Upload
dangkhanh
View
330
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
5
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monokotil, batangnya lurus,
tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium dan tingginya dapat mencapai 15-
20 meter. Batang kelapa sawit memiliki diameter 40-75 cm, dengan tinggi batang
pada budidayanya biasanya tidak lebih dari 18 meter. Batang kelapa sawit
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu : a. struktur yang mendukung daun, bunga
dan buah; b. sebagai sistem pembuluh yang mengangkut air dan hara mineral ke
atas, serta hasil fotosintesis dari daun kebagian lain; c. berfungsi sebagai organ
penimbunan makanan. Batang kelapa sawit akan diselimuti bekas pelepah hingga
umur 12 tahun. Setelah 12 tahun pelepah yang mengering dan membusuk akan
terlepas, sehingga penampilan kelapa sawit menjadi mirip dengan tanaman kelapa
(Mangoensoekarjo dan Semangun 2005).
Akar kelapa sawit berfungsi untuk menunjang struktur batang di atas
tanah, menyerap unsur hara dalam tanah, dan alat respirasi. Kelapa sawit memiliki
sistem akar serabut, yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier dan kuarter.
Akar primer tumbuh dari pangkal batang (bole), diameternya berkisar antara 8-10
mm, panjangnya dapat mencapai 18 cm. Akar sekunder tumbuh dari akar primer
dengan diameter 2-4 mm, dari akar sekunder tumbuh akar tersier dengan diameter
0,7-1,5 mm dan panjangnya dapat mencapai 15 cm. Akar-akar kelapa sawit
membentuk lapisan anyaman yang tebal di dekat permukaan tanah, dan juga
terdapat beberapa akar napas yang mengarah ke samping atas. Sebagian besar
perakaran tanaman kelapa sawit berada dekat permukaan tanah, hanya sedikit
yang berada pada kedalaman 90 cm (Mangoensoekarjo dan Semangun 2005).
Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu, yaitu bunga jantan dan
betina berada terpisah tetapi masih di dalam satu pohon. Bunga jantan dan betina
memiliki waktu pematangan yang berbeda sehingga sangat jarang terjadi
penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang, sementara
bunga betina berbentuk lebih besar dan mekar. Jenis kelamin bunga jantan atau
betina ditentukan 9 bulan setelah inisiasi, dan selang 24 bulan untuk inflor bunga
berkembang sempurna. Buah kelapa sawit adalah buah batu yang sessile (sessile
drup), menempel dan bergerombol pada tandan buah. Jumlah buah per tandan
6
dapat mencapai 1.600 buah, berbentuk lonjong membulat dengan panjang buah 2-
3 cm dan bobotnya 30 gram. Minyak dihasilkan oleh buah yang masak dengan
kandungan 45-50 persen dari bobot mesokarp. Setelah melewati fase matang,
kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh akan meningkat dan buah akan rontok
dengan sendirinya. Buah terdiri atas tiga lapisan, a. eksokarp, yaitu bagian kulit
buah berwarna kemerahan dan licin; b. mesokarp, yaitu bagian serabut buah, dan;
c. endokarp, yaitu cangkang pelindung inti (Mangoensoekarjo dan Semangun
2005).
Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip. Daun kelapa sawit terdiri
atas kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian dan tulang anak
daun, rachis yang merupakan tempat anak daun melekat, tangkai daun (petiole)
yang merupakan bagian antara daun dan tangkai, dan seludang pembuluh (sheath)
yang berfungsi sebagai pelindung dari kuncup dan memberikan kekuatan pada
batang. Pada tanaman dewasa dapat menghasilkan 40-60 daun dan akan
menghasilkan bakal daun setiap dua minggu serta memiliki masa hidup fungsional
selama dua tahun. Panjang daun dapat mencapai 5-7 meter dan memiliki 100-160
pasang anak daun linear. Setiap tahun 18-24 pelepah daun akan dihasilkan, daun
tersusun secara spiral dan teratur yang dinamakan phylotaxis. Jumlah pelepah
dalam satu spiral berjumlah delapan pelepah (Mangoensoekarjo dan Semangun
2005).
Permodelan
Kemajuan teknologi memungkinkan kita melakukan prediksi hasil dari
tanaman melalui model. Model dapat dikatakan sebagai penyederhanaan dari
suatu sistem yang kompleks. Sistem dapat dijabarkan sebagai mekanisme yang
terjadi pada dunia nyata, dimana sistem merupakan kumpulan dari komponen
sistem yang terorganisasi dan mempunyai tujuan yang sama. Di dalam model akan
terdapat submodel-submodel lagi sehingga merangkai suatu model yang lebih
baik. Model dikatakan sebagai penyederhanaan, karena tidak semua yang terjadi
pada sistem dapat dibuat modelnya.
Tujuan dari dibuatnya model yaitu untuk melakukan prediksi, untuk
memahami suatu proses dan untuk kegiatan manajemen (Handoko 2005). Dengan
menggunakan model dan data yang ada kita dapat melakukan prediksi hasil dari
7
suatu kegiatan pertanian kedepannya, misalkan untuk memprediksi kapan
tanaman yang kita tanaman akan panen. Dalam suatu sistem hanya beberapa
komponen yang berpengaruh terhadap model yang kita buat. Pada model yang
lebih detail maka komponen yang kita perlukan juga akan semakin banyak. Hal
ini diperlukan agar proses dalam suatu sistem dapat kita mengerti dan pelajari,
misalnya bagaimana cahaya dapat berpengaruh terhadap hasil dan produksi
tanaman. Dalam proses manajemen model dijadikan sebagai kontrol, dimana hasil
yang sebenarnya akan di bandingkan dengan data prediksi yang dibuat.
Dalam pembuatan model ada beberapa tahap yang harus dilewati, yaitu
penentuan tujuan, pembuatan model, validasi, kalibrasi, aplikasi dan evaluasi
(Handoko 2005). Tujuan dalam pembuatan model harus jelas, terutama apa yang
ingin kita capai dari hasil model tersebut, sehingga parameter dan data yang kita
gunakan tepat dalam penyusunan model. Validasi dilakukan dengan data
nyata/real yang kita miliki dan kita bandingkan dengan data hasil prediksi yang
dikeluarkan dari model. Apabila terdapat perbedaan yang mencolok maka kita
lakukan kalibrasi agar model yang kita buat lebih mendekati kondisi sebenarnya.
Berikutnya kita dapat mengaplikasikan model yang kita buat, sehingga model
yang kita susun dapat digunakan. Model yang kita buat harus kita evaluasi lagi,
agar model yang kita susun semakin mendekati dengan sistem yang akan kita buat
modelnya.
Hasil penelitian Henson dan Dolmat (2003), penentuan perkembangan
kanopi sangat penting untuk menentukan berapa banyak cahaya yang diserap yang
dirubah menjadi produksi. Pada tanaman kelapa sawit besaran LAI bergantung
kepada luas pelepah, jumlah pelepah dan satuan tanaman per ha. Intersepsi cahaya
oleh kanopi (pelepah) merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan
tanaman, produksi biomassa serta dalam model pertumbuhan tanaman (Awal et al.
2005). Penelitian Okoye et al. (2011) menyatakan modeling produksi tandan
buah segar kelapa sawit menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap
genotif, lingkungan dan interaksi genotif dan lingkungan.
Model yang disusun oleh Henson (2000), menunjukkan bahwa model
yang disusun belum dapat mensimulasi hasil kelapa sawit dengan baik pada
kondisi cuaca yang berubah-ubah. Hal ini diakibatkan karena produksi tandan
8
segar tergantung pada jumlah sink yang ada, serta input dan data-data terbaru
diperlukan untuk membantu mensimulasi tingkat kompleksitas produksi tandan.
Fisiologi Pembuahan dan Hasil Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan pada umur 24 sampai 30 bulan
setelah ditanam di lapang, dan mampu mengasilkan tandan hingga 15
tandan/tahun dengan berat mencapai 15–25 kg. Buah kelapa sawit normalnya
memerlukan waktu 20-22 minggu untuk proses pematangan buah. Kematangan
buah kelapa sawit dapat diartikan sebagai tercapainya akumulasi maksimum
minyak yang terkadung dalam satu buah, dan seluruh buah dalam tandan (Razali
et al. 2012).
Produksi tandan pada tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti pemupukan, air, pasokan karbohidrat dan polinasi. Perubahan dari
beberapa faktor ini dapat menurunkan atau meningkatkan produksi dari tandan
buah. Kekurangan pemupukan dan polinasi yang buruk , yang dapat diakibatkan
oleh keduanya atau secara terpisah akan memicu rendahnya produksi tandan
(Harun dan Noor 2002).
Gambar 1. Diagram perkembangan bunga kelapa sawit (Siregar 1998)
Penentuan jenis kelamin atau pemisahan jenis kelamin merupakan proses
yang penting dalam pembentukan seks rasio kelapa sawit. Seks rasio yang
dimaksud merupakan perbandingan antara jumlah bunga betina dengan
keseluruhan bunga yang diproduksi pada waktu tertentu. Semakin tinggi seks ratio
atau semakin tinggi bunga betina, artinya peluang untuk mendapatkan produksi
tandan yang tinggi semakin besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi seks ratio
meliputi umur tanaman, jumlah hari kering, penyinaran matahari dan curah hujan
selama musim kemarau (Siregar 1998). Fase perkembangan bunga dapat dilihat
pada Tabel 1.
Bakal Bunga(Primordial)
Bunga Mekar(anthesis)
Penentuan Kelamin(Sex determination)
Buah Matang Panen(Ripening)
8-9 bulan 14.5-22 bulan 5-9 bulan27.5-37 bulan
19.5-28 bulan
9
Tabel 1. Fase perkembangan bagian buah pada tanaman kelapa sawit
Nomor pelepah Perkiraan bulan sebelumpanen
Tingkat perkembangan
L 46 38 Pembentukan awal bungaL 17 24 Jumlah spiklet ditentukanL 12 22 Jumlah bunga per spliketL 11 18 Penentuan jenis kelaminL +6 12 Perkembangan cepat bunga
betinaL +7 12 Perkembangan cepat bunga
jantanL +8 11 AborsiL +15 8 Berat frameL +17 6 Antesis dan pembentukan buahL +18 5 Berat buahL +31 0 Panen
Sumber : Rizal dan Tsan (2008)
Maksimum berat buah yang dapat dihasilkan sebesar 24 kg dan kandungan
minyak pada mesokarp sebesar 25%, pada buah dengan fruitset sebesar 90% dan
75%. Minimum fruitset yang diperlukan sebesar 40% untuk mendapatkan rasio
minyak/buah sebesar 20% (Harun dan Noor 2002). Peningkatan sink pada kondisi
source yang sedikit akan mengurangi berat buah dan meningkatkan buah yang
tidak berkembang pada bagian dalam buah.
Tanaman kelapa sawit mempunyai tipe perakaran dangkal sehingga
umumnya tidak toleran terhadap cekaman kekeringan, yang sangat membatasi
pertumbuhan dan produksi. Cekaman kekeringan dapat menghambat pembukaan
pelepah daun muda, merusak hijau daun yang menyebabkan daun tampak
menguning dan mengering, pelepah daun terkulai dan pupus patah. Pada fase
reproduktif cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga,
bunga dan buah muda mengalami keguguran, dan tandan buah gagal menjadi
masak. Akhirnya, mengakibatkan gagal panen dan menurunkan produksi tandan
buah segar (Toruan-Mathius et al. 2001). Pengaruh curah hujan terhadap produksi
tanaman kelapa sawit pada beberapa lokasi dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Pola produksi tandan buah segar pada beberapa negara dan curah hujanlokal
Negara Lokasi Curah hujan(mm/tahun)
Produksi tandan segar(ton/ha/tahun)
Malaysia Teluk Intan, PerakPaloh, JohoreTampin, MalaccaBintulu, Sarawak
2420201015803400
37.935.030.928.9
Indonesia Sumatra BeratSumatra Utara
-2890
30.035.1
Papua NewGuinea
KimbePopondettaBialla
387026405400
30.831.521.4
Costa Rica Quepos (SE)Quepos (NW)Coto
392028004040
29.523.026.0
Honduras San Alejo 2740 29.6Benin Pobe
Akpadanou11001010
13.29.7
Columbia Unipalma 2500 26.7Sumber : Rizal dan Tsan (2008)
Menurut Rizal dan Tsan (2008), pengaruh hujan terhadap produksi dapat
dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Curah hujan 200-300 mm bulan-1 memberikan produksi 2-3 ton ha-1bulan-1
2. Curah hujan 100-199 mm bulan-1 memberikan produksi 1.5-2 ton
ha-1 bulan-1
3. Curah hujan 0-99 mm bulan-1 memberikan produksi 0.5-1.5 ton ha-1bulan-1
Curah hujan 18 bulan sebelum panen atau lebih memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap penentuan jenis kelamin. Curah hujan yang rendah akan
mempengaruhi produksi 18 bulan kemudian karena akan mengurangi
perkembangan bunga betina. Korelasi antara curah hujan dan produksi dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis korelasi produksi dan curah hujan pada Triang 2
Curah hujan x bulan sebelum panen 18 12 6Produksi (ton ha-1) 0.257* 0.094 0.010Note : *) berpengaruh nyata pada taraf 5%
11
Pengaruh Jumlah Pelepah terhadap Fisiologi dan Hasil Tanaman
Hasil penelitian Noor (2004), LAI akan meningkat seiring dengan umur
kelapa sawit, dan stabil pada umur lebih dari 10 tahun. Pada tempat yang subur
dimana luas daunnya mencapai 10-12 m2, tanaman kelapa sawit ditunas hingga
tersisa 40 pelepah per pohon dengan populasi 148 tanaman ha-1, diperoleh LAI
antara 5.9-7.1. Secara umum produksi bobot kering pada tanaman berbanding
lurus dengan penerimaan radiasi pada kanopi, selain itu juga terdapat faktor lain
seperti hara atau air. Produksi bahan kering juga bergantung kepada PAR yang
diterima dan efisiensi dalam mengkonversi radiasi menjadi bobot kering.
Kebutuhan radiasi pada tanaman kelapa sawit untuk mendapatkan hasil
yang memadai belum diketahui secara tepat, tetapi Hartley (dalam Noor 2004)
beranggapan bahwa kombinasi antara suhu yang tepat, hujan, dan lama
penyinaran dapat memberikan hasil yang baik. Secara umum area yang tingkat
radiasi rendah dengan distribusi hujan yang merata dan mencukupi, hasilnya dapat
lebih tinggi dibandingkan daerah dengan radiasi tinggi tetapi memiliki musim
kering yang sering. Contohnya dapat dilihat pada Tabel 4. Di daerah dengan
tingkat radiasi rendah memiliki hasil minyak yang hampir sama dengan dengan
daerah yang memiliki tingkat penyinaran yang tinggi.
Tabel 4. Iklim dan rataan hasil tandan buah pada tiga lokasi perkebunan diKolombia
Daerah Lama penyinaran(jam hari-1)
Bobot tandan Hasil minyak Faktor pembatasutama
(ton ha-1 thn-1)Barat 3.18 14.77 3.12 Radiasi rendahTimur 4.70 14.14 2.99 Musim kemarau,
penyakitUtara 6.96 16.63 3.38 Musim kemarau
panjang, suhutinggi
Note : Lama penyinaran adalah rata-rata untuk 2 (barat), 3 (timur) atau 5 (utara)lokasi selama 4-28 tahun. Data hasil (FEDEPALMA, 1998) adalah untuksemua tanaman pada setiap daerah dan rata-rata untuk tahun 1992.
Corley (1976) mengemukakan bahwa pada cahaya rendah, pertembahan
pelepah akan mengurangi tingkat respirasi atau meningkatkan efisiensi
12
fotosintesis. Hal ini memungkinkan tanaman untuk mendapatkan hasil maksimum
dengan penunasan yang minimal.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa PAR yang diterima pada pelepah yang di
bawah akan semakin berkurang, hal ini karena terjadinya penutupan/naungan oleh
pelepah yang di atasnya. Pada pelepah terbawah tingkat kehilangan karbon
semakin menurun, hal ini menunjukkan bahwa pelepah yang paling bawah
semakin efisien dalam memanfaatkan karbon.
Tabel 5. Pengaruh LAI di bawah pelepah terhadap radiasi fotosintesis aktif (PAR)di atas kanopi pada keseimbangan karbon
LAI di ataspelepahterbawah
Nomorpelepah
FraksitransmisiPAR
Rata-rata PARper 12 jamdalam 0karbon(µmol quantam-2 s-1)
Karbon yang didapatatau hilang selama 24jam pada rata-rata PAR= 500µmol m-2 s-1
(mmol CO2 m-2)3.0 21 0.281 219 127.64.0 28 0.176 350 42.64.5 31 0.139 443 12.85.0 35 0.109 560 -10.76.0 42 0.069 897 -43.9
Note : diasumsikan 148 pokok/ha dan 10 m2 permukaan area per pelepahSumber : Henson (1991)
Penelitian Lamade et al. (2006) menemukan bahwa kandungan glukosa
mengalami fluktuasi yang linear pada tiap tingkat pelepah. Peningkatan terjadi
mulai dari pelepah pertama hingga pelepah 17-33. Glukosa tetap tinggi hingga
pelepah ke 40, sehingga hal ini dapat menjadi rekomendasi untuk penunasan.
Sebanyak 42 pelepah umumnya menjadi rekomendasi yang memadai berdasarkan
kandungan glukusa pada pelepah. Pola yang sama juga ditemukan pada
kandungan klorofil, yang secara langsung berkorelasi terhadap aktivitas
fotosintesis yang mana sangat kuat pengaruhnya terhadap glukosa sebagai hasil
asimilasi produksi dari daun source. Aktivitas reaksi gelap terjadi peningkatan
pada pelepah 9-10, menunjukkan bahwa daun yang sangat aktif berfotosintesis.
Selanjutnya akan menurun sangat tajam hingga pelepah ke 15. Sekali lagi pada
daun yang tua menunjukkan bahwa kehilangan karbon yang sedikit dan tetap
13
menjadi daun source cukup lama. Selain itu dengan menyisakan sedikit pelepah
pada tanaman akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh penunasan terhadap pertumbuhan kelapa sawit
Pelepah yang dipertahankan/pokok 24 32 40Rata-rata pertumbuhan tanaman (ton bobot keringha-1 tahun-1)
24.1 27.0 27.2
Min. Sig. Diff 2.24 - -Note : 138 pokok ha-1
Sumber : Corley (1972)
Indeks buah yang tinggi dapat dijadikan sebagai indikator meningkatnya
hasil kelapa sawit. Hardon (dalam Noor 2004) menemukan bahwa peningkatan
hasil kelapa sawit, meningkat seiring dengan peningkatan LAI hingga di atas 5.0.
Indeks buah juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan total bobot kering buah
atau mengurangi pertumbuhan vegetatif. Hal ini sesuai dengan model yang
digunakan oleh Squire (dalam Noor 2004) untuk memperkirakan efek perubahan
10% pada karakter morfologi dan fisiologi pada hasil kelapa sawit (Tabel 7).
Tabel 7. Pengaruh perubahan 10 % pada karakter fisiologi dan morfologi utamapada hasil tanaman kelapa sawit
Peubah Nilai sekarang Arah perubahan Efek perubahanpada hasil (%)
Max. Luas pelepah 10-12 m2 + -2Koef. Transmisi (k) 0.47 + +2Produksi pelepah 20 thn-1 - +6Luas pelepah/bobot 2.5 m2 kg-1 + +6Pertambahan bobotdaun
15 kg thn-1 - +2
Konversi efisiensi 1.4 g MJ-1 + +18Minyak/bobot buah 0.55 + +7Sumber : Squire (1984)
Penunasan berat dan kepadatan tanam yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan keluarnya bunga jantan. Hal ini akan membuat penurunan sex ratio
dan hasil pada tingkat berikutnya, sehingga melakukan penunasan yang optimum
sangat diperlukan pada praktek di lapangan. Penunasan yang terbatas akan
meningkatkan pelepah untuk mendukung fotosintesis yang efektif agar dapat
menghasilkan tandan buah segar. Penunasan juga memberikan efek aborsi pada
14
kelapa sawit. Hartley (dalam Noor 2004) menemukan bahwa hujan memberikan
efek postif terhadap inisiasi pelepah. Pada penelitian Chang (dalam Noor 2004)
menyimpulkan bahwa produksi pelepah mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
fluktuasi hasil dan memiliki korelasi yang tinggi dengan hujan selama masa
diferensiasi kelamin pada bunga. Normalnya satu pelepah akan menghasilkan satu
bunga. Tetapi hal ini tidak selalu tepat. Aborsi dapat terjadi akibat cekaman atau
akibat pengaruh fisiologi lainnya. Oleh karena itu sangat penting untuk
mengetahui produksi inflourescence, yang terkait dengan struktur kanopi.
Meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah dapat meningkatkan luas
area pada pelepah, yang tentunya akan memberikan pengaruh secara langsung
terhadap LAI. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pupuk
organik ataupun anorganik. Selain itu penyakit dan hama seperti hama pemakan
daun, dapat mengurangi LAI (Breure 2010). Hasil produksi bobot kering buah
pada tanaman kelapa sawit pada umur 6-9 tahun dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan antara total bobot kering vegetatif dan bobot kering buahdengan LAI (leaf area index) (Breure 2010).
Prod
uksi
bob
ot k
erin
g pe
r ha
(kg
CH
2O p
er h
ari)
15
Gambar 2 menunjukkan bahwa total bobot kering meningkat secara
kuadratik seiring dengan meningkatnya LAI pada tanaman, dan akan menurun
pada saat LAI lebih dari 6. Gambar 2 juga menunjukkan perbedaan CH2O yang
tersedia untuk produksi buah, hal ini akan meningkat seiring dengan LAI hingga
mencapai titik maksimum, yaitu saat LAI bernilai 5.6. LAI di atas tersebut
menyebabkan bobot kering buah akan berkurang seiring dengan meningkatnya
persaingan antar bagian tanaman.
Hasil penelitian Breure (2010) menunjukkan terdapat perbedaan tingkat
LAI pada jenis kelapa sawit yang berbeda. Untuk kelapa sawit asal Ekona, Nigeria
dan Calabar (Gambar 3), menunjukkan bahwa selama fase 1 tren pertumbuhan
kanopi ketiganya hampir sama waluapun Nigeria menunjukkan pertumbuhan yang
lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Selama fase 2, ketiga jenis kelapa sawit
tersebut mencapai luas area daun yang maksimum, dimana Calabar pada saat
umur 6.9 tahun, 7.4 tahun untuk Nigeria, dan 8.8 tahun untuk Ekona. Luas area
daun Calabar hanya seluas 7.99 m2 lebih kecil dibandingkan dengan Nigeria
dengan luas 9.63 m2 dan Ekona 10.11 m2.
Gambar 3. Hubungan antara perkembangan luas daun dengan umur setelahtanam pada Ekona, Nigeria dan Calabar (Breure 2010).
Luas
are
a m
aksi
mum
pad
a ta
nam
an m
uda
(m2 )
Tahun setelah tanam
16
Gambar 4 menunjukkan nilai tengah LAI (perkiraan) untuk kerapatan 143
tanaman/ha yang umumnya digunakan pada perkebunan komersial, dibandingkan
dengan 135 tanaman/ha yang digunakan pada penelitian ini. Seperti pada Gambar
2, ketiga jenis kelapa sawit tersebut memiliki luas LAI yang sama pada fase
pertama dengan LAI yang terluas adalah Nigeria, Calabar dan yang terakhir
Ekona. Pada fase 2 Nigeria dan Ekona sudah mencapai LAI yang optimum untuk
hasil yang maksimum. Sebaliknya Calabar tidak dapat mencapai batas terendah
yaitu 5.5. Hal yang lebih menarik pada pola LAI pada fase 3, dimana daun telah
mencapai luas perkembangan maksimumnya. Pada fase ini, tingkat LAI
dipengaruhi oleh periode produksi buat matang. Untuk alasan inilah, LAI selama
fase 3 dianggap sebagai perkiraan yang tepat sebagai perkiraan jumlah kerapatan
maksimum penanaman kelapa sawit. Seperti yang ditunjukan pada Gambar 3, LAI
selama fase 3 menurun dibandingkan dari fase 2. Hal ini diperkirakan sebagai
akibat pengurangan jumlah daun karena dilakukannya penunasan untuk
pemanenan buah pada pohon yang tinggi, disertai dengan pengurangan produksi
daun pada fase 3. Tetapi tetap di atas batas teratas untuk LAI yaitu 5.56 Nigeria
dan 5.69 Ekona, sementara itu Calabar tetap berada di bawah interval tingkat yang
diperlukan untuk produksi optimum. Untuk mendapatkan hsil yang optimal, maka
Calabar harus ditanam dengan tingkat kerapatan yang tinggi dari standar 143
tanaman ha-1.
Gambar 5 menunjukkan persentase penerimaan cahaya oleh kelapa sawit
pada fase 2 dan 3. Sangat jelas, bahwa penerimaan cahaya pada fase 2 lebih besar
dari fase 3. Faktor yang menyebabkan hal ini yaitu, produksi daun pada fase 3
mengalami penurunan, yang diikuti dengan penunasan bobot pada saat pemanenan
buah.
17
Gambar 4. LAI kelapa sawit pada 3 fase umur secara berurutan Ekona, Nigeria,Calabar dan optimal LAI (Breure 2010).
Gambar 5. Persentase penerimaan cahaya terhadap kanopi pada Ekona, Nigeriadan Calabar (Breure 2010).
Ekona
Nigeria
Calabar
Optimal
Ekona
Nigeria
Calabar
Tahun setelah tanam
Tahun setelah tanam
Inde
ks L
uas D
aun
Pena
ngka
pan
caha
ya (%
)