Upload
estilia
View
216
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lok
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan
hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta
persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang
terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan
hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala
nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)
tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus
nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang
kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.
3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding
lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
4
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu
celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior
5
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika
berasal dari a.karotis interna.1
B. Fisiologi Hidung
Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara,
turut membantu proses bicara dan refleks nasal.
6
a. SEBAGAI JALAN NAPAS
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
b. PENGATUR KONDISI UDARA
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini
dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir
(mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
keadaan sebelumnya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.
7
c. SEBAGAI PENYARING DAN PELINDUNG
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta
palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah
enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozy
d. INDRA PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
e. RESONANSI SUARA
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
f. PROSES BICARA
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.
8
g. REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1
C. Rhinitis Alergi
1. Definisi
Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau
menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti
pertusi. Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Rinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan
dalam rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah
satu bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan
oleh kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin
A.
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung
setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung
tersumbat.2
9
2. Etiologi
Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:
Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan
gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari
merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan
bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan
penyebab yang penting.
Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis.
Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di
luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.
Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui
lebih jelas.
Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
3. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1
10
jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
11
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
12
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut
dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi.3
13
4. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis
atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa
muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun,
tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit
ini sangat berperan.3
Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan
dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet,
dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya
terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D.
14
farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng,
kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi
dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau
lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut diatas.4
15
5. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
16
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya
garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai
allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang
tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
17
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan. 6
18
6. Manifestasi Klinis
Serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu serangan.
Rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
kadang disertai lakrimasi. Tidak ada demam. Gejala sering tidak lengkap.
Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit telah berlangsung
lama (>2 tahun) adalah bayangan gelap didaerah bawah mata (allergic
shinner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering
menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute). Lama-
lama akan mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi sepertiga
bawah (allergic crease).
Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria atau
eksim.
Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau
livid, disertai banyak sekret encer. Diluar serangan, mukosa kembali
normal, kecuali bila telah berlangsung lama.7
7. Diagnosis Banding
Rhinitis non alergi, rhinitis infeksi, dan common cold
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun
jarang. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat
gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis
19
relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh,
kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya,
yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai
gangguan oleh individu tersebut.
Tabel. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya
gejaladandapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
20
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.8
8. Penatalaksanaan
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa hal antara lain:
1. Obat-obat yang tidak memiliki
efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak):
1. Kromolin, obat semprot
mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari
2. Cetirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
21
3. Loratadin, dosis pemberian sesuai
usia anak adalah: 2�5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10
mg/dosis, 1 kali/hari.
4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30
mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4
kali/hari.
5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1
semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15
mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60
mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
7. Kortikosteroid intranasal
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih
parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4
tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11
tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis,
1 kali/hari.
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6
tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai
bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.
22
4. Leukotrien antagonis
Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy,
masih diperdebatkan rasional tidaknya. Dari berbagai penelitian ternyata
TIAS efektif apabila diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated
dan sensitif terhadap satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini
telah direkomendasi oleh JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters)
yang mewakili the AAAAI, the ACAAI, dan JCAAI) yang merupakan 3
perhimpunan Alergi Immunologi terkemuka di dunia. JTFPP mengakui
bahwa TIAS merupakan satu-satunya pengobatan antigen-specific immuno-
modulatory pada penggunaan rutin, dan diakui memiliki manfaat jangka
panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi dan kualitas hidup pasien
sampai 2-5 tahun setelah dihentikan.
Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2
dalam lebih meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga
meningkatkan kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in
vitro. TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10
dan TGF- memiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan
eosinofil. Kedua sitokin tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk
IgG4. dan IgA.
Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat
mild-persistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu
rumah dan atau tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang
mengalami kegagalan oleh pengobatan medikamentosa dan telah bergejala
lebih dari setahun, perlu dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus
dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
23
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3
macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang
diblok pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus,
gastrointestinal, otot polos, dan otak.
Gambar. Target-target terapi rhinitis alergika.
Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi
pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran
generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di
antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan
selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga
kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan
penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif
sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti
muskarinik dan adrenergik alfa.
Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan
antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan
24
histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi
dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel konjungtiva.
Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu
topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk
penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten
(menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang.
Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang
timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat
dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan
basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan
pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil,
menekan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin,
mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat
pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1.
Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British
Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih
baik digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin,
ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek
pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan
pertama.
25
Dekongestan
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan
cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal
bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek
samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta
perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala
rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan
topikal jangka panjang.
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir
6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya
adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa
iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan
insomnia.
Penstabil Sel Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif
mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya,
efek terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini
bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat
influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan
lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga
mempengaruhi kepatuhan pasien.
26
Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan
cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T
dalam peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab.
Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan
mengikat IgE dalam darah.
Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE
bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis
omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.
Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006
memaparkan, immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh
limfosit T CD4+. Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.9
Fototerapi
Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak
mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi.
Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of
Allergy and Clinical Immunology 2005.
Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada
beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis
limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet
dengan cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam
mengurangi gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per
27
minggu selama 3 minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2
dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya
tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06 J/cm2.
Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan
jumlah eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada
kelompok sinar ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas
rendah.
Menghindari Alergen
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah
dengan menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit
diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap
sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap
alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu
formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama.
Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara
menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan
tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya
penyakit.
Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara
rinitis alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila
dihitung secara kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International
Congress of Allergy and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di
28
Mexico mengemukakan, rinitis alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari
kerja dan 2 juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar
US$ sebagai akibat kehilangan produktivitas kerja dan terapi dengan
antihistamin di Amerika Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui
edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan
diberi pemahaman bahwa antihistamin dan kortikosteroid topikal perlu
digunakan secara teratur dan tidak hanya saat diperlukan. Tujuannya adalah
mengurangi terjadinya minimal persistant inflammation (inflamasi minimal
yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi. Penderita juga diberitahu
mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus
dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi
pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang
optimal.
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.10
29
9. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari
rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat
drenase.10
30