44
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian- bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat 3

5. BAB 2

  • Upload
    estilia

  • View
    216

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lok

Citation preview

Page 1: 5. BAB 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan

hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung

bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta

persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang

terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan

hidung.

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala

nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang

dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)

tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus

nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa

pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang

kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis

inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang

kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.

3

Page 2: 5. BAB 2

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut

nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat

dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh

kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang

yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang

dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,

vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang

rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa

hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan

dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding

lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka

4

Page 3: 5. BAB 2

media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut

konka suprema.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os

maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema

merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu

meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka

inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus

inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus

semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu

celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila

dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk

oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga

hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior

5

Page 4: 5. BAB 2

dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika

berasal dari a.karotis interna.1

B. Fisiologi Hidung

Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air

conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara,

turut membantu proses bicara dan refleks nasal.

6

Page 5: 5. BAB 2

a. SEBAGAI JALAN NAPAS

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas

setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,

sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,

udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti

udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian

akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk

pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

b. PENGATUR KONDISI UDARA

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini

dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir

(mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,

penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi

keadaan sebelumnya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh

darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,

sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu

udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.

7

Page 6: 5. BAB 2

c. SEBAGAI PENYARING DAN PELINDUNG

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta

palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir

dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut

lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah

enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozy

d. INDRA PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas

septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi

dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

e. RESONANSI SUARA

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau

hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

f. PROSES BICARA

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh

lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut

tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.

8

Page 7: 5. BAB 2

g. REFLEKS NASAL

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1

C. Rhinitis Alergi

1. Definisi

Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau

kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau

menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti

pertusi. Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.

Rinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan

dalam rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah

satu bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan

oleh kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin

A.

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang

sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung

setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE

dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung

tersumbat.2

9

Page 8: 5. BAB 2

2. Etiologi

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:

Alergen

Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan

gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari

merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan

bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan

penyebab yang penting.

Polutan

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis.

Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di

luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.

Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui

lebih jelas.

Aspirin

Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis

alergika pada penderita tertentu.

3. Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali

dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi

fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1

10

Page 9: 5. BAB 2

jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag

atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida

dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida

MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan

melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit

B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

11

Page 10: 5. BAB 2

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi

yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang

sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan

mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),

Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet

Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah

yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin

juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain

histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan

pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion

Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik

yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.

12

Page 11: 5. BAB 2

Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut

dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai

dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,

limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan

sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya

gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil

dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic

Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein

(MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor

spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban

udara yang tinggi.3

13

Page 12: 5. BAB 2

4. Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu :

Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara

yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari

(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis

atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada

hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu

terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua

golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa

muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun,

tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit

ini sangat berperan.3

Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa

variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.

Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada

orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen

dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan

dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet,

dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya

terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D.

14

Page 13: 5. BAB 2

farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng,

kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.

Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya

disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan

pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan

dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi

dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4

hari/minggu atau kurang dari 4 munggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau

lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi

menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas

harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang

mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan

tersebut diatas.4

15

Page 14: 5. BAB 2

5. Diagnosis

1. Anamnesis

Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada

pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self

cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima

kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-

kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan

banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala

konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama

pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan

utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat

atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,

mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat

dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah

terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis

vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena

16

Page 15: 5. BAB 2

gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.

Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya

garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai

allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang

tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi

(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent

test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu

keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme

Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,

walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)

17

Page 16: 5. BAB 2

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit

kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-

point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat

alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat

diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan

provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima

hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan

pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati

reaksinya.

Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari

menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan

meniadakan suatu jenis makanan. 6

18

Page 17: 5. BAB 2

6. Manifestasi Klinis

Serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu serangan.

Rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,

kadang disertai lakrimasi. Tidak ada demam. Gejala sering tidak lengkap.

Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit telah berlangsung

lama (>2 tahun) adalah bayangan gelap didaerah bawah mata (allergic

shinner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering

menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute). Lama-

lama akan mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi sepertiga

bawah (allergic crease).

Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria atau

eksim.

Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau

livid, disertai banyak sekret encer. Diluar serangan, mukosa kembali

normal, kecuali bila telah berlangsung lama.7

7. Diagnosis Banding

Rhinitis non alergi, rhinitis infeksi, dan common cold

Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan

mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.

Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis

vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit

untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung

tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun

jarang. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat

gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis

19

Page 18: 5. BAB 2

relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh,

kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya,

yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai

gangguan oleh individu tersebut.

Tabel. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya

gejaladandapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa

faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti

ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor

topikal.

20

Page 19: 5. BAB 2

2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban

udara yang tinggi dan bau yang merangsang.

3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti

hamil dan hipotiroidisme.

4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.8

8. Penatalaksanaan

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan

beberapa hal antara lain:

1. Obat-obat yang tidak memiliki

efek jangka panjang.

2. Tidak menimbulkan takifilaksis.

3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun

demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak):

1. Kromolin, obat semprot

mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari

2. Cetirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5

mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

21

Page 20: 5. BAB 2

3. Loratadin, dosis pemberian sesuai

usia anak adalah: 2�5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10

mg/dosis, 1 kali/hari.

4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30

mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4

kali/hari.

5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1

semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15

mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60

mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

7. Kortikosteroid intranasal

Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih

parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4

tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11

tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis,

1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6

tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai

bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.

22

Page 21: 5. BAB 2

4. Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy,

masih diperdebatkan rasional tidaknya. Dari berbagai penelitian ternyata

TIAS efektif apabila diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated

dan sensitif terhadap satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini

telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters)

yang mewakili the AAAAI, the ACAAI, dan JCAAI) yang merupakan 3

perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia. JTFPP mengakui

bahwa TIAS merupakan satu-satunya pengobatan antigen-specific immuno-

modulatory pada penggunaan rutin, dan diakui memiliki manfaat jangka

panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi dan kualitas hidup pasien

sampai 2-5 tahun setelah dihentikan.

Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2

dalam lebih meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga

meningkatkan kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in

vitro. TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10

dan TGF- memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan

eosinofil. Kedua sitokin tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk

IgG4. dan IgA.

Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat

mild-persistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu

rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang

mengalami kegagalan oleh pengobatan medikamentosa dan telah bergejala

lebih dari setahun, perlu dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus

dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

23

Page 22: 5. BAB 2

Antihistamin

Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3

macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang

diblok pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus,

gastrointestinal, otot polos, dan otak.

Gambar. Target-target terapi rhinitis alergika.

Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi

pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran

generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di

antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan

selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga

kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan

penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif

sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti

muskarinik dan adrenergik alfa.

Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan

antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan

24

Page 23: 5. BAB 2

histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi

dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel konjungtiva.

Kortikosteroid

Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu

topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk

penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten

(menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang.

Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang

timbul pada fase lambat.

Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat

dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan

basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan

pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil,

menekan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin,

mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat

pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1.

Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British

Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih

baik digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin,

ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya.

Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek

pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan

pertama.

25

Page 24: 5. BAB 2

Dekongestan

Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan

cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal

bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek

samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta

perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala

rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan

topikal jangka panjang.

Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir

6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya

adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa

iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan

insomnia.

Penstabil Sel Mast

Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif

mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya,

efek terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini

bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat

influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan

lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga

mempengaruhi kepatuhan pasien.

26

Page 25: 5. BAB 2

Immunoterapi

Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan

cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T

dalam peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab.

Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan

mengikat IgE dalam darah.

Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE

bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis

omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.

Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006

memaparkan, immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh

limfosit T CD4+. Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.9

Fototerapi

Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak

mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi.

Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of

Allergy and Clinical Immunology 2005.

Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada

beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis

limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet

dengan cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam

mengurangi gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per

27

Page 26: 5. BAB 2

minggu selama 3 minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2

dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya

tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06 J/cm2.

Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan

jumlah eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada

kelompok sinar ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas

rendah.

Menghindari Alergen

Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah

dengan menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit

diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier.

Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap

sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap

alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu

formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama.

Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara

menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan

tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya

penyakit.

Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara

rinitis alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila

dihitung secara kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International

Congress of Allergy and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di

28

Page 27: 5. BAB 2

Mexico mengemukakan, rinitis alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari

kerja dan 2 juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar

US$ sebagai akibat kehilangan produktivitas kerja dan terapi dengan

antihistamin di Amerika Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui

edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan

diberi pemahaman bahwa antihistamin dan kortikosteroid topikal perlu

digunakan secara teratur dan tidak hanya saat diperlukan. Tujuannya adalah

mengurangi terjadinya minimal persistant inflammation (inflamasi minimal

yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi. Penderita juga diberitahu

mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus

dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi

pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang

optimal.

Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.10

29

Page 28: 5. BAB 2

9. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :

1. Polip hidung.

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan

salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan

kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari

rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat

drenase.10

30