16
13 Tahap berikutnya dengan menggunakan rancangan box-behken dengan 3 tingkat kode (-1,0,+1) untuk menjelaskan sifat permukaan respon di wilayah optimum. Sesuai dengan desain ini, total kombinasi perlakuan adalah 15 dengan 3 replikat (Lampiran 5). Hasil rancangan box-behken sesuai dengan persamaan polinomial orde kedua yaitu j i j i ij k i ii k i i i X X X X Y i 1 2 1 0 (2) Analisis Data Semua percobaan dilakukan secara acak, dan nilai gugus karboksil atau karbonil diambil sebagai respon. Rancangan FF, box-behken dan analisis statistik data dilakukan dengan minitab (versi 16). Analisis statistik dari model dievaluasi dengan analisis varians (ANOVA). Kualitas persamaan model dinilai secara statistik dengan koefisien determinasi R 2 dan signifikansi statistik ditentukan dengan nilai p (p-value). 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyaringan Faktor dan Pendugaan Daerah Optimum Meskipun tujuan eksperimental akhir oksidasi onggok adalah optimasi, percobaan pertama yang harus dilakukan adalah penyaringan faktor karena ada banyak faktor potensial yang harus dipertimbangkan. Percobaan ini mengacu pada rencana eksperimental yang bertujuan menemukan faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan untuk respon kadar gugus karboksil dan karbonil (Tabel 4). Tabel 4 Output minitab dari hasil rancangan FF Source Gugus karboksil Gugus karbonil P Coef P Coef Constant 0.000 0.058 0.015 0.050 Faktor utama Suhu pH Waktu oksidasi Jumlah oksidator Jumlah katalis 0.090 0.369 0.031 0.149 0.239 -0.017 0.008 0.022 0.014 -0.011 0.015 0.384 0.015 0.384 0.015 -0.050 -0.015 -0.050 0.015 0.050 Anova parameter Regresi Lack-of-fit 0.069 0.001 - - 0.011 0.484 - -

4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

13

Tahap berikutnya dengan menggunakan rancangan box-behken dengan 3

tingkat kode (-1,0,+1) untuk menjelaskan sifat permukaan respon di wilayah

optimum. Sesuai dengan desain ini, total kombinasi perlakuan adalah 15 dengan 3

replikat (Lampiran 5). Hasil rancangan box-behken sesuai dengan persamaan

polinomial orde kedua yaitu

ji

jiij

k

i

ii

k

i

ii XXXXYi

1

2

1

0 (2)

Analisis Data

Semua percobaan dilakukan secara acak, dan nilai gugus karboksil atau

karbonil diambil sebagai respon. Rancangan FF, box-behken dan analisis statistik

data dilakukan dengan minitab (versi 16). Analisis statistik dari model dievaluasi

dengan analisis varians (ANOVA). Kualitas persamaan model dinilai secara

statistik dengan koefisien determinasi R2 dan signifikansi statistik ditentukan

dengan nilai p (p-value).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyaringan Faktor dan Pendugaan Daerah Optimum

Meskipun tujuan eksperimental akhir oksidasi onggok adalah optimasi,

percobaan pertama yang harus dilakukan adalah penyaringan faktor karena ada

banyak faktor potensial yang harus dipertimbangkan. Percobaan ini mengacu pada

rencana eksperimental yang bertujuan menemukan faktor-faktor yang memiliki

pengaruh signifikan untuk respon kadar gugus karboksil dan karbonil (Tabel 4).

Tabel 4 Output minitab dari hasil rancangan FF

Source Gugus karboksil Gugus karbonil

P Coef P Coef

Constant 0.000 0.058 0.015 0.050

Faktor utama

Suhu

pH

Waktu oksidasi

Jumlah oksidator

Jumlah katalis

0.090

0.369

0.031

0.149

0.239

-0.017

0.008

0.022

0.014

-0.011

0.015

0.384

0.015

0.384

0.015

-0.050

-0.015

-0.050

0.015

0.050

Anova parameter

Regresi

Lack-of-fit

0.069

0.001

-

-

0.011

0.484

-

-

Page 2: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

14

Signifikansi statistik diuji pada taraf kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan

membandingkan nilai p. Dari pengolahan data, faktor yang berpengaruh

signifikan dalam meningkatkan kadar gugus karboksil ditunjukkan dengan nilai p

< 0.05 hanya waktu oksidasi (0.031). Begitu juga dengan kadar gugus karbonil,

dipengaruhi oleh waktu oksidasi (0.015). Akan tetapi, faktor suhu dan jumlah

katalis dengan nilai p yang sama turut berpengaruh signifikan untuk gugus

karbonil. Sementara faktor yang tersisa dengan taraf kepercayaan < 95%

dipertimbangkan tidak signifikan.

Ketika suatu titik optimum akan dicari melalui percobaan yang melibatkan

beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar

level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum

(Hadiyat 2013). Akan tetapi, level-level faktor yang telah ditentukan pada

rancangan percobaan orde pertama dalam penelitian ini belum tentu berada di

daerah optimum, sehingga titik optimum yang diperoleh dari percobaan lanjutan

bisa saja jauh dari yang sebenarnya. Jadi, pendugaan daerah di sekitar titik

optimum harus dilakukan.

Kalau rancangan percobaan memuat area titik respon optimum diantara

level-level faktor yang diselidiki, persamaan akan mengandung lack-of-fit (Myers

dan Montgomery diacu dalam Hadiyat 2013). Respon yang mengandung lack-of-

fit adalah gugus karboksil dengan nilai p < 0.05. Keberadaan lack-of-fit juga

menunjukkan ketidakcocokan model regresi dari faktor-faktor bebas terhadap

rancangan yang digunakan. Dari uji parameter regresi diperoleh nilai p > 0.05

untuk respon kadar karboksil. Dengan demikian, level-level faktor yang diajukan

untuk gugus karboksil telah memuat daerah titik optimum, maka untuk model

persamaan titik optimumnya, tidak dapat diwakili oleh rancangan percobaan orde

pertama (fraksional faktorial). Langkah selanjutnya dapat langsung diterapkan,

yaitu dengan memasukkan level-level faktor pada rancangan orde kedua untuk

menduga titik optimum dan persamaan modelnya.

Dari hasil anova untuk respon gugus karbonil, nilai p menunjukkan bahwa

persamaan tidak memberikan lack-of-fit, sehingga titik optimum tidak terdapat

pada level-level faktor yang diajukan dari rancangan orde pertama. Meskipun

rancangan percobaan FF dapat mewakili persamaan model regresinya (nilai p =

0.011), tetapi persamaan tersebut kurang berarti karena tidak dapat menduga

daerah titik optimum respon. Berikut persamaan orde pertama kadar gugus

karbonil setelah memasukkan dengan nilai koefisien faktor yang signifikan.

ŷ = 0.050 – 0.050 X1 – 0.050 X3 + 0.050 X5 (3)

Solusi untuk melacak daerah di sekitar titik optimum respon adalah dengan

menggeser (menambah atau mengurangi) level faktor yang diteliti ke arah sesuai

dengan peningkatan respon kadar gugus karbonil (Xiaoyong et al. 2009; Hadiyat

2013). Proses ini disebut sebagai steepest ascent/descent, seperti yang

dicontohkan pada Gambar 4. Setelah diperoleh level faktor yang menunjukkan

respon optimum, percobaan dengan rancangan orde pertama diulangi kembali

untuk penyaringan dan pendugaan daerah titik optimum.

Page 3: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

15

Gambar 4 Pergeseran level faktor ke arah respon optimum

“Diadaptasi dari Montgomery (1997)”

Proses steepest ascent/descent untuk menentukan respon optimum kadar

gugus karbonil tidak dilanjutkan dalam penelitian ini. Adanya dugaan bahwa

ikatan C2-C3 banyak terputus pada unit glikosida onggok berhubungan erat

dengan pembentukan gugus karbonil, sehingga dapat merusak polimer dan

mengurangi derajat polimerisasi. Lagi pula, gugus karboksil lebih banyak

terbentuk dengan peluang oksidasi spesifik posisi C6 dan memberikan sifat yang

lebih hidrofilik daripada gugus karbonil.

Pembentukan Gugus Karbonil dan Karboksil

Studi sebelumnya telah mengusulkan jalur reaksi berturutan dari oksidasi

gugus hidroksil di posisi tertentu cincin glukosida membentuk gugus karbonil.

Kemudian sebagian teroksidasi lanjut menjadi karboksil sehingga menghasilkan

pati tapioka teroksidasi dengan dua gugus fungsi baru hasil oksidasi

(Sangseethong et al. 2009). Atau dengan pendekatan katalitik dan bergantung

pada jenis oksidator yang digunakan, jalur reaksi paralel yang menghasilkan

gugus karboksil saja dari oksidasi selektif gugus hidroksil primer cincin glukosida

polisakarida (de Nooy et al. 1997; Pagliaro 1998; Sorokin et al. 2004).

Jalur reaksi selama proses oksidasi dalam penelitian ini tidak diketahui

secara pasti. Walau demikian, penjelasan dari hubungan pengaruh faktor-faktor

oksidasi dengan pembentukan kedua gugus karbonil dan karboksil (Gambar 5 dan

6) dapat menuntun untuk menduga jalur reaksinya. Dua gambar tersebut jelas

menunjukkan bahwa pola hubungan faktor jumlah oksidator dan suhu sama kedua

gugus, tetapi tidak demikian halnya dengan faktor pH, jumlah katalis dan waktu

oksidasi.

Page 4: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

16

Gambar 5 Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karbonil

Gambar 6 Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karboksil

Jumlah oksidator sudah sewajarnya memberikan pengaruh yang sama

terhadap peningkatan atau penurunan kadar setiap gugus karena merupakan faktor

penting dalam reaksi kimia. Jumlah oksidator menunjukkan banyaknya molekul

H2O2 yang digunakan saat oksidasi. Jumlah molekul yang lebih banyak

memberikan peluang terjadinya reaksi lebih besar sehingga produk reaksinya

dapat melimpah.

Meskipun bukan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon, pH

menunjukkan pola pengaruh yang berlawanan pada kedua gugus. Arah hasil

reaksi dan jumlah gugus fungsional yang dibentuk dalam molekul onggok selama

oksidasi peroksida bergantung pada pH reaksi. Hal tersebut menegaskan hasil

penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Sandhu et al. (2008) dan

Sangseethong et al. (2010). Pembentukan gugus karbonil ditemukan lebih tinggi

di bawah kondisi netral sementara jumlah gugus karboksil meningkat dengan

bertambahnya pH.

Selama proses oksidasi, karbonil yang telah terbentuk sebelumnya bereaksi

dengan air menghasilkan kesetimbangan dengan zat antara -diol, lalu teroksidasi

lanjut lagi menghasilkan karboksil (Gambar 7). Adisi nukleofilik air ke gugus

karbonil berjalan lambat di bawah kondisi netral, tetapi terkatalis pada suasana

basa. Arah reaksi akan menuju –diol kalau pH basa dan pembentukan gugus

karboksil akan semakin tinggi. Seperti halnya dalam penelitian ini jumlah gugus

karboksil ditemukan tinggi dalam kondisi basa.

Page 5: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

17

Gambar 7 Oksidasi karbonil terjadi melalui zat antara -diol

Reaksi terkatalis basa berlangsung lebih cepat karena air terkonversi

menjadi ion hidroksida sebagai nukleofilik yang lebih baik. Walau demikian, level

alkalinitas juga mempengaruhi jumlah gugus karboksil, seperti yang diamati oleh

Sangseethong et al. (2009) pada oksidasi pati tapioka. Dalam rentang pH yang

diteliti, pembentukan tertinggi gugus karboksil berada pada pH 8 dan 9. Ketika

pH reaksi meningkat menjadi 10 dan 11, jumlahnya menurun.

Pada awalnya reaksi oksidasi pati dipicu oleh kehadiran katalis logam

melalui inisiasi H2O2 menjadi radikal hidroksil. Radikal bebas ini sangat reaktif

dan mudah bereaksi dengan ikatan C-H pati yang selanjutnya mengalami

pembentukan gugus karbonil selama periode awal reaksi. Semakin banyak katalis

yang digunakan, akan banyak ikatan C-H yang terputus oleh radikal bebas. Jika

jumlah oksidator yang digunakan sedikit dan bukan dalam kondisi basa, tahap

oksidasi lanjut karbonil menjadi karboksil tidak terjadi karena sebagian besar

reagen oksidan telah dikonsumsi untuk pembentukan karbonil. Oleh sebab itu,

kadar karbonil dipengaruhi signifikan oleh jumlah katalis yang digunakan.

Suhu memang hanya berpengaruh signifikan terhadap kadar karbonil, tetapi

kedua gugus karbonil dan karboksil diproduksi selama proses oksidasi. Komposisi

kedua produk bergantung pada suhu reaksi yang ditentukan oleh kendali kinetika

atau kendali termodinamika. Sepertinya gugus karbonil tidak stabil di suhu tinggi,

sehingga tidak terbentuk sama sekali dan atau tidak stabil sehingga semuanya

berubah menjadi gugus karboksil, karena itu gugus karboksil masih terbentuk

sedikit di suhu tersebut. Pada suhu rendah proporsi produk ditentukan oleh laju

relatif pembentukan produk. Jika mengikuti jalur reaksi berturutan, semakin

banyak karbonil terbentuk, maka semakin banyak juga yang menjadi karboksil.

Karena itu, kedua gugus menunjukkan pola yang sama terhadap faktor suhu.

Satu-satunya faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kedua gugus

fungsi adalah waktu dan menghadirkan pola yang berbanding terbalik. Akan

tetapi, jika waktu oksidasi diturunkan di bawah level rendah perlakuan, kadar

gugus karbonil yang diperoleh akan lebih tinggi. Sangseethong et al. (2010)

melaporkan oksidasi gugus hidroksil dalam molekul pati oleh peroksida hampir

selesai dalam 30 menit pertama menghasilkan lebih banyak gugus karbonil. Oleh

sebab itu, daerah yang mencakup titik optimasi tidak ada untuk kadar karbonil

karena level waktu yang diberikan terlalu tinggi (60 dan 120 menit) sehingga

sebagian besar telah berubah menjadi karboksil.

Hubungan antara faktor dan pembentukan kedua gugus fungsi hasil oksidasi

belum sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi, dari beberapa spekulasi diatas,

diusulkan jalur berturutan dengan hanya gugus karboksil saja dihasilkan bukan

kedua gugus, walaupun pada dasarnya melalui tahap pembentukan karbonil

terlebih dahulu. Dukungan dari data kadar yang didominasi oleh gugus karboksil

dalam penelitian ini membenarkan jalur tersebut (Lampiran 4).

karbonil diol karboksil

Page 6: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

18

Jalur reaksi yang diperoleh berbeda dari penelitian oksidasi H2O2 pada pati

tapioka oleh Sangseethong et al. (2010). Penelitian tersebut melaporkan gugus

karbonil lebih dominan. Perbedaan ini berhubungan erat dengan kondisi yang

digunakan dalam reaksi. Ada kondisi reaksi yang mendukung kestabilan karboksil

atau karbonil saja dan ada juga yang mendukung keduanya. Kondisi yang tidak

terlalu drastis akan menghasilkan hasil yang baik.

Lokasi gugus hidroksil yang mengalami oksidasi dalam cincin glukosida

onggok juga sangat sulit ditentukan. Akan tetapi, pemilihan kondisi yang relevan

akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi pada posisi gugus hidroksil yang

lebih reaktif.

Interaksi Antarfaktor Oksidasi

Tidak hanya hubungan antara satu faktor dan kedua gugus fungsi, tetapi

interaksi antarfaktor juga menentukan kadar gugus dengan hubungan yang

kompleks. Gambar 8 dan 9 menunjukkan hubungan interaksi antarfaktor terhadap

kadar setiap gugus. Untuk perencanaan langkah selanjutnya, pemilihan level dari

interaksi antarfaktor sangat berguna pada proses optimasi, memilih kondisi reaksi,

mempercepat laju reaksi dan sebagai alternatif steepest ascent/descent untuk

melacak daerah titik optimasi gugus karbonil. Secara singkat, kondisi reaksi

dipengaruhi oleh interaksi antar faktor dan hubungannya dapat digunakan untuk

memilih level sesuai dengan produk dan lokasi oksidasi yang diinginkan.

Gambar 8 Interaksi antarfaktor kadar karbonil

Gambar 9 Interaksi antarfaktor kadar karboksil

Page 7: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

19

Dalam penelitan ini diinginkan karboksil sebagai produk dominan dan

lokasi oksidasi pada gugus hidroksil primer unit glukosida onggok. Dengan

demikian, faktor signifikan karbonil harus diperhitungkan karena pembentukan

karboksil melalui jalur reaksi berturutan. Katalis yang banyak, waktu singkat dan

suhu rendah akan mendukung pembentukan karbonil. Akan tetapi, hubungan

faktor yang berbanding terbalik perlu juga diperhatikan, seperti waktu oksidasi.

Perlu diketahui, katalis mempengaruhi lokasi oksidasi. Jumlah katalis yang

cukup, akan memberikan peluang besar bagi radikal bebas untuk menyerang

ikatan C-H tempat hidroksil primer berada karena gugus hidroksil primer lebih

reaktif dari sekunder. Dalam hal yang sama, pembentukan gugus karbonil bisa

saja berkurang. Akan tetapi, Jika katalis berlebih, banyak ikatan C-H yang putus

dan bisa menyerang ikatan C-H posisi gugus hidroksil sekunder.

Penetapan kondisi reaksi juga dapat mempengaruhi laju reaksi produk yang

diinginkan. Faktor tidak signifikan dapat diatur untuk meningkatkan laju reaksi,

tanpa harus khawatir terhadap hubungan berbanding terbalik karena tidak akan

memberikan perbedaan nyata. Misalnya, agar laju reaksi mengarah ke produksi

gugus karboksil, faktor gugus karbonil yang tidak signifikan dapat dibuat tetap

sedemikian rupa sehingga relevan dengan kondisi pembentukan gugus karboksil,

seperti pH pada kondisi basa.

Interaksi antarfaktor oksidasi dan pengaruhnya terhadap kondisi reaksi

maupun proses optimum gugus karboksil akan dapat dipahami lebih jauh melalui

pemberian perlakuan dalam rancangan percobaan. Dengan pendekatan tersebut

dapat diperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses

dibandingkan dengan hanya memperkirakan hasilnya.

Titik Optimum Faktor Oksidasi

Meskipun kondisi reaksi telah diatur dengan cermat, penelaahan mengenai

respon tidak akan luput dari gangguan berbagi faktor yang memang tidak dapat

dibuat persis sama bagi setiap obyek dalam percobaan. Karena itu, penentuan

respon maksimum atau minimum kadar gugus karboksil jangan hanya terbatas

pada level-level yang dicobakan saja (Lampiran 5). Nilai koefisien regresi model

persamaan orde kedua (Tabel 5) dari metode permukaan respon dapat digunakan

untuk mendeteksi titik optimum respon yang muncul diantara selang level yang

dicobakan.

Page 8: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

20

Tabel 5 Output minitab persamaan model orde kedua kadar karboksil

Source P Coef

Constant 0.000 0.107

Linear

Suhu

Jumlah katalis

Waktu oksidasi

0.000

0.000

0.002

0.001

0.031

0.019

0.023

Square

Suhu*Suhu

Katalis*Katalis

Waktu*Waktu

0.001

0.895

0.000

0.001

0.0006

0.0398

0.0305

Interaction

Suhu x Katalis

Suhu x Waktu

Katalis x Waktu

0.006

0.002

0.017

0.246

-0.0242

0.0149

0.0056

Anova parameter

Regresia

0.000

aR-Sq = 98.68% R-Sq(adj) = 96.31%

Penaksiran titik optimum respon dimulai dengan memeriksa signifikansi

model. Tabel 5 menunjukkan bahwa model linear, square dan interaksi

berpengaruh signifikan karena nilai p ketiganya kurang dari α = 0.05 yang

didukung dengan nilai R2 = 98.68%. Jadi, model yang tepat untuk persamaan orde

kedua kadar gugus karboksil adalah model kuadratik. Selain signifikansi model,

tabel menunjukkan pula hasil uji kecocokan faktor dan variabel lainnnya terhadap

model yang dikonversi ke dalam nilai p. Uji parameter model menunjukkan faktor

suhu, jumlah katalis, waktu oksidasi memiliki pengaruh penting terhadap kadar

gugus karboksil. Lagi pula, uji parameter regresi serentak membuktikan bahwa

semua variabel memberikan sumbangan yang berarti terhadap model (p = 0.000).

Hasil analisis memberikan model seperti berikut,

ŷ = 0.107 + 0.031 X1 + 0.019 X2 + 0.023 X3 + 0.0006 X12 + 0.0398 X2

2

+ 0.0305 X32 - 0.0224 X1X2 + 0.0149 X1X3 + 0.0056 X2X3 (4)

Nilai-nilai koefisien regresi pada model orde kedua dapat disusun matriks

sebagaimana berikut,

3

2

1

b

333231

232221

131211

2/2/

2/2/

2/2/

B

β1, β2 dan β3 merupakan masing-masing koefisien dari suhu, jumlah katalis dan

waktu oksidasi, sehingga matriks b dan B adalah

0233,0

0187,0

0299,0

b

03051.000278.000748,0

00278.003981.001214,0

00748.001214.000061,0

B (5)

Page 9: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

21

Dari matriks (5) dimasukkan dalam persamaan matriks 𝑋o= (1

2)B-1b (6)

Sehingga didapatkan matriks

1419.1

7091.0

8335.2

Xo

Xo disebut sebagai titik stasioner yang selanjutnya digunakan untuk mencari titik

optimum pada persamaan berikut,

Xoi =Xi- X

Si (7)

Dari perhitungan persamaan (7) diperoleh nilai aktual titik optimum yang bisa

menghasilkan respon semaksimum mungkin kadar gugus karboksil, yaitu suhu

78.335 oC, jumlah katalis 4.301 ml dan waktu 83.613 menit.

Hubungan Antarfaktor Oksidasi yang Signifikan

Visualisasi permukaan respon kadar gugus karboksil digambarkan dalam

bentuk kontur (Gambar 10). Kontur tersebut membantu untuk memahami

hubungan antarfaktor signifikan selama proses oksidasi. Terlihat jelas dalam

kontur bahwa interaksi antarfaktor erat hubungannya dengan pembentukan gugus

karboksil maupun karbonil. Alur hijau gelap menunjukkan interaksi antar faktor

yang menghasilkan jumlah kadar karboksil tertinggi dan sebaliknya pada alur biru

gelap.

(a) (b)

(c)

Gambar 10 Hubungan antara faktor katalis dan waktu pada rentang suhu (a) 30 oC

(b) 40 oC (c) 50 oC

Page 10: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

22

Pada kontur tersebut terlihat perbedaan pembentukan gugus karboksil di

setiap rentang suhu yang digunakan. Rentang suhu 30-40 oC kadar gugus

karboksil sedikit dalam waktu singkat karena pada kisaran suhu tersebut

mendukung kestabilan gugus karbonil dan juga ada pengaruh dari katalis. Akan

tetapi, ketika suhu meningkat, banyak gugus karbonil telah terkonversi menjadi

karboksil.

Morfologi dan Struktur Granula OT

Gambar granula onggok yang diperoleh melalui pemayaran SEM (Gambar

11) tidak hanya menampilkan perbedaan bentuk dan ukuran granula, tetapi juga

menunjukkan perubahan yang terjadi dalam morfologi onggok sebelum dan

setelah oksidasi. Analisis SEM menunjukkan hasil aktivitas H2O2 dalam

mengubah struktur dan morfologi onggok.

(a) (b)

Gambar 11 Foto SEM (2000 x) dari onggok (a) original (b) teroksidasi H2O2

Granula pati onggok original memiliki bentuk bulat dengan ujung terpotong

di satu sisi. Permukaan granula onggok original itu mulus tanpa retak atau celah

apapun (Gambar 11a). Jika ada sedikit retak dan goresan terbentuk, paling

mungkin terbentuk selama tahap preparasi sampel. Secara umum, pola yang sama

ditemukan pada morfologi eksternal granula pati tepung tapioka, seperti yang

diamati oleh Sangseethong et al. (2010).

Tanda-tanda kerusakan berupa permukaan kasar dan banyak kerutan muncul

setelah onggok dioksidasi dengan peroksida. Keriput dapat diamati pada

permukaan beberapa granula besar onggok, bahkan menjadi percahan dalam

granula kecil (Gambar 11b). Lipatan tambahan tidak terlihat pada semua granula,

tetapi muncul terutama pada granula besar.

Hasil yang sama diperoleh oleh Pietrzyk dan Fortuna (2005) yang

menemukan retakan dan lipatan tambahan dalam tepung kentang, gandum dan

jagung yang dioksidasi dengan peroksida. Di samping itu, Sangseethong et al.

(2010) melaporkan dalam waktu oksidasi 120 dan 300 menit, permukaan granula

tepung tapioka teroksidasi menjadi kasar dan muncul beberapa celah.

Page 11: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

23

Perubahan morfologi onggok setelah oksidasi dapat dijelaskan dengan

peninjauan struktur melalui spektrofotometer FTIR. Spektrum onggok original

dan teroksidasi (Gambar 12) memperlihatkan jenis gugus fungsi yang dikandung

berdasarkan serapan bilangan gelombangnya. Pencirian ini dapat membuktikan

secara kualitatif keberhasilan proses oksidasi onggok.

Gambar 12 Spektrum FTIR onggok original (------) dan oksidasi (------)

Jumlah satuan gugus fungsi antara kedua spektrum relatif sama, misalnya

terdapat puncak serapan lebar pada bilangan gelombang 3437.15-3205.69 cm-1

yang merupakan pita serapan khas dari vibrasi ulur –OH dan serapan khas vibrasi

ulur C-H muncul pada bilangan gelombang 2931.80 cm-1. Hasil yang serupa juga

diperoleh oleh Kurniadi (2010) dan Mas’ud et al. (2013). Jadi, dengan tidak

adanya perbedaan yang terlalu signifikan diantara keduanya menunjukkan tidak

terjadi kerusakan yang fatal pada onggok teroksidasi.

Meskipun hasil interpretasi spektrum IR memperlihatkan secara keseluruhan

tidak ada perbedaan serapan gugus antara OO dan OT, beberapa pita serapan

menunjukkan secara detail perubahan ongggok setelah oksidasi pada spektrum

OT. Pita serapan kuat dan lebih tajam pada bilangan gelombang 1639.49 cm-1

yang mengindikasikan bahwa gugus fungsi C=O lebih banyak daripada onggok

original, serapan dengan intensitas kecil pada bilangan gelombang 1338.60 cm-1

menunjukkan vibrasi ulur C-O gugus fungsi karboksil dan menghilangnya

bilangan gelombang 1056.99 cm-1 dari serapan vibrasi ulur C-O gugus hidroksil

primer.

Proses Kopolimerisasi Grafting Hidrogel OT

OT digunakan sebagai kerangka utama pencangkokan dan perubahan sifat

fisikokimianya mendukung proses dispersi pada saat grafting. Peningkatan

stabilitas dispersi pati merupakan salah satu kunci karakteristik yang diinginkan

dari onggok teroksidasi. Telah dipelajari bahwa gugus karboksil yang hadir dalam

molekul pati akan menghambat retrogradasi, sehingga meningkatkan stabilitas

viskositas pati. Air juga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan elektron tidak

berpasangan dalam gugus karboksil pada OT, sehingga meningkatkan

kelarutannya. Karena itu, OT sangat mudah terdispersi merata dalam medium air

dibandingkan dengan onggok original.

Page 12: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

24

Sintesis hidrogel dilakukan melalui kopolimerisasi pencangkokan

menggunakan metode simultan untuk AA-OT dan tidak simultan untuk AM-OT.

Masing-masing grafting telah dioptimasi dengan metodenya dan cocok sehingga

tidak ada perbedaan diantara keduanya, kecuali perbedaan urutan penambahan

bahan. Di samping itu, dalam proses grafting yang perlu dicegah adalah

pembentukan homopolimer. Dengan mengondisikan grafting dalam atmosfer gas

nitrogen bertujuan menghilangkan oksigen pada sistem reaksi karena akan

menyebabkan terbentuknya radikal peroksida yang dapat menghambat reaksi

kopolimerisasi. Dengan demikian, pembentukan homopolimer dapat dihindari

(Kurniadi 2010).

Radikal bebas pada tahap inisiasi dihasilkan dari dekomposisi APS dalam

berbagai reaksi. Menurut Bhattacharaya et al. (2009), ada 2 cara pembentukan

pusat aktif radikal oleh inisiator APS. Pertama, •OSO3− bereaksi dengan air

membentuk •OH yang kemudian akan bereaksi membentuk radikal bebas pada

substrat polimer. Alternatif kedua, •OSO3− langsung bereaksi membentuk radikal

bebas pada substrat polimer. Pembentukan pusat aktif radikal secara keseluruhan

menaikkan energi molekular pada onggok dan dapat meningkatkan

kereaktifannya.

Tahap selanjutnya adalah propagasi dan terminasi. Radikal OT akan

bereaksi dengan monomer. Monomer yang tercangkok ini selanjutnya akan

terpolimerisasi membentuk polimer hidrogel. Monomer AA dan AM yang tidak

tercangkok dapat mengalami inisiasi juga, kemudian bereaksi dengan monomer

lainnya dan tumbuh menjadi rantai polimer PAA dan PAM. Tahap terminasi

terjadi ketika radikal OT yang tercangkok oleh monomer bereaksi dengan penaut-

silang MBA membentuk kopolimer bertautan silang (Lampiran 6).

Hidrogel yang terbentuk diendapkan menggunakan metanol dan aseton.

Metanol berfungsi mengikat air yang ditambahkan selama proses sintesis.

Penggunaan metanol juga dapat mengekstraksi homopolimer karena bersifat

polar. Hidrogel kemudian direfluks dengan aseton untuk memisahkan kopolimer

yang terbentuk dari homopolimernya. Memisahnya homopolimer dapat dilihat

dari warna keruh pada aseton dan gel yang menjadi lebih kaku dan keras. Gel

kemudian dikeringkan pada suhu 60 °C, dihaluskan menjadi granula dengan

ukuran 80 mesh, lalu diuji daya serap dan karakteristiknya.

Swelling Hidrogel dalam Air

Rasio perbandingan berat hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling)

terhadap berat keringnya merupakan parameter utama dari sebuah hidrogel

khususnya sebagai bahan kandidat absorben. Keberhasilan grafting onggok

dengan monomer juga dapat dilihat dari swelling (Tabel 6). Dengan

membandingkan swelling antara hidrogel dari OO dan OT pada pengukuran daya

serap air dapat membuktikan hipotesis yang diusulkan.

Page 13: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

25

Tabel 6 Perbandingan daya serap air setiap hidrogel

No Jenis Monomer Ulangan

Hidrogel OOa Hidrogel OTa

Daya

Serap

(g/g)

Rerata

Daya

Serap

(g/g)

Rerata

1 AA 1 341.2604

336.2796 506.5877

580.7405 2 331.2987 654.8934

2 AM 1 39.5648

39.1562 40.3084

39.0143 2 38.7475 37.7201

3 AM saponifikasi 1 289.5280

296.2075 539.6334

538.3021 2 302.8870 536.9708

aberat kering 0.1 g; OO: onggok original, OT: onggok teroksidasi, AA: asam akrilat,

AM: akrilamida.

Pengukuran daya serap air dilakukan terhadap hidrogel OO sebagai

blangko, hidrogel OT-AA dan hidrogel OT-AM tanpa dan dengan saponifikasi

menggunakan air distilasi selama 24 jam peremdaman. Hidrogel dengan monomer

AA memiliki kinerja serap yang lebih baik dibandingkan dengan AM karena dari

awal telah memiliki gugus karboksil lebih banyak sehingga sifatnya lebih

hidrofilik. Dalam hal yang sama, daya serap air hidrogel dengan monomer AM

meningkat dengan saponifikasi. Peningkatan ini berhubungan dengan

bertambahnya muatan dalam sistem polimer akibat adanya konversi gugus fungsi

amida (-COONH2) menjadi gugus karboksil (Willett dan Finkenstadt 2006; Teli

dan Waghmare 2009).

Rerata daya serap air hidrogel OT lebih tinggi dua kali lipat daripada

hidrogel OO. Hal yang menarik dapat diamati pada hidrogel dengan monemer

AM sebelum dan setelah saponifikasi. Kedua hidrogel memberikan daya serap air

yang hampir sama sebelum saponifikasi, tetapi setelah saponifikasi peningkatan

swelling keduanya berbeda siginifikan. Perbedaan ini erat hubungannya dengan

bertambahnya sifat hidrofilik dari hidrogel OT. Lanthong et al. (2006)

melaporkan bahwa penyerapan hidrogel meningkat seiring dengan bertambahnya

jumlah gugus fungsi yang bersifat hidrofilik dan ionik. Walau demikian, dengan

mengabaikan perbedaannya, hasil ini telah menunjukkan bahwa semua hidrogel

yang terbentuk dapat dikatakan polimer superabsorben karena mampu menyerap

air hingga lebih dari 100 kali lipatnya (>10.000%) (Zhang et al. 2006).

Penelitian sebelumnya telah berhasil mensintesis superabsorben dengan

swelling mencapai 1040.08 g/g untuk OO-AM (Mas’ud et al. 2013) dan 761.01

g/g untuk OO-AA (Fitriyanto 2013). Perbedaan swelling dengan hidrogel dalam

penelitian ini tidak hanya berhubungan dengan pengaruh jumlah gugus

hidrofiliknya. Akan tetapi, faktor lain seperti proses grafting, konsentrasi inisiator

dan komposisi penaut silang turut mempengaruhi kapasitas serap hidrogel.

Daya serap air berkurang ketika konsentrasi APS lebih rendah dari 1.0%

(%w) karena kekuatan gel bertambah akibat cabang dengan berat molekul rendah

tercangkok pada pati. Demikian halnya, jika terlalu banyak titik silang akibat

bertambahnya penaut silang MBA akan meningkatkan kekuatan gel dan

mengurangi penyerapan air karena rantai yang kaku mengurangi tekanan osmosis

gel sehingga air keluar (Lanthong et al. 2006). Oleh sebab itu, pengaruh inisiator

dan penaut silang terhadap hidrogel OT perlu dikaji lebih lanjut.

Page 14: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

26

Pengaruh Larutan NaCl terhadap Swelling Hidrogel

Karena hidrogel onggok dengan monomer AA dan AM semacam gel

anionik, maka lingkungan sekitarnya termasuk konsentrasi ionik sangat

mempengaruhi daya serapnya. Lampiran 7 menunjukkan perbandingan antara

daya serap air setiap hidrogel OT dan hidrogel OO dengan swelling yang telah

dioptimasi mencapai 761.01 g/g. Penurunan penyerapan air bergantung pada

konsentrasi dari larutan NaCl seperti ditunjukkan pada Gambar 13. Terlihat

dengan meningkatnya konsentrasi larutan NaCl, rasio daya serap air semua

hidrogel relatif mengalami penurunan.

Gambar 13 Perbedaan daya serap air hidrogel dalam larutan NaCl.

hidrogel OO-AA, hidrogel OT-AM,

hidrogel OT-AA.

Hubungan kapasitas serap dengan konsentrasi garam dapat dijelaskan

dengan persamaan berikut,

Q = k [garam]n (8)

Persamaan yang diperoleh dari kurva kapasitas serap dalam larutan NaCl untuk

hidrogel OO-AA adalah y = 29.229 X-0.34. Nilai n menunjukkan bahwa diatas

konsentrasi 0.34 M, daya serap hidrogel sudah tidak berbeda signifikan dan nilai k

merupakan daya serap air ketika konsentrasi NaCl 1 M. Selanjutnya, hidrogel OT-

AA dan OT-AM memiliki persamaan masing-masing y = 52.919 X-0.173 dan y =

39.661 X-0.296, nilai n menunjukkan bahwa diatas konsentrasi 0.173 M untuk

hidrogel OT-AA dan 0.296 M untuk hidrogel OT-AM daya serapnya sudah tidak

berbeda signifikan, lebih baik dari hidrogel OO.

Day

a se

rap

air

(g/g

)

NaCl [M]

Page 15: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

27

Hidrogel OT lebih toleran dalam larutan garam dibandingkan dengan

hidrogel OO. Dari grafik terlihat daya serap air hidrogel dari OT cenderung

konstan pada konsentrasi NaCl di atas nilai n dibandingkan dengan hidrogel OO

masih terus menurun. Dari rata-rata perbedaan daya serap air di atas nilai n dalam

larutan garam, hidrogel OT-AA dan hidrogel OT-AM masing-masing memiliki

swelling 26 dan 12.5 kali lebih besar daripada hidogel OO-AA. Hal ini

memperkuat bukti bahwa gugus fungsi hidrofilik hidrogel OT lebih banyak

sehingga karakter toleran garamnya lebih baik daripada hidrogel OO.

Penjelasan berkurangnya daya serap air pada larutan garam berhubungan

erat dengan penurunan tekanan osmosis. Ion-ion yang terikat pada jaringan

hidrogel bersifat imobil yang dapat dianggap terpisah dari larutan luar dengan

adanya membran. Jika hidrogel direndam dalam air, akan terjadi perbedaan

tekanan osmosis dengan larutan luar, sehingga air terdifusi ke dalam jaringan dan

hidrogel jadi mengembang. Kehadiran ion di sekitar larutan jaringan hidrogel

akan menetralkan saling tolakan dari ion tetap pada jaringan itu sendiri, sehingga

menurunkan perbedaan tekanan osmotik antara gel dan larutan luar

(Kiatkamjornwong et al. 2000; Lanthong et al. 2006; Erizal 2010).

Pencirian Hidrogel OT

Analisis utama yang menyangkut keberhasilan proses grafting ini diamati

pada Spektrum IR dan Foto SEM. Pada spektrum IR dicontohkan perbandingan

antara hidrogel PAM dan hidrogel OT-AM (Gambar 14) dan perbandingan

lainnya dapat dilihat di Lampiran 8. Analisis morfologi dari pemayaran SEM

dilakukan pada onggok teroksidasi, hidrogel OT-AA dan OT-AM (Gambar 15).

Gambar 14 Spektrum FTIR PAM (------) dan hidrogel OT-AM (------)

Page 16: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN · beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum (Hadiyat

28

Spektrum IR hidrogel OT hampir sama dengan spektrum IR PAM. Hal ini

menunjukkan campuran AM lebih dominan dibandingkan dengan OT. Terjadinya

pencangkokan dan penautan silang OT dengan AM dapat dilihat pada spekturm

IR hidrogel OT-AM dengan (1) munculnya pita khas vibrasi ulur N-H pada

bilangan gelombang 3140.11 cm-1 (2) pergeseran vibrasi ulur C=O dari 1639.49

cm-1 menjadi 1701.22 cm-1. Ketika terjadi grafting mengakibatkan perubahan

energi molekul secara keseluruhan dan berdampak pada perubahan energi vibrasi

gugus fungsi molekul yang ditandai dengan perubahan bilangan gelombang

(Kurniadi 2010).

(a)

(b) (c)

Gambar 15 Foto SEM (100 x )(a) onggok teroksidasi (b) hidrogel OT-AA

(c) hidrogel OT-AM

Morfologi permukaan onggok teroksidasi (Gambar 15a) yang belum membentuk

grafting terlihat jelas memiliki bentuk bulat dengan ujung terpotong di satu sisi.

Setelah grafting, granula pati menjadi berkelompok dan berubah bentuk menjadi

serpihan yang berpori. Penetrasi monomer AA dan AM ke dalam jaringan onggok

akan membentuk kopolimer berpori yang berpengaruh erat dengan kemampuan

swelling. Pori pada hidrogel OT-AA (Gambar 15b) lebih jelas dan banyak

daripada pori hidrogel OT-AM (Gambar 15c). Oleh sebab itu, daya serap air

hidrogel OT-AA lebih tinggi dari pada hidrogel OT-AM.