17
5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT 5.1. Jenis-jenis Usaha Wisata oleh Masyarakat Menurut Peraturan Pemerintah no. 36 tahun 2010 Pengusahaan Pariwisata Alam meliputi: (1) usaha penyediaan jasa wisata alam; dan (2) usaha penyediaan sarana wisata alam (Lampiran 17 dan 18). Penyediaan jasa wisata alam meliputi 5 jenis yaitu: jasa informasi pariwisata; jasa pramuwisata; jasa transportasi; jasa perjalanan wisata; dan jasa makanan dan minuman. Sedangkan penyediaan sarana wisata alam meliputi 3 jenis yaitu: wisata tirta; akomodasi; dan sarana wisata petualangan. Hasil penelitian menunjukkan usaha jasa dan prasarana wisata yang dilakukan oleh masyarakat dikedua desa baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan GSE di TNGHS berupa: 1. Usaha penyediaan jasa wisata alam; merupakan kegiatan penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan wisata, diantaranya : a. Usaha jasa informasi; merupakan usaha penyediaan dan penyebaran informasi kepariwisataan. Penyediaan dan penyebaran informasi kepariwisataan dapat juga dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha jasa informasi meliputi : (1) Penyediaan informasi mengenai obyek dan daya- tarik wisata, sarana wisata, jasa wisata, transportasi, dan informasi lain yang diperlukan oleh wisatawan; dan (2) Penyebaran informasi tentang usaha pariwista atau informasi lain yang diperlukan wisatawan melalui media cetak, media elektronik atau media komunikasi lain. Usaha informasi pariwisata, di GSE dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha, mereka mencetak brosur mengenai sarana wisata yang dimilikinya, membuat blog dan lain sebagainya. Usaha informasi wisata yang sudah dijalankan oleh masyarakat diantaranya membuat blog http://wr- bingung.blogspot.com; www.pondokrasamala.com . b. Jasa pramuwisata yaitu usaha untuk mengatur, mengkoordinasikan dan menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan pelayanan bagi seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata. Jasa pramuwisata dilakukan oleh 10% masyarakat kawasan GSE, dikenal dengan istilah guide, tetapi sebenarnya lebih kepada menemani

5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN … · pengunjung diwajibkan untuk mengurus Surat Izin Masuk TNGHS ... pekerjaan utamanya sebagai guru, ... bervariasi dari mulai tidak tamat

Embed Size (px)

Citation preview

5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT

5.1. Jenis-jenis Usaha Wisata oleh Masyarakat Menurut Peraturan Pemerintah no. 36 tahun 2010 Pengusahaan Pariwisata

Alam meliputi: (1) usaha penyediaan jasa wisata alam; dan (2) usaha penyediaan

sarana wisata alam (Lampiran 17 dan 18). Penyediaan jasa wisata alam meliputi 5

jenis yaitu: jasa informasi pariwisata; jasa pramuwisata; jasa transportasi; jasa

perjalanan wisata; dan jasa makanan dan minuman. Sedangkan penyediaan sarana

wisata alam meliput i 3 jenis yaitu: wisata tirta; akomodasi; dan sarana wisata

petualangan. Hasil penelitian menunjukkan usaha jasa dan prasarana wisata yang

dilakukan oleh masyarakat dikedua desa baik yang berada di dalam maupun di

luar kawasan GSE di TNGHS berupa:

1. Usaha penyediaan jasa wisata alam; merupakan kegiatan penyediaan jasa

wisata alam pada kegiatan wisata, diantaranya :

a. Usaha jasa informasi; merupakan usaha penyediaan dan penyebaran

informasi kepariwisataan. Penyediaan dan penyebaran informasi

kepariwisataan dapat juga dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha jasa

informasi meliput i : (1) Penyediaan informasi mengenai obyek dan daya-

tarik wisata, sarana wisata, jasa wisata, transportasi, dan informasi lain

yang diperlukan oleh wisatawan; dan (2) Penyebaran informasi tentang

usaha pariwista atau informasi lain yang diperlukan wisatawan melalui

media cetak, media elektronik atau media komunikasi lain.

Usaha informasi pariwisata, di GSE dilakukan oleh masing-masing pelaku

usaha, mereka mencetak brosur mengenai sarana wisata yang dimilikinya,

membuat blog dan lain sebagainya. Usaha informasi wisata yang sudah

dijalankan oleh masyarakat diantaranya membuat blog http://wr-

bingung.blogspot.com; www.pondokrasamala.com.

b. Jasa pramuwisata yaitu usaha untuk mengatur, mengkoordinasikan dan

menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan pelayanan bagi

seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata. Jasa

pramuwisata dilakukan oleh 10% masyarakat kawasan GSE, dikenal

dengan istilah guide, tetapi sebenarnya lebih kepada menemani

54

pengunjung/mengantar pengunjung ke obyek-obyek yang ada di kawasan

GSE. Pengunjung yang akan ke Kawah Ratu harus diantar oleh seorang

guide. Kawah Ratu merupakan Zona Inti dari kawasan TNGHS, sehingga

pengunjung diwajibkan untuk mengurus Surat Izin Masuk TNGHS

(SIMAK TNGHS) yang berada di kantor Resort Gunung Salak II yang

terletak dekat Desa Gunung Bunder 2, atau di Seksi Wilayah II Bogor

yang ada di Nanggung atau bisa juga melalui kantor pusat BTNGHS di

Kabandungan Kabupaten Sukabumi dengan persyaratan dan ketentuan

yang berlaku. Jasa pramuwisata yang resmi ditunjuk oleh BTNGS untuk

kawasan GSE adalah kelompok volunteer dari Desa Gunung Bunder 2

yang berjumlah 25 orang, walaupun dalam pelaksanaannya ada beberapa

orang dari Desa Gunung Sari yang juga berusaha di bidang ini.

c. Jasa transportasi adalah usaha mengantar jemput pengunjung. Jasa

angkutan pariwisata yang dikelola oleh masyarakat adalah berupa

angkutan kota (angkot), ojek dan ada satu orang kolektor pintu gerbang

yang memiliki usaha jasa angkutan dengan menyediakan jasa sewa mobil

untuk mengantar pengunjung dari satu obyek ke obyek yang lainnya di

dalam kawasan GSE. Jasa transportasi yang ditekuni oleh masyarakat

dilakukan oleh 4% masyarakat. Angkutan pariwisata yang besar belum

ada di kawasan GSE, tetapi beberapa villa sudah bekerjasama dengan

pengusaha angkutan di luar kawasan untuk mengantar jemput

pengunjungnya. Pengelola villa juga bekerjasama dengan militer

Angkatan Darat untuk mengantar dan menjemput pengunjung ke villa.

Selain itu para pencinta alam yang akan berkemah juga menggunakan jasa

transportasi dari TNI-AD.

d. Jasa perjalanan wisata adalah usaha untuk mengatur perjalanan wisata,

baik masih di dalam satu kawasan/tempat wisata maupun beberapa

kawasan/tempat wisata. Dalam istilah pariwisata dikenal dengan tour

operator. Ada 2% masyarakat yang memiliki jasa perjalanan wisata tetapi

lebih kepada kegiatan outbond. Mereka menyelenggarakan paket outbond

untuk di daerah GSE dan tempat wisata di Puncak-Bogor. Usaha jasa

55

perjalanan yang ditekuni masyarakat masih bersifat dari mulut ke mulut

dan relasi dengan pemilik tour operator lain.

e. Jasa makan dan minuman adalah usaha menyediakan makanan dan

minuman bagi wisatawan. Usaha ini paling diminati dikedua desa

penelitian. Mereka mendirikan warung, pedagang asongan yang

menyediakan makanan dan minuman. Usaha jasa makan dan minum

dilakukan oleh 68% masyarakat

2. Usaha penyediaan sarana prasarana wisata; merupakan kegiatan usaha

fasilitas dan pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Usaha sarana pariwisata dapat berupa:

a. Sarana wisata air/tirta adalah usaha sarana prasarana berupa fasilitas

wisata air seperti kolam renang, waterboom, dan sarana sejenisnya. Usaha

sarana wisata air dilakukan oleh 2% dari masyarakat. Di Desa Gunung

Sari sudah berkembang sarana kolam renang dengan nama “TIRTA

ENDAH” yang dikelola oleh masyarakat asli Gunung Sari dan berada di

luar kawasam TNGHS. Pengusaha ini mengaku memanfaatkan air dari

WESLIC yang berlimpah dan melihat peluang pengunjung yang datang ke

kawasan GSE, karena letaknya yang dilewati oleh pengunjung yang akan

ke GSE maka usaha yang baru berjalan dari awal tahun 2009 ini ramai

dikunjungi oleh masyarakat sekitar. Saat ini, masih terus membangun dan

melengkapi sarana dan prasarana pendukung. Tahap pembangunan sarana

pendukung melibatkan 25 orang, sedangkan untuk menjalankan usaha

kolam renang dan outlet melibatkan 28 orang, sehingga total 53 orang

yang semuanya berasal dari masyarakat lokal yaitu Desa Gunung Sari dan

Gunung Picung.

Desa Gunung Bunder 2 memiliki sebuah waterboom bernama The

GREEN, yang dimiliki oleh pengusaha dari Jakarta dan berada di luar

kawasan TNGHS. Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dilibatkan untuk

memungut karcis, menjaga keamanan, kebersihan dan pembangunan

sarana wisata tersebut. Air yang digunakan berasal dari air tanah dengan

membangun sumur bor. Pengelola menyatakan tidak mengalirkan dari

dalam kawasan TNGHS karena letaknya cukup jauh.

56

b. Akomodasi: Usaha penyediaan akomodasi merupakan usaha penyediaan

kamar dan fasilitas lainnya serta pelayanan yang diperlukan. Usaha ini

dilakukan oleh 10% masyarakat. Usaha penyediaan akomodasi berupa :

(1) hotel seperti di Micheal Resort, (2) Pondok wisata yang mayoritas

dikelola oleh masyarakat Gunung Sari, (3) Bumi perkemahan hampir di

setiap obyek yang ada di kawasan GSE menyediaan bumi perkemahan

baik dikelola pribadi maupun dikelola bersama membentuk mitra-mitra.

c. Sarana wisata petualangan adalah usaha menyediakan dan menyewakan

alat-alat wisata petualangan. Usaha ini dilakukan oleh 4% masyarakat.

Usaha sarana wisata petualangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari berupa penyelengaraan outbound.

Beberapa villa memiliki sarana wisata petualangan dan banyak yang

bekerjasama dengan pemilik sarana wisata petualangan yang ada di kedua

desa.

Usaha-usaha pariwisata di atas mengindikasikan bahwa kawasan GSE

sudah mulai berkembang, ditandai dengan bermunculannya berbagai fasilitas

akomodasi, restoran, perkemahan, dan lain-lain. Adanya kegiatan wisata GSE

telah memberikan peluang usaha dan jasa di sekitar kawasan baik di kedua

desa penelitian maupun desa lain sekitar kawasan.

Jenis-jenis usaha wisata di GSE, bagi masyarakat dikedua desa merupakan

sumber pendapatan masyarakat baik sebagai mata pencaharian utama maupun

tambahan. Kegiatan wisata di GSE sudah sejak lama dilihat sebagai peluang bagi

masyarakat kedua desa untuk menambah pendapatan. Beberapa anggota

masyarakat yang sudah sejak awal terlibat dalam kegiatan wisata dan banyak yang

muda melihat adanya peluang pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan pada

akhirnya mereka melibatkan diri di kegiatan wisata. Jenis pekerjaan utama bidang

wisata yang digeluti di kedua desa dapat dilihat secara rinci pada Tabel 16.

Tabel 16 menunjukkan ada 1% masyarakat dari total masyarakat yang

pekerjaan utamanya sebagai guru, namun setelah adanya wisata bekerja di sektor

wisata sebagai tambahan. Diakuinya bahwa pekerjaan utamanya memang

menghasilkan pendapatan yang lebih kecil dibandingkan pekerjaan sampingannya

(sektor wisata), namun karena kecintaannya pada dunia pendidikan, pengajaran,

57

pengabdian dan dakwah kepada masyarakat yang membuatnya tetap

menggelutinya walaupun belum berstatus sebagai PNS.

Tabel 16 Jenis pekerjaan utama masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata

No. Jenis pekerjaan utama Asal desa (%) Total

rata-rata (%)

Gunung Bunder 2 (n = 44)

Gunung Sari (n= 56)

1 Warung 36,4 42,9 40 2 Pengelola villa 4,5 8,9 7 3 Penyelenggara outbond 0,0 7,1 4 4 Kolektor 22,7 7,1 14 5 Pemandu 4,5 0,0 2 6 Karyawan resort 0,0 3,6 2 7 Petani 9,1 10,7 10 8 PNS 0,0 1,8 1 9 Depot sembako 0,0 1,8 1 10 Pengusaha transportasi 2,3 1,8 2 11 Penjaga villa 2,3 0,0 1 12 Pedagang buah 0,0 1,8 1 13 Guru 0,0 1,8 1 14 Lainnya 18,2 10,7 14 Total 100 100 100

Usaha warung, sangat diminati dikedua desa penelitian contoh.

Sebagaimana diungkapkan oleh pengelola villa, penjaga villa, penyelenggara

outbond dan kolektor memiliki warung. Sebagaimana hasil penelitian yang

dilakukan oleh Agustina (2009) dan Fadhilah (2009), warung menyediakan

keperluan makan pengunjung seperti kopi, teh, mie rebus/goreng, minum ringan,

snack, nasi goreng dan lain sebagainya. Warung-warung masyarakat dari Desa

Gunung Bunder 2 ada yang berada di dalam dan di luar kawasan TNGHS.

Sedangkan untuk di Desa Gunung Sari banyak berdiri warung, pondokan, rumah

tinggal, homestay dan villa yang berada di dalam kawasan TNGHS.

Selain pelaku usaha wisata, terdapat pula masyarakat yang tidak terlibat

dalam wisata dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang terlibat. Kedua

masyarakat memiliki karakteristik rumah tangga yang tidak berbeda dari aspek

jenis kelamin, jumlah tanggungan, kategori umur, pendidikan formal. Masyarakat

yang diwawancarai didominasi oleh laki-laki baik yang terlibat maupun tidak

terlibat wisata (Tabel 17). Responden laki-laki lebih banyak diambil karena pada

umumnya laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga dianggap dapat mewakili

pendapat keluarga.

58

Tabel 17 Karakteristik rumah tangga Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari yang terlibat dan tidak terlibat dalam kegiatan wisata di GSE

Karakteritik Rumah Tangga Deskripsi

Terlibat wisata Tidak terlibat wisata (n=30) Gunung Bunder

2 (n=44) Gunung Sari

(n=56) Jenis Kelamin (%)

Laki-laki 65,9 64,3 66,7 Perempuan 34,1 35,7 33,3

Jumlah tanggungan (%)

1 - 2 orang 2,3 8,9 3,3 3 - 4 orang 43,2 48,2 43,3 5 -6 orang 47,7 37,5 43,3 > 7 orang 6,8 5,4 10,0

Rata-rata 4,1 4,4 4,8

Kategori umur (%)

20-30 tahun 22,7 19,6 31-40 tahun 40,9 41,1 33,4 41-50 tahun 11,4 17,9 23,3 51-60 tahun 13,6 10,7 30,0

> 61 tahun 11,4 10,7 13,3 Pendidikan formal (%)

Tidak tamat SD 22,7 12,5 16,7 Tamat SD 34,1 30,4 36,7 Tidak tamat SMP

0,0 3,6 13,2

Tamat SMP 22,7 21,4 16,7 Tidak tamat SMA

2,3 3,4 -

Tamat SMA 13,6 19,6 10,0 Tamat D1 4,5 7,1 - Tamat S1 0,0 1,8 6,7

Lama terlibat (%)

< 5 tahun 45,5 37,5 - 5-10 tahun 29,5 37,5 - 11 -15 tahun 9,1 12,5 - > 16 tahun 15,9 12,5 -

Ukuran jumlah tanggungan rumah tangga yang terlibat wisata di kedua desa

lokasi penelitian rata-rata 5 orang. Jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh

terhadap pengeluaran baik konsumsi pangan maupun non pangan, tetapi disisi lain

juga akan mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah

tanggungan keluarga terutama yang berumur produktif merupakan tenaga kerja

dalam keluarga yang dapat membantu kegiatan keluarga yang berkaitan dengan

wisata seperti belanja keperluan warung, menjaga warung, menjaga toko,

memasak dan keperluan lain untuk melayani pengunjung. Selain itu juga anggota

keluarga dapat membantu mengurus keperluan rumah tangga seperti mencuci,

membersihkan rumah, menata rumah dan lain sebagainya.

59

Dari hasil wawancara masyarakat yang terlibat wisata menunjukkan, 51%

masyarakat di kedua desa ada berangggapan bahwa jumlah anak 2-4 orang sudah

cukup agar bisa diurus dengan baik, disekolahkan dan mendapat penghidupan

yang layak. Jumlah tanggungan lebih besar dari tujuh terutama dimiliki oleh

6,8% masyarakat dari Gunung Bunder 2 dan 5,4% dari Desa Gunung Sari.

Tingkat pendidikan merupakan cerminan penguasaan seseorang terhadap

pengetahuan yang aplikasinya terlihat sebagai perilaku hidup pada masyarakat.

Tingkat pendidikan juga memiliki peranan besar dalam proses penerapan

teknologi dan inovasi. Pendidikan formal masyarakat dalam penelitian ini

bervariasi dari mulai tidak tamat Sekolah Dasar sampai tamat Strata 1.

Pendidikan formal tidak memiliki beda nyata antara masyarakat yang terlibat dan

tidak terlibat dalam wisata.

Masyarakat yang terlibat wisata dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki

tingkat pendidikan formal sedikit lebih rendah dibandingkan Desa Gunung

Bunder 2. Di desa Gunung Sari, sebagian besar penduduknya merupakan

pendatang, kondisi ini pula yang mendorong kegiatan wisata di Gunung Sari lebih

maju dan tingkat pendidikannya bervariasi. Masyarakat Desa Gunung Sari mulai

menyadari bahwa tuntutan pekerjaan sektor wisata sebagai pekerjaan yang

memerlukan keahlian, sehingga memerlukan pendidikan yang lebih tinggi untuk

menghadapi tantangan kedepan. Perkembangan resort dan villa di GSE cukup

pesat menuntut suatu keahlian tertentu baik formal maupun informal dalam

pengelolaannya.

Lamanya keterlibatan dalam usaha dan jasa wisata di GSE memberikan

gambaran bahwa kegiatan wisata di kawasan ini memberikan daya tarik yang

besar bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan dari sektor ini. Distribusi

lamanya terlibat merata, dengan kisaran kurang dari lima tahun, sebanyak 51%

didominasi oleh usia-usia muda. Usaha dibidang wisata yang dilakukan dikedua

desa waktu memulainya bervariasi yaitu ada yang memulainya sebelum tahun

1990an, tahun 2000an, 2005an dan bahkan ada yang baru memulainya sejak tahun

2011an. Perbedaan waktu dimulainya usaha tersebut ditentukan oleh adanya

peluang-peluang, kisah sukses tetangga, diajak saudara dan lain sebagainya.

Keterlibatan lebih dari 16 tahun didominasi oleh usia-usia mendekati tidak

60

produktif, bahkan ada 2% masyarakat yang telah berusaha di kegiatan wisata

selama 30 tahun dari sebelum ditetapkan menjadi kawasan wisata.

Uji beda nyata terhadap jenis kelamin, jumlah tanggungan, umur,

pendidikan formal dan lamanya keterlibatan masyarakat yang terlibat dalam

wisata (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kelima karakteristik tersebut tidak

berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan masyarakat yang terlibat wisata di GSE

dari kedua desa contoh tidak ditentukan oleh karakteristik demografis masyarakat.

Majunya kegiatan wisata di Desa Gunung Sari bukan disebabkan oleh kelima

faktor demografis, tetapi disebabkan oleh faktor lain.

Sedangkan dalam hubungannya dengan keterlibatan wisata yaitu antara

masyarakat yang terlibat dengan yang tidak terlibat dalam kegiatan wisata

(Lampiran 15) umur masyarakat memberikan hasil adanya perbedaan, namun

tidak demikian dengan jenis kelamin, pendidikan formal dan jumlah tanggungan.

Rata-rata umur masyarakat yang terlibat berbeda dengan umur masyarakat yang

tidak terlibat. Umur masyarakat yang terlibat wisata relatif lebih rendah (masih

lebih muda) dibandingkan yang tidak terlibat dalam wisata. Hasil uji lanjut ini

menunjukkan bahwa kegiatan wisata membutuhkan rentang usia muda yang

masih merupakan usia produktif. Usia erat kaitannya dengan produktivitas dalam

bekerja terutama dari segi fisik, yang akan memberi pengaruh terhadap aktivitas

yang dilakukan untuk menopang kehidupan keluarganya. Kamaluddin (1994)

yang diacu Hilyana (2001) menyatakan bahwa usia produktif berada pada

kematangan produktivitas terutama untuk pekerjaan yang bersifat pencurahan

tenaga kerja. Lebih lanjut Soekanto (2007) menyatakan bahwa orang berusia

muda lebih mudah untuk menerima ide baru juga cenderung lebih cepat

mengambil keputusan tentang sesuatu yang diminatinya sesuai dengan tingkat

pendidikan yang dimilikinya.

Struktur umur masyarakat menggambarkan kisaran umur dikedua desa

penelitian bervariasi dengan kisaran 20 – 77 tahun. Pengkategorian tersebut

berhubungan dengan produktivitas, maka sebagian masyarakat yang terlibat

berada di usia produktif (20 – 60) yaitu sebanyak 89% masyarakat, sedangkan

yang tidak terlibat relatif lebih rendah yaitu 86,7%. Rentang usia produktif

dianggap lebih mampu mampu berpartisipasi aktif dalam bidang wisata dan

mampu mengerjakan pekerjaan melayani pengunjung dengan cepat.

61

5.2. Masyarakat yang Terlibat Wisata Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata di GSE merupakan bagian

yang penting dalam pembangunan kepariwisataan di kedua desa penelitian.

Masyarakat lokal dimana mereka memiliki hak akses pemanfaatan atas

sumberdaya alam yang ada di sekitarnya akan memiliki kesempatan yang baik

untuk menangkap peluang berkembangnya wisata alam di daerahnya. Raharjo

(2005), menyatakan bahwa Masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan wisata

dengan berbagai pilihan keterlibatan diantaranya:

1. Membentuk joint venture dengan tour operator dimana masyarakat

menyediakan lebih banyak jasa sedangkan pihak swasta hanya fokus pada

promosi dan pemasaran.

2. Menyediakan layanan kepada tour operator, misalnya menyediakan bahan

makanan, menjadi guide lokal, menyediakan transportasi dan akomodasi lokal

atau kombinasi dari padanya.

3. Menyediakan lahan kepada pihak tour operator. Dalam hal ini masyarakat

masih memungkinkan untuk melakukan monitoring atas dampak dari aktivitas

wisata alam.

4. Mengembangkan program sendiri secara mandiri

5. Bekerja sebagai staf tour operator baik full time atau part time.

Keterlibatan masyarakat Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari menunjukkan

bahwa masyarakat dikedua desa menyediakan layanan langsung kepada

pengunjung dalam hal penyediaan makanan, menjadi guide lokal, menyediakan

transportasi dan akomodasi lokasi atau kombinasi daripadanya. PEMDA

Kabupaten Bogor mulai memberdayakan masyarakat dari kedua desa dengan

membentuk lembaga lokal yaitu KOMPEPAR di kedua desa contoh untuk

mengelola wisata, mengadakan pelatihan kerajinan, promosi GSE, dan lain

sebagainya. Selain itu juga merekrut penduduk Gunung Sari untuk menjadi

kolektor di pintu gerbang obyek-obyek yang dikelola oleh PEMDA.

Perum Perhutani yang sebelumnya mengusahakan wisata lebih banyak

melibatkan penduduk Desa Gunung Bunder 2. Mereka mengembangkan program

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) bidang wisata. Mereka

mengadakan pelatihan kerajinan dan usaha-usaha alternatif untuk mengurangi

ketergantungan masyarakat akan sumberdaya hutan. Masyarakat di kedua desa

62

memiliki ketergantungan yang cukup tinggi akan keberadaan hutan diantaranya

adalah pengambilan rumput, kayu bakar, pakis dan kayu gelondongan, lahan

pertanian, pemukiman dan lain-lain.

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, sebagai pengelola kawasan

saat ini memiliki mandat untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan dan

integritas kawasan. Pihak TNGHS melibatkan masyarakat Gunung Bunder 2

dengan membentuk semacam volunteer bidang wisata untuk mengelola beberapa

obyek peninggalan Perum Perhutani. Masyarakat Desa Gunung Sari juga sudah

mulai melibatkan diri dengan membentuk kelompok yang akan didorong menjadi

Model Kampung Konservasi (MKK) dengan nama “TANI HIJAU”.

Keterlibatan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk keberlanjutan

kegiatan wisata di GSE. Jika masyarakat lokal tidak dilibatkan akan

menimbulkan berbagai macam masalah seperti konflik dengan pengelola maupun

dengan investor luar. Lebih lanjut Mbaiwa (2003) menyatakan bahwa kebencian,

antagonisme dan keterasingan antara masyarakat tuan rumah dan investor wisata

luar jika upaya tidak dibuat untuk menyertakan masyarakat lokal dalam bisnis

wisata. Keberhasilan dan keberlanjutan dari usaha ekowisata, akan tercapai jika

distribusi manfaat ekonomi dari ekowisata sama dengan jumlah aktual manfaat

yang diterima oleh komunitas (Wilkinson dan Pratiwi 1995). Inisiatif, intensitas,

determinan, dan dorongan keterlibatan dalam wisata perlu untuk diketahui untuk

mengetahui sejauh mana masyarakat terlibat dalam wisata di GSE.

Parameter pertama adalah inisiatif keterlibatan diantaranya berusaha sendiri,

dilibatkan oleh keluarga, dilibatkan oleh penyelenggara wisata, dilibatkan aparat

desa dan inisiatif lainnya. Inisiatif keterlibatan didominasi datang dari diri

sebanyak 70% (Tabel 18), hal ini menunjukkan anggota masyarakat secara

mandiri terlibat, dan ada indikasi murni dari masyarakat sendiri.

Tabel 18 Karakteristik keterlibatan masyarakat yang terlibat dalam wisata di Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari

No. Parameter keterlibatan Jumlah (%) n=100 1 Inisiatif Berusaha sendiri 70 Dilibatkan oleh keluarga 8 Dilibatkan oleh penyelenggara wisata 15 Dilibatkan aparat desa 2 Lainnya 5

63

No. Parameter keterlibatan Jumlah (%) n=100

2 Intensitas Selalu 70 Kadang-kadang 20 Jarang 9 Jarang sekali 1 3 Determinan : Faktor yang menentukan keterlibatan Memiliki sarana/prasarana 59 Memiliki hubungan dengan pemilik/pengelola 33 Sebagai aparatur pemerintah 3 Menguasai bahasa asing 1 Lainnya 4 4 Motivasi keterlibatan Kepentingan masa depan 25 Kemandirian ekonomi 38 Lapangan pekerjaan bagi keluarga 6 Peningkatan pendapatan personal 3 Mengisi waktu luang 5 Menambah pendapatan 14 Lainnya 9

Pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan wisata memiliki hubungan

kekerabatan/keluarga. Mereka melibatkan saudaranya untuk berusaha seperti

pemilik warung yang berada di dalam kawasan TNGHS umumnya memiliki

hubungan kekerabatan. Ada sebanyak 8% masyarakat dilibatkan oleh kerabatnya.

Hal semacam ini jika berlangsung terus akan berpotensi menimbulkan berdampak

negatif yang tidak diinginkan, karena hanya beberapa unsur/kelompok masyarakat

saja yang terlibat karena secara ideal partisipasi masyarakat harus melibatkan

semua unsur masyarakat. Meskipun hingga saat ini, belum menimbulkan masalah

yang berarti. Senada dengan hasil penelitian Pratiwi (2008) keterlibatan

pengembangan ekowisata di Cikaniki, Citalahab dan Pangguyangan yang hanya

sekelompok masyarakat tertentu yaitu kelompok elit (elit bias) dan kelompok

yang berada dekat lokasi obyek wisata (by the road bias) saja yang dilibatkan.

Sehingga pengembangan wisata di GSE masih berpotensi menimbulkan konflik

horizontal yaitu antar sesama masyarakat.

Hubungan kekerabatan lebih terlihat dari Desa Gunung Bunder 2, sebagian

besar masyarakat (62%) dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki hubungan

kekerabatan, namun tidak demikian untuk Desa Gunung Sari yang sebagian besar

pendatang. Masyarakat di kedua desa juga memiliki hubungan dengan

64

penyelenggara wisata, terutama saat pembangunan sarana wisata sehingga ada

15% dilibatkan oleh penyelenggara wisata.

Pelibatan oleh penyelenggara wisata, sebagian besar karena mengenal,

pernah bekerja dan percaya kepada orang tersebut. Rachmawati (2010) unsur

kepercayaan memegang peranan penting dalam keterlibatan masyarakat Desa

Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Para pemilik villa melibatkan pekerja yang

membangun villa untuk mengelola villa. Sebagian besar pemilik villa berasal dari

Jakarta sehingga perlu masyarakat setempat untuk menjaga dan mengelola

villanya. Pengelola villa biasanya sekaligus mengawasi pekerjaan lain dalam villa

seperti memotong rumput, membersihkan sampah, pemeliharaan villa dan lain

sebagainya. Selain kepercayaan pelibatan rmasyarakat dalam kegiatan wisata di

GSE karena memiliki hubungan kekerabatan.

Supaya partisipasi dapat bertahan, menurut teori partisipasi yaitu social

exchange theory yang menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam

aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat (Howell et al. 1987 diacu Pratiwi

2008). Teori ini menyarankan tiga faktor penting yang perlu dibangun yaitu

meminimalisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa

saling percaya antar para pihak yang terlibat. Berdasarkan observasi dan

wawancara dengan narasumber, mekanisme untuk penghargaan masih sulit

ditemukan, walaupun rasa saling percaya sudah ada indikasi dalam kadar yang

masih sangat kecil. Masyarakat sudah mulai berani dan mau mengeluarkan

‘ongkos’ yang sudah dikeluarkan masyarakat baik berupa tenaga, pikiran, waktu

dan dana.

Parameter kedua adalah intensitas keterlibatan, berkaitan dengan interaksi

masyarakat dengan pengunjung dan curahan waktu masyarakat untuk mengelola

usahanya. Masyarakat di kedua desa memiliki intensitas yang tinggi dalam

melayani pengunjung, sebanyak 70% selalu terlibat dengan pengunjung (Tabel

18). Curahan waktu mereka berkisar 10 jam senin – jumat, sedangkan sabtu –

minggu bisa mencapai 24 jam. Curahan waktu 24 jam, dilakukan oleh pengusaha

warung, mereka rela tidur mereka terganggu untuk melayani pengunjung.

Warung mereka buka dan jika mereka tertidur, pengunjung bisa

membangunkannya untuk memesan kebutuhannya. Mereka yang berprofesi

65

sebagai kolektor juga memiliki intensitas tinggi yaitu selalu terlibat, tetapi curahan

waktu mereka senin-jumat 8 jam dan sabtu – minggu 10 jam.

Intensitas jarang dan kadang-kadang yang dilakukan oleh masyarakat,

karena mereka memiliki pekerjaan lain di luar sektor wisata yang curahan waktu

untuk berinteraksi dengan pengunjung lebih sedikit dibandingkan dengan

masyarakat yang selalu terlibat. Pelaku usaha jasa transporasi memiliki intensitas

jarang sekali karena mereka lebih banyak melayani masyarakat setempat

dibandingkan melayani pengunjung. Pengunjung GSE sebagian besar membawa

kendaraan sendiri baik menggunakan motor maupun mobil.

Intensitas keterlibatan masyarakat dalam usaha wisata di kawasan GSE telah

membentuk pola yang beragam. Pola berusaha mereka meliputi usaha harian,

berusaha setiap hari sabtu dan minggu serta usaha pada saat-saat tertentu, seperti

saat lebaran, natal, tahun baru dan hari libur nasional lainnya. Hasil ini senada

dengan Doro (1994). Usaha masyarakat di sektor wisata yang berpola usaha

harian dengan intensitas terus menerus. Masyarakat yang memiliki intensitas

kadang-kadang adalah yang berusaha hanya pada hari sabtu dan minggu.

Intensitas jarang hingga jarang sekali adalah yang hanya terlibat atau berusaha

jika hari libur nasional, hari raya idul fitri, natal dan tahun baru atau jika ada

permintaan dari pengunjung.

Parameter ketiga adalah determinan keterlibatan lebih menekankan faktor-

faktor yang berpengaruh dalam keterlibatan masyarakat yang akan mempengaruhi

pengembangan bidang kepariwisataan di kawasan GSE. Determinan keterlibatan

yang dominan dimiliki oleh masyarakat adalah memiliki sarana prasarana yaitu

sebanyak 59% (Tabel 18). Memiliki sarana prasarana artinya masyarakat

memiliki sumberdaya/aset berupa (1) warung beserta isinya, (2) lahan, dan (3)

bangunan.

Pemilik usaha baik berupa jasa maupun sarana prasarana yang berada di

dalam kawasan hingga saat ini belum memiliki izin dari pihak berwenang.

Pemilik warung dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki kesepakatan dengan

BTNGHS untuk tidak menambah baik luas maupun jumlah warung yang ada di

dalam kawasan. Menurut pihak BTNGHS, warung yang dikelola oleh masyarakat

Desa Gunung Bunder 2 yang berada di dalam kawasan berjumlah 45 warung.

66

Sedangkan Warung-warung, villa, pemukiman dan bangunan lainnya yang berada

di kampung Lokapurna Desa Gunung Sari seluas 256,7 Ha berada didalam

kawasan sangat banyak jumlahnya dan masih dalam proses penyelesaian tukar

guling.

Berdasarakan determinan keterlibatan masyarakat hanya 1% yang memiliki

keahlian atau kemampuan dalam berbahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bekerja

di Micheal Resort. Hal ini diduga karena pengunjungnya dari kalangan menengah

ke atas. Karena tempat Micheal Resort yang ekslusif, tertutup, bangunannya yang

mewah, harganya mahal dan system booking/reservasi 15 hari sebelumnnya

Ada hubungan yang erat antara inisiatif keterlibatan dengan determinan

keterlibatan, ada 3% masyarakat yang pada awalnya memiliki inisiatif sendiri

dalam wisata, tetapi dalam perjaanannya direkrut menjadi PNS oleh pemda

Kabupaten Bogor untuk menjadi kolektor. Kemudian kolektor yang berstatus

PNS juga merekrut teman dan saudaranya untuk membantu tugasnya. Sehingga

memiliki hungan dengan pengelola wisata menjadi faktor penentu dalam

keterlibatan masyarakat alam wisata. Ada sebanyak 33% masyarakat yang

dilibatkan karena oleh pengelola/pemilik.

Obyek-obyek wisata yang hingga saat ini dikelola oleh PEMDA Kabupaten

Bogor telah menempatkan satu orang yang berstatus PNS untuk ditempatkan di

Pintu Gerbang, Curug Cigamea, Pemandian Air Panas, Curug Seribu dan Curug

Ngumpet. Mereka berasal dari masyarakat Desa Gunung Sari, lalu merekrut

teman, saudara yang bisa dipercaya untuk membantu tugasnya. Satu lokasi

dibantu oleh 2-3 orang untuk membantu pada hari senin-jumat, sedangkan sabtu-

minggu bisa mencapai > 5 orang. Demikian pula di obyek yang dulunya dikelola

oleh Perum Perhutani dan sudah diserahkan kepada BTNGHS, saat ini dikelola

oleh masyarakat Gunung Bunder 2 sebagai mitra BTNGHS seperti Kawah Ratu,

Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Curug Ngumpet 2, dan Curug Cihurang.

Parameter keempat adalah dorongan keterlibatan, menekankan kepada

motivasi yang mendorong seseorang untuk terlibat. Dorongan keterlibatan

masyarakat lebih menekankan kepada aspek sosial ekonomi. Individu yang masih

berada pada tingkat kebutuhan paling dasar menunjukkan bahwa tingkat

kesejahteraannya masih rendah dan membutuhkan berbagai cara untuk dapat

67

meningkatkan perekonomiannya. Dorongan keterlibatan didominasi untuk

kepentingan masa depan dan kemandirian ekonomi masyarakat.

Tabel 18 menunjukkan sebanyak 25% yang memiliki motivasi kepentingan

masa depan dan 38% bermotivasi kemandirian ekonomi. Motivasi kemandirian

ekonomi mendominasi diantara dorongan keterlibatan wisata lainnya.

Kemandirian ekonomi erat kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan materi

bagi rumah tangga masyarakat.

Dorongan untuk membuka lapangan pekerjaan, dilakukan oleh masyarakat yang sudah memiliki anak yang siap untuk hidup mandiri sehingga diharapkan dapat mewariskan usahanya kepada keturunannya. Dorongan mengisi waktu luang dan menambah pendapatan karena mereka sudah memiliki usaha lain selain pekerjaan utamanya yang dapat menghidupi kebutuhan sehari-harinya. Mereka juga memiliki hubungan dengan pihak penyelenggara wisata sehingga mampu menambah pendapatan.

5.3. Masyarakat yang Tidak Terlibat dalam Wisata

Selain masyarakat yang terlibat dalam wisata, adapula masyarakat yang

tidak terlibat dengan berbagai alasan ketidakterlibatannya dalam wisata di GSE.

Kedua masyarakat ini memiliki nilai penting bagi keberlanjutan kegiatan wisata di

GSE, karena tidak memungkinkan seluruh masyarakat terlibat langsung dalam

kegiatan wisata. Berbagai alasan masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata

perlu diketahui untuk memperoleh gambaran dampak wisata bagi mereka yang

tidak terlibat aktif dalam wisata.

Masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan wisata di GSE yaitu

masyarakat yang kondisi sosial dan ekonomi tidak dipengaruhi lagsung oleh

kegiatan wisata, namun tetap mendukung kegiatan wisata. Masyarakat memiliki

mata pencaharian yang tergantung pada lahan pertanian, peternakan, guru, dan

karyawan perusahaan di luar bidang wisata. Dukungan yang dapat diberikan oleh

kelompok masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam pengelolaan

wisata di GSE yakni dapat bersifat teknis dengan ikut serta dalam menyediakan

berbagai kebutuhan masyarakat yang berasal dari hasil pertanian seperti beras,

sayuran serta hasil ternak.

Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa syarat-syarat yang diperlukan

agar masyarakat dapat berpartisipasi dapat dikelompokkan dalam tiga golongan

68

yaitu : (1) Adanya kesempatan untuk membangun atau ikut dalarn pembangunan;

(2) Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu; dan (3) Adanya kemauan

untuk berpartisipasi. Dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup

faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Masyarakat

dikedua desa memiliki berbagai alasan untuk tidak terlibat dalam wisata. Antar

berbagai alasan tersebut saling melengkapi, karena pada dasarnya tidak ada alasan

tunggal mengapa masyarakat tidak terlibat dalam wisata.

Hasil wawancara dan kuisioner menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat dikedua tidak terlibat karena mereka memiliki pekerjaan di luar

bidang wisata yang telah menyita waktu mereka (Tabel 19). Ada 80% masyarakat

yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja di sektor

wisata, senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2002). Mereka

juga menyatakan bahwa tidak memiliki kapasitas, baik berupa pengetahuan

maupun modal (berupa uang) sehingga mereka beranggapan memiliki resiko

kegagalan yang tinggi.

Tabel 19 Alasan ketidakterlibatan masyarakat Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 dalam kegiatan wisata GSE

No. Alasan tidak terlibat

Sangat rendah Rendah Tinggi Sangat tinggi

Jmlh persen Jmlh persen Jmlh persen Jmlh persen 1 Akses terhadap

wisata 3 10,3 12 40,0 13 43,3 2 6,7

2 Antipati terhadap sektor wisata

3 10,0 15 50,0 9 30,0 3 10,0

3 Jarak dari rumah 1 3,3 12 40,0 14 46,7 3 10,0 4 Kapasitas individu 6 20,0 13 43,3 8 26,7 3 10,0 5 Modal (uang) 8 26,7 13 43,3 7 23,3 2 6,7 6 Waktu 9 30,0 15 50,0 6 20,0 - -

Kegiatan di luar wisata, bagi masyarakat yang tidak terlibat memiliki potensi dan prospek yang menjanjikan dan sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka, hal inilah yang menyebabkan ada 10% masyarakat yang sangat antipasti terhadap sektor wisata (Tabel 19). Sedikit berbeda dengan hasil Ulfah (2007) dan Rachmawati (2010) yang menyatakan pelibatan masyarakat tidak merata dan kurang informasi. Dari hasil wawancara menunjukkan sebagian besar (90%) tidak berminat untuk ikut untuk usaha di sektor wisata. Mereka juga beranggapan bahwa sektor wisata hanya menghasilkan saat ramai pengunjung dan sangat tergantung dengan pengunjung yaitu pada hari sabtu-minggu atau hari libur

69

nasional. Sedangkan jika bekerja di luar sektor wisata bisa setiap hari menghasilkan uang. Hasil penelitian sebelumnya juga menyatakan hal yang senada diantaranya Nugraheni (2002) yang menyatakan masyarakat tidak ingin terlibat karena tidak punya waktu, sibuk dengan pekerjaan yang lain, uang yang dihasilkan dari wisata lebih sedikit.

Tidak terlibatnya masyarakat dikedua desa lebih disebabkan oleh berbagai faktor penghalang atau hambatan dalam partisipasi, bukannya tidak ada kesempatan. Karena masyarakat di kedua desa mengakui adanya akses sebagaimana dinyatakan oleh Kartasubrata (1986) syarat untuk berpartispasi adalah adanya kesempatan, kemauan, kemampuan untuk berpartisipasi dalam wisata. Namun faktor-faktor penghalang struktural berupa jarak yang jauh menuju ke tempat wisata. Masyarakat beranggapan bahwa yang ikut terlibat dalam kegiatan wisata biasanya dari Kampung Lokapurna untuk Gunung Sari dan Kampung Bedeng untuk Desa Gunung Bunder 2 yang letaknya lebih dekat ke lokasi wisata GSE.

Selain penghalang struktural juga adanya penghalang kultural (budaya) Moscardo (2008); Tosum (2000) diacu dalam Aref dan Redzuan (2008) berupa kurangnya kemampuan masyarakat lokal untuk beradaptasi dengan perberkembangan dinamika sosial yang ada, sikap apatis dan rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal terkait dalam partisipasi dalam sektor wisata. Sikap apatis dapat dilihat dari 63% masyarakat merasa kurang memiliki kapasitas individu yang memadai.

Masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata juga menyadari bahwa tidak mungkin terlibat semua dalam wisata, karena mereka memiliki peran dan keamampuan lain di luar wisata. Walaupun jumlah masyarakat yang terlibat wisata di Gunung Sari hanya 6,3% dan Gunung Bunder 2 hanya 0,4% (Rachmawati 2010) bukanlah penghalang bagi keberlanjutan kegiatan wisata di GSE. Tidak terlibat dalam wisata, bukan berarti tidak mendukung wisata di GSE, tetapi dukungan yang bersifat pasif telah dilakukan oleh masyarakat yaitu berupa keramahtamahan, senyuman, sambutan dan sapaan. Anggapan bahwa semakin banyak yang berartisipasi dalam suatu kegiatan akan membuat kegiatan tersebut berkelanjutan, tidaklah demikian untuk kasus di kedua desa yang diteliti.