30
Epidemiologi Penyakit Menular 1/1/2015 JURNAL KESEHATAN

50493533 Makalah Epidemiologi Penyakit Menular Filariasis2003

Embed Size (px)

DESCRIPTION

epidemiologi penyakit filariasis

Citation preview

Epidemiologi Penyakit Menular

1/1/2015

Epidemiologi Penyakit Menular

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit kronis yang ditularkan melalui gigitan nyamuk, dan dapat menyebabkan kecacatan dan stigma. Penyakit ini merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Filariasis disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan, namun demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari serta menurunkan produktivitas. Penyakit Filariasis disebut juga dengan Elefentiasis, karena penderitanya sering mengalami bengkak di kaki yang sangat besar menyerupai kaki gajah. Orang terkena penyakit ini sering tidak dapat melakukan pekerjaan karena kecacatan mereka atau karena sebagian orang enggan berdekatan dengan mereka.

Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit Kaki Gajah ini tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1889. Ahli epidemiologi dari FK UI, Sholeh Imari mengatakan bahwa rata-rata prevalensi endemis filariasis di Indonesia sekitar 19% dan Papua yang merupakan daerah paling tinggi prevalensinya yaitu sekitar 38 persen. Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailand dan Indonesia (Asia Tenggara).

Meskipun banyak masyarakat yang sudah mengetahui bahaya penyakit tersebut, namun masih banyak juga yang belum tanggap terhadap penyakit ini dan kurangnya pengetahuan tentang penyakit ini. Sehingga masyarakat merasa mempunyai ketidaktahuan akan bagaimana proses penyebaran penyakitnya, maka masyarakat juga banyak yang tidak tahu langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar mereka terhindar dari penularan penyakit ini. Penulis membuat paper ini yang yang berisi tentang epidemiologi filariasis/perkembangan penyakit filariasis beserta prevalensi di Indonesia dan dunia, konsep Host-Agent-Environment, riwayat alamiah penyakit, faktor risiko, etiologi, dan program pencegahan serta penanggulangannya.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan penyakit filariasis di Indonesia?

2. Berapa besar prevalensi penyakit filariasis di Indonesia dan dunia?

3. Bagaimana konsep Host-Agent-Environment penyakit filariasis?

4. Bagaimana interaksi antara Host Agent dan Environment?

5. Bagaimanakah riwayat alamiah penyakit pada penyakit filariasis?

6. Bagaimanakah etiologi penyakit filariasis?

7. Bagaimanakah program pencegahannya?

8. Bagaimanakah program penanggulangannya?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Perkembangan Filariasis di Indonesia

Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti. Flu pada tahun 1921 telah menemukan kasus microfilaremia di Jakarta. Mikrofilaria dari filaria tersebut mempunyai morfologi yang berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga manifestasi klinisnya berbeda dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti. Brugia malayi belum terindentifikasi sampai tahun 1927, pada saat itu masih dinamakan Filaria malayi oleh Brug (1928). Pada tahun yang sama Lichtenstein merubah nama genus menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao (1961) dan David dan Edeson (1964,1965) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan mikrofilaria B.malayi pada manusia di Timor Portugis. Sementara itu mikrofilaria yang sama ditemukan di Timor Barat,Flores dan Alor, Pada periode tersebut penelitian difokuskan pada penyebaran W. bancrofti dan B.malayi. Penemuan yang tidak kalah pentingnya adalah

pada saat Palmieri et al pada tahun 1980 menemukan spesies baru dari Wuchereria pada lutung (Presbythis cristatus) di Kalimantan Selatan. Spesies baru tersebut diberi nama Wuchereria kalimantani.

Wuchereria bancrofti tipe perdesaan masih banyak ditemukan di Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia. Sepuluh spesies nyamuk telah diidentifikasi sebagai vektor tetapi vektor utamanya adalah Anopheles farauti dan An. punctulatus. Wuchereria bancrofti tipe urban ditemukan di kota-kota besar antara lain Jakarta, Semarang, Pekalongan dengan nyamuk vektornya : Culex quinquefasciatus. Brugia malayi ditemukan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, umumnya di daerah pantai dan dataran rendah. Vektornya adalah enam spesies Mansonia yaitu, Ma. uniformis, Ma. bonneae, Ma. dives,

Ma. annulata, Ma. annhulifera dan Ma. Indiana sedangkan di Indonesia bagian timur ditambah

Anopheles barbirostris sebagai vektor utama. Brugia malayi mempunyai reservoir yaitu kucing (Felis catus) dan kera (Presbytis cristatus dan Macaca fascicularis) dengan demikian B. malayi merupakan penyakit zoonosis. Brugia timori ditemukan di pulau-pulau Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Brugia timori umumnya endemik di daerah persawahan dan vektor utamanya adalah An. barbirostris.

Di Indonesia kurang lebih 10 juta orang telah terinfeksi oleh filariasis sedangkan kurang lebih 150 juta orang hidup di daerah endemik (population at risk). Berbagai metoda untuk memberantas filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain, pengobatan masal dengan dosis standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan di Banjar, Kalimantan Selatan. Pengobatan dengan dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil yang sangat baik. Dengan melihat pengalaman penelitian maka program pemberantasan filariasis memutuskan melakukan pemberantasan dengan menggunakan DEC dosis rendah seminggu sekali selama 40 minggu.

2. Prevalensi Filariasis

Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit Kaki Gajah ini tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas. Pada tahun 2008, jumlah kasus kronis filariasis mencapai 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota.. Sedangkan sebanyak 316 dari 471 kabupaten/kota telah terpetakan secara epidemiologis endemis filariasis. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi mikrofilaria di Indonesia 19% dari seluruh populasi Indonesia yang berjumlah 220 juta orang, berarti terdapat 40 juta orang didalam tubuhnya mengandung mikrofilaria dan 150 juta orang hidup di daerah endemik filariasis. Biasanya daerah endemik adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai besar atau badan air yang lain, kawasan kumuh kota, daerah padat penduduk dan banyak genangan air kotor.

Berdasarkan data Departemen Kesehatan, sampai Oktober 2009 penderita kronis filariasis tersebar di 386 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan hasil pemetaan nasional diketahui prevalensi mikrofilaria sebesar 19%, artinya kurang lebih 40 juta orang di dalam tubuhnya mengandung mikrofilaria (cacing filaria) yang mudah ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Filariasis limfatik ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika tengah dan selatan, dan kepulauan Pasifik dengan taksiran 120 juta manusia di 80 negara yang terjangkit. Lebih dari 40% di India dan 33% di Afrika.. Di Afrika prevalensi keseluruhan filariasis adalah 9,2%. Filariasis limfatik yang disebabkan cacing dapat menurunkan produktivitas penderita, keluarga, dan secara tidak langsung menurunkan produktivitas masyarakat.

3. Konsep Host, Agent, dan Environment

Faktor Host

Faktor host adalah faktor-faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu tersebut terhadap faktor agent. Semua orang mungkin rentan terinfeksi, namun ada perbedaan yang bermakna secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi. Infeksi ulang yang terjadi di daerah endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti elephantiasis. Masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara juga rentan terkena filariasis dengan agen Brugia malayi.

Faktor Agent

Agen adalah semua unsur atau elemen hidup maupun tak hidup yang kehadirannya atau ketidakhadirannya, bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan kontak manusia yang rentan dalam keadaan yang memungkinkan, akan menjadi stimuli untuk menginisiasi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Agent dari suatu penyakit meliputi agent biologis dan agent non biologis (misalnya: agent fisik, agent kimia, dll).

Filariasis disebabkan agent biologis (yang bersifat parasit pada manusia), agent tersebut termasuk kelompok metazoa (athropoda dan helmints). Agent filariasis adalah 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.

Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.

Faktor Environment

Faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.

1. Lingkungan Fisik

a. Iklim

Daerah endemis filariasis tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia termasuk Asia, Afrika, China, Pasifik dan sebagian Amerika. Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis, yang menyebabkan rawan terjadinya filariasis. Keadaan geografis ini mempengaruhi kebiasaan hidup seseorang sehingga memudahkan terjangkitnya suatu penyakit, misalnya di daerah dengan keadaan udara yang panas menyebabkan orang memakai baju setipis dan sesedikit mungkin, sehingga memudahkan terjadinya gigitan nyamuk yang merupakan vektor dari filariasis.

b. Suhu & Kelembaban

Suhu yang menunjang perkembangan vektor filariasis adalah 230C - 32,10C dan kelembaban 68% - 90%. Wuchereria bancrofti endemis di sebagian besar wilayah di dunia di daerah dengan kelembaban yang cukup tinggi termasuk Amerika Latin(fokus-fokus penyebaran yang tersebar di Suriname, Guyana, Haiti, Republik Dominika dan Costa Rica), Afrika, Asia dan Kepulauan Pasifik.

c. Geografis

Di Indonesia penyakit filariasis ditemukan di daerah khatulistiwa terutama di daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan daerah luar Jawa-Bali. Berdasarkan survei entommologi pada tanggal 1-30 April 2007 ditemukan vektor filariasis pada kondisi lingkungan didapatkan vektor berada di daerah sawah dan rawa-rawa sebesar 77,8%, parit sebesar 100%, dan kolam sebesar 55,5%. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Filariasis brugia hanya ditemukan di pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Wuchereria bancrofti umum ditemukan di daerah perkotaan dengan kondisi ideal untuk perkembangbiakan nyamuk. Secara umum periodisitas nokturnal dari daerah endemis Wuchereria di wilayah Pasifik yang ditemukan di sebelah barat 140 bujur timur sedangkan dengan subperiodisitas diurnal ditemukan di wilayah yang terletak di sebelah timur daerah 180 bujur timur. Brugia malayi endemis di daerah pedesaan di India, Asia Tenggara, daerah pantai utara China dan Korea Selatan. Brugia timori keberadaannya di daerah pedesaan di Kepulauan Timor, Flores, Alor dan Roti di Tenggara Indonesia.

d. Air

Vektor filariasis suka menggunakan tempat-tempat genangan air sebagai tempat perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur menjadi dewasa.

2. Lingkungan Biologi

a. Reservoar

Sumber infeksi filariasis bukan hanya manusia, melainkan kucing dan kera, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.

b. Vektor

Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres. Vektor tersebut adalah :

1. W. bancrofti perkotaan dengan vektornya Culex quinquefasciatus

2. W. bancrofti pedesaan dengan vektor Anopheles, Aedes dan Armigeres

3. B. malayi dengan vektor Mansonia spp, Anopheles barbirostris.

4. B. timori dengan vektor Anopheles barbirostris.

Culex memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Aedes Aegepty, bila Aedes aegepty suka hidup pada air bersih maka Culex menyukai air yang kotor seperi genangan air, limbah pembuangan mandi, got ( selokan ) dan sungai yang penuh sampah. Culex, nyamuk yang memiliki ciri fisik coklat keabu-abuan ini mampu berkembang biak di segala musim. Hanya saja jumlahnya menurun saat musim huijan karena jentik-jentiknya terbawa arus. Nyamuk ini melakukan kegiatannya di malam hari.

c. Flora

Tanaman air pada rawa-rawa merupakan tempat perindukan nyamuk yang menjadi vektor filariasis. Hutan dan kebun yang dipenuhi pepohonan juga menjadi tempat bermukimnya nyamuk.

3. Lingkungan Sosial-Ekonomi

a. Kepadatan penduduk

Biasanya daerah endemik adalah daerah padat penduduk, karena dengan penduduk yang padat maka penularan filariasis melalui vektor yang mengandung mikrofilaria dari satu orang yang terinfeksi kepada yang lain akan lebih mudah dan cepat.

b. Tingkat pengetahuan

Tingkat pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian filariasis. Orang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang filariasis dan kesehatan, mereka dapat melakukan pencegahan yang dimulai dari diri sendiri.

4. Interaksi antara Host Agent dan Environment

a. Interaksi agent-lingkungan

Agent dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa menghiraukan karakteristik dari host). Perubahan pada lingkungan menyebabkan mudahnya penyebaran dari agent.

b. Interaksi Host-Lingkungan

Adalah keadaan dimana host dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa menghiraukan faktor agen), biasanya juga pada tahap prepatogenesis dan patogenesis.

c. Interaksi Host-Agent

Adalah keadaan dimana suatu agent telah berada dalam diri host, bermukim dengan baik, berkembang biak dan mungkin telah menstimuli respons dari host dengan timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala klinis.

d. Interaksi Agent-Host-Lingkungan

Adalah keadaan dimana agent, host dan lingkungan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam menginisiasi timbulnya suatu proses penyakit.

5. Riwayat Alamiah Penyakit

1. Periode prepatogenesis

Periode prepathogenesis adalah adanya interaksi awal antara faktor-faktor host, agent dan environment. Pada fase ini penyakit belum berkembang tapi kondisi yang melatarbelakangi untuk terjadinya penyakit telah ada. Fase rentan termasuk dalam tahapan prepathogenesis.

Fase Rentan (susceptibility phase)

Fase rentan adalah tahap berlangsungnya proses etiologis, di mana faktor penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Pada filariasis, fase ini terjadi ketika seseorang digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung larva stadium 3 (L3). Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri mendapat mikro filarial karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor menghisap darah penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta bekembang biak. Di sini faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit.

2. Periode Pathogenesis

Yaitu periode dimana telah dimulai terjadinya kelainan/gangguan pada tubuh manusia akibat interaksi antara stimulus penyakit dengan manusia sampai terjadinya kesembuhan, kematian, kelainan yang menetap dan cacat. Periode pathogenesis dapat dibagi menjadi fase subklinis, fase klinis dan fase penyembuhan.

Fase Subklinis

Fase ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau system dalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan tersebut tidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis darah pada waktu malam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam tubuh mereka. Begitu pula jika meminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) yang sedang digalakkan oleh pemerintah dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul efek samping seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, dan alergi yang menandakan terdapat microfilaria dalam tubuh mereka.

Fase Klinis

Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukup untuk memunculkan gejala-gejala (symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit. Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :

Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit

Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)

Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)

Sedangkan gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Fase Konvalesens

Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens (penyembuhan) dan meninggal. Fase konvalesens dapat berkembang menjadi sembuh total, sembuh dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis dapat disembuhkan jika diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan pengobatan dapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) karena terjadi penurunan fungsi sebagian struktur/organ tubuh, yaitu berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga menurunkan fungsi aktivitas seseorang secara keseluruhan.

6. Etiologi

Penyakit filariasis disebabkan oleh genus Filaria yang merupakan cacing darah jaringan, sedangkan spesies nyamuk berperan sebagai sumber penularan antar manusia. Secara epidemiologi sasarannya adalah masyarakat pedesaan yang beradaptasi terhadap cacing dan menyebabkan cacat badan seumur hidup berupa elephantiasis. Pendatang di daerah endemis rentan terhadap penularan, karena daya immunitas yang belum dipunyai sebelumnya. Penyakit filariasis di Indonesia disebabkan oleh : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Kucing dan kera dapat diduga sebagai sumber penularan melalui vektor nyamuk.

Macam-macam spesies penyebab filariasis dengan nama klinisnya :

Wuchereria bancrofti menyebabkan filariasis limfatik bancrofti.

Brugia malayi menyebabkan filariasis limfatik malayan.

Loa loa menyebabkan loaiasis atau Calabar swelling.

Onchocerca volvulus menyebabkan filariasis kutaneus atau onchocersiasis.

Perlu diingat beberapa spesies Filaria lain, yaitu :

Tetrapetalonema perstans menyebabkan gejala alergi.

Tetrapetalonema streptocerca menyebabkan iritasi.

Mansonella ozzardi menyebabkan luka dan radang.

Transmisi

Serangga yang menggigit - mengisap darah, merupakan perantara penyakit filariasis. Larva ikut terisap oleh serangga melalui kulit atau jaringan kulit yang luka. Tiap spesies mempunyai vektor sendiri-sendiri.

Siklus hidup

Larva filaria masuk melalui kulit, kemudian akan melanjutkan migrasi ke seluruh tubuh manusia mengikuti aliran darah; dalam waktu 315 bulan akan berkembang menjadi cacing dewasa; migrasi larva secara lebih lengkap tidak banyak diketahui. Lokalisasi cacing dewasa dapat dilihat pada tabel 1. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam tubuh host. Mikrofilaria adalah larva yang dihasilkan oleh cacing betina secara viviparous. Jumlah mikrofilaria tergantung spesiesnya, yang juga dipengaruhi resistensi kulit host maupun faktor yang lain. Saat diketemukannya jumlah mikrofilaria optimal di dalam aliran darah tepi disebut periodisitas. Misalnya W. bancrofti dan B. malayi mempunyai nocturnal periodicity, sedangkan Loa loa mempunyai diurnal periodicity (siang hari). Selama jam-jam tidak ada gigitan serangga, mikrofilaria tinggal di dalam kapiler paru. Beberapa jenis mengenal subperiodicity, mikrofilaria diketemukan di aliran darah tepi selama 24 jam terus menerus dengan sedikit peningkatan pada siang hari atau malam hari.

Mikrofilaria kulit tidak mengenal periodisitas. Periodisitas mikrofilaria dapat dilihat pada tabel 2. Pertumbuhan mikrofilaria mutlak memerlukan serangga. Bila hal ini tidak terjadi maka dalam waktu satu sampai dua tahun akan mati. Mikrofilaria yang terhisap serangga akan bermigrasi ke otot serangga dalam waktu 12 minggu dan selanjutnya akan menjadi stadium infektif. Larva yang matang/mature akan diketemukan di mulut serangga, dan siap untuk dipindahkan ke manusia pada saat menghisap darah.

Tabel 1. Lokalisasi Casing Filaria Dewasa

Wuchereria bancrofti

Brugia malayi

Loa 1oa

Onchocerca volvulus

Tetrapetalonema perstans

Tetrapetalonema streptocerca

Mansonella ozzardi

Di dalam sistem limfe dalam bentuk

ikalan (coiled)

Di dalam sistem limfe dalam bentuk

ikalan (coiled)

Migrasi dalam jaringan subkutan dan

subkonjungtiva

Di dalam jaringan subkutan atau bentuk

ikalan di antara noduli

Di dalam rongga pleura,rongga perito-

neum dan rongga perikardium

Di dalam jaringan ikat kulit

Di dalam rongga usus dan rangga tubuh

Tabel 2. Hubungan Spesies dan Periodisitas

Spesies

Periodisitas

Waktu

pengambilan darah

1. Wuchereria bancrofti

2. Brugia malayi

3. Brugia timori

4. Loa loa

noktumal

diurnal subperiodicity

noktumal

nocturnal subperiodicity

(zoonotic strain)

noktumal

diurnal

22.00 - 02.00

22.00 - 02.00

22.00 - 02.00

01.00 - 14.00

7. Pencegahan Penyakit filariasis

Perlindungan terhadap filariasis dapat dilaksanakan melalui Kegiatan pemberantasan nyamuk yang terdiri dari pemberantasan nyamuk dewasa, jentik nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk yang mengandung larva cacing filaria. Dalam pencegahan penyakit fialriasis ini, lingkungan dalam masyarakat dibutuhkan yaitu dengan menjaga kebersihan di lingkungan tersebut agar mencegah terjadinya perkembangan nyamuk di wilayah tersebut. Metoda yang dapat dilakukan antara lain dengan memakai kelambu, terutama yang mengandung insektisida seperti permethrin. Yang paling ideal adalah melalui pengendalian/ eradikasi vektor nyamuk di lingkungan pemukiman.

Secara garis besar, usaha pencegahan filariasis dapat dikategorikan menjadi :

a. Tindakan Pencegahan Primer

Tujuannya adalah untuk mengadakan intervensi sebelum terjadinya perubahan patologis pada host. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan promosi kesehatan dalam bentuk penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang filariasis, dan menciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan vektor filariasis untuk berkembang biak.

b. Tindakan Pencegahan Sekunder

Tujuannya adalah untuk menyembuhkan atau menghentikan proses penyakit, mencegah penyebaran penularan penyakit, mencegah komplikasi dan gejala sisa serta memperpendek masa disabilitas. Usaha yang dilakukan adalah diagnosis dini, yaitu pemeriksaan mikroskopis darah, pengobatan segera, yaitu dengan konsumsi obat DEC. Dan untuk usaha disability limitation (pembatasan kecacatan) diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak.

c. Tindakan Pencegahan Tersier

Tujuannya adalah untuk mengembalikan individu tersebut sehingga dapat hidup berguna di masyarakat dengan keadaan terbatas. Usaha yang dapat dilakukan adalah menyediakan sarana-sarana untuk pelatihan dan pendidikan di rumah sakit dan di tempat-tempat umum.

8. Penanggulangan Penyakit Filariasis

Penanggulangan filariasis berwawasan vektor antar daerah akan berbeda pelaksanaanya. Hal inilah yang merupakan salah satu factor timbulnya permasalahan penanggulangan filariasis. Cara penanggulangan filariasis di suatu daerah pengelolaannya tidak akan sama dengan daerah lainnya. Bahkan cara penanggulangan filariasis yang dianjurkan WHO sangatlah jelas bahwa pengendalian filariasis, yaitu dengan memutus rantai penularan. Pengendalian vektor tidak mudah dilaksanakan mengingat banyaknya jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor dan masing-masing nyamuk mempunyai perilaku kehidupan khusus.

Sebenarnya prinsip utama agar terhindar infeksi filariasis adalah menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha seminimal mungkin kontak dengan nyamuk vektor menggunakan repellent, bed nets, house screening, house siting, pyrethrum house spraying dan antimosquito fumigants. Selain itu, usaha pengendalian vektor seperti tersebut di atas, pengurangan populasi vektor perlu mendapatkan perhatian dengan cara yaitu 1. Reduction of vector breeding habitats dengan perbaikan keadaan lingkungan, 2. Reduction vector densities dengan pengendalian kimiawi (insektisida) maupun biologis. (Sucharit,1993).

Seperti yang dikatakan sebelumnya, rinsip penanggulangan filariasis adalah memutus rantai penularan. Pada saat ini penanggulangan filariasis di Indonesia difokuskan dengan cara pengobatan masal agar angka microfilaria maupun kepadatan microfilaria di dalam darah rendah sehingga tidak terjadi transmisi. Prioritas daerah pemberantasan dengan kegiatan pengobatan penduduk diperuntukkan daerah endemis yang berdekatan dengan daerah pemukiman baru, daerah produksi dengan endemisitas tinggi dan daerah yang telah dicakup pada tahun-tahun sebelumnya yang membutuhkan pengobatan ulang.

Usaha pemerintah Indonesia dalam menangani kasus filariasis terlihat dalam program eliminasi kaki gajah atau yang dikenal dengan ELKAGA. Kegiatan-kegiatan dalam rangka ELKAGA yang telah dilaksanakan seperti :

a. Sosialisasi Program Filariasis Tingkat Puskesmas

1. Meningkatkan Pengetahuan kepala desa untuk kegiatan pengobatan missal.

2. Mensosialisasikan tentang penyakit kaki gajah (Filariasis) kepada masyarakat.

b. Pelatihan Kadar Pembantu Pengobatan / Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE)

c. Pemberian Obat secara Masal

Tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader / tenaga pelaksana eliminasi (TPE) untuk kegiatan pengobatan masal, serta memantapkan sasaran yang akan mendapat pengobatan.

Obat pilihan yang sampai saat ini digunakan adalah diethylcarbamazine citrate (DEC). Obat tersebut pada awalnya dengan nama dagang Hetrazan, pada saat ini telah di produksi secara nasional di Indonesia oleh PT Kimia Farma dengan nama dagang Filarzan berisi 100 mg DEC setiap tabletnya. DEC telah dikenal sejak 40 tahun lalu, walaupun obat pilihan namun tidak disukai penderita karena dapat menimbulkan efek samping berat terutama pada dosis tinggi. Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2 tahun ke atas dan yang ditunda selain usia 2 tahun adalah wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita penyakit berat. Selain itu ada pemberian pengobatan selektif yaitu pengobatan yang dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non endemis).

Kemudian adapun pengobatan Individual (penderita kronis), dimanasemua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak.

DAFTAR PUSTAKA

Profil kesehatan 2008

Modul Dasar-Dasar Epidemiologi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

http://www.depkes.go.id

http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/

http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/

http://kabar.in/2009/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/11/20/kaki-gajah-ditularkan-oleh-penderita-yang-tanpa-gejala-klinis.html

http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping.Ringan

http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/

http://www. penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html

http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=32

http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html

JURNAL KESEHATAN

Profil kesehatan 2008

HYPERLINK "http://kabar.in/2009/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/11/20/kaki-gajah-ditularkan-oleh-penderita-yang-tanpa-gejala-klinis.html"http://kabar.in/2009/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/11/20/kaki-gajah-ditularkan-oleh-penderita-yang-tanpa-gejala-klinis.html

HYPERLINK "http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.htm"http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.htm

HYPERLINK "http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/"http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/

HYPERLINK "http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping" http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping.Ringan

http://www.depkes.go.id

HYPERLINK "http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/"http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/

HYPERLINK "http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html"http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html

HYPERLINK "http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/"http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/