48 Sonny de Hoop

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    1/22

    48. SONNY DE HOOP

    MAULANA SYAFRI berhenti menyusut ke-ringat. Bulan malam sudah berada tepat di

    atasnya. Ia menatap wajah Sangaji yang nam-pak termangu-mangu. Kemudian

    menerus-kan, "Demikianlah pula cara Titisari me-naklukkan Suryapranata. Benar-

    benar luar biasa kepintaran putri Adipati Surengpati itu. Ilmu silatnya kita tak usah

    kalah, tetapi kecer-dasannya berada jauh di atas kita sehingga dapat mengikat

    kita."

    "Apakah dia pula yang mengatur semua perjalananku?" Sangaji menyela.

    "Tentu, tentu. Siapa lagi kalau bukan dia," sahut Maulana Syafri. "Dialah yang

    mengatur benda-benda persembahan. Dia pulalah yang memberi tanda-tanda sandi

    di tempat-tempat tertentu, tatkala Paduka menuju ke Gunung Cibugis. Dia pulalah

    yang mengatur hubungan kita dengan Ki Tunjungbiru. Dan atas petunjuknya,

    Suryapranata menjadi salah seorang penjaga penjara Glodok. Karena itu, Paduka

    tak perlu mencemaskan keadaan Ki Tunjung-biru. Malam ini, dia sudah dapat

    menghadap Paduka dengan selamat tak kurang suatu apa.

    Memang semenjak ia berada di atas dataran tinggi Gunung Cibugis, ia seolah-olah

    berada dekat dengan Titisari. Tak tahunya, itu semua ternyata permainan Titisari.

    Dengan Titisari, sudah lama ia takluk. Tetapi sama sekali tak pernah dia bermimpi,

    bahwa Titisari memiliki otak secemerlang itu. Dengan sekali tepuk, dia dapat

    menguasai tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang dan dia sendiri. Gadis itu tak ubah

    seorang sutradara yang sudah mengatur jalan-nya tiap-tiap tokoh yang disuruhnya

    bermain di atas panggung.

    "Hanya satu hal aku tak mengerti. ltulah pe-racunan rombongan penyerbu di atas

    dataran ketinggian Gunung Cibugis. Siapakah yang melakukan?" kata Sangaji.

    "Gusti Aji," sahut Maulana Syafri lancar. "Sesungguhnya kalau hamba tidak

    membuk-tikan sendiri takkan mau percaya, bahwa di dunia ini ada seorang gadis

    memiliki otak secemerlang itu. Dia tidak hanya menguasai kita semua, tapipun

    dapat menghancurkan rombongan musuh penyerbu markas besar Himpunan

    Sangkuriang yang mula-mula dipergunakan untuk membangunkan persatu-an kita

    kembali."

    "Cobalah uraikan yang lebih jelas lagi. Aku jadi tidak mengerti," potong TubagusSimuntang.

    Maulana Syafri tertawa terbahak-bahak. Katanya kemudian, "Nah lihatlah, kau

    hanya menyumbangkan suatu pendengaran, namun kepalamu sudah pusing. Coba

    bayangkan betapa hebat otak Titisari yang bahkan mengatur pelaku-pelakunya."

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    2/22

    "Baik, baik ... baik. Siapa bilang otakku cemerlang," kata Tubagus Simuntang yang

    berwatak berangasan.

    "Begini," Maulana Syafri mulai. "Kau masih ingat betapa Edoh Permanasari

    dikalahkan. Ternyata dia tidak hanya dikalahkan ilmu silat-nya, tapipun hatinya. Hal

    itu terjadi, karena Titisari pandai mengikat suatu kisah yang senapas denganperjalanan hidup iblis itu. Bukankah dia bercerita tentang hubungannya dengan

    Gusti Sangaji?"

    "Benar."

    "Di luar dugaan juga, semenjak itu Edoh Permanasari banyak mendengarkan kata-

    kata puteri Adipati Surengpati. Katakan saja, dia patuh seperti diriku terhadapnya.

    Dan semen-jak itu, iblis Edoh Permanasari menjadi duta keliling puteri Adipati

    Surengpati. Dia disuruh menghubungi semua tokoh-tokoh pendekar lawan

    Himpunan Sangkuriang untuk menyer-bu dataran tinggi Gunung Cibugis. Sudah

    barang tentu puteri Adipati Surengpati me-ngarang cerita dahsyat tentang Gusti Aji.

    Dikatakan bahwa Himpunan Sangkuriang kini sedang meminta bantuan tokoh sakti

    dari Jawa Tengah. ltulah Gusti Sangaji. Dan ia menganjurkan, sebelum tokoh itu

    mampu bertindak, hancurkan seluruh pendekar Himpunan Sangkuriang mumpung

    mereka datang berkumpul. Puteri Adipati Surengpati pandai membakar hati pula.

    Dikatakan, ia berani bertaruh bahwa semua pendekar Jawa Barat takkan dapat

    memenangkan tokoh sakti itu. Kecuali dia sendiri. Maka pesannya, asal mereka

    merasa diri tak ungkulan lekaslah turun gunung. Dia sendiri yang akan mem-

    bereskan. Sudah barang tentu aku tahu mak-sudnya. Dia hendak memberi

    kesempatan kepada Gusti Sangaji untuk mengangkat nama. ltulah sebabnya,

    dengan kurang ajar aku memberanikan diri untuk menguji Gusti Aji. Maksudku, agar

    Himpunan Sangkuriang jangan terpedaya oleh akal cerdik belaka sam-pai sudimengakui orang tak berguna menjadi junjungan kita. Tak tahunya, ternyata Gusti

    Aji memang pantas menjadi junjungan kita. lnilah rejeki besar bagi laskar

    perjuangan Himpunan Sangkuriang."

    "Dan Kompeni... mengapa ikut-ikutan pula menyerbu?" Tatang Sontani minta

    keterangan.

    "ltulah bagianku," sahut Maulana Syafri. "Seperti kau ketahui aku menyandang

    pakai-an kompeni. Gusti Aji sendiri menyaksikan, betapa aku mendapat

    kepercayaan kompeni untuk mengawal puteri komandan Mayor de Hoop. Maka kau

    bisa mengira-ngira sendiri, betapa aku berhasil menjilat pantat kompeni.Demikianlah dengan berbisik puteri Adipati Surengpati memberi petunjuk

    kepadaku, agar aku membuat laporan kilat tentang berkumpulnya tokoh-tokoh

    Himpunan Sangkuriang yang sudah lama menjadi musuh kompeni. Hal ini perlu

    untuk me-nguatkan kedudukan puteri Adipati Surengpati itu terhadap kesangsian

    pihak pendekar penyerbu. Bukankah dengan demikian, kedudukannya lantas

    menjadi terang bahwa dia berpihak kepada kompeni? Edoh Permanasari dan

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    3/22

    kawan-kawannya jadi lebih mantap. Tak tahunya ... tak tahunya ... begitu mereka

    habis tugasnya menyerbu dataran tinggi, putri Adipati Surengpati men-jebaknya

    dengan jitu."

    "Apa itu?" potong Tubagus Simuntang dan Tatang Sontani berbareng dengan

    bernafsu.

    "Lihatlah setelah aku berhasil menyerbu ke dataran tinggi, aku mendapat tugas lagi

    menawan pendekar-pendekar penyerbu. Bukankah hebat akal itu?"

    "Akal bagaimana?"

    "Dengan menggunakan racun, mereka kita tangkap. Maka kesalahan tangan itu kini

    ber-alih kepada pihak kompeni. Mereka lalu aku giring masuk ke kamp tawanan dan

    aku se-ngaja melepaskan beberapa orang rombongan mereka masing-masing. Itu

    semua kukerjakan atas petunjuk puteri Adipati Surengpati. Dengan begitu, mereka

    bisa memberi laporan kepada ketua mereka, bahwa rombongan kini kena tawan

    kompeni. Bukankah mereka lan-tas menjadi berbalik melawan kompeni? Inilah yang

    dinamakan akal sekali menepuk dua lalat dengan sekaligus. Terbuktilah kini,

    penjara di-serbu orang-orang pandai. Bukankah peristiwa ini akan menegangkan

    hubungan antara mereka dan pihak kompeni? Sebaliknya kitalah kini yang ganti

    menjadi penonton. Waktu menyerbu dataran tinggi Gunung Cibugis, mereka

    bersatu padu dengan kompeni. Tapi begitu turun dari gunung, mereka cakar-

    cakaran. Ini semua berkat otak puteri Adipati Surengpati yang cemerlang. Hayo

    katakan bahwa puteri Adipati Surengpati itu tidak berotak luar biasa. Tatang

    Sontani, kau selamanya membang-gakan diri sebagai seorang yang berotak gemi-

    lang. Dapatkah kau melampaui otak puteri Adipati Surengpati itu?"

    Baik Tatang Sontani dan Tubagus Simun-tang tercengang-cengang mendengar

    penje-lasan itu. Pantas saja, kompeni dapat dengan lancar menyerbu dataran

    ketinggian Gunung Cibugis yang banyak lika-likunya dan jebakan-nya. Tak tahunya,

    Maulana Syafri yang memimpin. Dan itu semua adalah berkat petunjuk Titisari.

    Tatang Sontani yang jujur lantas saja merigakui, bahwa dalam hal meng-adu

    ketajaman otak dan kecerdikan akal ia kalah jauh. Maka besarlah keinginannya hen-

    dak melihat wajah puteri itu. Tetapi sesungguh-nya, Tatang Sontani seorang

    cendekiawan yang jarang pula terdapat pada zaman itu. Setelah merenung sejenak,

    mendadak ia seperti melihat sesuatu yang berkelebat dalam benaknya. Pikirnya

    hati-hati, pedang Sangga Buwana berada di tangan Tatang Manggala, sudah cukup

    terang jawabannya. Dengan Edoh, pendekar tua itu bersekutu semenjak zamanRatu Fatimah. Sebaliknya meskipun pedang pusaka tidak gampang-gampang ber-

    alih di tangan seseorang, kukira puteri Adipati Surengpati yang mengatur. Edoh

    Permanasari nampaknya menaruh kepercayaan besar ter-hadapnya. Pantaslah oleh

    pintarnya puteri Adipati Surengpati mengatur cerita, iblis itu sampai mau membuat

    jasa dengan menyerang Gusti Aji mati-matian di atas Gunung Cibugis. Tetapi

    sebaliknya ... apakah inti tujuan puteri Adipati Surengpati sebenarnya? Bukankah ...

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    4/22

    bukankah semata-mata hendak merebut Gusti Aji dari tunangannya? Sekarang,

    penjara kena serbu. Yang menyerbu pihak para pendekar sekutu kompeni. Memang

    inilah akal bagus untuk mengelabui pihak kompeni yang semen-jak ini akan menjadi

    bermusuhan. Tetapi puteri Adipati Surengpati itu menganjurkan pula membebaskan

    Ki Tunjungbiru. Ha ... masakan kompeni tidak dapat membaca lain lagi? Ki

    Tunjungbiru sudah diketahui menjadi musuh besar pihak penyerbu. Sekarangmendadak lenyap dari penjara, masakan dia dibebaskan oleh para penyerbu? Orang

    goblokpun tahu, bahwa hal itu tidak mungkin. Kalau orang go-blok saja tahu akan

    hal itu, masakan puteri Adipati Surengpati tidak dapat berpikir? Bukankah

    maksudnya sengaja melibatkan.

    Gusti Aji? Sebab dengan hilangnya Ki Tunjungbiru tahulah kompeni, bahwa Himpun-

    an Sangkuriang mengambil bagian dalam penyerbuan itu. Dan teringat kepada

    Himpunan Sangkuriang, pastilah kompeni segera teringat kepada kedudukan Gusti

    Aji. Kompeni pasti bertindak. Ya, kompeni pasti bertindak. Gusti Aji sendiri bisa

    menyela-matkan diri. Tetapi ibunya? Bukankah ibunya berada dalam pengawasan

    kompeni? Me-nawan ibunya bukankah sama halnya menawan hati Gusti Aji? Dan

    kalau sampai ter-jadi begitu, Gusti Aji akan bermusuhan dengan kompeni. Hal itu

    berarti pula, pecahnya hubungan antara Gusti Aji dengan tunangannya. Hebat tapi

    berbahaya. Salah-salah bisa mengorbankan jiwa. Memikir sampai di situ, tubuh

    Tatang Sontani bergemetaran. Lantas bertanya mencoba. "Kak Maulana, kau tadi

    berkata bahwa malam ini Ki Tunjungbiru akan datang menghadap Gusti Aji. Apakah

    pembe-basan Ki Tunjungbiru diatur pula oleh puteri Adipati Surengpati?"

    "Tentu. Mengapa?" sahut Maulana Syafri tak ragu.

    "Ah, celaka!" Tatang Sontani terkejut. Ia su-dah dapat menduga, namun mendengar

    jawab-an itu tak urung hatinya benar-benar terkejut.

    Sangaji tercekat hatinya. Terhadap Tatang Sontani, ia menaruh, kepercayaan besar.

    Raja muda itu tidak akan memekik demikian, seki-ranya tiada alasan yang kuat.

    Maka segera ia minta keterangan. "Apakah ada yang salah?"

    Dengan membungkuk hormat, Tatang Sontani menjawab hati-hati. "Sekarang Ki

    Tunjungbiru mungkin sudah berada di luar penjara. Oleh hati penasaran, pastilah

    kom-peni akan meminta ganti kerugian. Hamba yakin, bahwa mereka sudah

    mengetahui kedudukan Paduka. Karena itu hamba khawatir, kompeni akan minta

    pertanggungan jawab Paduka."

    "Ha, Gusti Aji sudah berada di sini. Kompeni bisa apa?" sahut Tubagus Simuntang.

    "Benar, tapi ibu Gusti Aji?" kata Tatang Sontani dengan suara menggeletar. Men-

    dengar kata-kata Tatang Sontani, kepala Sangaji seperti kena sambar geledek. Ia

    se-orang pemuda yang berhati tenang. Terlalu tenang. Malah meskipun demikian,

    tubuhnya bergemeteran mendengar pernyataan itu.

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    5/22

    Terus saja dia berkata, "Paman sekalian ... sambutlah Aki Tunjungbiru. Aku sendiri

    akan masuk ke kota."

    Setelah berkata demikian, dengan sekali menjejak tanah tubuhnya melesat

    bagaikan bayangan. Ia tak memedulikan segala. Gerakannya sebagai orang gila.

    Karena itu bisa dibayangkan betapa hebat kegesitannya. Hanya sekejap mata,bayangannya sudah lenyap ditelan tirai malam. Memang sewaktu mendengarkan

    kisah tentang Titisari, hatinya menjadi terharu. Ia tak tahu sendiri, apakah

    berbangga, bersyukur, girang atau mengagu-mi. Yang terasa, ingin sekali ia melihat

    wajah pujaan hatinya itu. Namun begitu mendengar ancaman bahaya terhadap

    ibunya, lenyaplah semua angannya. Tak mengherankan, bahwa larinya menubras-

    nubras seolah-olah hendak menjangkau tujuannya satu langkah sampai.

    Peristiwa jebolnya penjara Glodok sesung-guhnya menggegerkan kompeni. Dari

    semua jurusan, kompeni datang dengan senjatanya. Tetapi semua penyerbu sudah

    lenyap kembali dengan membawa rekan-rekannya yang terkurung. Setelah

    diperiksa, Ki Tunjungbiru hilang pula. Maka pihak mana yang menyerbu penjaraGlodok jatuh pada Himpunan Sangkuriang.

    Sonny de Hoop yang ikut pula lari ke pen-jara, mengetahui semua kejadian itu

    dengan jelas. Sepulangnya dari penjara, ia berpikir keras. Himpunan Sangkuriang

    ikut memegang saham penyerbuan itu. Hal itu berarti Sangaji akan terseret pula.

    Kalau pihak kompeni de-ngan terang-terangan memusuhi Sangaji, sudah bisa

    dibayangkan betapa akibatnya. Sangaji pasti akan meninggalkan kota Jakarta untuk

    memasuki gunung. Bila ini terjadi, itulah berarti ia akan terpisah untuk selama-

    lamanya. Memperoleh pikiran demikian, hatinya menjadi pedih pilu. Pikirannya

    pepat, alisnya senantiasa berkerut-kerut. Akhirnya ia nampak gelisah.

    Mayor de Hoop tahu apa sebab anak tung-galnya berduka cita. Malam itu ia datang

    dengan membawa minuman keras. Sambil meneguk minuman, ia membawa sikap

    girang luar biasa. Kerapkali ia memandang Sonny de-ngan mata berkilat-kilat untuk

    menyatakan suka cita. Kemudian dengan tertawa ia berka-ta, "Sonny, kau tak usah

    bersedih hati. Percayalah, Sangaji tidak akan meninggalkan kota Jakarta lagi. Aku

    mempunyai suatu tipu daya untuk membawa dia kepadamu. Lihat saja esok pagi.

    Percayalah kata-kataku ini! Tak usahlah kau bersangsi. Ingatlah, kau adalah anak

    tunggalku. Seumpama kau meng-inginkan rembulan atau bintang-bintang di la-ngit

    masih sanggup aku mengambilnya. Sonny, lihatlah betapa besar kasih sayang Ayah

    kepadamu..."

    Sonny girang tapipun bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu? Melihat

    wajahnya, kesannya tidak berdusta. Ia percaya, ayahnya banyak tipu dayanya.

    Sebagai seorang per-wira, ia terkenal cakap dalam pekerjaan. Karena itu cepat saja

    ia memperoleh keper-cayaan atasannya. Apalagi, dia tidak pernah pula ingkar janji.

    Kalau sudah berjanji, ia akan membuktikan. Hanya tipu daya apakah yang hendak

    dilakukan terhadap Sangaji, Sonny tidak dapat menebak. Ingin ia bertanya untuk

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    6/22

    mendapat ketegasan, tetapi ayahnya nampak sibuk dengan araknya. Terus

    menerus ayahnya meneguk minuman keras, sehingga mulutnya tak sempat lagi

    berbicara.

    Diam-diam Sonny mencoba memecahkan teka-teki itu dalam kamar tidurnya.

    Mamun sampai larut malam, masih belum nampak bayangannya. Tiba-tiba suatupikiran menusuk benaknya. "Tidak biasanya Ayah membawa minuman keras begitu

    banyak. Rupanya dia menunggu tamu. Dia pun bukan peminum. Apa sebab ia

    hampir menghabiskan satu botol penuh? Rupanya dia akan memu-tuskan suatu hal

    yang bertentangan dengan hati nurani sendiri. Teringat akan janji tipu daya itu,

    Sonny de Hoop menggeridik. Terus saja ia melompat turun dari tempat tidurnya.

    Kemudian dengan mengendap-endap ia menghampiri kamar tamu. Di belakang

    pintu, ia bersembunyi. Dan benar ia mendengar suara orang.

    Yang berbicara tegas, terang ayahnya. Lainnya seorang laki-laki yang mengenakan

    pakaian preman. Setelah diamat-amati ternya-ta salah seorang pelayan yang

    sengaja ditanam kompeni dalam rumah tangga Sangaji.

    "Apakah rumah itu benar-benar dapat dibeli?" kata ayahnya. "Menyongsong zaman

    baru yang bakal datang, tidaklah gampang."

    "Apakah adat istiadat bangsa Inggris lain dengan bangsa Belanda?" tanya pelayan

    itu.

    "Sudah tentu. Sedangkan masakan, lain koki lain resepnya."

    Sonny de Hoop, tahu bahwa pembicaraan itu menyangkut tentang akan datangnya

    pemerintah Inggris di Indonesia yang akan menggantikan kedudukan pemerintahBe-landa. Dan mendengar pembicaraan itu, hati Sonny tak tertarik. Hampir ia

    kembali ke kamar tidurnya, tetapi sebelum kakinya ber-gerak tiba-tiba ia

    mendengar ayahnya meng-alihkan pembicaraan.

    "Meriam besar itu nampaknya hebat. Bagaimana menurut pendapatmu, kalau ia

    meledak di dalam kota? Apakah penduduk bakal terkejut?" demikianlah pertanyaan

    ayah-nya.

    "Mungkin penduduk akan terkejut, tetapi mereka akan mengira suatu ledakan

    petasan," jawab pelayan itu.

    "Gedung pesanggrahan itu berada di tengah lapang terbuka. Terapit tangsi pasukan

    berku-da dan terpisah jauh dari perkampungan. Seumpama penduduk terbangun

    oleh rasa kaget, paling-paling mereka mengira suatu latihan militer. Hamba percaya

    takkan menim-bulkan suatu kecurigaan yang bukan-bukan."

    Sonny de Hoop terperanjat. Suara meriam? Gedung pesanggrahan? Itulah gedung

    yang diberikan kompeni kepada Sangaji.

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    7/22

    "Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembakkan," kata pelayan itu lagi.

    "Di bawah ancaman meriam masakan Sangaji akan tetap membandel? Seumpama

    Sangaji tidak sudi menyerah, bagaimana dengan ibunya?"

    "Beberapa tahun tak pernah aku bertemu muka dengan Sangaji. Tetapi semenjak

    dahulu aku tahu, dia berwatak keras hati dan tabah. Sangaji akan menyerah kepadatutur kata yang lemah lembut daripada suatu kekerasan. Kukira, dia lebih senang

    mengorbankan diri daripada menyerahkan diri. Apalagi dia kini menjadi seorang

    pemimpin Besar laskar per-juangan. Harga martabatnya jauh lebih tinggi dari pada

    gelegar meriam...." ujar Mayor de Hoop. Kemudian terdengar ia menghela napas

    berat. Katanya lagi, "Sangaji kini bukan Sangaji beberapa tahun yang lampau.

    Semenjak berada di Jawa, ia pandai ilmu silat dan memiliki ilmu pengetahuan

    sangat tinggi pula. Ini terbukti, dia dipilih menjadi pucuk pimpinan tertinggi

    Himpunan Sangkuriang. Peristiwa demikian, tidaklah gampang. Ber-puluh tahun

    lamanya, pemimpin-pemimpin laskar perjuangan itu berpecah-belah karena saling

    berebutan untuk memperoleh kursi pimpinan. Ternyata dengan sekali hantam saja,

    Sangaji sudah berhasil merebutnya. Apalagi kalau bukan karena dia memiliki suatu

    kepandaian melebihi semuanya. Sungguh sayang bahwa dia nampaknya tidak

    bersedia bekerjasama dengan kompeni. Karena itu, kita sudah memutuskan untuk

    mengepung ke-diamannya rapat-rapat. Sekali terlolos, baha-yanya tak dapat kita

    bayangkan lagi. Tetapi, ah! Moga-moga dia teringat akan perhubung-annya dengan

    Sonny. Kalau dia menyerah kepadaku, masih aku mempunyai daya untuk

    menyelamatkan. Sebaliknya bila mem-bangkang demi kewajiban akan membuat

    Sonny sangat berduka. Karena itu dia harus kita singkirkan untuk selama-lamanya

    Sebagai seorang komandan, Mayor de Hoop sudah menerima laporan tentang diri

    Sangaji semenjak tiba di Jakarta. Siang-siang ia sudah menduga buruk. Karena ituRukmini lantas saja dipindah kediamannya di sebuah gedung pesanggrahan yang

    letaknya di tengah lapang dekat tangsi pasukan berkuda. Rukmini dijadikan

    sandera dan jaminan untuk menji-nakkan pemuda itu.

    Terbangun bulu roma Sonny de Hoop mendengar ucapan ayahnya. Ia kaget ber-

    bareng kecewa. Lantas apa yang dimaksud-kan suatu daya untuk menahan

    Sangaji? Apakah meriam itu? Ia kenal watak Sangaji. Pasti ia akan tersinggung.

    Kalau ia merasa diri tersinggung, ia tak takut kepada segala. "Sangaji dalam

    bahaya!" katanya di dalam hati. Dan ia jadi bergelisah. Di kejauhan ia mendengar

    kentong tangsi tiga kali, ltulah suatu tanda, fajar akan tiba.

    Syukurlah, ayahnya dan pelayan itu segera mengakhiri pembicaraan. Cepat Sony

    de Hoop menyelinap ke dalam dan memasuki kamar tidurnya. Ia mendengar

    ayahnya masuk ke dalam juga, setelah mengantarkan pelayan itu di serambi

    kanan.

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    8/22

    Mayor de Hoop memasuki kamar tidurnya. Tapi sampai lama, lampu masih saja

    menyala. Itulah suatu tanda, bahwa dia belum tidur. Melihat itu, hati Sonny jadi

    bergelisah sendiri.

    Kamar tidurnya berada di depan kamar tidur ayahnya. Sekiranya ia banyak

    bergerak, ayah-nya akan mendengar atau melihatnya. Karena itu, perlahan-lahan iamenjatuhkan diri di atas tempat tidur menentramkan hati. Sekian lamanya ia

    menunggu, kamar ayahnya masih saja nampak menyala. Akhirnya lonceng tangsi

    memperingatkan waktu setengah empat pagi. Dan mendengar bunyi lonceng itu,

    hati Sonny de Hoop gelisah bukan kepalang. Alangkah lamanya menunggu ayahnya

    tidur. la mengintip dan kini bahkan nampak ayahnya berjalan mondar-mandir.

    Rupanya dia pun bergelisah pula. Melihat ayahnya mondar-mandir, kembali hati

    Sonny memukul. Katanya, "Aku harus menolong Sangaji. Aku harus menolong

    Sangaji ... meskipun dia ter-paksa meninggalkan aku...."

    Dengan derun hati ia mengawaskan kamar ayahnya. Terus menerus ia berdoa, agar

    ayah-nya cepat-cepat tidur. Akhirnya ia dapat bernapas lega. Nyala lampu ayahnyapadam. Itulah suatu tanda, ayahnya sudah menidurkan diri. Ia menunggu beberapa

    saat, lalu melompat turun dari tempat tidur. Segera ia hendak keluar kamar,

    mendadak teringatlah dia, bahwa di luar ada penjaga dinas. Mungkin pen-jaga

    takkan merintangi kepergiannya, tetapi dia pun wajib memberi kabar kepada

    ayahnya. Hal itu sudah barang tentu tak dikehendaki. Maka mau tak mau ia berpikir

    keras untuk mengatasi.

    Dengan hati-hati ia membangunkan budak-nya yang tidur sekamar dengannya.

    Katanya perlahan, "Kau ambillah dua botol arak. Berikan kepada dua penjaga di

    luar. Bilang Tuan Mayor yang menghadiahi mengingat hawa sangat dingin."

    Dalam pada itu, ia menaruhkan obat bius di dalamnya. Lalu menunggu kembalinya

    si budak. Seperempat jam ia menunggu dengan hati memukul. la khawatir, tipu

    dayanya tidak berhasil. Karena itu ia berjingkit-jingkit meng-intip dan

    mendengarkan pembicaraan mereka. Kalau mampu, ingin ia menahan waktu yang

    terus berjalan merangkak-rangkak. Akhirnya budaknya datang juga dengan warta

    yang menggembirakan hati.

    Mereka berdua benar-benar kedinginan. Memperoleh dua botol arak, seperti

    berlomba mereka meminumnya tanpa bersangsi. Sekarang mereka tidur seperti

    mampus.

    Mendengar warta itu, Sonny de Hoop lantas mengenakan pakaian lapangan.

    Setelah mem-beri kisikan kepada -budaknya agar tidak membangunkan ayahnya,

    segera ia menyu-sup keluar halaman. Di tepi jalan, ia menjela-jahkan matanya.

    "Malam ini seluruh serdadu berjaga-aga karena peristiwa penjara. Moga-moga aku

    selamat..." doanya dalam hatinya. Tetapi doanya ternyata justru meramalkan

    dirinya. Di tengah jalan ia berpapasan dengan serdadu patroli. Ia segera dibawa

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    9/22

    menghadap piket. Begitu ia berada di bawah penerangan lampu, komandan piket

    kaget bercampur heran. Katanya, "Miss Sonny... hendak ke mana?"

    Bingung Sonny de Hoop menghadapi per-tanyaan itu, meskipun ia sudah berjaga-

    jaga untuk jawabannya. Akhirnya ia mencoba, "Serdadumu benar-benar tak tahu

    aturan. Masakan aku perlu dibawa ke mari? Masakan tidak kenal diriku?"

    "Bukan begitu, Nona. Soalnya ini sangat istimewa. Mereka melakukan kewajiban de-

    ngan baik."

    "Hm, sampai akupun dicurigai dan perlu ditangkap. Apakah baru kali ini mereka

    tahu kebiasaanku? Bukankah setiap fajar hari aku mempunyai kebiasaan untuk

    menghirup udara?"

    Perwira piket itu tidak menyahut. Alasan Sonny de Hoop masuk akal. Namun ia

    bercuri-ga. Katanya di dalam hati, malam ini ayahnya sendiri yang memberi

    perintah agar mem-perkuat perondaan. Siapa saja dilarang berke-liaran dalam jam

    malam. Masakan dia tidak diberi tahu? Mustahil! Setelah berpikir demikian, dia

    berkata, "Ah mungkin ayahmu lupa untuk memberi kabar padamu, bahwa malam

    ini berlaku jam malam sampai pukul enam pagi. Baiklah begini. Kau beristirahatlah

    di sini sampai waktu jam malam habis. Aku berjanji peristiwa ini tidak akan

    kulaporkan atau kubicarakan dengan siapa saja."

    Sonny de Hoop bergelisah. Tetapi alasan opsir piket itu masuk akal. Maka mau tak

    mau ia harus menyabarkan diri. Tetapi sabar itu sendiri merupakan suatu siksa luar

    biasa baginya. Seluruh tubuhnya seakan-akan digerumuti ribuan semut api.

    Perwira piket itu bersikap hormat padanya. Ia memerintahkan salah seorang

    bawahannya agar memasak kopi. Lalu dia sendiri yang melayani. Justru ia bersikap

    hormat, Sonny de Hoop malahan menjadi mati kutu. Coba per-wira itu bersikap

    kasar padanya, ia bisa bersikap keras untuk menyanggah penahanan itu.

    Jam lima pagi, sudah. Dari jauh Sonny mendengar suara roda bergeritan. la melo-

    ngokkan kepalanya dan melihat satu peleton serdadu mendorong sebuah gerobak

    berisi muatan berat. Setelah diamat-amati, hatinya memukul deras. Itulah sepucuk

    meriam rak-sasa yang dikawal dengan sangat cermat.

    "Letnan!" akhirnya ia tak dapat menyabar-kan diri lagi. "Pagi-pagi benar mereka

    mem-bawa-bawa sepucuk meriam. Apakah mereka sedang berlatih?"

    Perwira piket berbimbang-bimbang. Lalu mengangguk. Tentu saja, anggukkan itu

    mem-buat hati Sonny de Hoop bertambah gelisah. Katanya lagi, "Nampaknya akan

    dibawa ke lapangan tangsi kavaleri. Masakan mereka berlatih menembak meriam di

    tengah kota?"

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    10/22

    "Hal itu, aku tak mengetahui dengan jelas," sahut perwira itu. Tapi sesaat

    kemudian, buru-buru ia memperbaiki. "Nona puteri se-orang perwira pastilah tahu

    bahwa rahasia militer tak dapat terbaca oleh ibu jarinya sendiri."

    Sonny de Hoop menghela napas. Teringat kata-kata ayahnya semalam, seluruh bulu

    romanya menggeridik. Ia harus cepat-cepat bertindak. "Sangaji harus secepat kilatmeninggalkan kediamannya. Moga-moga dia sudah pergi... moga-moga dia sudah

    pergi, doanya deras dalam hati. Tetapi justru mendengar bunyi doanya, hatinya

    kian menja-di gelisah. Akhirnya dia memberanikan diri. "Sampai jam berapa aku

    harus tinggal di sini?"

    Perwira itu tak segera menyahut, setelah berpikir sejenak baru ia menjawab,

    "Minumlah kopi Nona dahulu. Setelah habis kurasa habis pulalah waktu jam

    malam..."

    Mendongkol hati Sonny de Hoop mendengar bunyi jawaban perwira itu. Tetapi baik

    sikap maupun nada suara perwira itu tak dapat ter-cela, karenanya ia tak dapat

    berbuat sesuatu. Tanpa merasa ia meruntuhkan pandang ke mangkok kopinya.

    Sudah barang tentu, masih panas benar. Asapnya masih tebal meraba udara pagi

    hari.

    "Hm," ia gemas. Dan untuk menghindari pandang selidik perwira itu, mau tak mau

    ia harus menghadapi hidangan itu dengan wajah cerah. Tetapi Sonny de Hoop

    bukan Titisari yang bisa membawa diri amat licin. Meskipun ia berusaha keras untuk

    meniadakan kesan kegelisahan hatinya, namun dia tak dapat meloloskan diri dari

    pandang perwira itu yang sudah banyak berpengalaman.

    "Rupanya Nona pagi hari ini tidak hanya bertujuan untuk menghirup hawa segar.

    Apakah salah tebakanku," katanya sopan.

    Kau memang pantas disambar geledek, maki Sonny de Hoop dalam hati. Lalu men-

    jawab mengada-ada. "ltulah rahasiaku. Rahasia perempuan tidak berbeda jauh

    dengan rahasia militer. Biarpun ia jarinya sendiri tidak boleh mengetahui."

    "Ah benar, Nona." Perwira itu buru-buru menyahut sopan.

    Sonny de Hoop melemparkan pandang ke jalan. Peleton yang mengangkut meriam

    rak-sasa tadi sudah mulai memasuki lapangan. Mereka disambut oleh dua pasukan

    besar yang nampaknya sudah mengepung rumah Sangaji rapat-rapat. Melihat

    pemandangan itu, hatinya terpaksa ingin meledak. lngin saja ia memukuli kepalaperwira itu pasti yang pandai membawa sikap terlalu manis. Teringat kepada waktu

    yang dijanjikan, ia memaksa diri menghirup kopinya dengan sekali teguk. Tetapi

    kopi itu memang masih panas. Begitu hendak ditelan, ia melontakkan kembali

    karena tak tahan kena jilatnya.

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    11/22

    "Hari masih terlalu pagi," kata perwira itu dengan suara merdu. "Mengapa buru-

    buru? Ah, benar-benar Nona mempunyai maksud jauh lebih penting dari pada

    menghirup hawa pagi."

    Hati Sonny de Hoop sudah mendongkol kena siksa panas kopi. Keruan saja, begitu

    mendengar ujar perwira itu, lantas saja ia meledak.

    "Ya, benar ... aku hendak meledakkan kota Jakarta ini dengan meriam itu. Kau

    percaya, tidak? Nah, laporkan aku kepada komandan-mu.

    Didamprat demikian, perwira itu hilang kecurigaannya yang melit. Buru-buru ia

    menyahut. "Ah, Nona sungguh pandai bergu-rau. Mana dapat aku melaporkan Nona

    kepada komandan. Baiklah begini saja, minumlah habis dahulu kopi itu agar tak sia-

    sia jerih payah anak buah kami. Kemudian Nona kami antarkan pulang."

    "Kalau aku mau pulang, masakan aku perlu diantarkan?" kata Sonny de Hoop

    sengit. la mengulangi menghirup kopinya. Ia berhasil meneguk, tapi untuk

    menghabiskan membu-tuhkan waktu seperempat jam. Waktu ia diperkenankan

    meninggalkan tangsi, matahari sudah mengintip di ufuk timur. Melihat tiga peleton

    mengepung kediaman Sangaji, Sonny de Hoop terus lari memasuki lapangan sambil

    berteriak nyaring.

    "Sangaji! Lariii...!"

    Suara tembakan peringatan terdengar mele-tus di udara. Seorang memburu masuk

    ke lapangan sambil berteriak, "Sonny ...! Balik!"

    Sonny de Hoop berhenti menoleh. Melihat opsir itu, ia segera menegur.

    "Van Vuuren! Apa artinya ini?"

    Letnan Van Vuuren sudah sering menyertai Sonny di medan perang. Karena itu,

    hubung-annya agak rapat juga. Mendengar teguran Sonny, ia tak bersakit hati,

    menyahut dengan suara wajar.

    "Perintah, Sonny! Maaf!"

    "Kau maksudkan Sangaji?" Sonny de Hoop bergemetaran.

    "Ya."

    Sonny de Hoop sudah tahu, mereka mengepung rumah Sangaji. Malahan semenjak

    tadi malam ia mengetahui hal itu. Tetapi mendengar ketegasan Letnan Van Vuuren,

    wajahnya berubah hebat. Pucat lesi tak ubah mayat. Tergagap-gagap ia berkata

    menyang-gah. "Apakah kau lantas hendak menembak? Berbicaralah dahulu!"

    Letnan Van Vuuren menghela napas. Ia tahu hubungan antara Sonny de Hoop dan

    Sangaji. Dalam hati nuraninya tak sampai hati, ia melakukan perintah itu. Karena

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    12/22

    itu mendengar perkataan Sonny de Hoop, ia mencoba mena-han perasaan diri. Lalu

    berteriak keras, "Sangaji...! Kau dengar suaraku ini? Semenjak jam empat pagi tadi,

    engkau kuberi kesem-patan untuk menyerah. Mengapa mem-bangkang? Jika jam

    sudah memukul sampai enam kali, aku hanya bisa memberi perintah tembak! Kau

    dengar perkataanku ini?"

    Lama tiada jawaban. Akhirnya terdengar suatu suara dahsyat.

    "Kau tembaklah! Tak usah engkau banyak berbicara!"

    "Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali" sahut Letnan Van Vuuren. "Jika

    aku sudah menghitung sampai sepuluh dan engkau tetap membandel, aku akan

    memberi perintah menembak. Kau pikirkanlah masak-masak! Ingat, semutpun

    masih sayang akan nyawanya..."

    Tatkala Sangaji menemui Sonny de Hoop di pendapa, sebenarnya Rukmini masihingin melanjutkan pembicaraannya. Anak itu datang pergi tak keruan tujuannya,

    semenjak ia me-rantau ke Jawa. Selagi rasa kangennya belum habis, mendadak

    timbullah masalah baru yang memaksa dirinya untuk menentukan sikap.

    Masalah Sonny dan Titisari bukanlah meru-pakan persoalan yang gampang

    dipecahkan.

    Di sini berkisar soal budi. Dengan keluarga Sonny de Hoop, ia merasa berutang

    budi. Karena semenjak Sangaji bertunangan dengan Sonny, Mayor de Hoop

    bersedia menjadi pelin-dungnya. Sebaliknya dengan Titisari, Sangaji berutang jiwa.

    Kalau dinilai, utang jiwa itu lebih tinggi daripada utang budi. Apalagi Sangajinampaknya lebih condong kepada Titisari. Hanya saja persoalan ini dengan tidak

    lang-sung menyangkut martabat bangsa. Bagai-manapun alasan Sangaji, dia sudah

    menerima janji. Dan sebagai seorang laki-laki sejati, dia harus menepati janji itu.

    Kalau tidak, namanya akan runtuh habis. Seumpama daun kering lebih berharga

    dari padanya.

    Hal itu ingin dibicarakan lagi dengan perla-han-lahan. Sekonyong-konyong Sangaji

    kabur lagi, karena peristiwa penjara. Sekian lamanya ia menunggu, tapi anaknya

    belum kembali pulang.

    Apakah dia pergi lagi? pikir Rukmini gelisah.

    Sampai jam tiga pagi hari, ia menunggu. Tatkala ia hendak menjenguk pendapa, se-

    orang letnan datang padanya.

    "Apakah anakmu belum pulang?" tanyanya.

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    13/22

    "Belum," jawab Rukmini dengan kepala teka-teki. Ia menajamkan penglihatannya.

    Samar-samar nampaklah beberapa serdadu berseragam berjalan mondar-mandir di

    pinggir lapangan.

    Rukmini hidup lama di dekat tangsi militer. Meskipun tidak mengetahui urusan

    militer, namun nalurinya berbicara juga. Nampaknya ada sesuatu yang tidak beres,pikirnya. Memikir demikian, ia berkata gugup.

    "Marilah duduk!"

    Tetapi opsir itu menolak tawarannya. Ia bahkan berpamit memundurkan diri. Di

    jauh sana ia berbicara kasak-kusuk dengan bawah-annya. Dan betapa sederhana

    hati Rukmini, ia menjadi curiga. Kemudian datanglah pelayan kepercayaan Mayor

    de Hoop. Begitu melihat wajah Rukmini yang bingung, mulailah dia beraksi. Katanya

    dengan suara setengah menggertak. "Nyonya, nampaknya ada sesuatu kejadian

    yang menyangkut diri Tuan muda. Rumah ini, kenapa tiba-tiba dikepung militer?"

    "Dikepung?" Rukmini terkejut. Wajahnya berubah.

    "Begitulah hamba dengar selintasan," pelayan itu mengarang cerita. "Kabarnya,

    salah seorang sahabat Tuan muda melarikan diri dari penjara. Kompeni lantas

    menuduh Tuan muda. Sebenarnya kompeni ingin be-kerjasama dengan Tuan muda.

    Tapi nam-paknya sukar untuk melaksanakan maksud mulia itu."

    Cukuplah sudah keterangan itu bagi Rukmini. Perasaan nalurinya sudah dapat

    menebak sebelumnya. Mayor de Hoop akan membuat sulit keadaan anaknya.

    Hanya saja tidak pernah ia mengira, bahwa kejadiannya sangat cepat dan terlalu

    dahsyat.

    Ia menjatuhkan diri di atas kursi. Tak terasa ia mengusap-usap mata tombak

    warisan suaminya yang sudah berkaratan. Selagi pi-kirannya gelisah,

    pandangannya runtuh kepada ketiga pusaka keramat Sangaji yang berada di atas

    meja semenjak tadi.

    Nah, apa kataku dahulu, bisiknya di dalam hati. Pusaka terkutuk itulah yang

    menerbitkan keruwetan lagi.

    Teringat akan nasib suaminya, hatinya menggeridik. Apakah anaknya akan

    menemui nasib yang sama pula? Ia pergi menjenguk keluar. Benar-benar kompeni

    mengepung kediamannya rapat-rapat. Samar-samar terli-hatlah beberapa serdaduberjalan mondar-mandir dengan menyandang senapan.

    Sudah hampir jam empat. Sangaji belum muncul juga. Rupanya dia tahu, rumahnya

    dikepung militer, katanya di dalam hati. Tiba-tiba ia setengah berdoa. "Ya

    Tuhan ...moga-moga Sangaji tak teringat akan pulang. Dengan begitu dia selamat.

    Ya Tuhan ... lin-dungilah anakku..."

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    14/22

    Ia duduk kembali di atas kursinya berdoa panjang pendek. Hal demikian itu, tidak

    hanya dilakukan pada malam itu. Sudah sering ia berdoa demikian untuk

    kebahagiaan anaknya pada saat-saat tertentu. Sebab bukankah dia meninggalkan

    kampung halaman dan ikhlas menanggung derita sepanjang jalan dahulu semata-

    mata demi anaknya belaka? Itulah sebabnya ancaman terhadap anaknya sama-lah

    juga halnya mengancam dirinya sendiri. Malahan lebih hebat.

    Sebab tiap ibu di mana saja akan rela meng-gantikan penanggung anaknya. Kalau

    perlu rela pula mengganti dengan jiwanya sendiri.

    Selagi demikian, tibalah Sangaji. Ilmu anaknya sangat tinggi sehingga dengan tiba-

    tiba saja sudah berada di depannya seper-ti malaikat.

    "Aji!" serunya entah bersyukur entah cemas. "Mengapa kau pulang? Rumah ini

    dikepung."

    Sangaji mengangguk. Dengan berdiam diri, ia memungut ketiga pusakanya. Pedang

    Sokayana yang mempunyai berat 80 kg, disangkutkan melintang di belakang pung-

    gungnya dengan seutas tali urat kerbau.

    Sedangkan Bende Mataram seperti biasanya digantungkan pada pinggangnya. Dan

    keris Kyai Tunggulmanik disisipkan di balik ba-junya.

    "Hai! Mengapa kau bawa-bawa juga benda terkutuk itu?" tegur Rukmini. "Lihatlah!

    Begini akibatnya. Bukankah aku sudah bilang?"

    Sangaji menoleh. Ia merenungi wajah ibu-nya. Kemudian dengan menghela napas,

    ia menyahut: "Benar, Bu. Nampaknya benar. Selalu saja terjadi suatu kekeruhan.

    Karena itu..."

    "Bukankah yang satu kepunyaan Sanjaya?" potong Rukmini. "Sebenarnya

    bagaimana mulanya sampai engkau yang mem-bawanya?"

    Soal beradanya kedua pusaka sakti itu, Sangaji memang belum pernah

    mengisahkan. Tapi pada saat itu, kehilangan kegembiraan. Dasar ia memang

    seorang yang selamanya tidak pandai berkata berkepanjangan. Selain itu, kini

    menghadapi masalah pelik. Maka ia menyahut tak jelas.

    "Panjang ceritanya ... Ibu, aku datang untuk menjemput Ibu."

    "Kau bilang menjemput Ibu?" Rukmini menegas. la berpikir sejenak. Lalu berkata

    lagi seperti terkejut. "Ah ya. Kompeni itu. Nah, apa kubilang tadi. Bukankah kusuruh

    engkau berkata kepada Sonny, bahwa engkau ingin berbicara dengan ayahnya."

    "Ya, Bu. Tapi saat ini nampaknya tidak mungkin lagi. Kompeni sudah bertindak.

    Karena itu kita harus pergi secepat-cepatnya."

    "Aku pergi juga?"

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    15/22

    "Tentu," sahut Sangaji dengan wajah menebak-nebak.

    "Kita pulang ke kampung memang itulah tujuan kita. Tetapi kalau pergi begitu saja

    seperti orang melarikan diri, rasanya kurang baik. Kau berbicaralah dahulu kepada

    ayah Sonny. Pintalah ijinnya dan baru kita bisa pulang ke kampung dengan hati

    lega. Bukankah kedatangan kita dahulu di sini de-ngan jalan terang juga?"

    Sangaji tergugu. Ia seperti kena suatu pu-kulan telak. Sekian lamanya, baru dia

    berkata memutuskan. "Baiklah, aku akan mencoba berbicara."

    Mendengar jawaban anaknya, Ibunya berna-pas lega. Sekonyong-konyong suatu

    ingatan menusuk kesadarannya. Lantas berkata kaget. "Tapi ... tapi ... kompeni di

    luar nampaknya bermaksud hendak menangkapmu..."

    "Ibu menghendaki aku berbicara dengan Mayor de Hoop dan aku akan pergi

    meskipun akhirnya aku ditangkapnya."

    "Tidak ... tidak! Kalau begitu, tidak baik. Kau harus lari... Ya, harus lari...," kataRukmini de-ngan suara tinggi. Tetapi ia terkejut atas ucap-annya sendiri. Dan

    wajahnya nampak menjadi bingung.

    Sangaji melihat ibunya bingung, hatinya terasa berguguran. Lantas saja ia memeluk

    ibunya sambil berkata memberi semangat.

    "lbu! Mari kita berangkat! Semalam aku sudah mendengar wartanya Titisari. Benar-

    benar ia berada di dekatku."

    "Kau bilang apa?" Rukmini terbelalak.

    Dengan penuh semangat Sangaji menceri-takan pengalamannya setelah melihat

    penjara. Dengan sedikit segan ia menerangkan, bahwa sersan yang membawa

    ketiga pusaka itu adalah salah seorang raja muda Himpunan Sangkuriang. Dengan

    begitu ia berada di bawah perintahnya.

    Girang Rukmini mendengar keadaan putera-nya yang disujudi orang-orang

    bermartabat tinggi, sehingga ia melupakan suasana yang gawat untuk selintasan.

    "Eh Aji, bagaimana kau bisa menanam pe-ngaruh begitu besar kepada para raja

    muda?" serunya girang berbareng bangga.

    "Itu semua berkat doa restu lbu. Karena itu, mari kita berangkat. Aku masihsanggup me-nerobos kepungan ini. Kukira pula, rekan-rekan Himpunan Sangkuriang

    tidak akan tinggal diam," kata Sangaji yakin. "Aku percaya Paman Maulana Syafri.

    Sudah sekian tahun lamanya ia mengenakan pakaian se-ragam. Pastilah dia

    mengetahui seluk beluk tata militer kompeni."

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    16/22

    Mendengar kata-kata Sangaji, wajah Rukmini bersinar terang. Tetapi hanya seben-

    tar. Mendadak suram kembali. Dengan menggelengkan kepala ia berkata dengan

    suara berat.

    "Anakku, kau berangkatlah sendiri! lbu akan tinggal di sini. lbu akan berusaha

    berbicara dengan Mayor de Hoop."

    Sangaji kenal tabiat ibunya yang keras. Sekali telah memutuskan sesuatu, dia

    berani menanggung akibatnya. Kalau tidak, ia dahulu tidak akan tabah

    menanggung siksaan batin. Kodrat yang membawanya lari ke Jakarta. Karena itu, ia

    menundukkan kepalanya. Hatinya jadi lemas. Dasar ia seorang yang tak pandai

    berbicara, dengan sendirinya tak pandai membujuk pula. Maka katanya menye-rah.

    "Baiklah, Bu! lbu tidak berangkat, akupun tidak berangkat."

    "Kau tak boleh berkata begitu. Kau harus berangkat! Hanya saja pesanku, kau

    harus menjauhi kedua benda terkutuk itu! Aku tak rela engkau akan menanggung

    sengsara lagi dengan Titisari. Engkau harus hidup tenteram dengan Titisari. Sebab

    puteri itulah yang telah merebut jiwamu di benteng batu. Perkara ke-luarga Sonny,

    itulah urusan Ibu. Biar mereka tahu, bahwa kita ini jelek-jelek mengerti mem-balas

    budi," kata Rukmini dengan suara menggeletar.

    "Ibu hendak melakukan apa?" Sangaji kaget.

    "Anakku..." tiba-tiba suara Rukmini ter-dengar tenang. "Itulah urusan Ibu! Sebentar

    tadi timbullah keputusanku ... Tuhan Maha Besar ... aku diberi penerangan, diberi

    jalan yang baik. Rumah ini dikepung. Maksudnya untuk menangkapmu. Ah ya,

    mengapa tadi aku tak bisa berpikir begitu? Kalau engkau harus berbicara dengan

    Mayor de Hoop, bukankah berarti memasuki lautan api? Ah ... Tuhan Maha Besar,

    hampir saja aku berbuat suatu kesalahan. Sebab, itulah kewajibanku. Akulah yang

    akan berbicara. Sebab yang berhutang budi padanya adalah aku. Bukan engkau,

    anakku ... Dan percayalah, serdadu yang mengepung rumah ini tidak akan berbuat

    apa-apa terhadapku. Tadi aku sudah berbicara dengan opsirnya..."

    "Tidak Bu... Ibu tidak berangkat, akupun tidak berangkat," kata Sangaji. Dan kata-

    katanya itu disokong oleh pendiriannya yang kuat.

    Selagi Rukmini hendak menyanggah, tiba-tiba di luar terdengar suara nyaring.

    "Sangaji! Kau menyerah tidak?"

    Selamanya tak pernah Sangaji mengenal istilah menyerah meskipun kerapkali ia

    meng-hadapi ancaman maut. Maka kali inipun demikian. Sedang hatinya lagi

    masgul, ia mendengar suara direndahkan. Perasaannya yang gampang tersinggung

    sekaligus tergu-gah. Setengah meloncat ia muncul di pendapa. Lalu menjawab

    keras:

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    17/22

    "Kau mau tangkap, tangkaplah! Kau mau tembak, tembaklah! Tak usah engkau

    banyak berbicara!"

    Hebat keputusan itu. Bunyinya bagaikan geledek baik bagi Letnan Van Vuuren

    maupun Rukmini.

    "Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali!" Letnan Van Vuuren

    mengancam. "Jika aku sudah menghitung sampai sepuluh dan engkau tetap

    membandel, aku akan mem-beri perintah menembak. Kau pikirkanlah masak-

    masak! Ingat semutpun masih sayang akan nyawanya..."

    Belum lagi habis kumandang suaranya, mendadak terjadilah suatu kekacauan.

    Tentara yang berada di belakang, kena diserbu tiga penunggang kuda. Sedangkan

    yang berada di tengah lapangan nampak terdesak mundur. Melihat pemandangan

    itu, hati Sangaji hampir bersorak. Pastilah itu perbuatan laskar Himpunan

    Sangkuriang yang sudah tiba di Jakarta. Tetapi mendadak, matanya yang tajam

    melihat sepucuk meriam raksasa meng-hadap ke gedungnya. Bukan main

    terkejutnya. Terus saja ia memutar tubuh menghampiri ibunya seraya berkata, "lbu!

    Mari berangkat. Juga ibu nampaknya tidak diampuni. Rumah kita terancam sepucuk

    meriam raksasa."

    Rukmini tidak memikirkan mati hidupnya lagi. Ia sudah mengambil keputusan

    hendak membunuh diri di depan keluarga Mayor de Hoop untuk alasan tahu akan

    arti budi. Namun mendengar berita tentang meriam itu, hatinya tergetar. Kalau

    meriam itu ditembakkan ke rumahnya, tidak hanya dia seorang yang mati.

    Sangajipun demikian.

    "Di mana?" Ia berdiri tertatih-tatih sambil menggenggam mata tombaknya. la

    menje-nguk ke pendapa. Begitu melihat meriam, ter-loncatlah perkataannya:

    "Lari! Kau larilah!"

    Pada saat itu juga, Sangaji mendengar suara melengking jernih yang sudah

    dikenalnya: "Sangaji ... lariiii!" Itulah suara teriakan Sonny de Hoop. Dan mendengar

    suara itu, hati Sangaji lemas. Dalam selintasan saja sadarlah dia, bahwa gadis itu

    ternyata berada di pihaknya.

    "Rubuhhh!" Terdengar suara keras bagaikan genta. Sangaji mengenal suara itu.

    Sekali pan-dang, terlihatlah Tubagus Simuntang merabu lima serdadu dengan sekali

    gerak. Berbareng dengan penglihatan itu, terdengar pula suara Letnan Van Vuurenmenggeram.

    "Sangaji, aku sudah memberi kesempatan! Satu!... Dua...!"

    Sangaji tak bergerak dari tempatnya. Pandangnya dingin seakan-akan tidak meng-

    hiraukan ancaman itu. Sebaliknya, Rukmini menjadi gelisah luar biasa. Dengan

    suara membujuk ia berkata, "Aji, anakku! Kau larilah!"

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    18/22

    Tetapi Sangaji masih saja tak mau bergerak dari tempatnya. Melihat sikap anaknya

    itu, tiba-tiba timbullah ingatan Rukmini. Bergegas ia masuk ke dalam kamamya. Ia

    memungut kedua pusaka hantaran laskar Jawa Barat. Itulah buah ajaib Dewaretna

    dan kalung berlian. Berkatalah ia di dalam hati, kalau aku tak mau meninggalkan

    rumah, betapa dia meninggalkan rumah ini pula. Baiklah!

    Ia menghampiri Sangaji dan menyerahkan kedua benda hantaran itu. Katanya, "Kau

    benar-benar tak mau meninggalkan lbu?" suaranya pilu berbareng terharu.

    "Baiklah, kau benar-benar seorang anak yang dapat mem-bereskan hati ibumu. Tak

    sia-sialah ayahmu menurunkan engkau di dunia. Tunggu, lbu akan berkemas-

    kemas. Hanya saja pesan lbu jangan lupa. Kau kelak harus menjauhkan benda

    terkutuk itu!"

    Sangaji mengira, bahwa ibunya akan berke-mas-kemas benar. Hatinya terguncang.

    Semangat perjuangannya timbul. Maka de-ngan wajah berseri-seri ia menerima dua

    benda hantaran laskar Jawa Barat. Selagi hendak membuka mulut, di lapangan

    terdengar aba-aba Letnan Van Vuuren.

    "Tiga! empat! lima! enam ...!"

    Rukmini menekap pergelangan tangan anak-nya erat-erat. Hatinya tergetar.

    Setengah berbisik ia berkata seperti meyakinkan dirinya sendiri. "Benar-benar

    engkau tak mau berangkat..."

    "Mari, kita sekarang pergi!" ajak Sangaji.

    Meriam sudah diarahkan ke gedung. Mendadak terdengar suara lengking halus.

    "Berhenti!"

    Tetapi Letnan Van Vuuren tak menghi-raukan. Dia terus menghitung. "Tujuh! ...

    Delapan ...! Sembilan ...!

    "Berhenti! Siapapun dilarang menembakkan meriam!" kata suara lengking halus

    menyang-gah. Dialah Sonny de Hoop yang lari mendekati pasukan penembak

    meriam. Dan mendengar larangannya, semua serdadu dalam kesangsian. Mereka

    tahu, Sonny de Hoop puteri komandannya. Selain itu, dia sudah berpangkat letnan

    pula apabila berada di medan perang. Karena itu, suaranya harus didengar. Dengan

    Letnan Van Vuuren samalah derajatnya.

    "Sonny ...! Minggirrr!" Tiba-tiba dengan suara menggelegar Sangaji memekik

    nyaring. Pendapa gedungnya tergetar oleh suara sak-tinya. Dan semua serdadu

    tercekat hatinya.

    Sonny de Hoop melepaskan pandang ke arah pendapa rumah. la tertawa. Ia tidak

    berhias. Rambutnya yang bagus kelihatan kusut. Sebuah hiasan rambutnya

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    19/22

    terkatung-katung di tepi telinga. Terang, bahwa ia tak memikirkan lagi

    kebiasaannya mempercantik diri. Gerakannya serba gugup dan tergesa-gesa.

    Letnan Van Vuuren melemparkan pandang kepada Sonny dengan mata terbelalak.

    Ia seperti kebingungan. Sebagai seorang perwira, perintahnya tiada yang berani

    membang-kangnya. Itulah termasuk peraturan dan tata tertib militer dengan sanksihukum. Karena itu ia heran mendengar bunyi suara Sonny. Ia seperti tak

    mempercayai pen-dengarannya sendiri. Apakah gadis itu mem-punyai pegangan

    kuat? Sebagai gerakan militer, mungkin pula dia menerima perintah tindakan lain.

    Dugaannya diperkuat dengan wajah Sonny yang mendadak tertawa terhadap

    Sangaji. Memang, meriam itu tidak boleh ditembakkan bila tidak terpaksa benar.

    Tujuannya yang utama hanyalah untuk memecahkan kekerasan hati Sangaji.

    Sebab, kalau Sangaji mau diajak bekerja sama, itulah jauh lebih bagus. Gntuk

    memperoleh keya-kinan, ia menegas. "Dilarang menembak? Siapakah yang

    memberi perintah?"

    "Apakah tuli telingamu?" bentak Sonny de Hoop. "Aku yang melarang."

    Letnan Van Vuuren adalah perwira keper-cayaan Mayor de Hoop. Biasanya terhadap

    Sonny dia bersikap lemah-lembut. Bahkan mencari-cari muka agar mendapat kesan

    baik dari ayahnya. Akan tetapi pagi itu, dia menerima perintah langsung dari Mayor

    de Hoop.

    Siapapun dilarang mencampuri. Meskipun demikian, tak berani ia bersikap terlalu

    tegas terhadap Sonny. Masih ia mencoba. "Aku mendengar nyata perintahmu.

    Tetapi kali ini, kuharap kau jangan ikut campur!" Lalu dengan mendadak dia

    memberi perintah. "Tembak!"

    kedua alis Sony de Hoop bangun, karena marahnya. Membentak garang. "Siapa

    berani menembak, akan kubunuh! Tidak sekarang, nanti, besok atau lusa! Hayo

    siapa berani me-nembak? Letnan Van Vuuren, mengapa kau tak menghargai diriku

    lagi?"

    Serdadu bagian penembak berbimbang-bimbang. Temannya sudah mengisi bubuk

    obat. Ia tinggal menyalakan api, kemudian menyulutnya. Tetapi mendengar

    ancaman Sonny, tangannya yang sudah menggenggam nyala api terhenti di tengah

    jalan dengan gemetaran.

    Letnan Van Vuuren mendongkol oleh rin-tangan itu. Begitu mendongkol dia, sampai

    ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Aku hanya tunduk kepada perintah

    komandan. Apakah kau membawa surat ayahmu?"

    "Aku justru datang kemari dengan membawa perintah ayahku. Dan perintah ayahku

    berbunyi: Jangan tembak! Kau dengar?" Sudah barang tentu, itulah suatu dusta

    karena gadis itu merasa diri terjepit ke pojok. Sebaliknya Letnan Van Vuuren jadi

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    20/22

    bersangsi. Tadinya dia mengira demikian halnya. Namun melihat sikap Sonny tak

    wajar serta pula suaranya terdengar agak menggeletar, timbul-lah syaknya. Dengan

    hati-hati ia berkata meng-uji. "Jika benar, manakah surat perintahnya?"

    Sanggahan demikian sudah termasuk dalam perhitungan Sonny. Gadis itu

    menjawab dengan beraninya.

    "Bagaimana Ayah sempat menulis surat perintah? Inilah keputusan mendadak."

    Letnan Van Vuuren memberi hormat takzim kepada Sonny sambil berkata,

    "Perintah ini sangat penting, Sonny. Ayahmu tahu akan hal itu. Andaikata tiada

    sempat menulis lagi, mestinya Beliau harus datang. Sonny tahu sendiri, tanpa bukti

    surat perintah, bagaimana aku kelak harus mempertanggung jawabkan?" Setelah

    berkata demikian, suaranya kini berubah menjadi tegas berwibawa. "Aku minta

    dengan hormat, kau mundurlah!" Lalu mem-beri perintah kepada penembak

    meriam sambil menghunus pedangnya: "Tembak! Tembak! Siapa membangkang,

    aku bunuh dengan ta-nganku sendiri!"

    Selama berada di bawah pimpinan opsir itu, belum pernah serdadunya mendengar

    Letnan

    Van Vuuren memberi perintah begitu bengis. Maka dengan kaki dan tangan

    bergemetaran, serdadu penembak meriam lantas menyulut bubuk obatnya. Tetapi

    sebelum sumbu kena sulut, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok tubuh

    menyambar dirinya.

    "Apakah kau kira, aku tak berani mem-bunuhmu?" itulah suara Sonny sambil

    menyambar.

    Kaget setengah mati serdadu itu. Ia bergu-lungan mengelakkan. Tatkala ia dapat

    berdiri lagi, tubuhnya masih utuh. Memang Sonny de Hoop hanya menggertak.

    Semenjak tadi, dia tak bersenjata. Tetapi sekarang ia meng-genggam sepucuk

    pedang pendek semacam bayonet. Itulah senjata serdadu tadi yang kena rampas.

    Diperlakukan demikian, Letnan Van Vuuren kuwalahan. Wajahnya merah padam,

    karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukan ter-hadap puteri komandannya.

    "Sonny! Kau membuat aku susah. Ingatlah hal itu!" ia berkata setengah mengeluh.

    Tatkala itu fajar hari hampir habis. Gdara mulai cerah benar-benar. Itulah waktu

    yang ditentukan untuk menembakkan meriam.

    "Aku perintahkan, semua mundur!" bentak Sonny kalap. "Siapa berani mendekati

    meriam ini, akan kubunuh!" Letnan Van Vuuren benar-benar dalam kesulitan. Kalau

    saja Sonny bukan puteri komandannya, dia dapat bertindak keras. Tetapi Sonny

    anak koman-dannya yang menggenggam masa depannya. Sekali keliru tangan, dia

    bisa dihukum atau dipecat. Kalau sampai terjadi demikian, habis-lah sudah harga

    laki-lakinya di dunia ini. Karena itu, dia dalam kesangsian.

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    21/22

    Sekonyong-konyong datanglah seorang bumi putera yang mengenakan pakaian

    pelayan. Itulah pelayan semalam yang dilihat Sonny datang menghadap ayahnya.

    Melihat kedatangannya, hatinya sudah merasa tak enak. Pastilah ini warta buruk

    baginya. Dan dugaannya benar.

    "Letnan," kata pelayan itu. "Perintah koman-dan harap terus dilakukan. Siapa sajadilarang membatalkan perintahnya sekalipun puterinya sendiri."

    "Mana surat perintahnya?" Letnan Van Vuuren minta keyakinan.

    "Ini," jawab pelayan itu. Rupanya pelayan itu yang ingin mengambil muka, dengan

    diam-diam lari menghadap Mayor de Hoop setelah melihat peristiwa yang terjadi di

    tengah lapangan. Seperti diketahui, kediaman Mayor de Hoop berada tak jauh dari

    lapangan.

    Letnan Van Vuuren dengan cepat membaca surat perintah itu. Bunyinya: Siapa saja

    berani membatalkan perintah, wajib ditembak mati. Meskipun puterinya sendiri.

    Membaca bunyi perintah itu, hati Letnan Van Vuuren menjadi mantap. Lalu

    memandang kepada Sonny se-raya berkata, "Sonny, kau dengar sendiri bunyi

    perintah ayahmu. Nah, minggirlah!"

    Mendengar bunyi tulisan ayahnya, Sonny memekik kaget dengan tubuh gemetaran.

    Bukan main sedihnya. Inilah untuk yang perta-ma kalinya ia mengenal tabiat

    ayahnya. Selamanya ia senantiasa dimanjakan. Semua kehendaknya dipenuhi.

    Meskipun yang dimin-ta sebenarnya bertentangan dengan martabat bangsanya.

    Seperti tunangannya dengan Sangaji. Karena itu, dia berani menentang perintah

    Letnan Van Vuuren dengan mengandal-kan kepada kasih sayang ayahnya. Di luar

    dugaan, ia menumbuk batu. Ayahnya tidak hanya berkeras kepala tapi pun sampai

    rela mengorbankan jiwanya bila perlu. Dia boleh dibunuh jika perlu! Alangkah

    dahsyat bunyi perintah itu. Apakah ini benar-benar perintah ayahnya yang dahulu

    sangat menyayanginya? Sungguh! Sama sekali ia tak pernah mem-bayangkan,

    bahwa ayahnya dapat berbuat sekejam itu. Nyatalah kasih sayang ayahnya adalah

    kasih sayang palsu. Alangkah jauh bedanya dengan almarhum ibunya. Teringat hal

    itu, ia menangis dengan hati pedih.

    "Sonny! Mundurlah! Perintah militer tak dapat dibatalkan dengan tangisanmu. Kau

    mundurlah, sebelum aku terpaksa berlaku kasar terhadapmu," ancam Letnan Van

    Vuuren. Perwira itu sudah memperoleh san-daran kuat. Karena itu, ia bersikap

    mantap.

    Sonny de Hoop menjadi putus asa. Hatinya terasa mendelong. Dunia seolah-olah

    jadi lawan baginya. Ia kecewa benar. Kecewa luar biasa besarnya. Mendadak saja ia

    memutar tubuhnya menghadap rumah Sangaji. Lalu berkata nyaring.

    "Sangaji, kekasihku ... Bukannya aku tak mau membelamu ... tapi karena aku tak

    ber-daya lagi. Sangaji hatiku ada padamu...."

  • 8/6/2019 48 Sonny de Hoop

    22/22

    Setelah berkata demikian, ia menikam ulu hatinya dengan bayonet rampasannya. la

    rubuh terbalik. Tapi sebelum rebah di tanah, tangannya berhasil memeluk pangkal

    meriam. Dan darahnya membanjir bagaikan dicu-rahkan.

    Melihat peristiwa di luar dugaan itu, Letnan Van Vuuren kaget sampai memekik

    tertahan. Tetapi dia seorang militer. Segera ia menguasai diri, lalu memberiperintah.

    "Singkirkan tubuhnya! Tembak!"

    Beberapa serdadu menarik tubuh Sonny de Hoop yang melengket pada pangkal

    meriam. Setelah bersusah payah mereka berhasil menyingkirkan.

    Letnan Van Vuuren tak sabar lagi. Ingin ia membuat jasa besar. Maka ia merebut

    penyu-lut sumbu meriam, lalu dinyalakan. Dengan sekali gerak ia memasukkan

    penyulut itu ke dalam ruang sumbu. Kemudian buru-buru melompat ke samping.

    Tetapi meriam itu tidak meledak juga. Darah Sonny de Hoop masih dapat

    menyelamatkan jiwa kekasihnya. Sumbu dengan bubuk mesiu jadi basah oleh

    darah. Meskipun disulut berulang kali, tetap saja macet.

    Semua kejadian itu tak terlepas dari pengamatan Sangaji. Dia seorang pemuda

    yang memiliki ilmu tinggi. Dengan mena-jamkan pendengarannya, ia dapat

    menang-kap semua pembicaraan yang terjadi di te-ngah lapangan itu dengan jelas.

    Hatinya ikut bersitegang melihat Sonny de Hoop yang kemudian disusul dengan

    membunuh diri, hatinya hancur seperti tergodam palu raksasa. Sesaat ia

    kehilangan dirinya seolah-olah darahnya berhenti dengan tiba-tiba. Tak terasa ia

    mengeluh sedih.

    "Sonny... cinta kasihmu kutanamkan di dalam dadaku..."

    Tak dikehendaki sendiri ia memutar kepala mencari ibunya. Sekonyong-konyong

    suatu peristiwa baru lagi terjadi di depannya. Rukmini sudah berlumuran darah.

    Sebuah mata tombak menancap dalam tepat di tengah dadanya. Itulah tombak

    karatan warisan almarhum Made Tantre. Hati Sangaji mence-los. Pada saat itu, ia

    terus memekik.

    "lbu...! Kenapa?"