8
547 PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK (Assessment of System Management of Beef Cattle) D.B. Wijono, Aryogi, Uum Umiyasih, dan D.E. Wahyono Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Grati ABSTRAK Teknologi pemeliharaan dan pengaturan perkawinan yang efektif pada sapi induk dibutuhkan untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi dalam penyediaan sapi potong bakalan. Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pretein hewani memburuhkan tatanan. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Tuban, kecamatan Widang, desa Minohorejo. Materi penelitian menggunakan 60 ekor sapi potong induk milik peternak, dengan umur kebuntingan 7-9 bulan yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Perlakuan pertama adalah perbaikan pakan dengan pemberian konsentrat (1-1,5 % berat badan) dan obat cacing . Perlakuan II adalah kontrol (tanpa perlakuan). Pemberian pakan dilakukan sekitar 2 bulan sebelum beranak (flushing) sampai 3 bulan setelah beranak. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata berat badan induk setelah beranak perlakuan satu mampu mampu bertahan dari 332,6 kg menjadi 314,1 kg, dibandingkan dengan kontrol yaitu dari 327,6 kg menjadi 289,6 kg. Estrus post partum terjadi lebih awal pada perlakuan satu dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 50,8 hari dan 108 hari.. Perkembangan pedet setelah dilahirkan masing-masing untuk perlakuan satu dan dua, terhadap berat lahir adalah 22,1 kg dan 19,8 kg, dan pertambahan berat badan harian sebesar 0,54 dan 0,32 kg/ekor/hari . Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pola perbaikan pakan mampu meningkatkan efisiensi pemeliharaan induk dan perkenmbangan pedet dalam upaya pemenuhan kebutuhan sapi potong bakalan Kata kunci : Sapi potong, reproduksi, performan, peertumbuhan. ABSTRACT Technology of effective breeding and controlling mating for cows is needed to get high productivity fpr supplying beef cattle candidate, as the efforts to fulfill protein needs. A research was done in Minohorejo village, distric of Widang, Tuban regency. The material of research used 60 heads cows owned by the breeders, with 7-9 months of pragnancy, and devided into 2 group of treatment. Treatment I was feeding improvement with concentrate (1-1.5 body wieght) and giving worms grugs. Treatment II was controlling as what the breeders usually do wit their cattle. Feeding with consentrate was given about 2 month before brith (flushing) and 3 months after birth. The result research showed that the cows on treatment I were able to keep their average body weigh namely from 332.6 kg became 280.0 kg. The oestrus pospartum on treatment I was earlier namely 50,8 days compare with treatment II namely 108.0 days. The calves improvement after birth on treatment I and treatment II for birth weigh were 22.1 kg and 19.8 kg respectively, and daily gain respectively for 0.54 and 0.32 kg/head/day. The breeders response by feeding improvement for pragnancy cows and suckling namely 67.80 and 46.75, and response for AI was 75.40. The conclusion of the research was that the feeding improvement style was able to increase the breeding efficiency of caws and calves improvement. The breeders did not accep fukky the result of feeding improment for pragnancy and lactating cows, but they still in adaptation stage. Key words : Beef cattle, reproction, performance, growth

56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Teknologi pemeliharaan dan pengaturan perkawinan yang efektif pada sapi induk dibutuhkanuntuk mendapatkan produktivitas yang tinggi dalam penyediaan sapi potong bakalan. Sebagaiupaya pemenuhan kebutuhan pretein hewani memburuhkan tatanan

Citation preview

Page 1: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

547

PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

(Assessment of System Management of Beef Cattle) D.B. Wijono, Aryogi, Uum Umiyasih, dan D.E. Wahyono

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Grati

ABSTRAK Teknologi pemeliharaan dan pengaturan perkawinan yang efektif pada sapi induk dibutuhkan untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi dalam penyediaan sapi potong bakalan. Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pretein hewani memburuhkan tatanan. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Tuban, kecamatan Widang, desa Minohorejo. Materi penelitian menggunakan 60 ekor sapi potong induk milik peternak, dengan umur kebuntingan 7-9 bulan yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Perlakuan pertama adalah perbaikan pakan dengan pemberian konsentrat (1-1,5 % berat badan) dan obat cacing . Perlakuan II adalah kontrol (tanpa perlakuan). Pemberian pakan dilakukan sekitar 2 bulan sebelum beranak (flushing) sampai 3 bulan setelah beranak. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata berat badan induk setelah beranak perlakuan satu mampu mampu bertahan dari 332,6 kg menjadi 314,1 kg, dibandingkan dengan kontrol yaitu dari 327,6 kg menjadi 289,6 kg. Estrus post partum terjadi lebih awal pada perlakuan satu dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 50,8 hari dan 108 hari.. Perkembangan pedet setelah dilahirkan masing-masing untuk perlakuan satu dan dua, terhadap berat lahir adalah 22,1 kg dan 19,8 kg, dan pertambahan berat badan harian sebesar 0,54 dan 0,32 kg/ekor/hari . Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pola perbaikan pakan mampu meningkatkan efisiensi pemeliharaan induk dan perkenmbangan pedet dalam upaya pemenuhan kebutuhan sapi potong bakalan Kata kunci : Sapi potong, reproduksi, performan, peertumbuhan.

ABSTRACT Technology of effective breeding and controlling mating for cows is needed to get high productivity fpr supplying beef cattle candidate, as the efforts to fulfill protein needs. A research was done in Minohorejo village, distric of Widang, Tuban regency. The material of research used 60 heads cows owned by the breeders, with 7-9 months of pragnancy, and devided into 2 group of treatment. Treatment I was feeding improvement with concentrate (1-1.5 body wieght) and giving worms grugs. Treatment II was controlling as what the breeders usually do wit their cattle. Feeding with consentrate was given about 2 month before brith (flushing) and 3 months after birth. The result research showed that the cows on treatment I were able to keep their average body weigh namely from 332.6 kg became 280.0 kg. The oestrus pospartum on treatment I was earlier namely 50,8 days compare with treatment II namely 108.0 days. The calves improvement after birth on treatment I and treatment II for birth weigh were 22.1 kg and 19.8 kg respectively, and daily gain respectively for 0.54 and 0.32 kg/head/day. The breeders response by feeding improvement for pragnancy cows and suckling namely 67.80 and 46.75, and response for AI was 75.40. The conclusion of the research was that the feeding improvement style was able to increase the breeding efficiency of caws and calves improvement. The breeders did not accep fukky the result of feeding improment for pragnancy and lactating cows, but they still in adaptation stage. Key words : Beef cattle, reproction, performance, growth

Page 2: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

548

PENDAHULUAN Perkembangan sapi potong di Jawa Timur setiap tahunnya cenderung statis, sehingga

tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan akan daging. Pemaksaan pemenuhan kebutuhan daging akan menyebabkan terkurasnya populasi ternak yang ada. Pemenuhan kekurangan daging dilaksanakan melalui pemasokkan sapi potong bakalan untuk digemukkan dari luar negeri (Anonimus, 1997).

Produksi sapi potong bakalan sampai saat ini belum mampu memenuhi permintaan konsumen untuk digemukkan guna memenuhi kebutuhan daging. Hal ini antara lain karena kondisi badan sapi potong induk pada tingkat peternakan rakyat umumnya berada dalam kondis badan sedang sampai jelek. Kondisi badan induk secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan dan aktivitas reproduksinya seperti siklus estrus dan keberhasilan dalam kejadian kebuntingan (Service per Conseption). Teknologi perbaikan kondisi badan pada sapi potong dara melalui tatlaksana pakan, mampu meningkatkan berat badan sampai 0,5 kg/ekor/hari dan menunjukkan gejala estrus yang jelas (Wijon dkk. 1998).

Pemeliharaan sapi potong ditingkat peternak masih tradisional dengan tingkat produktivitas yang cukup beragam. Penurunan kondisi badan dan berat badan yang ekstrim merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gangguan terhadap perkembangan dan aktivitas reproduksi (Toelihere, 1980). Kegagalan atau gangguan reproduksi pada sapi potong induk yang tampak adalah jarak beranak (calving interval) yang panjang. Kemampuan jarak beranak yang mampu dicapai pada peternakan rakyat adalah tidak efisien yaitu sekitar 605,4 ± 101,6 hari dan saat kawin kembali setelah beranak 309,4 ± 101,9 hari (Astuti, dkk. 1983). Sedangkan siklus estrus sapi potong yang berada di peternakan rakyat adalah sekitar 38 - 74,4 hari dengan skor kondisi badan 3 - 4 (Wijono, dkk. 1999).

Sapi betina yang tidak terpelihara dengan baik mempunyai kondisi badan yang jelek, akan berpengaruh negatif terhadap aktivitas ovarium dan mempengaruhi perkembangan sel telur. Penur-unan berat badan sebesar 18 % akan mengakibatkan kondisi badan jelek, sehingga menyebabkan terjadinay inaktivitas ovarium dan diikuti hilangnya tanda-tanda estrus secara klinis (Wijono, dkk. 1992), serta dapat bertindak sebagai penyebab terjadinay infertilitas pada sapi potong induk (Hafez, 1980 dan Toelihere, 1980).

Perubahan produksi sapi potong akan berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi dan menyebabkan terjadinay perpanjangan jarak beranak. Jarak beranak yang ideal pada sapi potong adalah kurang dari 15,6 bulan (More, 1984). Faktor tatalaksana, pakan dan kesehatan perlu diperhatikan karena sebesar 95 % aktivitas reproduksi tergantung kepada faktor ini (Toelihere, 1983).

Dengan perbaikan pengelolaan sistem produksi induk dan anak melalui perbaikan pakan dan pemberian obat cacing, diharapkan dapat memperpendek jarak beranak melalui percepatan timbulnya estrus post partum dan meningkatkan produktivitas pedet yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan di desa Minohorejo, kecamatan Widang Kabupaten Tuban sebagai

salah satu lokasi sumber ternak dan digunakan sapi potong milik peternak. Kegiatan pengkajian dilaksanakan dengan perbaikan pemeliharaan dan pengaturan

perkawinan sapi potong induk dengan melibatkan 60 peternak kooperator yaitu peternak pemilik sapi potong induk bunting tua (umur kebuntingan 7 bulan). Pola percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan ulangan 30 ekor per perlakuan, masing-masing adalah perlakuan I merupakan kelompok perlakuan perbaikan teknologi sistem produksi induk dan anak dan

Page 3: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

549

perlakuan II sebagai kontrol, merupakan sistem produksi yang diterapkan peternak. Teknologi yang diterapkan adalah pengelolaan induk dengan perbaikan pakan pada umur kebuntingan 7 bulan dan selama menyusui (3 bulan) dengan menggunakan pakan penguat (konsentrat) berupa dedak padi (70 %), jagung giling (30 %) ditambah urea dan mineral (suplement) masing-masing sebanyak 2,5 dan 1,5 % dari ransum.

Untuk mengevaluasi kelayakan teknologi sapi potong induk, digunakan analisis data dengan uji t, dan evaluasi keragaan sosial digunakan secara analisis diskriptif.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei dan monitoring secara berkala disesuaikan dengan jenis kegiatan. Data yang dikumpulkan meliputi status produksi dan reproduksi yaitu berat badan, kondisi badan, kejadian estrus post partum, proses kelahiran, pemberian pakan dan pertumbuhan pedet, serta respon terhadap introduksi teknologi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Performan induk

Hasil pengamatan terhadap perkembangan performan induk sapi potong yang diamati selama bunting dan menyusui menunjukan bahwa rata – rata penurunan berat badan induk pada perlakuan I lebih rendah secara nyata (P<0,05) dari perlakuan II yaitu sebesar 5,1 berbanding 10,5 %, demikian pula terhadap perubahan kondisi badan ternak menunjukkan bahwa skor kondisi badan perlakuan I lebih baik (P<0,05) dari perlakuan II yaitu 5,5 berbanding 4,8 (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata kondisi badan sapi potong induk sebelum dan setelah beranak. Uraian Perlakuan I Perlakuan II

Berat badan (kg): - Sebelum beranak 332,6 ± 46,6 320,0 ± 55,1 - Setelah beranak 314,1 ± 55,5 280,0 ± 55,3 Penurunan BB (%) * 5,1 a 10,5 b Kondisi badan (skor) * 5,5 ± 0,7 b 4,8 ± 0,28 a

Keterangan : - a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) - BB = Berat badan - Perlakuan I : Perbaikan teknologi sistem produksi induk dan anak. - Perlakuan II : Sistem produksi pola peternak.

Dengan demikian tampak bahwa sapi induk yang mendapat perlakuan perbaikan pakan

dengan pemberian konsentrat mampu meningkatkan berat badan yang lebih berat, juga mampu mempertahankan kondisi badannya setelah beranak dan selama menyusui, dibanding dengan kelompok kontrol yaitu pola yang biasa dilakukan peternak tanpa pemberian konsentrat.

Status reproduksi

Proses kelahiran dari kedua perlakuan didalam penelitian ini terjadi secara normal, dan tidak ditemukan gangguan kelahiran seperti kesulitan kelahiran, prolapsus uteri maupun infeksi organ reproduksi.

Pengamatan terhadap status reproduksi induk setelah beranak meliputi kajadian estrus post partum pada induk yang mendapat perbaikan pakan maupun yang tidak mendapatkan perbaikan pakan (kontrol) dilakukan secara teratur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masa estrus post partumnya yaitu kejadian estrus post partum yang diakibatkan oleh perbaikan pakan (flushing) pada induk bunting dan steaming up pada induk menyusui ( perlakuan I) mempunyai masa estrus

Page 4: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

550

post partum yang lebih pendek dari pada perlakuan II sebagai kontrol (P<0,05) yaitu sebesar 50,8 hari berbanding 108,0 hari (Tabel 2).

Tanda-tanda estrus setelah beranak menunjukkan tanda-tanda estrus secara jelas berupa gejala gelisah, menaiki sapi lainnya dan tampak munculnya lendir dari vagina. Kejadian estrus pos partus yang terjadi pada perlakuan I yaitu kelompok perlakuan untuk waktu estrus yang terpendek timbul kurang dari 30 hari sebanyak 40 %, kurang dari 60 hari sebanyak 40 % dan yang meninjukkan tanda-tanda estrus lebih dari 90 hari sebanyak 20 %. Sedangkan pada perlakuan II yaitu kelompok kontrol tanda – tanda estrus pos partumnya tampak setelah 90 hari beranak sebanyak 66 % dan selebihnya menunjukkan tanda-tanda estrus diatas 120 hari sebanyak 34 %, sedangkan pada kelompok kontrol tidak didapatkan sapi potong induk yang menunjukkan tanda-tanda estrus secara klinis setelah baranak dalam kurun waktu 60 hari.

Lubis dan Sitepu (1998) menyatakan bahwa aktivitas ovarium setelah beranak pada sapi Bali berkisar antara 45-290 hari; frekuensi aktivitas ovarium hasil pengamatan secara normal sebesar 54,5% berada sekitar 106-165 hari yang menunjukkan tanda estrus.. Dengan demikian waktu estrus yang diperlukan adalah sebesar 12% sekitar 45-65 hari, 13,38% sekitar 86-105 hari dan 18,68% sekitar 106-125 hari. Hal ini ada kaitannya dengan kondisi badan ternak keadaan gizi ternak dan tatalaksana pemeliharaan induk. Sedangkan pada induk yang mengalami kekurangan pakan/malnutrisi dapat mempengaruhi produktivitas dan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan membesarkan anak, meningkatkan angka kematian neonatal, lahir mati/lemah, estrus pos partum lebih panjang (Dunn, 1980).

Dengan demikian tampak bahwa perbaikan pakan mampu memperbaiki kondisi badan induk setelah melahirkan dan selama manjusui, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan aktivitas reproduksinya. Pada induk yang mendapat perbaikan pakan secara teratur menunjukkan adanya peningkatan aktivitas reproduksi ternak berupa kejadian estrus pos partus yang lebih pendek dan menunjukkan tanda-tanda estrus yang nyata secara klinis, serdangkan proses kelahiran tidak terpengaruh oleh adanya perbaikan pakan.

Tabel 2. Rata-rata reproduksi sapi potong induk di lokasi pengkajian Uraian Perlakuan I Perlakuan II

Estrus post partum (hari) * 50,8 ± 15,1 a 108,0 ± 25,6 b Kejadian estrus (%) : < 30 hari 40 0 <60 hari 40 0 <90 hari 10 66 >120 hari 10 34

Keterangan : * a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Wi jono dkk. (1992) melaporkan bahwa pada induk yang kondisi badanya sangat menurun

atau sangat kurus dengan skor kondisi badan < 4 menyebabkan aktivitas reproduksinya terhenti berupa inaktivitas ovarium (ovariumnya mengecil), dan selanjutnya dilakukan perbaikan pakan dengan pemberian konsentrat mampu meningkatkan skor kondisi badan menjadi 6 dan diikuti peningkatan aktivitas reproduksinya berupa aktivitas ovarium yang ditandai oleh munculnya tanda-tanda estrus yang tampak secara klinis.

Setiadi dkk. (1998) mendapatkan days open pada sapi PO berkisar antara 45,2 - 61,5 hari, demikian pula Siregar dkk. (1998) menunjukkan bahwa perbaikan pakan pada induk bunting 7 bulan mampu memperpendek jarak beranak sebesar 11,5 - 13,8 % dari kelompok tanpa pemberian konsentrat.

Page 5: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

551

Pertumbuhan pedet. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan pedet sejak lahir sampai umur 90 hari

berdasarkan perubahan berat badan dari kedua perlakuan yang diamati, maka didapatkan berat lahir, berat badan pedet umur 60 dan 90 hari. Berat lahir pedet perlakuan I lebih berat dari pada perlakuan II yaitu sebagai kontrol masing-masing sebesar 22,1 kg dan 19,8 kg serta menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan hasil pengamatan berat badan pedet pada umur 30 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada pengamatan umur pedet 90 hari kembali menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) yaitu masing-masing sebesar 68,9 kg dan 59,0 kg. Begitu pula terhadap pertambahan berat badan harian menunjukkan bahwa pedet dari induk dari perlakuan I lebih tinggi dari perlakuan II masing-masing sebesar 0,52 dan 0,32 kg/ekor/hari (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata berat badan dan pertambahan berat badan pedet sapi potong

Uraian Perlakuan I Perlakuan II

Berat badan (kg) : Lahir 22,1 ± 2,2 b 19,8 ± 2,9 a 30 hari 37,7 ± 6,2 a 35,5 ± 4,5 a 60 hari 54,2 ± 9,1 b 43,5 ± 22,5 a 90 hari 68,9 ± 11,7 b 59,0 ± 8,7 a Pertambahan berat badan (kg/ekor/hari) 0,52 ± 0,18 b 0,32 ± 0,08 a

Keterangan : a,b superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Hal ini menunjukkan perlakuan perbaikan pakan akan memperbaiki produksi berat badan

anak dan hasilnya sama dengan yang didapatkan Putu dkk.(1998) bahwa pengaruh perbaikan pakan dengan pemberian konsentrat 2 bulan menjelang beranak akan memperbaiki kondisi badan induk bunting dengan pertambahan berat badan 0,71 kg/ekor/hari; diikuti pertumbuhan anak sebesar 0,62 /ekor/hari dan menekan angka kematian.

Demikian pula Siregar dkk. (1998) melaporkan bahwa induk yang mendapatkan pakan baik selama umur kebuntingan 7 bulan mampu memperpendek jarak beranak serta meningkatkan performan berat lahir 22,15 kg dengan pertambahan berat badan harian sebesar 0,63 kg/ekor/hari; sedangkan pada kelompok tanpa pemberian konsentrat (kontrol) masing-masing sebesar 17,5 kg dan 0,53 kg/ekor/hari.

Dengan demikian tampak bahwa perbaikan pakan yang dilakukan pada sapi potong induk yang dipelihara dengan pola pemeliharaan peternakan rakyat, mampu memperbaiki produksi dan reproduktivitasnya secara nyata.

Pola Pemberian Pakan

Pola pemeliharaan sapi potong induk dilokasi pengkajian adalah dilakukan secara semi intensif yaitu dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada pagi hari, sedangkan pada musim tanam lebih dominan dilakukan pemeliharaan secara dikandangkan.

Hasil pengamatan terhadap pola pemberian pakan dari kedua perlakuan terlihat bahwa hijauan pakan yang secara umum digunakan oleh peternak adalah rumput lapangan dan jerami padi yang terutama sekali biasa diberikan pada musim kemarau.

Page 6: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

552

Tabel 4. Persentase peternak dan jenis pakan yang digunakan dilokasi pengkajian Jenis pakan Perlakuan I Perlakuan II

--- % ---- Rumput lapangan 100 100 Jerami padi 75 75 Jerami jagung (Tebon) 100 17 Jerami kacang 69 8 Dedak - 100 Konsentrat 100 -

Pola pakan pada perlakuan I yang menggunakan jerami jagung sebanyak 100 % dan jerami

kacang sebanyak 69 % peternak. Sedangkan peternak responden pada perlakuan II menggunakan jerami jagung dan jerami kacang. masing-masing sebanyak 17 dan 8 % (Tabel 4). Pemberian dedak pada perlakuan II yang umumnya telah memberikan dedak yang pemberiannya tidak dilakukan secara rutindan dengan porsi pemberiannya jauh dari memadai atau dibawah kebutuhan. Cara pemberian ini mengakibatkan terjadinya penurunan kondisi badan dan memberikan skor kondisi badan cukup rendah yaitu sampai 4,8. Sedangkan pada perlakuan I pada pemberian konsentrat terkontrol disubstitusi secara rutin, mampu memperbaiki kondisi badan induk dan mampu memperbaiki pertumbuhan pedet.

Respon Peternak

Respon peternak terhadap introduksi teknologi perbaikan pengelolaan pada induk bunting dan menyusui serta perbaikan pada kualitas pedet yang dilahirkan terlihat bahwa respon terbesar terjadi pada pelaksanan inseminasi buatan (skor 75,40) dan respon terkecil terhadap perbaikan teknologi pakan untuk induk menyusui yaitu skor 46,75 (Tabel 5).

Tabel 5. Skor respon peternak terhadap teknologi introduksi di lokasi pengkajian No. Uraian Skor respon

1. Perbaikan pakan pada induk bunting 67,80 2. Perbaikan pada induk menyusui 46,75 3. Pelaksanaan IB (inseminasi buatan) 75,40 Nilai rata-rata 63,32

Proses perubahan perilaku khususnya dalam merespon suatu teknologi dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial yaitu antara lain tanggungan keluarga, pendidikan dan tingkat pendapatan. Pola hubungan yang dilakukan responden terjadi dalam komunitas tempat tinggal dan tempat bekerja. Tingginya respon peterank terhadap pelaksanaan IB, ditimbulkan oleh aktivitas petugas inseminator turun kelapangan dan peternak sering berkomunikasi dengan petugas IB atau ketua kelompok khususnya mengenai pelaporan kejadian estrus ternak yang dimilikinya; secara nyata memberikan respon yang cepat penyebarannya setiap informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan IB. Semakin sering seseorang mengadakan komunikaso atau mangadakan hubungan untuk mendapatkan komunikasi secara inter personal akan menyebabkab semakin menambah keyakinan seseorang dalam mengadopsi suatu inovasi. Perilaku responden (PSK) dalam merespon teknologi IB dipengaruhi oleh variabel pola hubungan serta motivasi beternak (sambilan atau komersial.

Dalam hal perbaikan pakan pada induk bunting dan menyusui, peternak secara umum belum berfikir rasional akan manfaat flushing terhadap kualitas anak yang dilehirkan dan produktivitas induk. Sebagai dasar pertimbangan dalam perbaikan pakan adalah kemampuan

Page 7: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

553

keuangan. Pemeliharaan pedet pra sapih belum menjadi pertimbangan pemeliharaannya, pemberian pakan yang pada kenyataannya berupa rumput saja sampai umur 3 bulan; dengan demikian perkembangan pedet sangat tergantung kepada kemampuan induk untuk memnuhi kebutuhan susunya. Pada perlakuan I yang mengalami perbaikan pakan terjadi perbaikan kondisi badan induk mampu memperbaiki pertumbuhan pedet.

Kondisi rumen yang seharusnya belum berkembang dipaksa untuk berkembang dengan pesat akibat pemberian pakan yang kualitasnya rendah yaitu berupa rumput yang berserat tinggi, sehingga berbentuk perut buncit (pot belly). Pada akhirnya pertumbuhan eksteriour pedet ,emjadi jeleh.

KESIMPULAN Pemeliharaan induk bunting dengan meningkatkan pengelolaannya melalui perbaikan

pakan dan pencegahan penyakit parasiter internal, mampu meningkatkan efisiensi reproduksi berupa perpendekan estrus post partum, pertambahan berat badan dan kondisi badan serta pertumbuhan anak lebih baik.

Pola pemberian pakan di peternak masih perlu ditingkatkan untuk mendapatkan pengelolaan sapi potong induk yang efisien.

Respon peternak terhadap introduksi teknologi perbaikan pakan induk bunting dan menyusui belum sepenuhnya dapat diterima, tapi masih pada taraf memahami.

DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1997. Penentuan komoditas peternakan unggulan Jawa Timur dan strategi

pembangunannya. Disnak Prop. Jatim. Lokakarya Wawasan dan strategi Pembangunan Pertanian di Jawa Timur Menjelang Abad XXI. BPTP Karangploso.

Astuti, M., W. Hardjosoebroto dan S. Lebdosukoyo. 1983. Analisis jarak beranak sapi peranakan onggole di kecamatan Cangkringan D.I. Yogyakarta. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Bogor.

Dunn, T.G. 1980. Nutrition and Reproductive Processes in Beef Cattle. dalam Morrow, D.A. (ed). Current Theraphy in Thereogenocology. W.B. Sounder Company. Toronto.

Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th Ed. Lea & Febriger. Philadelphia. Lubis, A.M dan Sitepu. 1998. Performance reproduksi sapi Bali dan potensinya sebagai breeding

stock di kecamatan Lampung Utara. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Moore, C.P. 1984. Early weaning for increased reproduction rate in tropical beef cattle. WAR. Nicholson, M.J. dan M.N. Butterworth. 1986. A quide to scoring of zebu cattle. International

Livestock Centre for Africa. Putu, I. G., P. Situmorang, A. Lubis, T.D. Chaniago, E. Triwulaningsih, T. Sugiarti, I. W. Mathius

dan B. Dudaryanto. 1998. Pengaruh pemberian pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah kelahiran terhadap produksi dan reproduksi sapi potong . Sem. Nas. Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak.

Setiadi, B., D. Priyanto, Subandriyo dan N.K. Wardhani. 1998. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan terhadap kinerja reproduksi sapi peranakan Ongole di daerah istimewa Yogyakarta. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Bogor.

Page 8: 56PENGKAJIAN SISTEM PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK

554

Siregar, A. R. P. Situmorang, J. Bestari, Y. Sani dan R.H. Matondang. 1998. Pengaruh flushing pada sapi induk peranakan Ongol di dua lokasi dengan perbedaan ketinggian pada program IB di Kabupaten Agam. Sem. Nas. Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak.

Toelihere, M. 1980. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa Bandung. Toelihere, M. 1983. Tinjauan tentang penyakit reproduksi pada ruminansia besar di Indonesia.

Proc. Pertemuam Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, Bogor. Wijono, D.B., L. Affandhy dan E. Teleni. 1992. The Relationship between liveweight, body

condition and Ovarian aktivity in Indonesia cattle. Dalam: W.J. Pryor (Eds) Drought Animal Power in Asia-Australian. ACIAR Proc, no. 46. Canberra.

Wijono, D.B., K. Ma’sum, M.A. Yusran, Gunawan dan L Affandhy. 1998. Perakitan Teknologi perbaikan sistem produksi sapi potong untuk mendukung agribisnis dalam SUT sapi potong di Jawa Timur. Proc. Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian SUT Jawa Timur. BPTP Karangploso Malang.

Wijono, D.B., K. Ma’sum, M.A. Yusran, D.E. Wahyono dan L Affandhy. 1999. Perakitan teknologi perbaikan sistem produksi sapi potong bakalan untuk mendukung agribisnis dalam sistim usaha tani berbasis sapi potong di Jawa Timur. Proc. Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian SUT Jawa Timur. BPTP Karangploso Malang.