Upload
likha-alayya
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
378
STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK
PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG
Terry Pakki1)
, Muhammad Taufik1)
,dan A.M. Adnan2)
1). Jurusan Agroteknologi, Konsentrasi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas
Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
2). Balai Penelitian Tanaman Serealia
Abstrak. Salah satu jenis hama yang cukup penting dan menjadi kendala dalam
pembudidayaan tanaman termasuk jagung adalah tikus. Berbagai teknik
pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani seperti kultur teknis, sanitasi,
maupun secara fisik dan biologis namun teknik-teknik pengendalian tersebut tidak
memberikan pengaruh yang besar terhadap menurunnya populasi dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan pengendalian kimiawi yang menggunakan
bahan-bahan kimia baik berupa umpan beracun, bahan fumigant, penolak dan
penarik maupun pemandul. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh cairan biji jengkol (Pithecolobium lobatum) sebagai rodentisida nabati terhadap lama hidup
mencit putih. Penelitian disusun dalam tabulasi sederhana dengan 5 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 15 unit perlakuan. Setiap unit
menggunakan 1 ekor mencit putih sebagai hewan uji. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rodentisida nabati berbahan aktif biji jengkol berpengaruh terhadap lama hidup mencit putih yang berarti bahwa rodentisida nabati ini
berpeluang untuk dijadikan pengendalian hayati tikus pada jagung.
Kata Kunci : Potensi, rodentisida, biji jengkol, hama jagung
PENDAHULUAN
Salah satu jenis hama yang cukup penting dan menjadi kendala dalam
pembudidayaan tanaman termasuk jagung adalah tikus. Tikus adalah satwa liar yang
seringkali berasosiasi dengan kehidupan manusia. Sebagai hama, tikus mampu merusak
tanaman budidaya dalam waktu singkat dan menimbulkan kehilangan hasil dalam jumlah
besar sejak di persemaian, pertanaman sampai di tempat penyimpanan/gudang (hama
pasca panen), walaupun hal tersebut dilakukan oleh beberapa ekor tikus saja. Dengan
demikian, kerugian yang dialami oleh petani seringkali tidak terduga dan mengakibatkan
kerugian yang besar (Priyambodo, 1995; Rukmana dan Sugandi, 1997).
Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani seperti kultur
teknis, sanitasi, maupun secara fisik dan biologis. Namun teknik-teknik pengendalian
tersebut tidak selalu memberikan pengaruh yang besar terhadap menurunnya populasi
dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan pengendalian kimiawi yang menggunakan
bahan-bahan kimia baik berupa umpan beracun, bahan fumigan, penolak dan penarik
maupun pemandul.
Pengendalian kimiawi nampaknya dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibanding teknik lain, namun bahan-bahan kimia yang digunakan membahayakan bagi
makhluk hidup lain yang bukan sasaran seperti manusia atau hewan piaraan. Untuk
menghadapi hama tikus petani sering menggunakan metode yang tidak tepat untuk
mereduksi dampak kerusakan tikus dengan mengunakan bahan kimia yang berbahaya
yang dapat menyebabkan resiko pada spesies non target dan lingkungan dan secara umum
pengembalian investasi pengendalian yang rendah (Singleton 2003). Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mencari alternatif pengendalian yang relatif aman. Menurut
Pitojo (1992), bau jengkol dapat digunakan untuk menghalau tikus. Air bekas rendaman
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
379
biji jengkol yang direbus atau sebelum direbus, mempunyai bau ureum yang sangat
menusuk. Air tersebut dapat digunakan sebagai penghalau tikus, dengan cara dimasukkan
ke dalam lubang aktif tikus. Lubang tikus itu ternyata kemudian ditinggalkan dan tidak
dihuni lagi. Hal ini diduga karena selain kandungan ureum, terdapat pula unsur belerang
(sulfur) yang diikat oleh asam jengkolat yang terlarut di air rendaman tersebut. Tujuan
penelitian ini mengetahui pengaruh cairan biji jengkol (Pithecolobium lobatum) sebagai
rodentisida nabati terhadap lama hidup mencit putih. Kegunaan penelitian ini adalah
sebagai bahan pembanding bagi peneliti selanjutnya.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium IHPT Jurusan Agroteknologi, Faperta
Unhalu, dari bulan November sampai Desember 2005.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kurungan uji (berukuran 27,4 cm
x 16,5 cm x 13,2 cm), plastik transparan, wadah tempat cairan biji jengkol (berdiameter
5,8 cm dan tinggi 11,4 cm), blender, gelas kimia 500 ml, kertas label, lakban, jarum
pentul dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan adalah mencit putih berjenis kelamin
betina, biji jengkol, serta air.
Tahapan Penelitian
Penelitian disusun dalam tabulasi sederhana dengan 5 perlakuan yang diulang
sebanyak 3 kali sehingga terdapat 15 unit perlakuan. Setiap unit menggunakan 1 ekor
mencit putih sebagai hewan uji. Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut:
J0 = Tanpa pemberian cairan biji jengkol
J1 = Pemberian cairan 200 g biji jengkol/liter air
J2 = Pemberian cairan 400 g biji jengkol/liter air
J3 = Pemberian cairan 600 g biji jengkol/liter air
J4 = Pemberian cairan 800 g biji jengkol/liter air
a. Penyiapan Kurungan Uji.
Kurungan yang digunakan sebagai tempat dilakukan pengujian (baik untuk
perlakuan pemberian cairan biji jengkol maupun untuk kontrol) terbuat dari kawat
berbentuk kotak yang berukuran 27,4 cm x 16,5 cm x 13,2 cm. Kurungan uji tersebut
ditutup rapat dengan plastik transparan agar tidak menghilangkan bau jengkol yang
diaplikasikan.
b. Pembuatan Cairan Biji Jengkol
Pembuatan cairan dilakukan dengan cara menimbang biji jengkol yang telah tua
sesuai dengan perlakuan, kemudian ditambahkan 1 liter air lalu diblender. Setelah itu
cairan biji jengkol siap untuk diaplikasikan.
c. Aplikasi Cairan Biji Jengkol
Cairan biji jengkol dimasukkan ke dalam wadah terbuka yang berdiameter 5,8 cm
dan tinggi 11,4 cm masing-masing sebanyak 200 ml kemudian disimpan dalam kurungan
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
380
tertutup bersama dengan mencit. Mencit yang digunakan adalah mencit betina yang telah
dewasa (matang seksual) yaitu berumur 3 bulan. Selama dalam penelitian, mencit tersebut
diberi pakan roti.
Pengamatan dan Analisis Data
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah perilaku (behavior) mencit putih
selama aplikasi dan waktu yang dibutuhkan sejak aplikasi sampai mencit mati. Data
disusun ke dalam tabulasi sederhana dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif
dan kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan terhadap perilaku mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji
jengkol secara rinci pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan perilaku (behavior) mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji
jengkol
Perlakuan Perilaku (Behavior) Mencit Putih
Tanpa pemberian cairan
biji jengkol (J0)
Hari pertama, mencit terlihat bergerak ke sana kemari
seolah-olah berusaha untuk mengenali lingkungan barunya
dan belum berani untuk makan dalam jumlah yang banyak.
Hari kedua, mencit terlihat sudah bisa beradaptasi dan nafsu
makannya sudah kembali normal.
Pemberian cairan 200 g
biji jengkol/liter air (J1)
Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi
sumber bau. Rata-rata mulai hari kedua setelah aplikasi
pergerakan mencit terlihat menjadi lambat, lebih banyak
diam dan sedikit makan hingga mencit mati (rata-rata 10,67
hari setelah aplikasi).
Pemberian cairan 400 g
biji jengkol/liter air (J2)
Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi
sumber bau. Rata-rata mulai hari ketiga setelah aplikasi
mencit terlihat menjadi malas bergerak, lebih banyak diam
dan sedikit makan hingga mencit mati (rata-rata 13,00 hari
setelah aplikasi).
Pemberian cairan 600 g
biji jengkol/liter air (J3)
Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi
sumber bau. Rata-rata mulai hari ketiga setelah aplikasi
mencit menjadi terlihat malas bergerak, lebih banyak diam
dan sedikit makan sehingga tampak kurus. Rata-rata pada
hari ketujuh setelah aplikasi mencit terlihat mengalami
pembengkakan pada perut dan leher.Hal ini terjadi hingga
mencit putih mati (rata-rata 18,00 hari setelah aplikasi).
Pemberian cairan 800 g
biji jengkol/liter air (J4)
Hari pertama, mencit terlihat gelisah dan berusaha menjauhi
sumber bau. Rata-rata mulai hari ketiga setelah aplikasi
mencit terlihat menjadi malas bergerak, lebih banyak diam
dan sedikit makan sehingga tampak kurus. Rata-rata pada
hari kesembilan setelah aplikasi mencit terlihat mengalami
pembengkakan pada perut dan leher.Hal ini terjadi hingga
mencit putih mati (rata-rata 18,67 hari setelah aplikasi).
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
381
Rata-rata lama hidup mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji jengkol
menunjukkan bahwa rata-rata lama hidup mencit putih terpendek terdapat pada perlakuan
J1 selama 10,67 HSA yang diikuti dengan perlakuan J2 selama 13,00 HSA, perlakuan J3
selama 18,00 HSA dan perlakuan J4 selama 18,67 HSA. Rata-rata lama hidup mencit
putih terpanjang terdapat pada perlakuan J0, dan pada perlakuan J0 tesebut tidak ada
mencit yang mati sampai akhir penelitian (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata lama hidup mencit putih yang diberi perlakuan cairan biji jengkol (Hari
Setelah Aplikasi)
Perlakuan Rata-rata lama hidup Mencit Putih
(HSA)
Tanpa pemberian cairan biji jengkol (J0) Tidak ada mencit yang mati
Pemberian cairan 200 g biji jengkol/liter air (J1) 10,67
Pemberian cairan 400 g biji jengkol/liter air (J2) 13,00
Pemberian cairan 600 g biji jengkol/liter air (J3) 18,00
Pemberian cairan 800 g biji jengkol/liter air (J4) 18,67
Pembahasan
Mencit yang digunakan sebagai hewan uji menunjukkan perilaku yang berbeda
pada setiap perlakuan. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa mencit yang diberi perlakuan
J3 dan J4 menunjukkan perilaku yang hampir sama yaitu hari pertama mencit terlihat
gelisah dan berusaha menjauhi sumber bau, bahkan berusaha keluar dari dalam kurungan
(Gambar 3). Selain itu, mencit terlihat menjadi malas bergerak, lebih banyak diam dan
sedikit makan sehingga tampak kurus. Rata-rata 7 HSA (J3) dan 9 HSA (J4) mencit
mengalami pembengkakan pada perut dan leher. Akhirnya mencit tersebut mati yaitu
rata-rata 18,00 HSA (J3) dan 18,67 HSA (J4).
Pada perlakuan J1 dan J2 terdapat sedikit perbedaan yaitu mencit terlihat tidak
mengalami pembengkakan pada tubuhnya dan mencit menjadi lebih cepat mati yaitu rata-
rata 10,67 HSA (J1) dan 13,00 HSA (J2), sedangkan pada perlakuan J0 mencit awalnya
tampak bergerak ke sana kemari seolah-olah berusaha untuk mengenali lingkungan
barunya dan belum berani untuk makan dalam jumlah yang banyak. Namun pada hari
berikutnya, mencit terlihat sudah bisa beradaptasi dan nafsu makannya sudah kembali
normal hingga akhir penelitian.
Lebih cepatnya mencit mati pada perlakuan J1 dan J2 dibanding dengan perlakuan
J3 dan J4 seperti yang terlihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil terbaik tidak
terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi tertinggi tetapi sebaliknya terdapat pada
perlakuan dengan konsentrasi terendah. Hal ini diduga karena adanya hubungan erat
antara biji jengkol yang digunakan (200, 400, 600 dan 800 gram) dengan 1 liter air yang
berfungsi sebagai pelarut zat-zat kimia yang terdapat dalam biji jengkol tersebut dimana
zat-zat racun tersebut kemudian menguap dan menghasilkan bau yang dapat membunuh
mencit jika terhirup. Pitojo (1992) mengemukakan bahwa asam jengkolat dapat mengikat
unsur belerang (sulfur) yang terlarut di air rendaman. Selain asam jengkolat, biji jengkol
juga mengandung zat-zat kimia seperti minyak atsiri, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid,
tannin, dan glikosida. Namun pengaruh zat-zat kimia tersebut terhadap mencit belum
diketahui secara pasti.
Penggunaan 1 l air untuk 200 g biji jengkol (J1) menghasilkan cairan yang lebih
cair sehingga lebih mudah dan lebih banyak menguap memenuhi ruang dalam kurungan
dan akhirnya meracuni mencit yang menghirupnya, sedangkan penggunaan 1 liter air
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
382
untuk 800 g biji jengkol (J4) menghasilkan cairan yang lebih kental seperti bubur
sehingga cenderung tidak mudah dan lebih sedikit menguap, akibatnya tidak cepat
memberikan reaksi pada mencit yang menghirupnya yang ditandai dengan mampunya
mencit bertahan hidup lebih lama walaupun pada akhirnya juga akan mengalami
kematian. Mencit yang dapat bertahan hidup lebih lama terlihat mengalami pertumbuhan
yang abnormal yaitu terjadi pembengkakan pada bagian perut dan leher.
Pertumbuhan yang abnormal tersebut dialami oleh mencit-mencit yang diberi
perlakuan J3 dan J4, sedangkan pada perlakuan J1 dan J2 mencit mengalami kematian yang
lebih cepat. Diduga hal ini berhubungan erat dengan banyaknya bau yang dihirup oleh
mencit, dimana semakin banyak bau yang terhirup oleh mencit maka akan semakin cepat
pula mencit tersebut mati, sedangkan mencit yang sedikit menghirup bau tersebut
umumnya dapat bertahan lebih lama tetapi pertumbuhannya menjadi abnormal dan hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh mudah tidaknya cairan biji jengkol tersebut menguap di
dalam kurungan.
KESIMPULAN
Bau dari cairan biji jengkol berpengaruh terhadap lama hidup mencit putih.
Kematian tercepat diperoleh pada perlakuan 200 g biji jengkol/liter air yaitu rata-rata
10,67 hari kemudian diikuti perlakuan 400 g biji jengkol/liter air (13,00 hari), 600 g
biji jengkol/liter air (18,00 hari) dan 800 g biji jengkol/liter air (18,67).
Pada perlakuan 600 g biji jengkol/liter air dan 800 g biji jengkol/liter air
memperlihatkan pertumbuhan mencit yang abnormal yaitu terjadi pembengkakan pada
perut dan leher.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada saudari Suci Ayu Primaningsi atas bantuannya
mengumpulkan data di lapang
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Tikus Sawah Musuh Utama Petani Padi. http://www.tanindo.com/
abdi8/hal2601.htm, Akses terakhir tanggal 31 Mei 2005.
Kusnaedi, 1999. Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Oka, I.N., 1993. Penggunaan, Permasalahan serta Prospek Pestisida Nabati dalam Pengendalian
Hama Terpadu. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan
Pestisida Nabati, Bogor 1-2 Desember 1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Bogor.
Pitojo, S., 1992. Jengkol, Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.
Priyambodo, S., 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana, R., dan U. Sugandi, 1997. Hama Tanaman dan Teknik Pengendalian. Kanisius.
Yogyakarta.
Rosmini, 2003. Pengendalian Hama Tikus. Sriwijaya Pos (Selasa, 5 Agustus 2003).
http://www.indomedia.com/sripo/2003/08/05/0508kot6.htm. Akses terakhir tanggal 31 Mei
2005.
Setianingsih, E., 1995. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta.
Singleton, G.R., 2003. Impacts of rodents on rice production in Asia. IRRI Discussion Paper
Series No. 45, Los Ban˜os, Philippines, 30 pp.
Untung, K., 1992. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.