13
37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN TKILN DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA DI NEGARA PENERIMA Holyness N. Singadimedja (Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Dipatiukur No. 35 Bandung Mobile phone: 85320897233; E-mail: [email protected] Abstrak:Mekanisme penyelesaian perselisihan antara tenaga kerja di luar negeri dengan agen atau majikan (pengguna tenaga kerja) dalam perundang-undangan nasional Indonesia belum jelas diatur, UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menekankan pada penyelesaian perselisihan dengan cara kekeluargaan melalui konsensus dan cara informal walaupun penyelesaian ini tidaklah tepat ketika ada pelanggaran hukum yang termasuk tindak kejahatan. Fakta bahwa tidak ada satu perselisihan pun yang diselesaikan pada pengadilan Indonesia menjadi pertanyaan apakah berarti perselisihan tenaga kerja di luar negeri tidak memiliki yurisdiksi atas perselisihan pada peradilan di Indonesia khususnya melalui UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di Filipina tenaga kerja di luar negeri baik legal dan ilegal memiliki akses ke pengadilan ketenagakerjaan Nasional Filipina, yang disebut National Labor Relations Commission (Komisi Hubungan Ketenagakerjaan Nasional). Dimana pihak pengguna tenaga kerja dapat dijadikan salah satu pihak yang bersengketa yang diwakili agen penyalur tenaga kerja melalui perjanjian kerja yang dibuat. Tujuan dari penulisan ini adalah agar dapat menemukan model lembaga penyelesaian perselisihan TKILN dengan pengguna tenaga kerja di luar negeri. Kata Kunci : Lembaga Perselisihan PPHI, Pelaksanaan Perjanjian Kerja, Perlindungan TKILN PENDAHULUAN Pada negara manapun tidak terkecuali Indonesia, hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati, hal ini diatur secara tegas dalam Undang-undang Dasar 1945, sebagaimana tercermin dalam tercermin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia / TKI mencari pekerjaan di luar negeri. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 mengandung dua makna sekaligus, yaitu memberi “hak” kepada warga negara untuk memperoleh salah satu hak dasar manusia yaitu pekerjaan dan membebani “kewajiban” kepada negara untuk memenuhinya. Dengan kata wajib, maka negara tidak dapat menghindarinya meskipun tidak cukup sumber daya dan sumber dana di dalam negeri, serta harus mencari sumber-sumber tersebut sampai ke luar negeri. Sementara itu, selain berhak memperoleh pekerjaan, Pasal 38 ayat (2) Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lebih menegaskan lagi bahwa warga negara juga berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya, oleh karena itu, warga negara tidak dapat dilarang untuk bekerja dimana saja, termasuk di luar negeri. Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 408/432

37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

TKILN DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA DI

NEGARA PENERIMA

Holyness N. Singadimedja

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jl. Dipatiukur No. 35 Bandung

Mobile phone: 85320897233; E-mail: [email protected]

Abstrak:Mekanisme penyelesaian perselisihan antara tenaga kerja di luar negeri dengan agen

atau majikan (pengguna tenaga kerja) dalam perundang-undangan nasional Indonesia belum

jelas diatur, UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri menekankan pada penyelesaian perselisihan dengan cara

kekeluargaan – melalui konsensus dan cara informal – walaupun penyelesaian ini tidaklah

tepat ketika ada pelanggaran hukum yang termasuk tindak kejahatan. Fakta bahwa tidak ada

satu perselisihan pun yang diselesaikan pada pengadilan Indonesia menjadi pertanyaan

apakah berarti perselisihan tenaga kerja di luar negeri tidak memiliki yurisdiksi atas

perselisihan pada peradilan di Indonesia khususnya melalui UU No. 2 tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di Filipina tenaga kerja di luar negeri baik

legal dan ilegal memiliki akses ke pengadilan ketenagakerjaan Nasional Filipina, yang disebut

National Labor Relations Commission (Komisi Hubungan Ketenagakerjaan Nasional). Dimana

pihak pengguna tenaga kerja dapat dijadikan salah satu pihak yang bersengketa yang diwakili

agen penyalur tenaga kerja melalui perjanjian kerja yang dibuat. Tujuan dari penulisan ini

adalah agar dapat menemukan model lembaga penyelesaian perselisihan TKILN dengan

pengguna tenaga kerja di luar negeri.

Kata Kunci : Lembaga Perselisihan PPHI, Pelaksanaan Perjanjian Kerja, Perlindungan

TKILN

PENDAHULUAN

Pada negara manapun tidak terkecuali Indonesia, hak atas pekerjaan merupakan hak

asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati, hal ini diatur

secara tegas dalam Undang-undang Dasar 1945, sebagaimana tercermin dalam tercermin dalam

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap

Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkan

banyaknya warga negara Indonesia / TKI mencari pekerjaan di luar negeri. Besarnya animo

tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di

luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran

di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya

perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI.

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 mengandung dua

makna sekaligus, yaitu memberi “hak” kepada warga negara untuk memperoleh salah satu hak

dasar manusia yaitu pekerjaan dan membebani “kewajiban” kepada negara untuk memenuhinya.

Dengan kata wajib, maka negara tidak dapat menghindarinya meskipun tidak cukup sumber

daya dan sumber dana di dalam negeri, serta harus mencari sumber-sumber tersebut sampai ke

luar negeri. Sementara itu, selain berhak memperoleh pekerjaan, Pasal 38 ayat (2) Undang-

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lebih menegaskan lagi bahwa warga

negara juga berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya, oleh karena itu, warga

negara tidak dapat dilarang untuk bekerja dimana saja, termasuk di luar negeri.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 408/432

Page 2: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan

utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali tidak dapat dilepaskan

dari perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat sehingga

membawa dampak timbulnya persaingan dalam totalitas kehidupan. Kenyataan yang sangat

kompetitif ini menuntut semua orang untuk menyesuaikan diri dengan pola dan dinamika

tuntutan kehidupan,sehingga masyarakat merasa perlu untuk merespon dengan cara yang cepat

dan fleksibel, karena Negara Indonesia belum dianggap mampu memberikan kehidupan dan

pekerjaan yang layak kepada setiap warga negaranya, maka pilihannya adalah mencari suasana

yang lebih mudah untuk dapat memperoleh penghasilan agar mereka mampu mengikuti pola dan

dinamika kehidupan tersebut. Dalam hal ini mencari pekerjaan di negara lain dianggap lebih

mampu mengubah keadaan ekonomi dan kehidupannya kepada kehidupan yang lebih baik.1

Negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela

dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.2

Dalam prakteknya perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang

memiliki masalah dalam pelaksanaan perjanjian kerjanya tidak memiliki mekanisme yang jelas

yang diatur dalam perundangan-undangan. Bab VII Pasal 85 Undang-Undang No. 39 tahun 2004

tentang Penenpatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri hanya menyatakan

penyelesaian perselisihan melalui penyelesaian secara damai dengan cara bermusyawarah tanpa

ada penjelasan dan aturan yang lebih rinci mengenai proses / mekanisme penyelesaian secara

damai dan musyawarah tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas menjadi masalah yang penting untuk di bahas dalam

tulisan ini Bagaimanakah Kewenangan PHI terhadap Perselisihan perjanjian kerja antara Tenaga

Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan Pihak Pengguna ? Bagaimana Pengaturan perselisihan

Tenaga Kerja Luar Negeri Filipina dengan Pihak Pengguna, dapatkah dijadikan sebagai model

dalam penyelesaian perselisihan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

METODE PENELITIAN

Metode penulisan ini bersifat deskriptif-komparatif-analitis 3 yaitu penelitian dengan

melakukan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan

teori yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan bagi tenaga kerja Indonesia di

luar negeri. Penelitian ini juga merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif karena bertitik

tolak dari paradigm fenomenologis yang objektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi

tertentu yang dalami oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan tujuan

penelitiannya yaitu berupa memahami situasi tertentu.4 Sumber data yang digunakan terutama

data sekunder baik berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, ditunjang dengan data

primer.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Lembaga penegakan hukum di Indonesia disebut pengadilan atau badan peradilan. Alat

perlengkapan negara yang diberi tugas mempertahankan tetap tegaknya hukum nasional disebut

pengadilan atau lembaga peradilan. Menjalankan peradilan dengan seadil-adilnya merupakan

tugas pengadilan. Menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara

yang diajukan kepadanya adalah tugas pokok badan-badan peradilan. Benteng terakhir untuk

1 Fathor Rahman, Menghakimi TKI Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI, Pensil-324, Jakarta, 2011, hlm.1 2 Tina Suprhatin, Hak Atas Kesehatan Sebagai Bagian Perjuangan Sosial-Ekonomi Buruh Migran Indonesia, dalam

Fathor Rahman, op.cit, hlm. 130 3 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm.12 4 Conny R. Semiawan, kata sambutan pada buku Metodologi Penelitian Kualitatif karangan Moleong

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 409/432

Page 3: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

mencari keadilan dan sebagai pelaksana cita-cita negara hukum merupakan peranan lembaga

peradilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang

berbunyi: “Indonesia adalah negara hukum”, oleh sebab itu, prinsip peradilan dilakukan dengan

sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan.5

Pasal 24 UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman “… dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menjadi

ketentuan dasar bagi pengaturan lembaga peradilan di Indonesia.

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), merupakan Pengadilan Khusus yang berada pada

lingkungan Peradilan Umum, dan untuk pertama sekali dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri

Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi provinsi

yang bersangkutan.6 Hukum acara yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan

industrial adalah hukum acara perdata umum yang berlaku dalam persidangan perkara perdata

yakni HIR dan RBg, kecuali terhadap sesuatu hal yang diatur khusus di dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial7maka yang berlaku

adalah ketentuan khusus tersebut sesuai asas “lex specialis derogate lex generalis”.

Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan maupun di

dalam Pengadilan Hubungan Industrial.Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar

pengadilan merupakan penyelesaian wajib yang harus ditempuh para pihak sebelum para pihak

menempuh penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan di

luar pengadilan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

UU No. 2 Tahun 2004, menetapkan 4(empat) jenis perselisihan yaitu:

1. Perselisihan Hak;

2. Perselisihan Kepentingan;

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; dan

4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam 1(satu) perusahaan.

Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh

dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara

kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat

terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum

ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun

peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh

pemutusan hubungan kerja. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan

pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha,

berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut.

Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk

mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang disebabkan oleh :

1. Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan

perundang-undangan;

2. Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan

normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, pertauran perusaahaan, perjanjian kerja

bersama, atau peraturan perundang-undangan;

5 Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 6Pasal 59 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 7 Pasal 57

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 410/432

Page 4: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

3. Pengakhiran hubungan kerja; perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam

satu perusahaanmengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan. Setiap

perselisihan yang terjadi di suatu perusahaan, wajib diselesaikan secara bipartit antara

pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau dengan serikat pekerja/serikat buruh.

Bila upaya penyelesaian secara bipartiti tidak berhasil, maka salah satu atau kedua pihak

yang berselisih mencatatkan kasus perselisihannya kepada Instansi yang bertanggung jawab

dibidang Ketenagakerjaan setempat dilengkapi dengan bukti-bukti upaya penyelesaian secara

bipartit yang telah dilakukan, kemudian dapat menyelesaikan melalu jalur mediasi, konsiliasi

atau arbitrase yang diakhiri upaya hukum pada peradilan penyelesaian hubunga industrial.

Hal ini seperti juga pengaturan dalam Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU No. 39 tahun 2004

bahwa penyelesaian perselisihan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diselesaikan secara damai

dan musyawarah namun jika tidak berhasil maka penyelesaian difasilitasi oleh instansi yang

bertanggun jawab di bidang ketenagakerjaan, namun UU No. 39 tahun 2004 tidak menjelaskan

bagaimana proses penyelesaian secara damai dan musyawarah yang dimaksud serta sejauhmana

peran instansi yg bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan dalam menyelesaiak perselisihan

apakah seperti mediator ketenagakerjaan seperti dalam UU No. 2 tahun 2004.

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-

wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

karena bertujuan ketertiban masyarakat.8

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum

adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat

atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau

ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Pada pelaksanaan atau penegakan hukum

harus adil, karena hukum tidak identik dengan keadilan. John Rawls berpendapat bahwa

keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi (social institusi), akan tetapi,

menurutnya keadilan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengenyampingkan atau mengganggu

rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat

lemah.9

Sehubungan dengan pendapat John Rawls di atas, maka kebajikan utama kehadiran

Pengadilan Hubungan Industrial sebagai social institution adalah dapat memberi keadilan bagi

seluruh masyarakat, khususnya bagi masyarakat buruh yang posisinya adalah lemah. Pengaturan

hukum mengenai lembaga penyelesaian perselisihan antara tenaga kerja Indonesia di luar negeri

dengan agen dan atau pengguna di luar negeri dalam pelaksanaan perjanjian kerja sudah

selayaknya diatur dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan khusus. Perselisihan yang

selama ini timbul antara mereka dapat diklasifikasikan sebagai perselisihan hak dan perselisihan

pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 2

tahun 2004, sehingga ketentuan kedua UU tersebut dapat pula menjadi upaya hukum bagi

perselisihan tenaga kerja Indonesia di Luar negeri dan penggunanya.

Ketentuan penyelesaian perselisihan dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak menunjuk badan peradilan mana

yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan sehingga upaya hukum yang dapat dilakukan

tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang mendapatkan permasalahan dalam perjanjian kerjanya

diselesaikan secara nonlegislasi, sesuai ketentuan Pasal 85 UU No. 39 tahun 2004, PHI dalam

UU No. 2 tahun 2004 sebagai badan legislasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan kerja

antara pekerja dan pengusaha / majikan tidak memiliki kewenangan / kompetensi untuk 8 Sudikno Mertokusumo, Suatu Pengantar Megenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 160-161 9 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia, (Ikatan Peneliti Hukum

Indonesia, 2013), diakses 2 Oktober 2017, /teori- keadilan-johnrawls-dan-relevansi.html)

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 411/432

Page 5: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

menyelesaikan perselisihan dalam UU No. 39 tahun 2004 ; dengan demikian penyelesaian

perselisihan tentang perjanjian kerja tunduk kepada Peradilan Umum yang diselesaikan melalui

hukum acara perdata.

B. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyebutkan bahwa ketenegakerjaan adalah segala hal ihwal menyangkut tenaga kerja baik

sebelum, pada saat dan sesudah melakukan pekerjaan. Aspek hukum ketenagakerjaan, harus

selaras dengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini yang sudah sedemikian pesat, sehingga

substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja kerja semata, akan

tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang

substansi kajian tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja (during

employment), tetapi setelah hubungan kerja (post employment). Konsepsi ketenagakerjaan inilah

yang dijadikan acuan untuk mengkaji perangkat hukum yang ada sekarang, apakah sudah

meliputi bidang-bidang tersebut atau belum.

Undang-undang yang mengatur penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar

negeri adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Pada konsideran menimbang huruf c,

d dan e, disebutkan bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek

perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-

wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang melanggar hak

azasi manusia. Negara wajib menjamin dan melindungi hak azasi warga negaranya yang bekerja

baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan

sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia.

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk

mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan

penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat,

martabat, hak azasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan

penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Pelaksana Penempatan Tenaga

Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau dahulu dikenal dengan nama Perusahaan Jasa Tenaga

Kerja Indonesia (PJTKI) selama ini punya peran penting terkait dengan keberadaan TKI.

PPTKIS tidak hanya mencari dan merekrut calon TKI, tapi juga membekali sampai calon TKI

siap untuk diberangkatkan ke luar negeri PPTKIS pun harus bertanggung jawab terkait

perlindungan TKI.10

Sayangnya, banyak pihak yang kerap menilai PPTKIS tak mampu melaksanakan peran

itu. Akibatnya, banyak TKI yang tersangkut masalah, namun tak jelas penuntasannya. Hal ini

diperparah dengan lemahnya pengawasan pemerintah. TKI yang hendak bekerja ke luar negeri

sebelum diberangkatkan diwajibkan untuk membuat dan menandatangani suatu perjanjian

dengan PPTKIS selaku agen penyalur. Surat perjanjian tersebut dikenal dengan nama

“Perjanjian Penempatan Kerja Antar Negara”, selain agar kedua belah pihak dapat mengetahui

hak dan kewajiban masing-masing, tujuan utama dibuatnya perjanjian penempatan adalah untuk

memberikan perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah—dalam hal ini TKI—dari

perlakuan pihak yang kuat (pengguna jasa).11Konsep dan unsur Perjanjian Perjanjian menurut

Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berbunyi : ―Suatu Perjanjian

10Meita Djohan Oelangan, Implementasi Perjanjian Kerja Dalam Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar

Negeri, Jurnal Pranata Hukum, Volume 9 Nomor 1 Januari 2014 11 idem

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 412/432

Page 6: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.

Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:

a. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,

b. tidak tampak azas konsensualisime, dan

c. bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja.

Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas

pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut

perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum" Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang di berikan pasal 1313

KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian

tersebut dari sudut pandang mereka masing-masing.

Pengertian perjanjian menurut para sarjana antara lain: Wirjono Prodjodikoro

mengemukakan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau

untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.12

Sedangkan menurut R. Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. 13 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang

dinamakan perikatan. Apakah pengertian istilah perjanjian sama dengan pengertian istilah

kontrak menurut Subekti perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian

atau persetujuan yang tertulis.

Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan

empat unsur yang meliputi subyek dan obyek perjanjian. Keempat syarat sahnya perjanjian

tersebut adalah:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan syarat kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut

orang atau para pihak, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat disebut sebagai syarat

objektif karena menyangkut objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat

dapat dibatalkannya sebuah perjanjian oleh salah satu pihak artinya sekalipun perjanjian telah

ditandatangani maka salah satu pihak yang merasa keberatan atas proses perjanjian itu dapat

mengajukan pembatalan isi perjanjian ke Pengadilan, sedangkan apabila syarat objektif tidak

terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya isi perjanjian itu tidak membawa

akibat apapun terhadap kedua belah pihak karena secara hukum perjanjian itu dianggap tidak

pernah ada.14Di dalam hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian menjadi

perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama, yang dinamakan perjanjian bernama adalah

perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata mulai dari Bab V sampai Bab XVIII.

Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata

(atau sering disebut perjanjian khusus), tetapi yang terpenting adalah sejauh mana kita dapat

12 Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986. 13 R. Subekti,Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2010 14 Gios Adhyaksa, Penerapan Asas Perlindungan Yang Seimbang Menurut Kuhperdata Dalam Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Unifikasi, ISSN 2354-5976 Vol. 3 No. 2 Juli 2016

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 413/432

Page 7: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

mennetukan unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa mengelompokkan

suatu perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1234 tentang jenis perikatan.

Terdapat 3 unsur dalam perjanjian, yaitu :

a. Unsur Essensialia. Menurut J. Satrio,15 unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu

harus ada dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, yang tanpa adanya unsur tersebut perjanjian

tidak mungkin ada. Kausa yang halal merupakan unsur essensialia untuk adanya perjanjian.

Pembicaraan tentang unsur essensialia terhadap adanya perjanjian dalam uraian di atas adalah

pembicaraan perjanjian dalam pengertian pada umumnya, yang bisa berlaku terhadap perjanjian

khusus (bernama) maupun perjanjian tidak bernama secara umum. Dengan mendasarkan

pemahaman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata maka unsur essensialia yang menjadikan

adanya perjanjian secara umum adalah: sepakat para pihak baik sepakat itu sah atau tidak sah;

adanya para pihak baik cakap atau tidak cakap; obyek prestasi yang tertentu atau dapat

ditentukan; kausa yang halal, yang kesemuanya merupakan sekelompok unsur essensialia yang

harus ada secara komulatif. Selanjutnya J. Satrio menjelaskan bahwa pada perjanjian riil, syarat

penyerahan obyek prestasi perjanjian merupakan essensialia; sama seperti bentuk tertentu

merupakan essensialia dari perjanjian formil; demikian pula harga dan barang merupakan unsur

essensialia dari perjanjian jual beli. Berdasarkan penjelasan diatas dapatlah di deskripsikan

bahwa essensialia suatu perjanjian secara umum akan membedakan terhadap suatu perbuatan itu

sebagai suatu perjanjian atau bukan; sedangkan essensialia suatu perjanjian tertentu akan

membedakan terhadap keberadaan antara perjanjian khusus tertentu dengan perjanjian tertentu

yang lain. Pada umumnya, meskipun tidak dinyatakan secara tegas, unsur essensialia seperti

tersebut di atur dalam Buku III KUH Perdata melalui pengaturan yang bersifat memaksa

(dwigend recth) yang dapat dikenali dengan ciri, apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi akan

berakibat batal demi hukum atas perjanjian yang bersangkutan.

b. Unsur Naturalia. Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang undang diatur

tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau diganti. Unsur ini sebenarnya merupakan

bagian- bagian isi perjanjian yang secara umum patut, dan adil bagi para pihak karena

merupakan konsekuensi logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang

pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian sebagaimana logisnya. Unsur

naturalia ini oleh undangundang diatur dengan hukum yang bersifat mengatur atau menambah

(regelend rech atau aanvullend rech).

c. Unsur Accidentalia. Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para

pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut. Semua janji-janji dalam suatu

perjanjian yang sengaja dibuat untuk menyimpangi ketentuan hukum yang menambah

merupakan unsur accidentalia. Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas

bila dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang umumnya telah

mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui ketentuan yang bersifat menambah.

Meskipun demikian kadang-kadang terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa

mengaturnya sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri. Dengan

demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang dibuat oleh para pihak karena

undang-undang (yang bersifat menambah) tidak mengaturnya atau berupajanji-janji yang dibuat

para pihak dalam hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut.

Implementasi Perjanjian Kerja Dalam Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar

Negeri Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negari dilakukan oleh pemerintah dan pihak

swasta. Hal tersebut sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyatakan bahwa 15 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 414/432

Page 8: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

―pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari Pemerintah dan Pelaksanaan

Penempatan TKI Swasta.

Kedudukan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai pihak yang lemah dan tidak

mengerti aturan hukum khususnya dalam menyelesaikan perselisihan kerja mengakibatkan

mereka tidak dapat mengakses keadilan untuk mendapatkan hak-haknya. Pelaksanaan perjanjian

kerja antara tenaga kerja Indonesia di luar negeri dengan pihak agen dan pengguna

di luar negeri tidak dilengkapi dengan kerangka hukum yang lengkap pada perundangan

ketenagakerjaan nasional. Pasal 85 ayat (1) dan (2) tidak dapat dilaksanakan dengan mudah oleh

mereka karena tidak memberikan mekanisme yang jelas bagaimana prosedur penyelesaian

perselisihan yang dapat mereka tempuh. Tidak terpenuhinya syarat subjektif dan objektif dalam

perjanjian kerja dan perjanjian penempatan seharusnya dapat dilakukan upaya hukum sesuai

ketentuan dalam hukum perdata namun dalam pelaksanaanya akses peradilan pada lembaga

peradilan umum dalam pelaksanaan perjanjian kerja tersebut tidak pernah diselesaikan melalui

lembaga peradilan.

C. Konsep Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Filipina di Luar Negeri

Filipina melindungi tenaga kerja di luar negerinya dengan payung hukum yang kuat.

Melalui Omnibus Rules and Regulations Implementing The Migrant Workers and Overseas

Filipinos Act of 1995 atau yang biasa disebut Republic Act No. 8042. Sebagai undang-undang,

kebijakan ini lahir dari proses legislasi yang partisipatif. Melalui konsultasi dan perdebatan yang

adil di parlemen. Kebijakan nasional ini juga didukung langkah pemerintah Filipina yang

meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers

and Members of their Families pada Juli 1995.16 Sedangkan di Indonesia, sebelum UU No. 39

Tahun 2004 tentang PPTKILN terbentuk, kebijakan teknis tertinggi hanya berupa Peraturan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Departemen Dalam Negeri Filipina yang dikenal dengan DOLE (Departemen of Labour

and Employment) turut memberikan perlindungan dengan kerjasama departemen lainnya17. Di

Filipina hanya ada 3 lembaga yang memiliki peranan penting bagi pengurusan tenaga kerjanya,

yaitu DOLE, POEA dan OWWA. Jika dibandingkan dengan Indonesia, banyak sekali sektoral

departemen yang terlibat di dalam kepengurusan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Namun,

tidak ada rincian tegas dan jelas akan tugas tiap instansi dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang

PPTKILN. POEA (Philipinne Overseas Employment Administration) berdiri sejak Tahun 1982

yang berada di bawah Dewan Pengawasan, lembaga ini berperan penting dalam perlindungan

tenaga kerja mereka agar tidak dieksploitasi para majikan atau perusahaan pengerah jasa tenaga

kerja (PJTK) di negara manapun mereka berada.18 POEA juga rajin mengkampanyekan sikap

hati-hati terhadap PJTK melalui Anti Ilegal Recruitment Campaign. Hampir setiap tiga bulan

sekali POEA mengeluarkan sertifikasi PJTKI yang memenuhi persyaratan, termasuk yang

dilarang karena melakukan pelanggaran atau penipuan terhadap tenaga kerjanya. Salah satu

16http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=37257, diakses pada tanggal 2 Oktober 2017, pukul 11.15

WIB 17 Tri Nuke Pudjiastuti, Kebijakan Tenaga Kerja MIgran di Negara-Negara ASEAN dalam buku Ed. Awani Irewati,

Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Masalah TKI Ilegal di Negara-Negara ASEAN, P2P LIPI :

Jakarta, 2003, hlm. 21 18Toni Abdul Wahid, Auditor Perburuhan di Perusahaan Retail Amerika, Soal Tenaga Kerja Migran, Belajarlah

dari Filipina, di Koran KOMPAS, 29 Agustus 2002 dalam Jurnal Situasi dan Arah Kependudukan

Indonesia, Bidang Penelitian dan Informasi Kependudukan Lembaga Demografi FEUI, tahun XIII, JUli-

Agustus 2002, UI Depok, 2002, hlm. 14.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 415/432

Page 9: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

tugas dasar POEA adalah perlindungan hak-hak tenaga kerja di luar negeri. Ongkos yang

dikeluarkan oleh calon tenaga kerja dibuat secara transparan dan dapat diketahui di tiap kantor

PJTK atau POEA.19

Filipina Overseas Employment Administration (POEA) dibentuk untuk menggantikan

Badan Pengembangan Ketenagakerjaan di Luar Negeri (the Overseas Employment Development

Board (OEDB)) dan Badan Pelaut Nasional (the National Seamen Board (NSB)) yang mengatur

aktifitas agen perekrutan swasta dan memastikan bahwa hanya pekerja yang berkualitas yang

ditempatkan dan juga memastikan bahwa para pekerja mendapatkan situasi dan kondisi terbaik

dalam pekerjaan. Lebih lanjut, pada tahun 1995, Kongres Filipina memberlakukan Undang-

Undang Tenaga kerja di luar negeri dan Warga Filipina di Luar Negeri (the Migrant Workers

and Overseas Filipino/Act of 1995) untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran, dengan

menaikkan standar perlindungan dan kesejahteraan tidak hanya bagi pekerja migran Filipina dan

keluarga mereka, tetapi secara umum juga bagi warga Negara Filipina di luar negeri .

Di Filipina, struktur utama untuk mengatur migrasi tenaga kerja dan kegiatan lembaga

rekrutmen swasta adalah POEA. POEA merupakan otoritas tunggal dan eksklusif untuk

perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk penempatan sistematis pekerja

Filipina di luar negeri. POEA diketuai oleh Administrator, dibantu oleh tiga deputi

administrator. Dewan Pemerintahan POEA diketuai oleh Sekretaris Perburuhan dan anggotanya

adalah perwakilan dari berbagai instansi pemerintah dengan fungsi yang relevan dengan isu

pekerjaan di luar negeri dan Administrator POEA. Administrator lebih lanjut dibantu oleh dua

dewan penasehat untuk layanan darat dan layanan laut, yang keduanya memiliki anggota yang

mewakili sektor swasta.

Fungsi operasional POEA meliputi pengembangan pasar dan layanan prakerja, bantuan

kesejahteraan, perizinan dan kebijakan bagi agen perekrutan swasta; dan ajudikasi sengketa yang

melibatkan pelanggaran peraturan tentang perekrutan dan kondisi kerja. Masing-masing fungsi

operasional adalah dipimpin oleh seorang Direktur. POEA juga memiliki wewenang eksklusif

untuk mengatur kegiatan ageni perekrutan swasta dan melakukan hearing untuk kasus-kasus

yang diajukan terhadap agen-agen ini, khususnya kasus-kasus yang berhubungan dengan

pelanggaran undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan perekrutan dan penempatan

tenaga kerja.

Selain POEA, ada badan kesejahteraan yaitu OWWA (Overseas Workers Welfare

Administration), harus menangani pemulangan pekerja migrant jika terjadi perang, wabah

penyakit, bencana alam, berbagai malapetaka, baik yang dialami maupun yang dibentuk oleh

manusia dan hal lainya dengan disertai tanggung jawab dari agensi. Semua biaya pemulangan

ditanggung oleh OWWA.20

Sebuah perbedaan utama antara POEA dan BNP2TKI adalah bahwa POEA adalah

sebuah badan tripartit; komposisi Dewan ini tidak hanya meliputi pejabat pemerintah namun

juga perwakilan dari serikat pekerja dan agen penyalur jasa swasta. Dewan Pusat POEA

menyelenggarakan dialog rutin dengan masyarakat sipil dan program-program pendidikan

komunitas dan perlindungan yang diberikan melengkapi kerja Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM). POEA juga didukung oleh badan pemerintah lain yang disebut Pengelolaan

Kesejahteraan Pekerja di Luar Negeri (Overseas Workers Welfare Administration, OWWA).

OWWA adalah sebuah quasi-tribunal, yang mandatnya menjalankan kontrak dan menjadi 19 Ibid 20 Sesuai penjelasan Republik Act 8042 di bagian 15. Dalam UU tenaga kerja di Filipina juga diatur bahwa DOLE,

POEA dan OWWA dalam waktu 90 hari dari berjalannya Republic Act ini harus memformulasikan

sebuah program yang akan memotivasi tenaga kerja untuk merencanakan pilihan produktif seperti

memasuki pekerjaan teknis atau perbuatan usaha, kehidupan dan pengembangan kewirausahaan, upah

pekerjaan yang lebih baik dan tabungan investasi

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 416/419

Page 10: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

hakim atas kasus perselisihan. Adapun lembaga sebagai bagian dari mekanisme perlindungan

tenaga kerja di luar negeri adalah Kantor Tenaga Kerja Filipina di Luar Negeri (the Philippine

Overseas Labour Offices/POLOs). POLOs adalah kantor ketenagakerjaan yang ada di negara

penerima yang secara struktural ada di bawah Departemen Perburuhan dan Ketenagakerjaan.

Setiap POLOs dikelola oleh Atase Ketenagakerjaan dibantu sejumlah asisten atase

ketenagakerjaan dan petugas teknis atase kesejahteraan. POLOs diperlukan untuk

mempromosikan tenaga kerja Filipina di negara tujuan penempatan dan untuk memberikan

bantuan kesejahteraan bagi para pekerja Filipina termasuk negosiasi dalam penyelesaian

sengketa dengan pengusaha asing/majikan. Mereka juga membantu POEA dalam pendaftaran

perusahaan asing dan majikan melalui verifikasi dokumen majikan dan dokumen perusahaan.

Sejalan dengan pendekatan tim-satu-negara (the one-country-team approach), POLOs berada di

bawah pengawasan administrasi kedutaan besar Filipina di negara-negara di mana mereka

berada.

Di negara-negara tuan rumah dengan konsentrasi tinggi pekerja Filipina, Departemen

Perburuhan dan Ketenagakerjaan juga mendirikan Resource Centre bagi pekerja Filipina

(Filipino Worker’s/FWRC). FWRCs bertugas untuk memberikan bantuan kesejahteraan,

pelayanan konseling dan hukum, pendaftaran pekerja yang tidak berdokumen, juga memberikan

informasi dan sebagai tempat para pekerja Filipina untuk berinteraksi sosial. FWRCs berada di

dalam kedutaan besar Filipina dan diawasi oleh atase ketenagakerjaan Filipina.

Hambatan untuk melakukan pengawasan di Indonesia adalah bahwa banyak PPTKIS

dimiliki sepenuhnya atau sebagian oleh pejabat yang sama dengan pejabat yang bertugas untuk

mengaturnya. Di Filipina, UU Pekerja Migran dan Bangsa Filipina di Luar Negeri menyatakan

bahwa “akan menjadi tidak legal bagi pejabat atau karyawan Departemen Buruh dan Tenaga

Kerja, Pengelolaan Ketenagakerjaan Luar Negeri Filipina (POEA), atau Pengelolaan

Kesejahteraan Pekerja di Luar Negeri (OWWA), atau Departemen Luar Negeri, atau badan

pemerintahan lainnya dalam penerapan UU ini, atau keluarga mereka dalam empat tingkat

hubungan kekerabatan, untuk terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam usaha merekrut

pekerja migran” (Pasal 8). UU tersebut juga mencakup hukuman bagi pelanggaran yang

dilakukan, oleh karena itu, UU Filipina mencegah orang-orang yang memiliki konflik

kepentingan untuk terlibat dalam proses rekrutmen dan penempatan terhadap Tenaga Kerja di

luar negeri. Berikut skema pembagian wewenang pemerintah Filipina dalam pengaturan tenaga

kerja di luar negeri :

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 417/432

Page 11: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

Tabel 1

Pembagian Wewenang Pemerintah dan Instansi yang Bertanggung jawab Terhadap

Tenaga Kerja Filipina

Sumber : ILO, Penerapan Perundangan Indonesia untuk Melindungi dan Memberdayakan Pekerja Migran

Indonesia : Beberapa Pelajaran dari Filipina, Makalah menggalang Aksi Untuk Perlindungan PRT dari Kerja

Paksa dan Perdagangan di Asia Tenggara, 2006

Hak hukum tenaga kerja Indonesia hanya memberikan sedikit perlindungan karena

sebagian besar hak sulit untuk ditegakkan, kelemahan untuk mengidentifikasi pihak yang

bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak tertentu, dan tidak menggambarkan secara

jelas antara kewajiban instansi pemerintah dan agen tenaga kerja. Hak-hak hukum tersebut juga

tidak menetapkan mekanisme penegakan hukum. Dalam UU No. 39 Tahun 2004 tidak

menetapkan metode yang memungkinkan seorang pekerja bisa mengajukan keluhan jika tidak

diperlakukan setara, atau tidak menerima upah yang telah ditetapkan, atau tidak menerima

salinan kontrak. Hak tersebut juga tidak memberikan mekanisme untuk mengajukan keluhan

atau memperoleh pemecahan jika pejabat pemerintah tidak melakukan pemeriksaan yang

disyaratkan, atau jika perjanjian penempatan tidak mencantumkan hak-hak pekerja yang

diperlukan.

Pada prakteknya, hak yang ditetapkan dalam perjanjian kerja meliputi hak terhadap

upah tertentu, terhadap jenis pekerjaan tertentu, terhadap cuti libur, dan rincian hubungan

lainnya dengan majikan. Hak yang ditetapkan dalam perjanjian penempatan meliputi jaminan

penempatan jika biaya telah dibayar (atau uangnya dikembalikan), dan pemberian kompensasi

oleh agen tenaga kerja jika majikan tidak membayar upah yang telah disepakati atau tidak sesuai

dengan persyaratan lainnya dari perjanjian penempatan dan perjanjian kerja.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 418/432

UU Pekerja Migran dan Bangsa Filipina di

Luar Negeri / Migran Workers and Overseas

Filipinas Act 1995 / UU Republik No. 8042

Departemen Buruh dan Tenaga Kerja

Filipina :

- Mengawasi penerapan hukum Luar negeri;

- menyediakan bantuan hukum dan

- menangani perawatan kesehatan

Departemen Luar Negeri :

Tugas :

- menangani kepulangan TKLN,

-melaksanakan advocasi diplomatik

Sekretaris Departemen Buruh dan Tenaga Kerja

Filipina (POEA) , memimpin dewan pusat

pengelolaan ketenagakerjaan LN Filipina, Badan

Pemerintah yg independent dengan mandate yg luas

dlm mendorong dan mengawasi TKLN (merupakan

badan Tripartit : Pemerintah, SP & Agen)

OWWA (badan pemerintah lain

yg membantu POEA) merupakan

quasi Tribunal yg mandatnya

menjalankan kontrak dan menjadi

hakim atas kasus perselisihan

Page 12: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

Sebuah masalah utama dalam penyelesaian perselisihan manapun di negara pengirim

adalah bahwa penilaian tidak dapat secara khusus diterapkan kepada majikan di negara tujuan ,

atas alasan ini hukum di Filipina mengangap agen dan majikan di luar negeri bersama-sama dan

secara terpisah bertanggungjawab atas konpensasi untuk pekerja migran seperti yang ditetapkan

oleh National Labor Relations Commission, ini artinya bahwa pekerja migran Filipina dapat

menuntut agen mereka atas pelanggaran yang dilakukan majikan, setelahnya agen dengan bebas

dapat berupaya menuntut majikan di luar negeri.Bagi pekerja migran Indonesia pelanggaran

hukum atau kontrak oleh majikan biasanya tidak menarik ganti rugi apapun dari pihak manapun.

KESIMPULAN

1. UU No. 13/2003, UU No. 39/2004, dan UU No. 2/2004 tidak mengatur perselisihan antara

TKILN dan Pengguna Tenaga Kerja di Negara Pengguna, sehingga perselisihan antara

TKILN dan agen / pengguna tenaga kerja bukan merupakan yurisdiksi PPHI, walaupun

perselisihan yang ada dapat diklasifikasikan dalam bentuk perselisihan hak, kepentingan, dan

PHK.

2. Pengaturan penyelesaian perselisihan dalam perundang-undangan Filiphina dapat dijadikan

model lembaga penyelesaian perselisihan antara TKILN dan Pengguna Tenaga Kerja di

Negara penerima, melalui perubahan UU No. 2/2004 dan UU No. 39 /2004 dengan

memasukan TKILN dan pengguna tenaga kerja di luar negeri atau melalui agen, sebagai

salah satu subjek hukum / legal standing / pihak yang dapat di gugat di muka PPHI hal ini

untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak-hak TKILN.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Fathor Rahman, Menghakimi TKI Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI, Pensil-324,

Jakarta, 2011

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992.

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2010

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1988

Sudikno Mertokusumo, Suatu Pengantar Megenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985

Tri Nuke Pudjiastuti, Kebijakan Tenaga Kerja MIgran di Negara-Negara ASEAN dalam buku

Ed. Awani Irewati, Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Masalah TKI Ilegal di

Negara-Negara ASEAN, P2P LIPI : Jakarta, 2003

Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986.

B. Perundangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Peradilan Perselsihan Hubungan Industrial

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 419/432

Page 13: 37. MENGGAGAS LEMBAGA PENYELESAIAN ...Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI) merupakan salah satu permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia sebagai bagian yang sama sekali

C. Sumber Lain

Gios Adhyaksa, Penerapan Asas Perlindungan Yang Seimbang Menurut Kuhperdata Dalam

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu Dihubungkan Dengan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Unifikasi, ISSN 2354-

5976 Vol. 3 No. 2 Juli 2016

Meita Djohan Oelangan, Implementasi Perjanjian Kerja Dalam Penempatan Tenaga Kerja

Indonesia Ke Luar Negeri, Jurnal Pranata Hukum, Volume 9 Nomor 1 Januari 2014

Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia, (Ikatan

Peneliti Hukum Indonesia, 2013), diakses 2 Oktober 2017, /teori- keadilan-johnrawls-

dan-relevansi.html)

Toni Abdul Wahid, Auditor Perburuhan di Perusahaan Retail Amerika, Soal Tenaga Kerja

Migran, Belajarlah dari Filipina, di Koran KOMPAS, 29 Agustus 2002 dalam Jurnal

Situasi dan Arah Kependudukan Indonesia, Bidang Penelitian dan Informasi

Kependudukan Lembaga Demografi FEUI, tahun XIII, JUli-Agustus 2002, UI Depok,

2002