Upload
lytu
View
234
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
38
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Struktur Mikro
Struktur mikro yang dihasilkan pada Gambar 4.1 memiliki tiga bagian, titik
0 mm dan 5 mm dari sumbu las masuk pada daerah las, titik 10 mm dan 15 mm
sudah ada pada daerah HAZ, dan titik 25 mm daerah logam induk. Lima titik (0,
5, 10, 15, dan 25 mm) pada pengamatan struktur mikro baik untuk sampel Double
V Groove dan Double Bevel Groove memiliki struktur yang identik. Struktur
mikro yang dihasilkan memiliki fasa ferrite dan pearlite. Ferrite memiliki butir
dengan warna terang, kemudian pearlite butirnya berwarna abu-abu gelap.
Munculnya struktur mikro dengan ferrite dan pearlite akibat sampel uji
mengalami pendinginan lambat di udara ruangan.
Gambar 4.1. Hasil pengamatan struktur mikro.
Ferrite
Pearlite
0 mm dari sumbu las
20μm
20μm
5 mm dari sumbu las
Ferrite
Pearlite
39
39
Gambar 4.1. Hasil pengamatan struktur mikro. (Lanjutan)
Menurut Gambar 4.1 di titik 0 mm dan 5 mm memiliki ukuran butir kecil.
Titik 10 mm dan 15 mm memiliki ukuran butir campuran, besar dan kecil. Titik
25 mm di semua sampel memiliki ukuran butir yang besar.
Pearlite
Ferrite
20μm
20μm
25 mm dari sumbu las
15 mm dari sumbu las
Ferrite
Pearlite
20μm
10 mm dari sumbu las
Ferrite
Pearlite
40
40
Material baja karbon AISI 1020 masuk pada kategori baja karbon rendah,
sifatnya memiliki keuletan dan ketangguhan yang baik. Struktur mikro baja
karbon AISI 1020 direpresentasikan pada titik 25 mm atau telah berada di logam
induk dengan ukuran butir yang lebih besar (kasar) dibanding daerah las.
Titik 0 mm dan 5 mm memiliki ukuran butir kecil, dan terbentuk dari
pencairan logam filler dari jenis kawat las E6013. Ukuran butir kecil membuat
area batas butir semakin luas sehingga mencegah dislokasi, akibatnya material
menjadi semakin keras.
Titik 10 mm dan 15 mm memiliki ukuran butir campuran, yang terbentuk
dari pencairan antara logam induk dan logam filler, serta masuk di daerah
terpengaruh panas. Kekerasan di daerah ini tentunya dibawah logam las bila
dilihat dari ukuran butir. Titik 25 mm memiliki ukuran butir yang besar karena
pengamatan telah berada di logam induk. Meski daerah ini terkena pengaruh
panas, namun tidak merubah sifat mekanis, dan kekerasan material relatif sama
atau sedikit lebih tinggi dibanding daerah HAZ.
Kekakuan dan kekerasan bahan erat kaitanya dengan struktur mikro, karena
struktur mikro dapat dipakai untuk mengetahui karakteristik kekuatan bahan.
Material yang dilas akan memiliki struktur mikro dengan butiran halus di daerah
lasan dan mulai kasar di daerah terpengaruh panas dan logam induk. Hal ini
membuat daerah las menjadi keras namun getas, sehingga regangan yang terjadi
lebih kecil dibanding logam induk. Nilai kekerasan akibat ukuran butir berakibat
meningkatnya nilai modulus kekakuan (elastisitas) bahan.
Ukuran butir mempengaruhi sifat mekanis, dimana menurut Saripuddin dan
Lauw (2013) ukuran butir mempengaruhi nilai kekerasan bahan. Pada proses
pengelasan kekerasan di daerah las lebih tinggi dibanding daerah logam induk dan
HAZ. Kemudian, penelitian Aisyah (2010) mengungkapkan pengelasan pada baja
karbon berakibat pada perubahan struktur mikro dan sifat mekanik karena siklus
termal dan proses pendinginan, hal ini membuat daerah las menjadi keras namun
getas dibanding logam induk.
Modulus kekakuan erat kaitanya dengan munculnya tegangan sisa dan
pengaruhnya pada nilai frekuensi natural. Widyanto (2014) meneliti bahwa
tegangan sisa dapat disebabkan oleh perubahan struktur bahan di daerah las akibat
41
41
siklus termal proses pengelasan. Rozy, dkk (2013) mengungkapkan bahwa
frekuensi natural berhubungan dengan kekakuan dan kekerasan bahan, yang
diekspresikan dalam modulus elastisitas.
Fenomena terbentuknya fasa setelah pendinginan sesuai penelitian
Jokosisworo (2006) yang menyebutkan bahwa pendinginan lambat akan
membentuk material baja karbon menjadi fasa ferrite dan pearlite. Kemudian
struktur mikro menurut riset Setiawan dan Wardana (2006) terbentuk oleh jenis
pendinginan, komposisi logam las, jenis kawat las, dan kondisi udara saat
pengelasan.
Pada pengamatan struktur mikro juga dapat dilihat perubahan struktur di
titik 0, 5, 10, dan 15 mm. Pemetaan ini dapat memiliki arti terjadi perubahan
parameter kisi, jika nantinya dibandingkan dengan bahan referensi (d0) saat
pengukuran tegangan sisa. Sehingga distribusi tegangan sisa dapat sangat
signifikan di dareah tersebut.
4.2 Struktur Makro
Pengamatan struktur makro dimaksudkan untuk melihat perubahan struktur
di daerah lasan, HAZ, dan logam induk. Pengamatan juga dilakukan untuk dapat
melihat munculnya cacat pada pangelasan. Gambar 4.2 dan 4.3 menunjukkan
adanya pengaruh geometri pengelasan terhadap besarnya daerah lasan (fusion
zone) dan daerah HAZ. Sampel Double V Groove dan Double Bevel Groove
dengan sudut 30° memiliki lebar daerah terpengaruh panas yang lebih besar
dibanding sudut 22.5° dan 20°.
Lebar daerah lasan dan daerah terpengaruh panas memiliki pengaruh pada
kekerasan bahan. Sehingga geometri pengelasan tentu berpengaruh juga terhadap
regangan dan nilai modulus elastisitas secara keseluruhan. Semakin lebar sudut
kampuh menjadikan lebar daerah las semakin besar dan kekuatannya semakin
tinggi namun regangan menjadi semakin kecil. Apabila tegangan konstan dan
nilai regangan yang kecil dapat menjadikan modulus elastisitas naik. Seperti
dijelaskan pada pembahasan struktur mikro modulus elastisitas akan berkaitan
dengan tegangan sisa dan frekuensi natural bahan.
42
42
Gambar 4.2. Struktur makro sampel Double V Groove .
Daerah Las
HAZ
Logam Induk
2 mm
Cacat Las
Daerah Las
Logam Induk
Cacat Las
Daerah Las
HAZ
Logam Induk
Cacat Las
HAZ
22.5°
30°
20°
2 mm
2 mm
43
43
Gambar 4.3. Struktur makro sampel Double Bevel Groove.
Cacat Las
Daerah Las
Logam Induk
Cacat Las
HAZ
Logam Induk
Cacat Las
HAZ
Daerah Las
HAZ
Logam Induk
Daerah Las
Cacat Las
22.5°
20°
30°
2 mm
2 mm
2 mm
44
44
Pada pangamatan struktur makro dipakai juga untuk melihat munculnya
cacat las. Cacat las yang dialami sampel adalah slag inclusion. Alur/ kampuh
Double V Groove memiliki sedikit cacat las, terutama pada sampel dengan
kemiringan 30° dan 22.5°.
Besarnya lebar daerah terpengaruh panas diakibatkan karena semakin besar
sudut kampuh masukan panas juga makin lama dan besar. Luas daerah las dan
daerah terpengaruh panas juga mempengaruhi sifat mekanik. Lebar terpengaruh
panas dapat meningkatkan kekakuan material sehingga membuat material tidak
mampu menyerap getaran. Sedangkan munculnya cacat las dapat terjadi akibat
sudut alur yang terlalu kecil menghalangi peneterasi saat proses pengelasan,
sehingga saat melakukan multipass, pembersihan slag kurang bersih. Lebar
daerah terpengaruh panas ini dijelaskan pada penelitian Suharno (2008) saat uji
struktur makro, bahwa luas daerah terpengaruh panas diakibatkan oleh tingkat
masukan panas (heat input).
4.3 Regangan dan Tegangan Sisa
4.3.1 Regangan
Sampel yang diukur memiliki 5 titik pengamatan, 0 mm, 5 mm, 10 mm, 15
mm, dan 25 mm dari sumbu las. Apabila diurut dari sumbu las, sampel Double V
Groove dengan sudut kemiringan 22.5° memiliki nilai micro strain, -128, -744,
15, 682, dan 514. Double V Groove 30° memiliki nilai micro strain, -231, 684,
1127, 991, dan 938. Sampel Double Bevel Groove 22.5° memiliki nilai micro
strain -665, -201, 598, 624, dan 307. Sampel Double Bevel Groove 30° memiliki
nilai micro strain, 390, 49, 563, 1220, dan 384. Grafik distribusi micro strain arah
aksial dapat dilihat pada Gambar 4.4, dimana d0 filler yang dipakai untuk titik 0
mm dan 5 mm, d0 base metal untuk titik 5 mm, 10 mm, dan 5 mm.
Pengukuran arah hoop, micro strain sampel Double V Groove, dengan
sudut kemiringan 22.5° jika diurut dari sumbu las nilainya 596, 855, 1133, 470
dan -58. Sampel Double V Groove 30° memiliki nilai micro strain arah hoop, -
513, 1085, 656, 965, dan -75. Sampel Double Bevel Groove 22.5° nilai micro
strain arah hoop adalah -414, 197, 750, -28, dan -162. Sampel Double Bevel
Groove 30° memiliki nilai micro strain 303, 198, 909, 420, dan 181. Kemudian
45
45
untuk grafik distribusi micro strain arah hoop dapat dilihat pada Gambar 4.5,
dimana d0 filler yang dipakai untuk titik 0 mm dan 5 mm, d0 base metal untuk titik
5 mm, 10 mm, dan 5 mm.
Gambar 4.4. Distribusi micro strain arah aksial.
Gambar 4.5. Distribusi micro strain arah hoop.
Orientasi dari data micro strain arah aksial dan hoop dihasilkan dari titik 0
mm hingga 10 mm atau 15 mm memiliki regangan tarik, dan mulai terjadi
regangan tekan dari titik 15 mm hingga 25 mm. Regangan tarik di titik 0 mm
hingga 15 mm terjadi karena pada daerah ini saat proses solidifikasi akan terjadi
penyusutan volume di daerah las dan HAZ yang kemudian ditahan oleh logam
induk. Saat pendinginan penyusutan tersebut membuat titik 0 mm dan 15 mm
mulai mengalami regangan tarik dan titik 15 mm hingga 25 mm mengalami
46
46
regangan tekan. Sehingga muncul konfigurasi regangan terjadi tarik (tensile) di
dekat logam las dan menjadi tekan saat menjauhi HAZ setelah pendinginan.
Widyanto (2014) dalam penelitiannya juga mengungkapkan pengaruh
proses solidifikasi akan terjadi penyusutan volume (perubahan parameter kisi)
sehingga timbul regangan yang menjadi sebab munculnya tegangan sisa.
Wiryosumarto dan Okumura (2000) menyebutkan pada bagian yang dilas akan
terjadi pengembangan thermal, kemudian bagian dingin tidak berubah
membentuk penghalang bagi pengembangan thermal sehingga terjadi regangan
(strain) dan tegangan sisa.
Menurut Wiryosumarto dan Okumura (2000) normalnya distribusi regangan
dan tegangan sisa pada las melingkar akan mencapai kekuatan luluh (regangan
sisa tertinggi) pada daerah terpengaruh panas dan menurun mencapai nol saat
menjauhi daerah las. Namun, terjadi anomali pada data pengukuran micro strain
baik untuk pengukuran arah aksial dan hoop. Distribusi micro strain arah aksial
anomali berada di titik 5 mm untuk sampel Double V Groove 22.5° dan Double
Bevel Groove 30°. Distribusi micro strain arah hoop anomali ada di titik 5 dan 10
mm, untuk sampel Double V Groove 30° dan Double Bevel Groove 30°. Anomali
terjadi akibat dilakukan pengelasan ulang pada cover, sehingga terbentuk
mekanisme regangan baru pada titik tersebut. Hal yang sama juga akan terjadi saat
perhitungan tegangan sisa karena berkaitan dengan pembahasan pada regangan.
4.3.2 Tegangan Sisa
Data micro strain yang diperoleh kemudian dipakai untuk mencari nilai
tegangan sisa. Hasil perhitungan distribusi tegangan sisa arah aksial dapat dilihat
pada gambar 4.6 memiliki konfigurasi sebagai berikut, sampel Double V Groove,
sudut kemiringan 22.5° di titik 0 mm 36 MPa. Titik 5 mm dengan -105 MPa
mengalami tegangan tekan relatif terhadap titik 0 mm. Titik 10 mm dengan 140
MPa, mengalami tegangan tarik relatif terhadap titik 5 mm. Titik 15 mm dengan
246 MPa, mengalami tegangan tarik relatif terhadap titik 10 mm, dan titik 25 mm
dengan 136 MPa, mengalami tegangan tekan relatif terhadap titik 15 mm.
Sampel Double V Groove 30°, di titik 0 mm nilai tegangan sisanya -126
MPa. Titik 5 mm dengan 320 MPa dan mengalami tegangan tarik relatif terhadap
titik 0 mm. Titik 10 mm nilainya 393 MPa, mengalami tegangan tarik relatif
47
47
terhadap titik 5 mm. Titik 15 mm nilainya 391 MPa, mengalami tegangan tekan
relatif terhadap titik 10 mm. Kemudian titik 25 mm 252 MPa, mengalami
tegangan tekan relatif terhadap titik 15 mm.
Sampel Double Bevel Groove 22.5° di titik 0 mm nilai tegangan sisa -235
MPa. Titik 5 mm dengan -33 MPa, mengalami tegangan tarik relatif terhadap titik
0 mm. Titik 10 nilainya mm 256 MPa, mengalami tegangan tarik relatif terhadap
titik 5 mm. Titik 15 mm nilainya 171 MPa, mengalami tegangan tekan relatif
terhadap titik 10 mm. Kemudian titik 25 mm 66 MPa, mengalami tegangan tekan
relatif terhadap titik 15 mm.
Double Bevel Groove 30° di titik 0 mm nilai tegangan sebesar 145 MPa.
Titik 5 mm dengan 37 MPa, mengalami tegangan tekan relatif terhadap titik 0
mm. Titik 10 nilainya mm 266 MPa, mengalami tegangan tarik relatif terhadap
titik 5 mm. Titik 15 mm nilainya 390 MPa, mengalami tegangan tarik relatif
terhadap titik 10 mm. Kemudian titik 25 mm 126 MPa, mengalami tegangan tekan
relatif terhadap titik 15 mm.
Gambar 4.6. Distribusi tegangan sisa arah aksial.
Distribusi tegangan sisa arah hoop dapat dilihat pada Gambar 4.7 memiliki
konfigurasi sebagai berikut, sampel Double V Groove 22.5° di titik 0 mm 151
MPa. Lalu di titik 5 mm dengan 149 MPa mengalami tegangan tekan relatif
terhadap titik 0 mm. Titik 10 mm dengan 317 MPa mengalami tegangan tarik
relatif terhadap titik 5 mm. Titik 15 mm dengan 213 MPa mengalami tegangan
tekan relatif terhadap titik 10 mm, dan titik 25 mm dengan 45 MPa mengalami
tegangan tekan relatif terhadap titik 15 mm.
48
48
Sampel Double V Groove 30° di titik 0 mm memiliki nilai tegangan -171
MPa. Titik 5 mm dengan 384 MPa mengalami tegangan tarik relatif terhadap titik
0 mm. Titik 10 nilainya mm 317 MPa mengalami tegangan tekan relatif terhadap
titik 5 mm. Titik 15 mm nilainya 387 MPa mengalami tegangan tarik relatif
terhadap titik 10 mm. Kemudian titik 25 mm 91 MPa, mengalami tegangan tekan
relatif terhadap titik 15 mm.
Sampel Double Bevel Groove 22.5° di titik 0 mm nilai tegangan -195 MPa.
Titik 5 mm dengan 31 MPa mengalami tegangan tarik relatif terhadap titik 0 mm.
Titik 10 nilainya mm 280 MPa mengalami tegangan tarik relatif terhadap titik 5
mm. Titik 15 mm nilainya 64 MPa mengalami tegangan tekan relatif terhadap
titik 10 mm. Kemudian titik 25 mm -8 MPa, mengalami tegangan tekan relatif
terhadap titik 15 mm.
Sampel Double Bevel Groove 30° di titik 0 mm nilai tegangan sebesar 131
MPa. Titik 5 mm dengan 61 MPa mengalami tegangan tekan relatif terhadap titik
0 mm. Titik 10 mm nilainya 321 MPa mengalami tegangan tarik relatif terhadap
titik 5 mm. Titik 15 mm nilainya 263 MPa mengalami tegangan tekan relatif
terhadap titik 10 mm. Kemudian titik 25 mm 96 MPa, mengalami tegangan tekan
relatif terhadap titik 15 mm.
Gambar 4.7. Distribusi tegangan sisa arah hoop.
Distribusi tegangan sisa arah aksial, sampel Double V Groove 30° di hampir
semua titik memiliki nilai tertinggi dibanding sampel lain, yaitu di titik 5 mm, 10
mm, 15 mm, 25 mm dari sumbu las, kecuali di titik 0 mm Double Bevel Groove
49
49
30°, memiliki nilai tegangan sisa tertinggi. Nilai tegangan sisa terendah ada pada
sampel Double V Groove 22.5° dan Double Bevel Groove 22.5°. Sampel Double
Bevel Groove 22.5° dengan tiga titik, 0 mm, 15 mm, 25 mm, kemudian sampel
Double V Groove 22.5° dengan dua titik, 5 mm dan 10 mm.
Distribusi tegangan sisa arah hoop untuk sampel Double V Groove 30° juga
memiliki nilai tertinggi dibanding sampel lain, yaitu di titik 5 mm, 10 mm, 15
mm, 25 mm dari sumbu las, lalu pada titik 0 mm sampel Double V Groove 22.5°
memiliki nilai tegangan tertinggi. Sementara itu, untuk titik terendah ada pada
sampel Double Bevel Groove 22.5°, yaitu di titik 0 mm, 5 mm, 10 mm, 15 mm
dan 25 mm.
Double V Groove 30° mengalami tegangan sisa tertinggi, dapat diakibatkan
karena memiliki sudut kampuh paling besar dari semua sampel. Heat input
(masukan panas) yang dialami tentu berkaitan dengan bentuk dan besarnya
geometri sudut kampuh. Sudut kampuh yang besar tentu membuat heat input dan
paparan panas yang dialami sampel menjadi lebih lama dan makin tinggi, dan
tegangan sisa meningkat. Penelitian Widyanto (2014) mengungkapkan bahwa
semakin besar sudut kampuh yang digunakan semakin tinggi nilai tegangan sisa
yang didapat.
Besaran masukan panas (heat input) mempengaruhi regangan melalui
pemuaian bahan. Bila regangan melebihi batas transformasi dan batas luluh bahan
atau sampai deformasi plastis, regangan akan bersifat tetap setelah diikuti proses
pendinginan. Widyanto (2014) dalam penelitiannya juga menjelaskan tegangan
sisa akibat deformasi plastis yang tidak seragam, lalu diikuti penyusutan saat
proses pendinginan.
Setelah proses pengelasan kemudian diikuti proses pendinginan. Proses
pendinginan membuat penyusutan volume material, sehingga muncul deformasi
dan tegangan sisa. Tegangan sisa tertinggi berada di titik 5 mm, 10 mm, dan 15
mm diakibatkan karena pada bagian ini mengalami penyusutan terbesar dibanding
derah dekat logam induk atau titik 25 mm. Fenomena solidifikasi dan penyusutan
juga membuat daerah las dan HAZ berpotensi memiliki tegangan tarik saat
sampel telah dingin.
50
50
Kemudian tegangan sisa tertinggi berada didaerah HAZ sesuai dengan
penelitian Kohler, dkk (2012) yang menyatakan tegangan sisa terbesar ada pada
titik HAZ. Orientasi distribusi yang terjadi juga sejalan dengan teori menurut
Fitzpatrick dan Lodini (2003) dan penelitian Price, dkk (2006) bahwa tegangan
tarik akan terjadi dekat logam las dan daerah terpengaruh panas, lalu terjadi
tegangan tekan saat jaraknya menjauh dari garis las atau menuju logam induk.
Selain regangan, pola struktur mikro dapat mempengaruhi nilai tegangan
sisa. Ukuran butir yang kecil (halus) pada daerah terpengaruh panas membuat
kekerasan lebih tinggi, dan modulus elastisitas naik. Apabila nilai regangan
konstan, dengan modulus elastisitas yang tinggi, tegangan sisa dapat naik. Sampel
dengan geometri sudut kampuh besar tentu akan memiliki modulus elastisitas
menyeluruh dalam sampel yang tinggi, sehingga bila di kolaborasikan dengan
regangan, tegangan sisa makin signifikan. Fenomena tersebut sejalan dengan
formula tegangan, bahwa nilainya akan sama dengan modulus elastisitas dikali
regangan.
4.4 Frekuensi Natural
Pembahasan pengujian frekuensi natural difokuskan pada titik pengukuran
35 mm dari sensor accelerometer. Data pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.8,
memperlihatkan semakin besar sudut kampuh memiliki kecenderungan terhadap
meningkatnya nilai frekuensi natural.
Data yang diperoleh pada sampel Double V Groove 20° di tiga titik secara
berurutan adalah 53.711 Hz. Sampel Double V Groove 22.5° memiliki nilai
frekuensi natural 51.270 Hz. Double V Groove 30° memiliki nilai frekuensi
natural 56.152 Hz. Sampel Double Bevel Groove 20° memiliki nilai frekuensi
natural 52.490 Hz. Sampel Double Bevel Groove 22.5° memiliki nilai frekuensi
natural 52.490 Hz. Sampel Double Bevel Groove 30° memiliki nilai frekuensi
natural 57.373 Hz.
Nilai frekuensi natural terbesar ada di sampel Double Bevel Groove dengan
sudut kemiringan 30° 57.373 Hz, lalu Double V Groove 30° dengan 56.152 Hz.
Nilai terkecil ada di sampel Double V Groove 22.5° dengan 51.270 Hz. Hasil
pengujian menunjukkan ada perbedaan, namun tidak terlalu signifikan di setiap
51
51
variasi, dimana sampel dengan sudut kemiringan 30° memiliki nilai frekuensi
natural tertinggi.
Gambar 4.8. Hasil pengujian frekuensi natural.
Frekuensi natural meningkat diakibatkan oleh proses pengelasan. Apabila
dilihat pada struktur mikro, telah terjadi perubahan ukuran butir, sehingga
berpengaruh pada nilai kekerasan dan kekakuan. Pada pengamatan struktur makro
dapat dilihat semakin besar sudut kampuh membuat daerah las dan daerah
terpengaruh panas semakin lebar. Daerah las yang lebar akan membuat material
makin kaku dan regangan menjadi kecil, sehingga secara keseluruhan
mempengaruhi nilai modulus elastisitas.
Kekakuan dan kekerasan berhubungan dengan ukuran butir pada struktur
mikro, karena struktur mikro dapat dipakai untuk mengetahui kekuatan bahan.
Material yang dilas akan mengalami perubahan ukuran butir sehingga menjadi
keras dan getas terutama di daerah las. Makin tinggi nilai modulus elastisitas
maka material tersebut semakin kaku sehingga kemampuan menyerap getaran
makin kecil, akibatnya frekuensi natural bahan akan naik.
Rozy, dkk (2013) menyebutkan bahwa modulus elastisitas merupakan
karakteristik dalam suatu logam, makin besar modulus elastisitas makin kecil
regangan yang dihasilkan, dimana regangan tersebut yang nantinya akan
mempengaruhi nilai modulus kekakuan. Semakin kecil regangan maka makin
besar modulus kekakuan dan frekuensi natural sebuah material.
52
52
Nilai frekuensi natural juga sejalan dengan nilai tegangan sisa. Semakin
besar tegangan sisa tentunya berpotensi meningkatkan nilai frekuensi natural,
karena salah satu cara mengubah frekuensi adalah dengan merubah tegangannya.
Sehingga tegangan sisa pada sebuah pembebanan struktural inilah yang
menyebabkan naiknya modulus kekakuan sehingga berpengaruh terhadap nilai
frekuensi natural. Efek tersebut telah dibuktikan melalui penelitian Jason, dkk
(2014) bahwa tegangan sisa memiliki pengaruh pada frekuensi natural sistem.
Sebelumnya Yongyi dan Lichuan (1996) juga menyebut makin tinggi tegangan
sisa karena pengelasan maka frekuensi natural komponen akan meningkat.
Sudut kemiringan kampuh las tentu memiliki pengaruh terhadap besaran
heat input saat proses pengelasan diikuti pendinginan. Akibat siklus termal
tersebut berpengaruh pada ukuran butir, lebar daerah las, deformasi dan nilai
tegangan sisa. Hasil pengujian menunjukkan meningkatnya nilai tegangan sisa
sejalan dengan meningkatnya nilai frekuensi natural.