Upload
hermayudi
View
63
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Presentasi Kasus Demam Tifoid
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah
penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala
demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan
bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.1
EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda
di negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara
maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus
demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh
Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada
umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari
penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di
atas lima tahun.5
Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000
kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara
dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan
Amerika Latin.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid
bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian
demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai
negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 1
Presentasi Kasus Demam Tifoid
rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 – 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa
Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000
penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per
tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara
penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan
kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun
1992 – 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka
kematian antara 2,63 – 5,13%.6
Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini
sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang
diperhatikan.7
ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi
C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan
dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama
sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya.
Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk
konfirmasi.8
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal
370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang
mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu
jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama.
Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa,
namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan
beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2
Presentasi Kasus Demam Tifoid
ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah
kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat
bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa
merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber
penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid
atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak
pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak
menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh
menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen,
yaitu:
- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi O antigen terhadap fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan
menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotik.1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 3
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000
hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi
ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk
dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan
melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta
melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang
lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan
sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke
dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk
dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat
perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript,
lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses
ini mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri
ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa
inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan
tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi
langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml
sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun
angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar
proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1
PATOLOGI
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase.
Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan
antibiotik yaitu :
Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 4
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan
mukosa dan submukosa
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi
dan pendarahan
Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak
menyebabkan terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada
bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan
kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan
luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring
dengan pertambahan usia.11
PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam
tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah :
a. bacterial type III protein secretion system (TTSS)
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang
mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins).
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag
yang berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS
dalam makrofag
d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ
dalam
e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari
aliran darah menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 5
Presentasi Kasus Demam Tifoid
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)
kondisi asam lambung.9
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-
109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi,
hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.
Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang
memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus.
Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh
non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan
melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk
ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi
dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri
masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus
torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9
Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system
retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut
akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke
dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis
(menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan
masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman
tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus
halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan
tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 6
Presentasi Kasus Demam Tifoid
dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan
gejala peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak
yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi
pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1
Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya
manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan
substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat
menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler,
depresi sumsum tulang, dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh
makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi
yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul.
Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa,
hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta
bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk
bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan
pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 7
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Bagan Patofisiologi Demam Typhoid
GEJALA KLINIK
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 8
KUMAN S. TYPHI
Makanan + Minuman
Usus halus
Folikel getah bening intestinum
Multiplikasi Sel PMN
Aliran getah bening Mesenterika
Airan Darah(Bakteremia Primer)
RES Hati dan Limpa
Aliran Darah( Bakteremia Sekunder)
Hidup dan Berkembang Biak
MultiplikasiLokal
Usus
Lambung mati
Presentasi Kasus Demam Tifoid
ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara
lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak,
maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus
demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut
atau delirium, atau penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat
ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri
kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya
bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak
kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal
dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah
dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran
2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung,
timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-
80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi
dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah
suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan
kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 9
Presentasi Kasus Demam Tifoid
cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-
organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil
bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina,
Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47%
dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri
perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%,
gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak.
Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1
Anak usia sekolah dan remaja
Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri
perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada
selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih
mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama
jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada.
Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara
bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai
40 0C.8
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri
difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.8
Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)
Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan
malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan
demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan
demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis
akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi saluran
pernafasan bawah.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 10
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur,
demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit
neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung
sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-
kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin
nyata.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering
mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai
penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali
lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar
ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 11
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe,
atau perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
- Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
- Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi
udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah
hepar, dan udara bebas pada abdomen.1
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan antara
lain :2
# Bronkitis
# Influensa
# Bronkopneumonia
Pada stadium selanjutnya :
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 12
Presentasi Kasus Demam Tifoid
# Demam paratifoid
# Malaria
# TBC milier
# Pielitis
# Meningitis
# Endokarditis bakterial
# Rickettsia
Pada stadium toksik :
# Leukemia
# Limfoma
# Penyakit Hodgkin
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh
cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III.
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue).,
ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya
kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih
tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada
anak yang lebih muda.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam
berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.
Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat
ditemukan gejala-gejala lain:
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 13
Presentasi Kasus Demam Tifoid
- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower
chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah
dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar
didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena
embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada
minggu pertama demam.
- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative
yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai
karakteristik notch (dicrotic notch).5,13
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis.
1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.
a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia
pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang
sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5
Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan
neutropenia dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang
hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat
berlangsung beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan
kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering
dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia normositik normokrom
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 14
Presentasi Kasus Demam Tifoid
terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20%
penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak
termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum
tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.5
2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa
a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah,
sumsum tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam
media ( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting
untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2
minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah
positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah
minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah
menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita,
setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah
menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur
sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan tetap
positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu
pengambilan.2
Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3
sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi
dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai
minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4
menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi
dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 15
Presentasi Kasus Demam Tifoid
dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif
pada minggu ke 2-3.
Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah,
yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam
tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif
palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu
pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan
antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal
ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis
yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap
minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat
ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan
dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5
b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis
demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji
serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O),
flagela ( H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat
diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang
bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada
pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut.
Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.
Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi
setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd
antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari
kuman.5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 16
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama
yaitu pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O
pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O
meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian
menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12
dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi
bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini
menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum
minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat
imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab
lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan
titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa
penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang
tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar
bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui
titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil
negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen
diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan
antibodi seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia,
imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol
dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi
tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan
memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di
Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 17
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi
masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik
Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada
daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
- semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki
antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa
antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang
lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).
- semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella
typhi dan
- titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau
imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna
pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien
yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya
onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan
kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak
muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada
kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih)
tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya
pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang
baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop
Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga
memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan
konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen
dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali
menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 18
Presentasi Kasus Demam Tifoid
peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer
antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik
sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal
dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu
spesimen sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal
sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh
dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini
pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh
menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk
menentukan kesembuhan penderita.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil
coli patogen dlm usus.
- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
- Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada
keadaan infeksi.5
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan antibodi
Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi,
muncul pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik
IgM maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya
antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari
onset penyakit.10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 19
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka
pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes
Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih
spesifik seperti:
# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk
mendeteksi protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein
(OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum
pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada
sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang
dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial
pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot
dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan
ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik,
dikenal sebagai Typhidot M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi
antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan
waktu 3 jam.18
# Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem
hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya
(DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat
yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki
spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah
kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml
darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat
diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target
DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara
ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha
untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 20
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi
pada LPS antigen Salmonella typhi.
Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan
cepat. Hasil positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun
tidak dapat menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor
kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A
memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.10,18
KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada
anak lebih jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari
ketujuh belas atau awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam
waktu singkat
b. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering
terjadi pada ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 21
Presentasi Kasus Demam Tifoid
pada orang dewasa. Angka kejadian antara 0,4-2,5%.
Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya
dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto
Rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.
c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering
didapatkan, penderita nampak kesakitan di daerah perut
yang mendadak, perut kembung, dinding abdomen tegang
( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan darah menurun,
suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit
dalam waktu singkat.
2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena
terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau
hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna
signifikan pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada
pasien yang sangat parah sekali dan ditandai oleh
takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi,
dan EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 22
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis
(jarang), encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana
merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan
hemolisis. Glomerulonefritis, pielonefritis, dan
perinefritis.5,13
Bronkitis dan Bronkopneumonia
Bronkitis terjadi pada akhir minggu pertama dari perjalanan penyakit, pada
kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder dapat terjadi
bronkopneumoni.
Angka kejadian bervariasi antara 2,5-7%.
Kolesistitis
Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas.
Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.
Tifoid Ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa:
kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan
cairan otak masih dalam batas-batas normal.
Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%.
Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh
sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.
Meningitis
Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang
lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 23
Presentasi Kasus Demam Tifoid
dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terhambat.
Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella
Oranenburg.
Gejala Klinis:
- Bayi tidak mau menetek
- Kejang
- Letargi
- Sianosis
- Panas
- Diare
- Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks
grasp menurun, reflex mengisap menurun.
Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa:
Efusi subdural
Ventrikulitis
Hidrosefalus
Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinisnya tidak khas. Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas
serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga.
Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978)
- Irama mendua
- Takikardi yang menetap
- Bunyi jantung melemah
- Bising sistolik di apex
- Pembesaran jantung
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi.
Karier kronik
Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 24
Presentasi Kasus Demam Tifoid
ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam hal penularan yang
tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat
penting dalam hal menurunkan angka kematian.
Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang
dewasa.
Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling
sedikit diperlukan 3-6 kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif.
Pengobatan karier merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan
pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa bersarang
dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi
antara operasi dan obat-obatan.2
TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus
dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada
3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi
tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa
lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi
penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar
tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain
termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat
bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita
serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 25
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak
sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita
semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai
dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas
ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan
baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan
makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada
penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih
diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan
seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah
sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum,
dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian
menurun secara drastis(1-4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 26
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 27
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan
peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah
dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai
daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam
tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini
belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, di
samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan
kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik
(depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak
bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat
keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV,
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonatus sebaiknya dihindarkan,
bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan
kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian
tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada
penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang
resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang
kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus
yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan
timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 28
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama
pada penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari,
oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid,
terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan
adanya Salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan
dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang
toksisitas.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%).
Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi
penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi,
timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dianjurkan:
Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari
Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak
memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap
kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80
mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 29
Presentasi Kasus Demam Tifoid
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
# Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan
perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid
secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan
gangguan kesadaran. Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga
kesadaran membaik.2,3
# Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Bedah
Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.
Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5
setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi.
Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3
PENCEGAHAN
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 30
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap
kebersihan penjual makanan.2,3
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi
57°C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu
negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene
pribadi.3
Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa
vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1
Vaksin Demam Tifoid Oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non
patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus
pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah
pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini
termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan
vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral
mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 31
Presentasi Kasus Demam Tifoid
nama Ty-21a. Penyimpanannya pada suhu 2ºC-8ºC. Kemasan dalam bentuk
kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin
dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan dengan minuman yang
tidak lebih dari 37°C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan terutama bagi
turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat
mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan
antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap Salmonella.
Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa,
pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian
terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun.
Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella
sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin
ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Vaksin Polisakarida Parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella
typhi, polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung
natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk
suntikan. Penyimpanan pada suhu 2°C-8ºC, jangan dibekukan. Vaksin ini
akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler
atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap
3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri,
kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi
jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit,
dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi
terhadap bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 32
Presentasi Kasus Demam Tifoid
kronik progresif. Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga
dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.15
PROGNOSIS
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi ≥
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada
anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5%
dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada
karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam
tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi
karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis
yang berat seperti:
- Hiperpireksia atau febris kontinua
- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia.
- Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 33
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 34
Presentasi Kasus Demam Tifoid
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak
infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia:
h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta
: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
4. NN. Mengenal demam typhoid. Available from :
http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html
(updated 2008 November 1st, cited : 2009 July 28th).
5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta :
Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600.
6. NN. Demam typhoid. Available from :
http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html (updated 2008
November 13th, cited : 2009 July 28th).
7. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :
http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated
2008, cited : 2009 July 28th).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 35
Presentasi Kasus Demam Tifoid
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap
berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri.
September 2006;8(2):118-121.
11. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid
Fever in Children. February 2002: p.157-159.
12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited :
2009 August 5th).
13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics
diagnosis & treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.
14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada
Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman
imunisasi di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2005: h.173-4.
16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak
antigen salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 36
Presentasi Kasus Demam Tifoid
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment
and Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August
5th).
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi &
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2000: h.3-5.
19. Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from :
http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2008 December
3rd, cited : 2009 July 28th).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD HARDJONO PONOROGOFakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 37