Upload
hoangthuy
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
Tahap berikutnya dengan menggunakan rancangan box-behken dengan 3
tingkat kode (-1,0,+1) untuk menjelaskan sifat permukaan respon di wilayah
optimum. Sesuai dengan desain ini, total kombinasi perlakuan adalah 15 dengan 3
replikat (Lampiran 5). Hasil rancangan box-behken sesuai dengan persamaan
polinomial orde kedua yaitu
ji
jiij
k
i
ii
k
i
ii XXXXYi
1
2
1
0 (2)
Analisis Data
Semua percobaan dilakukan secara acak, dan nilai gugus karboksil atau
karbonil diambil sebagai respon. Rancangan FF, box-behken dan analisis statistik
data dilakukan dengan minitab (versi 16). Analisis statistik dari model dievaluasi
dengan analisis varians (ANOVA). Kualitas persamaan model dinilai secara
statistik dengan koefisien determinasi R2 dan signifikansi statistik ditentukan
dengan nilai p (p-value).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyaringan Faktor dan Pendugaan Daerah Optimum
Meskipun tujuan eksperimental akhir oksidasi onggok adalah optimasi,
percobaan pertama yang harus dilakukan adalah penyaringan faktor karena ada
banyak faktor potensial yang harus dipertimbangkan. Percobaan ini mengacu pada
rencana eksperimental yang bertujuan menemukan faktor-faktor yang memiliki
pengaruh signifikan untuk respon kadar gugus karboksil dan karbonil (Tabel 4).
Tabel 4 Output minitab dari hasil rancangan FF
Source Gugus karboksil Gugus karbonil
P Coef P Coef
Constant 0.000 0.058 0.015 0.050
Faktor utama
Suhu
pH
Waktu oksidasi
Jumlah oksidator
Jumlah katalis
0.090
0.369
0.031
0.149
0.239
-0.017
0.008
0.022
0.014
-0.011
0.015
0.384
0.015
0.384
0.015
-0.050
-0.015
-0.050
0.015
0.050
Anova parameter
Regresi
Lack-of-fit
0.069
0.001
-
-
0.011
0.484
-
-
14
Signifikansi statistik diuji pada taraf kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan
membandingkan nilai p. Dari pengolahan data, faktor yang berpengaruh
signifikan dalam meningkatkan kadar gugus karboksil ditunjukkan dengan nilai p
< 0.05 hanya waktu oksidasi (0.031). Begitu juga dengan kadar gugus karbonil,
dipengaruhi oleh waktu oksidasi (0.015). Akan tetapi, faktor suhu dan jumlah
katalis dengan nilai p yang sama turut berpengaruh signifikan untuk gugus
karbonil. Sementara faktor yang tersisa dengan taraf kepercayaan < 95%
dipertimbangkan tidak signifikan.
Ketika suatu titik optimum akan dicari melalui percobaan yang melibatkan
beberapa faktor, seharusnya percobaan tersebut didesain sedemikian rupa agar
level-level faktornya mencakup area respon yang mengandung titik optimum
(Hadiyat 2013). Akan tetapi, level-level faktor yang telah ditentukan pada
rancangan percobaan orde pertama dalam penelitian ini belum tentu berada di
daerah optimum, sehingga titik optimum yang diperoleh dari percobaan lanjutan
bisa saja jauh dari yang sebenarnya. Jadi, pendugaan daerah di sekitar titik
optimum harus dilakukan.
Kalau rancangan percobaan memuat area titik respon optimum diantara
level-level faktor yang diselidiki, persamaan akan mengandung lack-of-fit (Myers
dan Montgomery diacu dalam Hadiyat 2013). Respon yang mengandung lack-of-
fit adalah gugus karboksil dengan nilai p < 0.05. Keberadaan lack-of-fit juga
menunjukkan ketidakcocokan model regresi dari faktor-faktor bebas terhadap
rancangan yang digunakan. Dari uji parameter regresi diperoleh nilai p > 0.05
untuk respon kadar karboksil. Dengan demikian, level-level faktor yang diajukan
untuk gugus karboksil telah memuat daerah titik optimum, maka untuk model
persamaan titik optimumnya, tidak dapat diwakili oleh rancangan percobaan orde
pertama (fraksional faktorial). Langkah selanjutnya dapat langsung diterapkan,
yaitu dengan memasukkan level-level faktor pada rancangan orde kedua untuk
menduga titik optimum dan persamaan modelnya.
Dari hasil anova untuk respon gugus karbonil, nilai p menunjukkan bahwa
persamaan tidak memberikan lack-of-fit, sehingga titik optimum tidak terdapat
pada level-level faktor yang diajukan dari rancangan orde pertama. Meskipun
rancangan percobaan FF dapat mewakili persamaan model regresinya (nilai p =
0.011), tetapi persamaan tersebut kurang berarti karena tidak dapat menduga
daerah titik optimum respon. Berikut persamaan orde pertama kadar gugus
karbonil setelah memasukkan dengan nilai koefisien faktor yang signifikan.
ŷ = 0.050 – 0.050 X1 – 0.050 X3 + 0.050 X5 (3)
Solusi untuk melacak daerah di sekitar titik optimum respon adalah dengan
menggeser (menambah atau mengurangi) level faktor yang diteliti ke arah sesuai
dengan peningkatan respon kadar gugus karbonil (Xiaoyong et al. 2009; Hadiyat
2013). Proses ini disebut sebagai steepest ascent/descent, seperti yang
dicontohkan pada Gambar 4. Setelah diperoleh level faktor yang menunjukkan
respon optimum, percobaan dengan rancangan orde pertama diulangi kembali
untuk penyaringan dan pendugaan daerah titik optimum.
15
Gambar 4 Pergeseran level faktor ke arah respon optimum
“Diadaptasi dari Montgomery (1997)”
Proses steepest ascent/descent untuk menentukan respon optimum kadar
gugus karbonil tidak dilanjutkan dalam penelitian ini. Adanya dugaan bahwa
ikatan C2-C3 banyak terputus pada unit glikosida onggok berhubungan erat
dengan pembentukan gugus karbonil, sehingga dapat merusak polimer dan
mengurangi derajat polimerisasi. Lagi pula, gugus karboksil lebih banyak
terbentuk dengan peluang oksidasi spesifik posisi C6 dan memberikan sifat yang
lebih hidrofilik daripada gugus karbonil.
Pembentukan Gugus Karbonil dan Karboksil
Studi sebelumnya telah mengusulkan jalur reaksi berturutan dari oksidasi
gugus hidroksil di posisi tertentu cincin glukosida membentuk gugus karbonil.
Kemudian sebagian teroksidasi lanjut menjadi karboksil sehingga menghasilkan
pati tapioka teroksidasi dengan dua gugus fungsi baru hasil oksidasi
(Sangseethong et al. 2009). Atau dengan pendekatan katalitik dan bergantung
pada jenis oksidator yang digunakan, jalur reaksi paralel yang menghasilkan
gugus karboksil saja dari oksidasi selektif gugus hidroksil primer cincin glukosida
polisakarida (de Nooy et al. 1997; Pagliaro 1998; Sorokin et al. 2004).
Jalur reaksi selama proses oksidasi dalam penelitian ini tidak diketahui
secara pasti. Walau demikian, penjelasan dari hubungan pengaruh faktor-faktor
oksidasi dengan pembentukan kedua gugus karbonil dan karboksil (Gambar 5 dan
6) dapat menuntun untuk menduga jalur reaksinya. Dua gambar tersebut jelas
menunjukkan bahwa pola hubungan faktor jumlah oksidator dan suhu sama kedua
gugus, tetapi tidak demikian halnya dengan faktor pH, jumlah katalis dan waktu
oksidasi.
16
Gambar 5 Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karbonil
Gambar 6 Hubungan faktor oksidasi dengan kadar karboksil
Jumlah oksidator sudah sewajarnya memberikan pengaruh yang sama
terhadap peningkatan atau penurunan kadar setiap gugus karena merupakan faktor
penting dalam reaksi kimia. Jumlah oksidator menunjukkan banyaknya molekul
H2O2 yang digunakan saat oksidasi. Jumlah molekul yang lebih banyak
memberikan peluang terjadinya reaksi lebih besar sehingga produk reaksinya
dapat melimpah.
Meskipun bukan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon, pH
menunjukkan pola pengaruh yang berlawanan pada kedua gugus. Arah hasil
reaksi dan jumlah gugus fungsional yang dibentuk dalam molekul onggok selama
oksidasi peroksida bergantung pada pH reaksi. Hal tersebut menegaskan hasil
penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Sandhu et al. (2008) dan
Sangseethong et al. (2010). Pembentukan gugus karbonil ditemukan lebih tinggi
di bawah kondisi netral sementara jumlah gugus karboksil meningkat dengan
bertambahnya pH.
Selama proses oksidasi, karbonil yang telah terbentuk sebelumnya bereaksi
dengan air menghasilkan kesetimbangan dengan zat antara -diol, lalu teroksidasi
lanjut lagi menghasilkan karboksil (Gambar 7). Adisi nukleofilik air ke gugus
karbonil berjalan lambat di bawah kondisi netral, tetapi terkatalis pada suasana
basa. Arah reaksi akan menuju –diol kalau pH basa dan pembentukan gugus
karboksil akan semakin tinggi. Seperti halnya dalam penelitian ini jumlah gugus
karboksil ditemukan tinggi dalam kondisi basa.
17
Gambar 7 Oksidasi karbonil terjadi melalui zat antara -diol
Reaksi terkatalis basa berlangsung lebih cepat karena air terkonversi
menjadi ion hidroksida sebagai nukleofilik yang lebih baik. Walau demikian, level
alkalinitas juga mempengaruhi jumlah gugus karboksil, seperti yang diamati oleh
Sangseethong et al. (2009) pada oksidasi pati tapioka. Dalam rentang pH yang
diteliti, pembentukan tertinggi gugus karboksil berada pada pH 8 dan 9. Ketika
pH reaksi meningkat menjadi 10 dan 11, jumlahnya menurun.
Pada awalnya reaksi oksidasi pati dipicu oleh kehadiran katalis logam
melalui inisiasi H2O2 menjadi radikal hidroksil. Radikal bebas ini sangat reaktif
dan mudah bereaksi dengan ikatan C-H pati yang selanjutnya mengalami
pembentukan gugus karbonil selama periode awal reaksi. Semakin banyak katalis
yang digunakan, akan banyak ikatan C-H yang terputus oleh radikal bebas. Jika
jumlah oksidator yang digunakan sedikit dan bukan dalam kondisi basa, tahap
oksidasi lanjut karbonil menjadi karboksil tidak terjadi karena sebagian besar
reagen oksidan telah dikonsumsi untuk pembentukan karbonil. Oleh sebab itu,
kadar karbonil dipengaruhi signifikan oleh jumlah katalis yang digunakan.
Suhu memang hanya berpengaruh signifikan terhadap kadar karbonil, tetapi
kedua gugus karbonil dan karboksil diproduksi selama proses oksidasi. Komposisi
kedua produk bergantung pada suhu reaksi yang ditentukan oleh kendali kinetika
atau kendali termodinamika. Sepertinya gugus karbonil tidak stabil di suhu tinggi,
sehingga tidak terbentuk sama sekali dan atau tidak stabil sehingga semuanya
berubah menjadi gugus karboksil, karena itu gugus karboksil masih terbentuk
sedikit di suhu tersebut. Pada suhu rendah proporsi produk ditentukan oleh laju
relatif pembentukan produk. Jika mengikuti jalur reaksi berturutan, semakin
banyak karbonil terbentuk, maka semakin banyak juga yang menjadi karboksil.
Karena itu, kedua gugus menunjukkan pola yang sama terhadap faktor suhu.
Satu-satunya faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kedua gugus
fungsi adalah waktu dan menghadirkan pola yang berbanding terbalik. Akan
tetapi, jika waktu oksidasi diturunkan di bawah level rendah perlakuan, kadar
gugus karbonil yang diperoleh akan lebih tinggi. Sangseethong et al. (2010)
melaporkan oksidasi gugus hidroksil dalam molekul pati oleh peroksida hampir
selesai dalam 30 menit pertama menghasilkan lebih banyak gugus karbonil. Oleh
sebab itu, daerah yang mencakup titik optimasi tidak ada untuk kadar karbonil
karena level waktu yang diberikan terlalu tinggi (60 dan 120 menit) sehingga
sebagian besar telah berubah menjadi karboksil.
Hubungan antara faktor dan pembentukan kedua gugus fungsi hasil oksidasi
belum sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi, dari beberapa spekulasi diatas,
diusulkan jalur berturutan dengan hanya gugus karboksil saja dihasilkan bukan
kedua gugus, walaupun pada dasarnya melalui tahap pembentukan karbonil
terlebih dahulu. Dukungan dari data kadar yang didominasi oleh gugus karboksil
dalam penelitian ini membenarkan jalur tersebut (Lampiran 4).
karbonil diol karboksil
18
Jalur reaksi yang diperoleh berbeda dari penelitian oksidasi H2O2 pada pati
tapioka oleh Sangseethong et al. (2010). Penelitian tersebut melaporkan gugus
karbonil lebih dominan. Perbedaan ini berhubungan erat dengan kondisi yang
digunakan dalam reaksi. Ada kondisi reaksi yang mendukung kestabilan karboksil
atau karbonil saja dan ada juga yang mendukung keduanya. Kondisi yang tidak
terlalu drastis akan menghasilkan hasil yang baik.
Lokasi gugus hidroksil yang mengalami oksidasi dalam cincin glukosida
onggok juga sangat sulit ditentukan. Akan tetapi, pemilihan kondisi yang relevan
akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi pada posisi gugus hidroksil yang
lebih reaktif.
Interaksi Antarfaktor Oksidasi
Tidak hanya hubungan antara satu faktor dan kedua gugus fungsi, tetapi
interaksi antarfaktor juga menentukan kadar gugus dengan hubungan yang
kompleks. Gambar 8 dan 9 menunjukkan hubungan interaksi antarfaktor terhadap
kadar setiap gugus. Untuk perencanaan langkah selanjutnya, pemilihan level dari
interaksi antarfaktor sangat berguna pada proses optimasi, memilih kondisi reaksi,
mempercepat laju reaksi dan sebagai alternatif steepest ascent/descent untuk
melacak daerah titik optimasi gugus karbonil. Secara singkat, kondisi reaksi
dipengaruhi oleh interaksi antar faktor dan hubungannya dapat digunakan untuk
memilih level sesuai dengan produk dan lokasi oksidasi yang diinginkan.
Gambar 8 Interaksi antarfaktor kadar karbonil
Gambar 9 Interaksi antarfaktor kadar karboksil
19
Dalam penelitan ini diinginkan karboksil sebagai produk dominan dan
lokasi oksidasi pada gugus hidroksil primer unit glukosida onggok. Dengan
demikian, faktor signifikan karbonil harus diperhitungkan karena pembentukan
karboksil melalui jalur reaksi berturutan. Katalis yang banyak, waktu singkat dan
suhu rendah akan mendukung pembentukan karbonil. Akan tetapi, hubungan
faktor yang berbanding terbalik perlu juga diperhatikan, seperti waktu oksidasi.
Perlu diketahui, katalis mempengaruhi lokasi oksidasi. Jumlah katalis yang
cukup, akan memberikan peluang besar bagi radikal bebas untuk menyerang
ikatan C-H tempat hidroksil primer berada karena gugus hidroksil primer lebih
reaktif dari sekunder. Dalam hal yang sama, pembentukan gugus karbonil bisa
saja berkurang. Akan tetapi, Jika katalis berlebih, banyak ikatan C-H yang putus
dan bisa menyerang ikatan C-H posisi gugus hidroksil sekunder.
Penetapan kondisi reaksi juga dapat mempengaruhi laju reaksi produk yang
diinginkan. Faktor tidak signifikan dapat diatur untuk meningkatkan laju reaksi,
tanpa harus khawatir terhadap hubungan berbanding terbalik karena tidak akan
memberikan perbedaan nyata. Misalnya, agar laju reaksi mengarah ke produksi
gugus karboksil, faktor gugus karbonil yang tidak signifikan dapat dibuat tetap
sedemikian rupa sehingga relevan dengan kondisi pembentukan gugus karboksil,
seperti pH pada kondisi basa.
Interaksi antarfaktor oksidasi dan pengaruhnya terhadap kondisi reaksi
maupun proses optimum gugus karboksil akan dapat dipahami lebih jauh melalui
pemberian perlakuan dalam rancangan percobaan. Dengan pendekatan tersebut
dapat diperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses
dibandingkan dengan hanya memperkirakan hasilnya.
Titik Optimum Faktor Oksidasi
Meskipun kondisi reaksi telah diatur dengan cermat, penelaahan mengenai
respon tidak akan luput dari gangguan berbagi faktor yang memang tidak dapat
dibuat persis sama bagi setiap obyek dalam percobaan. Karena itu, penentuan
respon maksimum atau minimum kadar gugus karboksil jangan hanya terbatas
pada level-level yang dicobakan saja (Lampiran 5). Nilai koefisien regresi model
persamaan orde kedua (Tabel 5) dari metode permukaan respon dapat digunakan
untuk mendeteksi titik optimum respon yang muncul diantara selang level yang
dicobakan.
20
Tabel 5 Output minitab persamaan model orde kedua kadar karboksil
Source P Coef
Constant 0.000 0.107
Linear
Suhu
Jumlah katalis
Waktu oksidasi
0.000
0.000
0.002
0.001
0.031
0.019
0.023
Square
Suhu*Suhu
Katalis*Katalis
Waktu*Waktu
0.001
0.895
0.000
0.001
0.0006
0.0398
0.0305
Interaction
Suhu x Katalis
Suhu x Waktu
Katalis x Waktu
0.006
0.002
0.017
0.246
-0.0242
0.0149
0.0056
Anova parameter
Regresia
0.000
aR-Sq = 98.68% R-Sq(adj) = 96.31%
Penaksiran titik optimum respon dimulai dengan memeriksa signifikansi
model. Tabel 5 menunjukkan bahwa model linear, square dan interaksi
berpengaruh signifikan karena nilai p ketiganya kurang dari α = 0.05 yang
didukung dengan nilai R2 = 98.68%. Jadi, model yang tepat untuk persamaan orde
kedua kadar gugus karboksil adalah model kuadratik. Selain signifikansi model,
tabel menunjukkan pula hasil uji kecocokan faktor dan variabel lainnnya terhadap
model yang dikonversi ke dalam nilai p. Uji parameter model menunjukkan faktor
suhu, jumlah katalis, waktu oksidasi memiliki pengaruh penting terhadap kadar
gugus karboksil. Lagi pula, uji parameter regresi serentak membuktikan bahwa
semua variabel memberikan sumbangan yang berarti terhadap model (p = 0.000).
Hasil analisis memberikan model seperti berikut,
ŷ = 0.107 + 0.031 X1 + 0.019 X2 + 0.023 X3 + 0.0006 X12 + 0.0398 X2
2
+ 0.0305 X32 - 0.0224 X1X2 + 0.0149 X1X3 + 0.0056 X2X3 (4)
Nilai-nilai koefisien regresi pada model orde kedua dapat disusun matriks
sebagaimana berikut,
3
2
1
b
333231
232221
131211
2/2/
2/2/
2/2/
B
β1, β2 dan β3 merupakan masing-masing koefisien dari suhu, jumlah katalis dan
waktu oksidasi, sehingga matriks b dan B adalah
0233,0
0187,0
0299,0
b
03051.000278.000748,0
00278.003981.001214,0
00748.001214.000061,0
B (5)
21
Dari matriks (5) dimasukkan dalam persamaan matriks 𝑋o= (1
2)B-1b (6)
Sehingga didapatkan matriks
1419.1
7091.0
8335.2
Xo
Xo disebut sebagai titik stasioner yang selanjutnya digunakan untuk mencari titik
optimum pada persamaan berikut,
Xoi =Xi- X
Si (7)
Dari perhitungan persamaan (7) diperoleh nilai aktual titik optimum yang bisa
menghasilkan respon semaksimum mungkin kadar gugus karboksil, yaitu suhu
78.335 oC, jumlah katalis 4.301 ml dan waktu 83.613 menit.
Hubungan Antarfaktor Oksidasi yang Signifikan
Visualisasi permukaan respon kadar gugus karboksil digambarkan dalam
bentuk kontur (Gambar 10). Kontur tersebut membantu untuk memahami
hubungan antarfaktor signifikan selama proses oksidasi. Terlihat jelas dalam
kontur bahwa interaksi antarfaktor erat hubungannya dengan pembentukan gugus
karboksil maupun karbonil. Alur hijau gelap menunjukkan interaksi antar faktor
yang menghasilkan jumlah kadar karboksil tertinggi dan sebaliknya pada alur biru
gelap.
(a) (b)
(c)
Gambar 10 Hubungan antara faktor katalis dan waktu pada rentang suhu (a) 30 oC
(b) 40 oC (c) 50 oC
22
Pada kontur tersebut terlihat perbedaan pembentukan gugus karboksil di
setiap rentang suhu yang digunakan. Rentang suhu 30-40 oC kadar gugus
karboksil sedikit dalam waktu singkat karena pada kisaran suhu tersebut
mendukung kestabilan gugus karbonil dan juga ada pengaruh dari katalis. Akan
tetapi, ketika suhu meningkat, banyak gugus karbonil telah terkonversi menjadi
karboksil.
Morfologi dan Struktur Granula OT
Gambar granula onggok yang diperoleh melalui pemayaran SEM (Gambar
11) tidak hanya menampilkan perbedaan bentuk dan ukuran granula, tetapi juga
menunjukkan perubahan yang terjadi dalam morfologi onggok sebelum dan
setelah oksidasi. Analisis SEM menunjukkan hasil aktivitas H2O2 dalam
mengubah struktur dan morfologi onggok.
(a) (b)
Gambar 11 Foto SEM (2000 x) dari onggok (a) original (b) teroksidasi H2O2
Granula pati onggok original memiliki bentuk bulat dengan ujung terpotong
di satu sisi. Permukaan granula onggok original itu mulus tanpa retak atau celah
apapun (Gambar 11a). Jika ada sedikit retak dan goresan terbentuk, paling
mungkin terbentuk selama tahap preparasi sampel. Secara umum, pola yang sama
ditemukan pada morfologi eksternal granula pati tepung tapioka, seperti yang
diamati oleh Sangseethong et al. (2010).
Tanda-tanda kerusakan berupa permukaan kasar dan banyak kerutan muncul
setelah onggok dioksidasi dengan peroksida. Keriput dapat diamati pada
permukaan beberapa granula besar onggok, bahkan menjadi percahan dalam
granula kecil (Gambar 11b). Lipatan tambahan tidak terlihat pada semua granula,
tetapi muncul terutama pada granula besar.
Hasil yang sama diperoleh oleh Pietrzyk dan Fortuna (2005) yang
menemukan retakan dan lipatan tambahan dalam tepung kentang, gandum dan
jagung yang dioksidasi dengan peroksida. Di samping itu, Sangseethong et al.
(2010) melaporkan dalam waktu oksidasi 120 dan 300 menit, permukaan granula
tepung tapioka teroksidasi menjadi kasar dan muncul beberapa celah.
23
Perubahan morfologi onggok setelah oksidasi dapat dijelaskan dengan
peninjauan struktur melalui spektrofotometer FTIR. Spektrum onggok original
dan teroksidasi (Gambar 12) memperlihatkan jenis gugus fungsi yang dikandung
berdasarkan serapan bilangan gelombangnya. Pencirian ini dapat membuktikan
secara kualitatif keberhasilan proses oksidasi onggok.
Gambar 12 Spektrum FTIR onggok original (------) dan oksidasi (------)
Jumlah satuan gugus fungsi antara kedua spektrum relatif sama, misalnya
terdapat puncak serapan lebar pada bilangan gelombang 3437.15-3205.69 cm-1
yang merupakan pita serapan khas dari vibrasi ulur –OH dan serapan khas vibrasi
ulur C-H muncul pada bilangan gelombang 2931.80 cm-1. Hasil yang serupa juga
diperoleh oleh Kurniadi (2010) dan Mas’ud et al. (2013). Jadi, dengan tidak
adanya perbedaan yang terlalu signifikan diantara keduanya menunjukkan tidak
terjadi kerusakan yang fatal pada onggok teroksidasi.
Meskipun hasil interpretasi spektrum IR memperlihatkan secara keseluruhan
tidak ada perbedaan serapan gugus antara OO dan OT, beberapa pita serapan
menunjukkan secara detail perubahan ongggok setelah oksidasi pada spektrum
OT. Pita serapan kuat dan lebih tajam pada bilangan gelombang 1639.49 cm-1
yang mengindikasikan bahwa gugus fungsi C=O lebih banyak daripada onggok
original, serapan dengan intensitas kecil pada bilangan gelombang 1338.60 cm-1
menunjukkan vibrasi ulur C-O gugus fungsi karboksil dan menghilangnya
bilangan gelombang 1056.99 cm-1 dari serapan vibrasi ulur C-O gugus hidroksil
primer.
Proses Kopolimerisasi Grafting Hidrogel OT
OT digunakan sebagai kerangka utama pencangkokan dan perubahan sifat
fisikokimianya mendukung proses dispersi pada saat grafting. Peningkatan
stabilitas dispersi pati merupakan salah satu kunci karakteristik yang diinginkan
dari onggok teroksidasi. Telah dipelajari bahwa gugus karboksil yang hadir dalam
molekul pati akan menghambat retrogradasi, sehingga meningkatkan stabilitas
viskositas pati. Air juga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan elektron tidak
berpasangan dalam gugus karboksil pada OT, sehingga meningkatkan
kelarutannya. Karena itu, OT sangat mudah terdispersi merata dalam medium air
dibandingkan dengan onggok original.
24
Sintesis hidrogel dilakukan melalui kopolimerisasi pencangkokan
menggunakan metode simultan untuk AA-OT dan tidak simultan untuk AM-OT.
Masing-masing grafting telah dioptimasi dengan metodenya dan cocok sehingga
tidak ada perbedaan diantara keduanya, kecuali perbedaan urutan penambahan
bahan. Di samping itu, dalam proses grafting yang perlu dicegah adalah
pembentukan homopolimer. Dengan mengondisikan grafting dalam atmosfer gas
nitrogen bertujuan menghilangkan oksigen pada sistem reaksi karena akan
menyebabkan terbentuknya radikal peroksida yang dapat menghambat reaksi
kopolimerisasi. Dengan demikian, pembentukan homopolimer dapat dihindari
(Kurniadi 2010).
Radikal bebas pada tahap inisiasi dihasilkan dari dekomposisi APS dalam
berbagai reaksi. Menurut Bhattacharaya et al. (2009), ada 2 cara pembentukan
pusat aktif radikal oleh inisiator APS. Pertama, •OSO3− bereaksi dengan air
membentuk •OH yang kemudian akan bereaksi membentuk radikal bebas pada
substrat polimer. Alternatif kedua, •OSO3− langsung bereaksi membentuk radikal
bebas pada substrat polimer. Pembentukan pusat aktif radikal secara keseluruhan
menaikkan energi molekular pada onggok dan dapat meningkatkan
kereaktifannya.
Tahap selanjutnya adalah propagasi dan terminasi. Radikal OT akan
bereaksi dengan monomer. Monomer yang tercangkok ini selanjutnya akan
terpolimerisasi membentuk polimer hidrogel. Monomer AA dan AM yang tidak
tercangkok dapat mengalami inisiasi juga, kemudian bereaksi dengan monomer
lainnya dan tumbuh menjadi rantai polimer PAA dan PAM. Tahap terminasi
terjadi ketika radikal OT yang tercangkok oleh monomer bereaksi dengan penaut-
silang MBA membentuk kopolimer bertautan silang (Lampiran 6).
Hidrogel yang terbentuk diendapkan menggunakan metanol dan aseton.
Metanol berfungsi mengikat air yang ditambahkan selama proses sintesis.
Penggunaan metanol juga dapat mengekstraksi homopolimer karena bersifat
polar. Hidrogel kemudian direfluks dengan aseton untuk memisahkan kopolimer
yang terbentuk dari homopolimernya. Memisahnya homopolimer dapat dilihat
dari warna keruh pada aseton dan gel yang menjadi lebih kaku dan keras. Gel
kemudian dikeringkan pada suhu 60 °C, dihaluskan menjadi granula dengan
ukuran 80 mesh, lalu diuji daya serap dan karakteristiknya.
Swelling Hidrogel dalam Air
Rasio perbandingan berat hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling)
terhadap berat keringnya merupakan parameter utama dari sebuah hidrogel
khususnya sebagai bahan kandidat absorben. Keberhasilan grafting onggok
dengan monomer juga dapat dilihat dari swelling (Tabel 6). Dengan
membandingkan swelling antara hidrogel dari OO dan OT pada pengukuran daya
serap air dapat membuktikan hipotesis yang diusulkan.
25
Tabel 6 Perbandingan daya serap air setiap hidrogel
No Jenis Monomer Ulangan
Hidrogel OOa Hidrogel OTa
Daya
Serap
(g/g)
Rerata
Daya
Serap
(g/g)
Rerata
1 AA 1 341.2604
336.2796 506.5877
580.7405 2 331.2987 654.8934
2 AM 1 39.5648
39.1562 40.3084
39.0143 2 38.7475 37.7201
3 AM saponifikasi 1 289.5280
296.2075 539.6334
538.3021 2 302.8870 536.9708
aberat kering 0.1 g; OO: onggok original, OT: onggok teroksidasi, AA: asam akrilat,
AM: akrilamida.
Pengukuran daya serap air dilakukan terhadap hidrogel OO sebagai
blangko, hidrogel OT-AA dan hidrogel OT-AM tanpa dan dengan saponifikasi
menggunakan air distilasi selama 24 jam peremdaman. Hidrogel dengan monomer
AA memiliki kinerja serap yang lebih baik dibandingkan dengan AM karena dari
awal telah memiliki gugus karboksil lebih banyak sehingga sifatnya lebih
hidrofilik. Dalam hal yang sama, daya serap air hidrogel dengan monomer AM
meningkat dengan saponifikasi. Peningkatan ini berhubungan dengan
bertambahnya muatan dalam sistem polimer akibat adanya konversi gugus fungsi
amida (-COONH2) menjadi gugus karboksil (Willett dan Finkenstadt 2006; Teli
dan Waghmare 2009).
Rerata daya serap air hidrogel OT lebih tinggi dua kali lipat daripada
hidrogel OO. Hal yang menarik dapat diamati pada hidrogel dengan monemer
AM sebelum dan setelah saponifikasi. Kedua hidrogel memberikan daya serap air
yang hampir sama sebelum saponifikasi, tetapi setelah saponifikasi peningkatan
swelling keduanya berbeda siginifikan. Perbedaan ini erat hubungannya dengan
bertambahnya sifat hidrofilik dari hidrogel OT. Lanthong et al. (2006)
melaporkan bahwa penyerapan hidrogel meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah gugus fungsi yang bersifat hidrofilik dan ionik. Walau demikian, dengan
mengabaikan perbedaannya, hasil ini telah menunjukkan bahwa semua hidrogel
yang terbentuk dapat dikatakan polimer superabsorben karena mampu menyerap
air hingga lebih dari 100 kali lipatnya (>10.000%) (Zhang et al. 2006).
Penelitian sebelumnya telah berhasil mensintesis superabsorben dengan
swelling mencapai 1040.08 g/g untuk OO-AM (Mas’ud et al. 2013) dan 761.01
g/g untuk OO-AA (Fitriyanto 2013). Perbedaan swelling dengan hidrogel dalam
penelitian ini tidak hanya berhubungan dengan pengaruh jumlah gugus
hidrofiliknya. Akan tetapi, faktor lain seperti proses grafting, konsentrasi inisiator
dan komposisi penaut silang turut mempengaruhi kapasitas serap hidrogel.
Daya serap air berkurang ketika konsentrasi APS lebih rendah dari 1.0%
(%w) karena kekuatan gel bertambah akibat cabang dengan berat molekul rendah
tercangkok pada pati. Demikian halnya, jika terlalu banyak titik silang akibat
bertambahnya penaut silang MBA akan meningkatkan kekuatan gel dan
mengurangi penyerapan air karena rantai yang kaku mengurangi tekanan osmosis
gel sehingga air keluar (Lanthong et al. 2006). Oleh sebab itu, pengaruh inisiator
dan penaut silang terhadap hidrogel OT perlu dikaji lebih lanjut.
26
Pengaruh Larutan NaCl terhadap Swelling Hidrogel
Karena hidrogel onggok dengan monomer AA dan AM semacam gel
anionik, maka lingkungan sekitarnya termasuk konsentrasi ionik sangat
mempengaruhi daya serapnya. Lampiran 7 menunjukkan perbandingan antara
daya serap air setiap hidrogel OT dan hidrogel OO dengan swelling yang telah
dioptimasi mencapai 761.01 g/g. Penurunan penyerapan air bergantung pada
konsentrasi dari larutan NaCl seperti ditunjukkan pada Gambar 13. Terlihat
dengan meningkatnya konsentrasi larutan NaCl, rasio daya serap air semua
hidrogel relatif mengalami penurunan.
Gambar 13 Perbedaan daya serap air hidrogel dalam larutan NaCl.
hidrogel OO-AA, hidrogel OT-AM,
hidrogel OT-AA.
Hubungan kapasitas serap dengan konsentrasi garam dapat dijelaskan
dengan persamaan berikut,
Q = k [garam]n (8)
Persamaan yang diperoleh dari kurva kapasitas serap dalam larutan NaCl untuk
hidrogel OO-AA adalah y = 29.229 X-0.34. Nilai n menunjukkan bahwa diatas
konsentrasi 0.34 M, daya serap hidrogel sudah tidak berbeda signifikan dan nilai k
merupakan daya serap air ketika konsentrasi NaCl 1 M. Selanjutnya, hidrogel OT-
AA dan OT-AM memiliki persamaan masing-masing y = 52.919 X-0.173 dan y =
39.661 X-0.296, nilai n menunjukkan bahwa diatas konsentrasi 0.173 M untuk
hidrogel OT-AA dan 0.296 M untuk hidrogel OT-AM daya serapnya sudah tidak
berbeda signifikan, lebih baik dari hidrogel OO.
Day
a se
rap
air
(g/g
)
NaCl [M]
27
Hidrogel OT lebih toleran dalam larutan garam dibandingkan dengan
hidrogel OO. Dari grafik terlihat daya serap air hidrogel dari OT cenderung
konstan pada konsentrasi NaCl di atas nilai n dibandingkan dengan hidrogel OO
masih terus menurun. Dari rata-rata perbedaan daya serap air di atas nilai n dalam
larutan garam, hidrogel OT-AA dan hidrogel OT-AM masing-masing memiliki
swelling 26 dan 12.5 kali lebih besar daripada hidogel OO-AA. Hal ini
memperkuat bukti bahwa gugus fungsi hidrofilik hidrogel OT lebih banyak
sehingga karakter toleran garamnya lebih baik daripada hidrogel OO.
Penjelasan berkurangnya daya serap air pada larutan garam berhubungan
erat dengan penurunan tekanan osmosis. Ion-ion yang terikat pada jaringan
hidrogel bersifat imobil yang dapat dianggap terpisah dari larutan luar dengan
adanya membran. Jika hidrogel direndam dalam air, akan terjadi perbedaan
tekanan osmosis dengan larutan luar, sehingga air terdifusi ke dalam jaringan dan
hidrogel jadi mengembang. Kehadiran ion di sekitar larutan jaringan hidrogel
akan menetralkan saling tolakan dari ion tetap pada jaringan itu sendiri, sehingga
menurunkan perbedaan tekanan osmotik antara gel dan larutan luar
(Kiatkamjornwong et al. 2000; Lanthong et al. 2006; Erizal 2010).
Pencirian Hidrogel OT
Analisis utama yang menyangkut keberhasilan proses grafting ini diamati
pada Spektrum IR dan Foto SEM. Pada spektrum IR dicontohkan perbandingan
antara hidrogel PAM dan hidrogel OT-AM (Gambar 14) dan perbandingan
lainnya dapat dilihat di Lampiran 8. Analisis morfologi dari pemayaran SEM
dilakukan pada onggok teroksidasi, hidrogel OT-AA dan OT-AM (Gambar 15).
Gambar 14 Spektrum FTIR PAM (------) dan hidrogel OT-AM (------)
28
Spektrum IR hidrogel OT hampir sama dengan spektrum IR PAM. Hal ini
menunjukkan campuran AM lebih dominan dibandingkan dengan OT. Terjadinya
pencangkokan dan penautan silang OT dengan AM dapat dilihat pada spekturm
IR hidrogel OT-AM dengan (1) munculnya pita khas vibrasi ulur N-H pada
bilangan gelombang 3140.11 cm-1 (2) pergeseran vibrasi ulur C=O dari 1639.49
cm-1 menjadi 1701.22 cm-1. Ketika terjadi grafting mengakibatkan perubahan
energi molekul secara keseluruhan dan berdampak pada perubahan energi vibrasi
gugus fungsi molekul yang ditandai dengan perubahan bilangan gelombang
(Kurniadi 2010).
(a)
(b) (c)
Gambar 15 Foto SEM (100 x )(a) onggok teroksidasi (b) hidrogel OT-AA
(c) hidrogel OT-AM
Morfologi permukaan onggok teroksidasi (Gambar 15a) yang belum membentuk
grafting terlihat jelas memiliki bentuk bulat dengan ujung terpotong di satu sisi.
Setelah grafting, granula pati menjadi berkelompok dan berubah bentuk menjadi
serpihan yang berpori. Penetrasi monomer AA dan AM ke dalam jaringan onggok
akan membentuk kopolimer berpori yang berpengaruh erat dengan kemampuan
swelling. Pori pada hidrogel OT-AA (Gambar 15b) lebih jelas dan banyak
daripada pori hidrogel OT-AM (Gambar 15c). Oleh sebab itu, daya serap air
hidrogel OT-AA lebih tinggi dari pada hidrogel OT-AM.