17
UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Anatomi Tonsil Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas. 1,5 Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. 1,5 1

4 Bab 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

THT

Citation preview

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Tonsil

Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan sebaran

jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal dengan

cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil

dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan

mengalami regresi pada usia puberitas.1,5

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua

sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot

palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian

medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring

superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual.

Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal

dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil

membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.1,5

Gambar 1. Anatomi Tonsil7

1

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

Kripta pada tonsil berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil merupakan

lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi

sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke

dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga

semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat

peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di

dalam kripta tonsil.1,5

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,

melalui cabang-cabangnya, yaitu:

Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan

arteri palatina asenden

Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

Arteri faringeal asenden1,5

Sumber pendarahan daerah kutub bawah tonsil:

Anterior : arteri lingualis dorsal

Posterior : arteri palatina asenden

Diantara keduanya: arteri tonsilaris1,5

Sumber pendarahan daerah kutub atas tonsil:

Arteri faringeal asenden

Arteri palatina desenden1,5

Gambar 2. Pendarahan Tonsil1

2

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior

dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,

mengirimkan cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring posterior menuju

tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian

luar otot konstriktor faring superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan

mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatine

desenden atau a. palatina posterior memberi perdarahan tonsil dan palatum mole dari

atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil

membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.1,5,8

Aliran getah bening dari daerah tonsil mengalir menuju rangkaian getah

bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah otot

sternokleidomastoideus. Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir

menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen

dan tidak memiliki pembuluh getah bening aferen. Persarafan tonsil bagian atas

mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian

bawah dari saraf glosofaringeus.1,5

1.2 Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong dengan

bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan ruang

utama traktus resporatorius dan traktus digestivus.6 Faring terdiri dari:

a. Nasofaring

Dinding nasofaring terdiri dari otot, jaringan fibrosa dan lapisan otot. Otot

nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, dasar sphenoid, dan dasar occiput yang

merupakan tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah. Dasar

nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Dinding depan dibentuk

oleh koana dan bagian belakang kavum nasi. Bagian belakang berbatasan dengan

ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding

lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius

3

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

dengan batas posterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus tubarius,

sedangkan kearah superior terdapat fossa rosenmuller atau resesus lateral.6

b. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum mole, batas

bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke

belakang adalah vertebra servikalis. Struktur yang terdapat di rongga orofaring

adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil, arkus faring anterior

dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.6

c. Laringofaring

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior

adalah laring, batas inferior adalah introitus esofagus, serta batas posterior adalah

vertebra servikal.6

Gambar 2. Anatomi faring3

4

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

1.3 Tonsilitis Kronis

1.3.1 Definisi Tonsilitis Kronis

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut

atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim

atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan

tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.1,3 Brodsky

menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan.

Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan

kadang dapat menetap.1 Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda4

menjelaskan tonsillitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya

pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang.

1.3.2 Etiologi

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang

mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila

fase resolusi tidak sempurna. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang sering

adalah Streptococcus beta hemolyticus group A (SBHGA). Selain itu terdapat

Streptococcus pyogenes, Streptococcus group B, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan

virus Herpes.8

1.3.3 Faktor Risiko Tonsilitis Kronis

Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik

maupun lingkungan sebagai faktor risiko penyakit tonsilitis kronis.7

a. Umur

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronis merupakan

penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun.

Dalam suatu penelitian, prevalensi karier Group A Streptococcus yang asimptomatis

yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia

45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering

penderita tonsilitis kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50%.

5

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data bahwa 62% penderita

tonsilitis kronis adalah kelompok usia 5-14 tahun.7

b. Jenis Kelamin

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657

data penderita tonsilitis kronis, dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315

(48%). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India, dari

203 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105

(52%) berjenis kelamin wanita.7

1.3.4 Patofisiologi

Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan peningkatan

stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel

kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk

ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil

yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis

kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam

kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil.1,8

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa,

jaringan limfoid juga terkikis. Akibatnya, pada proses penyembuhan, jaringan

limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga kripti melebar.

Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus, yaitu kumpulan leukosit, bakteri

yang mati, dan epitel yang terlepas. Proses ini meluas sehingga menembus kapsul

dan akhirnya timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak

proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.8

1.3.5 Gejala Klinis

Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut, seperti nyeri tenggorok,

nyeri ketika menelan, demam, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan,

dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred

pain) melalui nervus glossofaringeus.8 Gejala klinis tonsilitis kronis yaitu: 1) Rasa

6

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

ada yang mengganjal di tenggorok. Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi

tonsilitis kronis, 41,3% penderita mengeluhkan rasa ada yang mengganjal di

tenggorok sebagai keluhan utama; 2) Halitosis atau bau mulut. Halitosis terjadi

akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi

sumber infeksi berikutnya. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, 27%

penderita mengeluhkan halitosis; 3) Gangguan menelan, obstruksi sleep apnue, dan

gangguan suara (akibat pembesaran tonsil).2,3

1.3.6 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai

ukuran dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil, arsitektur kripta

yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil, sikatrik pada pilar, dan

pembesaran kelenjar limfe submandibula.1,8

Tonsil dapat membesar bervariasi. Menurut Thane dan Cody, pembesaran

tonsil terbagi atas T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar

anterior uvula; T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai

½ jarak pilar anterior-uvula; T3: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-

uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula; T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak

pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih. Penelitian yang dilakukan di Denizli

Turkey dari 1.784 anak sekolah usia 4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil

terbanyak yakni T1: 1.119 (62%), T2: 507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), T4: 2 (0,1%).2,3

Gambar 3. Ukuran Tonsil (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils.

(C) Grade-III tonsils. (D) Grade-IV tonsils (kissing tonsils)7

7

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

1.3.7 Diagnosis

Kesukaran untuk mendiagnosis tonsilitis kronis adalah karena tidak adanya tes

diagnostik spesifik dan non-invasif sampai saat ini. Untuk kasus yang sering maupun

tipikal, pemeriksaan tambahan, seperti foto rontgen cavum, CT-scan, dan endoskopi

nasal (nasofibroskopi), tidak begitu diperlukan untuk konfirmasi diagnosis, tetapi

berguna untuk menyingkir diagnosis banding seperti obstuksi nasal akibat rhinitis,

polip, septum deviasi, konka hipertrofi, stenosis, dan lain-lain. Otitis media serosa

dapat dinilai lewat timpanometri.9

Poin diagnosis utama untuk diagnosis mikrobiologis adalah adanya flora

bakteri campuran di dalam struktur, seringkali termasuk agen anaerob. Ini bisa

ditemukan pada sampel surgikal yang diangkat maupun pada sampel BAJAH.

Bakteri flora yang didapatkan sangat menyerupai flora normal pada permukaan tonsil

yang biasanya dinilai sebagai organisme komensal. Infeksi berulang oleh

Streptococcus pyogenes A dan Streptococcus pyogen lain juga ditemukan pada kasus

kronis, yang menjadikan kasus-kasus ini menyerupai tonsillitis rekuren secara

mikrobiologis.9

Saat ini, defisit imunologis pada tonsilitis kronis masih tidak bisa dibuktikan.

Walaupun begitu, ada teori kuat defisiensi imun lokal kongenital, di mana pada anak-

anak dengan tonsilitis kronis yang ada faktor herediter, biasanya diakibatkan agen

oportunistik (anaerobik). Ketiadaan fokus infeksi lain pada tubuh dan perbaikan

kondisi setelah adenotonsilektomi mengkonfirmasi teori ini. Dalam kasus-kasus ini,

defisiensi imun humoral maupun seluler, dan defisiensi surface immunoglobulin

lokal tidak dipertimbangkan. Perubahan yang ditemukan pada epithelium tonsil bisa

menjadi penyebab dan akibat infeksi kronis.9

1.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tonsillitis kronis terbagi atas terapi medikamentosa dan terapi

pembedahan.1,5,8

8

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

a. Medikamentosa

Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi, baik pada

tonsilitis akut maupun tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Antibiotika diberikan sesuai

kultur. Antibiotik jenis penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar

kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan

bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain jenis penisilin. Pada

bakteri penghasil enzim β laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap enzim ini,

seperti amoxicilin clavulanat.1,5,8

b. Operatif

Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat

ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi akibat hipertrofi tonsil. Obstruksi

yang mengakibatkan gangguan menelan maupun gangguan nafas merupakan indikasi

absolut. Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergensi dan

perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan.1

Menurut The American Academy of Otolaryngology - Head and Surgery

(AAO-HNS), indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi:5,7

1. Indikasi Absolut

Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia

berat, gangguan tidur, dan komplikasi kardiopulmoner.

Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.

2. Indikasi Relatif

Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik

yang adekuat.

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian

terapi medis.

Tonsilitis kronik atau berulang pada karier Streptococcus yang tidak

membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.

9

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

1.4 Faringitis Kronik

Terdapat dua bentuk faringitis kronik, yaitu faringitis kronik hiperplastik dan

faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah

rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang

merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis

kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.3

1.4.1 Faringitis Kronik Hiperplastik

Pasien mengeluh tenggorok terasa kering, gatal dan akhirnya batuk yang bereak.

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.

Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hyperplasia. Pada

pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan berglanular.3

1.4.2 Faringitis Kronik Atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis

atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembabannya sehingga

menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya mengeluhkan

tenggorokan kering dan tebal, serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa

faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.3

1.4.3 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang

menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala

seperti demam, anorexia, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang

hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe

pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan

darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan leukosit.3

10

UNIVERSITAS ANDALASFAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II

1.4.4 Diagnosis

Diagnosis faringitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang cermat. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil

yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.3

1.4.5 Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis,

antara lain:

o Pemeriksaan darah lengkap

o GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri

Streptococcus group A

o Throat culture

1.4.6 Penatalaksanaan

Pada faringitis viral, pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup, dan

berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Anti virus

metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-

100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada

anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.3

Pada faringitis akibat bakteri, terutama bila diduga penyebabnya

Streptococcus group A, diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000

U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari

selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau eritromisin 4x500

mg/hari. Pasien dengan faringitis akibat bakteri dapat diberikan analgetik, antipiretik,

dan dianjurkan pasien untuk berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau

antiseptik.3

11