Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
TKILN DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA DI
NEGARA PENERIMA
Holyness N. Singadimedja
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Jl. Dipatiukur No. 35 Bandung
Mobile phone: 85320897233; E-mail: [email protected]
Abstrak:Mekanisme penyelesaian perselisihan antara tenaga kerja di luar negeri dengan agen
atau majikan (pengguna tenaga kerja) dalam perundang-undangan nasional Indonesia belum
jelas diatur, UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri menekankan pada penyelesaian perselisihan dengan cara
kekeluargaan – melalui konsensus dan cara informal – walaupun penyelesaian ini tidaklah
tepat ketika ada pelanggaran hukum yang termasuk tindak kejahatan. Fakta bahwa tidak ada
satu perselisihan pun yang diselesaikan pada pengadilan Indonesia menjadi pertanyaan
apakah berarti perselisihan tenaga kerja di luar negeri tidak memiliki yurisdiksi atas
perselisihan pada peradilan di Indonesia khususnya melalui UU No. 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di Filipina tenaga kerja di luar negeri baik
legal dan ilegal memiliki akses ke pengadilan ketenagakerjaan Nasional Filipina, yang disebut
National Labor Relations Commission (Komisi Hubungan Ketenagakerjaan Nasional). Dimana
pihak pengguna tenaga kerja dapat dijadikan salah satu pihak yang bersengketa yang diwakili
agen penyalur tenaga kerja melalui perjanjian kerja yang dibuat. Tujuan dari penulisan ini
adalah agar dapat menemukan model lembaga penyelesaian perselisihan TKILN dengan
pengguna tenaga kerja di luar negeri.
Kata Kunci : Lembaga Perselisihan PPHI, Pelaksanaan Perjanjian Kerja, Perlindungan
TKILN
PENDAHULUAN
Pada negara manapun tidak terkecuali Indonesia, hak atas pekerjaan merupakan hak
asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati, hal ini diatur
secara tegas dalam Undang-undang Dasar 1945, sebagaimana tercermin dalam tercermin dalam
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap
Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkan
banyaknya warga negara Indonesia / TKI mencari pekerjaan di luar negeri. Besarnya animo
tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di
luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran
di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI.
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 mengandung dua
makna sekaligus, yaitu memberi “hak” kepada warga negara untuk memperoleh salah satu hak
dasar manusia yaitu pekerjaan dan membebani “kewajiban” kepada negara untuk memenuhinya.
Dengan kata wajib, maka negara tidak dapat menghindarinya meskipun tidak cukup sumber
daya dan sumber dana di dalam negeri, serta harus mencari sumber-sumber tersebut sampai ke
luar negeri. Sementara itu, selain berhak memperoleh pekerjaan, Pasal 38 ayat (2) Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lebih menegaskan lagi bahwa warga
negara juga berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya, oleh karena itu, warga
negara tidak dapat dilarang untuk bekerja dimana saja, termasuk di luar negeri.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 408/432
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan
utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat sehingga
membawa dampak timbulnya persaingan dalam totalitas kehidupan. Kenyataan yang sangat
kompetitif ini menuntut semua orang untuk menyesuaikan diri dengan pola dan dinamika
tuntutan kehidupan,sehingga masyarakat merasa perlu untuk merespon dengan cara yang cepat
dan fleksibel, karena Negara Indonesia belum dianggap mampu memberikan kehidupan dan
pekerjaan yang layak kepada setiap warga negaranya, maka pilihannya adalah mencari suasana
yang lebih mudah untuk dapat memperoleh penghasilan agar mereka mampu mengikuti pola dan
dinamika kehidupan tersebut. Dalam hal ini mencari pekerjaan di negara lain dianggap lebih
mampu mengubah keadaan ekonomi dan kehidupannya kepada kehidupan yang lebih baik.1
Negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela
dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.2
Dalam prakteknya perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang
memiliki masalah dalam pelaksanaan perjanjian kerjanya tidak memiliki mekanisme yang jelas
yang diatur dalam perundangan-undangan. Bab VII Pasal 85 Undang-Undang No. 39 tahun 2004
tentang Penenpatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri hanya menyatakan
penyelesaian perselisihan melalui penyelesaian secara damai dengan cara bermusyawarah tanpa
ada penjelasan dan aturan yang lebih rinci mengenai proses / mekanisme penyelesaian secara
damai dan musyawarah tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas menjadi masalah yang penting untuk di bahas dalam
tulisan ini Bagaimanakah Kewenangan PHI terhadap Perselisihan perjanjian kerja antara Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan Pihak Pengguna ? Bagaimana Pengaturan perselisihan
Tenaga Kerja Luar Negeri Filipina dengan Pihak Pengguna, dapatkah dijadikan sebagai model
dalam penyelesaian perselisihan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
METODE PENELITIAN
Metode penulisan ini bersifat deskriptif-komparatif-analitis 3 yaitu penelitian dengan
melakukan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan bagi tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Penelitian ini juga merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif karena bertitik
tolak dari paradigm fenomenologis yang objektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi
tertentu yang dalami oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan tujuan
penelitiannya yaitu berupa memahami situasi tertentu.4 Sumber data yang digunakan terutama
data sekunder baik berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, ditunjang dengan data
primer.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Lembaga penegakan hukum di Indonesia disebut pengadilan atau badan peradilan. Alat
perlengkapan negara yang diberi tugas mempertahankan tetap tegaknya hukum nasional disebut
pengadilan atau lembaga peradilan. Menjalankan peradilan dengan seadil-adilnya merupakan
tugas pengadilan. Menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya adalah tugas pokok badan-badan peradilan. Benteng terakhir untuk
1 Fathor Rahman, Menghakimi TKI Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI, Pensil-324, Jakarta, 2011, hlm.1 2 Tina Suprhatin, Hak Atas Kesehatan Sebagai Bagian Perjuangan Sosial-Ekonomi Buruh Migran Indonesia, dalam
Fathor Rahman, op.cit, hlm. 130 3 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm.12 4 Conny R. Semiawan, kata sambutan pada buku Metodologi Penelitian Kualitatif karangan Moleong
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 409/432
mencari keadilan dan sebagai pelaksana cita-cita negara hukum merupakan peranan lembaga
peradilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi: “Indonesia adalah negara hukum”, oleh sebab itu, prinsip peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan.5
Pasal 24 UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman “… dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menjadi
ketentuan dasar bagi pengaturan lembaga peradilan di Indonesia.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), merupakan Pengadilan Khusus yang berada pada
lingkungan Peradilan Umum, dan untuk pertama sekali dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi provinsi
yang bersangkutan.6 Hukum acara yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial adalah hukum acara perdata umum yang berlaku dalam persidangan perkara perdata
yakni HIR dan RBg, kecuali terhadap sesuatu hal yang diatur khusus di dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial7maka yang berlaku
adalah ketentuan khusus tersebut sesuai asas “lex specialis derogate lex generalis”.
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan maupun di
dalam Pengadilan Hubungan Industrial.Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan merupakan penyelesaian wajib yang harus ditempuh para pihak sebelum para pihak
menempuh penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan di
luar pengadilan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
UU No. 2 Tahun 2004, menetapkan 4(empat) jenis perselisihan yaitu:
1. Perselisihan Hak;
2. Perselisihan Kepentingan;
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; dan
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam 1(satu) perusahaan.
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara
kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum
ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun
peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh
pemutusan hubungan kerja. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan
pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha,
berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut.
Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk
mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang disebabkan oleh :
1. Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan;
2. Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan
normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, pertauran perusaahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan;
5 Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 6Pasal 59 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 7 Pasal 57
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 410/432
3. Pengakhiran hubungan kerja; perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaanmengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan. Setiap
perselisihan yang terjadi di suatu perusahaan, wajib diselesaikan secara bipartit antara
pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau dengan serikat pekerja/serikat buruh.
Bila upaya penyelesaian secara bipartiti tidak berhasil, maka salah satu atau kedua pihak
yang berselisih mencatatkan kasus perselisihannya kepada Instansi yang bertanggung jawab
dibidang Ketenagakerjaan setempat dilengkapi dengan bukti-bukti upaya penyelesaian secara
bipartit yang telah dilakukan, kemudian dapat menyelesaikan melalu jalur mediasi, konsiliasi
atau arbitrase yang diakhiri upaya hukum pada peradilan penyelesaian hubunga industrial.
Hal ini seperti juga pengaturan dalam Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU No. 39 tahun 2004
bahwa penyelesaian perselisihan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diselesaikan secara damai
dan musyawarah namun jika tidak berhasil maka penyelesaian difasilitasi oleh instansi yang
bertanggun jawab di bidang ketenagakerjaan, namun UU No. 39 tahun 2004 tidak menjelaskan
bagaimana proses penyelesaian secara damai dan musyawarah yang dimaksud serta sejauhmana
peran instansi yg bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan dalam menyelesaiak perselisihan
apakah seperti mediator ketenagakerjaan seperti dalam UU No. 2 tahun 2004.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-
wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
karena bertujuan ketertiban masyarakat.8
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum
adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat
atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau
ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Pada pelaksanaan atau penegakan hukum
harus adil, karena hukum tidak identik dengan keadilan. John Rawls berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi (social institusi), akan tetapi,
menurutnya keadilan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengenyampingkan atau mengganggu
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat
lemah.9
Sehubungan dengan pendapat John Rawls di atas, maka kebajikan utama kehadiran
Pengadilan Hubungan Industrial sebagai social institution adalah dapat memberi keadilan bagi
seluruh masyarakat, khususnya bagi masyarakat buruh yang posisinya adalah lemah. Pengaturan
hukum mengenai lembaga penyelesaian perselisihan antara tenaga kerja Indonesia di luar negeri
dengan agen dan atau pengguna di luar negeri dalam pelaksanaan perjanjian kerja sudah
selayaknya diatur dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan khusus. Perselisihan yang
selama ini timbul antara mereka dapat diklasifikasikan sebagai perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 2
tahun 2004, sehingga ketentuan kedua UU tersebut dapat pula menjadi upaya hukum bagi
perselisihan tenaga kerja Indonesia di Luar negeri dan penggunanya.
Ketentuan penyelesaian perselisihan dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak menunjuk badan peradilan mana
yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan sehingga upaya hukum yang dapat dilakukan
tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang mendapatkan permasalahan dalam perjanjian kerjanya
diselesaikan secara nonlegislasi, sesuai ketentuan Pasal 85 UU No. 39 tahun 2004, PHI dalam
UU No. 2 tahun 2004 sebagai badan legislasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan kerja
antara pekerja dan pengusaha / majikan tidak memiliki kewenangan / kompetensi untuk 8 Sudikno Mertokusumo, Suatu Pengantar Megenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 160-161 9 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia, (Ikatan Peneliti Hukum
Indonesia, 2013), diakses 2 Oktober 2017, /teori- keadilan-johnrawls-dan-relevansi.html)
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 411/432
menyelesaikan perselisihan dalam UU No. 39 tahun 2004 ; dengan demikian penyelesaian
perselisihan tentang perjanjian kerja tunduk kepada Peradilan Umum yang diselesaikan melalui
hukum acara perdata.
B. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa ketenegakerjaan adalah segala hal ihwal menyangkut tenaga kerja baik
sebelum, pada saat dan sesudah melakukan pekerjaan. Aspek hukum ketenagakerjaan, harus
selaras dengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini yang sudah sedemikian pesat, sehingga
substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja kerja semata, akan
tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang
substansi kajian tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja (during
employment), tetapi setelah hubungan kerja (post employment). Konsepsi ketenagakerjaan inilah
yang dijadikan acuan untuk mengkaji perangkat hukum yang ada sekarang, apakah sudah
meliputi bidang-bidang tersebut atau belum.
Undang-undang yang mengatur penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar
negeri adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Pada konsideran menimbang huruf c,
d dan e, disebutkan bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek
perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-
wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang melanggar hak
azasi manusia. Negara wajib menjamin dan melindungi hak azasi warga negaranya yang bekerja
baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan
sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia.
Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat,
martabat, hak azasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau dahulu dikenal dengan nama Perusahaan Jasa Tenaga
Kerja Indonesia (PJTKI) selama ini punya peran penting terkait dengan keberadaan TKI.
PPTKIS tidak hanya mencari dan merekrut calon TKI, tapi juga membekali sampai calon TKI
siap untuk diberangkatkan ke luar negeri PPTKIS pun harus bertanggung jawab terkait
perlindungan TKI.10
Sayangnya, banyak pihak yang kerap menilai PPTKIS tak mampu melaksanakan peran
itu. Akibatnya, banyak TKI yang tersangkut masalah, namun tak jelas penuntasannya. Hal ini
diperparah dengan lemahnya pengawasan pemerintah. TKI yang hendak bekerja ke luar negeri
sebelum diberangkatkan diwajibkan untuk membuat dan menandatangani suatu perjanjian
dengan PPTKIS selaku agen penyalur. Surat perjanjian tersebut dikenal dengan nama
“Perjanjian Penempatan Kerja Antar Negara”, selain agar kedua belah pihak dapat mengetahui
hak dan kewajiban masing-masing, tujuan utama dibuatnya perjanjian penempatan adalah untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah—dalam hal ini TKI—dari
perlakuan pihak yang kuat (pengguna jasa).11Konsep dan unsur Perjanjian Perjanjian menurut
Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berbunyi : ―Suatu Perjanjian
10Meita Djohan Oelangan, Implementasi Perjanjian Kerja Dalam Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar
Negeri, Jurnal Pranata Hukum, Volume 9 Nomor 1 Januari 2014 11 idem
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 412/432
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:
a. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,
b. tidak tampak azas konsensualisime, dan
c. bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja.
Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas
pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut
perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum" Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang di berikan pasal 1313
KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian
tersebut dari sudut pandang mereka masing-masing.
Pengertian perjanjian menurut para sarjana antara lain: Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.12
Sedangkan menurut R. Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. 13 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Apakah pengertian istilah perjanjian sama dengan pengertian istilah
kontrak menurut Subekti perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian
atau persetujuan yang tertulis.
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat unsur yang meliputi subyek dan obyek perjanjian. Keempat syarat sahnya perjanjian
tersebut adalah:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan syarat kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut
orang atau para pihak, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat disebut sebagai syarat
objektif karena menyangkut objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat
dapat dibatalkannya sebuah perjanjian oleh salah satu pihak artinya sekalipun perjanjian telah
ditandatangani maka salah satu pihak yang merasa keberatan atas proses perjanjian itu dapat
mengajukan pembatalan isi perjanjian ke Pengadilan, sedangkan apabila syarat objektif tidak
terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya isi perjanjian itu tidak membawa
akibat apapun terhadap kedua belah pihak karena secara hukum perjanjian itu dianggap tidak
pernah ada.14Di dalam hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian menjadi
perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama, yang dinamakan perjanjian bernama adalah
perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata mulai dari Bab V sampai Bab XVIII.
Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata
(atau sering disebut perjanjian khusus), tetapi yang terpenting adalah sejauh mana kita dapat
12 Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986. 13 R. Subekti,Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2010 14 Gios Adhyaksa, Penerapan Asas Perlindungan Yang Seimbang Menurut Kuhperdata Dalam Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Unifikasi, ISSN 2354-5976 Vol. 3 No. 2 Juli 2016
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 413/432
mennetukan unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa mengelompokkan
suatu perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1234 tentang jenis perikatan.
Terdapat 3 unsur dalam perjanjian, yaitu :
a. Unsur Essensialia. Menurut J. Satrio,15 unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu
harus ada dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, yang tanpa adanya unsur tersebut perjanjian
tidak mungkin ada. Kausa yang halal merupakan unsur essensialia untuk adanya perjanjian.
Pembicaraan tentang unsur essensialia terhadap adanya perjanjian dalam uraian di atas adalah
pembicaraan perjanjian dalam pengertian pada umumnya, yang bisa berlaku terhadap perjanjian
khusus (bernama) maupun perjanjian tidak bernama secara umum. Dengan mendasarkan
pemahaman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata maka unsur essensialia yang menjadikan
adanya perjanjian secara umum adalah: sepakat para pihak baik sepakat itu sah atau tidak sah;
adanya para pihak baik cakap atau tidak cakap; obyek prestasi yang tertentu atau dapat
ditentukan; kausa yang halal, yang kesemuanya merupakan sekelompok unsur essensialia yang
harus ada secara komulatif. Selanjutnya J. Satrio menjelaskan bahwa pada perjanjian riil, syarat
penyerahan obyek prestasi perjanjian merupakan essensialia; sama seperti bentuk tertentu
merupakan essensialia dari perjanjian formil; demikian pula harga dan barang merupakan unsur
essensialia dari perjanjian jual beli. Berdasarkan penjelasan diatas dapatlah di deskripsikan
bahwa essensialia suatu perjanjian secara umum akan membedakan terhadap suatu perbuatan itu
sebagai suatu perjanjian atau bukan; sedangkan essensialia suatu perjanjian tertentu akan
membedakan terhadap keberadaan antara perjanjian khusus tertentu dengan perjanjian tertentu
yang lain. Pada umumnya, meskipun tidak dinyatakan secara tegas, unsur essensialia seperti
tersebut di atur dalam Buku III KUH Perdata melalui pengaturan yang bersifat memaksa
(dwigend recth) yang dapat dikenali dengan ciri, apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi akan
berakibat batal demi hukum atas perjanjian yang bersangkutan.
b. Unsur Naturalia. Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang undang diatur
tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau diganti. Unsur ini sebenarnya merupakan
bagian- bagian isi perjanjian yang secara umum patut, dan adil bagi para pihak karena
merupakan konsekuensi logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang
pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian sebagaimana logisnya. Unsur
naturalia ini oleh undangundang diatur dengan hukum yang bersifat mengatur atau menambah
(regelend rech atau aanvullend rech).
c. Unsur Accidentalia. Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para
pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut. Semua janji-janji dalam suatu
perjanjian yang sengaja dibuat untuk menyimpangi ketentuan hukum yang menambah
merupakan unsur accidentalia. Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas
bila dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang umumnya telah
mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui ketentuan yang bersifat menambah.
Meskipun demikian kadang-kadang terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa
mengaturnya sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri. Dengan
demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang dibuat oleh para pihak karena
undang-undang (yang bersifat menambah) tidak mengaturnya atau berupajanji-janji yang dibuat
para pihak dalam hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut.
Implementasi Perjanjian Kerja Dalam Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar
Negeri Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negari dilakukan oleh pemerintah dan pihak
swasta. Hal tersebut sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyatakan bahwa 15 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 414/432
―pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari Pemerintah dan Pelaksanaan
Penempatan TKI Swasta.
Kedudukan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai pihak yang lemah dan tidak
mengerti aturan hukum khususnya dalam menyelesaikan perselisihan kerja mengakibatkan
mereka tidak dapat mengakses keadilan untuk mendapatkan hak-haknya. Pelaksanaan perjanjian
kerja antara tenaga kerja Indonesia di luar negeri dengan pihak agen dan pengguna
di luar negeri tidak dilengkapi dengan kerangka hukum yang lengkap pada perundangan
ketenagakerjaan nasional. Pasal 85 ayat (1) dan (2) tidak dapat dilaksanakan dengan mudah oleh
mereka karena tidak memberikan mekanisme yang jelas bagaimana prosedur penyelesaian
perselisihan yang dapat mereka tempuh. Tidak terpenuhinya syarat subjektif dan objektif dalam
perjanjian kerja dan perjanjian penempatan seharusnya dapat dilakukan upaya hukum sesuai
ketentuan dalam hukum perdata namun dalam pelaksanaanya akses peradilan pada lembaga
peradilan umum dalam pelaksanaan perjanjian kerja tersebut tidak pernah diselesaikan melalui
lembaga peradilan.
C. Konsep Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Filipina di Luar Negeri
Filipina melindungi tenaga kerja di luar negerinya dengan payung hukum yang kuat.
Melalui Omnibus Rules and Regulations Implementing The Migrant Workers and Overseas
Filipinos Act of 1995 atau yang biasa disebut Republic Act No. 8042. Sebagai undang-undang,
kebijakan ini lahir dari proses legislasi yang partisipatif. Melalui konsultasi dan perdebatan yang
adil di parlemen. Kebijakan nasional ini juga didukung langkah pemerintah Filipina yang
meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers
and Members of their Families pada Juli 1995.16 Sedangkan di Indonesia, sebelum UU No. 39
Tahun 2004 tentang PPTKILN terbentuk, kebijakan teknis tertinggi hanya berupa Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Departemen Dalam Negeri Filipina yang dikenal dengan DOLE (Departemen of Labour
and Employment) turut memberikan perlindungan dengan kerjasama departemen lainnya17. Di
Filipina hanya ada 3 lembaga yang memiliki peranan penting bagi pengurusan tenaga kerjanya,
yaitu DOLE, POEA dan OWWA. Jika dibandingkan dengan Indonesia, banyak sekali sektoral
departemen yang terlibat di dalam kepengurusan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Namun,
tidak ada rincian tegas dan jelas akan tugas tiap instansi dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang
PPTKILN. POEA (Philipinne Overseas Employment Administration) berdiri sejak Tahun 1982
yang berada di bawah Dewan Pengawasan, lembaga ini berperan penting dalam perlindungan
tenaga kerja mereka agar tidak dieksploitasi para majikan atau perusahaan pengerah jasa tenaga
kerja (PJTK) di negara manapun mereka berada.18 POEA juga rajin mengkampanyekan sikap
hati-hati terhadap PJTK melalui Anti Ilegal Recruitment Campaign. Hampir setiap tiga bulan
sekali POEA mengeluarkan sertifikasi PJTKI yang memenuhi persyaratan, termasuk yang
dilarang karena melakukan pelanggaran atau penipuan terhadap tenaga kerjanya. Salah satu
16http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=37257, diakses pada tanggal 2 Oktober 2017, pukul 11.15
WIB 17 Tri Nuke Pudjiastuti, Kebijakan Tenaga Kerja MIgran di Negara-Negara ASEAN dalam buku Ed. Awani Irewati,
Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Masalah TKI Ilegal di Negara-Negara ASEAN, P2P LIPI :
Jakarta, 2003, hlm. 21 18Toni Abdul Wahid, Auditor Perburuhan di Perusahaan Retail Amerika, Soal Tenaga Kerja Migran, Belajarlah
dari Filipina, di Koran KOMPAS, 29 Agustus 2002 dalam Jurnal Situasi dan Arah Kependudukan
Indonesia, Bidang Penelitian dan Informasi Kependudukan Lembaga Demografi FEUI, tahun XIII, JUli-
Agustus 2002, UI Depok, 2002, hlm. 14.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 415/432
tugas dasar POEA adalah perlindungan hak-hak tenaga kerja di luar negeri. Ongkos yang
dikeluarkan oleh calon tenaga kerja dibuat secara transparan dan dapat diketahui di tiap kantor
PJTK atau POEA.19
Filipina Overseas Employment Administration (POEA) dibentuk untuk menggantikan
Badan Pengembangan Ketenagakerjaan di Luar Negeri (the Overseas Employment Development
Board (OEDB)) dan Badan Pelaut Nasional (the National Seamen Board (NSB)) yang mengatur
aktifitas agen perekrutan swasta dan memastikan bahwa hanya pekerja yang berkualitas yang
ditempatkan dan juga memastikan bahwa para pekerja mendapatkan situasi dan kondisi terbaik
dalam pekerjaan. Lebih lanjut, pada tahun 1995, Kongres Filipina memberlakukan Undang-
Undang Tenaga kerja di luar negeri dan Warga Filipina di Luar Negeri (the Migrant Workers
and Overseas Filipino/Act of 1995) untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran, dengan
menaikkan standar perlindungan dan kesejahteraan tidak hanya bagi pekerja migran Filipina dan
keluarga mereka, tetapi secara umum juga bagi warga Negara Filipina di luar negeri .
Di Filipina, struktur utama untuk mengatur migrasi tenaga kerja dan kegiatan lembaga
rekrutmen swasta adalah POEA. POEA merupakan otoritas tunggal dan eksklusif untuk
perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk penempatan sistematis pekerja
Filipina di luar negeri. POEA diketuai oleh Administrator, dibantu oleh tiga deputi
administrator. Dewan Pemerintahan POEA diketuai oleh Sekretaris Perburuhan dan anggotanya
adalah perwakilan dari berbagai instansi pemerintah dengan fungsi yang relevan dengan isu
pekerjaan di luar negeri dan Administrator POEA. Administrator lebih lanjut dibantu oleh dua
dewan penasehat untuk layanan darat dan layanan laut, yang keduanya memiliki anggota yang
mewakili sektor swasta.
Fungsi operasional POEA meliputi pengembangan pasar dan layanan prakerja, bantuan
kesejahteraan, perizinan dan kebijakan bagi agen perekrutan swasta; dan ajudikasi sengketa yang
melibatkan pelanggaran peraturan tentang perekrutan dan kondisi kerja. Masing-masing fungsi
operasional adalah dipimpin oleh seorang Direktur. POEA juga memiliki wewenang eksklusif
untuk mengatur kegiatan ageni perekrutan swasta dan melakukan hearing untuk kasus-kasus
yang diajukan terhadap agen-agen ini, khususnya kasus-kasus yang berhubungan dengan
pelanggaran undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan perekrutan dan penempatan
tenaga kerja.
Selain POEA, ada badan kesejahteraan yaitu OWWA (Overseas Workers Welfare
Administration), harus menangani pemulangan pekerja migrant jika terjadi perang, wabah
penyakit, bencana alam, berbagai malapetaka, baik yang dialami maupun yang dibentuk oleh
manusia dan hal lainya dengan disertai tanggung jawab dari agensi. Semua biaya pemulangan
ditanggung oleh OWWA.20
Sebuah perbedaan utama antara POEA dan BNP2TKI adalah bahwa POEA adalah
sebuah badan tripartit; komposisi Dewan ini tidak hanya meliputi pejabat pemerintah namun
juga perwakilan dari serikat pekerja dan agen penyalur jasa swasta. Dewan Pusat POEA
menyelenggarakan dialog rutin dengan masyarakat sipil dan program-program pendidikan
komunitas dan perlindungan yang diberikan melengkapi kerja Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). POEA juga didukung oleh badan pemerintah lain yang disebut Pengelolaan
Kesejahteraan Pekerja di Luar Negeri (Overseas Workers Welfare Administration, OWWA).
OWWA adalah sebuah quasi-tribunal, yang mandatnya menjalankan kontrak dan menjadi 19 Ibid 20 Sesuai penjelasan Republik Act 8042 di bagian 15. Dalam UU tenaga kerja di Filipina juga diatur bahwa DOLE,
POEA dan OWWA dalam waktu 90 hari dari berjalannya Republic Act ini harus memformulasikan
sebuah program yang akan memotivasi tenaga kerja untuk merencanakan pilihan produktif seperti
memasuki pekerjaan teknis atau perbuatan usaha, kehidupan dan pengembangan kewirausahaan, upah
pekerjaan yang lebih baik dan tabungan investasi
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 416/419
hakim atas kasus perselisihan. Adapun lembaga sebagai bagian dari mekanisme perlindungan
tenaga kerja di luar negeri adalah Kantor Tenaga Kerja Filipina di Luar Negeri (the Philippine
Overseas Labour Offices/POLOs). POLOs adalah kantor ketenagakerjaan yang ada di negara
penerima yang secara struktural ada di bawah Departemen Perburuhan dan Ketenagakerjaan.
Setiap POLOs dikelola oleh Atase Ketenagakerjaan dibantu sejumlah asisten atase
ketenagakerjaan dan petugas teknis atase kesejahteraan. POLOs diperlukan untuk
mempromosikan tenaga kerja Filipina di negara tujuan penempatan dan untuk memberikan
bantuan kesejahteraan bagi para pekerja Filipina termasuk negosiasi dalam penyelesaian
sengketa dengan pengusaha asing/majikan. Mereka juga membantu POEA dalam pendaftaran
perusahaan asing dan majikan melalui verifikasi dokumen majikan dan dokumen perusahaan.
Sejalan dengan pendekatan tim-satu-negara (the one-country-team approach), POLOs berada di
bawah pengawasan administrasi kedutaan besar Filipina di negara-negara di mana mereka
berada.
Di negara-negara tuan rumah dengan konsentrasi tinggi pekerja Filipina, Departemen
Perburuhan dan Ketenagakerjaan juga mendirikan Resource Centre bagi pekerja Filipina
(Filipino Worker’s/FWRC). FWRCs bertugas untuk memberikan bantuan kesejahteraan,
pelayanan konseling dan hukum, pendaftaran pekerja yang tidak berdokumen, juga memberikan
informasi dan sebagai tempat para pekerja Filipina untuk berinteraksi sosial. FWRCs berada di
dalam kedutaan besar Filipina dan diawasi oleh atase ketenagakerjaan Filipina.
Hambatan untuk melakukan pengawasan di Indonesia adalah bahwa banyak PPTKIS
dimiliki sepenuhnya atau sebagian oleh pejabat yang sama dengan pejabat yang bertugas untuk
mengaturnya. Di Filipina, UU Pekerja Migran dan Bangsa Filipina di Luar Negeri menyatakan
bahwa “akan menjadi tidak legal bagi pejabat atau karyawan Departemen Buruh dan Tenaga
Kerja, Pengelolaan Ketenagakerjaan Luar Negeri Filipina (POEA), atau Pengelolaan
Kesejahteraan Pekerja di Luar Negeri (OWWA), atau Departemen Luar Negeri, atau badan
pemerintahan lainnya dalam penerapan UU ini, atau keluarga mereka dalam empat tingkat
hubungan kekerabatan, untuk terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam usaha merekrut
pekerja migran” (Pasal 8). UU tersebut juga mencakup hukuman bagi pelanggaran yang
dilakukan, oleh karena itu, UU Filipina mencegah orang-orang yang memiliki konflik
kepentingan untuk terlibat dalam proses rekrutmen dan penempatan terhadap Tenaga Kerja di
luar negeri. Berikut skema pembagian wewenang pemerintah Filipina dalam pengaturan tenaga
kerja di luar negeri :
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 417/432
Tabel 1
Pembagian Wewenang Pemerintah dan Instansi yang Bertanggung jawab Terhadap
Tenaga Kerja Filipina
Sumber : ILO, Penerapan Perundangan Indonesia untuk Melindungi dan Memberdayakan Pekerja Migran
Indonesia : Beberapa Pelajaran dari Filipina, Makalah menggalang Aksi Untuk Perlindungan PRT dari Kerja
Paksa dan Perdagangan di Asia Tenggara, 2006
Hak hukum tenaga kerja Indonesia hanya memberikan sedikit perlindungan karena
sebagian besar hak sulit untuk ditegakkan, kelemahan untuk mengidentifikasi pihak yang
bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak tertentu, dan tidak menggambarkan secara
jelas antara kewajiban instansi pemerintah dan agen tenaga kerja. Hak-hak hukum tersebut juga
tidak menetapkan mekanisme penegakan hukum. Dalam UU No. 39 Tahun 2004 tidak
menetapkan metode yang memungkinkan seorang pekerja bisa mengajukan keluhan jika tidak
diperlakukan setara, atau tidak menerima upah yang telah ditetapkan, atau tidak menerima
salinan kontrak. Hak tersebut juga tidak memberikan mekanisme untuk mengajukan keluhan
atau memperoleh pemecahan jika pejabat pemerintah tidak melakukan pemeriksaan yang
disyaratkan, atau jika perjanjian penempatan tidak mencantumkan hak-hak pekerja yang
diperlukan.
Pada prakteknya, hak yang ditetapkan dalam perjanjian kerja meliputi hak terhadap
upah tertentu, terhadap jenis pekerjaan tertentu, terhadap cuti libur, dan rincian hubungan
lainnya dengan majikan. Hak yang ditetapkan dalam perjanjian penempatan meliputi jaminan
penempatan jika biaya telah dibayar (atau uangnya dikembalikan), dan pemberian kompensasi
oleh agen tenaga kerja jika majikan tidak membayar upah yang telah disepakati atau tidak sesuai
dengan persyaratan lainnya dari perjanjian penempatan dan perjanjian kerja.
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 418/432
UU Pekerja Migran dan Bangsa Filipina di
Luar Negeri / Migran Workers and Overseas
Filipinas Act 1995 / UU Republik No. 8042
Departemen Buruh dan Tenaga Kerja
Filipina :
- Mengawasi penerapan hukum Luar negeri;
- menyediakan bantuan hukum dan
- menangani perawatan kesehatan
Departemen Luar Negeri :
Tugas :
- menangani kepulangan TKLN,
-melaksanakan advocasi diplomatik
Sekretaris Departemen Buruh dan Tenaga Kerja
Filipina (POEA) , memimpin dewan pusat
pengelolaan ketenagakerjaan LN Filipina, Badan
Pemerintah yg independent dengan mandate yg luas
dlm mendorong dan mengawasi TKLN (merupakan
badan Tripartit : Pemerintah, SP & Agen)
OWWA (badan pemerintah lain
yg membantu POEA) merupakan
quasi Tribunal yg mandatnya
menjalankan kontrak dan menjadi
hakim atas kasus perselisihan
Sebuah masalah utama dalam penyelesaian perselisihan manapun di negara pengirim
adalah bahwa penilaian tidak dapat secara khusus diterapkan kepada majikan di negara tujuan ,
atas alasan ini hukum di Filipina mengangap agen dan majikan di luar negeri bersama-sama dan
secara terpisah bertanggungjawab atas konpensasi untuk pekerja migran seperti yang ditetapkan
oleh National Labor Relations Commission, ini artinya bahwa pekerja migran Filipina dapat
menuntut agen mereka atas pelanggaran yang dilakukan majikan, setelahnya agen dengan bebas
dapat berupaya menuntut majikan di luar negeri.Bagi pekerja migran Indonesia pelanggaran
hukum atau kontrak oleh majikan biasanya tidak menarik ganti rugi apapun dari pihak manapun.
KESIMPULAN
1. UU No. 13/2003, UU No. 39/2004, dan UU No. 2/2004 tidak mengatur perselisihan antara
TKILN dan Pengguna Tenaga Kerja di Negara Pengguna, sehingga perselisihan antara
TKILN dan agen / pengguna tenaga kerja bukan merupakan yurisdiksi PPHI, walaupun
perselisihan yang ada dapat diklasifikasikan dalam bentuk perselisihan hak, kepentingan, dan
PHK.
2. Pengaturan penyelesaian perselisihan dalam perundang-undangan Filiphina dapat dijadikan
model lembaga penyelesaian perselisihan antara TKILN dan Pengguna Tenaga Kerja di
Negara penerima, melalui perubahan UU No. 2/2004 dan UU No. 39 /2004 dengan
memasukan TKILN dan pengguna tenaga kerja di luar negeri atau melalui agen, sebagai
salah satu subjek hukum / legal standing / pihak yang dapat di gugat di muka PPHI hal ini
untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak-hak TKILN.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Fathor Rahman, Menghakimi TKI Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI, Pensil-324,
Jakarta, 2011
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992.
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2010
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988
Sudikno Mertokusumo, Suatu Pengantar Megenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985
Tri Nuke Pudjiastuti, Kebijakan Tenaga Kerja MIgran di Negara-Negara ASEAN dalam buku
Ed. Awani Irewati, Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Masalah TKI Ilegal di
Negara-Negara ASEAN, P2P LIPI : Jakarta, 2003
Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986.
B. Perundangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Peradilan Perselsihan Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri
Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 419/432
C. Sumber Lain
Gios Adhyaksa, Penerapan Asas Perlindungan Yang Seimbang Menurut Kuhperdata Dalam
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu Dihubungkan Dengan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Unifikasi, ISSN 2354-
5976 Vol. 3 No. 2 Juli 2016
Meita Djohan Oelangan, Implementasi Perjanjian Kerja Dalam Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Ke Luar Negeri, Jurnal Pranata Hukum, Volume 9 Nomor 1 Januari 2014
Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia, (Ikatan
Peneliti Hukum Indonesia, 2013), diakses 2 Oktober 2017, /teori- keadilan-johnrawls-
dan-relevansi.html)
Toni Abdul Wahid, Auditor Perburuhan di Perusahaan Retail Amerika, Soal Tenaga Kerja
Migran, Belajarlah dari Filipina, di Koran KOMPAS, 29 Agustus 2002 dalam Jurnal
Situasi dan Arah Kependudukan Indonesia, Bidang Penelitian dan Informasi
Kependudukan Lembaga Demografi FEUI, tahun XIII, JUli-Agustus 2002, UI Depok,
2002