya. Karena

keluarga dirasa tidak dapat memberikan bantuan untuk memecahkan masalah, maka

remaja berusaha mencari figur lain yang ada di luar rumah. Tetapi apabila terdapat

kesalahan dalam mencari figur pengganti akan berakibat kompleks juga. Jika seorang

remaja tidak berhasil mengatasi situasi – situasi kritis dalam rangka konflik peran,

maka besar kemungkinannya ia akan terperangkap masuk dalam jalan yang salah

misalnya penyalahgunaan seks, penyalahgunaan obat dan lain – lain. Padahal konflik

– konflik peran ini akan bisa terlewati dengan berhasil apabila orangtua mau mengerti

masalah yang dihadapi oleh remajanya dan berhasil membimbingnya. Cara terbaik

untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh remaja adalah melalui komunikasi yang

berkualitas antara keduanya.

Menurut Hamidah (2002), hampir setiap orangtua mengharapkan anaknya

menjadi anak yang baik yang sesuai dengan harapan orangtua khususnya dan

masyarakat pada umumnya, taat dan patuh pada nilai – nilai yang berlaku bagi

masyarakat dan menjadi orang yang bermanfaat baik bagi dirinya, keluarganya dan

lingkungannya. Harapan ini mendorong setiap orangtua memberikan yang terbaik

untuk anaknya berdasarkan pendapat, pemahaman dan pengetahuannya. Sayangnya

hal yang dianggap terbaik oleh orangtua belum tentu menjadi yang terbaik bagi anak-

anak mereka karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan hasil inilah

yang seringkali membuat orangtua menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus

31

dilakukan karena kurang memahami apa yang menjadi penyebab perbedaan serta

kurang mengetahui apa yang diharapkan anak. Oleh karena itu apa yang dianggap

baik oleh orangtua menjadi cara atau jalan keluar yang tidak sesuai dengan kebutuhan

anak – anak mereka. Sehingga menurut Hurlock (1993), semakin otoriter pendidikan

anak, semakin mendendam anak itu dan tidak patuh secara sengaja. Perilaku

menentang sangat besar perannya dalam memburuknya hubungan orangtua dan anak

dengan bertambahnya usia anak.

Melihat kenyataan di atas maka Hamidah (2002), menilai pola asuh

orangtua akan lebih tepat jika digunakan persepsi anak tentang pola asuh yang

diterima dari orangtuanya. Pola asuh orangtua dipandang sebagai suatu respon yang

di dalamnya terkandung suatu penilaian, kesan, pendapat ataupun perasaan anak

terhadap pola asuh orangtua yang diberikan oleh orangtua mereka. Jadi dapatlah

dikatakan bahwa persepsi anak terhadap pola asuh orangtua tersebut sifatnya sangat

subyektif. Jadi sesungguhnya yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak

adalah bukan hanya pola asuhnya tetapi persepsi anak terhadap pola asuh tersebut,

oleh karena itu kebenaran dan ketepatan persepsi ini menjadi hal yang penting untuk

diperhatikan.

Persepsi merupakan salah satu faktor dari efektifitas komunikasi

interpersonal. Rakhmat (2003) menjelaskan dengan beberapa contoh seperti, bila

seseorang diberitahu bahwa dosennya yang baru itu galak dan tidak senang dikritik

maka seseorang itu akan berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan. Bila seseorang

menganggap tetangganya sombong dan feodal, maka akan menghindari bercakap-

31

cakap dengan dia. Lalu, bila seseorang mempersepsikan kawannya sebagai orang

cerdas, bijak, dan senang membantu maka dia akan banyak meminta bantuan nasihat

kepadanya. Sama halnya bila seorang anak mempersepsikan pola asuh orangtuanya

sebagai pola asuh otoriter maka anak akan memiliki perasaan dendam dan tidak patuh

secara sengaja sehingga bila kedua belah pihak menanggapi yang lain secara tidak

cermat, terjadilah kegagalan komunikasi. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi

tidak efektif karena menurut Mulyana (2001), komunikasi yang efektif pada dasarnya

adalah berusaha memahami apa yang menyebabkan orang lain berperilaku

sebagaimana yang ia lakukan, mana mungkin seorang anak dapat berusaha

melakukan apa yang diinginkan orangtuanya jika mereka (anak) mempersepsikan

pengasuhan orangtua mereka dengan otoriter sehingga menyebabkan anak akan

menjadi patuh kalau di hadapan orangtua, tetapi di belakang orangtuanya ia akan

memperlihatkan reaksi – reaksi menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa

(Sianawati dkk, 1992). Hal ini dapat menimbulkan masalah dan kesulitan bagi diri

anak sendiri maupun lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pengasuhan orangtua

(otoriter) merupakan faktor penyebab apakah seorang anak dapat melakukan

komunikasi interpersonal secara efektif dengan lingkungannya. Sehingga pertanyaan

penelitian berupa apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dengan

efektifitas komunikasi interpersonal?

31

Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Orangtua Dengan Efektifitas

Komunikasi Interpersonal

Komunikasi merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia.

Komunikasi seorang anak pertama kali di lakukan di lingkungan keluarga karena

keluarga merupakan lingkungan sosial pertama tempat anak dapat berinteraksi.

Dengan anak melakukan interaksi maka dapat menghasilkan karakteristik kepribadian

tertentu yang selanjutnya akan mewarnai sikap dan perilakunya setiap hari, baik

didalam keluarga maupun di masyarakat. Dengan demikian orangtua mempunyai

pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan kepribadian remaja (Timomor,

1998).

Menurut Indrawati (1995), ada beberapa pendekatan yang dapat diikuti

orangtua dalam berhubungan dengan dan mendidik anak – anaknya. Salah satu di

antaranya adalah sikap dan pendidikan otoriter. Biasanya mengambil sikap otoriter

dan memperlakukan maupun mendidik anak secara otoriter dimaksudkan demi

kebaikan anaknya. Tetapi dalam kenyataanya, anak yang dibesarkan di rumah yang

suasana otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orangtua.

Orangtua yang menghendaki anaknya mencapai sesuatu yang dicita - citakan

orangtuanya, biasanya berfikir bahwa anaknya juga mempunyai kemampuan untuk

mencapai cita – cita itu, meskipun dalam kenyataannya sering tidak demikian.

Orangtua yang menggunakan pengasuhan secara otoriter jarang sekali

melakukan diskusi atau dialog dua arah, mereka jarang sekali mau dikritik. Menurut

Ahmadi (1979), orangtua yang otoriter menaruhkan banyak larangan – larangan yang

31

diberikan anak-anak dan yang harus dilaksanakan tanpa bersoal jawab, tanpa ada

pengertian pada anak, sehingga menurut Alibata (2002), anak dengan pola asuh

otoriter menjadi tergantung, pasif, kurang bisa bersosialisasi, kurang percaya diri,

kurang memiliki rasa ingin tahu dan kurang mandiri bahkan anak dapat menjadi

agresif.

Menurut Steede (2003), orangtua yang menggunakan gaya komunikasi

otoriter ini adalah orangtua yang sangat mempertahankan kendali dan kekuasaan.

Gaya komunikasi ini jelas menunjukkan orangtua menilai rendah apa yang dirasakan,

dipikirkan, atau dilakukan anak. Hal ini terjadi atas dasar pemikiran bahwa orangtua

lebih hebat, lebih kuat, lebih pintar, dan kebutuhannya lebih penting daripada

kebutuhan anak.

Komunikasi dianggap efektif antara orangtua dengan remaja adalah adanya

rasa empati yang di tunjukkan orangtua. Selama ini, dialog dengan keterbukaan yang

di landasi rasa saling percaya dan kasih sayang seringkali terabaikan karena banyak

faktor, seperti tidak tepatnya waktu atau kurangnya intensitas komunikasi karena

kesibukan orangtua. Hal ini menjadikan remaja kadang trauma bila orangtua ingin

mengajaknya bicara. Remaja, sebagai calon penerus bangsa sudah sewajarnya

mendapat perhatian prioritas dalam segala hal. Tentu saja itu semua berawal dari

lingkungan keluarga yang selama hidupnya senantiasa ada (Dian, 2002).

31

Metode Penelitian

Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa di D III FE UII Yogyakarta,

yang masih aktif berkuliah dan masih tercatat sebagai mahasiswa, berjenis kelamin

laki – laki dan perempuan dan subyek memiliki orangtua kandung (tidak memiliki

ayah tiri atau ibu tiri). Alasan peneliti mengambil data hanya dari subyek yang

memiliki orangtua kandung dikarenakan hubungan antara orangtua kandung dengan

anak lebih positif , seperti penerapan disiplin orangtua kandung yang dapat di terima

anak dibandingkan dengan hubungan anak dengan orangtua tiri mereka, baik itu ayah

tiri maupun ibu tiri mereka (Santrock, 2003).

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala.

Azwar (1999) menyatakan bahwa guna mengungkap aspek – aspek atau variabel –

variabel yang ingin diteliti, diperlukan alat ukur berupa skala atau alat tes yang

reliabel dan valid agar kesimpulan peneliti nantinya tidak keliru dan tidak

memberikan gambaran yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya. Skala yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal dan

Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter.

Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal yang digunakan dalam

penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti mengacu pada aspek-aspek dari teori

DeVito (1997), dan mengambil beberapa aitem dari skala yang disusun oleh Widiyati

31

(2001) yang relevan dengan aspek yang digunakan peneliti. Skala yang digunakan

peneliti terdiri dari empat aspek dari teori DeVito (1997). Aspek yang diungkap

dalam skala ini terdiri dari keterbukaan (openness), empati (emphaty), sikap

mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan(equality).

Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal terdiri dari 50 butir aitem yang terdiri dari

item favourable dan unfavourable. Pada aitem favourable skor bergerak dari angka 1

untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 2 untuk tidak sesuai (TS), skor 3

untuk sesuai (S) dan skor 4 untuk sangat sesuai (SS). Sedangkan pada aitem

unfavourable skor bergerak dari 4 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 3

untuk tidak sesuai (TS), skor 2 untuk sesuai (S) dan skor 1 untuk sangat sesuai (SS).

Skala yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah Skala Persepsi Pola

Asuh Otoriter Orangtua yang dibuat sendiri oleh peneliti yang berdasarkan pada

aspek – aspek pola asuh otoriter orangtua yang dikemukakan oleh Frazier (2000),

terdiri dari empat aspek yaitu: aspek batasan perilaku (behavoiral guidelines), aspek

kualitas hubungan emosional orangtua-anak (emotional quality of parent-child

relationship), aspek perilaku mendukung (behavioral encouraged), aspek tingkat

konflik orangtua – anak (levels of parent-child conflict). Skala Persepsi Pola Asuh

Otoriter Orangtua terdiri dari 40 butir aitem yang terdiri dari item favourable dan

unfavourable. Pada aitem favourable skor bergerak dari angka 1 untuk pernyataan

sangat tidak sesuai (STS), skor 2 untuk tidak sesuai (TS), skor 3 untuk sesuai (S) dan

skor 4 untuk sangat sesuai (SS). Sedangkan pada aitem unfavourable skor bergerak

31

dari 4 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 3 untuk tidak sesuai (TS),

skor 2 untuk sesuai (S) dan skor 1 untuk sangat sesuai (SS).

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik.

Analisis statistik mengumpulkan, menyajikan dan menganalisis data – data penelitian

yang berwujud angka – angka. Statistik bersifat obyektif dan universal, sehingga

dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi, 1996). Statistik yang

digunakan untuk menguji hipotesis adalah teknik analisis korelasi Product Moment

dari Pearson dengan menggunakan program SPSS (Statistic Package for Social

Science) release 11.0 for Windows.

Alat Ukur Penelitian

Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah

Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur Skala Persepsi Pola asuh Otoriter

Ayah dilakukan dengan menggunakan SPSS 11,0 for Windows. Analisis data dengan

menggunakan koefisien korelasi aitem total 0,3. Terdapat 4 aitem gugur dari 40 aitem

yaitu nomor 1, 3, 6, 20. Aitem yang sahih sebanyak 36 aitem dengan korelasi aitem

total bergerak dari 0,3088 sampai dengan 0,7860. Aitem yang sahih dari Skala

Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah diuji reliabilitasnya dengan menggunakan teknik

reliabilitas alpha sebesar 0,9515. Distribusi penyebaran aitem dapat dilihat dalam

tabel 1.

31

Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ayah Setelah Uji Coba

Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek

Nomor Butir Jumlah Nomor Butir Jumlah

Batasan perilaku 10(7),16(13),25(21),

30(26)

4 2(1),7(4),18(15),

23(19), 31(27)

5

Kualitas Hubungan

Emosional

Orangtua – Anak

14(11),19(16),29(25),

38(34)

4 5(3),11(8),24(20),

32(28)

4

Perilaku mendukung 12(9), 15(12), 26(22),

33(29),

4 8(5),21(17),28(24),

34(30),36(32)

5

Tingkat Konflik

Orangtua – Anak

9(6), 22(18), 27(23),

35(31), 39(35)

5 4(2),13(10),17(14),

37(33),40(36)

5

Jumlah 17 20

Catatan: angka dalam tanda kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji coba

Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu

Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur Skala Persepsi Pola asuh Otoriter

Ibu dilakukan dengan menggunakan SPSS 11,0 for Windows. Analisis data dengan

menggunakan koefisien korelasi aitem total 0,3. Terdapat 1 aitem gugur dari 40 aitem

yaitu nomor 20. Aitem yang sahih sebanyak 39 aitem dengan korelasi aitem total

bergerak dari 0,3934 sampai dengan 0,7739. Aitem yang sahih dari Skala Persepsi

Pola Asuh Otoriter Ibu diuji reliabilitasnya dengan menggunakan teknik reliabilitas

alpha sebesar 0,9644. Distribusi penyebaran aitem dapat dilihat dalam tabel 2.

31

Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Persepsi Pola Asuh Ibu Setelah Uji Coba

Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek

Nomor Butir Jumlah Nomor Butir Jumlah

Batasan perilaku

1, 10, 16, 25(24),

30(29)

5 2, 7, 18, 23(22),

31(30)

5

Kualitas Hubungan

Emosional

Orangtua – Anak

6, 14, 19, 29(28),

38(37)

5 5, 11, 24(23),

32(31)

4

Perilaku mendukung 3, 12, 15, 26(25),

33(32)

5 8,21(20),28(27),

34(33), 36(35)

5

Tingkat Konflik

Orangtua – Anak

9, 22(21),27(26),

35(34), 39(38)

5 4, 13,17,37(36),

40(39)

5

Jumlah 20 19

Catatan: angka dalam tanda kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji coba

Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal

Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur Skala Efektifitas Komunikasi

Interpersonal dilakukan dengan menggunakan SPSS 11,0 for Windows. Analisis data

dengan menggunakan koefisien korelasi aitem total 0,3. Terdapat 12 aitem gugur dari

50 aitem yaitu nomor 1, 4, 7, 15, 16, 19, 23, 27, 33, 44, 49, 50. Aitem yang sahih

sebanyak 38 aitem dengan korelasi aitem total bergerak dari 0,3003 sampai dengan

0,7447. Aitem yang sahih dari Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal diuji

31

reliabilitasnya dengan menggunakan teknik reliabilitas alpha sebesar 0,9339.

Distribusi penyebaran aitem dapat dilihat dalam tabel 3.

Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal Setelah Uji Coba

Butir Favourable Butir Unfavourable Aspek

Nomor Butir Jumlah Nomor Butir Jumlah

Keterbukaan 5(3),12(9), 24(17),

35(26), 43(34)

5 18(13), 34(25) 2

Sikap Mendukung 2(1),10(7), 21(15),

30(22), 42(33)

5 9(6), 37(28) 2

Empati 6(4),28(20), 45(35) 3 13(10), 22(16),

40(31), 46(36)

4

Sikap positif 8(5), 14(11),

29(21), 39(30),

47(37)

5 3(2), 25(18),

36(27), 48(38)

4

Kesetaraan 17(12), 31(23),

41(32)

3 11(8), 20(14),

26(19), 32(24),

38(29)

5

Jumlah 21 17

Catatan: angka dalam tanda kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji coba

31

Hasil Penelitian

Tabel 4 Deskripsi Data Penelitian

Hipotetik Empirik Variabel

Min Max Rerata SD Min Max Rerata SD

Pola Asuh Otoriter Ayah 36 144 90 18 40 104 71,11 12,164

Pola Asuh Otoriter Ibu 39 156 97,5 19,5 46 109 70,92 13,127

Komunikasi Interpersonal 38 152 95 19 92 138 113,09 8,611

Deskripsi data penelitian di atas dimanfaatkan untuk melakukan kategorisasi

pada masing – masing variabel peneltian guna mengetahui bahwa pola asuh otoriter

ayah, pola asuh otoriter ibu dan efektifitas komunikasi interpersonal dalam kategori

sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah

Tabel 5 Kategorisasi Variabel Pola Asuh Otoriter Ayah

Kategori Nilai Jumlah %

Sangat Tinggi X > 122,4 0 0

Tinggi 100,8 < X = 122,4 4 3,448

Sedang 79,2 < X = 100,8 24 20,689

Rendah 57,6 = X = 79,2 79 68,103

Sangat Rendah X < 57,6 6 5,172

31

Kategorisasi variabel Pola Asuh Otoriter Ayah untuk kategori Sangat

Tinggi tidak ada, Tinggi ada 4 subyek (3,448 %), kategori Sedang ada 24 subyek

(20,689 %), kategori Rendah ada 79 subyek (68,103 %), dan kategori Sangat

Rendah ada 6 subyek (5,172 %). Berdasarkan kategorisasi dari tabel di atas,

variabel Pola Asuh Otoriter Ayah termasuk dalam kategori Rendah.

Tabel 6 Kategorisasi Variabel Pola Asuh Otoriter Ibu

Kategori Nilai Jumlah %

Sangat Tinggi X > 132,6 0 0

Tinggi 109,2 < X = 132,6 0 0

Sedang 85,8 < X = 109,2 12 10,345

Rendah 62,4 = X = 85,8 77 66,379

Sangat Rendah X < 62,4 27 23,276

Kategorisasi variabel Pola Asuh Otoriter Ibu untuk kategori Sangat Tinggi

dan kategori Tinggi tidak ada, sedangkan kategori Sedang ada 12 subyek (10,345

%), kategori Rendah ada 77 subyek (66,379 %), dan kategori Sangat Rendah ada

27 subyek (23,276 %). Berdasarkan kategorisasi dari tabel di atas, variabel Pola

Asuh Otoriter Ibu termasuk dalam kategori Rendah.

31

Tabel 7 Kategorisasi Variabel Efektifitas Komunikasi Interpersonal

Kategori Nilai Jumlah %

Sangat Tinggi X > 129,2 7 6,034

Tinggi 106,4 < X = 129,2 83 71,552

Sedang 83,6 < X = 106,4 25 21,552

Rendah 60,8 = X = 83,6 0 0

Sangat Rendah X < 60,8 0 0

Kategorisasi variabel Efektifitas Komunikasi Interpersonal untuk kategori

Sangat Tinggi ada 7 subyek (6,034 %), kategori Tinggi ada 83 subyek (71,552 %),

kategori Sedang ada 25 subyek (21,552 %), sedangkan kategorisasi Rendah dan

kategori Sangat Rendah tidak ada. Berdasarkan kategorisasi dari tabel di atas,

variabel Efektifitas Komunikasi Interpersonal termasuk dalam kategori Tinggi.

Uji normalitas dengan menggunakan teknik One-Sample Kolmogorov-

Smirnov Test dari program SPSS 11,0 for Windows. Variabel Skala Persepsi Pola

Asuh Otoriter Ayah nilai K-S Z sebesar 1,100 dengan p = 0,178 (p>0,05). Hasil

tersebut menunjukkan sebaran skor persepsi pola asuh otoriter ayah termasuk dalam

kategori normal. Variabel Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu nilai K-S Z sebesar

0,762 dengan p = 0,607 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan sebaran skor persepsi

pola otoriter ibu termasuk dalam kategori normal. Variabel Skala Efektifitas

Komunikasi Interpersonal nilai K-S Z sebesar 1,343 dengan p = 0,054 (p>0,05). Hasil

tersebut menunjukkan sebaran skor persepsi pola otoriter ibu termasuk dalam

31

kategori normal. Berdasarkan data yang diperoleh yang memiliki signifikan lebih dari

0,05 maka data ini normal.

Uji linearitas adalah uji yang digunakan untuk mengetahui apakah ada

hubungan antara persepsi pola asuh otoriter ayah dengan efektifitas komunikasi

interpersonal dan juga untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi pola

asuh otoriter ibu dengan efektifitas komunikasi interpersonal. Dua variabel dikatakan

linear jika Anova Table menunjukkan p Linearity < 0,05 dan p Deviation from

Linearity > 0,05. Data yang didapat dari Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter Ibu

dengan Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal memiliki F Linearity 19,225

dengan p=0,000 (p<0,05) dan F Deviation from Linearity 0,986 dengan p=0,514

(p>0,05), maka data tersebut adalah linear. Data yang didapat dari Skala Persepsi

Pola Asuh Otoriter Ayah dengan Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal

memiliki F Linearity 40,718 dengan p=0,000 (p<0,05) dan F Deviation from

Linearity 0,931 dengan p=0,589 (p>0,05), maka data tersebut adalah linear.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product

Moment dari Pearson dengan program SPSS 11,0 for Windows, melalui uji tersebut

didapatkan kesimpulan bahwa:

a. Ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi pola asuh otoriter ayah

dengan efektifitas komunikasi interpersonal anak, yang dibuktikan dengan r = -

0,518 dengan p = 0,000 (p<0,01). Semakin rendah persepsi pola asuh otoriter

ayah maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonal anak, semakin

31

tinggi persepsi pola asuh otoriter ayah maka semakin rendah efektifitas

komunikasi interpersonal anak, dengan demikian hipotesis penelitian diterima.

b. Ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi pola asuh otoriter ibu

dengan efektifitas komunikasi interpersonal anak, yang dibuktikan dengan r = -

0,381 dengan p = 0,000 (p<0,01). Semakin rendah persepsi pola asuh otoriter ibu

maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonal anak, semakin tinggi

persepsi pola asuh otoriter ibu maka semakin rendah efektifitas komunikasi

interpersonal anak, dengan demikian hipotesis penelitian diterima.

D. Pembahasan

Hasil analisis data yang dilakukan membuktikan bahwa ada hubungan yang

sangat signifikan antara pola asuh otoriter orangtua (ayah dan ibu) dengan efektifitas

komunikasi interpersonal. Jadi dapat dikatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua

yang terbentuk berpengaruh pada penerapan efektifitas komunikasi interpersonal

anak (mahasiswa).

Berdasarkan rata – rata empirik bahwa persepsi pola asuh otoriter ayah dan

persepsi pola asuh otoriter ibu berada dalam kategori rendah, sedangkan efektifitas

komunikasi interpersonal dalam kategori tinggi. Hal ini terjadi karena terbentuknya

persepsi anak terhadap pola asuh orangtua yang rendah sehingga mengakibatkan

efektifitas komunikasi interpersonal anak yang baik. Hal tersebut terjadi mungkin

dikarenakan subyek yang digunakan adalah mahasiswa yang mana mereka sudah

memasuki lingkungan yang lebih besar sehingga mereka sudah bisa memahami

31

dengan pengasuhan yang orangtua berikan kepada mereka. Seperti yang diungkapkan

oleh Santosa (1999), bahwa meski tampaknya pola asuh otoriter telah diterapkan

namun adanya pemberian alasan yang logis akan mengajarkan kepada anak bahwa

segala sesuatu mempunyai sebab dan batasan atau norma positif yang tidak boleh

dilanggar. Pada saat mereka menanjak remaja nantinya hal ini akan memudahkan

orangtua dalam mengajak mereka berdialog dan mengkomunikasikan segala

permasalahan.

Melihat hasil penelitian pada Skala Efektifitas Komunikasi Interpersonal

didapat mean empirik 113,09 dan mean hipotetik 95. Selain itu presentase efektifitas

komunikasi interpersonal subyek yang memperoleh skor sangat tinggi adalah 6,034

% (7 subyek); 71, 552 % (83 subyek) memperoleh skor tinggi dan 21,552 % (25

subyek) memperoleh skor sedang. Hal ini sebagian besar subyek (mahasiswa)

memiliki tingkat efektifitas komunikasi interpersonal yang tinggi yang ditinjau dari

pola asuh otoriter orangtua.

Dari temuan hasil penelitian menunjukkan efektifitas komunikasi

interpersonal subyek pada skor yang tinggi yang disebabkan persepsi anak terhadap

pengasuhan otoriter orangtua yang rendah hal tersebut di karenakan komunikasi

dalam keluarga mempunyai peranan penting bagi remaja untuk menyelesaikan

masalahnya. Menurut Indrijati (2001) pada diri remaja timbul kebutuhan yang kuat

untuk dapat berkomunikasi. Mereka tampak selalu ingin tahu, ingin mempunyai

banyak teman dan sebagainya, dalam hal ini keluarga merupakan lingkungan

terdekat, maka bisa dimengerti bila remaja membutuhkan kesempatan untuk dapat

31

berkomunikasi dengan orang yang mereka anggap lebih dewasa, yang pada umumnya

adalah orang tua mereka. Berkaitan dengan hal tersebut Sanusi dkk (Indrijati, 2001)

menyebutkan perlunya suasana yang akrab dengan anak, sehingga ia setiap saat akan

merasa bahwa orangtuanya selain menyayanginya juga selalu membantunya dalam

kesulitan, bahwa ia menghadapi orangtua yang berusaha memahaminya sehingga ia

mau berbicara terus terang dan terbuka membicarakan masalah dan kesulitannya.

Alibata (2002) menyatakan dari beberapa pola pengasuhan orangtua, tipe

authoritative merupakan yang ideal. Menurut Santosa (1999), jika remaja dididik

secara demokratis, hal ini akan menjadikan mereka mempunyai tempat berlindung

ketika mereka sedang mempunyai masalah (seberat apapun masalah yang mereka

hadapi mereka tidak akan lari ke minum – minuman keras, penyalahgunaan obat –

obatan dan hal – hal negatif lainnya). Anak yang dididik secara demokratis juga akan

mempunyai kepercayaan diri yang besar, mempunyai pengertian yang benar tentang

apa yang menjadi hak mereka, dapat mengkomunikasikan segala keinginannya secara

wajar, dan tidak memaksakan kehendak mereka dengan cara menindas hak – hak

orang lain.

Menurut Sianawati dkk (1992), dalam mendidik, orangtua yang menerapkan

cara otoriter menunjukkan sikap keras, menghukum dan mengancam sehingga anak

akan menjadi patuh kalau di hadapan orangtua, tetapi di belakang orangtuanya ia

akan memperlihatkan reaksi – reaksi menentang atau melawan karena anak merasa

dipaksa. Reaksi menentang dan melawan ini bisa ditampilkan anak dalam perilaku –

31

perilaku yang melanggar norma atau aturan sosialnya. Hal ini dapat menimbulkan

masalah dan kesulitan bagi diri anak sendiri maupun lingkungannya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka pola asuh otoriter

orangtua di identifikasikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi Efektiftas

komunikasi interpersonal pada anak dalam hal ini adalah mahasiswa. Hal tersebut

dapat dilihat melalui sumbangan efektif persepsi pola asuh otoriter ibu terhadap

efektifitas komunikasi interpersonal yang berada pada kisaran 14,5 % dan sumbangan

efektif persepsi pola asuh otoriter ayah terhadap efektifitas komunikasi interpersonal

yang berada pada kisaran 26,8 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola asuh

otoriter orangtua sebagian kecil dari faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas

komunikasi interpersonal.

Adanya perubahan cara hidup di zaman modern ini menimbulkan pula

perubahan peran dalam keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa pola

asuh ayah lebih berpengaruh daripada pola asuh ibu dalam beberapa aspek kehidupan

anak (Rohner dkk, 2001). Berbagai penelitian tersebut membuktikan bahwa anak-

anak yang ayahnya sangat terlibat dalam kehidupan mereka (dalam arti sering

memberikan dukungan terhadap anak untuk mampu mandiri) karena mencoba untuk

lebih memahami si anak, cenderung lebih berkompeten secara kognitif dan sosial,

lebih sadar akan kesetaraan gender, lebih mampu berempati dan menyesuaikan diri

(Rohner dkk, 2001). Hal yang sama tidaklah terjadi ketika ibu sangat terlibat pada

kehidupan anaknya, namun ayah tidak melakukan hal yang sama. Dari penjelasan

diatas, terdapat dua hal yang sangat dipengaruhi oleh pola asuh ayah, yaitu

31

kompetensi sosial dan kemampuan anak untuk berempati. Salah satu bentuk

kompetensi sosial adalah tinggi-rendahnya kemampuan seseorang untuk melakukan

komunikasi interpersonal. Kemampuan berempati juga merupakan salah satu

komponen pendukung dari komunikasi interpersonal. Jadi, tinggi rendahnya

kemampuan anak untuk melakukan komunikasi interpersonal lebih dipengaruhi oleh

pola asuh ayah daripada pola asuh ibu.

Hal ini selaras dengan pendapat Dagun (1997), dimana ia mengungkapkan

bahwa tidak diragukan lagi bahwa ayah itu berperan penting dalam perkembangan

anaknya secara langsung. Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa,

berbicara atau bercanda dengan anaknya. Semuanya itu akan sangat mempengaruhi

perkembangan anak selanjutnya. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan

aktivitas anak, misalnya menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya

dan situasi di luar rumah, ia memberikan dorongan, membiarkan anak mengenal lebih

banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan yang menarik,

dan lain – lain. Sobur (1991) menambahkan oleh sebab itu sebaiknya jangan sampai

terjadi jarak di antara ayah dengan anak – anaknya, berapapun usia anak – anak itu.

Sejak usia anak itu meningkat dari bayi sampai remaja, maka hendaklah ayah ikut

mengambil bagian dalam pembinaan watak anak, sekalipun semakin besar anak itu

semakin banyak pula kesulitan yang dihadapi anaknya.

Berdasarkan penelitian ini maka dapat dilihat adanya kelemahan dalam

penelitian yaitu hasil penelitian akan lebih optimal bila hasil penelitian tidak

hanya dari anak saja melainkan juga wawancara kedua orangtua dari subyek

31

sehingga dapat terungkap masalah yang lebih dalam dan apabila dalam

pengambilan data menggunakan skala berupa quesioner maka diharapkan dalam

pengisian skala tersebut ditunggu sampai subyek selesai menjawab karena

dikhawatirkan subyek dalam pengisian tidak jujur sehingga tidak sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya. Dalam penyebaran data sebaiknya subyek uji coba (try

out) sama dengan subyek penelitian, agar data yang diperoleh tidak jauh berbeda

hasilnya. Selain itu juga sebaiknya dalam penyusunan alat ukur didasarkan pada

indikator atribut yang lebih spesifik sehingga hasilnya lebih sesuai dengan

keadaan subyek.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter

ayah dengan efektifitas komunikasi interpersonal, yang dibuktikan dengan

sumbangan efektif pola asuh otoriter ayah terhadap efektifitas komunikasi

interpersonal pada mahasiswa sebesar 26,8%. Adapun sumbangan efektif pola asuh

otoriter ibu terhadap efektifitas komunikasi interpersonal pada mahasiswa sebesar

14,5%, sehingga semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah

efektifitas komunikasi interpersonal anak begitu juga sebaliknya semakin rendah pola

asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi efektifitas komunikasi interpersonal anak.

Jadi dapat dikatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua yang terbentuk berpengaruh

pada penerapan efektifitas komunikasi interpersonal pada anak (mahasiswa).

31

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti ingin

mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi subyek penelitian

Mengingat bahwa persepsi subyek terhadap pola asuh otoriter orangtua

termasuk dalam kategori rendah sehingga menghasilkan efektifitas komunikasi

interpersonal tinggi. Maka kondisi seperti ini perlu dipertahankan, dimana subyek

dalam hal ini anak (mahasiswa) harus bisa memahami sejauh mana peran

orangtua di dalam mendidik anak, tidak selamanya penerapan pengasuhan

orangtua itu salah. Sehingga bila adanya saling pengertian antara orangtua dengan

anak maka kondisi seperti itu dapat mendukung masing – masing peran anggota

keluarga.

2. Bagi orangtua

Bagi orangtua, temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat

menjadi masukan bagi perkembangan anak – anak mereka. Sebagai orangtua

disarankan untuk bisa menerima pemikiran dan pendapat dari anak – anak mereka

karena belum tentu apa yang baik menurut orangtua baik pula menurut anak.

Orangtua diharapkan untuk membuka diri dengan memberikan informasi,

memberi kesempatan pada anaknya untuk mengemukakan pendapat,

menyampaikan pesan tertentu dan memberikan kesempatan pada anaknya untuk

mengungkapkan perasaan terutama berkaitan dengan masalah yang dihadapi

remaja, sehingga remaja dapat membentuk sikap – sikap positif terhadap hal – hal

31

yang baik dan sikap negatif terhadap hal – hal yang buruk dalam dirinya yang

akan melandasi perilakunya.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tema yang sama, disarankan

untuk menggunakan teknik wawancara pada subyek penelitian sehingga dapat

terungkap masalah yang lebih dalam dan apabila dalam pengambilan data

menggunakan skala berupa quesioner maka diharapkan dalam pengisian skala

tersebut ditunggu sampai subyek selesai menjawab karena dikhawatirkan subyek

dalam pengisian tidak jujur sehingga tidak sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya. Dalam penyebaran data sebaiknya subyek uji coba (try out) sama

dengan subyek penelitian, agar data yang diperoleh tidak jauh berbeda hasilnya.

Selain itu juga sebaiknya dalam penyusunan alat ukur didasarkan pada indikator

atribut yang lebih spesifik sehingga hasilnya lebih sesuai dengan keadaan subyek.

31

DAFTAR PUSTAKA

__________. 2004. Membagi Waktu Komunikasi. Qorrotua’yun Newsletter.Edisi 07. Desember 2003/Januari 2004.

__________. 2005. 4 Tipe Orangtua. Empathy (majalah psikologi). Maret – April

2005. Ahmadi, A. 1979. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Bina Ilmu.

Alibata, A. Anak – anak Korban Pola Asuh Orangtua.http://www. Suarapembaharuan. com/ news/ 2002/04/ 07/ Psikologi/ Psi01. Htm. 3/4/2002.

Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologis. Edisi ke-1. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Bicanawati dkk. 1999. Pengaruh Keikutsertaan Pada Kegiatan Olahraga Terhadap

Kemampuan Melakukan Hubungan Interpersonal. Jurnal: Anima. Vol.14. No.54. Januari - Maret 1999.

Cangara, H. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Castellanos, S. 2005. The Effect of Interpersonal Communication Skills on Ratings of Talk Show Hosts Rosie O’Donnell and Oprah Winfrey. http://www. People wscu. Edu/mccarneyh/acad/castellanos. Html.

Coleman, J.C. dan Hammen, C. L. 1974. Contempory Psychology and Effective

Behavior. Brighton, England: Glenview illinois. Dagun, S.M. 1997. Psikologi Keluarga (Peranan Ayah Dalam Keluarga). Jakarta:

Rineka Cipta. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.

DeVito, J.A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Profesional Books.

DeVito, J.A. 2005. Efektifitas Komunikasi Interpersonal. http://public.ut.ac.id/html/suplemen/skom4101/page 18. html.

31

Dian. Komunikasi Dalam Keluarga, Awal Keberhasilan. http://www.bkkbn.go.id/hqweb/pikas/2002/artikel/120802.htm.

Effendy, O.U. 1981. Dimensi – dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni.

Effendy, O.U. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Feldman, R.S.1994.Essentials of Understanding Psychology. New York: McGraw – Hill,inc.

Frazier, Barbara. M.S.W. Parenting Styless: AssessingYour Parenting Style.

http:/www.thesuccesfullparent.com/articles/styles.htm.14/04/05. Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.D. 2003. Psikologi Anak dan Remaja. Jakarta: BPK

Gunung Mulia. Hadi, S. 1996. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hamidah. 2002. Perbedaan Kepekaan Sosial Ditinjau Berdasarkan Persepsi Remaja

Terhadap Pola Asuh Orangtua pada Remaja di Jawa Timur. Jurnal: Insan. Vol.4. No.3.132 – 160.

Hantoro, Y.N. 2004. Jangan Terlalu Bangga Dengan IP Tinggi.

http://groups.or.id/pipermail/omepgt/2004 – October/000250.html. Hurlock, E.B.1973. Adolescent Development. Tokyo: McGraw – Hill.

Hurlock, E.B. 1993. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Indrawati, T. 1995. Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta: CV. Rajawali.

Indrijati, H. 2001. Hubungan Antara Kualitas Komunikasi Remaja dan Orangtua dengan Sikap Remaja Terhadap Hubungan Seksual Pranikah. Jurnal: Insan. Vol.3.No.1.

Juriana. 2000. Kesesuaian Antara Konsep Diri Nyata Dan Ideal Dengan Kemampuan

Manajemen Diri Pada Mahasiswa Pelaku Organisasi. Jurnal : Psikologika Nomor 9 Tahun V 2000.

Laily, N dan Matulessy, A. 2004. Pola Komunikasi Masalah Seksual Antara

Orangtua dan Anak. Jurnal: Anima. Vol. 19. No. 2. 194 – 205. Liliweri. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

31

Lindgen, H.C and Byrne, D. 1975. An Introduction to A Behavioral Science Fourth Edition. New York/ London/ Sydney/ Toronto: John Wiley & Sons, inc.

Mahmud, M.D. 1990. Psikologi Pendidikan (suatu pengantar). Yogyakarta: Andi

Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Marwati. 2001. Kepercayaan Diri dan Kecemasan dalam Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Tahun Awal Fakultas Psikologi UAD Yogyakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Mulyana, D. 2001. Konteks- konteks Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, D. 2004. Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Picken, J. 2003. Men and women in The Use of Media for Interpersonal Communication. http://www. Aber. Ac. Uk/media/students/jlp0201. doc.

Rakhmat, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rohner dkk. 2001. The Importence of Father Love History and Contempory Evidence. http://academic. uofs. edu/student/sitoskis/father love. html. 04/11/2005/

Santosa, J. 1999. Peran Orangtua dalam Mengajarkan Asertivitas pada Remaja.

Jurnal: Anima. Vol.15. No. 1. 83 – 91. Santrock, J.W. 2003. Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Sianawati dkk. 1992. Taraf Perkembangan Moral Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orangtua. Jurnal: Anima. Vol. VII. No. 27, April – Juni 1992.

Sinambela, F.C. 2004. Seputar Kampus (Kemampuan Komunikasi).

http://www.petra.ac.id/dwipekan/content.php?Topic=seputar&ID=6. Sobur,A. 1991. Komunikasi Orangtua dan Anak. Bandung : Angkasa. Steede, K. 2003. 10 Kesalahan yang Sering Dilakukan Orangtua dan Bagaimana

Menghindarinya. Jakarta: Pustaka Tangga. Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius.

31

Timomor, A. 1998. Kecendrungan Otoriter Pola Asuh Orangtua, Konflik Keluarga dan Kecendrungan Agresivitas Remaja. Tesis (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Walgito, B. 1991. Psikologi Sosial (suatu pengantar). Yogyakarta: Andi.

Widiyati, W. 2001. Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dengan Alienasi Diri pada Remaja. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Yulica. 2005. Hubungan Antara Empati dengan Komunikasi Interpersonal pada Remaja. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.