Upload
widyan-hindami-fakhrana
View
855
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
A. PENGANTAR
Teori pembangunan ekonomi tercipta melalui proses dialektika. Teori ini dicipta dengan
tujuan untuk menjelaskan berbagai fenomena dan perilaku ekonomi yang telah dan sedang terjadi,
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses dialektika itu diintegrasikan
secara padu dan sistematis berbagai hasil kontemplasi, petualangan dan pergulatan akademik serta
berbagai dimensi, seperti logika, sistem, dan sejarah1 perkembangan kemajuan ekonomi ataupun
keterbelakangan ekonomi suatu masyarakat.
Selain melalui proses dialektika, teori pembangunan ekonomi juga tercipta dari adanya
revolusi dalam ilmu pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge) sebagai akibat dari
pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang berlangsung secara tidak beraturan. Dalam hal
ini, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi inti dari proses perubahan teori
pembangunan ekonomi. Ini berarti, perkembangan dan perubahan teori pembangunan ekonomi tidak
berlangsung secara evolusioner dan tidak pula melalui sejumlah proses penilaian yang rasional.
Dari literatur ilmu ekonomi dijumpai begitu banyak teori pembangunan ekonomi. Sebagai
karya akademik, teori-teori pembangunan ekonomi itu memiliki pencirinya sendiri-sendiri, baik yang
menyangkut konten dan konteksnya, maupun yang menyangkut kekuatan dan kelemahannya.
Kehandalan dari masing-masing teori itu sangat ditentukan oleh keakuratan data yang dipergunakan
sebagai basis, serta argumentasi dan postulat yang diajukan sebagai fondasi dari bangunan teori itu.
Keberlakuan teori pembangunan ekonomi dapat dipertahankan manakala teori itu masih
mampu menjelaskan berbagai dinamika dan perkembangan pembangunan ekonomi serta perubahan
perilaku ekonominya. Teori pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berlaku pada semua zaman.
Misalnya, teori pembangunan ekonomi klasik ternyata gagal dalam mengatasi depresi besar tahun
1930-an karena ketidakmampuan pasar dalam merespons gejolak di pasar saham. Akibat dari
gejolak itu, maka muncullah teori pembangunan ekonomi Keynes yang menekankan pentingnya
1 Sejarah yang dimaksudkan disini adalah sebuah rekam jejak tentang peristiwa pemikiran, peristiwa masalah, dan upaya-upaya pemecahan masalah dalam konteks dan kurun waktu tertentu seperti tidak adanya penghargaan terhadap subyek ekonomi, ketidakadilan, kemiskinan dan lain sebagainya.
179
intervensi pemerintah dalam perekonomian agar alokasi dan distribusi sumberdaya mencapai
sasarannya secara optimal serta pasar selalu mampu menciptakan momentum keseimbangannya.
Dalam mengkaji perkembangan dan perubahan mendasar teori pembangunan ekonomi yang
melatari tingkat kemajuan pembangunan ekonomi di banyak negara ataupun sebaliknya secara lebih
mendalam maka sangat diperlukan upaya penelusuran terhadap berbagai peristiwa masalah ekonomi,
peristiwa pemikiran ekonomi, dinamika dan perkembangan peradaban umat manusia serta geliat
pembangunan ekonomi yang terjadi pada zamannya, mulai dari teori pembangunan ekonomi klasik
hingga ke teori pembangunan ekonomi kontemporer dengan segala variannya. Dalam kaitan ini, ada
beberapa landasan teoritis yang dinilai cukup ampuh dan dapat dipergunakan, diantaranya:
Pertama, landasan teori fungsionalis atau normatif yang diprakarsai oleh Hegel, seorang
filosof dan sejarahwan Jerman terkemuka pada abad ke-19, tentang proses dialektika yang menjadi
penggerak dari perubahan-perubahan pemikiran di berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat.
Dalam hal ini, Hegel memulainya dengan metode analisis these-antithese-senthese untuk memahami
mengapa sebuah gagasan (these) yang mendominasi pada suatu periode waktu tertentu mendapat
tantangan (antithese), dan kemudian menciptakan sebuah gagasan baru (sinthese) yang selanjutnya
menjelma menjadi sebuah these baru yang mendominasi pada periode waktu berikutnya2.
Kedua, landasan teoritis yang dibangun Thomas Kuhn pada tahun 1960-an mengenai
paradigma dari himpunan segala hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada periode waktu
tertentu, turut menentukan wujud ilmu pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge) yang ada
pada periode itu. Kuhn menjelaskan bahwa revolusi ilmu pengetahuan dan pengetahuan sebenarnya
terjadi sebagai akibat dari pergeseran paradigma yang berlangsung secara mendadak.
Sebagaimana halnya dilakukan Hegel, tampaknya Khun juga memanfaatkan pengetahuannya
yang luas sebagai sejarahwan dan filosof untuk sampai kepada analisisnya tentang proses perubahan
konsepsi yang terjadi dari masa ke masa. Namun berbeda dengan Hegel, analisis Khun menggunakan
revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai inti dari proses perubahan yang terjadi
dalam masyarakat pada periode waktu tertentu.
2 Pandangan Hegelian tersebut menurut kelompok pakar yang sealiran faham dengan Karl Marx-Engels (kelompok Marxian, Pasca Marxian atau Neo-Marxian) dianggap merupakan kekeliruan yang fatal. Karena, peristiwa yang terjadi dalam masyarakat merupakan perubahan-perubahan pada kehidupan materialisme yang menyangkut hubungan diantara faktor-faktor produksi, yang menimbulkan perubahan cara berpikir dan bukan sebaliknya. Dan adalah keliru jika dikatakan perubahan cara pikir itu terjadi karena pergelutan these-antithese-sinthese pada tataran ide yang murni. Tampaknya, faham dialektika materialisme dari Karl Marx ini juga digunakan oleh Khun, namun hanya sejauh kenyataan kehidupan meterialisme pada tataran IPTEK saja, tidak pada keseluruhan struktur kehidupan masyarakat, seperti yang dijumpai pada analisis Karl Marx.
179
Pemanfaatan kedua landasan teoritis tersebut sebagai alat analisis untuk memahami berbagai
dinamika pemikiran ekonomi, konsepsi pembangunan ekonomi, dan berbagai pergulatan akademik
di seputar teori pembangunan ekonomi akan sangat membantu dalam memecahkan masalah-masalah
nyata pembangunan ekonomi jangka panjang, dan akan diperoleh hasil analisis yang lebih tajam dan
mendalam manakala ada upaya untuk selalu mengikuti perdebatan yang terus berlangsung hingga
kini mengenai berbagai permasalahan mendasar, apakah konsepsi yang menggerakkan proses
perubahan nyata di masyarakat ataupun sebaliknya, yaitu perubahan-perubahan nyata yang mendesak
dibangunnya konsepsi baru. Paling tidak, pemanfaatan kedua landasan teoritis tersebut akan
memudahkan dalam memilah-milah di antara konsep yang valid dan relevan dengan keadaan nyata
yang dihadapi, dengan yang tidak.
Selain kedua landasan teoritis tersebut di atas terdapat landasan teoritis lain yang dapat
dipergunakan, terutama untuk mengkaji masalah-masalah fundamental ekonomi yang bersentuhan
dengan masalah kesejahteraan dan kebaikan bersama serta keadilan. Landasan teoritis itu dikenal
dengan ekonomi moralitas. Dalam perspektif ini, ekonomi moralitas menawarkan pemecahan
masalah keadilan ekonomi dalam berbagai macam relasi antara manusia dengan alam, masyarakat,
dan diri sendiri. Ini berarti ekonomi moralitas selalu berusaha memberi pertimbangan kongkrit
bagaimana menciptakan ekonomi yang adil sesuai dengan kondisi yang dihadapi dalam masyarakat.
Dalam pembahasan selanjutnya, penggunaan istilah teori ekonomi diidentikkan atau
dipersamakan dengan istilah teori pembangunan eknomi. Hal ini perlu dikemukakan di sini agar
dapat dibangun sebuah persepsi yang sama terhadap pengertian dari kedua istilah tersebut. Karena
pada dasarnya, teori ekonomi itu dibangun berdasarkan praktik-praktik pembangunan ekonomi
ataupun fakta-fakta di lapangan mengenai perilaku ekonomi yang ada dan hidup di masyarakat.
B. RUANG LINGKUP DAN TUJUAN INSTRUKSIONAL
Secara garis besar, materi yang disajikan pada bagian ini mencakup hasil penelusuran
terhadap perkembangan teori pembangunan ekonomi yang dikonstruksi berdasarkan hasil kerja keras
membongkar kliping, mengakses berbagai literatur, menyusun kembali mozaik-mozaik yang
berserakan, dan dokumentasi dari berbagai sumber resmi tentang pembangunan ekonomi.
Di awal bagian ini, disajikan hasil penelusuran terhadap perkembangan teori pembangunan
ekonomi, mulai dari teori pembangunan ekonomi klasik hingga munculnya berbagai teori
pembangunan ekonomi kontemporer. Pada bagian ini juga dibahas mengenai kegagalan teori
179
pembangunan ekonomi klasik yang diindikasikan oleh ketidakmampuan pasar merespons gejolak di
pasar saham, munculnya teori pembangunan eknomi Keynes dan teori pembangunan ekonomi
historimus, serta berbagai varian yang muncul akibat dari pertentangan kedua teori tersebut, seperti
teori pertentangan kelas dari Karl Heindrich Marx dan Friedrich Engels, teori pembangunan ekonomi
kelembagaan yang dikembangkan oleh Thorstein Veblen dan Douglass C. North serta berbagai
pandangan dari teori pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan yang akhir-akhir ini banyak
dibicarakan. Bahkan, kehadiran dan peran dari para tokoh pemikir ekonomi dalam serangkaian
proses perbandingan dan perdebatan beberapa teori pembangunan ekonomi juga turut disajikan
disini. Selanjutnya, di akhir bagian ini akan ditutup dengan rangkuman atau ikhtisar dari keseluruhan
materi yang telah dibahas dan beberapa latihan mandiri sebagai bahan evaluasi dan tindak lanjut.
Setelah membaca dan mencermati seluruh materi yang disajikan pada bagian ini, para
pembaca, khususnya para mahasiswa, diharapkan mampu memahami alur perkembangan teori
pembangunan ekonomi secara lebih sistematis dan komprehensif, melalui kemampuan memahami,
menjelaskan dan menganalisis: 1) perkembangan teori pembangunan ekonomi mazhab klasik
kapitalisme; 2) perkembangan teori pembangunan ekonomi mazhab klasik sosialisme; 3)
perkembangan teori pembangunan ekonomi neo-klasik; 4) perkembangan teori pembangunan
ekonomi mazhab historismus atau aliran etis; 5) teori pembangunan ekonomi Joseph Schumpeter; 6)
teori pembangunan ekonomi John Maynard Keynes; 7) teori pembangunan ekonomi Post Keynesian;
8) teori pembangunan ekonomi Rostow; 9) teori pembangunan ekonomi Max Weber; 10) teori
pembangunan ekonomi dari perspektif modernisasi dan dependensi; 11) perdebatan dan
perbandingan di seputar teori modernisasi dan teori dependensi; 12) teori pembangunan ekonomi
kelembagaan baru; dan 13) teori pembangunan ekonomi pengetahuan dan perkembangannya.
C. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI: mazhab klasik kapitalisme
Secara garis besar, perkembangan teori pembangunan ekonomi diawali dengan apa yang
disebut sebagai teori pembangunan ekonomi klasik yang dimotori oleh Adam Smith. Teori
pembangunan ekonomi klasik mempercayakan sepenuhnya kepada kekuatan invisible hand dalam
mengatur alokasi dan distribusi sumberdaya sehingga peran pemerintah menjadi sangat terbatasi.
Konsep invisble hand kemudian direpresentasikan sebagai mekanisme pasar melalui harga sebagai
instrumen utamanya.
179
Kehandalan teori pembangunan ekonomi klasik ternyata gagal dalam mengatasi depresi besar
tahun 1930-an. Hal ini ditunjukkan oleh ketidakmampuan pasar dalam merespons gejolak di pasar
saham. Akibat dari gejolak itu, muncullah teori pembangunan eknomi Keynes. Teori ini menyatakan
pasar tidak selalu mampu menciptakan keseimbangan, dan oleh karena itu intervensi pemerintah
perlu dilakukan agar alokasi dan distribusi sumberdaya mencapai sasarannya. Pembahasan mengenai
teori pembangunan ekonomi Keynes ini akan disajikan tersendiri pada uraian selanjutnya.
Pertentangan kedua teori ini kemudian justeru memunculkan banyak variannya, bahkan
dalam perkembangan selanjutnya, teori ini berkembang ke arah yang lain seperti teori pertentangan
kelas dari Karl Heindrich Marx dan Friedrich Engels, teori pembangunan ekonomi kelembagaan
yang dikembangkan oleh Thorstein Veblen dan oleh peraih Hadiah Nobel Douglass C. North, serta
teori pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan(knowledge based economy) yang dikembangkan
oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Teori pembangunan ekonomi klasik beraliran kapitalisme muncul pada akhir abad ke-18 dan
permulaan abad ke-19, yaitu di masa revolusi industri sedang berlangsung dan memperlihatkan
kemajuannya. Suasana di waktu itu sering disebut-sebut sebagai awal dari adanya perkembangan
ekonomi, dimana sistem ekonomi liberal di saat itu sedang berkembang pesat. Perkembangan ini
menurut aliran teori pembangunan ekonomi klasik disebabkan oleh berpacunya kemajuan teknologi
dan perkembangan jumlah penduduk.
Pada awalnya, kemajuan teknologi bergerak lebih cepat dari gerakan pertambahan jumlah
penduduk. Kondisi ini kemudian berbalik arah, dimana kemajuan teknologi tidak mampu lagi
mengimbangi percepatan pertambahan jumlah penduduk, sehingga menyebabkan perekonomian
mengalami kemacetan. Kemajuan teknologi tersebut pada mulanya disebabkan oleh akumulasi modal
(fisik), atau dengan kata lain kemajuan teknologi tergantung pada pertumbuhan modal. Kecepatan
pertumbuhan modal tergantung pada tinggi rendahnya tingkat keuntungan, sedangkan tingkat
keuntungan ini akan menurun setelah berlakunya hukum tambahan hasil yang semakin berkurang
(the law of diminishing returns) karena keterbatasan sumberdaya alam.
Berikut ini dijelaskan beberapa teori pembangunan ekonomi dari para ekonom klasik
beraliran kapitalisme sebagai dasar untuk melihat perkembangan teori-teori pembangunan ekonomi.
1. Teori Pembangunan Ekonomi Adam Smith
179
Adam Smith adalah seorang pemikir dan ahli ekonomi berkebangsaan Inggris. Selama
hidupnya (1729-1790), Smith selalu berusaha mencari tahu sejarah perkembangan negara-negara di
Eropa, mengembangkan pemikirannya dan mengabdikan diri untuk kemajuan ilmu ekonomi.
Sebagai seorang ekonom, Smith tidak melupakan akar moralitasnya terutama yang tertuang
dalam The Theory of Moral Sentiments. Karena kegigihannya, Adam Smith tidak disangsikan lagi
sebagai tokoh utama dari aliran ilmu ekonomi3 yang kemudian dikenal sebagai aliran klasik. Disebut
aliran klasik karena konsepsi pemikiran yang ia tulis sebetulnya sudah banyak dibahas dan
dibicarakan oleh pakar-pakar ekonomi jauh sebelumnya. Faham individualisme misalnya, tidak
banyak berbeda dengan faham hedonisme yang dikembangkan oleh Epicurus pada masa Yunani
Kuno. Begitu juga pendapatnya agar pemerintah melakukan campur tangan seminimal mungkin
dalam perekonomian (laissez faire laissez passer), sudah dibicarakan oleh Francis Quesnay
sebelumnya. Oleh karena gagasan-gagasan Smith banyak yang sudah klasik, maka oleh Karl Marx,
sosok yang selalu kontra dengan pemikiran Smith, aliran yang dikembangkan oleh Smith ini disebut
sebagai Mazhab Klasik.
Ia merespons kebijakan perdagangan di Eropa Barat yang saat itu peran sektor perdagangan
menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Akibat dari begitu besarnya peran perdagangan
dalam perekomian, menjadikan kekuasaan terkonsentrasi pada sekelompok perusahaan dagang
raksasa tertentu (misalnya The East India Company). Agar kepentingan mereka terjaga, ditetapkanlah
kebijakan proteksionisme (berupa penetapan tarif tinggi untuk barang impor) yang menyebabkan
kompetisi menjadi sangat terbatas. Hal ini membuat harga barang produksi dalam negeri lebih murah.
Menurut Adam Smith, mestinya perhatian ditujukan pada produksi.
Logikanya sederhana bahwa setiap terjadi peningkatan produksi maka akan disertai dengan
pembagian kerja (division of labor)4 dan munculnya spesialisasi yang selanjutnya terjadi
3 Sebagai satu bidang ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi mulai berkembang sejak Tahun 1776, setelah Adam Smith menerbitkan buku yang berjudul: An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Beberapa pandangan Adam Smith hingga kini masih tetap mendapat perhatian dalam pemikiran ahli-ahli ekonomi, sehingga oleh kalangan masyarakat ekonomi Adam Smith dinobatkan sebagai bapak ilmu ekonomi. Secara umum, subyek ilmu ekonomi dibagi dalam beberapa cara, yang paling terkenal adalah mikroekonomi vs makroekonomi. Selain itu, subyek ilmu ekonomi juga bisa dibagi menjadi positif (deskriptif) vs normatif, mainstream vs heterodox, dan lainnya. Ilmu ekonomi juga dapat difungsikan sebagai ilmu terapan dalam manajemen keluarga, bisnis, dan pemerintah. Teori ekonomi juga dapat digunakan dalam bidang-bidang selain bidang moneter, seperti misalnya penelitian perilaku kriminal, penelitian ilmiah, kematian, politik, kesehatan, pendidikan, keluarga dan lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya ekonomi — seperti yang disebutkan di atas — adalah ilmu yang mempelajari pilihan manusia. Banyak teori yang dipelajari dalam ilmu ekonomi diantaranya adalah teori pasar bebas, teori lingkaran ekonomi, invisble hand, informatic economy, daya tahan ekonomi, merkantilisme, briton woods, dan sebagainya.
4 Pembagian kerja ini merupakan pemikiran awal dari teori pertumbuhan ekonomi Adam Smith. Ia berpandangan bahwa dengan pembagian kerja yang lebih spesifik akan dapat meningkatkan ketrampilan pekerja dan penghematan waktu
179
perbaikan/peningkatan produktivitas, dan setiap ada perbaikan produktivitas maka ada perbaikan
pertumbuhan ekonomi.
Sistem ekonomi akan diatur oleh the invisible hand of market. Smith percaya individu
bertindak mengikuti kepentingan pribadi, apabila suatu produk terlalu mahal harganya maka tidak
ada yang membelinya dan penjual akan mengurangi harga atau menjual sesuatu yang lain. Demikian
halnya pada gaji atau upah, manakala gaji terlalu rendah, pegawai akan mencari pekerjaan yang lain.
Dalam pembangunan ekonomi, pendekatan seperti ini disebut sebagai pendekatan pasar atau yang
sering diistilahkan dengan laissez-faire economics.
Perkembangan ekonomi, menurut Adam Smith dapat terjadi karena adanya spesialisasi atau
pembagian kerja secara lebih spesifik, sehingga produktivitas tenaga kerja dapat meningkat secara
signifikan. Pembagian kerja ini dimulai dari adanya akumulasi modal yang fokus untuk memperluas
pasar sebagai penampung hasil produksi. Untuk memperluas pasar, perdagangan internasional
merupakan salah satu cara yang efektif, karena melalui perdagangan internasional itulah akan terbuka
lebar jejaring bisnis yang akan menambah luasnya pasar. Dengan demikian, perdagangan dapat
mencakup pasar dalam negeri (pasar domestik) dan pasar luar negeri (pasar ekspor).
Aktivitas ekonomi yang terus meningkat seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat yang
makin beragam, menuntut masyarakat untuk melakukan semua aktivitas ekonominya secara kolektif
dengan pembagian kerja sesuai spesialisasinya. Dalam pembangunan ekonomi, modal memegang
peranan penting. Akumulasi modal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Modal tersebut diperoleh dari tabungan yang dilakukan masyarakat. Adanya akumulasi
modal yang dihasilkan dari tabungan, maka pelaku ekonomi dapat menginvestasikannya ke sektor-
sektor produktif untuk meningkatkan penerimaannya.
Perlu dicatat bahwa akumulasi modal dan investasi di satu sisi sangat bergantung pada
perilaku menabung masyarakat, sedangkan di sisi lain kemampuan menabung masyarakat ditentukan
oleh kemampuan menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya yang ada. Artinya, bagi warga
masyarakat yang mampu menabung pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang menguasai
dan mengusahakan sumber-sumber ekonomi, dan mereka itulah yang selanjutnya disebut para
pengusaha dan tuan tanah. Sedangkan kelompok masyarakat yang lainnya tergolong sebagai pekerja.
Dalam teori pembangunan ekonomi Adam Smith, tahapan perkembangan ekonomi dibagi
menjadi lima tahap secara berurutan, dimulai dari: 1) tahap perburuan; 2) berternak; 3) bercocok
dalam memproduksi barang. Dengan ditemukan dan digunakannya mesin-mesin dalam proses produksi barang tersebut akan sangat menghemat tenaga dan pada gilirannya akan dapat meningkatkan daya produktivitas tenaga kerja.
179
tanam; 4) perdagangan; dan 5) tahap perindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam konteks ini, Smith menggagas
pentingnya masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat bersahabat dan masyarakat pasar (modern).
Masyarakat bersahabat terbentuk atas dasar simpati dimana setiap anggota masyarakat dapat
saling berbagi perasaan (fellow sharing) satu sama lain. Fellow sharing ini bukan perasaan
kolektif, tetapi perasaan yang dimiliki oleh setiap individu untuk membagi perasaannya kepada
orang lain. Sedangkan masyarakat pasar atau modern yaitu masyarakat yang lebih rasional
ketimbang masyarakat bersahabat, masyarakat ini terbentuk karena kondisi pasar dan pembagian
kerja yang mendasarkan pada spesialisasi atas dasar pengetahuan teknis dan ketrampilan yang
dibutuhkan dalam bekerja.
Menurut Adam Smith, pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses akan terjadi secara
simultan dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas ekonomi yang lain. Meningkatnya kinerja pada
suatu sektor ekonomi misalnya, akan meningkatkan daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong
kemajuan teknologi, meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar. Proses ini secara berantai
akan mendorong pertumbuhan ekonomi semakin pesat.
Proses pertumbuhan ekonomi sebagai suatu fungsi tujuan pada akhirnya harus tunduk
kepada (subject to) fungsi kendala yaitu keterbatasan sumberdaya ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
akan mulai mengalami perlambatan jika daya dukung alam tidak mampu lagi mengimbangi aktivitas
ekonomi . Keterbatasan sumberdaya merupakan faktor penghambat pertumbuhan ekonomi, bahkan
dalam perkembangannya dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Penurunan pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung manakala matarantai tabungan,
akumulasi modal, dan investasi tetap terjalin dan berkaitan erat satu sama lain. Jika investasi rendah,
maka kemampuan menabung akan turun, sehingga akumulasi modal akan mengalami penurunan
pula. Jika hal itu terjadi berarti laju investasi juga akan rendah dan akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Dan akhirnya, pertumbuhan ekonomi akan berada pada kondisi stasioner.
Semua tahap pembangunan di atas tidak lepas dari kondisi pasar, yaitu bahwa pasar yang
dihadapi adalah pasar persaingan sempurna. Dalam literatur ekonomi diketahui bahwa pasar
dinyatakan dalam kondisi persaingan sempurna jika memenuhi beberapa asumsi:1) jumlah penjual
dan pembeli di pasar sangat banyak; 2) produk yang diperjualbelikan bersifat homogen; 3) tidak ada
kolusi antara penjual maupun pembeli; 4) semua sumberdaya memiliki mobilitas sempurna; dan 5)
baik pembeli maupun penjual memiliki informasi sempurna mengenai kondisi pasar.
179
Penetapan asumsi-asumsi tersebut sangat tidak realistis, dan hal ini merupakan salah satu
kelemahan dari teori pembangunan ekonomi Adam Smith. Karena dalam kenyataannya, pasar
persaingan sempurna itu tidak akan pernah ada di dunia ini, dan suatu hal yang mustahil bagi
perekonomian untuk berada pada kondisi di mana semua asumsi pasar persaingan sempurna berlaku.
Kelemahan lain dari teori pembangunan ekonomi Adam Smith adalah pembagian kelompok
masyarakat yang secara eksplisit dapat menabung dan tidak dapat menabung hanya didasarkan
pada jenis usaha yang digelutinya. Adalah sangat tidak realistis jika para pekerja diasumsikan tidak
memiliki kemampuan menabung. Adam Smith sama sekali mengabaikan peran perbankan sebagai
badan penghimpun dan penyalur dana masyarakat, dan juga mengabaikan adanya kecenderungan
orang untuk menabung meski pendapatannya relatif sedikit. Celakanya, Adam Smith
mengasumsikan hanya para tuan tanah dan para pengusaha yang mampu menabung, untuk kemudian
modal tersebut diinvestasikan ke sektor riil. Dalam hal ini, Adam Smith secara implisit menyatakan
bahwa gaji pekerja demikian kecilnya, sementara di sisi lain laba pengusaha demikian besarnya
sehingga mereka mampu mengakumulasikan modalnya. Artinya, dalam sistem ekonomi kapitalis
posisi tawar pekerja terhadap pengusaha relatif kecil. Jika hal ini terjadi maka konsekuensinya adalah
terjadi ekploitasi terhadap para pekerja oleh para pengusaha. Asumsi ini menunjukkan kekejaman
teori Adam Smith dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Suatu hal yang menyakitkan bahwa dalam
suatu sistem yang diciptakan manusia terjadi eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Letak
ketidakadilan sistem tersebut adalah pada diskriminasi kesempatan untuk menabung, yang berkaitan
erat dengan diskriminasi kemampuan penguasaan faktor produksi dan konsumsi sumberdaya.
Teori pembangunan ekonomi Adam Smith tidak dapat dilepaskan dari evolusi pentahapan
proses pembangunan yang terjadi secara berjenjang. Demikian halnya dengan tingkat pertumbuhan,
dimulai dari suatu titik tertentu hingga secara perlahan mulai meningkat, laju pertumbuhan akan
terjadi sampai titik optimal tertentu dan akan menurun hingga mencapai titik nol. Pada titik inilah
selanjutnya dinyatakan sebagai batas akhir dari kapitalisme, dan kemungkinan terjadinya gelombang
konjungtur dalam perekonomian sangat kecil.
Berdasarkan fakta di lapangan dan kecenderungan umum yang terjadi, sekali pertumbuhan itu
dapat dimulai maka ia akan bersifat kumulatif, artinya bila ada pasar dan ada akumulasi modal, maka
selanjutnya pembagian kerja akan terjadi dan akan menaikkan tingkat produktivitas tenaga kerja.
179
Namun perlu dipahami bahwa kecenderungan perkembangan ekonomi itu tidak bersifat otomatis, ia
berproses dalam poros kemajuan yang disangga kuat oleh kepemilikan pengetahuan dan etos kerja
yang tinggi. Pada poros kemajuan itulah kehadiran dan peran modal nir fisik akan sangat dibutuhkan,
dan paradigma baru pembangunan ekonomi harus dapat dirumuskan dan diimplementasikan.
2. Teori Pembangunan Ekonomi Thomas Robert Malthus
Thomas Robert Malthus5 adalah salah seorang pengikut utama mazhab pembangunan
ekonomi klasik. Menurut Malthus, pertumbuhan penduduk terjadi manakala pendapatan melebihi
tingkat subsisten. Keterkaitan antara pendapatan dan pertumbuhan penduduk dijelaskan dengan
logika: jika rata-rata pendapatan per orang naik maka kebutuhan akan pangan dan kebutuhan lainnya
harus tersedia dalam jumlah yang lebih banyak. Jika pendapatan dan pasokan pangan melebihi apa
yang disyaratkan untuk kegiatan subsisten maka tambahan anak akan tetap ada. Dalam formula
Malthus, pertambahan penduduk mengikuti geometric progression, yakni jumlah penduduk tumbuh
menurut angka 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, 512, 1.024, dan seterusnya. Bagi Malthus, prinsip ini
terjadi pada setiap generasi, ketika upah meningkat di atas tingkat subsisten merupakan faktor utama
untuk memahami mengapa kelas yang lebih miskin tetap miskin.
Keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kemiskinan dijelaskan dengan logika:
batas tertinggi ekspansi penduduk adalah ketika lahan sudah tidak mampu lagi untuk menghasilkan
pangan dalam jumlah yang cukup, dan tentunya produksi pangan tidak dapat dijaga sesuai dengan
ledakan penduduk. Ketika lahan semakin sering ditanam maka produktivitas lahan akan menurun,
sehingga pertumbuhan output total akan lambat. Dalam hal ini Malthus mempercayai bahwa output
pertanian hanya dapat meningkat dalam arithmetic progression, yakni menurut angka 1, 2, 3, 4, 5, 6,
7, 8, 9, 10 dan seterusnya. Cepat atau lambat, populasi yang kian meningkat akan diperhadapkan
dengan lebih lambatnya pertumbuhan produksi pangan. Bukan hanya tidak meningkat, bahkan lebih
dari itu, pendapatan per orang akan jatuh di bawah tingkat subsisten. Manakala hal ini terjadi maka
akan menyebabkan kelaparan, bahkan penurunan populasi. Titik keseimbangan (equilibrium) akan
5 Thomas Robert Malthus selama hidupnya (1766-1834) banyak menghabiskan waktu untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya mengenai ekonomi. Pemikiran-pemikirannya tentang ekonomi politik dapat diikuti dari buku: Principles of Political Economy (1820) dan Definitions of Political Economy (1827). Selain itu, buku-buku lain yang ditulis Malthus cukup banyak, antara lain : Essay on The Principle of Population As It Affects The Future Improvement of Society (1818); dan An Inquiry Into The Nature and Progress of Rent (1815). Diantara buku-buku yang disebutkan di atas, agaknya buku Principles of Population yang dikenal paling luas.
179
terjaga manakala pertumbuhan populasi berjalan konsisten dengan peningkatan produksi pangan.
Malthus tidak menyadari kalau angka pertumbuhan populasi tergantung pada perbedaan antara angka
kelahiran dan kematian. Setiap faktor yang mengurangi angka kelahiran dan/atau meningkatkan
angka kematian akan cenderung memperlambat angka pertumbuhan penduduk.
Menurut Malthus, kenaikan jumlah penduduk yang terus menerus merupakan unsur penting
yang diperlukan untuk meningkatkan tambahan permintaan, akan tetapi kenaikan jumlah penduduk
saja tanpa dibarengi dengan peningkatan mutunya dan kemajuan faktor-faktor atau unsur-unsur
perkembangan yang lain sudah barang tentu tidak akan menaikan pendapatan dan tidak akan
menaikkan permintaan. Perkembangan ekonomi itu akan sangat ditentukan oleh adanya kenaikan
jumlah modal untuk investasi secara terus menerus. Sebaliknya, manakala jumlah penduduk
bertambah tanpa kendali maka akan menciptakan bencana kelaparan dan kematian.
Kondisi dan perkembangan demografi yang terus meningkat secara kuantitatif itulah yang
dikhawatirkan oleh para pemikir ekonomi akan menjadi kendala utama dalam menciptakan dan
mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Selain pengendalian jumlah penduduk yang
semakin mendesak untuk diprioritaskan, maka persoalan rendahnya mutu modal manusia juga harus
disegerakan upaya penangannya.
Penanganan masalah rendahnya mutu modal manusia dalam konteks upaya mempertahankan
dan meningkatkan kinerja pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, maka upaya memperkuat
kepemilikan modal nir-fisik (seperti menguasai pengetahuan, mengembangkan kreativitas dan
mendorong inovasi) menjadi sangat diperlukan. Karena, kepemilikan modal nir-fisik itu akan
mampu mensubtitusi modal fisik yang makin terbatas adanya.
3. Teori Pembangunan Ekonomi David Ricardo
179
David Ricardo6 adalah salah seorang pendukung utama mazhab ekonomi klasik. Ia sepaham
dengan pandangan Smith bahwa tenaga kerja memegang peranan penting dalam perekonomian.
Pandangan dari Smith ini kemudian oleh Ricardo dikembangkan menjadi teori harga-harga relatif
berdasarkan biaya produksi, dimana biaya tenaga kerja menjadi unsur utama, disamping biaya modal.
Dalam analisis Ricardo, modal mendapat perhatian yang cukup besar sebab modal tidak
hanya mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, akan tetapi juga berperan penting dalam
mempercepat proses produksi sehingga hasil produksi dapat dengan cepat dinikmati atau dikonsumsi.
Kalaupun ada perbedaan antara Smith dan Ricardo, hanya dalam hal fokus dan penekanan. Smith
lebih menekankan masalah kemakmuran bangsa dan pertumbuhan, sedangkan Ricardo lebih
memperhatikan masalah pemerataan pendapatan di antara berbagai golongan dalam masyarakat.
David Ricardo juga termasuk pendukung perdagangan bebas dan pengembang teori
keunggulan komparatif . Pengaruh ajaran Ricardo sampai ke Jerman. Mereka yang percaya bahwa
perdagangan itu harus dibebaskan tanpa campur tangan dari pihak manapun, baik dari pemerintah
maupun swasta. Menurut teori ini, setiap negara fokus pada persoalan produksi sehingga spesialisasi
sangat diperlukan agar produksi menjadi lebih efisien. Selanjutnya, kemampuan memproduksi
meningkat dan alokasi summberdaya dapat dilakukan secara lebih efektif. Melalui Principles of
Political Economy and Taxation (1817) keraguan terhadap kemungkinan terjaganya pertumbuhan
ekonomi dapat direduksi, namun pertumbuhan ekonomi tetap terbatasi oleh kelangkaan lahan.
Dalam masyarakat ekonomi terdapat tiga golongan masyarakat, yaitu 1) masyarakat pemilik
modal; 2) masyarakat tuan tanah; dan 3) masyarakat buruh. Pada golongan masyarakat pemilik
modal, terdiri dari mereka yang memimpin produksi dan memegang peranan penting dalam
perekonomian, karena pada golongan masyarakat inilah yang selalu mencari keuntungan dan
menginvestasikan kembali pendapatannya dalam bentuk akumulasi modal. Aktivitas ini pada
6 Dalam riwayat hidupnya (1772-1823), David Ricardo tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi yang memadai. Namun, karena pengalaman menekuni profesi di pasar modal yang digelutinya sejak berusia 14 tahun, membuatnya paham tentang dunia ekonomi. James Mill, ayah dari John Stuat Mill, adalah sosok yang paling berjasa mendorong Ricardo untuk menulis tentang masalah-masalah ekonomi. Dorongan Mill tersebut diwujudkan Ricardo setelah ia memutuskan pensiun dini dari bisnis di pasar modal. Ketika itu Ricardo baru berusia 42 tahun, setelah pensiun kemudian ia memulai karirnya sebagai ekonom. Dengan bermodalkan pengalaman bekerja di pasar modal, tidak heran jika buku-bukunya banyak membahas tentang keuangan dan perbankan, seperti The High Price of Billion (1810) dan A Proof of the Deppreciation of the Bank Notes (1811). Tahun 1815, Ricardo menerbitkan Essay On the Influence of The Low Price of Corn on The Profit of Stock. Buku ini pada Tahun 1817 diubah judulnya menjadi The Principles of Political Economy and Taxation. Dalam buku The Principles of Political Economy and Taxation (1817) Ricardo mengemukakan beberapa teori, antara lain teori sewa tanah, teori nilai kerja, teori upah alami, teori uang dan satu lagi yang paling terkenal adalah teori keuntungan komparatif dari perdagangan internasionalBuku ini ternyata hampir setengah abad lamanya mendominasi teori-teori ekonomi klasik.
179
gilirannya akan dapat mendorong naiknya kapasitas produksi dan pendapatan nasional. Sedangkan
pada golongan masyarakat buruh, terdiri dari mereka yang hidupnya selalu bergantung pada
golongan masyarakat pemilik modal. Kelompok masyarakat ini merupakan yang terbesar dalam
struktur masyarakat. Sementara, pada golongan masyarakat tuan tanah adalah mereka yang hanya
memikirkan sewa atas areal tanahnya yang disewakan kepada kelompok pemilik modal.
Selanjutnya, manakala jumlah penduduk terus bertambah dan akumulasi modal terus menerus
terjadi, maka tanah yang subur menjadi kurang jumlahnya atau semakin terbatas. Kondisi inilah yang
sedang terjadi di Indonesia, dimana keterbatasan faktor produksi tanah semakin tak terhindarkan,
kapasitas memproduksi hasil-hasil pertanian sebagai pendukung utama kegiatan produksi manufaktur
merosot tajam, dan keberlanjutan industri manufaktur yang berbasis hasil-hasil pertanian menjadi
semakin rentan. Manakala kondisi tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang lama pada
perekonomian maka kinerja dan keberlanjutan pembangunan ekonomi menjadi sangat rentan.
Dalam situasi demikian, maka untuk menjaga keberlanjutan pembangunan ekonomi perlu
memperkuat kepemilikan pengetahuan, mengembangkan kreativitas dan mendorong inovasi agar
masalah keterbatasan tadi dapat dikelola dengan baik. Dan disanalah seninya mengelola keterbatasan
itu dan disana pulalah peran modal nir fisik menjadi sangat penting dan dibutuhkan kehadirannya.
4. Teori Pembangunan Ekonomi Jean Baptiste Say
Jean Baptiste Say7 adalah seorang tokoh pemikir ekonomi aliran klasik yang pertama kali
berbicara tentang pentingnya entrepreneur dalam sebuah perekonomian. Selain itu, Ia juga orang
pertama yang berjasa mengklasifikasikan faktor-faktor produksi menjadi tiga bagian, yaitu tanah,
tenaga kerja, dan modal.
Kontribusi pemikiran ekonomi yang paling besar diberikan oleh Say dalam perkembangan
teori pembangunan ekonomi klasik adalah pandangannya bahwa setiap penawaran akan menciptakan
permintaannya sendiri (Supply Creates Its Own Demand), yang selanjutnya disebut sebagai Hukum
Say (Say’s Law). Hukum ini mengasumsikan bahwa nilai produksi selalu sama dengan pendapatan.
Tiap produksi akan menciptakan pendapatan, yang besarnya persis sama dengan nilai produksi tadi.
Dalam kondisi keseimbangan produksi cenderung menciptakan permintaannya sendiri. Peningkatan
7 Jean Baptiste Say adalah sosok pemikir ekonomi yang termasuk dalam aliran klasik. Sosok yang satu ini berkebangsaan Perancis dan berasal dari kalangan pengusaha, bukan dari kalangan akademis. Ia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Smith. Selama hidupnya (1767-1832), sebagai pendukung yang loyal Jean Baptiste Say sangat berjasa dalam menyusun dan melakukan kodifikasi terhadap pemikiran-pemikiran Smith secara sistematis. Beragam karya-karyanya terangkum secara runut dalam bukunya yang berjudul Trade D’economie Politique (terbit 1903). Pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Say sangat membantu dalam memahami pemikiran-pemikiran Smith sebagaimana tertuang dalam buku The Wealth Of Nations, yang bahasanya relatif sulit dicerna oleh orang kebanyakan.
179
produksi akan selalu diiringi oleh peningkatan pendapatan, dan pada gilirannya akan disertai oleh
peningkatan permintaan. Dalam pasar persaingan sempurna, sebuah perekonomian tidak akan pernah
terjadi kelebihan penawaran, kalaupun terjadi sifatnya hanya sementara. Melalui mekanisme pasar
yang dikendalikan oleh tangan-tangan tak kentara (invisible hand) akan mengatur dirinya kembali
pada keseimbangan. Misalnya, ketika penawaran terlalu besar dibanding permintaan, maka stock
barang akan naik, dan harga-harga di pasar pun akan turun. Turunnya harga ini mendorong produsen
untuk mengurangi produksi, sehingga pada gilirannya jumlah barang yang ditawarkan kembali sama
dengan jumlah barang yang diminta.
Begitulah bekerjanya Hukum Say dalam perekonomian. Implementasi dari Hukum Say
sebagai pedoman dasar dalam kebijakan-kebijakan ekonomi berlangsung hampir seratus tahun
lamanya. Keberlakuan hukum ini kemudian dikritik habis-habisan oleh kelompok penentangnya yang
dianggap sebagai biang keladi terjadinya depresi besar pada tahun 1930-an.
Menurut J. B. Say, perkembangan ekonomi itu akan terjadi sesuai dengan keberlakuan
hukum pasar, Supply Creates Its Own Demand, yang berarti setiap terjadi kenaikan jumlah produksi
maka secara otomatis akan diikuti oleh kenaikan permintaannya, karena pada hakekatnya kebutuhan
manusia tidak terbatas.
Dalam dunia ekonomi yang makin maju dan modern, pandangan J. B. Say tersebut semakin
diragukan. Hal ini cukup beralasan karena faktor permintaan dan variasinya seperti meningkatnya
interaksi, integrasi, dan regionalisasi ekonomi di satu sisi, dan meningkatnya kesadaran masyarakat
(internasional) terhadap masalah-masalah di luar aspek perdagangan yang dikaitkan dengan
perdagangan internsional suatu negara seperti HAM, tuntutan akan mutu barang dan jasa berstandar
internasional, termasuk keamanan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan (sanitary dan
phytosanitary), meningkatnya aspirasi dan meluasnya pilihan-pilihan akan produk barang dan jasa
yang makin beragam dan kompleks di sisi yang lain, telah menjadikan tantangan dan hambatan yang
dihadapi dunia ekonomi semakin berat dan kompleks.
Dalam kondisi yang demikian itu, kinerja pembangunan ekonomi dan keberlanjutannya
menjadi sangat rentan. Kolaborasi antar pelaku ekonomi untuk memperkuat kepemilikan
pengetahuan dalam rangka mendorong proses inovasi sangat dianjurkan, bahkan diharuskan.
Disanalah peran modal nir fisik menjadi sangat penting dan menentukan serta dibutuhkan
kehadirannya untuk merangsang munculnya ide-ide cerdas yang inovatif.
5. Teori Pembangunan Ekonomi John Stuart Mill
179
Pendukung ajaran klasik lainnya adalah John Stuart Mill (atau Mill Junior/Jr) 8. Tokoh yang
satu ini sering disebut sebagai pengembang ilmu ekonomi politik. Sebelum ilmu ekonomi
berkembang seperti saat ini, sesungguhnya ilmu ekonomi berinduk pada ilmu ekonomi politik
(political economy), sementara ilmu ekonomi politik itu sendiri merupakan bagian dari ilmu filsafat.
Dalam berbagai pernyataannya, Ia dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Karya-karya orisinilnya
dinyatakan bukan dari pemikirannya sendiri. Padahal, konsep return to scale adalah orisinil dari
pemikirannya. Mill Jr. juga yang pertama kali mengemukakan ide tentang konsep elastisitas
permintaan yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Marshall. Dalam bukunya yang berjudul
Principles of Political Economy, Mill Jr mengangkat berbagai isu yang menjadi pijakan penting
bagi perkembangan teori pembangunan ekonomi, seperti teori nilai dan distribusi, pertukaran,
produksi, tenaga kerja, peran negara, pajak, utang negara, laizzes faire, dan sosialisme. Namun
sayangnya, pendekatan ekonomi politik ini semakin jarang dipergunakan dan digantikan dengan
pendekatan ilmu ekonomi murni sebagai alat analisis untuk mengenali gejala dan persoalan-persoalan
kemasyarakatan.
Pembeda dari kedua pendekatan tersebut terletak pada perspektifnya terhadap struktur
kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Pada pendekatan ilmu ekonomi politik meyakini bahwa
struktur kekuasaan akan mempengaruhi pencapaian ekonomi, karena dalam pendekatan ini berusaha
mengintegrasikan seluruh penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek dan proses maupun
kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat atau yang diintroduksi oleh
pemerintah. Perlu juga dipahami bahwa pendekatan ini menempatkan bidang politik sebagai
subordinat terhadap bidang ekonomi. Dengan demikian, instrumen-instrumen ekonomi seperti
mekanisme pasar, harga, dan investasi dianalisis dengan mempergunakan setting sistem politik ketika
kebijakan atau peristiwa ekonomi itu terjadi. Jadi, pendekatan ini melihat ekonomi sebagai cara untuk
8 Selama hidupnya (1806-1873), John Stuart Mill (atau Mill Junior/Jr) menghabiskan waktunya melakukan petualangan intelektual, mengkonstruksikan berbagai ide dan hasil petualangan intelektualnya ke dalam banyak buku. Tidak berlebihan jika di tangan Mill Jr. ajaran klasik mencapai puncak ketenarannya. Mill Jr. belajar ilmu ekonomi dari ayahnya sendiri, James MilL. Oleh ayahnya, ia dididik dengan disiplin tinggi. Ia mulai belajar bahasa latin pada saat berusia tiga tahun. Pada usia 12 tahun ia sudah mahir menulis tentang sejarah. Pada usia 13 tahun ia sudah bisa mengoreksi buku Elements of Political Economy yang ditulis oleh ayahnya sendiri. Pada usia 16 tahun ia telah mengorganisir sebuah perkumpulan yang disebut Utilitarian Society. Ia memiliki talenta menulis yang sangat luar biasa. Reputasinya diakui ketika ia menerbitkan buku pertamanya: A System of Logic Tahun 1843. Ia tak pernah berhenti berkarya. Buku keduanya berjudul On the Liberty, terbit Tahun 1859. Dua bukunya yang lain, yang dikenal lebih luas adalah: 1) Essay on Some Unsettled Questions of Political Economy. Buku ini terbit pada Tahun 1844, meski sebetulnya sudah siap terbit pada Tahun 1829, sewaktu ia berusia 23 tahun; dan 2) Principles of Political Economy With Some of Their Applications to Social Philosophy (1848). Bukunya yang terakhir berjudul Principles of Political Economy. Kehadiran buku ini dimaksudkan untuk menyarikan teori-teori ekonomi pada masanya. Namun dalam kenyataannya, buku itu populer sebagai versi modern dari The Wealth of Nations dari Adam Smith, sebab buku Mill inilah yang kemudian menjadi pegangan utama mahasiswa yang ingin belajar ilmu ekonomi hingga abad ke–19. Buku ini dianggap sebagai apogee dari mazhab klasik, mulai dari pandangan Adam Smith, Thomas Robert Malthus, David Ricardo dan Jean Baptiste Say. Terakhir, meski di akhir hayatnya Mill Jr menyebut dirinya sebagai sosialis, sebuah pengakuan tulus dari hati nurani tetapi berbeda dengan pengakuan banyak orang yang mengaguminya, bahwa Mill Jr. selalu dikelompokkan ke dalam aliran klasik.
179
melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut. Pemahaman
seperti ini penting untuk mengakhiri kesalahan dalam menafsir makna pendekatan tersebut bahwa
pendekatan ekonomi politik berupaya mencampur aduk analisis ekonomi dan politik untuk mengkaji
suatu persoalan. Padahal, antara analisis ekonomi dan politik tidak dapat dicampur karena keduanya
memiliki landasan dan logika yang berbeda. Sedangkan pada pendekatan ekonomi murni
menganggap struktur kekuasaan itu dalam masyarakat bersifat given. Sungguhpun demikian, antara
ekonomi dan politik dapat disandingkan dengan pertimbangan keduanya memiliki proses yang sama.
Kedua pendekatan ini memiliki perhatian yang sama terhadap isu-isu seperti alokasi sumberdaya,
organisasi dan koordinasi kegiatan manusia, pengelolaan konflik, dan pemenuhan kebutuhan manusia
(Clark, 1998). Berdasarkan pemahaman ini, pendekatan ekonomi politik mempertemukan bidang
ekonomi dan bidang politik dalam hal alokasi sumberdaya ekonomi dan politik untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Maka dari itu, setiap implementasi kebijakan ekonomi politik selalu
mempertimbangkan struktur kekuasaan dan sosial yang hidup dalam masyarakat, khususnya terhadap
masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan.
Dari uraian di atas, sesungguhnya pendekatan ekonomi politik semakin relevan untuk dipakai
karena struktur ekonomi tidak semata-mata ditentukan secara teknis. Struktur ekonomi terdiri atas
dua bagian yang saling terkait: pertama, kekuatan produksi material pabrik dan perlengkapannya
(modal), sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Teknologi menentukan hubungan
produksi yang sifatnya teknis sehingga pemaanfaatan bahan mentah, mesin, dan tenaga kerja dapat
dialokasikan secara proporsional dengan biaya yang minimum; kedua, relasi produksi –manusia,
seperti hubungan antara para pekerja dan pemilik modal atau antara para pekerja dan manajer.
Begitulah struktur ekonomi tersusun dari elemen material-teknis dan hubungan manusia.
Dalam model kebijakan ekonomi, setidaknya dikenal dua perspektif yang digunakan untuk
menjelaskan proses pengambilan keputusan: pertama, pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi
kesejahteraan konvensional. Pendekatan ini berasumsi bahwa pemerintah/negara bersifat otonom dan
eksogen terhadap sistem ekonomi sehingga setiap kebijakan yang diciptakan selalu berorientasi
kepada kepentingan publik. Pendeknya, pendekatan ini menganggap pemerintah/negara sebagai aktor
yang memiliki nilai-nilai kebijakan untuk memakmurkan masyarakat; kedua, pendekatan yang
didasarkan pada asumsi ekonomi politik atau yang sering disebut dengan ekonomi politik baru.
Pendekatan ini menolak ide pendekatan pertama yang menempatkan pemerintah/negara sebagai aktor
yang paling tahu sehingga dapat mengatasi kegagalan pasar. Sebaliknya, pendekatan ini justeru
berargumentasi bahwa negara sendiri sangat berpotensi untuk mengalami kegagalan.
179
Pendekatan ekonomi politik baru memfokuskan kepada alokasi sumberdaya publik dalam
pasar politik dan menekankan kepada perilaku mementingkan diri sendiri dari politisi, pemilih,
kelompok penekan, dan birokrat. Perilaku dari agen-agen tersebut diasumsikan rasional dan berusaha
untuk memaksimalkan keuntungan pribadi melalui lobi, kesejahteraan pemilih, dan dukungan politik.
Dalam posisi itu, tidak dibenarkan membiarkan pemerintah/negara menguasai seluruh perangkat
kebijakan karena hal itu berpotensi menimbulkan misalokasi sumberdaya ekonomi dan politik.
Dalam pendekatan ekonomi politik, setidaknya terdapat lima hal yang memperkuat dalam
aplikasinya: pertama, penggunaan kerangka kerja ekonomi politik berupaya untuk menerima
eksistensi dan validitas dari perbedaan budaya politik, baik formal maupun informal; kedua, analisis
kebijakan akan memperkuat efektivitas sebuah rekomendasi karena mencegah pemikiran yang
deterministik; ketiga, analisis kebijakan mencegah pengambilan kesimpulan terhadap beberapa
alternatif tidakan berdasarkan kepada perspektif waktu yang sempit; keempat, analisis kebijakan yang
berfokus ke negara-negara berkembang tidak dapat mengadopsi secara penuh orientasi teoritis statis;
dan kelima, analisis kebijakan lebih mampu menjelaskan interakasi manusia.
Selanjutnya, Mill Jr memberikan fokus pada kekayaan (wealth) yang didefinisikan sebagai
nilai tukar obyek atau yang sekarang disebut dengan harga. Ia pun tidak terlalu kaku mengenai
intervensi pemerintah. Jika pakar-pakar sebelumnya menganggap tabu campur tangan pemerintah,
oleh Mill Jr. sedikit diperlonggar. Bahkan ia memperbolehkan campur tangan pemerintah berupa
regulasi yang mampu mendorong produktivitas, peningkatan efisiensi dan penciptaan iklim yang
lebih baik sehingga setiap aktivitas ekonomi menjadi lebih produktif dan bernilai tambah lebih besar.
Ringkasnya, pendekatan ekonomi politik dipandang lebih mampu menangkap kondisi riil
yang hidup di masyarakat, khususnya dinamika sosial politik antarkelompok masyarakat. Bahkan
dengan pendekatan ini pula dapat dimengerti mengapa satu kelompok masyarakat menolak suatu
kebijakan, sementara kelompok masyarakat yang lain justeru mendukungnya.
D. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI: mazhab klasik sosialisme
Sejak awal kemunculannya, mazhab klasik kapitalisme telah mengundang berbagai reaksi.
Reaksi itu tidak hanya dalam bentuk perdebatan akademik, melainkan juga dalam bentuk gerakan
politik yang mengarah ke tindakan anarkis.
Khususnya di Eropa, kemunculan kelompok masyarakat baru dan kaum borjuis dengan
semangat kapitalismenya, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi dan sosial
179
masyarakat. Kaum borjuis ini kemudian mulai menguasai dan menjadikan negara sebagai kekuatan
dan alat pemaksa untuk mengatur organisasi ekonomi-politik dan kemasyarakatan guna memenuhi
berbagai kepentingan mereka. Tindakan yang dilakukan oleh kaum borjuis itu tentu tidak semua
orang bisa menerimanya. Mereka yang menolak tindakan kaum borjuis, kemudian melakukan aksi
balas dendam dengan tindakan anarkis. Di banyak pabrik para pekerja mengamuk dan melakukan
pengrusakan terhadap pabrik dan kelengkapannya. Mereka melampiaskan amarahnya karena ditindas
kaum borjuis yang hanya mementingkan diri mereka, dan tidak peduli dengan nasib kaum proletar.
William Blake9 adalah salah seorang pendukung mazhab klasik sosialisme. Dalam bukunya
yang berjudul England Green and Pleasant Land, memuat kecaman yang sangat pedas tentang
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penerapan ajaran klasik kapitalisme bagi masyarakat Inggris.
Blake juga mengisahkan kondisi masa lalu Inggris yang indah dan damai, dimana setiap warga
negara bisa hidup harmonis di daerah-daerah pertanian yang hijau dan subur. Kemudian kondisi
berubah seratus delapan puluh derajad setelah diterapkannya ajaran kapitalisme oleh pemikir-pemikir
klasik, dimana ajaran kapitalisme itu telah membawa masyarakat pada kondisi kehidupan yang sarat
dengan persaingan tidak sehat, bahkan saling mematikan.
1. Teori Pembangunan Ekonomi Karl Heindrich Marx
Pada uraian sebelumnya telah disinggung bahwa Mill Jr. sungguhpun dalam berbagai
bukunya mengenai perkembangan pemikiran ekonomi selalu dimasukkan ke dalam mazhab klasik
kapitalisme, tetapi pada akhir hayatnya ia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang sosialis.
Mengapa dia menyebut dirinya sebagai sosialis? Ternyata yang dimaksudkan sebagai sosialisme oleh
Mill Jr. ialah kegiatan menolong orang-orang yang tak beruntung dan tertindas, dengan sesedikit
mungkin bergantung dari bantuan pemerintah.
Sosialisme merupakan bentuk perekonomian dimana pemerintah sebagai pihak yang
dipercayai oleh seluruh warga masyarakat dalam menguasai (menasionalisasi) industri-industri besar
seperti pertambangan, jalan-jalan dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produksi lain yang
menyangkut hajad hidup orang banyak. Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme melibatkan
pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk didalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara, dan
menghilangkan milik swasta (Brinton, 1981).
9 Semasa hidupnya (1775-1827), William Blake memberikan perhatian yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat setelah diimplementasikannya ajaran klasik kapitalisme dalam perekonomian di Inggris. Ia mengkonstruksikan apa yang dilihat, dirasakan dan diharapkan oleh masyarakat kebanyakan dalam bukunya yang berjudul England Green and Pleasant Land .
179
Dari uraian di atas, jelas bahwa pada awalnya sosialisme dimaksudkan untuk menunjukkan
sistem-sistem pemilikan dan pemanfaatan faktor-faktor produksi (selain tenaga kerja) secara kolektif
(Whittaker, 1960). Dengan definisi ini maka sosialisme bisa mencakup asosiasi-asosiasi kooperatif
maupun pemilikan dan pengoperasian oleh pemerintah. Dengan definisi ini, negara-negara seperti
Uni Soviet (sekarang sudah menjadi kenangan sejarah) dan juga Inggris yang dikuasai oleh partai
buruh dapat dimasukkan ke dalam sistem sosialis.
Karl Heindrich Marx atau yang populer dengan panggilan Karl Marx10, adalah salah seorang
pakar sosialis yang dianggap paling berpengaruh. Argumentasi teoritis yang dikemukakan Karl Marx
dalam berbagai tulisannya memang sangat dalam dan luas. Teori-teorinya tidak hanya didasarkan atas
pandangan ekonomi semata, melainkan juga melibatkan moral, etika, sosial, politik, sejarah, falsafah
dan sebagainya. Yang menonjol dari teori Karl Marx adalah hampir seluruh pandangannya dikemas
dalam nuansa konflik. Menurutnya, proses pembangunan ekonomi melalui konflik merupakan proses
dialektika. Proses ini berbasis pada pengelompokan masyarakat atas kaum pekerja dan kapitalis.
Bagi Karl Marx, pangkal dari smua perubahan adalah karena eksploitasi dari para kapitalis terhadap
kaum buruh. Eksploitasi terhadap buruh tersebut telah memungkinkan terjadinya akumulasi kapital di
pihak pemilik modal, akan tetapi menyebabkan pemiskinan di kalangan buruh.
Bagi Karl Marx, dialektika sejarah merupakan keniscayaan, sesuatu yang pasti akan terjadi.
Yang jelas, manakala kaum proletar sudah tidak tahan lagi, mereka akan melancarkan revolusi. Agar
revolusi berjalan sukses, Karl Marx menganjurkan kepada kaum komunis untuk mendukung setiap
gerakan melawan tatanan sosial politik sistem kapitalis. Ajaran Karl Marx yang penuh dengan konflik
ini boleh jadi sangat dipengaruhi oleh kehidupan pribadinya yang penuh dengan pertentangan. Karl
Marx di usia mudanya sangat tertarik untuk mempelajari bidang hukum karena ingin meniti karir di
pemerintahan. Akan tetapi sikap oposisinya terhadap pemerintah Jerman, membuatnya mustahil
untuk memperoleh kedudukan di pemerintahan. Karena alasan itu, ia mengalihkan studinya ke bidang
filsafat, dengan harapan memperoleh karir di dunia kampus.
10 Dalam riwayat hidupnya (1818-1883), Karl Heindrich Marx mengawini anak seorang baron (gelar kaum bangsawan Jerman) yang memungkinkan ia bisa bergaul dengan banyak kalangan. Marx bergaul dan bersahabat dengan banyak kalangan, terutama para penganut sosialis. Salah seorang diantaranya adalah Joseph Proudhon (1808-1865), yang kemudian ternyata banyak mempengaruhi pikiran-pikiran Marx. Proudhon sangat membenci kaum kapitalis. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisannya. Ia mempertanyakan: apakah yang dimaksud dengan kekayaan? Pertanyaan itu dijawabnya sendiri bahwa kekayaan itu adalah hasil curian. Maksudnya, kekayaan yang dimiliki kaum kapitalis pada hakekatnya merupakan hasil rampokan dari kaum buruh, yaitu dengan menggaji mereka dengan tingkat upah yang sangat rendah. Pandangan Proudhon inilah yang sesungguhnya merupakan dasar pemikiran Marx tentang kapitalis.
179
Dalam perjalanan studinya, Karl Marx menulis disertasi doktoralnya tentang akar doktrin
Stoic dan Epicurus sehingga membentuknya pada paham atheis, menyebabkan ia tersingkir dari
dunia kampus. Sebagai pelarian, ia memutuskan menekuni profesi wartawan, yang tulisan-tulisannya
lebih banyak mengkritik pemerintah ketimbang memberikan saran-saran perbaikan.
Sahabat karib yang sangat dekat dengan Karl Marx adalah Friedrich Engels. Mereka bertemu
untuk pertama kalinya pada Tahun 1840 di Paris, di saat Karl Marx dalam pembuangan karena
banyak mengkritik pemerintahan Jerman. Pertemuannya dengan Engels menjadikan mereka sangat
akrab, karena ternyata mereka sehaluan dalam berbagai pandangan, baik dalam bidang filsafat,
sejarah, politik maupun ekonomi.
Hampir sebagian besar karya-karya Karl Marx merupakan hasil kerja sama dengan Engels.
Demikian akrabnya persahabatan mereka sehingga sulit untuk menelusuri mana yang merupakan
karya Marx yang asli dan mana yang sebenarnya ditulis atau diedit oleh Engels. Sebab topik yang
sama sering muncul dalam tulisan-tulisan mereka. Dua diantara buku yang ditulis oleh Marx dan
Engels yang sangat berpengaruh adalah Manifesto Komunis (The Communist Manifesto) yang terbit
pada Tahun 1848, dan Das Kapital. Volume pertama dari Das Kapital terbit Tahun 1867, sedangkan
volume kedua tidak berhasil diselesaikan oleh Marx karena ia meninggal dunia Tahun 1883. Namun,
oleh Engels naskah tulisan-tulisan Marx yang berserakan diedit kembali sehingga akhirnya volume
kedua dari Das Kapital bisa diterbitkan Tahun 1885, dua tahun setelah kematian Marx.
Dalam bukunya Das Kapital, Marx mengkritik pendekatan pembangunan yang bersifat
ahistoris. Para analis ekonomi klasik memandang proses pembangunan diibaratkan sebagai fotografi:
hanya menggambar realitas pada waktu tertentu. Karena itu, pembangunan sebaiknya didekati
dengan pendekatan dialektikal. Pendekatan ini memandang proses pembangunan sebagai suatu
gambar bergerak: mengamati fenomena sosial dengan cara mengkaji tempat dan proses
perubahannya.
Sebagaimana diketahui, sejarah bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain berdasarkan
perubahan cara mengatur kelas-kelas sosial dan relasi antar kelas tersebut. Konflik antara kekuatan
produksi dan relasi produksi yang ada memberikan pergerakan yang dinamis dalam interpretasi
materialis. Interaksi antara kekuatan dan relasi produksi membentuk politik, hukum, moralitas,
agama, budaya, dan gagasan-gagasan. Menurut Karl Marx, kapitalisme tidak selamanya ada dalam
sebuah masyarakat. Kapitalisme hanya merupakan satu tahap perkembangan historis masyarakat,
179
meskipun hal ini tidak dialami oleh semua negara pada saat yang sama. Marx percaya kapitalisme
pada akhirnya akan menciptakan suatu sistem ekonomi sosialis, atau identik dengan komunis.
Karl Marx mengagumi kekuatan kapitalisme sebagai suatu sistem yang telah berhasil
menciptakan kesejahteraan dalam ratusan tahun. Namun yang mengganjal pemikiran Marx adalah
faktor human cost dalam menghasilkan kesejahteraan dan distribusi. Marx percaya bahwa sebenarnya
hanya kelas pekerja – proletariat – yang menghasilkan kesejahteraan melalui kekuatan buruhnya.
Sedangkan kaum kapitalis memberikan kontribusinya semata-mata dari posisi sebagai pemilik sarana
produksi. Atas pemikiran itu, Marx berkesimpulan bahwa ketidakmerataan distribusi kepemilikan
faktor produksi adalah hasil dari suatu proses historis dimana petani kehilangan akses lahan dan
dipaksa untuk masuk ke kota dan menjadi pekerja. Karenanya ia berkesimpulan bahwa distribusi
pendapatan dalam masyarakat kapitalis tidak adil. Menurut Karl Marx, transisi menuju sosialisme
dapat dicapai bila kapitalisme telah mencapai tahap perkembangan yang cukup tinggi. Tingkat
pendapatan per kapita yang tinggi dalam ekonomi kapitalis merupakan prakondisi bagi masa depan
ekonomi sosialis, dan sistem ekonomi komunis akan mengikutinya.
1) Sejarah Perkembangan Masyarakat
Perkembangan teori Karl Marx dapat dilihat dari pentingnya perubahan teknologi dan
hubungan produksi dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat, bukan kesadaran manusia yang
menentukan keadaan tetapi sebaliknya justru keadaanlah yang menentukan kesadaran manusia.
Untuk memahami dan mendalami teori Karl marx lebih lanjut, perlu terlebih dahulu mempelajari
sejarah peradaban masyarakat, baik dari aspek perkembangan dan kemajuannya maupun dari aspek
kemunduran dan kehancurannya.
Dalam bukunya berjudul Das Kapital, Karl Marx menyatakan bahwa berdasarkan sejarah
perkembangan suatu masyarakat, dikenal adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat, yang
sekaligus mencirikan tingkat peradabannya, yaitu 1) masyarakat primitif; 2) masyarakat perbudakan;
3) masyarakat feodal; 4) masyarakat kapitalis; dan 5) masyarakat sosial.
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat tentang bagaimana proses perkembangan itu
terjadi:
(1) Pada masyarakat primitif, kehidupan masyarakat di era itu menggunakan alat-alat untuk bekerja
yang masih sangat sederhana. Alat-alat ini bukan milik perseorangan tetapi milik komunal.
Dalam masyarakat ini tidak ada surplus produksi, karena orang melakukan aktivitas
179
produktifnya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi secara perlahan-lahan
dalam waktu yang lama, masyarakat semakin mengetahui alat-alat produksi yang lebih baik.
Perbaikan dalam alat-alat produksi menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial dan
kemudian terjadi pembagian kerja dalam produksi;
(2) Pada masyarakat perbudakan, hubungan produksi antara orang-orang yang memiliki alat-alat
produksi dengan orang-orang yang hanya bekerja untuk mereka merupakan dasar terbentuknya
masyarakat perbudakan. Bentuk hubungan kerja seperti ini cenderung eksploitatif dan
menyebabkan keuntungan para pemilik alat produksi semakin besar karena budak-budak hanya
diberi nafkah sekedar cukup untuk dapat bekerja;
(3) Pada masyarakat feodal, kepemilikan alat-alat produksi yang paling utama adalah tanah, dan
pada umumnya tanah-tanah itu dikuasai oleh para kaum bangsawan, sedangkan para petani pada
umumnya terdiri dari bekas budak yang dibebaskan. Para petani mengerjakan tanah itu untuk
kaum feodal dan setelah itu baru tanah miliknya sendiri dapat dikerjakan. Perbaikan-perbaikan
alat dan cara produksi banyak terjadi dalam sistem ini, dengan demikian ada dua golongan kelas:
pertama, kelas feodal yang terdiri dari tuan-tuan tanah yang lebih berkuasa dalam hubungan
sosial; dan kedua, kelas buruh yang bertugas melayani mereka. Kepentingan kedua kelas ini
berbeda-beda. Kelas feodal lebih memikirkan keuntungan untuk mendirikan pabrik-pabrik,
sedangkan kelas buruh yang memiliki alat-alat produksi menghendaki pasar yang lebih bebas
serta hapusnya tarif dan rintangan lainnya dalam perdagangan yang diciptakan kaum feodal;
(4) Pada masyarakat kapitalis, kelompok masyarakat ini mempekerjakan kelas buruh yang tidak
memiliki alat produksi. Dalam proses ini, seringkali terjadi pertentangan karena perbedaan
kepentingan antara kelompok masyarakat kapitalis dengan kepentingan kelompok masyarakat
buruh, sehingga menyebabkan inferioritas di pihak buruh;
(5) Pada masyarakat sosial, pemilikan alat-alat produksi didasarkan atas hak milik sosial (social
ownership). Hubungan produksi merupakan hubungan kerjasama dan saling membantu di antara
buruh yang bebas dari unsur eksploitasi. Sistem ini memberi kesempatan kepada manusia untuk
maju, baik di lapangan produksi maupun di dalam kehidupan masyrakat.
Evolusi perkembangan kehidupan masyarakat tersebut sejalan dengan proses pembangunan
yang sedang berlangsung. Pada kehidupan masyarakat feodalisme, mencerminkan kondisi
perekonomian yang ada masih bersifat tradisional. Para tuan tanah dan pemilik modal merupakan
179
kelompok pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar relatif tinggi terhadap pelaku ekonomi lain.
Perkembangan teknologi menyebabkan terjadinya pergeseran di sektor ekonomi, masyarakat yang
semula agraris-feodal kemudian mulai beralih menjadi masyarakat industri yang kapitalis.
Seperti halnya dalam kehidupan masyarakat feodalisme, pada masyarakat kapitalisme para
pengusaha merupakan pihak yang memiliki tingkat posisi tawar menawar yang relatif tinggi terhadap
pihak lain khususnya kaum buruh. Marx menyesuaikan asumsinya terhadap cara pandang ekonomi
klasik bahwa buruh merupakan salah satu input dalam proses produksi. Artinya buruh tidak memiliki
posisi tawar menawar sama sekali terhadap para majikannya yang merupakan kaum kapitalis itu.
Konsekuensi logis dari penggunaan asumsi tersebut adalah kemungkinan terjadinya
eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pengusaha terhadap buruh. Bersamaan dengan
itu, pemupukan modal oleh para pemilik modal berlangsung secara cepat karena diyakini akumulasi
modal menjadi kata kunci bagi upaya peningkatan pendapatan (nilai tambah) yang lebih besar di
masa mendatang. Sejalan dengan perkembangan teknologi, para pengusaha yang menguasai faktor
produksi berusaha memaksimalkan keuntungannya dengan menginvestasikan akumulasi modal yang
diperolehnya pada input produksi yang bersifat padat modal.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa faktor kunci yang memegang peranan penting dalam
mendorong perkembangan ekonomi ialah adanya nilai lebih (surplus value). Atau dengan kata lain,
perkembangan ekonomi dapat terjadi manakala ada aktivitas ekonomi produktif yang memberikan
nilai lebih. Dalam hal ini, nilai lebih selain merupakan ekspektasi juga sekaligus merupakan insentif
bagi semua pelaku ekonomi yang mendorong mereka mau melakukan aktivitas ekonomi produktif
atau melakukan aktivitas penanaman modal. Dan insentif inilah yang pada gilirannya akan
mendorong mereka untuk secara optimal memanfaatkan potensi dan kapasitas yang mereka miliki,
termasuk tenaga kerja yang sudah mampu bekerja tetapi belum memdapatkan pekerjaan.
2) Runtuhnya Sistem Kapitalis
Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakannya, Marx selalu mendasarkan argumennya
pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu masyarakat
pemilik tanah dan masyarakat bukan pemilik tanah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat bukan
pemilik modal. Asumsi lain yang mendukung adalah bahwa diantara kedua kelompok masyarakat
tersebut sebenarnya menghadapi atau terjadi konflik kepentingan. Oleh karena itu, Karl Marx selalu
mendasarkan teorinya pada kondisi pertentangan antar kelas dalam masyarakat. Menurut Karl Marx,
179
kemampuan para pengusaha untuk melakukan akumulasi modal terletak pada kemampuan mereka
dalam memanfaatkan nilai lebih dari produktivitas buruh yang dipekerjakan. Nilai buruh yang
dinyatakan dalam bentuk upah merupakan jumlah tenaga yang diperlukan untuk menghasilkan
tenaga buruh tersebut. Artinya upah akan sama dengan nilai sarana kehidupan yang diperlukan
seorang buruh untuk mempertahankan kehidupannya. Pada kenyataannya nilai upah yang diberikan
jauh lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas buruh tersebut dalam suatu proses produksi.
Selisih antara nilai produktivitas buruh dan nilai tenaga buruh yang dinyatakan dalam bentuk upah
inilah yang kemudian disebut dengan nilai lebih. Nilai lebih merupakan keuntungan yang diperoleh
para pengusaha. Karena tingkat keuntungan yang diperoleh para pengusaha adalah fungsi dari nilai
lebih, maka untuk memaksimalkannya para pengusaha tidak akan segan-segan mengeksploitasi
pekerja.
Nilai lebih akan meningkat jika upah diturunkan atau produktivitas dinaikkan dengan asumsi
semua faktor lain tidak berubah. Penurunan upah buruh nampaknya sulit untuk dilakukan mengingat
tingkat upah yang terjadi pada masa kapitalisme semata-mata diberikan agar buruh tetap hidup dan
dapat bekerja. Artinya penetapan upah tidak lebih besar dari pada kebutuhan hidup pada tingkat
subsisten. Hal ini merupakan dampak dari asumsi bahwa buruh dipandang seperti input yang lain.
Upaya untuk memaksimalkan keuntungan yang nantinya akan diakumulasikan dalam bentuk
modal melalui aktivitas investasi, hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas
kerja. Upaya ini tidak terlepas dari kondisi pasar yang kian kompetitif, semakin sengitnya persaingan
antar para pemilik modal akan menjurus pada upaya merebut pangsa pasar sebesar-besarnya. Jika
diasumsikan bahwa kualitas barang yang diperdagangkan adalah homogen, maka produsen hanya
dapat melaksanakan strategi penurunan harga output sebagai upaya menguasai pasar. Untuk itu,
menuntut sistem produksi yang efisien dan produktif. Dengan kata lain, peningkatan produktivitas
kerja dan efisiensi produksi menjadi keharusan. Hal ini dapat diwujudkan melalui investasi pada
peralatan-peralatan yang padat teknologi untuk meningkatkan produktivitas kerja. Konsekuensinya,
pengusaha akan menurunkan penggunaan tenaga buruh dan diganti dengan penggunaan mesin-mesin
yang lebih produktif dan efisien. Akibat dari penggunaan mesin-mesin tersebut tingkat pengangguran
akan semakin meningkat, dan daya beli masyarakat akan semakin menurun akibat semakin
banyaknya tingkat pengangguran yang terjadi.
179
Menurut Karl Marx , eksploitasi terhadap kaum buruh dan peningkatan pengangguran yang
terjadi akibat subtitusi tenaga manusia dengan input modal yang padat modal, pada akhirnya akan
menyebabkan revolusi sosial yang dilakukan oleh kaum buruh. Fase ini merupakan tonggak baru
bagi munculnya suatu tatanan sosial alternatif di samping tata masyarakat kapitalis, yaitu tata
masyarakat sosialis. Akumulasi ketertindasan kaum buruh dalam perekonomian kapitalis yang terus
dieksploitasi, meningkatnya pengangguran, dan ditambah konflik antar kelas masyarakat yang terus
terjadi, maka Karl Marx kemudian menyimpulkan bahwa kapitalisme akan berakhir dengan
timbulnya revolusi sosial yang dilakukan oleh kaum buruh. Revolusi ini akan membawa perubahan
mendasar pada segala bidang, terutama pada sistem produksi dan pemilikan sumberdaya.
Akumulasi modal dalam sistem kapitalis akan diganti dengan pemerataan kesempatan
pemilikan sumberdaya, individualis dalam masyarakat kapitalis akan berubah menjadi sistem
kemasyarakatan yang sosialis. Pada tahap ini, Karl Marx menawarkan suatu sistem baru yaitu sistem
perekonomian sosialis, sebagai alternatif dari sistem kapitalis yang saat itu merupakan satu-satunya
sistem perekonomian yang dikenal.
Kritik terhadap teori Karl Marx terutama tertuju pada asumsi adanya nilai lebih dalam suatu
perekonomian. Dalam dunia nyata tidak dikenal adanya istilah nilai lebih ini, karena memang di
dunia nyata kita berkutat dengan harga yang terwujud dan nyata. Jadi Karl Marx dalam hal ini telah
menciptakan dunia nilai yang abstrak yang membuat teorinya agak sukar dan kaku untuk
memahami bekerjanya kapitalisme (Jhingan, 1988).
Kritik lain adalah adanya keharusan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju sosialis
hanya dapat dilakukan dengan jalan revolusi. Haruskah suatu upaya untuk menuju kepada suatu
kondisi yang dianggap baik harus dilakukan dengan revolusi yang tentunya akan membawa korban
yang besar? Apakah sudah tidak ada lagi kejernihan berpikir dari kedua belah pihak untuk berdialog
satu dengan yang lain? Kekakuan Karl Marx dalam mendeskripsikan proses perubahan dari
masyarakat agraris-feodal menuju masyarakat kapitalis dan terakhir adalah masyarakat sosialis,
nampaknya sangat diwarnai subyektivitas dan kebencian Karl Marx terhadap sistem kapitalis.
Itulah sebabnya mengapa Karl Marx mendeskripsikan kehancuran kapitalis yang akan
digantikan oleh sosialis harus melalui suatu revolusi. Artinya Karl Marx tidak menginginkan
179
keberadaan para pengusaha yang berjaya di masa kapitalis untuk menghirup udara sosialisme,
mengingat revolusi kaum buruh jelas-jelas melawan kaum pengusaha tersebut.
Kendati demikian, ternyata Karl Marx justru banyak menyumbang terhadap kelanggengan
kehidupan ekonomi kapitalis. Dengan adanya kritik dan sinyalemen terhadap perkiraan dampak
negatif sistem kapitalis, terutama terhadap buruh, maka hal tersebut justru menjadi masukan bagi
ekonom kapitalis untuk menyempurnakan sistem yang ada hingga dampak negatif yang digambarkan
Karl Marx dapat dihindari.
Karl Marx merupakan orang pertama yang memberikan gambaran sisi negatif dari sistem
kapitalisme jika sistem tersebut diterapkan berdasarkan perhitungan ekonomi semata tanpa
mempertimbangkan unsur kemanusiaan dan nilai sosial kemasyarakatan. Karl Marx menunjukkan
kepada dunia bahwa tahap pembangunan ekonomi tidaklah semulus yang diperkirakan sebelumnya.
Untuk mencapai perekonomian sosialis, terlebih dahulu harus melewati tahap depresi ekonomi akibat
kapitalisme yang merajalela tanpa kendali. Teori Karl Marx tentang depresi ekonomi inilah yang
pada akhirnya justru memperkuat argumentasi Keynes yang merekomendasikan peningkatan peran
pemerintah bagi upaya mengatasi depresi ekonomi yang ada.
Akhirnya, dapat diringkaskan bahwa secara teoritis pemikiran-pemikiran Karl Marx memang
sangat menarik, akan tetapi dalam aplikasinya banyak mengalami perubahan dan modifikasi.
Ramalannya tentang tidak terelakkannya kejatuhan kapitalisme tidak pernah jadi kenyataan, begitu
juga dengan ramalannya tentang negara sosialis pertama akan muncul di negara kapitalis paling
maju, seperti di Inggris, Amerika dan Jerman tidak terbukti. Termasuk juga teori perjuangan kelas
Karl Marx, dinilai kurang solid. Di negara-negara kapitalis, tidak ada perlakuan pengusaha yang
berlebihan mengeksploitir kaum buruh sebagaimana dikhawatirkan Karl Marx. Kualitas kehidupan
kaum buruh di negara kapitalis jauh lebih baik ketimbang pendapatan rata-rata masyarakat manapun.
Dari berbagai aliran soialisme, hanya pemikiran-pemikiran kaum reformis yang mendekati
kenyataan. Ramalan dan pemikiran-pemikiran dari aliran-aliran lain banyak yang tidak terbukti dalam
kenyataan. Ini berarti menuntut perlunya revisi substansial terhadap teori-teori Karl Marx.
E. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI NEO-KLASIK
179
Pada tahun 1870-an telah terjadi pengeseran dalam teori pembangunan ekonomi. Pergeseran
ini disebabkan oleh kemajuan teknologi yang peranannya begitu dominan dalam pencarian dan
penemuan sumber-sumber produksi baru, serta kemampuannya dalam mengembangkan lebih lanjut
sumber-sumber produksi baru itu. Aliran teori pembangunan ekonomi baru ini kemudian dikenal
sebagai mazhab teori pembangunan ekonomi Neo-Klasik.
Kemunculan mazhab teori pembangunan ekonomi Neo-Klasik tidak terlepas dari banyaknya
kritik dari para pakar ekonomi terhadap teori-teori yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Engels,
baik dari kaum sosialis sendiri maupun dari pendukung mazhab kapitalisme. Hal ini terjadi karena
analisis yang dipergunakan oleh Karl Marx untuk meramal kejatuhan sistem kapitalis bertitik tolak
dari teori nilai kerja dan tingkat upah, maka oleh para pakar ekonomi Neo-Klasik teori-teori tersebut
dipelajari kembali secara mendalam.
Dari sekian banyak pakar ekonomi Neo-Klasik, masing-masing memiliki pencirinya sendiri-
sendiri, khususnya dalam hal cara pandang, fokus kajian, dan kerangka analisisnya. Semua itu terlihat
jelas dan tertuang dalam karya-karyanya. Dengan pencirinya itu, kemudian oleh banyak kalangan
dikelompokkan kedalam beberapa aliran atau mazhab.
Pertama, Mazhab Austria, mereka yang tergabung dalam mazhab ini adalah tokoh-tokoh
pemikir ekonomi handal seperti Carl Menger (1840-1921); Friedrich von Weiser (1851-1920); dan
Eugen von Bohm Bawerk (1851-1914). Teori-teori yang dikembangkan oleh ketiga tokoh utama
mazhab ini memiliki pencirinya sendiri dengan menerapkan kalkulus sebagai peralatan utamanya.
Kelompok penerus dari mazhab ini adalah Knut Wicksell (1851-1926); Ludwig Edler von Mises
(1881-1973); dan Friedrich August von Hayek (1899-1978).
Kedua, Mazhab Lausanne, teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok ini analisisnya
lebih komprehensif, utamanya tentang teori keseimbangan umum yang dijelaskan dengan pendekatan
matematis. Tokoh pemikir ekonomi yang dianggap menonjol dan sekaligus sebagai pendiri dari
mazhab ini adalah Leon Walras11. Karya monumentalnya berjudul Elements of Pure Economics yang
11 Dalam riwayat hidupnya (1834-1910), Leon Walras yang lahir pada Tahun 1834 di Eveux, Perancis, selalu berusaha memberikan sumbangan penting bagi perkembangan ilmu ekonomi. Bersama dengan Jevon dan Menger, Ia adalah salah seorang dari beberapa penemu independen mengenai gagasan kepuasan marjinal. Ia adalah salah seorang yang pertama dan terkuat dalam mendukung individualisme metodologis, yakni keyakinan bahwa semua penjelasan fenomena ekonomi seharusnya berdasarkan tindakan individu dalam memilih. Akan tetapi Warlas lebih terkenal karena membangun sebuah model keseimbangan ekonomi yang memandang sistem ekonomi sebagai rangkaian persamaan matematika yang saling berhubungan. Warlas kemudian menjelaskan bagaimana memecahkan rangkaian persamaan ini untuk semua harga dan kuantitas. Ia juga yang selalu mendorong para ahli ekonomi untuk memfokuskan diri pada
179
terbit pada Tahun 1878. Model keseimbangan umum Walras ini ternyata tidak dikembangkan oleh
para pakar ekonomi pada zamannya. Alfred Marshall adalah sosok ilmuwan dari Cambridge
University yang sangat menghargai model matematika yang menjadikan pemikiran-pemikiran
Walras kemudian dihargai. Ia dianggap sebagai pendiri dan pengembang ilmu ekonomi matematika,
dan kira-kira 60 tahun kemudian dikembangkan oleh Frisch dan Tinbergen menjadi ilmu
ekonometrika, dan oleh Wassily Leontief kemudian dikembangkan konsep analisis input-output atas
dasar matematika yang dikembangkan Walras. Pemikiran-pemikiran Walras ini kemudian diteruskan
dan dikembangkan oleh Vilfredo Pareto, terutama dalam menjelaskan kondisi-kondisi yang harus
dipenuhi agar sumberdaya-sumberdaya dapat dialokasikan dan memberikan hasil yang optimum
dalam suatu model keseimbangan umum.
Ketiga, Mazhab Cambridge, tokoh pemikir ekonomi yang menonjol karya-karyanya dalam
kelompok mazhab ini adalah Alfred Marshall12. Sebagaimana diuraikan oleh Marshall dalam
bukunya, harga barang menurut kaum klasik ditentukan oleh besarnya pengorbanan untuk
menghasilkan barang tersebut. Dengan demikian, yang menentukan harga adalah sisi penawaran.
Pendapat ini dengan tegas ditentang oleh kelompok neo-klasik lain seperti Jevons, Menger, dan
Walras. Mereka sepakat bahwa yang menentukan harga adalah kondisi permintaan. Mereka juga
mengkritik para pakar ekonomi klasik yang gagal membedakan antara utilitas total, utilitas marjinal,
dan utilitas rata-rata. Misalnya, dalam menjelaskan paradoks antara intan dan air, Smith menjelaskan
bahwa air sangat berfaedah tetapi mempunyai harga yang murah karena biaya yang diperlukan untuk
memperoleh air kecil atau rendah sekali. Sebaliknya intan yang kurang berfaedah bagi manusia
nilainya sangat tinggi karena untuk memperolehnya dibutuhkan biaya yang besar. Menurut kaum
neo-klasik, tingginya harga intan ketimbang harga air bukan karena biaya untuk mendapatkan intan
lebih besar dibanding biaya untuk mendapatkan air, melainkan karena utilitas marjinal yang besar.
Karena itu orang mau menghargai intan lebih tinggi daripada air.
hubungan timbal balik antara pasar-pasar yang berbeda, kemudian memformalkan gagasan keseimbangan umum dan menunjukkan kepada para ahli ekonomi bahwa adalah mungkin untuk mempelajari ekonomi yang saling berhubungan sebagai suatu rangkaian persamaan matematika. Ia mengangkat isu-isu tentang konvergensi penting ke arah keseimbangan dan stabilitas keseimbangan ekonomi, dan berusaha menjelaskan bagaimana ekonomi dapat mencapai keseimbangan umum.
12 Semasa hidupnya (1842-1924), Alfred Marshall aktif menulis, termasuk bukunya yang berjudul Principles of Economics. Buku ini sebetulnya sudah ditulis pada awal tahun 1870-an, tetapi ia termasuk orang yang sangat hat-hati dalam memberikan pendapat barunya, sehingga buku tersebut baru diterbitkan dua puluh tahun kemudian, yaitu pada Tahun 1891. Ia dianggap sangat berjasa dalam memperbaharui azas dan postulat pandangan-pandangan ekonomi yang dikemukakan pakar klasik dan pakar neoklasik sebelumnya.
179
Bagi Jevons, Menger dan Walras13, biaya bukan satu-satunya faktor yang menentukan harga.
Yang paling menentukan harga, sesuai dengan teori utilitas marjinal adalah utilitas yang diterima dari
mengkonsumsi satu unit terakhir dari barang tersebut. Ini berarti, teori tentang harga yang
dikembangkan oleh kaum marjinalis sangat berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh kaum
klasik. Kaum klasik melihat harga hanya dari sisi produsen (jumlah pengorbanan yang dikeluarkan),
sedangkan kaum marjinalis melihatnya dari sisi konsumen, yaitu kepuasan marjinal dari
mengkonsumsi satu unit barang terakhir.
Para pakar ekonomi neo-klasik sebagaimana disebutkan di atas dalam menganalisis ramalan
Karl Marx mempergunakan konsep analisis marjinal. Analisis dengan konsep ini memiliki makna
khusus bagi pengembangan ilmu ekonomi, sebab hasil penelitian mereka telah menciptakan aura
baru bagi pengembangan teori ekonomi modern.
Beberapa penulis ekonomi menyebut apa yang sudah dilakukan oleh para pakar ekonomi neo-
klasik tersebut sebagai marginal revolution, karena telah ditemukan suatau analisis baru yaitu
pendekatan marjinal. Analisis ini pada intinya merupakan aplikasi dari kalkulus differensial
terhadap tingkah laku konsumen dan produsen serta penentuan harga-harga di pasar.
Sejak terjadinya marjinal revolution analisis ekonomi makin bersifat makro. Konsep
marjinal ini diakui sebagai kontribusi utama dari mazhab Austria. Tetapi jika ditelusuri ke belakang
ternyata teori ini telah cukup lama dikembangkan oleh penulis terdahulu, yaitu oleh Heindrich
Gossen (1810-1858). Ia telah lama menggunakan konsep marjinal dalam menjelaskan kepuasan atau
faedah (utility) dari mengkonsumsi suatu barang. Menurut Gossen, faedah tambahan (marginal
utility) dari mengkonsumsi suatu macam barang akan semakin berkurang jika barang yang sama
dikonsumsi semakin banyak. Pernyataannya ini kemudian dijadikan semacam dalil yang lebih
dikenal sebagai Hukum Gossen I. Selanjutnya, dalam Hukum Gossen II Ia menjelaskan bahwa
sumberdaya dan dana yang tersedia selalu terbatas secara relatif untuk memenuhi berbagai kebutuhan
yang relatif tak terbatas. Dengan keterbatasan ini maka kepuasan maksimum yang bisa diperoleh
terjadi pada saat faedah marjinal sama untuk setiap barang yang dikonsumsi, dengan syarat semua
sumberdaya dan sumber dana terpakai habis seluruhnya. Sayang pada masanya teori Gossen di atas
tidak mendapat perhatian dari pakar ekonomi. Baru sekitar empat puluh tahun kemudian, oleh Jevons
13 Stanley Jevons dari University of Manchester (Inggris) menulis Theory of Political Economy Tahun 1871. Karl Menger dari Austria menulis Principles of Economics in Germany pada Tahun yang sama. Leon Walras dari sekolah Lausanne (Swiss) menulis Elements of Pure Economics pada Tahun 1874.
179
bwesama dengan Menger, Bohm Bawerk dan Von Weiser memberi pengakuan dan penghargaan atas
karya Gossen tersebut.
Hasil penelitian dan pemikiran-pemikiran mereka menyimpulkan bahwa teori nilai lebih
(surplus value) dari Karl Marx tidak mampu menjelaskan secara tepat tentang nilai komoditas
sehingga teori tersebut dianggap tidak berkontribusi apa-apa dalam perkembangan teori ekonomi,
dan oleh karena itu dapat diabaikan. Dengan sendirinya, kesimpulan ini telah meruntuhkan seluruh
bangunan teori sosialis yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Engels, sekaligus menyelamatkan
sistem kapitalis dari kemungkinan tekanan depresi berat sebagaimana diramalkan Karl Marx.
Kemudian, dalam teori ekonomi Neo-Klasik dipelajari tingkat bunga, yaitu harga modal yang
menghubungkan nilai pada saat ini dan saat yang akan datang. Teori ekonomi Neo-Klasik mengenai
perkembangan ekonomi menganggap: 1) akumulasi modal merupakan faktor penting dalam
perkembangan ekonomi; 2) perkembangan itu merupakan proses yang gradual; 3) perkembangan
merupakan proses yang harmonis dan kumulatif; 4) aliran teori ekonomi Neo-Klasik optimis terhadap
perkembangan; dan 5) adanya aspek internasional dalam perkembangan tersebut.
Dalam perspektif teori ekonomi Neo-Klasik, akumulasi modal berkaitan dengan tingkat
bunga dan tingkat pendapatan. Dengan tingkat bunga yang rendah, maka akan menentukan tingginya
tingkat investasi dan mendorong aktivitas ekonomi produktif meningkat, yang pada gilitannya akan
mampu meningkatkan pendapatan. Dengan demikian, jika tingkat bunga rendah maka investasi akan
tinggi dan pendapatan meningkat, dan begitu juga sebaliknya. Perkembangan ekonomi yang
demikian itu berproses secara gradual dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan pandangan Alfred
Marshall, bahwa perekonomian itu merupakan sebuah kehidupan organik yang tumbuh dan
berkembang perlahan-lahan sebagai proses yang gradual.
Bahkan perkembangan itu sering disebut sebagai proses yang harmonis dan kumulatif.
Mengapa? Karena, perkembangan itu berproses meliputi berbagai faktor yang tumbuh secara
bersama-sama. Marshall menggambarkan bahwa harmonisnya perkembangan itu karena adanya
internal economies dan external economies. Dalam hal ini, internal economies timbul karena adanya
kenaikan skala produksi yang tergantung pada sumber-sumber dan efisiensi dari para pelaku ekonomi
itu sendiri. Sedangkan external economies timbul karena kenaikan produksi pada umumnya dan
kenaikan ini berhubungan dengan tingkat perkembangan pengetahuan dan kebudayaan. Sementara
179
itu, pada proses kumulatif, sebagaimana dinyatakan oleh Allen Young bahwa perkembangan industri
itu tergantung pada baiknya pembagian kerja di antara para buruh.
Dari perspektif yang lain, teori ekonomi Neo-Klasik optimis bahwa pertumbuhan ekonomi
tidak akan berhenti karena terbatasnya sumberdaya alam. Teori ini meyakini ada kemampuan
manusia untuk mengatasi terbatasnya pertumbuhan itu, sehingga berbeda dengan pandangan teori
ekonomi klasik bahwa pertumbuhan ekonomi akan terhenti karena terbatasnya sumber daya alam.
Bagaimanapun, perkembangan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pengaruh dunia
internasional. Hal ini dapat dijelaskan melalui lima aspek yang mempengaruhi tingkat perkembangan
ekonomi suatu negara: 1) mula-mula negara itu meminjam modal, yang selanjutnya disebut sebagai
debitur belum mapan; 2) kemudian, negara itu dapat meningkatkan pendapatan nasionalnya dan
dapat membayar dividend dan bunga atas pinjaman tersebut; 3) setelah pendapatan nasional negara
itu meningkat maka sebagian dari pendapatannya digunakan untuk melunasi utang dan sebagian lagi
dipinjamkan ke negara lain yang membutuhkan. Negara ini berada dalam tingkat debitur yang sudah
mapan; 4) kemudian negara itu mengalami surplus karena telah dapat menerima dividend dan bunga
yang lebih besar dari pada beban bunga yang harus ditanggung atau dibayarkan; dan 5) akhirnya
negara itu menjadi kreditur mapan karena telah menerima dividend dan bunga dari negara lain.
F. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI MAZHAB HISTORISMUS
Keberhasilan pemikir-pemikir ekonomi neo-klasik dalam memberikan argumentasi terhadap
kritik pedas dari para pemikir sosialis/marxis, menjadikan sistem kapitalis kembali berkibar. Namun
keberhasilan ini tidak secara otomatis menjadikan sistem kapitalis dianut oleh semua negara di Eropa,
karena bersamaan dengan itu berkembang suatu aliran ilmu ekonomi yang disebut mazhab
historismus atau sering juga disebut sebagai aliran etis, sebuah penamaan yang mengindikasikan
ketidaksenangan kelompok pendukung mazhab ini terhadap hedonisme klasik.
Kelompok pendukung mazhab historismus ini cukup banyak, mereka berasal dari beragam
latar belakang disiplin, negara dan bangsa. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jerman,
diantaranya: Friedrich List, Wilhelm Roscher, Bruno Hildebrand, Karl Bucher, Max Weber, dan
Werner Sombart. Sedangkan tokoh pemikir ekonomi aliran ini yang berasal dari Inggris adalah
William Cunningham dan J.W. Ashley. Dari Amerika serikat pendukung aliran ini juga ada,
diantaranya Henry Carey, Simon Nelson Patten, dan Daniel Reymond.
179
Dalam sejarah perkembangan pembangunan ekonomi diketahui bahwa mazhab historismus
ini dimulai di Jerman pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Mazhab ini kerangka teoritisnya dibangun
berdasarkan pada perspektif historis, dan pola pendekatan pembangunan ekonomi yang dipergunakan
dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi berpangkal pada perspektif historis-induktif empiris-
dengan mendasarkan pada fenomena ekonomi menyeluruh dan tahapan perkembangannya.
Friedrich List (1840) adalah salah seorang pelopor Historismus, ia adalah salah satu dari
sekian banyak eksponen nasionalisme ekonomi. List (1840) menyatakan bahwa tahap perkembangan
ekonomi dapat dilihat dari tingkat perkembangan dan kemajuan dalam cara berproduksi, meliputi: 1)
tahap primitif; 2) tahap beternak; 3) tahap pertanian; 4) tahap industri pengolahan (manufacturing);
dan 5) penggabungan dari tahap pertanian, industri pengolahan dan perdagangan.
Pandangan List tersebut kemudian dikritisi oleh Bruno Hildebrand (1848), bahwa sejarah
perkembangan pembangunan ekonomi telah terjadi evolusi dalam masyarakat. Bruno (1848)
mengkritik pandangan List (1840) bahwa pembangunan ekonomi bukanlah cara berproduksi atau
cara mengkonsumsi, akan tetapi merupakan cara mendistribusikan, yaitu 1) perekonomian barter; 2)
perekonomian uang; dan 3) perekonomian kredit. Kelemahan yang menonjol dari pandangan Bruno
adalah tidak jelas bagaimana proses perkembangan dari tahap tertentu ke tahap berikutnya; dan tidak
memberi sumbangan yang berarti terhadap peralatan analitis di bidang ilmu ekonomi.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan dari teori Bruno tersebut, Karl Bucher (1952) mencoba
mensintesakan pendapat List dan Bruno ke dalam pentahapan perkembangan ekonomi sebagai
berikut: 1) produksi bersifat subsistence, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri; 2)
perekonomian kota ditandai oleh tingkat pertukaran yang sudah meluas; dan 3) perekonomian
nasional, dimana peran pedagang menjadi semakin penting.
Tokoh pemikir lain yang mendukung mazhab historismus adalah Gustav Von Schmoler. Ia
menjadi terkenal karena keterlibatannya dalam perdebatan sengit dengan para pakar klasik tentang
metodologi dalam pengembangan ilmu ekonomi. Ia dianggap sebagai pendukung mazhab historimus
yang paling gigih menyarankan agar metode deduktif klasik digantikan dengan metode induktif
empirik. Sama halnya dengan tokoh mazhab historimus lainnya, Schmoler juga menekankan
perlunya fleksibilitas dalam perekonomian dan memberi ruang yang lebih leluasa kepada pemerintah
untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Dalam hal ini, ia mempelajari dokumen-dokumen negara
untuk mendemontrasikan kemurahan hati birokrasi yang mampu membimbing dan menyatukan
kekuatan-kekuatan masyarakat dan menjamin diberlakukannya keadilan yang diyakininya tidak akan
pernah terwujud dalam sistem perekonomian yang mengandalkan mekanisme pasar.
179
Pandangan Schmoler di atas agak berbeda dengan pandangan para tokoh dari mazhab
historimus lainnya. Jika tokoh-tokoh dari mazhab historimus menghendaki berbagai kebijaksanaan di
bidang ekonomi, Schmoler menghendaki agar kebijaksanaan juga menyangkut sosial dan politik.
Lebih jauh dari itu, juga kebijaksaan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh. Misalnya untuk
meningkatkan posisi tawar-menawar kaum buruh. Untuk hal ini, Schmoler menganjurkan perlunya
didirikan dan dibinanya organisasi-organisasi serikat pekerja.
Untuk mencapai tujuannya, Schmoler beserta rekan-rekannya mendirikan sebuah forum
menghimpun pemikiran-pemikiran untuk menghadapi berbagai masalah ekonomi dan sosial, dan
hasil kesimpulan dari pertemuan dalam forum disampaikan pada pemerintah sebagai bahan masukan.
Salah satu keberhasilan dari pertemuan-pertemuan untuk menghimpun masukan bagi pemerintah ini
adalah diberlakukannya undang-undang perlindungan kaum buruh dari penindasan kaum pengusaha.
Jaminan sosial yang diberikan kepada kaum buruh sesuai undang-undang tersebut dianggap sangat
maju untuk zamannya, sebab di negara-negara Eropa pada umumnya belum ada undang-undang
perlindungan kaum buruh seperti yang dibuat di Jerman.
Pelopor mazhab Historismus yang lain adalah Max Weber. Dalam riwayat hidupnya (1864-
1920) Ia dikenal sebagai ahli sosiologi. Namun dalam berbagai tulisannya, Ia banyak membahas
aspek sosiologi ekonomi dan sejarah pemikiran ekonomi. Ia juga cukup intens dalam melihat
pengaruh ajaran-ajaran agama tertentu, yaitu Protestan, terhadap kemajuan ekonomi. Dalam bukunya
yang sangat terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958) ia menjelaskan
pengaruh nyata dari ajaran agama Protestan terhadap perilaku dan kemajuan ekonomi.
Weber bertolak dari asumsi dasar bahwa rasionalitas adalah unsur pokok peradaban Barat
yang mempunyai nilai dan pengaruh universal. Dalam kegiatan ekonomi, bisa dilihat bahwa banyak
peradaban dalam sejarah mengenal apa artinya mencari laba. Tetapi hanya di barat lah aktivitas
mencari laba tersebut diselenggarakan secara lebih terorganisir secara rasional, dan inilah akar utama
sistem perekonomian kapitalisme, yang mewujudkan diri dalam perilaku ekonomi tertentu.
179
Menurut Weber14, perilaku ekonomi kapitalis berharap akan memperoleh keuntungan dengan
melakukan aktivitas tukar menukar yang didasarkan pada kesempatan mendapatkan untung secara
damai. Hasil pengamatan Weber menunjukkan bahwa golongan penganut agama protestan, terutama
kaum Calvinis, menduduki tempat teratas. Sebagian besar dari pemimpin-pemimpin perusahaan,
pemilik modal, pimpinan teknis dan komersial yang diamatinya di Jerman adalah orang-orang
protestan, bukan orang katolik. Ajaran Calvin tentang takdir dan nasib manusia, menurut Weber
adalah kunci utama dalam menentukan sikap hidup seseoran. Bagi penganut Calvinis kerja adalah
panggilan atau tugas suci. Menurut ajaran Calvin keselamatan hanya diberikan kepada orang-orang
terpilih. Inilah yang mendorong mereka bekerja keras agar menjadi golongan orang-orang yang
terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti itu semangat kapitalisme yang bersandar pada
cinta ketekunan, hemat, rasional, dan sanggup menahan diri, akan menemukan pasangannya.
Tidak semua orang dapat menerima tesis Weber yang diuraikan di atas. Beberapa pakar
mempertanyakan atau bahkan menentangnya, misalnya Bryan S. Turner, R.H. Tawney, Kurt
Samuelson, Robert N. Bellah, Andrew Greely, dan tentu saja dari pakar-pakar lain yang pernah
meneliti dampak ajaran agama lain terhadap kehidupan ekonomi, misalnya penelitian tentang
masyarakat Islam dan penganut-penganut agama Tokugawa di Jepang. Kritikan-kritikan tersebut
antara lain dapat dibaca dalam buku yang diedit oleh Taufik Abdulah (1979): Agama, Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa doktrin mazhab historimus kurang jelas. Mereka
tidak mengembangkan sebuah sistem melainkan lebih merupakan reaksi terhadap konsepsi klasik dan
neo-klasik yang menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Para
pemikir dari mazhab historimus lebih banyak hanya mengkritik metode deduksi klasik, tetapi tidak
14 Memperkuat pandangan Max weber, McClelland menyatakan bahwa selain nilai-nilai agama dan budaya, serta kondisi lingkungan sekitar yang oleh Max Weber dianggap sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku seseorang, masih terdapat nilai-nilai lain yang cukup efektif mengantar sukses seseorang, yaitu dorongan berprestasi (Need Achievement). Dalam lingkup masyarakat yang lebih luas, adanya motif berprestasi yang tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dorongan berprestasi ini bukanlah sesuatu yang lekat sejak seseorang dilahirkan, melainkan merupakan nilai-nilai keutamaan yang bisa ditularkan dan ditumbuhkembangkan. Menurut McClelland, manakala dalam sebuah masyarakat terdapat begitu banyak warga yang memiliki dorongan berprestasi tinggi, maka diharapkan masyarakat tersebut akan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tempat yang paling baik untuk memupuk dorongan berprestasi adalah dalam keluarga melalui peran para orang tua. Pendidikan anak, dengan demikian menjadi sangat penting, dan oleh karena itu upaya pengembangan anak dan kreativitasnya harus diarahkan pada nilai-nilai yang melekat pada dorongan berprestasi yang tinggi. Keberlakuan dari teori ini banyak penulis yang mencontohkan pada kehidupan masyarakat dan bangsa Jepang. Bagi masyarakat Jepang, kegagalan adalah sebuah aib besar. Sebaliknya, keberhasilan adalah sebuah kehormatan diri ataupun kebanggaan bangsa (pride) yang sangat di hargai dan dijunjung tinggi oleh warga masyarakat. Luar biasa, ternyata dorongan berprestasi yang tinggi merupakan kunci sukses bagi Bangsa Jepang untuk mampu membangun negaranya menjadi negara maju dengan akselerasi yang lebih tinggi.
179
melihat kelemahan dari metode induksi-empiris mereka sendiri. Adapun kelemahan utama metode
induksi-empiris itu ialah sulitnya mencapai suatu kesimpulan yang padu tentang ekonomi
masyarakat. Dengan metode induksi empiris kita hanya bisa menggambarkan berbagai persoalan
ekonomi secara deskriptif, tetapi dari berbagai pengamatan dan penelitian deskriptif yang dilakukan
secara terpencar-pencar ke segala arah tersebut sulit diramu dan dirangkum menjadi suatu perpaduan
kerangka susunan atau struktur pemikiran ekonomi yang kokoh, rinci dan terarah. Dengan demikian
aliran pemikiran ssejarah tidak mampu membangun suatu sistem ekonomi tersendiri sebagaimana
yang dilakukan oleh para pemikir klasik atau sosialis.
Sungguhpun karya-karya dari para pemikir aliran sejarah masih memiliki banyak kelemahan
dan kekurangan, namun tidak boleh dipungkiri bahwa jasa dan sumbangan mereka dalam melakukan
berbagai penelitian empiris tentaang masalah ekonomi cukup bermanfaat dan bermakna.
Salah satu manfaat yang bisa dipetik dari kritik para pemikir aliran sejarah terhadap kaum
klasik ialah dalam pengembangan metode penelitian ekonomi. Namun perdebatan tentang metode
induksi dan deduksi itu oleh Schumpeter dinilainya sia-sia belaka. Terhadap penilaian Sshumpeter ini
tentu tidak semua orang sependapat karena sebagaimana yang terbukti dari perdebatan ini lahir suatu
kesadaran bagi para pemikir-pemikir ekonomi di kemudian hari, bahwa dalam melakukan penelitian
ekonomi sebaiknya dilakukan metode deduksi (reasoning from the general to the particular) dan
induksi (reasoning from the particular to the general) secara timbal balik, yang kemudian dikenal
sebagai metode reflektive thinking.
Setelah mencermati secara lebih seksama terhadap pemikiran-pemikiran para tokoh aliran
sejarah, maka yang menonjol dari pemikiran-pemikiran mereka adalah semangat nasionalismenya.
Hal ini terlihat jelas dalam pemikiran-pemmikiran List dan Schmoler. Mereka berpandangan bahwa
manakala perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar bebas sebagaimana digagas oleh kaum
klasik, maka negara mereka akan kalah dalam bersaing dan perekonomian Jerman bisa hancur.
Kondisi negara mereka pada waktu itu masih tertinggal dibelakang Inggris yang sudah lebih maju
industrialisasinya. Oleh karena itu, mereka mendesak agar pemerintah melakukan intervensi dalam
perekonomian, misalnya melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk-produk luar negeri.
Kemudian, bagaimanakah implikasi dari ajaran para pemikir sejarah bagi negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia? Perekonomian kebanyakan negara berkembang didominasi oleh
sektor pertanian, yang umumnya sulit untuk maju. Olehnya itu, jika ingin maju maka langkah awal
yang perlu dilakukan ialah memacu industrialisasi.
179
Sebagaimana dianjurkan oleh List, dalam upaya meningkatkan pembangunan ekonomi di
negara-negara sedang berkembang, pada tahap awal negara-negara itu boleh melakukan kebijakan
proteksi untuk melindungi industri dalam negerinya. Tindakan proteksi ini setelah melalui beberapa
tahapan waktu tertentu, dimaksudkan agar industri dalam negeri menjadi lebih mapan sehingga lebih
kompetitif dalam bersaing. Pengembangan industri ini lebih lanjut diharapkan untuk mampu
mengangkat perekonomian masyarakat lebih luas ke berbagai bidang. List juga menganjurkan agar
proteksi hanya diberikan pada tahap-tahap awal pembangunan ekonomi suatu negara. Akan tetapi
dalam praktiknya terdapat beberapa negara berkembang, khususnya di negara-negara yang tingkat
konspirasi antara pengusaha dengan penguasanya cukup tinggi, proteksi tersebut diberikan secara
terus menerus, sedangkan industrinya sendiri keropos dan tidak efisien. Hasil produksi mereka tidak
bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri. Jauh dari yang diharapkan, yang terjadi adalah
meluasnya distorsi dan perekonomian beroperasi dengan biaya tinggi (hight cost economy). Padahal
List telah mengingatkan bahwa proteksi yang tidak bijaksana seperti ini hanya akan menjadi sumber
pemborosan keuangan negara. Yang lebih parah lagi, di beberapa negara berkembang kebijakan
proteksi hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa. Kondisi ini
pada akhirnya hanya akan menjadi pemicu kecemburuan sosial.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana diuraikan diatas, bagi negara-
negara berkembang yang ingin memberikan proteksi harus diiringi dengan suatu mekanisme yang
mampu mengatur agar proteksi secara bertahap dapat dikurangi, dan sesudah sekian lamanya waktu
yang diberikan, proteksi tersebut harus dihentikan. Jika tidak ditempuh mekanisme seperti itu, maka
industri yang diberikan proteksi tersebut cenderung tidak efisien.
Sebagai catatan akhir, perlu ditambahkan bahwa pada masa-masa yang lalu kebijakan
proteksi bisa dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri. Akan tetapi di masa-masa
mendatang hal ini akan sulit dilaksanakan, mengingat telah ditandanganinya perjanjian GATT akhir
Tahun 1993. Perjanjian GATT mmenghendaki perdagangan global yang lebih bebas tanpa mendapat
halangan dan rintangan dari semua negara anggota. Beban import dan tarif secara berangsur-angsur
harus dikurangi. Dengan demikian untuk memajukan industri dalam negeri tidak bisa lagi dilakukan
dengan menggunakan kebijakan proteksi, melainkan harus mengarah pada usaha-usaha yang dapat
meningkatkan efisiensi produksi.
179
Implikasi kebijakan yang menarik untuk disimak dari pemikiran mazhab hirtorimus ini,
terutama dari pemikiraan Schmoler, ialah perlunya negara memberikan perlindungan bagi kaum
buruh. Banyak negara sedang berkembang mengabaikan hal ini, padahal masalah perlindungan kaum
buruh perlu diperhatikan karena posisi tawar mereka sangat rendah dihadapan kaum pengusaha.
Kalaupun ada organisasi serikat pekerja, kaum buruh belum mendapat perlindungan yang sewajarnya.
H.TEORI PEMBANGUNAN KEYNES
John Maynard Keynes15 adalah salah satu tokoh pemikir ekonomi dunia yang sangat tersohor.
Karya-karya cerdas Keynes mengenai ekonomi dan keuangan begitu banyak. Diantara hasil
karyanya: Indian Currency and Finance (1913); The Economic Consequences of the Peace (1919);
A Treatise on Probability (1921), A Revision of Treaty (1922), A Tract on Monetaty Reform (1923);
American ed., Monetary Reform (1924); A Short View of Russia (1925); The Economic Consequences
of Mr Churchill (1925); The End of Laissez Fair (1926); dan Essays in Biography (1933).
15 Nama John Maynard Keynes adalah sebuah nama Inggris kuno. Dari hasil penelusuran mengenai asal usul tokoh pemikir ekonomi ini, sampai pada nama William de Cahagnes yang hidup pada Tahun 1066, ternyata Keynes ialah seorang tradisionalis. Kecakapan serta sifat-sifat baiknya diperoleh secara turun temurun. John Maynard Keynes yang lahir di Cambridge Inggris pada tanggal 5 Juni 1883, adalah salah satu tokoh pemikir ekonomi dunia yang sangat tersohor. Secara kebetulan tahun kelahiran Keynes bertepatan dengan tahun wafatnya Karl Marx yang juga sangat terkenal. Sungguhpun kedua tokoh pemikir ekonomi yang waktunya bersinggungan ini sangat berbeda pemikirannya, namun keduanya banyak mempengaruhi filsafat sistem kapitalis. Dilihat dari sifat hidupnya, Karl Marx adalah seorang pendendam, banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya, pemurung dan kecewa. Ia adalah perencana hancurnya Kapitalisme. Sebaliknya Keynes, Ia sangat mencintai kehidupan, cara hidupnya selalu mewah, dan sering berbuat seenaknya. Ia benar-benar tokoh pemikir ekonomi yang kaya dengan pengalaman hidup, cerdas dalam berkarya, dan berhasil menjadi arsitek kapitalisme yang tahan hidup. Dalam perjalanan kariernya, Keynes tercatat sebagai dosen dalam mata kuliah ilmu ekonomi dan keuangan di Cambridge University, dan menjadi bendaharawan King’s College sejak Tahun 1908. Di samping itu Keynes juga menjadi anggota Royal Cominision, sebagai Treasury (1915-1919) dan pada bulan Januari 1919 Ia menjadi utusan utama Inggris ke Konferensi Perdamaian Paris. Sebagai utusan konferensi itu, Ia mengundurkan diri pada bulan Juni 1919. Kemudian Ia menjabat sebagai presiden komisaris dan National Mutual Life Assurance Society dan memimpin suatu perusahaan investasi dari Tahun 1921 sampai Tahun 1938. Pengunduran Keynes itu sebagai tindakan protesnya terhadap pasal perampasan dalam Perjanjian Versailles. Karena, menurut Keynes bahwa dalam Perjanjian Versailles itu terdapat rangsangan yang tidak disadari untuk kebangkitan yang lebih hebat lagi dari militerisme dan autarki Jerman. Ternyata apa yang diutarakan Keynes menjadi kenyataan, karena dalam kurun waktu 20 tahun ramalan Keynes itu benar-benar menjadi kenyataan. Munculnya Gerakan Nazi Fasis di bawah Hitler menjadi dominan di Jerman sejak tahun 1933, dan pada akhir tahun 1939 meletuslah Perang Dunia II yang jauh lebih dahsyat dari peperangan-peperangan sebelumnya. Keynes waktu itu berpendapat bahwa Konferensi Versailles itu sebagai suatu penyelesaian dendam politik tanpa perhitungan yang tidak mempedulikan masalah yang mendesak pada waktu itu, dan hanya akan menghidupkan kembali Eropa menjadi sebuah kesatuan yang lengkap serta berfungsi. Pada Tahun 1941 Keynes diangkat menjadi direktur Bank of England (Bank Sentral Inggris) dan pada Tahun 1942 Ia menjadi The First Baron Keynes of Tilton, yakni suatu gelar kerajaan yang sangat terhormat berkat sumbangan pikirannya yang sangat besar itu. Kemudian pada bulan Juli 1944, Keynes dipercayakan memimpin delegasi Inggris ke Konferensi Moneter dan Keuangan PBB di Bretton Woods, Amerika. Dari konferensi itu lahirlah apa yang dikenal dengan Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (ZBRD yakni International Bank for Reconstruction and Development). Keynes juga pernah menjadi perunding utama dari Anglo-American Loan pada Tahun 1945.
179
Pada Tahun 1936, Keynes menerbitkan lagi buku hasil pemikirannya yang terpenting dan
terkenal hingga sekarang, yakni The General Theory of Employment, Interest, and Money. Dalam
buku itu diungkapkan bahwa pendapatan dan kesempatan kerja ditentukan oleh jumlah pengeluaran
swasta dan negara. Pendapat ini dinilai para ahli ekonomi dunia sebagai sebuah penyimpangan dari
tradisi Neo-Klasik dan akhirnya menciptakan mazhab baru, mazhab ekonomi modern yang biasa
dikenal dengan sebutan mazbab Keynesian.
Selain buku-buku tersebut, Keynes juga menerbitkan buku hasil pemikirannya tentang cara
untuk menghindari terjadinya inflasi. Buku itu berjudul How to Pay for the War. Ia menawarkan
suatu cara untuk menghindari terjadinya inflasi pada zaman perang yakni dengan jalan tabungan
paksa atau tabungan penangguhan. Pengaruh dari segala pemikiran Keynes sangat terasa di dalam
pembuatan anggaran pada zaman perang Inggris.
Dalam tradisi klasik ataupun neo-klasik, analisis-analisis ekonomi lebih banyak bersifat
mikro. Namun ketika John Maynard Keynes pada tahun 1920-an, mulai memisahkan ilmu ekonomi
makro (macroeconomics) dari ilmu ekonomi mikro (microeconomics). Sejak saat itu tradisi klasik
ataupun neo-klasik mulai ditinggalkan dalam berbagai analisis ekonomi. Kemudian pada tahun 1930-
an, pemisahan itu menjadi semakin jelas ketika muncul kesepakatan bersama antara Keynes dan para
ekonom lain, terutama John Hicks. Dalam hal ini, analisis ekonomi makro dilakukan dengan melihat
hubungan di antara variabel-variabel ekonomi secara agregat.
Mereka menjadi begitu terkenal karena gagasan-gagasannya mengatasi great depression, dan
Keynes adalah tokoh kunci yang mengusung gagasan mengenai pentingnya keberadaaan dan peran
Bank Sentral serta campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Ketika itu Keynes mengkritik
ekonomi klasik dan mengusulkan sebuah metode untuk management of aggregate demand. Pada
tahun 1930-an, sesudah great depression, negara semakin memainkan peranan pentingnya pada
sistem kapitalism di sebagian besar kawasan dunia. Sistem ekonomi ini sering disebut dengan mixed
economies. Sebagai contoh, pada Tahun 1929 total pengeluaran pemerintah Amerika Serikat kurang
dari 10% terhadap GNP; pada tahun 1970-an jumlah itu telah mencapai lebih dari 30%. Peningkatan
yang sama juga terjadi pada industrialized capitalist economies. Perancis misalnya, telah mencapai
ratios of government expenditures dari GNP yang lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat.
Pandangan Keynes sering dianggap sebagai awal dari pemikiran ekonomi modern. Keynes
banyak melakukan pembaharuan dan perumusan ulang doktrin-doktrin klasik dan neo-klasik. Karena
Keynes menganggap pentingnya peran pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, sehingga
179
Keynes sering disebut sebagai Bapak Ekonomi Pembangunan, dan sering juga disebut sebagai
Bapak Ekonomi Makro. Untuk memperkuat pemikiran ekonominya, Keynes berpendapat bahwa
pengeluaran masyarakat untuk konsumsi dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin tinggi tingkat
pendapatan masyarakat mengakibatkan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya.
Selain itu, pendapatan masyarakat juga berpengaruh terhadap tabungan. Semakin tinggi
pendapatan masyarakat, semakin besar pula tabungannya karena tabungan merupakan bagian
pendapatan yang tidak dikonsumsi. Walaupun pendapatan penting peranannya dalam menentukan
konsumsi, peranan faktor-faktor lain tidak boleh diabaikan.
Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi dan tabungan:
Pertama, kekayaan yang terkumpul: Seseorang yang memperoleh harta warisan/tabungan yang
banyak dari usaha di masa lalu, menjadikan seseorang itu memiliki kekayaan yang mencukupi.
Dalam keadaan seperti itu, ia sudah tidak terdorong lagi untuk menabung lebih banyak, sebagian
besar dari pendapatannya digunakan untuk konsumsi di masa sekarang. Sebaliknya, bagi kebanyakan
orang yang tidak memperoleh warisan mereka memiliki hasrat menabung yang lebih besar dan lebih
banyak di masa mendatang; Kedua,Tingkat bunga: tingkat bunga dapat dipandang sebagai
pendapatan yang diperoleh dari menabung. Rumahtangga dan masyarakat pada umumnya akan
menabung dalam jumlah yang lebih banyak apabila tingkat bunga tinggi, karena lebih banyak bunga
yang akan diperoleh; Ketiga, Sikap berhemat: pada umumnya, masyarakat mempunyai sikap dan
perilaku yang berbeda dalam menabung dan berbelanja. Ada masyarakat yang tidak suka berbelanja
berlebih-lebihan dan lebih mementingkan tabungan. Dalam masyarakat seperti itu Average
Propensity to Consume (APC) dan Marginal Propensity to Consume (MPC)-nya lebih rendah,
namun ada pula masyarakat yang mempunyai kecenderungan mengkonsumsi yang tinggi, ini berarti
APC dan MPC-nya adalah tinggi; Keempat, Keadaan Perekonomian: dalam perekonomian yang
tumbuh dengan stabil dan tidak banyak pengangguran, pada umumnya masyarakat cenderung
melakukan perbelanjaan lebih aktif. Mereka mempunyai kecenderungan berbelanja lebih tinggi pada
masa kini dan kurang menabung. Sedangkan dalam keadaan perekonomian yang lambat
perkembangannya, maka tingkat pengangguran menunjukkan tendensi meningkat, dan sikap
masyarakat dalam menggunakan uang dan pendapatannnya makin berhati-hati; dan Kelima,
Distribusi Pendapatan: dalam perekonomian yang distribusi pendapatan masyarakatnya tidak
merata, maka akan lebih banyak tabungan yang dapat diperoleh. Dalam kondisi yang demikian,
sebagian besar pendapatan nasional dinikmati oleh sekelompok kecil penduduk yang sangat kaya,
179
dan golongan masyarakat ini mempunyai kecenderungan menabung yang tinggi. Sedangkan sebagian
besar penduduk lainnya mempunyai pendapatan yang hanya cukup untuk membiayai konsumsi.
Pada kelompok masyarakat ini tabungannya kecil. Sebaliknya, dalam masyarakat yang distribusi
pendapatannya lebih seimbang, maka tingkat tabungannya relatif sedikit karena mereka mempunyai
kecondongan mengkonsumsi yang tinggi.
Berdasarkan pemikiran ekonomi dan berbagai pendapat yang melatarinya, Keynes berhasil
melakukan escape dari masa lalu, yaitu dari tradisi laissez faire yang dianut para pakar ekonomi
masa silam seperti Adam Smith, David Richardo dan gurunya sendiri Alfred Marshall. Keynes
kemudian berhasil membentuk suatu bangunan rumah utuh dalam struktur teori-teori ekonomi
baru, sehingga terjadi revolusi baik dalam teori bahkan kebijakan ekonomi.
G. TEORI PEMBANGUNAN JOSEPH SCHUMPETER
Joseph Schumpeter 16 adalah tokoh pembaharu dan pemikir ekonomi yang pertama memberi
perhatian serius dalam mengembangkan teori pertumbuhan ekonomi. Pandangan tokoh yang satu ini
memang berbeda dengan pemikiran Keynes ataupun Alfred Marshall bahwa perekonomian itu
merupakan sebuah kehidupan organik yang tumbuh dan berkembang secara perlahan-lahan sebagai
proses yang gradual, sedangkan Schumpeter memiliki pandangan yang lain bahwa perkembangan
ekonomi itu bukan merupakan proses yang harmonis ataupun gradual, melainkan merupakan
16 Tokoh ini nama lengkapnya Joseph Alois Schumpeter. Ia dilahirkan di Triesch, Moravia (bagian dari Austria-Hungaria, sekarang Trest di Republik Ceko). Ia merupakan murid yang luar biasa pintar dan sering dipuji oleh para gurunya. Ia memulai karirnya dengan mempelajari ilmu hukum di Universitas Vienna di bawah asuhan Eugen Von Bohm-Bawerk di mana ia memperoleh gelar doctoral pada Tahun 1906. Tidak beberapa lama kemudian, setelah menjalani profesinya, ia menjadi professor ilmu ekonomi dan pemerintahan di Universitas Czernowitz pada Tahun 1909, begitu pula di Universitas Graz pada Tahun 1911, di mana ia menetap hingga Perang Dunia I. Pada Tahun 1919 hingga Tahun 1920, dia menjadi Menteri Keuangan Austria yang sukses. Ia kemudian menjadi presiden bank swasta Biederman pada periode 1920-1924. Sayangnya bank itu bangkrut pada Tahun 1924. Dari Tahun 1925 hingga 1932, ia menjabat pada posisi penting di Universitas Bonn, Jerman. Karena harus meninggalkan Eropa Tengah akibat kemunculan kaum Nazi, dia memutuskan untuk berangkat ke Harvard (dimana ia telah mengajar pada Tahun 1927-1928 dan 1930), dan kembali mengajar dari Tahun 1932 hingga Tahun 1950. Selama bertahun-tahun di Harvard, ia tidak dianggap sebagai guru yang sangat baik, namun dia memiliki pengikut yang setia terhadap pemikirannya. Menurut catatan, Schumpeter tidak begitu diakui di kalangan teman sejawatnya. Hal ini disebabkan karena pemikirannya kurang sesuai dengan pemikiran Keynes yang sedang naik daun pada masa itu. Schumpeter menginspirasi beberapa ekonom matematika pada masanya dan bahkan menjadi presiden Econometric Society (1940-1941). Padahal, Schumpeter bukan seorang ahli matematika, melainkan seorang ekonom yang mencoba mengintegrasikan pengertian sosiologi pada teori ekonominya. Dalam konteks kekinian, ide Schumpeter mengenai siklus bisnis dan perkembangan ekonomi memang tidak ditangkap oleh ilmu matematika pada masa itu. Setidaknya diperlukan sistem dinamik yang non-linear yang telah dibakukan untuk menangkapnya. Di saat meninggal dunia, ia berusia 67 tahun. Karena jasa-jasanya yang besar terhadap pemikiran ekonomi, menjadikannya sebagai salah satu ekonom paling berpengaruh di abad ke-20. Dalam usianya yang relatif muda, kurang dari 30 tahun, ia telah berhasil menunjukkan karya monumentalnya dengan judul The Theory of Economic Development. Ia termasuk pionir dan pemikir pembangunan ekonomi yang pertama meletakkan dasar pengembangan teori pertumbuhan ekonomi.
179
perubahan yang spontan dan terputus-putus dengan munculnya ide-ide baru yang kreatif dan inovatif,
sehingga seolah-olah menjelma menjadi faktor pengganggu terhadap keseimbangan yang telah ada.
Tentunya, kreasi dan inovasi ini lahir dari proses yang panjang, mulai dari tranformasi
pengetahuan ke dalam invensi, kemudian berlanjut menjadi inovasi dalam output (barang dan jasa
yang diproduksi) dan inovasi pada sumberdaya yang dimiliki. Itulah sebabnya mengapa inovasi ini
membutuhkan proses yang lama dan berkelanjutan dalam pendayagunaan kreativitas individu dan
transformasi proses kreativitas individu ke dalam kreativitas bersama. Unsur strategis dalam aktivitas
entrepreneur adalah inovasi, yaitu aplikasi dari ide-ide baru dalam tehnik dan organisasi yang akan
membawa perubahan-perubahan dalam fungsi produksi. Inovasi akan mengerem siklus melingkar
dari ekonomi stationer dan menghasilkan perkembangan ekonomi dengan posisi ekuilibrium baru
pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Dalam perekonomian yang dinamis, jenis inovasi itu akan
muncul bunga, yang diintrepretasikan Schumpeter sebagai bagian dari pajak yang dibebankan pada
entrepreneur oleh bankir sebagai gantinya inflasi. Berbagai inovasi yang diprakarsai oleh imitator
dan speculator akan membuat gerakan siklus.
Menurut Schumpeter, inovasi dapat berbentuk: 1) memperkenalkan barang-barang baru atau
barang-barang berkualitas baru yang belum dikenal konsumen; 2) memperkenalkan metode produksi
baru; 3) pembukaan pasar baru bagi perusahaan; 4) penemuan sumber-sumber ekonomi baru; dan 5)
menjalankan organisasi baru dalam industri yang mampu menciptakan efisiensi.
Dalam kehidupan ekonomi yang makin modern, inovasi bukan sekedar jargon, tapi telah
menjadi keharusan. Ini sesuai dengan ragam dan sifat pekerjaan yang terus berubah, dan segalanya
menuntut do it better, faster and cheaper. Bahkan, Peter Drucker pernah mengingatkan, bahwa
dalam ekonomi yang telah maju sekalipun, jika tidak mampu memenuhi tuntutan inovasi, maka
ekonomi tersebut akan jatuh dan hancur ( for an established company which in an age demanding
innovation is not capable of innovation is doomed to decline and extinction).
Faktor utama penyebab perkembangan ekonomi adalah kualitas dari proses inovasi yang
dilakukan oleh para entrepreuner. Dalam hal ini, inovasi berpengaruh terhadap: i) temuan teknologi;
ii) keuntungan lebih; iii) akumulasi modal; dan iv) proses peniruan (imitasi) teknologi. Kesemuanya
itu dapat diwujudkan manakala dipenuhinya syarat-syarat seperti: 1) adanya calon pelaku inovasi
dalam masyarakat; 2) adanya lingkungan sosial, politik dan teknologi untuk merangsang semangat
inovasi dan pelaksanaan ide-ide untuk berinovasi; 3) tersedianya cadangan ide-ide baru secara
179
memadai; dan 4) adanya sistem perkreditan yang menyediakan dana entrepreneur untuk merealisir
ide tersebut menjadi kenyataan.
Memang, dalam ekonomi liberal sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling baik
dalam menciptakan pembangunan ekonomi, namun dalam jangka panjang sistem kapitalisme itu
akan mengalami stagnasi. Bahkan, Joseph Schumpeter pernah berpendapat bahwa dasar-dasar
ekonomi dan sosial sistem kapitalisme itu akan runtuh. Ia mendasarkan pendapatnya itu kepada tiga
hal: 1) bahwa usaha itu adalah fungsi wiraswasta; 2) runtuhnya rangka kehidupan masyarakat
kapitalis; dan 3) runtuhnya golongan-golongan politikus.
Dalam konteks dimana usaha sebagai fungsi wiraswasta, Schumpeter menyatakan bahwa
kemajuan teknologi itu dilakukan oleh para ahli dalam industri yang besar, inovasi tidak lagi
dilakukan oleh orang per orang tertentu ataupun merupakan pekerjaan rutin yang dipimpin oleh
manejer yang ahli dalam perusahaan besar. Wiraswasta dalam arti pemimpin individual tak lagi
berhak menaikan peranannya dalam perekonomian, atau dengan kata lain fungsi wiraswasta sudah
usang. Demikian halnya dengan runtuhnya rangka kehidupan masyarakat kapitalis, menurut
Schumpeter perusahan besar inilah yang akan mendorong perkembangan ekonomi yang lebih cepat,
dan besarnya perusahaan itu akan melemahkan kepemilikan swasta. Sementara runtuhnya golongan
politikus dapat ditelusuri melalui sejarah perkembangannya, bahwa pada mulanya raja-raja feodal
membantu tumbuhnya industri dan perdagangan secara politis melalui aturan-aturan yang
menguntungkan mereka. Kemudian, industri dan perdagangan ini secara ekonomis membantu raja-
raja tadi, tetapi dalam kapitalisme yang sudah maju kaum industrialis dan pedagang meruntuhkan
kekuatan feodal karena mereka tidak mampu untuk mengatur atau memerintah karena memang
mereka itu bukan ahli di bidang pemerintahan.
Jika ekonom Austrian School seperti Hayek dan Mises merubah warisan dari guru mereka
dengan cara mereka sendiri, maka Schumpeter mencoba lebih jauh dengan melepaskan diri dari
batasan-batasan yang dibuat dalam hasil karya pendahulunya. Tidak sekadar mengembangkan dan
memperkuat beberapa kecenderungan dalam tulisan pendahulunya, melainkan lebih terbuka pada
pengaruh-pengaruh di luar Austria. Dalam hal ini, Schumpeter sangat terbuka pada pemikiran Walras
yang dia kagumi sebagai seorang ekonom teoritis terbaik. Ia juga menyukai beberapa pengikut tradisi
Anglo-Amerika, dimana ia memiliki kontak pribadi secara langsung.
Ketika berumur dua puluhan, dia melepaskan pengaruh gurunya dengan mengembangkan
teori bunga yang berbeda dengan Bohm-Bawerk. Lebih jauh lagi, Schumpeter juga melepaskan
179
tradisi Austria dengan membentuk pendekatannya sendiri, yang disebut sebagai salah satu toleransi
metodologi. Pekerjaanya tidak hanya menyangkut pada jenis teori murni yang dibentuk oleh orang
Austria sebelumnya, tetapi lebih luas dan merefleksikan harapan yang tinggi yang diletakannya pada
ilmu ekonomi matematika dan studi empiris berorientasi kuantitatif17.
Teori siklus bisnis memiliki peranan penting karena banyak orang yang mempercayai
keberadaanya. Pada abad ke-19, siklus bisnis dikonsepsikan sebagai krisis-krisis yang menganggu
perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, para ekonom mulai mempercayai berulangnya
krisis-krisis tersebut, kemudian menganalisis bagaimana kejadian dari krisis-krisis itu dapat
dipisahkan dan dihubungkan dengan struktur ekonomi yang berubah.
Dalam konteks ini, perubahan lingkungan bisnis tampaknya menjadi faktor dominan yang
menentukan perubahan struktur eknomi. Perubahan lingkungan bisnis tersebut meliputi: perubahan
faktor lingkungan ekonomi, lingkungan industri, dan perubahan faktor lingkungan global. Dalam hal
perubahan faktor lingkungan ekonomi, ada beberapa komponen kritis yang perlu diantisipasi, yaitu
pertumbuhan ekonomi; inflasi; dan tingkat bunga. Dalam hubungan ini, pertumbuhan ekonomi secara
tidak langsung mempengaruhi tingkat revenue perusahaan, sedangkan faktor inflasi dan tingkat
bunga dapat menentukan besaran biaya operasional dan biaya bunga.
Pada perubahan lingkungan industri, komponen penting yang perlu diantisipasi adalah tingkat
permintaan dan persaingan industri; lingkungan pekerja; dan lingkungan regulator. Dalam hal ini,
permintaan industri dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, kependudukan, dan selera pelanggan.
Sedangkan pada tingkat persaingan industri dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi industri, penguasaan
pangsa pasar, keunggulan bersaing, dan karakteristik persaingan. Pada lingkungan pekerja, hal-hal
yang perlu dicermati adalah: upah pekerja; kebutuhan akan ketrampilan; dan serikat kerja.
Sedangkan perubahan lingkungan global meliputi: kondisi ekonomi di beberapa negara mitra;
nilai tukar dan pergerakannya; permintaan asing terhadap produk perusahaan; dan biaya penggunaan
pemasok atau sumberdaya asing. Dalam hal ini, kondisi ekonomi di beberapa negara mitra dan nilai
tukar berikut pergerakannya secara tidak langsung dapat berpengaruh pada penerimaan perusahaan,
sedangkan faktor permintaan asing terhadap produk perusahaan dan biaya penggunaan sumberdaya
17 Pandangan Schumpeter mengenai pengaruh entrepreneur dalam perekonomian dapat ditelusuri melalui ide-ide cerdasnya yang dituangkan dalam berbagai buku yang pernah ditulis, mulai dari The Theory of Economic Development (1912) hingga Business Cycles (1939) dan Capitalism, Socialism and Democracy (1942) yang menggambarkan tentang pentingnya elite entrepreneur untuk perubahan dan pertumbuhan, siklus bisnis, dan untuk keberlangsungan kapitalisme.
179
asing, secara tidak langsung dapat mempengaruhi biaya-biaya perusahaan. Dengan demikian,
perubahan lingkungan bisnis memiliki implikasi praktis terhadap penyelenggaraan praktik-praktik
bisnis. Semisal, praktik-praktik bisnis itu tidak akan berlangsung stabil dalam jangka panjang
melainkan akan mengalami pasang surut karena berkaitan dengan dan ditentukan oleh perubahan
faktor lingkungan bisnisnya. Gelombang pasang surut perubahan lingkungan bisnis ini pada
gilirannya akan menentukan besaran transaksi bisnis yang dihasilkan. Semakin intensif gelombang
pasang surut perubahan lingkungan bisnis itu berlangsung, akan semakin berfluktuasi besaran
transaksi bisnis yang dihasilkan.
Secara agregat, akumulasi nilai dari transaksi bisnis tersebut dalam jangka panjang akan
membentuk sebuah tren bisnis yang terpola secara fluktuatif seiring dengan perubahan faktor-faktor
lingkungan bisnis. Pola dari tren bisnis tersebut kemudian populer disebut sebagai siklus bisnis.
Dalam hal ini, siklus bisnis merupakan fluktuasi tingkat aktivitas bisnis dalam perekonomian yang
disebabkan oleh adanya perubahan pada kondisi permintaan, khususnya naik turunnya investasi.
Siklus bisnis18 tersebut berproses melalui empat fase, yaitu 1) fase puncak; 2) fase kontraksi;
3) fase depresi; dan 4) fase ekspansi. Menurut Nellis dan Parker (2000), masing-masing siklus bisnis
tersebut bertalian dengan suatu periode puncak yang menunjukkan permintaan konsumen meningkat
dengan cepat serta investasi dan laba bisnis adalah tinggi. Ketika permintaan konsumen dan
profitabilitas mengalami pertumbuhan yang menurun, serta investasi, produksi dan kesempatan kerja
juga berkurang, maka kemudian periode puncak berubah menjadi periode kontraksi. Dalam periode
kontraksi atau resesi, jika tidak dapat dilakukan perbaikan ekonomi, maka aktivitas bisnis akan terus
merosot dan berimbas pada meluasnya pengangguran yang semakin berat, kapasitas industri
terpasang tidak dapat digunakan, harga-harga yang stabil bahkan menurun, dan kepercayaan bisnis
merosot tajam. Kondisi ini merupakan kondisi terburuk dalam suatu perekonomian atau yang
kemudian disebut sebagai periode trough atau depresi. Sampai kapan periode depresi ini akan
bertahan? Dalam kenyataannya, periode depresi tidak akan dapat bertahan lama, karena semua
pelaku bisnis ingin secepatnya bangkit dari keterpurukan. Semangat itulah yang kemudian
mendorong upaya pemulihan ekonomi seiring dengan tumbuhnya investasi dan kesempatan kerja,
serta kembalinya kepercayaan dunia bisnis. Sejak itu periode depresi segera berakhir dan kondisi
18 Secara alami, tidak semua siklus ekonomi beroperasi dalam ukuran yang sama (the same yardstick). Klasifikasi berikut, yang pada awalnya diciptakan Schumpeter (1939), dapat dibedakan berdasarkan durasi waktu kejadiannya: 1) Siklus musiman – satu tahunan; 2) Siklus Kitchin – tiga tahunan; 3) Siklus Juglar – 9-10 tahunan; 4) Siklus Kuznets – 15-20 tahunan; dan 5) Siklus Kondratiev – 48-60 tahunan.
179
perekonomian kembali mengalami pertumbuhan atau yang disebut sebagai periode ekspansi, hingga
pada gilirannya kondisi itu akan kembali menuntun pada suatu periode puncak yang baru dengan
siklusnya yang akan berulang kembali. Dalam hal ini, kemudian muncul pertanyaan, apakah siklus
bisnis dapat dihindari?
Seiring dengan berjalannya waktu, siklus bisnis tampaknya semakin berkurang kualitasnya.
Faktor-faktor penentu stabilitas seperti: (1) semakin sempurnanya aliran modal; (2) kebijakan
pemerintah semakin terbuka dan dapat diprediksi; dan (3) pemahaman pemerintah yang semakin baik
terhadap kondisi perekonomian dapat mencegah perekonomian menuju resesi. Hingga pada dekade
1990, banyak dari kalangan ekonom menilai bahwa siklus bisnis telah mati. Di Amerika Serikat
siklus bisnis sudah tidak terjadi, tetapi di negara lain siklus bisnis masih muncul. Sungguhpun
penyebab resesi sudah dikenali, sehingga resesi dapat ditekan terjadinya, namun tidak akan ada
kekuatan yang mampu menghadang terjadinya resesi itu.
Ringkasnya, dengan memahami secara komprehensif tentang siklus bisnis dengan segala
implikasinya, akan dapat mengantarkan para pelaku bisnis mengetahui tentang apa yang harus
dilakukan dan bagaimana bertindak. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika bisnis telah
memasuki dunianya yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu suatu dunia kehidupan yang penuh
dengan dinamika dan ketidakpastian, maka bisnis pun secara organisasional dan operasional telah
berubah serta semakin menunjukkan identitas dan karakter sistemnya.
Tentang kejatuhan kapitalisme, seperti yang dinyatakan oleh Schumpeter dalam bukunya
Capitalism, Socialism and Democracy tidak sama dengan skema Karl Marx. Kejatuhan kapitalisme,
menurut Schumpeter akan muncul sebagai hasil (bukan dari kegagalan) dari kesuksesan kapitalisme
yang dikaitkan dengan takdir dari elite entrepreneur. Seperti yang dikatakan dalam analisis Karl
Max, faktor yang menentukan di sini adalah kebangkitan rasionalisme, yang membuat kapitalisme
berkembang tetapi dihancurkan oleh sekat-sekat sosial yang terbentuk di dalamnya.
Kecenderungan umum yang terjadi menunjukkan bahwa ketika perusahaan berkembang
semakin besar maka perasaan kemanusiaan semakin tak dimiliki, dan dengan skala yang besar itu,
inovasi seakan merupakan hak dari pemimpin-pemimpin industri. Di saat itulah berlangsung proses
depersonalized, dimana aktivitas inovasi ditransformasi menjadi kegiatan administrasi rutin yang
dilakukan oleh orang-orang bergaji dan para pemegang saham.
Mengenai monopoli, creative destruction dan evolusi ekonomi juga menjadi perhatian
Schumpeter. Hal ini ditunjukkan oleh pujian Schumpeter terhadap entrepreneur, namun ia juga
179
meminta kepada ekonomika Keynesian untuk memakluminya bahwa ia sangat menentangnya. Ia
melihat kekuatan monopoli sebagai insentif yang pas dan reward yang tepat bagi entrepreneur yang
berinovasi, yang akan menikmati kekuatan tersebut hanya pada jangka waktu yang terbatas, hingga
kemudian dipatahkan dan digantikan dalam rantai creative destruction oleh monopoli dari inovator
yang menyusul berikutnya.
Untuk alasan-alasan penolakannya terhadap follow the crowd, Ia tetap menentang implikasi
kebijakan dari ide-ide Keynes yang dianggapnya sebagai ancaman bagi tumbuhnya inovasi yang
merupakan faktor pendorong dalam ekonomi, yaitu inisiatif swasta daripada kebijakan publik.
Upaya Schumpeter membahas evolusi sosial dan ekonomi, telah dituangkan dalam bukunya
yang berjudul Evolutionary Trilogy: The Theory of Economic Development, Business Cycles, dan
Capitalism, Socialism, dan Democracy. Namun dalam perkembangannya, analisis-analisis yang
ditemukan dalam buku-buku tersebut belum diintegrasikan dengan berbagai penelitian terkini.
Bahkan, cenderung terspesialisasi dalam rutinitas ekonomi dan transformasi inovatif, dalam analisis
kuantitatif mengenai evolusi gelombang ekonomi, atau dalam koevolusi antara kehidupan ekonomi
dan sosio-politis (capitalism). Kekuatan dari analisis yang dilakukan Schumpeter sesungguhnya bisa
diperoleh dengan mengkombinasikan ranah studi secara lebih sistematis. Dalam hal ini, Schumpeter
mengilustrasikan proses ekonomi yang tertuang dalam konsep creative destruction atau
penghancuran kreatif. Dalam ilustrasi ini, Schumpeter dengan mudah menunjukkan bahwa konsep
tersebut menyebar pada seluruh trilogi evolusi, dan untuk pertama kalinya dia menunjukkan konsep
ini secara eksplisit dalam bukunya Capitalism:
Butir penting untuk dimengerti ketika menghadapi kapitalisme yaitu kita berhadapan dengan proses evolusioner…(hal itu merupakan proses) yang terus menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam (from within) yang senantiasa menghancurkan bagian lama dan senantiasa menghasilkan bagian baru. Proses penghancuran kreatif merupakan fakta penting mengenai kapitalisme. Hal itu terkandung dalam kapitalisme dan harus dihadapi kapitalis yang ingin berlanjut (Schumpeter 1942: 82-83).
Dalam konsep creative destruction, Schumpeter berusaha menjelaskan mengenai perubahan
ekonomi dengan cara-cara di luar pola yang umum. Pertama, evolusi ekonomi itu bukan merupakan
proses pertumbuhan sederhana dimana seluruh sektor dalam kehidupan ekonomi berekspansi secara
seimbang. Sebaliknya, evolusi ekonomi ditandai oleh kreasi baru dan penghancuran terhadap produk
dan proses lama. Selanjutnya, kemunculan perusahaan-perusahaan baru yang jumlahnya cukup
banyak, oleh perusahaan-perusahaan lain tidak dibarengi dengan peningkatan kompetensi dan bahkan
179
mengganti bidang spesialisasinya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan itu tereliminasi dan lenyap
dalam proses evolusioner, dan para pekerja yang kehilangan pekerjaannya menghadapi tekanan yang
berat karena kehilangan kesejahteraan (welfare loss). Hal ini terlihat jelas pada keuntungan jangka
panjang para kapitalis dari evolusi tersebut, yang selanjutnya menjadi tantangan permanen bagi
lembaga kapitalisme. Oleh sebab itu, proses creative destruction merupakan konsep yang
merefleksikan perjuangan kompetitif dan fokus terhadap reaksi-reaksi atas hilangnya kesejahteraan
sementara pada tingkat mikro dan makro.
Sekalipun konsep creative destruction dari Schumpeter telah menggambarkan secara efektif
mengenai evoulusi capitalis, namun masih terlalu umum untuk berbicara mengenai creative
destruction dalam literatur strategi bisnis dan perubahan struktural, karena masih merupakan
pertanyaan terbuka apakah hal itu merupakan konsep yang operasional. Oleh sebab itu, Helmstadter
dan Perlman (1996:1) menyatakan bahwa konsep creative destruction merupakan suatu slogan yang
asal-asalan (careless) yang tidak perlu diperhitungkan.
Istilah creative destruction 19 menjadi ambigu jika dipertimbangkan dalam konteks dimana
Schumpeter menggambarkannya secara terpisah-pisah. Karena paling sedikit ada tiga konsep
creative destruction yang dapat saling menghubungkan konsep-konsep ini atas penemuan
Sombart, Simon, dan Schumpeter. Secara harafiah konsep creative destruction dalam beberapa
aspek memiliki sifat creative. Pemaknaan ini muncul dari Werner Sombar, anggota terkemuka
dari German Historical School. Dia memakai konsep itu pada buku War and Capitalism,
sehingga masalah destruction menjadi jelas. Dia mengilustrasikan mengenai ini dengan
mengambil contoh tentang destruction masal dari hutan Eropa, bahwa:
Dari penghancuran, jiwa kreasi muncul; kurangnya kayu dan keperluan hidup sehari-hari… mendorong penemuan substitutis terhadap kayu, memaksa penemuan substitusi dari kayu, memaksa penggunaan batu bara untuk memanaskan, memaksa penemuan koka untuk
19 Schumpeter pada Tahun 1942 menulis konsep creative destruction sebagai bagian utama dari kemajuan, namun pada Tahun 1947 dia memikirkan kembali konsep tersebut dan menggantinya dengan response kreatif. Hal ini mengindahkan fakta bahwa Schumpeter tidak pernah membuang visinya mengenai destruksi kreatif. Dalam tulisan pada Tahun 1947, Schumpeter menekankan respons kreatif karena dia terlibat dalam pendirian Harvard Research Center dalam Sejarah Entrepreneur, tetapi ia masih mempertimbangkannya sebagai suatu akspek terbatas dari keseluruhan proses destruksi kreatif. Dalam pandangan Schumpeter, kreasi merupakan kejadian yang relatif independen dan bukan merupakan respons adaptif terhadap kekurangan atau tekanan lainnya. Oleh sebab itu, inovasi enterepreneur muncul pertama kali melalui bekerjanya sistem ekonomi yang menyebabkan destruksi terhadap cara-cara lama. Kurang dari dua bulan sebelum ia meninggal, di menjawab isu makroskopik mengenai siklus bisnis, dan saat itu ia harus kembali pada keseluruhan proses yang menghasilkan evolusi berbentuk gelombang. Dalam hubungan tersebut, Schumpeter (1949: 326) menyatakan: “kita harus meneliti berdasarkan sejarah, proses industri sebenarnya yang menghasilkannya dan dalam melakukannya merevolusi struktur ekonomi yang ada”. Oleh sebab itu, ada sedikit keraguan bahwa ia akan terus berfokus pada “proses destruksi kreatif” yang kita lihat sebagai inti dari kapitalisme (Schumpeter 1942:104).
179
menghasilkan besi. Bahwa peristiwa-peristiwa ini memungkinkan perkembangan yang luar biasa dari kapitalisme pada abad 19, dan tidaklah diragukan lagi oleh orang-orang yang berpengalaman (Sombart, 1913: 207).
Terkait dengan creative destruction ini, Herbert Simon (1982) berpendapat bahwa
destruction itu bukan destruksi sumberdaya yang sesungguhnya, akan tetapi ancaman potensial bagi
keberlangsungan perusahaan hingga menyebabkan munculnya perubahan dalam cara-cara kerja yang
rutin. Menurut model Simon, perusahaan-perusahaan akan tetap mengikuti cara-cara kerja yang rutin
manakala masih mampu mempertahankan kinerja yang memuaskan. Namun, ketika hal tersebut
tidak lagi terjadi, misalkan karena tekanan kompetitif, maka perusahaan-perusahaan itu mulai
mencari inovasi atau imitasi cara-cara yang lebih baik. Jika berhasil, maka perusahaan-perusahaan itu
akan membuang cara-cara kerja yang lama dan menghindari destruksi organisasi. Pandangan ini
sesuai dengan transformasi mengenai cara bercocok tanam di masyarakat Belanda pada abad ke -19.
Dalam pandangan Schumpeter, creative merupakan kejadian yang relatif independen dan
bukan merupakan respons adaptif terhadap kekurangan atau tekanan lainnya. Oleh sebab itu, inovasi
enterepreneur muncul pertama kali melalui bekerjanya sistem ekonomi yang menyebabkan destruksi
terhadap cara-cara lama.
Mengenai konsep creative destruction ini oleh Schumpeter diformulasikan dengan skema
analitis evolusi dalam pembangunan dan siklus ekonomi. Menurut skema ini, evolusi dari cara-cara
kerja dalam perekonomian akan terjadi melalui rangkaian kejadian-kejadian berikut:
(1) Initial equilibrium: bahwa titik equilibrium awal dari suatu sistem ekonomi didasarkan pada
cara-cara kerja yang solid. Sistem ini diasumsikan memiliki equilibrium yang membiarkan
beroperasinya agen-agen ekonomi dalam cara-cara kerja yang biasa dilakukan.
(2) Inovation: kondisi equilibrium awal akan hancur ketika inovator-inovator memulai usahanya.
Hal ini akan meningkatkan perekonomian, namun secara perlahan arus inovasi menghilang
karena terbatasnya kemampuan berinovasi dalam kondisi di luar equilibrium awal.
(3) Ekuilibrium yang diperbarui melalui creative destruction: untuk dapat mempertahankan
suatu perekonomian yang terus meningkat, tampaknya tidak cukup hanya dengan berinovasi,
karena proses kompetitif dalam creative destruction ini mengalami penurunan yang cukup
tajam. Dari kejadian ini, perusahaan-perusahaan tua dipilih dan yang lain bertahan dari cara-cara
lama yang merusak. Pada akhirnya, hanya cara-cara lama yang dibaharui yang dapat bertahan
dan eksis dalam perekonomian.
179
(4) Evolusi ekonomi sebagai proses creative destruction: evolusi ekonomi dan cara-cara lama
dalam sistem perekonomian pada kondisi equilibrium dapat merusak daya inovatif. Proses ini
menciptakan reaksi sosio-politis yang dapat mengubah fungsi masa depan secara radikal.
Ringkasnya, dari skema Schumpeter mengenai evolusi ekonomi hanya terdapat dua konsep
yang saling berhubungan, yaitu koevolusi perekonomian dan sistem sosio-politik. Menurut
Schumpeter, konsep destruksi kreatif dapat dipandang sebagai alat utama untuk menghubungkan
ilmu ekonomi dan sosiologi dalam masyarakat kapitalis. Argumentasinya jelas, bahwa sungguhpun
konsekuensi dari evolusioner adalah kenaikan dalam standar umum kehidupan, namun reaksi sosio-
politis tetap ada. Reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa kapitalisme masih mengandung
instabilitas dari creative destruction. Orang-orang yang merasa kehilangan akan cenderung bereaksi
dengan kebencian dan melupakan isu penerimaan kaum kapitalis jangka panjang. Reaksi sejenis
itu mendorong tindak kekerasan yang terus meningkat terhadap setiap pencapaian dari evolusi
kapitalis dari para pekerja yang didukung oleh kaum intelektual.
I. TEORI POST-KEYNESIAN
Sebutan Neo-Keynesian atau Post Keynesian sebenarnya dialamatkan kepada para pemikir
ekonomi yang tergabung dalam kelompok penerus ajaran Keynes. Mereka yang tergabung dalam
kelompok ini diantaranya: Alvin Hrvey Hansen (1887-1975); Simon Kuznets (1901-1985); John R.
Hicks (1904-1984); Wassily Leontief (1906-1981); R.E. Harrod dan Evsey Domar; W. Arthur
Lewis; H.B. Zchenery dan Moises Syrquin; dan masih banyak lagi tokoh pemikir lainnya. Oleh
karena itu, berbagai teori yang mereka kembangkan disebut dengan Teori Post Keynesian.
Teori Post Keynesian mendasarkan teorinya pada keadaan waktu sekarang seperti tingkat
bunga, teknologi, tenaga kerja, dan selera dalam perspektif jangka pendek. Dalam teori ini, persoalan
penting yang dihadapi adalah: 1) Syarat-syarat apakah yang diperlukan untuk mempertahankan
pertumbuhan yang mantap pada tingkat kesempatan kerja penuh tanpa mengalami deflasi ataupun
inflasi; dan 2) Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa sehingga
dapat mencegah terjadinya inflasi secara terus menerus.
Menghadapi dua persoalan tersebut, dalam aliran Post Keynesian dikenal beberapa teknik/
model analisis yang relevan untuk digunakan, diantaranya adalah 1) analisis mengenai pertumbuhan
yang mantap; dan 2) analisis mengenai perubahan struktural. Kedua model analisis ini akan
dijelaskan secara komprehensif sebagai berikut:
179
1) Analisis Pertumbuhan yang Mantap (Steady Growth)
Dalam pandangan kaum klasik, pembentukan modal merupakan pengeluaran yang akan
meningkatkan jumlah barang-barang modal dalam masyarakat. Manakala barang-barang modal
tersebut bertambah, maka dengan sendirinya produksi dan pendapatan nasional akan meningkat dan
pembangunan ekonomi akan tercipta. Keadaan ini bisa terjadi karena berlakunya hukum supply
creates its own demand, bahwa bertambahnya barang-barang modal yang terdapat dalam masyarakat
akan dengan sendirinya menciptakan pertambahan produksi nasional dan pembangunan ekonomi.
Dengan anggapan ini, maka kaum klasik tidak memberikan perhatian kepada fungsi kedua dari
pembentukan modal dalam perekonomian, yaitu akan mempertinggi tingkat pengeluaran masyarakat.
Kondisi yang sebaliknya terdapat dalam analisis Keynes, yaitu mengabaikan sama sekali
peranan pembentukan modal sebagai pengeluaran yang akan mempertinggi kesanggupan sektor
perusahaan untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan masyarakat. Dalam analisis Keynes
perhatian lebih ditekankan pada masalah kekurangan pengeluaran masyarakat, karena ia menganggap
tingkat kegiatan ekonomi ditentukan oleh tingkat pengeluaran seluruh masyarakat dan bukan pada
kesanggupan barang-barang modal dalam memproduksikan barang-barang dan jasa. Oleh karena itu
dalam menganalisis penanaman modal, kegiatan tersebut terutama dipandang sebagai tindakan untuk
memperbesar pengeluaran masyarakat.
Model analisis Harrod-Domar20 merupakan perluasan dari model analisis Keynes mengenai
kegiatan ekonomi secara nasional. Menurut mereka, analisis Keynes dianggap kurang lengkap,
karena tidak mengatasi masalah-masalah ekonomi dalam jangka panjang. Tujuan dari analisis
Harrod-Domar adalah untuk menutup kelemahan tersebut.
Dalam analisisnya, Harrod-Domar memberikan perhatian yang serius terhadap pembentukan
modal dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran
yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang, ataupun
sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif masyarakat. Pandangan inilah yang
membedakan pandangan kaum Klasik dan Keynes yang memberikan perhatian hanya pada satu aspek
saja dari pembentukan modal.
20 Teori Harrod-Domar untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh dua orang ahli ekonomi sesudah Keynes, yaitu R.E. Harrod dan Evsey Domar. Harrod mengemukakan teori tersebut pada Tahun 1939 dalam Economic .Journal, kemudian menyusul Domar pada Tahun 1947 dengan mengemukakan teorinya dalam American Economic Review. Sebenarnya teori tersebut dikembangkan oleh kedua ahli ekonomi itu secara terpisah. Akan tetapi karena inti dari teori tersebut sama, maka selanjutnya dikenal sebagai teori Harrod-Domar.
179
Analisis ini mampu menunjukkan suatu kenyataan yang diabaikan dalam analisis Klasik
ataupun dalam analisis Keynes, bahwa apabila pada suatu waktu tertentu dilakukan sejumlah
pembentukan modal, maka pada masa berikutnya perekonomian tersebut mempunyai kesanggupan
yang lebih besar untuk menghasilkan barang dan jasa.
Model analisis Harrod-Domar dibangun berdasarkan beberapa postulat, diantara adalah:
(1) Tabungan (S) sebagai fungsi dan bagian proporsional yang konstan dari pendapatan nasional
(Y). S=∫(Y) dan S = sY. Dalam hal ini, s mencerminkan hasrat menabung (propensity to save)
baik dalam arti rata-rata maupun dalam arti tambahan (incremental or marginal propensity to
save). Hal ini berarti bahwa hasrat menabung itu berlangsung dengan laju yang konstan, sepadan
dengan laju pertumbuhan pendapatan. Bagian proporsional yang dimaksud dapat dinyatakan
sebagai nisbah tabungan terhadap pendapatan nasional (ratio of saving to national income,
savings-ratio) yang bersifat konstan: s = S/Y;
(2) Selama periode tertentu t, tabungan yang direncanakan (tabungan ex-ante) seluruhnya dapat
terealisasi. Dengan kata lain, tabungan ex-ante (Sa) seluruhnya dapat dicapai dan kemudian
menjadi tabungan ex-post (Sp) pada akhir periode t, sehingga (Sa = Sp). Dalam konteks ini,
tabungan ex-post selalu sama dengan investasi ex-post, keduanya terwujud dalam periode t itu.
Dengan demikian, hal-hal yang diketahui sekarang sebagai pangkal tolak dalam kerangka
pemikiran Harrod adalah bahwa selama periode t, baik tabungan ex-ante maupun ex-post akan
sama dengan investasi ex-post ( atau Sa=Sp=Ip). Permasalahan yang muncul kemudian adalah
bagaimana investasi ex-ante (Ia) yang semula direncanakan pada awal periode t, dibandingkan
dengan investasi ex-post (Ip) yang terlaksana selama periode t itu juga?
(3) Dalam model Harrod, cadangan modal atau faktor C dianggap tidak mengalami depresiasi,
begitupun dengan teknologi, tidak megalami perubahan. Postulat ini digunakan oleh Harrod
untuk menyederhanakan kerangka pemikiran selanjutnya;
(4) Tenaga kerja atau faktor L dianggap sebagai faktor eksogen. Sifat eksogen mengandung arti
bahwa pertumbuhan tenaga kerja tidak dipengaruhi oleh variabel-variabel yang lainnya dalam
suatu perekonomian. Selanjutnya, pertumbuhan tenaga kerja dengan laju yang konstan itu
dinyatakan dengan huruf n, sehingga n = ΔL/L;
(5) Dalam Model Harrod, jumlah C dan L yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat produksi
tertentu (O=Y) dianggap telah berada dalam kondisi keseimbangan yang ajeg. Dengan kata lain,
179
fungsi produksi dalam Model Harrod mengacu kepada pola produksi dengan koefisien tetap
(fixed coefficients). Maka dari itu, gagasan Harrod didasarkan atas capital-output ratio (C/Y)
dan labour-output ratio (L/Y) yang konstan;
(6) Dalam model analisis Harrod, average capital-output ratio dianggap sama dengan incremental
capital-output ratio, ICOR, yaitu ΔC/ΔL, walaupun hal itu tidak dinyatakan secara eksplisit.
Namun, dalam pemikiran Harrod ternyata lebih mengutamakan peranan ICOR (ΔC/ΔL). Dalam
hal ini, ICOR ditafsirkan dalam dua pengertian: (i) sebagai nisbah tambahan modal (ΔCt) yang
terlaksana dalam periode t ( Ipt=investasi ex-post) terhadap tambahan pendapatan yang
diperoleh dalam periode t itu juga (ΔYt). Dengan kata lain ΔCt = Ipt dibagi ΔYt atau Ipt/ΔYt; dan
(ii) tambahan cadangan modal (ΔC) atau investasi neto dalam arti ex-ante (Ia) dikaitkan dengan
tambahan pendapatan yang diharapkan dan dianggap memadai oleh para usahawan/calon
investor. Artinya ΔC = Iat dan ICOR adalah Iat/Yat. Pada akhir periode t, hal yang penting bagi
para investor adalah agar mereka puas dan dapat mempertanggungjawabkan tambahan investasi
yang dilakukannya selama periode t, karena hal itu telah membawa tambahan pendapatan pada
tingkat yang memang diperkirakan semula. Dalam hal ini, ΔCat = Iat dan ICOR adalah
ΔCat/ΔYat atau Iat/ΔYat. Perbedaan antara dua pengertian mengenai ICOR tersebut penting
untuk diperhatikan karena menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat investasi (ex-ante).
(7) Labour-output ratio (LOR) yang bersifat konstan dinyatakan dengan huruf u dan mencerminkan
nisbah penggunaan jumlah tenaga kerja terhadap hasil produksi total. Oleh karena nisbah
tersebut sifatnya konstan, maka setiap tingkat produksi senantiasa digunakan tenaga kerja
dengan jumlah L/u. Artinya, jika semua tenaga kerja digunakan secara penuh, maka hasil
produksi maksimal adalah L/u. Hal itu telepas sama sekali dari besar kecilnya stock modal. Pada
saat jumlah tenaga kerja bertambah dengan laju n, maka tingkat produksi maksimal masih bisa
meningkat, akan tetapi hanya untuk sementara waktu dan tidak secara permanen. Sebab, dengan
mengacu dalil LOR yang konstan, maka laju pertumbuhan produksi dan pendapatan Y/Y tidak
mungkin melebihi laju pertambahan tenaga kerja n yang sifatnya konstan. Jika pada awal suatu
periode semua tenaga kerja digunakan secara penuh, maka laju maksimal dari pertumbuhan
produksi dan pendapatan ditentukan oleh laju pertambahan tenaga kerja (yang bersifat eksogen).
Dengan memperhatikan serangkaian postulat dalam model Harrod, maka kini dapat disimak
kesimpulan-kesimpulan pokok yang menonjol dari gagasan teoritisnya.
179
2)Laju Pertumbuhan, Tabungan dan Capital-Output Ratio
Dalam pembahasan ini, laju pertumbuhan disimbolkan dengan huruf g dan g = ΔY/Y; hasrat
menabung sebagai bagian proporsional dari pendapatan nasional, savings ratio, disimbolkan dengan
huruf s dan s = S/Y; dan seluruh tabungan yang ada tersalur sebagai investasi neto, S = ΔC = I,
sehingga s = S/Y = I/Y. Dalam pembahasan selanjutnya, capital coefficient atau Incremental
Capital-Output Ratio (ICOR) disimbolkan dengan k (Istilah capital coefficient atau Incremental
Capital-Output Ratio menunjuk pada hubungan antara penggunaan modal dan tambahan pendapatan
yang diperoleh dari penggunaan modal itu).
Seperti diketahui, k = C/Y ataupun k = I/ΔY (karena C = I). Dalam hal ini, ΔY/Y = I/Y: I
ΔY, sehingga laju pertumbuhan g = s/k, dan selanjutnya rumus g = s/k ini menjadi persamaan dasar
dalam model analisis Harrod. Satu sama lain memiliki arti bahwa laju pertumbuhan adalah sama
dengan hasrat menabung dibagi COR, atau secara kuantitatif dinyatakan bahwa laju pertumbuhan
adalah sama dengan savings ratio dibagi COR. Karena s dan k dianggap konstan, maka laju
pertumbuhan produksi dan pendapatan juga konstan.
Dalam suatu perekonomian, pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan menambah tabungan
sebagai bagian dari pendapatan nasional (meningkatkan savings ratio) atau dengan menurunkan
COR ataupun dengan kedua-keduanya, yaitu meningkatkan savings ratio disertai dengan penurunan
COR. Cara-cara semacam ini mengandung ramifikasi penting, khususnya berkenaan dengan
ekonomi pembangunan dan kebijaksanaan pembangunan negara-negara berkembang. Sebab, hal itu
satu sama lain memiliki arti peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan dana secara
efektif dalam produksi nasional.
Penjelasan mengenai hubungan antara laju pertumbuhan, tabungan-investasi, dan COR
seperti diuraikan di atas merupakan penafsiran pokok yang paling sederhana dalam kesimpulan teori
Harrod, bahwa g = s/k. Perlu diingat disini bahwa perhatian Harrod berkisar pada pertumbuhan
produksi dan pendapatan yang berproses dalam perkembangan dan perubahan keadaan equilibrium.
Persamaan dasar ini menunjukkan suatu perimbangan yang diperlukan untuk mempertahankan
equilibrium antara tabungan dan investasi dalam perkembangan waktu. Tabungan tergantung dari
pendapatan dan bagaimana mengenai investasi? Investasi dilakukan oleh pihak golongan yang lain
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sendiri. Dalam model Harrod, investasi yang terlaksana
dalam suatu periode tertentu (investasi ex-post) dianggap sama dengan tabungan ex-ante maupun
tabungan ex-post dalam periode yang bersangkutan sehingga Sa = Sp = Ip.
179
Bagaimana dengan investasi ex-post yang sudah terlaksana dibandingkan dengan investasi
ex-ante pada awal periode? Investasi ex-ante mencerminkan pertimbangan dan harapan para investor
mengenai laju pertumbuhan pendapatan yang dianggap memadai dari sudut investasi yang hendak
dilaksanakan. Dalam pandangan para investor, besar kecilnya tambahan investasi sangat terkait
dengan peningkatan pendapatan nasional yang dianggap memadai. Memadai disini dimaknai bahwa
laju pertumbuhan di masa datang harus memberi imbalan jasa yang memuaskan bagi tambahan
investasi. Dalam kondisi ini, para investor dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan dari
tambahan investasi itu. Sebab, laju pertumbuhan pendapatan di masa datang mengandung berbagai
kemungkinan untuk tambahan balas jasa yang memadai atas tambahan investasi yang hendak
direalisasikan. Dalam hubungan inilah muncul arti dan relevansi konsepsi Harrod mengenai
warranted rate of growth dan natural rate of growth maupun mengenai azas acceleration.
Laju pertumbuhanh pendapatan yang memadai sebagaimana dimaksud oleh Harrod disebut
sebagai warranted of growth. Laju pertumbuhan itu menambah investasi melalui azas akselerasi.
Azas ini menunjuk pada hubungan (relation) antara kenaikan pendapatan dan kenaikan investasi:
jumlah investasi yang dikehendaki atau dianggap perlu dalam suatu periode tertentu tergantung dari
tingkat kenaikan produksi (atau laju pertumbuhan pendapatan). Sedangkan pada model analisis
Domar berkisar pada peran ganda dari investasi dalam proses ekonomi, yaitu 1) investasi
menentukan tingkat pendapatan secara aktual melalui proses multiplier; dan 2) investasi menambah
persediaan stock modal sehingga akumulasi modal yang bersangkutan meningkatkan potensial
kemampuan berproduksi di masa datang untuk mencapai tingkat pendapatan secara maksimal.
Selanjutnya, dalam model analisis Domar dibentuk susunan formal dengan mempergunakan
formula yang penggunaannya mirip dengan model Harrod, sebagai berikut:
Y = tingkat produksi dan pendapatan aktual (yang secara nyata ada);Y = produksi dan pendapatan potensial yang dapat dicapai secara maksimal (maximum potensial
level of national income). Pengertian ini analog dengan natural rate of growth versi Harrod.s = hasrat menabung, baik dalam arti rata-rata (average propensity to save) maupun dalam arti
tambahan (marginal propensity to save). Keduanya dianggap sebagai besaran yang konstan.I = Arus investasiQ = produktivitas investasi potensial, pengertian ini mencerminkan produktivitas modal Y/C, yaitu
produksi atau pendapatan dibagi jumlah modal yang terkait dengan hasil produksi per unit modal. Pengertian ini merupakan kebalikan dari COR, k, sehingga Y/C = 1/k. Dengan begitu, q = 1/kr, dimana kr mencerminkan COR yang dianggap perlu (required COR). Dalam konteks model analisis Domar hal itu ditafsirkan sebagai produktivitas potensial (dan maksimal), perihal peranan investasi; dan q = 1/kr dianggap sebagai besaran konstan.
179
Tingkat perubahan pada kapasitas produksi yang potensial bersangkut paut dengan tingkat investasi
tertentu, yaitu q = Ϋ/L. Oleh karena q adalah besaran konstan, maka Ϋ = qL ..... (1)
Tingkat pendapatan aktual ditentukan melalui proses multiplier adalah Y = I/s * I, ataupun dengan
adanya perubahan pendapatan dalam perkembangan waktu: Ϋ = I/s*I ..... (2)
Dalam analisisnya, Domar mendasarkan pada kondisi ekonomi yang equilibrium dengan
kesempatan kerja penuh, sehingga Y = Ϋ. Maksud utama kajian Domar adalah untuk menentukan
laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat dipertahankan kondisi Y = Ϋ itu. Jika Y = Y
hendak dipertahankan, maka implikasinya ialah bawa Ϋ = Ϋ. Dengan memperhatikan persamaan (1)
dan (2) diperoleh qΪ = 1/s*I, atau Ϊ/I = sq ..... (3).
Dari persamaan (3), laju pertumbuhan investasi sangat diperlukan agar tingkat pendapatan
aktual tetap sama dengan tingkat pendapatan potensial dan maksimal. Laju pertumbuhan investasi
yang dimaksud terletak pada tingkat sq yang proporsional dan konstan. Dari ulasan ini juga nampak
analogi persamaan (3): Ϊ/I = sq dengan persamaan dasar dalam model Harrod: g =s/k ataupun
dengan memandang pada perubahan dalam perkembangan waktu g = Y/Y = s/k.
3) Persamaan dan Perbedaan dari Model Harrod dan Model Domar
Analogi hasil pemikiran Harrod dan hasil pemikiran Domar menyebabkan kepustakaan
internasional mengenal pertumbuhan mengacu kepada model Harrod-Domar. Equilibrium dalam
pertumbuhan, bagi Harrod memerlukan persyaratan agar ΔY/Y = gr = sr/kr (required growth =
required saving ratio dibagi required capital output ratio). Dalam hal ini, yang lebih penting adalah
bagaimana agar ΔI/I=sr/kr. Dalam model Domar, equilibrium memerlukan laju pertumbuhan
investasi Ϊ/I harus sama denga q/s.
Nilai q merupakan produktivitas investasi atau nilai kebalikan dari capital output ratio (k),
sehingga q = 1/k. Dengan cara mensubtitusi satu identitas dengan identitas yang lain, kini tampak
adanya identifikasi formal antara dua persamaan dasar yang dimaksud di atas, yaitu :
g = ΔY/Y = s/k (Harrod)
Dalam hal ini: ΔI/I = s/k
ΔI/I = s*q (Domar)
Dalam hal ini q = 1/k
Postulat yang mendasari model Harrod dan model Domar adalah: 1) kondisi equilibrium
ditandai oleh laju pertumbuhan yang proporsional dan konstan dalam perkembangan ekonomi; dan 2)
COR adalah besaran yang konstan.
179
Dalam model Harrod hal itu dikaitkan dengan tingkat bunga yang bersifat kaku dalam jangka
pendek, sedangkan dalam model Domar menganggap teknologi tetap konstan dalam jangka waktu
tertentu (jangka pendek). Kedua model ini mengungkapkan kesulitan dan kendala terhadap
berlangsungnya pertumbuhan dalam keadaan equilibrium yang ditandai oleh kestabilan pendapatan
dan kesempatan kerja penuh. Dalam model Harrod, hal itu terkait dengan kesulitan mencapai
persamaan antara laju pertumbuhan yang memadai (warranted rate of growth) dengan laju
pertumbuhan yang ditentukan oleh keadaan obyektif-struktural (natural rate of growth).
Pertumbuhan yang dianggap memadai secara inheren mengandung faktor ketidakstabilan yang
berkaitan dengan fungsi investasi. Tidak ada dasar yang kuat untuk menganggap investasi yang
dilakukan secara nyata akan selalu sama jumlahnya dengan investasi yang dianggap memadai. Hal
terakhir ini tergantung dari perkiraan dan ekspektasi para investor mengenai laju pertumbuhan
pendapatan di masa datang. Perkiraan itu bisa tepat, akan tetapi sering juga meleset.
Dalam model Domar diulas masalah yang serupa, ia berpendapat bahwa investasi yang
dilakukan cenderung berada di bawah tingkat yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan
pendapatan yang potensial dan maksimal.
Sesuai dengan pendapat Keynes, teori Harrod-Domar juga menganggap bahwa pertambahan
roduksi ini tidak secara otomatis menciptakan pertambahan produksi dan kenaikan pendapatan
nasional. Harrod-Domar sependapat dengan Keynes bahwa pertambahan produksi dan pendapatan
nasional bukan ditentukan oleh pertambahan kapasitas produksi, melainkan oleh kenaikan
pengeluaran masyarakat. Dengan demikian, walaupun kapasitas produksi bertambah, pendapatan
nasional baru akan bertambah —dan pertumbuhan ekonomi tercipta— jika pengeluaran masyarakat
mengalami kenaikan dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Dalam analisisnya, Harrod-Domar menyatakan bahwa investasi dapat menaikan kapasitas
produksi dan pendapatan, sehingga tingkat kenaikan investasi harus dipertahankan agar supaya
kenaikan pendapatan sama dengan kenaikan kapasitas produksi, dan kesempatan kerja penuh dapat
dipertahankan. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisisnya adalah 1) perekonomian sudah
berada dalam kondisi tingkat kesempatan kerja penuh (full employment income); 2) tidak ada
pemerintah dan perdagangan luar negeri; 3) tidak ada keterlambatan penyesuaian (lag of adjustment)
atau ada penyesuaian yang cepat; 4) hasrat menabung marjinal (marginal propensity to save) sama
nilainya dengan hasrat menabung rata-rata (average propensity to save); 5) hasrat menabung marjinal
(marginal propensity to save) dan capital coefficient (rasio antara capital dan output) adalah tetap.
179
Inti dari analisis Harrod-Domar adalah bahwa penanaman modal yang dilakukan masyarakat
dalam satu periode waktu tertentu digunakan untuk dua tujuan, yaitu untuk mengganti barang-barang
modal yang tidak dapat dipergunakan lagi dan untuk memperbesar jumlah barang-barang modal yang
tersedia dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dalam memperbandingkan jumlah pertambahan produksi
dengan penanaman modal yang dilakukan, akan diperoleh dua nilai penting, yaitu 1) nilai
perbandingan antara seluruh tambahan produksi yang diciptakan oleh sejumlah penanaman modal
dalam satu periode waktu tertentu dengan jumlah modal yang ditanamkan tersebut; dan 2) nilai
perbandingan antara jumlah pertambahan produksi dengan penanaman modal yang dilakukan atau
yang merupakan kebalikan dari rasio modal produksi (capital output ratio). Nilai inilah yang
menunjukkan pertambahan efektif kapasitas memproduksi suatu negara dalam satu tahun tertentu.
Kesimpulan pokok dari analisis dalam kedua model tersebut berkaitan dengan unsur
ketidakstabilan yang secara inheren melekat pada proses pertumbuhan. Faktor ketidakstabilan itu
menyebabkan terjadinya penyimpangan dari jalur equilibrium. Berbagai penyimpangan cenderung
berlangsung secara kumulatif ke arah yang sama. Kecenderungan itu menjadi pertimbangan dasar
bagi Harrod dan Domar agar dilakukan intervensi kebijaksanaan dalam proses ekonomi masyarakat.
Perbedaan diantara kedua model tersebut terletak pada postulat dalam pendekatan masing-
masing pemikir. Harrod mengarahkan perhatiannya kepada pertumbuhan produksi dan pendapatan
yang lajunya dapat mendorong —melalui azas akselerasi— para investor untuk melaksanakan
investasi yang diperlukan guna memelihara equilibeium. Tingkat investasi yang diperlukan
tergantung dari perkiraan/ekspektasi para investor tentang laju pertumbuhan pendapatan di masa
datang, yaitu sejauh mana laju pertumbuhan itu dianggap memadai investasi yang hendak
dilaksanakan. Sedangkan Domar memandang laju pertumbuhan investasi — melalui azas multiplier
— dapat meningkatkan pendapatan guna mencapai keadaan equilibrium (Y = Ϋ).
Dalam kerangka analisis Domar tidak tercakup peranan fungsi investasi. Dalam pemikirannya
equilibrium pertumbuhan ada berkaitan dengan laju pertumbuhan investasi yang dapat membawa
pendapatan aktual pada tingkat yang sama dengan pendapatan potensial. Walaupun Domar
mengandalkan berlakunya azas multiplier, tidak diungkapkan tentang faktor-faktor determinan yang
mempengaruhi tingkat investasi. Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa pendekatan Domar
menekankan pada konsistensi internal mengenai peranan dinamika dan dampaknya terhadap interaksi
diantara variabel-variabel yang terkandung di dalam modelnya, sedangkan di pihak lain Harrod di
dalam kerangka analisisnya memasukkan secara spesifik peranan fungsi investasi yang dikaitkannya
dengan azas akselerasi.
179
4) Analisis Perubahan Struktural
Analisis mengenai perubahan struktural menitikberatkan pada mekanisme transformasi
ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan
fokus pada sektor pertanian menuju ke struktur ekonomi yang lebih modern, dan sangat didominasi
oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991: 68). Teori utama yang memakai pendekatan perubahan
struktural yang akan dibahas disini adalah teori pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh
Arthur Lewis dengan teori migrasi, dan Hollis-Chenery dengan teori transformasi struktural.
(1) Teori Arthur Lewis
Profesor W. Arthur Lewis atau yang akrab dipanggil Lewis dalam mengawali teorinya
menegaskan bahwa teori klasik mengenai penawaran tenaga kerja yang elastis dengan upah subsisten
benar-benar terjadi di sejumlah negara terbelakang. Ekonomi seperti itu terjadi pada negara yang
berpenduduk padat dibandingkan dengan ketersediaan sumberdaya alam dan sumber daya modalnya
sehingga produktivitas marginal tenaga kerjanya tidak berarti, bahkan negatif.
Dalam pembahasan selanjutnya, teori ini lebih memfokuskan pada proses pembangunan
antara daerah kota dan desa, diikuti proses urbanisasi antara kedua daerah tersebut. Selain dari
pada itu, teori ini juga mengulas model investasi dan sistem penetapan upah pada sistem modern
yang juga berpengaruh pada arus urbanisasi yang ada.
Lewis21 mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi:
Pertama, perekonomian tradisional: dalam perekonomian ini Lewis mengasumsikan di daerah
perdesaan dengan ekonomi tradisionalnya mengalami surplus tenaga kerja. Surplus ini erat kaitannya
dengan basis utama ekonomi tradisional. Kondisi kehidupan masyarakat pada umumnya masih
berada pada taraf kesejahteraan yang rendah sebagai akibat dari perekonomian yang masih bersifat
subsisten. Hal ini ditandai oleh nilai produk marginal tenaga kerja yang bernilai nol. Artinya, fungsi
produksi pada sektor pertanian telah sampai pada tingkat berlakunya hukum the law of diminishing
return . Kondisi ini menunjukkan bahwa setiap penambahan tenaga kerja justru akan mengurangi
21 Dalam bukunya yang berjudul Development Planning, Arthur Lewis (1966) membagi perencanaan pembangunan ekonomi ke dalam 6 (enam) kategori peruntukan, yaitu 1) perencanaan pembangunan ekonomi untuk faktor geografis, bangunan, tempat tinggal, bioskop, dan sebagainya. Di NSB, perencanaan pembangunan mencakup perencanaan kota dan negara (Town & Country Planning), perencanaan tata guna tanah (Land-use Planning), perencanaan fisik (Physical Planning), dan perencanaan kota & daerah (Urban & Regional Planning); 2) perencanaan pembangunan ekonomi untuk penggunaan dana pemerintah di masa datang; 3) perencanaan pembangunan ekonomi untuk ekonomi berencana; 4) perencanaan pembangunan ekonomi untuk penentuan sasaran produksi pemerintah; 5) perencanaan pembangunan ekonomi untuk penetapan sasaran perekonomian secara keseluruhan; dan 6) perencanaan pembangunan ekonomi untuk menggambarkan sarana pemerintah.
179
total produksi, sebaliknya dengan mengurangi tenaga kerja justru tidak mengurangi total produksi
(hal ini terjadi sebagai akibat dari proporsi input variabel tenaga kerja yang terlalu besar). Dalam
kondisi perekonomian seperti itu, pangsa semua pekerja terhadap output yang dihasilkan adalah
sama. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan
oleh produk marginal dari tenaga kerja itu sendiri; dan Kedua, perekonomian industri: sektor
industri dalam sebuah perekonomian memegang peranan penting. Hampir sebagian besar dari
kegiatan di sektor ini beroperasi di daerah perkotaan. Produktivitas sektor ini sangat tinggi termasuk
input dan tenaga kerja yang digunakan. Nilai marginal tenaga kerja bernilai positif, sehingga daerah
perkotaan dimana sebagian besar sektor ini beroperasi, merupakan daerah tujuan bagi para pencari
kerja dari daerah perdesaan. Setiap penambahan tenaga kerja pada sektor industri akan diikuti oleh
peningkatan output yang diproduksi. Dengan demikian, sektor industri di perkotaan masih
menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk desa. Selain menyediakan lapangan kerja dalam
jumlah yang cukup besar juga memberi upah yang lebih tinggi (mencapai 30%) dibandingkan
dengan tingkat upah di perdesaan. Karena alasan itu maka kemudian kota menjadi daya tarik bagi
penduduk desa dalam melakukan urbanisasi.
Berdasarkan uraian di atas, khususnya bagi perekonomian Indonesia yang saat ini sedang
bergerak dari perekonomian tradisonal menuju ke perekonomian industri, kecenderungan
urbanisasi itu sulit dihindari, bahkan kecenderungan migrasi ke perkotaan terus meningkat.
Dalam teori migrasi klasik, perpindahan ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor
pendorong (push factor) dari daerah asal dan faktor penarik (pull factor) dari daerah tujuan.
Dalam proses modernisasi, urbanisasi dipandang sebagai perubahan dari orientasi tradisional
ke orientasi modern. Dalam proses itu terjadi difusi modal, teknologi, nilai-nilai, pengelolaan
kelembagaan dan orientasi politik dari dunia modern ke masyarakat yang lebih tradisional. Selain itu,
juga terjadi proses intensifikasi pada beragam etnis, suku, agama dan mata pencaharian.
Sungguhpun ubanisasi itu merupakan dampak ikutan dari proses pembangunan ekonomi,
namun urbanisasi itu sendiri pada gilirannya akan menimbulkan dampak (baik dampak negatif
maupun dampak positif) secara berantai terhadap aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Keban,
(1995) mencoba menjelaskan pandangan Arthur Lewis dan Myrdal tentang dampak yang bertolak
belakang tersebut. Menurut Lewis, sektor modern yang terdapat di daerah perkotaan jauh lebih
produktif dari pada sektor tradisional yang biasanya terdapat di perdesaan. Untuk kepentingan
makro, dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional, Lewis menyarankan agar tenaga kerja
179
yang kurang atau tidak produktif di perdesaan harus pindah ke kota dan bekerja pada sektor modern.
Secara agregat, semua tenaga kerja ini akan mampu menyumbang terhadap total pendapatan
nasional.
Sebaliknya, Myrdal memberikan pemahaman tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh
urbanisasi bahwa daerah perdesaan (daerah belakang) akan kehilangan tenaga kerja, dengan
demikian sektor pertanian akan terhambat, karena kesulitan mencari tenaga kerja di perdesaan.
Kondisi ini akan mempengaruhi produktivitas pertanian yang semakin menurun. Dampak yang lebih
luas, juga akan mempengaruhi industri yang berkembang di kota yang membutuhkan produk
pertanian perdesaan. Jika pengaruhnya besar bagi industri, maka pertumbuhan GNP akan menurun.
Kedua pendapat ini penting sehingga urbanisasi harus dikendalikan. Jika tidak, urbanisasi akan
mendatangkan masalah besar yang menghambat jalannya proses pembangunan.
Indonesia dalam menghadapi masalah urbanisasi sebagaimana diuraikan di atas, menerapkan
kebijaksanaan urbanisasi melalui dua pendekatan: 1) mengembangkan daerah-daerah perdesaan agar
lebih maju dengan memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan yang dikenal dengan urbanisasi
perdesaan; dan 2) mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang dikenal dengan
daerah penyangga pusat pertumbuhan.
Pendekatan pertama berupaya untuk mempercepat tingkat urbanisasi tanpa menunggu
pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat non-ekonomi.
Perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan akan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian daerah-daerah perdesaan didorong pertumbuhannya agar memiliki ciri-ciri
kekotaan. Penduduk desa tersebut dapat dikategorikan sebagai orang kota walaupun sebenarnya
mereka masih tinggal di suatu daerah yang berciri perdesaan. Hal ini sejalan dengan istilah wisata
pantai atau kota pantai, desa wisata agribisnis, dan lain-lain.
Pendekatan kedua berupaya mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini
telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan. Sejalan dengan makin
berkembangnya proses pengkotaan daerah sekitar kota, maka penyerapan angkatan kerja di sektor
pertanian pun mengalami penurunan. Faktor yang paling besar kontribusinya dalam hal ini adalah
konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan pemukiman, industri dan rekreasi. Konsekuensinya
adalah tenaga kerja pertanian akan beralih ke sektor industri dan sektor jasa. Pada kenyataannya
sektor jasa menjadi sektor yang cukup diminati dibandingkan dengan sektor industri. Akan tetapi
sektor formal dan informal menunjukkan angka yang tidak mencolok.
179
Masalah klasik yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi selalu pada urbanisasi tidak
terkendali. Ini terjadi sebagai akibat dari praktik pembangunan ekonomi yang terlalu mementingkan
modernisasi industri di kota dan telalu mengutamakan sektor modern di kota. Akibatnya tidak
mampu menyediakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi penduduk kota maupun penduduk desa. Arus
urbanisasi yang pesat juga merupakan kelemahan masyarakat yang tidak mampu menciptakan
prasarana dalam negeri yang memadai untuk mendorong produksi (baik pertanian maupun industri).
Bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kebijakan pembangunan yang
mengabaikan sektor pertanian telah menimbulkan tidak memadainya pertumbuhan pendapatan di
daerah perdesaan. Di sisi lain, kebijakan mengimpor teknologi padat modal secara besar-besaran
untuk mencapai industrialisasi dengan segera telah menyebabkan pertumbuhan kesempatan kerja di
kota tidak sesuai dengan jumlah orang yang mencari pekerjaan. Ribuan petani di perdesaan
kehilangan tanah karena mekanisasi pertanian yang belum waktunya, alih fungsi lahan yang terus
meningkat menimbulkan gejala baru yang menyebabkan petani harus berpindah ke kota-kota yang
tumbuh dengan pesat, tetapi apa yang diharapkan mereka ternyata tidak terwujud.
(2) Analisis Chenery dan Syrquin Mengenai Transformasi Struktur Ekonomi
Chenery dan Syrquin (1975) mendefinisikan pembangunan sebagai proses pertumbuhan
ekonomi yang disertai dengan variasi perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi. Proses
pertumbuhan ekonomi tersebut pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi aspek-aspek yang secara
langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Variasi perubahan ini dapat diamati sebagai suatu
transformasi yang sistematis, berjangka panjang, berada dalam suatu keteraturan yang membentuk
pola yang normal dan bersifat umum.
Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa pola pembangunan yang terjadi pada saat pertumbuhan
ekonomi akan memiliki dua ciri khas sebagai berikut: 1) transformasi struktur sosial ekonomi yang
terjadi meliputi banyak hal, akan tetapi dari sekian banyak perubahan itu, hanya beberapa perubahan
yang bersifat struktural dalam kerangka makro dan sifatnya mendasar. Permasalahan teknis yang
timbul pada tahap selanjutnya akan mengikuti gerak perubahan ini. Misalnya, salah satu transformasi
yang terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya pangsa sektor industri pengolahan
dalam perekonomian. Industrialisasi akan membawa akibat pada perbedaan dalam tingkat pendapatan
masyarakat yang bertempattinggal di kota dan di desa, yang pada tahap selanjutnya hal ini akan
mendorong terjadinya proses urbanisasi. Kepadatan penduduk di daerah perkotaan yang semakin
179
meningkat pada gilirannya akan menimbulkan masalah-masalah yang langsung berkaitan dengan
kepentingan masyarakat luas, seperti pengadaan perumahan, kesehatan, kebersihan dan tata-tertib
kota, transportasi perkotaan, pengangguran, kriminalitas dan lain-lain; dan 2) variasi perubahan yang
terjadi merupakan gejala yang sistematis.
Perubahan-perubahan tersebut memang bervariasi antara satu negara dengan negara lain, akan
tetapi bila dihubungkkan dengan kondisi kemakmuran masing-masing negara, baik dilihat dari suatu
rentang waktu tertentu atau dilihat dari perbandingan antarnegara dalam suatu perjalanan waktu
tertentu, maka akan tampak pola yang teratur dan sistematis. Ini berarti perubahan yang terjadi dapat
digeneralisasikan sebagai suatu gejala dan kecenderungan umum dengan pola yang normal.
Generalisasi suatu variasi akan sangat membantu dalam analisis berbagai permasalahan yang
terjadi. Sungguhpun dalam mengatasi masalah yang ada menjadi suatu hal yang spesifik untuk
masing-masing negara, namun dalam suatu kerangka makro, bantuan peralatan yang berciri seperti di
atas sangat diperlukan. Todaro (1989) dalam bukunya berjudul Economic Development in the Third
World, secara tegas menyatakan kritiknya terhadap teori-teori yang berasal dari negara-negara Barat,
sehubungan dengan penjelasan dari permasalahan pembangunan yang terjadi di negara-negara
sedang berkembang. Kritik ini tampaknya lebih ditujukan pada asumsi-asumsi yang melandasi
teori-teori barat tersebut, yang oleh Todaro dianggap terlampau menekankan pada proses pemupukan
modal dan tidak memperhatikan aspek kultur yang membedakan masyarakat barat dan timur.
Pendapat yang sama sebenarnya juga telah banyak dilontarkan oleh para ahli ekonomi pembangunan
lainnya. Akan tetapi, pada kenyataannya pola pembangunan yang terjadi di negera-negara sedang
berkembang secara umum memiliki kesamaan-kesamaan dengan pengalaman negara-negara maju,
terutama pada saat mereka mulai tumbuh. Masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah
kependudukan, pembangunan pertanian, distribusi pendapatan, urbanisasi dan lain-lain juga pernah
dihadapi oleh negara maju.
Bertolak dari dua pernyataan di atas, tampaknya ada benang emas yang menghubungkan
keduanya bahwa pada prinsipnya perubahan struktural yang terjadi pada masa pembangunan bisa
digeneralisasi untuk semua negara. Walaupun demikian, penanggulangan masalah teknis sebagai
akibat perubahan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi objektif pada masing-masing negara.
Penyesuaian-penyesuaian semacam itu sebenarnya bukan merupakan hal yang harus dipersoalkan.
Justeru hal ini perlu mendapat perhatian, karena ada pendapat yang menyangsikan relevansi
penggunaan model-model makro yang dibuat oleh ahli-ahli dari barat.
179
Dalam hal pertumbuhan ekonomi, suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan
jika jumlah produksi barang dan jasa-jasa mengalami peningkatan, atau dengan kata lain peningkatan
nilai tambah dari suatu bahan baku menjadi produk atau dari input menjadi output menunjukkan
adanya perkembangan perekonomian suatu wilayah. Dalam terminologi ekonomi, peningkatan nilai
dari input menjadi output disebut sebagai nilai tambah (value added).
Dalam analisis ekonomi perlu dibedakan arti pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
ekonomi. Kedua konsep ini mempunyai pengertian yang sedikit berbeda. Istilah pertumbuhan
ekonomi mengukur prestasi perkembangan perekonomian. Dalam kegiatan perekonomian yang
sebenarnya pertumbuham ekonomi berarti perkembangan fisikal produk barang dan jasa yang
berlaku di suatu negara. Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan
ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan pembangunan ekonomi
adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan
ekonomi. Perbedaan penting lainnya adalah dalam pembangunan ekonomi tingkat pendapatan per
kapita terus-menerus meningkat, sedangkan pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti oleh kenaikan
pendapatan per kapita (Sukirno, 2000: 422-423).
Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah, dapat dihitung dengan
menggunakan ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) untuk level nasional, sementara untuk level
daerah provinsi dan atau kabupaten/kota digunakan ukuran Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). PDB atau PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha (sektor-sektor ekonomi) dalam suatu negara atau daerah tertentu, atau merupakan
jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atau PDRB
terbagi menjadi dua ukuran yaitu PDB atau PDRB atas dasar harga berlaku dan PDB atau PDRB atas
dasar harga konstan (harga tahun dasar).
Konsep pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksudkan di atas, oleh Harrod-Growth
diformulasikan sebagai berikut:
sg = ...... (04) c
dalam hal ini:
g = laju pertumbuhan pendapatans = Average Propensity to Save (APS)c = Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
179
Sedangkan ICOR dapat dihitung dengan formula :
∂ K I I C O R = = ...... (05) ∂ Y ∂ Y
Untuk lebih operasionalnya, formula di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
PMTDBt- 1
ICORt = ...... (06) PDB
t – PDB
t- 1
Cara di atas sangat sensitif dalam menghitung ICOR Nasional, oleh karena tidak semua investasi
memiliki grace period satu tahun, namun dengan suatu jangka waktu tertentu. Untuk menghitung
ICOR pada tenggang waktu tertentu, maka dapat digunakan formula berikut (contoh untuk
menghitung ICOR selama RPJMN 2004-2009):
PMTDB 2004 + PMTDB 2005+ .....+ PMTDB 2009
ICOR 2004-2009 = ...... (07) PDB
2009 - PDB
2004
Formula yang direkomendasikan untuk menghitung ICOR multi year dengan grace period 1
tahun adalah dengan persamaan regresi sebagai berikut :
Yt = a + b I t-1 ...... (08)
Dalam hal ini:
Y = Pendapatn Nasional I t-1 = Investasi tahun t-1 b = 1/ICOR
Perlu diingat dalam menghitung ICOR, semua data harus menggunakan harga konstan pada
tahun tertentu. Dari formula di atas dapat digambarkan bahwa dengan investasi —baik oleh pihak
swasta maupun pihak pemerintah— pendapatan nasional dapat ditingkatkan. Berapa besar
peningkatan pendapatan nasional itu akan sangat tergantung kepada: 1) besarnya investasi; 2)
besarnya ICOR per sektor; 3) alokasi investasi kepada setiap sektor; dan 4) NTB setiap sektor.
Sementara itu, besarnya Investasi yang dibutuhkan oleh sesuatu negara pada suatu tahun
tertentu tertentu tergantung kepada: 1) berapa besar laju pertumbuhan pendapatan nasional yang
diinginkan secara rasional; 2) berapa besar laju pertumbuhan sektoral yang diinginkan sehubungan
dengan butir 1) di atas; dan 3) besarnya ICOR per sektor. ICOR yang tinggi bisa disebabkan oleh: 1)
179
penggunaan kapasitas produksi yang terlalu rendah; 2) penggunaan teknologi yang capital intensive;
3) time lag (tenggang waktu) yang terlalu lama; dan 4) arah investasi yang banyak ke sektor-sektor
yang memang ICOR normalnya sudah tinggi.
Perkiraan ICOR di masa depan sangat dipengaruhi oleh: 1) komposisi sektoral GDP yang
direncanakan; 2) komposisi investasi dalam berbagai kegiatan (karena ICOR pada berbagai kegiatan
berbeda-beda, ada yang tinggi dan ada yang rendah); 3) jenis teknologi yang akan dipakai; dan 4)
pemanfaatan kapasitas produksi yang ada. Dalam hal ini tidak hanya tergantung pada investasinya,
akan tetapi apakah investasi tersebut digunakan atau tidak untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Dalam hal terjadinya unfull utilized investment, ada beberapa faktor yang menyebabkannya,
diantaranya: 1) investasi belum tuntas, ICOR tinggi karena belum menghasilkan nilai tambah
(karenanya, prioritas harus pada investasi yang telah ada); 2) investasi masa lalu yang tidak memiliki
daya saing; 3) melakukan investasi dengan perkiraan permintaan akan meningkat, namun hal itu
tidak terwujud; 4) pertumbuhan ekonomi, pada saat pertumbuhan ekonomi lambat, ICOR meningkat,
sebaliknya pada saat pertumbuhan ekonomi cepat, ICOR menurun.
Dalam model makro ekonomi dua sektor, pendapatan nasional dapat dilihat dari dua sisi:
Pertama, dari sisi supply, dimana Y = C + S; dan Kedua, dari sisi demand dimana Y = C + I.
Menurut Keynes, tabungan (s) adalah fungsi dari pendapatan (Y) atau s = f (Y), sementara investasi
adalah fungsi dari pendapatan atau I = f (Y). Dengan demikian, antara Investasi dan pendapatan
nasional, terdapat hubungan sebab akibat dan hubungan tersebut bersifat positif. Artinya, bila K naik
karena adanya I, maka pendapatan nasional naik dan atau bila pendapatan nasional naik maka
tabungan akan naik, demikian halnya dengan investasi juga akan naik.
Masalahnya adalah, untuk membiayai suatu laju pertumbuhan pendapatan tertentu, tabungan
yang tersedia tidak cukup, yang berarti terdapat resources gap. Oleh karena itu, untuk mencukupi
kebutuhan bagi pembiayaan laju pertumbuhan pendapatan nasional tertentu maka bukan saja
digunakan potensi yang ada di dalam negeri, akan tetapi juga diupayakan penggunaan potensi yang
ada di luar negeri baik dalam bentuk bantuan luar negeri maupun penanaman modal asing (PMA).
Jadi salah satu fungsi bantuan luar negeri dan PMA tersebut adalah untuk menutupi resources gap.
Dimensi kedua dari investasi adalah bahwa investasi dapat dilihat dalam bentuk mata uang
dalam negeri (Rp) dan dalam bentuk devisa. Devisa dibutuhkan untuk mengimpor barang modal dan
bahan pembantu dalam rangka peningkatan pendapatan nasional. Hal ini harus dilakukan, karena
179
seperti diketahui masih sangat banyak ragam dan jenis barang modal dan bahan pembantu yang
belum dapat dihasilkan di dalam negeri sedangkan keberadaan barang dan bahan tersebut sangat
dibutuhkan. Oleh karena investasi itu sebagian besar berwujud fisik seperti gedung, jalan, jembatan
dan lain-lain, sehingga investasi juga mempengaruhi secara langsung lapangan usaha bangunan
(konstruksi) dalam pendapatan nasional.
Setelah investasi berproduksi, maka pendapatan nasional meningkat. Dalam peningkatan
tersebut, terdapat kebocoran karena sebagian dibiayai oleh bantuan luar negeri dan PMA. Kebocoran
tersebut dalam bentuk interest, profit, wages, repayments dan lain-lain.
Berdasarkan hipotesis Keynes, kenaikan dalam pendapatan akan mengakibatkan kenaikan
konsumsi dalam jumlah yang lebih kecil daripada kenaikan pendapatan tersebut. Kenaikan
pendapatan nasional selanjutnya mengakibatkan kenaikan konsumsi swasta (Ks) dan konsumsi
pemerintah (Kp), baik terhadap konsumsi barang dan jasa dalam negeri maupun konsumsi barang dan
jasa produksi luar negeri. Dengan adanya kenaikan konsumsi swasta dan konsumsi pemerintah
terhadap barang luar negeri, maka berarti kenaikan pendapatan nasional memperbesar kebutuhan
akan devisa dan hal ini terutama ditutupi oleh ekspor.
Seiring dengan terjadinya pertumbuhan PDB atau PNB per kapita dalam jangka panjang,
akan disertai berbagai proses perubahan struktural dalam perekonomian. Pengertian disertai disini
dimaksudkan bukan karena sebab akibat atau timbulnya proses perubahan tersebut bukan karena
kenaikan pendapatan per kapita.
Adapun proses22 perubahan struktural tersebut adalah 1) proses akumulasi; 2) proses alokasi;
3) proses demografi; dan 4) proses distribusi. Keempat proses tersebut akan dibahas setelah
pembahasan mengenai model-model pertumbuhan ekonomi menurut sektor produksi yang mendasari
pembentukan model untuk menganalisis keempat proses tersebut.
Untuk itu, paling sedikit ada tiga model yang lazim dipergunakan dalam membahas model
pertumbuhan ekonomi menurut sektor produksi, yaitu 1) model elastisitas pertumbuhan; 2) pola
perubahan struktur produksi menurut Chenery dan Taylor; dan 3) pola perubahan struktur produksi
menurut Chenery dan Syrquin.
22 H.B. Chenery dan Moises Syrquin, Patterns of Development 1950-1970, (London; Oxford University Press, 1975). Didalam buku tersebut proses ketiga dan keempat disatukan, namun untuk lebih mempertajam analisis, lebih baik keduanya dipisahkan.
179
Dalam hal model elastisitas pertumbuhan, model ini adalah yang paling sederhana, ia
menunjukkan bagaimana hubungan antara pola pertumbuhan ekonomi menurut sektor produksi
dengan perubahan yang terjadi dalam penawaran faktor-faktor produksi dan pola permintaan
terhadap barang dan jasa, serta pertumbuhan jumlah penduduk selama berlangsungnya pertumbuhan
ekonomi.
Untuk pertama kalinya model elastisitas pertumbuhan ini diperkenalkan oleh Chenery pada
Tahun 1960. Model ini kemudian oleh ECAFE digunakan sebagai model untuk melakukan proyeksi
pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan ke jangka panjang berdasarkan sektor produksi,
khususnya bagi negara-negara yang data statistik pendapatan nasionalnya dianggap masih sederhana.
Model elastisitas pertumbuhan ini adalah:
Vi = α i. Y ßi
. Pop α i ...... (09)
atau
Ln Vi = Ln α i + ßi Ln Y + γ i Ln Pop ...... (10)
Dalam hal ini:
Vi : NTB sektor i (i = terdiri atas pertanian, pertambangan, industri pengolahan
bangunan, pengangkutan dan jasa)
α i : Konstan untuk sektor i
ßi : Elastisitas pertumbuhan (growth elasticity) sektor i, yang menunjukkan
berapa persen NTB sektor i akan meningkat kalau PNB per kapita naik
dengan satu persen.
Y : PNB per kapita
γ i : Elastisitas besarnya pasar (size elasticity) diwakili oleh jumlah penduduk
untuk sektor i, yang menunjukkan berapa persen NTB sektor i akan
meningkat bilamana jumlah penduduk naik dengan satu persen.
Pop : Jumlah penduduk pertengahan tahun.
Di dalam model tersebut, tingkat pendapatan per kapita tidak saja mewakili variabel tingkat
permintaan dan variabel komposisi permintaan, akan tetapi juga mewakili variabel keadaan
penawaran faktor produksi dan tingginya tingkat teknologi yang ada di suatu negara. Itulah sebabnya,
koefisien dalam model ini disebut sebagai koefisien elastisitas pertumbuhan dan bukan sebagai
elastisitas pendapatan.
179
Mengenai pola perubahan struktur produksi, Chenery dan Taylor membagi struktur produksi
menjadi tiga sektor, yang terdiri atas sektor primer, meliputi lapangan usaha (LU) pertanian dan
pertambangan; sektor industri, meliputi LU industri manufaktur dan bangunan; dan sektor jasa,
meliputi LU sisanya. Mengenai pola perubahan struktur produksi, oleh Chenery dan Taylor
dikedepankan tiga macam persamaan regresi untuk data penampang silang antarnegara, yakni :
Ln xi = α i+ß1i LnY+ß2i (LnY)2+γ i Ln Pop +δ i Ln k +ϕ 1iLn θ p+ϕ 2i Lnθ m ......(11)
Ln xi = α i + ß1i Ln Y + ß2i (Ln Y)2 + γ i Ln Pop ......(12)
Ln xi = α i + ßi Ln Y + γ i Ln Pop ......(13)
Khusus untuk data deret berkala (time series), model persamaan regresinya adalah formula
(10) dengan menghilangkan variabel penduduk sebagai variabel yang menjelaskan perubahan dalam
struktur produksinya, atau untuk lebih jelasnya, diformulasikan sebagai berikut :
Ln xi = α i + ßi Ln Y ...... (14)
Dalam hal ini:
xi : Peranan NTB sektor i dalam PDBY : PNB per kapita, US $ 1960k : Peranan pembentukan modal tetap domestik bruto dalam PDBθ p : Peranan ekspor bahan mentah dalam PDB
θ m : Peranan ekspor industri pengolahan dalam PDBPo
p
: Jumlah penduduk pertengahan tahun (dalam juta jiwa)
Digunakannya variabel (Ln Y)2 sebagai salah satu variabel untuk menjelaskan perubahan
struktur produksi selama pertumbuhan ekonomi, dimaksudkan untuk mengatasi kemungkinan
penurunan elastistas pendapatan atau pertumbuhan secara kontinu dengan semakin tingginya
pendapatan per kapita.
Mengenai pola perubahan struktur produksi, Chenery dan Syrquin memilah struktur produksi
ke dalam empat sektor. Selain itu, perbedaan lain antara model Chenery dan Taylor dengan model
Chenery dan Syrquin ini terletak pada jumlah dan jenis variabel yang menjelaskan tentang pola
perubahan struktur produksi serta fungsi yang menghubungkan struktur produksi dengan variabel
yang mempengaruhinya.
179
Untuk menganalisis data penampang silang antar negara, digunakan dua buah model regresi
seperti di bawah ini.
4
xi =α i +ß1i LnY +ß2i (LnY)2 + γ 1i LnPop +γ 2i(Ln Pop)2 + Σ δ jiTj .......(15) j=1
4
xi = α i +ß1i LnY + ß2i (LnY)2 +γ 1iLnPop +γ 2i (Ln Pop)2 +Σ δ jiTj + ε i F ......(16) j=1
Sedangkan untuk data deret berkala, digunakan formula :
4 xi = α i + ß1i Ln Y + ß2i (Ln Y)2 + Σ ε jiTj ...... (17)
j=1
dalam hal ini:
X :Variabel bebas merupakan variabel-variabel yang ingin dianalisis perubahannya
sesuai dengan keempat proses di atas.Y :GNP perkapita ( dalam US $ 1964 ); N = Populasi (juta jiwa).F :Net resources inflow (impor dikurangi ekspor dari pada barang-barang dan jasa
non-faktor produksi) atau pemasukan modal dari luar negeri,dalam hal ini rasionya
terhadap GDPTj : Periode waktu ( j = 1, 2, 3, 4 ).
Studi Chenery dan Syrquin ini berusaha menganalisis perubahan mendasar dalam struktur
ekonomi yang lazimnya menyertai pertumbuhan ekonomi. Identifikasi dan pengukuran pola
pembangunan dimaksud mencakup 10 proses pokok dari 27 variabel untuk menggambarkan
berbagai dimensi transformasi struktur yang terjadi pada 101 negara, 26 negara diantaranya
berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa, yang mereka teliti dalam kurun waktu 1950-1970. Yang
menarik dari hasil regresi ini adalah tanda negatif untuk koefisien regresi variabel pemasukan modal
asing bagi sektor primer dan tanda positif untuk sektor industri. Dengan memperhatikan pemasukan
modal asing untuk keperluan : 1) mengisi kekurangan dana tabungan bagi investasi, dan 2)
membiayai impor yang tidak bisa ditanggulangi oleh penerimaan devisa dari ekspor, maka
diperkirakan pemasukan modal asing lebih banyak digunakan di luar sektor primer. Fokus utama
analisis mobilisasi dan alokasi sumberdaya, khususnya aspek yang memungkinkan pertumbuhan
yang berkelanjutan.
179
Model umum mengenai perubahan struktural yang diterapkan pada semua negara, dibangun
berdasarkan asumsi-asumsi: 1) variasi dalam komposisi permintaan konsumen yang mengiringi
peningkatan pendapatan per kapita, didominasi oleh penurunan pangsa pangan dan peningkatan
pangsa barang manufaktur; 2) akumulasi modal, baik berupa modal fisik maupun modal manusia,
harus diusahakan melebihi tingkat pertumbuhan angkatan kerja; 3) Akses teknologi serupa untuk
semua negara; dan 4) akses pada perdagangan internasional dan pemasukan modal.
Pilihan strategis suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh corak dari struktur ekonomi. Studi
Chenery dan Syrquin memisahkan pengaruh dari faktor universal yang mempengaruhi semua negara
dari corak khusus. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.1, faktor-faktor yang dianalisis oleh
Chenery dan Syrquin dimaksudkan untuk menggambarkan perubahan-perubahan struktur ekonomi
dalam proses pembangunan.
Sejauh sasaran itu tercapai, maka setiap aspek pola pembangunan suatu negara dapat
digambarkan sebagai akibat dari beberapa faktor yang terdiri atas tiga komponen, yaitu 1) pengaruh
normal dari faktor universal yang berhubungan dengan tingkat pendapatan; 2) pengaruh faktor umum
seperti luas pasar dan sumber yang berada di luar penguasaan pemerintah; dan 3) pengaruh sejarah,
tujuan sosial politik pemerintahan, dan kebijaksanaan yang ditempuh (kesediaan untuk menggunakan
berbagai peralatan kebijaksanaan) masing-masing negara. Dari ketiga komponen tersebut, dua
komponen pertama merupakan perhatian utama dari studi Chenery dan Syrquin.
Dari keseluruhan analisis Chenery dan Syrquin menunjukkan corak dari sepuluh jenis
perubahan dalam struktur ekonomi yang berlaku dalam proses pembangunan di negara-negara
berkembang. Perubahan-perubahan tersebut dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu 1) perubahan
dalam struktur ekonomi sebagai perubahan dalam proses akumulasi; 2) perubahan dalam struktur
ekonomi sebagai perubahan dalam proses alokasi sumberdaya; dan 3) perubahan dalam struktur
ekonomi sebagai perubahan dalam proses demografi dan distribusi.
Kegiatan-kegiatan ekonomi yang termasuk sebagai proses akumulasi meliputi kegiatan
pembentukan modal, pengumpulan tabungan pemerintah dan kegiatan menyediakan pendidikan
kepada masyarakat. Yang tergolong sebagai alokasi sumberdaya adalah struktur permintaan domestik
(pengeluaran masyarakat atas produksi dalam negeri), struktur produksi, dan struktur perdagangan.
Dalam golongan yang ketiga, yaitu proses demografi dan distribusi, termasuklah proses perubahan
dalam faktor-faktor berikut: alokasi tenaga kerja dalam berbagai sektor, urbanisasi, tingkat kelahiran
dan kematian, dan distribusi pendapatan.
179
Tabel 2.1Cara-cara Untuk Menunjukkan Corak Perubahan
Struktur Ekonomi Dalam Proses Pembangunan
FAKTOR-FAKTOR YANG DIANALISIS CARA-CARA UNTUK MENUNJUKKAN PERUBAHAN YANG TERJADI
I PROSES AKUMULASI1 Pembentukan ModaL
a. Tabungan domestik brutob. Pembentukan modal domestik brutoc. Aliran masuk modal (di luar impor brg & jasa)
Melihat perubahan pada nilai-nilainya dan dinyatakan sebagai persentase dari PDB
2 Pendapatan Pemerintaha. Pendapatan pemerintahb. Pendapatan dari pajak
3 Pendidikana. Pengeluaran untuk pendidikanb. Tingkat pemasukan anak-anak ke sekolah
dasar dan sekolah menengah
Menunjukkan perubahan persentase GDP untuk pendidikan; dan perubahan persentase anak-anak yang bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah
II PROSES ALOKASI SUMBERDAYA1 Struktur Permintaan Domestik
a. Pembentukan modal domestik brutob. Konsumsi rumahtanggac. Konsumsi pemerintahd. Konsumsi atas bahan makanan
2 Struktur Produksia. Produksi sektor primerb. Produksi sektor industric. Produksi sektor utilitiesd. Produksi sektor jasa
Melihat perubahan nilai-nilainya dan dinyatakan sebagai persentase dari PDB
3 Struktur Perdagangana. Eksporb. Ekspor bahaan mentahc. Ekspor barang-barang industrid. Impor
III
PROSES DEMOGRAFIS DAN DISTRIBUSI
1 Alokasi tenaga kerjaa. Dalam sektor primerb. Dalam sektor industric. Dalam sektor jasa
Melihat perubahan jumlahnya dan dinyatakan sebagai persentase dari keseluruhan jumlah tenaga kerja.
2 Urbanisasia. penduduk daerah urban
Melihat jumlahnya dan dinyatakan sebagai persentase dari keseluruhan jumlah penduduk
3 Transisi Demografisa. Tingkat kelahiranb. Tingkat kematian
Dengan melihat perubahan jumlahnya dan dinyatakan sebagai persentase dari keseluruhan jumlah penduduk
4 Distribusi Pendapatan
a. Bagian dari 20 persen penduduk yang menerima pendapatan paling tinggi
b. Bagian dari 40 persen penduduk yang menerima pendapatan paling rendah
Dengan melihat perubahan persentase PDB yang diterima oleh masing-massing golongan pendapatan tersebut.
179
Sumber: H.B. Chenery dan M. Syrquin, Patterns of Development 1950-1970, Oxford University Press, London, 1975, hlm.9
Selanjutnya, hasil analisis Chenery dan Syrquin mengenai corak perubahan dari berbagai
faktor yang terdapat dalam Tabel 2.1 dalam proses pembangunan ekonomi di negara berkembang
ditunjukkan pada Tabel 2.2, yang menggambarkan bentuk-bentuk perubahan yang diharapkan akan
terjadi dalam perekonomian suatu negara berkembang yang mengalami proses peningkatan
pendapatan per kapitanya sebesar US$ 100 menjadi US$ 1000.
Tabel 2.2Struktur Ekonomi Pada Berbagai Tingkat Pembangunan
Dalam Proses Akumulasi
No Deskripsi Faktor Nilai tiap faktor pada berbagai tingkat Pembangunan$100 $200 $300 $400 $500 $800 $1.000
1 Pembentukan Modala. Tabungan 0,135 0,171 0,190 0,202 0,210 0,226 0,233b. Pembentukan Modal 0,158 0,188 0,203 0,213 0,220 0,234 0,240c. Aliran Modal Masuk 0,023 0,016 0,012 0,010 0,009 0,006 0,006
2 Penerimaan Pemerintaha.Pendapatan Pemerintah 0,153 0,181 0,203 0,202 0,219 0,234 0,287b.Pendapatan dari Pajak 0,129 0,153 0,173 0,189 0,203 0,236 0,254
3 Pendidikan a.Pengeluaran Pendidikan 0,033 0,033 0,034 0,035 0,037 0,041 0,043b. Persentase anak-anak yang
bersekolah0,375 0,549 0,637 0,694 0,735 0,810 0,842
Sumber : Hollis B. Chenery & M. Syrquin, Patterns of Development 1950-1970, published by Oxford University Press for the World Bank, London, 1975.
a. Proses Akumulasi
Dalam proses akumulasi, perubahan struktur ekonomi dapat ditinjau melalui pertumbuhan
pendapatan masyarakat, dimana sebagian dari pendapatan itu dialokasikan bukan untuk tujuan
konsumsi akhir, melainkan digunakan untuk investasi. Proses ini disebut sebagai proses akumulasi
yang selanjutnya didefinisikan sebagai proses penggunaan sumberdaya dan dana untuk meningkatkan
kapasitas produksi masyarakat di masa yang akan datang dalam suatu perekonomian.
Dalam proses akumulasi, terdapat investasi fisik dan investasi nir-fisik (Human Investment).
Terjadinya proses ini dapat dilihat dari tiga hal, yaitu 1) perubahan struktur tabungan dan investasi
akan berpengaruh terhadap kemampuan menabung dan investasi; 2) perubahan struktur penerimaan
negara yang berasal dari pajak yang berpengaruh terhadap kemampuan penerimaan pemerintah; dan
3) perubahan pengeluaran pemerintah untuk membiayai sektor pendidikan yang akan mempengaruhi
tingkat pendidikan penduduk. Dua hal yang pertama merupakan indikator dari peningkatan kapasitas
179
produksi dari sumberdaya-sumberdaya berbentuk piranti keras (physical instrument), sedangkan satu
hal yang terakhir merupakan indikator peningkatan kapasitas produksi dari sumberdaya dalam bentuk
piranti lunak, yang dalam hal ini menyangkut kemampuan manusianya (human instrument). Menurut
Hekcsher-Ohlin dan Samuelson, komposisi resources endowment akan mengalami perubahan yang
pada gilirannya dapat mengubah keunggulan komparatif dalam memproduksi barang dan jasa.
Kemudian, mengenai pengaruh peningkatan PDB per kapita terhadap kemampuan
menabung dapat ditelusuri melalui terbentuknya pola perubahan struktur tabungan masyarakat
sebagai akibat dari peningkatan pendapatan. Dalam hal ini, tabungan akan berhubungan positif
dengan kenaikan pendapatan. Pola yang terbentuk dari hubungan tersebut direpresentasikan oleh
nisbah rata-rata tabungan terhadap pendapatan akan meningkat, sebaliknya nisbah rata-rata konsumsi
terhadap pendapatan akan menurun jika pendapatan nasional menjadi semakin besar secara riel. Hal
ini disebabkan karena kenaikan pendapatan nasional yang tidak digunakan untuk konsumsi masa
sekarang (melainkan untuk ditabung), lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan pendapatan
nasional itu sendiri. Karena proporsi tabungan dalam PDB (S/PDB) akan meningkat maka proporsi
investasi dalam PDB (I/PDB) pun diharapkan akan meningkat. Atau dengan kata lain, kenaikan PDB
per kapita menaikkan kemampuan menabung dan atau kemampuan investasi.
Gejala semacam ini dapat dijelaskan melalui logika berpikir sebagai berikut: 1) bahwa sesuai
dengan Hukum Engel, pada kelompok masyarakat yang telah mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya, maka ketika pendapatannya meningkat, bagian dari pendapatan yang digunakan untuk
tujuan konsumsi (δ C/δ Y) akan lebih kecil daripada kenaikan pendapatan itu (0<MPC<1). Artinya,
semakin makmur suatu masyarakat (manakala kebutuhan pokoknya terpenuhi) maka bagian dari
pendapatan yang ditabung (δ S/δ Y) akan semakin meningkat. Ini merupakan efek langsung dari
peningkatan pendapatan nasional ditinjau dari sisi rumah tangga; dan (2) efek tak langsung yang
terjadi pada sektor produksi, dimana dengan adanya kenaikan pendapatan masyarakat, maka pola
produksi yang mengikuti arus permintaan akan mengalami pergeseran komposisi. Pergeseran
komposisi ini akan terlihat dari komposisi barang yang diproduksi, perdagangan, lokasi dan berbagai
komposisi struktural lainnya. Pergeseran semacam ini memungkinkan efisiensi yang semakin
meningkat, sehingga kemungkinan untuk melakukan reinvestasi dari pendapatan menjadi besar.
Chenery dan Syrquin telah membuktikan validitas dari teori ini. Dari hasil penelitian mereka,
ditunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat maka tabungan
masyarakat dalam bentuk proporsi terhadap pendapatan nasional akan mengalami peningkatan yang
179
cukup besar, yaitu dari 13,5% untuk masyarakat dengan pendapatan perkapita US $ 100, menjadi
23,3% pada pendapatan perkapita masyarakat sebesar US$ 1.000.
Seperti diketahui, untuk melakukan analisis terhadap beberapa perubahan struktur ekonomi,
mereka mengasumsikan pergeseran pendapatan perkapita dari US$ 100 menjadi US$ 1.000
menunjukkan pendugaan konkrit dari adanya peningkatan hasil pembangunan. Hal lain yang
memperkuat adalah bahwa pembentukan modal domestik bruto juga meningkat dari 15,8% pada saat
pendapatan per kapita US$ 100 menjadi 24,0 % pada saat pendapatan per kapita US$ 1.000. Hal ini
wajar, karena dana pembentukan modal domestik bruto pada dasarnya berasal dari tabungan
masyarakat. Selain itu, peranan modal yang berasal dari luar negeri terhadap pembentukan modal
domestik menurun dari 2,3% pada saat pendapatan per kapita US$ 100 menjadi 0,6% ketika
pendapatan per kapita US$ 1.000.
Dalam hal pengaruh peningkatan PDB per kapita terhadap penerimaan pemerintah, pada
dasarnya dapat ditelusuri melalui bentuk dan ciri-ciri dari penerimaan pemerintah. Dalam konteks ini,
bentuk penerimaan pemerintah dapat dibedakan menjadi: 1) pajak langsung; 2) pajak tidak langsung;
dan 3) penerimaan bukan pajak. Pada pajak langsung terdapat dua ciri utama, yaitu: 1) adanya batas
minimum pendapatan yang dikenai pajak; dan 2) pada umumnya pajak-pajak itu bersifat progresif,
yaitu persentase pengenaan pajak yang semakin tinggi dengan semakin tingginya pendapatan
seseorang. Dengan kenaikan PDB perkapita maka akan semakin banyak wajib pajak dan akan
semakin banyak orang yang dikenai pajak dengan persentase pengenaan yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, maka elastisitas pajak langsung terhadap perubahan pendapatan adalah lebih besar dari 1
(satu). Artinya, setiap kenaikan sebesar 1% pada PDB perkapita, akan mengakibatkan kenaikan pajak
langsung sebesar lebih dari 1%. Kenaikan PDB perkapita mengakibatkan kenaikan permintaan atas
barang dan jasa. Proses ini selanjutnya akan diikuti oleh semakin besarnya unit usaha di dalam
perekonomian yang menjurus kepada timbulnya spesialisasi.
Spesialisasi mengakibatkan unit usaha menghasilkan barang dan jasa, bukan hanya untuk
dirinya melainkan untuk melayani pihak lain dalam jumlah yang lebih banyak (besar). Proses ini
meningkatkan volume perdagangan. Seperti diketahui bahwa indirect tax atau pajak tidak langsung
itu sangat dipengaruhi oleh volume perdagangan. Dengan meluasnya perdagangan dan volume
perdagangan, maka pajak tidak langsungpun meningkat. Indirect tax elasticity of income adalah lebih
179
besar dari satu. Artinya, setiap kenaikan PDB perkapita sebesar 1% akan mengakibatkan kenaikan
pajak tidak langsung sebesar lebih dari 1%.
Ciri-ciri yang menonjol pada pajak tidak langsung ini adalah 1) biasanya hanya dikenakan
terhadap barang dan jasa yang diperdagangkan; 2) biasanya dikenakan terhadap barang dan jasa yang
dianggap bukan kebutuhan pokok; dan 3) demi pertimbangan praktis, biasanya dikenakan terhadap
barang dan jasa yang diproduksi dengan satuan ekonomi (kapasitas produksi) yang relatif besar; dan
4) biasanya dikenakan terhadap barang dan jasa yang diperdagangkan melalui batas nasional/
internasional dan pelabuhan.
Perluasan dan peningkatan volume perdagangan memerlukan berbagai infrastruktur yang
pada umumnya disediakan oleh pemerintah dalam bentuk jalan, jembatan, pelabuhan, sekolah dan
lain-lain. Dalam hal penyediaan infrastruktur oleh pemerintah, maka ada alasan bagi pemerintah
untuk memetik bayaran. Peningkatan volume perdagangan mengakibatkan meningkatnya
penggunaan berbagai infrastruktur publik, dan berarti pula meningkatnya pemerimaan pemerintah
dalam bentuk bukan pajak. Hasil penelitian Chenery dan Syrquin menunjukkan bahwa dengan
meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat, maka persentase penerimaan pemerintah (secara
keseluruhannya) naik dari 15,3% menjadi 28,7%, yaitu pada masing-masing pendapatan perkapita
US$ 100 dan US$ 1.000, sementara khusus untuk penerimaan dari pajak, naik dari 12,9% pada
pendapatan perkapita sebesar US$ 100, menjadi 25,4% pada pendapatan perkapita sebesar US$
1.000 (lihat Tabel 2.2). Hasil penelitian mereka ini belum sampai pada pembuktian mengenai
perubahan struktur pajak. Argumen yang diberikan adalah bahwa perubahan struktur pajak tersebut
lebih merupakan refleksi komitmen politik, yaitu tergantung apakah pemerintah telah memiliki cukup
kekuatan untuk melakukan pemungutan secara paksa, untuk jenis-jenis pajak langsung. Seperti
diketahui, hal-hal yang menyangkut mengenai tata-cara pemungutan pajak langsung, sifatnya lebih
sensitif terhadap pemerataan, diban dingkan dengan pemungutan jenis pajak tidak langsung.
Menurut Meier (1980), ada empat determinan yang berkaitan dengan pajak, yaitu 1)
pendapatan perkapita; 2) ketimpangan dalam distribusi pendapatan; 3) struktur perekonomian bagi
negara dengan volume perdagangan luar negeri yang besar, dan peranan sektor industri manufaktur
yang besar maka pajak juga akan besar; dan 4) baik buruknya administrasi perpajakan serta dilaksa-
nakan tidaknya hukuman terhadap para pelanggar pajak (law enformcement). Potensi pajak
dipengaruhi oleh determinan 1, 2 dan 3. Oleh karena orang cenderung menghindari pajak, maka
potensi pajaknya ditentukan oleh berat tidaknya hukuman (determinan 4). Dengan demikian, jelaslah
179
sudah bahwa melalui proses akumulasi, peningkatan PDB perkapita akan meningkatkan penerimaan
negara lebih besar dari pada peningkatan PDB perkapita itu sendiri.
Akibat dari peningkatan PDB/kapita juga dapat ditelusuri perngaruhnya terhadap pengeluaran
pemerintah di bidang pendidikan. Sebagaimana diketahui, perkembangan pengeluaran pemerintah
bidang pendidikan yang diiringi oleh peningkatan PDB/kapita, adalah sejalan dengan kemampuan
anggaran pemerintah. Tuntutan masyarakat untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi dan
berkualitas, menyebabkan kebutuhan investasi di bidang pendidikan semakin besar. Pemerintah yang
dalam hal ini sebagai pengemban misi pembangunan, sangat diharapkan untuk memenuhi tuntutan
ini. Hal ini dapat dijelaskan baik dari tinjauan sisi demand maupun dari tinjauan sisi supply.
Dari sisi demand, dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa permintaan yang tinggi terhadap
pendidikan merupakan derived demand dari peningkatan upah di sektor modern. Kelompok
masyarakat terdidik (well-educated) lebih memiliki kesempatan untuk mendapat pekerjaan dengan
upah yang tinggi. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan akan kebutuhan buruh yang terampil. Bagi
masyarakat keseluruhan, ini berarti dengan semakin bertumbuhnya perekonomian, expected private
benefit untuk pendidikan semakin tinggi. Ini merupakan variabel dari besarnya permintaan
masyarakat terhadap pendidikan. Sedangkan dari sisi supply, pada kondisi awal pembangunan,
besarnya daya tampung murid di sekolah adalah lebih tergantung pada kemampuan anggaran
pemerintah dan yang lebih penting lagi adalah ditentukan oleh pressure politik.
Komitmen untuk memenuhi permintaan pendidikan yang semakin tinggi, ditunjukkan oleh
besarnya pengeluaran di bidang pendidikan. Akan tetapi, ada yang menghawatirkan, yaitu adanya
intervensi pemerintah di bidang pendidikan yang akan mengakibatkan private cost of education
cenderung menjadi rendah. Sedangkan permintaan riil pendidikan lebih ditentukan oleh
besar-kecilnya perbedaan antara expected private benefit pendidikan dan cost of education. Semakin
besar perbedaan ini maka permintaan terhadap pendidikan akan semakin tinggi. Ini berarti bahwa
intervensi pemerintah di bidang pendidikan yang mengiringi perkembangan ekonomi merupakan
penyebab dari semakin tingginya permintaan masyarakat terhadap pendidikan. Bagi pemerintah
sendiri akan menerima akibat berganda. Selama komitmen untuk terus memenuhi keinginan
masyarakat terhadap pendidikan masih kuat maka pengeluaran pemerintah untuk pendidikan di
tahun-tahun awal pembangunan akan mengakibatkan semakin tingginya permintaan akan pendidi-
kan. Peningkatan ini pada gilirannya akan menciptakan keharusan untuk meningkatkan pengeluaran
di bidang pendidikan yang lebih besar lagi pada tahun-tahun selanjutnya sehingga dapatlah
179
dimengerti mengapa dengan semakin tingginya pendapatan nasional, pengeluaran pemerintah di
bidang pendidikan juga mengalami kenaikan dengan tajam.
Walaupun demikian, Chenery dan Syrquin dalam penelitiannya membuktikan lain bahwa
dengan meningkatnya pendapatan per kapita, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hanya
meningkat dari 3,3% menjadi 4,3% (masing-masing untuk pendapatan perkapita US$ 100 dan US$
1.000) terhadap PDB. Argumen yang dikedepankan atas hasil tersebut, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa besarnya pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan ini pada dasarnya lebih
tergantung pada komitmen politik. Diduga, kemungkinan rendahnya angka ini adalah karena
menyurutnya komitmen yang diharapkan setelah terjadi peningkatan pendapatan nasional. Hal ini
bisa dimengerti, oleh karena dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat (yang mengiringi
peningkatan pendapatan nasional tersebut), kemampuan pihak swasta untuk turut serta dalam bisnis
pendidikan juga semakin tinggi. Dengan masuknya pihak swasta yang mendukung (sebagian)
pembiayaan di bidang pendidikan, maka penyediaan sarana dan prasarana pendidikan semakin
banyak. Tentu saja hal ini akan mengembalikan besarnya cost of education pada proporsi semula dan
sebagai dampaknya, permintaan pendidikan tidak sebesar yang dibayangkan. Di satu pihak
permintaan sudah tidak begitu besar dan di lain pihak peranan swasta sudah bisa diandalkan, maka
pengeluaran pemerintah untuk bidang pendidikan pada titik tertentu justeru akan menurun, setelah
sebelumnya mengalami kenaikan.
Sementara itu, dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan disamping adanya
ketentuan tentang batas minimal pendidikan yang ditamatkan, maka secara berangsur-angsur
mengakibatkan terjadi perbaikan dan peningkatan daya tampung fasilitas pendidikan yang pada
gilirannya akan terefleksi pada peningkatan secara tajam pada nisbah partisipasi sekolah atau school
enrollment ratio. Tentang school enrollment ratio ini dapat diberikan contoh sebagai berikut: jumlah
penduduk berusia 7-12 tahun adalah 1.000 orang, sedangkan jumlah murid Sekolah Dasar (SD)
adalah 940 orang, maka School Enrollment Ratio untuk tingkat SD adalah sebesar 94%, yaitu
940/1000 x 100% = 94%. Untuk tingkat SMTP, SMTA dan Perguruan Tinggi, School Enrollment
Ratio-nya masing - masing diukur dengan membandingkan jumlah siswa atau mahasiswa pada tiap
jenjang pendidikan itu terhadap jumlah penduduk berusia 13-15 tahun (untuk SMTP), 16-18 tahun
(untuk SMTA) dan 19-24 tahun (untuk Perguruan Tinggi).
Hasil penelitian Chenery dan Syrquin mengenai School Enrollment Ratio memperlihatkan
suatu peningkatan yang sangat tajam yaitu dari 37,5% pada saat pendapatan perkapita US$ 100
menjadi 84,2% pada saat pendapatan perkapita menjadi US$ 1.000. Demikianlah alur pikir dari
179
peningkatan PDB/kapita melalui proses akumulasi yang mengakibatkan peningkatan kemampuan
menabung, kemampuan penerimaan pemerintah dan peningkatan taraf pendidikan masyarakat.
b. Proses Alokasi
Perubahan struktur ekonomi dapat juga ditinjau dari proses alokasi. Dalam hal ini, dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat, terjadi pergeseran di dalam penggunaan sumber-sumber daya,
baik sumber daya fisik maupun sumber daya manusia. Proses ini selanjutnya disebut sebagai proses
alokasi sumberdaya. Hal ini dapat pula didefinisikan sebagai proses yang terjadi karena adanya
interaksi antara proses akumulasi yang pada gilirannya merubah keunggulan komparatif dalam
memproduksi barang dan jasa di satu pihak serta berubahnya pola konsumsi yang biasanya menyertai
proses peningkatan pendapatan per kapita di lain pihak. Sebagai akibat dari adanya interaksi tersebut
maka proses peningkatan pendapatan per kapita dalam kurun waktu yang lama biasanya akan disertai
dengan berubahnya struktur produksi dan struktur barang dan jasa yang diperdagangkan melalui
batas-batas nasional.
Oleh karenanya, maka proses ini secara sistematis akan mengakibatkan perubahan pada: 1)
struktur permintaan dalam negeri (domestic); 2) struktur produksi dalam negeri; dan 3) pola
perdagangan luar negeri. Perubahan ini pada dasarnya merupakan hasil akhir dari interaksi antara
permintaan dan penawaran. Permintaan lebih dipengaruhi oleh perkembangan pendapatan
masyarakat yaitu perubahan dalam pola konsumsi, di lain pihak penawaran dipengaruhi oleh
perubahan proporsi penggunaan sumberdaya dan perubahan teknologi, yaitu bertambahnya
keuntungan komparatif yang timbul sebagai akibat dari proses akumulasi yang menyertai
peningkatan pendapatan perkapita.
Untuk memperkuat sisi penawaran dalam konteks pembangunan ekonomi, terutama dari
aspek produksi dan kewilayahan, Hirschman mengusulkan perlunya strategi pembangunan ekonomi
yang mengkonsentrasikan pada sektor-sektor yang relatif sedikit ketimbang ke sektor-sektor yang
banyak tetapi tersebar. Sektor yang dipilih atau menjadi sektor kunci adalah sektor yang mempunyai
kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat.
Pertumbuhan di sektor tersebut akan mendorong pertumbuhan sektor lain sehingga sektor tersebut
179
akan menjadi sektor unggulan bagi sektor lainnya. Selanjutnya Hirschman juga mengemukakan
bahwa dalam sektor produktif, mekanisme pendorong pembangunan (inducement mechanism) yang
tercipta akibat dari adanya hubungan berbagai industri dalam penyediaan input yang digunakan
sebagai bahan mentah dalam industri lainnya dibedakan menjadi dua macam: 1) kaitan ke belakang
(backward linkage effects) dan 2) kaitan ke depan (forward linkage effects).
Konsep Hirschman hampir sama dengan konsep Myrdal23. Hirschman mengembangkan
konsep polarisasi dan efek penetesan (trickle down effect) yang pengertiannya hampir sama dengan
backwsh effect dan efek penyebaran (spread effect) yang dikembangkan oleh Myrdal. Perbedaannya
adalah cara pandang setiap teori dalam memandang dampak pembangunan dari suatu pusat
pertumbuhan terhadap wilayah di belakangnya pada masa-masa sesudahnya. Teori Hirschman lebih
optimis dalam memandang dampak di masa depan daripada teori Myrdal.
Menurut Hirschman hubungan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya
tergantung pada keseimbangan antara dampak positif dengan negatif bagi daerah belakang. Jika
komplementaris kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan ke arah belakang dan sebaliknya
bila komplementaris lemah akan terjadi proses polarisasi. Dari proses ini, menyebabkan sumber daya
di daerah belakang terserap oleh daerah pusat pertumbuhan dan hal ini akan menghabat kemajuan di
daerah belakangnya. Dampak yang paling penting dari penetesan ke bawah dari pusat pertumbuhan
menuju daerah belakangnya adalah meningkatnya proses pembelian dan investasi di belakangnya
oleh adanya kutub pertumbuhan, yang nantinya akan meningkatkan produksi tenaga kerja dan
pendapatan per kapita dengan terserapnya pengangguran tersembunyi di daerah belakang.
Hirschman selanjutnya mengungkapkan segi keterkaitan diantara berbagai ragam kegiatan
ekonomi. Hal ini menyangkut keterkaitan antarsektor (misalnya antara sektor pertanian dan sektor
industri) maupun kerterkaitan yang berlaku di lingkungan satu sektor tertentu (intrasector). Setiap
proyek investasi di suatu industri tertentu selalu terkait dengan kegiatan di tahap menyusul dan atau
di tahap yang mendahuluinya. Dalam hal keterkaitan itu dengan kegiatan industri di tahap menyusul
(indusri hilir) maka keterkaitan tersebut bersifat forward linkage, sebaliknya di dalam hal keterkaitan
menyangkut kegiatan industri di tahap yang mendahului (industri hulu) maka hal tersebut disebut
backward linkage. Selanjutnya kemajuan wilayah akan tercapai jika terdapat konsentrasi
23 Menurut Myrdall (1969) terdapat dua kekuatan yang bekerja pada pertumbuhan ekonomi yaitu bachwash effect dan spread effect. Kekuatan spread effect mencakup penyebaran pasar hasil industri bagi wilayah yang belum berkembang, kekuatan efek balik negatif (backwash effect) biasanya melampau efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari daerah tidak berkembang ke daerah berkembang.
179
pembangunan pada sektor-sektor kunci yang ditentukan bacward linkage dan forward linkage. Efek
penetesan yang diharapkan terjadi karena adanya pertukaran investasi di wilayah hinterland.
Akibat dari penguatan sisi permintaan dan sisi penawaran sebagaimana diuraikan di atas
maka struktur produksi dan struktur perdagangan mengalami perubahan. Pola perubahan struktural
tersebut selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, dari segi perubahan dalam struktur permintaan dalam negeri (domestik): sama
halnya dengan proses akumulasi, latar belakang teoritis dari perubahan pola permintaan, dapat
dijelaskan melalui mekanisme hukum Engel bahwa income elasticity of demand pada kelompok
makanan adalah lebih kecil dari satu (inelastis), maka dari itu konsumsi untuk makanan dihitung
secara relatif terhadap PDB akan menurun. Ini berarti, semakin tinggi PDB perkapita maka relatif
makin kecil yang digunakan untuk mengkonsumsi makanan, atau dengan lain perkataan, δ C/δ Y
dari kebutuhan pokok (makanan) akan menurun dan sebaliknya δ C/δ Y untuk bukan kebutuhan
pokok tersebut akan meningkat, sejalan dengan terjadinya kenaikan pendapatan perkapita. Sedangkan
dari segi penawaran, latar belakang teoritis dari perubahan penawaran sebagai akibat adanya
perubahan proporsi penggunaan sumber daya dan teknologi, melalui mekanisme yang telah
dikemukakan oleh Heckser-Ohlin. Menurut mereka, terjadinya perbedaan proporsi sumberdaya yang
dimiliki oleh suatu negara akan mempengaruhi harga relatif dari sumberdaya tersebut. Dampaknya,
di masing-masing negara akan terjadi comparative advantage pada produk-produk yang spesifik.
Kemajuan teknologi akan menghasilkan peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya, yang
lazimnya bersifat parsial pada produk tertentu saja, sehingga akan mempengaruhi terjadinya com-
parative advantage pada masing-masing negara.
Terjadinya perbedaan dalam keuntungan komparatif ini akan mendorong spesialisasi
produksi dan pada gilirannya akan mempengaruhi struktur dari produk-produk yang diperdagangkan
ke luar negeri. Kondisi ini berjalan secara dinamis, dimana harga relatif dari sumberdaya-sumberdaya
yang dimiliki juga akan berubah, baik sebagai akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan
penawaran dari sumberdaya-sumberdaya yang bersangkutan, maupun sebagai akibat dari pengaruh
perkembangan teknologi.
Hal lain yang dapat menjelaskan tentang perubahan strktur permintaan domestik ini adalah :
pertama; terdapat kecenderungan menurunnya pengeluaran konsumsi swasta secara relatif terhadap
PDB. Hal ini sebagai konsekuensi dari proses akumulasi dimana peningkatan PDB/kapita akan
179
menaikkan pangsa tabungan dalam PDB (S/PDB), kedua; pengeluaran konsumsi pemerintah
terhadap PDB secara relatif cenderung meningkat sampai pada batas tertentu.
Hasil studi Chenery dan Syrquin sebagaimana disajikan pada Tabel 2.3, mengungkapkan
bahwa dengan meningkatnya pendapatan nasional maka konsumsi pemerintah secara relatif
menunjukkan peningkatan, yaitu dari 13,7% menjadi 14,8%. Bila dibandingkan dengan kenaikan
penerimaan pemerintah yang cukup tinggi (dari 15,3% menjadi 28,7% - lihat proses akumulasi),
maka hal ini menunjukan bahwa alokasi penerimaan pemerintah lebih diarahkan untuk tujuan-tujuan
produktif. Sementara itu konsumsi rumah tangga (swasta), menurun dari 72,0% menjadi 61,7% dan
konsumsi untuk bahan makanan juga menurun dari 39,2% menjadi 17,5% (persentase terhadap
PDB). Hal ini juga menunjukkan adanya alokasi pendapatan masyarakat untuk aktivitas produktif.
Tabel 2.3Struktur Ekonomi Pada Berbagai Tingkat Pembangunan
Pada Proses Alokasi
No Deskripsi Faktor Nilai Tiap Faktor Pada Berbagai Tingkat Pembangunan$100 $200 $300 $400 $500 $800 $1.000
1 Struktur permintaan Domestika.Konsumsi rumah
Tangga 0,720 0,686 0,667 0,654 0,645 0,625 0,617
b.Konsumsi pemerintah 0,137 0,134 0,135 0,136 0,138 0,144 0,148 2 Struktur Produksi
b.Sektor Primer 0,452 0,327 0,266 0,228 0,202 0,156 0,138 b.Sektor Industri 0,149 0,215 0,251 0,276 0,294 0,331 0,247 c. Sektor Utilitis 0,061 0,072 0,079 0,085 0,089 0,098 0,102 d.Sektor Jasa-jasa 0,338 0,385 0,403 0,411 0,415 0,416 0,413
3 Struktur Perdagangan a. Ekspor 0,195 0,218 0,230 0,238 0,244 0,255 0,260 b. Ekspor Bahan Mentah 0,137 0,136 0,131 0,125 0,120 0,105 0,096 c. Ekspor Barang Industri 0,019 0,034 0,046 0,056 0,065 0,086 0,097 d. Ekspor Jasa-jasa 0,031 0,042 0,048 0,051 0,053 0,056 0,057 e. Impor 0,218 0,234 0,243 0,249 0,254 0,263 0,267
Sumber : Hollis B. Chenery & M. Syrquin, Patterns of Development 1950-1970, published by Oxford University Press for the World Bank, London, 1975.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dinyatakkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan
nasional, akan terjadi alokasi dana ke arah yang lebih produktif. Dari segi perubahan struktur
produksi, dapat dilihat dari adanya kecenderungan penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB
dan sebaliknya pangsa sektor di luar pertanian, terutama proporsi sektor industri terhadap PDB
cenderung meningkat dengan pesat. Bila NTBag/PDB cenderung menurun maka berarti laju
179
pertumbuhan NTB sektor pertanian lebih kecil daripada laju pertumbuhan PDB. Mengapa demikian?
Jawabannya dapat diperoleh baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.
Dari sisi permintaan; seperti diketahui bahwa sektor pertanian menghasilkan bahan makanan
dengan income elasticity of demand terhadap makanan yang lebih kecil dari satu (inelastic) sehingga
peningkatan pendapatan (PDB/kapita) secara relatif menurunkan permintaan terhadap makanan
(perlu hati-hati, sebab yang menurun adalah marginal propensity to consume untuk makanan dan
bukan permintaan absolutnya). Disamping itu, makin banyak komponen dari makanan yang jatuh ke
sektor di luar pertanian, misalnya ke sektor jasa dan sektor industri. Untuk sektor pertanian yang
menghasilkan bukan makanan, sebagai akibat perubahan teknologi, maka: (a). penggunaan bahan
baku cenderung semakin efisien; dan (b). cenderung menghasilkan barang subsitusi (karet alam --->
karet sintetis, arang ----> listrik, kuda ----> mobil), sebagai dampaknya adalah permintaan hasil
sektor pertanian bukan bahan makanan relatif semakin kecil (income inelastic). Berbeda dengan
permintaan terhadap hasil pertanian, permintaan terhadap hasil industri manufaktur secera
keseluruhan elastik.
Dari sisi penawaran; dilihat dari segi keuntungan komparatif maka ada pergeseran dari
sektor pertanian kepada sektor pengolahan karena keuntungan komparatif sektor pertanian lebih
rendah daripada sektor industri pengolahan. Mengapa proporsi sektor non-pertanian meningkat
dengan meningkatnya PDB perkapita? Ada tiga faktor penyebabnya; (i). Income elasticit of demand
terhadap hasil industri pengolahan adalah lebih besar dari satu (>1), (ii). Berubahnya keuntungan
komparatif dalam memproduksi barang dan jasa, umumnya lebih menguntungkan
memproduksi hasil industri pengolahan; dan (iii). Bergesernya kegiatan yang tadinya masuk sebagai
kegiatan sektor pertanian dan rumah tangga menjadi masuk ke sektor industri pengolahan.
Hasil penelitian Chenery (tahun 1960-an) menunjukkan bahwa ternyata meningkatnya
proporsi industri pengolahan dalam PDB karena meningkatnya PDB/kapita, 50% bisa diterangkan
karena perubahan keuntungan komparatif, dan 32% karenakeuntungan permintaan, sedangkan 18%
bisa diterangkan karena pergeseran proses produksi. Keuntungan komparartif tercermin pada hasil
produksi pengolahan yang sifatnya subsitusi impor. Gejala ini sering disalah artikan di negara-negara
berkembang, mereka mengira bahwa dalam rangka industrialisasi perlu dikembangkan industri
subsitusi impor. Sebenarnya subsitusi impor yang dimaksud oleh Chenery berbeda dengan pengertian
subsitusi impor di negara sedang berkembang. Subsitusi impor yang dimaksud Chenery adalah
subsitusi impor karena adanya keuntungan komparatif, jadi sifatnya alamiah, sedangkan subsitusi
179
impor yang dipahami di negara-negara sedang berkembang adalah industri subsitusi impor dengan
proteksi. Sebagai akibat dari perubahan struktur produksi, khususnya dengan makin membesarnya
peran industri pengolahan dalam PDB di negara-negara yang belum maju yang pangsa sektor industri
pengolahannya relatif kecil.
Sedangkan studi Chenery dan Syrquin yang menyangkut pola perubahan struktur produksi
ini menunjukkan penurunan pada produksi sektor primer dari 45,2% menjadi 13,8%; sektor industri
meningkat dari 14,9% menjadi 34,7%; sektor utilities meningkat dari 6,1% menjadi 10,2% dan
sektor jasa meningkat dari 33,8% menjadi 41,3%. Fakta ini mengindikasikan alokasi penggunaan
sumber daya yang digunakan untuk produksi, telah dialokasikan seperti pola di atas, yaitu untuk
sektor pertanian menurun, sementara untuk sektor-sektor lainnya di luar sektor pertanian meningkat,
terutama sektor industri. Ini berarti penggunaan sumberdaya-sumberdaya bergeser dari sektor
pertanian ke sektor lain dan yang paling banyak menyerap penggunaan sumberdaya akibat dari
pergeseran tersebut adalah sektor industri.
Terkait dengan meningkatnya pangsa industri pengolahan dalam PDB, seperti yang telah
diuraikan di atas, oleh United Nation Industrial Organization (UNIDO) dikenal empat tahapan
industrialisasi dalam suatu negara:
a. Non industrial, disebut demikian bagi negara yang NTB sektor industri pengolahannya dalam
PDB sebesar lebih kecil dari 10%.
b. Industrilizing, disebut demikian bagi negara yang NTB sektor industri pengolahannya dalam
PDB sebesar 10-20%.
c. Semi industrilized, disebut demikian bagi negara yang NTB sektor industri pengolahannya dalam
PDB sebesar 20-30%.
d. Industrilized, disebut demikian bagi negara yang NTB sektor industri pengolahannya dalam
PDB lebih besar 30%.
Oleh karena di sebagian negara sektor jasa membesar maka sekarang ini sulit menggunakan
kriteria di atas, sehingga ada negara yang pada mulanya sudah masuk kategori Industrialized (pangsa
sektor industri terhadap PDB lebih besar dari 30%), turun menjadi Semi industriliazed (pangsa sektor
industrinya terhadap PDB antara 20 - 30%). Olehnya adalah penting memeprhatikan struktur Nilai
Tambah Bruto sektor Industri berdasarkan klasifikasi International Standard Industrial Clas-
sification (ISIC) seperti yang telah diuraikan pada bagian pertama.
179
Berdasarkan klasifikasi ISIC tersebut, UNIDO membagi sektor industri manufaktur ke dalam
dua kelompok, yaitu kelompok industri ringan dan kelompok industri berat. Kelompok industri
ringan meliputi industri-industri yang produksinya untuk kebutuhan pokok dan barang yang tidak
tahan lama, dalam hal ini secara rinci adalah industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 31);
industri tekstil, pakaian, kulit dan barang dari kulit (ISIC 32); industri kayu, barang dari kayu serta
perabot rumahtangga dari kayu, rotan dan bambu (ISIC 33) industri percetakan dan penerbitan (ISIC
342); industri barang dari karet (ISIC 355); industri barang dari plastik (ISIC 356) dan industri yang
menghasilkan barang yang tidak dikelompokkan dimana-mana (ISIC 39). Adapun yang masuk dalam
klasifikasi industri berat adalah industri yang memproduksi bahan baku, barang konsumsi tahan lama
dan peralatan bagi profesional, dalam hal ini secara rinci adalah, industri kertas dan barang dari kertas
(ISIC 341); Industri kimia dan kimia dasar (ISIC 351 dan 352); Industri pengilangan minyak bumi,
gas alam cair, pengolahan lebih lanjut dari hasil pengilangan minyak bumi dan Industri yang
mengolah batubara (ISIC 353 dan 354); Industri keramik, kaca dan barang dari mineral bukan logam
dan bukan migas (ISIC 36); Industri logam dasar besi dan baja serta logam dasar bukan besi (ISIC
37); Industri barang dari logam, mesin, alat pengangkutan, peralatan untuk tenaga profesional dan
ilmu pengetahuan, peralatan fotografi, dan barang optik dan alat pengukur waktu (ISIC 38).
Ditinjau dari pola konsumsi, permintaan produk industri ringan meningkat pada waktu
pendapatan masih relatif rendah, sebaliknya untuk hasil produk industri berat, permintaannya
meningkat ketika pendapatan relatif tinggi. Dari sisi intensitas penggunaan faktor produksi, industri
ringan adalah industri yang padat tenaga kerja dan kurang menggunakan energi, keadaan sebaliknya
pada industri berat umumnya padat modal, banyak menggunakan energi dan umumnya menghasilkan
bahan baku. Ditinjau dari sisi pengaruh economic of scale, industri ringan tidak terlalu sensitif
sedangkan industri berat sangat sensitif terhadap economic of scale. Pada umumnya hasil produk
industri ringan adalah untuk konsumen akhir, sedangkan industri berat adalah konsumen untuk
industri hilir. Tentu saja tingkat teknologi pada industri berat lebih tinggi dan cepat berubah
ketimbang pada industri ringan.
Memperhatikan sifat-sifat tersebut di atas, maka dapat diduga bahwa kontribusi industri
ringan dalam industri manufaktur menurun dengan makin tingginya tingkat pendapatan, dan tentu
saja sebaliknya, industri mengalami peningkatan. Struktur di negara berkembang, umumnya
didominasi oleh ISIC 31 dan 32, sedangkan di negara maju didominasi oleh ISIC 38.
179
Dari segi perubahan struktur perdagangan luar negeri, dapat dilihat dari dua sisi yaitu; sisi
ekspor dan sisi impor. Dalam menganalisis perubahan struktur perdagangan luar negeri sebagai
akibat dari adanya peningkatan PDB perkapita, maka kedua sisi tersebut perlu diuraikan secara rinci.
Pada sisi ekspor, biasanya dibedakan kedalam ekspor ekspor bahan mentah (primary product,
Xbm); ekspor hasil industri pengolahan (manufacturing product, Xip); dan ekspor jasa-jasa (services,
Xj), sedangkan pada sisi impor, biasanya dibedakan kedalam impor barang yang dirinci menurut:
impor barang komsumsi (consumption goods, Mbk); impor barang modal (capital good,s Mbm),
impor bahan baku/mentah (raw material goods, Mbb) dan impor bahan penolong (auxiliary goods,
Mbp) disamping impor jasa-jasa (Mj).
Dilihat dari sisi impor, besarnya impor barang modal (Mbm) dari segi permintaan dipengaruhi
oleh Investasi (I). Dari proses akumulasi telah diketahui bahwa kenaikan I lebih tinggi daripada
kenaikan PDB sehingga kenaikan Mbm lebih tinggi dari pada kenaikan PDB. Sementara itu, dari sisi
penawaran, bisa dilihat dari dalam negeri maupun luar negeri. Mbm mempunyai ciri: umumnya padat
modal, skala produksinya relatif besar, tingkat teknologinya relatif tinggi dan perubahan teknologinya
cepat, serta konsumennya hampir semua kegiatan ekonomi, artinya kemungkinan untuk di produksi
di dalam negeri jauh lebih sulit. Impor bahan baku (Mbb) dan bahan penolong (Mbp) dari segi
permintaan erat kaitannya dengan peran NTB industri pengolahan dalam PDB. Karena laju
pertumbuhan NTB industri pengolahan lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan PDB maka Mbb dan
Mbp mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan PDB.
Dari segi penawaran, bisa dilihat dari dalam negeri dan bisa pula dilihat dari luar negeri. Mbb
dan Mbp mempunyai ciri; skala produksinya besar dan sangat peka (biaya per satuannya relatif
mahal), padat modal dan teknologi tinggi, serta konsumen pemakainya adalah industri hilir, sehingga
industri semacam ini dikembangkan setelah PDB relatif besar. Suatu negara yang melakukan
subsitusi impor bahan baku dan bahan penolong disebut sebagai subsitusi impor tahap kedua.
Impor barang konsumsi (Mbk) dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi,
terutama bila kenaikan pendapatan golongan ini lebih tinggi dari pada kenaikan pendapatan golongan
berpendapatan rendah. Barang-barang konsumsi ini (lebih-lebih yang bukan barang konsumsi tahan
lama) memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a). Kurang peka terhadap skala produksi, artinya perbedaan
produksi per unit antara skala besar dan kecil tidaklah terlalu besar; b). Tingkat teknologinya tidak
terlalu tinggi dan perkembangan teknologinyapun tidak terlalu cepat; dan c). Permintaan impor
barang konsumsi adalah konsumen akhir sehingga multiplier effect -nya tidak besar, artinya kalau
179
seandainya di produksi dalam negeri biayanya lebih tinggi dan yang harus membayar adalah
konsumen akhir. Itulah sebabnya dalam proses subsitusi impor yang mula-mula dikembangkan
adalah impor subsitusi untuk barang konsumsi yang sering disebut sebagai Subsitusi impor tahap I.
Secara keseluruhan, dari sisi impor telah dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan impor lebih cepat
dari pada laju pertumbuhan PDB. Ini merupakan salah satu alasan mengapa dalam perencanaan
pembangunan sasaran ekspor harus lebih tinggi (besar) daripada impor.
Dari sisi ekspor, oleh karena keterbatasan persediaan barang-barang modal dan produksi
barang modal di dalam negeri pada negara sedang berkembang, maka dari sisi penawaran lebih besar
atau menghampiri keseluruhan dari total ekspor negara tersebut. Dengan meningkatnya PDB/kapita,
mengakibatkan investasi makin meluas sehingga persediaan barang-barang modal di dalam negeri
bertambah pesat dan hal ini meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk mengolah lebih banyak
bahan-bahan mentah menjadi barang setengah jadi, mulai dari suatu batas tertentu diperuntukan
ekspor. Dengan cara ini maka proses pertumbuhan ekspor (Xip) dapat dimulai. Peningkatan lebih
lanjut investasi akan lebih memperluas dan memperkokoh struktur produksi industri pengolahan di
dalam negeri sehingga dengan keuntungan komparatif yang dimiliki sebagian dari hasil industri
pengolahan, baik dalam bentuk barang setengah jadi maupun barang jadi, di ekspor keluar negeri.
Dalam keadaan normal, mula-mula pangsa ekspor terhadap PDB menaik, kemudian landai
dan ada kemungkinan turun. Pangsa ekspor bahan mentah terhadap PDB cenderung turun, sebaliknya
pangsa ekspor barang hasil manufaktur dan jasa-jasa terhadap PDB cenderung naik. Hasil studi
Chenery dan Syrquin memperlihatkan bahwa total ekspor meningkat dari 19,5% menjadi 26,0%.
Ekspor barang-barang industri meningkat dari 1,9% menjadi 9,7%, peranan ekspor jasa meningkat
dari 3,1% menjadi 5,7% sedangkan ekspor bahan mentah menurun dari 13,7% menjadi 9,6%.
Dengan adanya peningkatan devisa sebagai dampak dari adanya peningkatan penerimaan ekspor,
maka kemampuan impor juga semakin besar. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan impor dari
21,8 % menjadi 26,7 %. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa dengan adanya perubahan Comparatif
Advantage, sebagai akibat adanya alokasi sumber daya, akan mempengaruhi pola perdagaangan luar
negeri. Disini terlihat bahwa perdagangan luar negeri akan bergeser dari eksportir bahan mentah
berangsur menjadi eksportir barang industri dan jasa.
Perubahan struktur ekspor dan impor sering dikaitkan dengan perubahan struktur ekspor dan
impor barang dalam perdagangan luar negeri menurut Standard International Trade Classification
(SITC). Berdasarkan SITC satu digit barang ekspor dan impor dikelompokkan menjadi:
179
SITC 0 : Bahan makanan dan binatang hidupSITC 1 : Minuman dan tembakauSITC 2 : Bahan mentahSITC 3 : Bahan bakar dan minyak pelumasSITC 4 : Minyak/lemak nabati dan hewaniSITC 5 : Bahan kimiaSITC 6 : Hasil industri menurut bahanSITC 7 : Mesin dan alat pengangkutSITC 8 : Hasil industri lainSITC 9 : Barang dan transaksi khusus lainnya
Dalam perdagangan luar negeri yang dianggap sebagai hasil industri manufaktur adalah SITC
5 sampai dengan SITC 9 kecuali 68 (logam yang tidak mengandung besi, seperti nikel, timah dan
aluminium), akan tetapi ada pula yang menganggap SITC 251 (pulp dan sisa kertas), SITC 334 (hasil
pengilangan minyak bumi), SITC 335 (sisa hasil pengilangan minyak bumi), SITC 34 (gas alam
cair), SITC 4 dan SITC 68 masuk dalam hasil industri manufaktur. Ini memberi pengertian bahwa
umumnya hasil produksi industri dari ISIC 31 (makanan), ISIC 353 (pengilangan minyak bumi),
ISIC 354 (gas alam cair) dan ISIC 371 (industri dasar besi dan baja) tidak dianggap sebagai hasil
industri manufaktur, tetapi ada pula yang menganggap bahwa hanya sebagian dari ISIC 31 yang
bukan hasil industri manufaktur.
Berdasarkan intensitas penggunaan faktor produksi, ekspor barang hasil industri manufaktur
menurut tahapan pembangunan diperbedakan menjadi lima kelompok, yaitu :
1) Resources intensive (industri manufaktur yang padat kekayaan alam). Ini terdiri atas SITC 251,
334, 335, 34, 4 dan 61 (kulit disamak dan barang dari kulit), SITC 63 (barang dari kayu dan
gabus), SITC 641 (kertas dan kertas karton), SITC 661 (semen kapur dan bahan bangunan), SITC
662 (barang konstruksi), SITC 663 (produk dari bahan mineral), dan SITC 68;
2) Labor intensive (industri manufaktur padat karya) yang meliputi SITC 65 (barang tenun, kain
tekstil dan hasilnya), SITC 691 (bangunan dan bahan bangunan dari logam), SITC 692 (tangki
untuk penyimpanan dan pengangkutan barang), SITC 695 (perkakas pertukangan tangan), SITC
696 (pisau dan alat potong lainnya), SITC 697 (perabot rumahtangga dari logam), SITC 699
(produk logam tidak mulia lainnya), SITC 898 (alat musik dan kelengkapannya), dan 899 (barang
buatan pabrik lainnya);
3) Differentiated goods (industri manufaktur dengan tingkat keterampilan tinggi) yang meliputi:
SITC 71 (mesin pembangkit tenaga), SITC 72 (mesin industri khusus), SITC 73 (mesin untuk
179
mengerjakan logam), SITC 74 (mesin industri dan perlengkapannya), SITC 76 (telekomunikasi),
SITC 77 (mesin listrik, aparat dan alatnya), dan SITC 88 (aparat fotografi dan perlengkapannya);
4) Scale intensive (industri manufaktur yang skala ekonominya relatif besar dan padat modal). Ini
terdiri atas: SITC 51 (kimia organik); SITC 52 (kimia an-organik); SITC 53 kecuali 533 (bahan
celup), SITC 581 (tabung, pipa dan selang dari bahan plastik); SITC 621 (bahan-bahan dari
karet), SITC 625 (ban luar dan ban dalam untuk segala jenis roda), SITC 629 (barang dari karet
lainnya), SITC 642 (barang kertas lainnya), SITC 664 (kaca atau gelas); SITC 665 (barang dari
kaca), SITC 666 (barang porselen dan pecah belah lainnya), SITC 67 (besi dan baja), SITC 693
(kawat dan produk ikutannya), SITC 694 (paku, mur, baut dan semacamnya), SITC 78
(kendaraan bermotor jalan raya), SITC 79 kecuali 792 (alat pengangkutan lainnya, kecuali alat
peng angkutan udara), SITC 892 (barang cetakan), SITC 893 (barang plastik buatan), dan SITC
894 (kereta bayi, mainan anak dan lain-lain);
5) Science based (industri manufaktur yang padat ilmu pengetahuan dan teknologi). Yang masuk
dalam kelompok ini: SITC 533 (bahan pewarna lainnya), SITC 54 (bahan obat-obatan dan
hasilnya), SITC 55 (bahan wangi-wangian dan parfum), SITC 75 (mesin kantor dan pengolah
data), SITC 792 (alat pengangkutan udara dan perlengkapannya), dan 87 (instrumen ilmu
pengetahuan, kedokteran dan sebagainya).
Seiring dengan terjadinya perubahan komposisi faktor produksi selama pembangunan
berlangsung maka keunggulan komparatif berubah, dan ini tercermin dari adanya perubahan
komposisi ekspor hasil industri manufaktur yang pada awalnya didominasi oleh ekspor hasil produksi
industri manufaktur yang padat kekayaan alam dan padat karya, kemudian secara bertahap berubah
dan didominasi oleh hasil ekspor industri manufaktur berketerampilan tinggi, berskala besar dan
padat modal serta pada akhirnya didominasi oleh ekspor hasil industri manufaktur yang padat ilmu
pengetahuan dan teknologi.
c. Proses Distribusi dan Proses Demografi
Proses distribusi dan proses demografi, dalam uraian ini dilihat dalam satu kerangka acuan
analisis dengan proses akumulasi dan proses alokasi. Atau dengan kata lain, proses akumulasi,
alokasi, distribusi dan proses demografi dilihat dalam kerangka acuan yang mencakup dinamika
proses transformasi secara menyeluruh selama masa transisi. Dengan begitu dapat dihindarkan
179
pandangan yang menganggap seolah-olah proses distribusi dan proses distribusi ini merupakan proses
yang berdiri sendiri, terlepas dari segi-segi pokok lainnya dalam proses pembangunan.
Ditinjau dari proses distribusi, perubahan struktur ekonomi dapat dijelaskan bahwa pada
tahap awal pembangunan, lazimnya distribusi pendapatan24 secara relatif cenderung memburuk.
Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya oleh perbedaan dalam kepemilikan sumber
daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Dalam hal ini, pihak
yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula
dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal. Ketidakmerataan dalam pembagian
pendapatan dapat terjadi karena ketidaksempurnaan pasar. Hal ini diartikan sebagai adanya gangguan
yang mengakibatkan persaingan dalam pasar tidak dapat bekerja secara sempurna.
Gangguan-gangguan tersebut selain berupa perbedaan dalam kepemilikan sumberdaya juga
dalam bentuk perbedaan dalam kepemilikan informasi, adanya intervensi pemerintah melalui
berbagai peraturannya, dan adanya konspirasi negatif antara beberapa pelaku ekonomi dengan
pemerintah (hal ini sering ditemui atau seringkali terjadi di negara sedang berkembang).
Perbedaan pendapatan karena perbedaan kepemilikan awal faktor produksi tersebut menurut
teori pembangunan ekonomi neo-klasik akan dapat dihilangkan atau dikurangi melalui suatu proses
penyesuaian otomatis. Dengan proses tersebut hasil pembangunan akan menetes dan menyebar
sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Manakala setelah proses tersebut masih ada perbedaan
pendapatan yang cukup timpang, maka masalah ini dapat dipecahkan dengan mempergunakan
beberapa pendekatan, diantaranya: 1) memaksimumkan pertumbuhan pdb melalui peningkatan
tabungan dan alokasi sumberdaya yang lebih efisien yang mampu memberikan manfaat pada semua
kelompok masyarakat; 2) mengarahkan investasi pada masyarakat miskin dalam bentuk pendidikan
dan atau akses pada kredit yang lebih mudah; 3) melalui sistem pajak atau alokasi langsung barang-
barang konsumen; dan 4) pengalihan aset yang tersedia kepada kelompok miskin seperti halnya
dengan kebijakan land-reform.
24 Dalam hal ini, distribusi pendapatan dapat dibedakan atas: 1) distribusi antargolongan pendapatan, terdiri atas distribusi absolut dan relatif. Distribusi pendapatan relatif membandingkan pendapatan antar kelompok golongan pendapatan, sementara distribusi pendapatan absolut menganalisis batas pendapatan minimum yang layak diterima seseorang; dan 2) distribusi antardaerah. Hasil penelitian williamson menunjukkan bahwa: (1) disparitas pendapatan antardaerah akan berkurang dengan meningkatnya perekonomian nasional; dan (2) disparitas antardaerah di nergara sedang berkembang lebih tinggi daripada disparitas antardaerah di negara maju.
179
Proses pembangunan ekonomi biasanya tidak hanya ditandai oleh perubahan atau
pergeseran pada struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa, akan tetapi juga ditandai oleh
perubahan yang terjadi dalam struktur penduduk dan ketenagakerjaan. Proses perubahan ini oleh
chenery dan syrquin diistilahkan sebagai proses demografi. Proses ini terjadi sebagai akibat dari
perubahan pada struktur permintaan, struktur produksi dan perbaikan fasilitas kesehatan, gizi serta
pendidikan yang timbul seiring dengan pertumbuhan pendapatan per kapita. Proses ini juga
mencakup peralihan berbagai hal yang terkait dengan tempat tinggal penduduk, migrasi/urbanisasi,
angka kelahiran dan kematian, serta beberapa hal yang terkait dengan ketenagakerjaan seperti
pengangguran, jenis pekerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat upah.
Dalam sektor ketenagakerjaan, manakala terjadi penurunan cepat dari jumlah angkatan kerja
dalam sektor pertanian. Hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja dan
upah riil di sektor tersebut. Fenomena ini oleh Johnston & Kilby (1975) yang pernah mengkaji
transformasi struktural di amerika, jepang dan taiwan disebut sebagai structural turning point.
Berawal dari structural turning point, pada gilirannya akan terjadi penurunan rasio penduduk yang
bekerja di sektor pertanian terhadap keseluruhan angkatan kerja. Dengan bertambahnya sektor
formal, rasio pekerja dengan upah dan gaji terhadap seluruh angkatan kerja akan meningkat pula.
Terakhir adalah peningkatan rasio tenaga spesialis dan manajer terhadap seluruh angkatan kerja.
Indikator yang terakhir ini berhubungan erat dengan skala unit usaha, semakin banyak unit-unit
usaha berskala besar maka semakin banyak diperlukan tenaga spesialis dan manajer.
Seiring dengan perubahan itu, maka transformasi ekonomi dan pekerjaan pun ikut bergerak
dengan sangat cepat, kemudian mengubah proses fundamental dan memberi nilai tambah pada setiap
tahap dalam memproduksi barang atau jasa, yang selanjutnya disebut sebagai rantai nilai pekerjaan.
Yang menarik dari perubahan dan pergerakan ekonomi serta ragam pekerjaan baru itu
adalah adanya peran yang begitu penting dari teknologi informasi dan modal intelektual sebagai
motor penggerak pembangunan ekonomi, dan percepatan perubahan itu menuntut dunia pendidikan
dapat mempersiapkan dan menghasilkan lulusannya yang berdaya saing.
J. TEORI PEMBANGUNAN WALT WHITMAN ROSTOW
Walt Whitman Rostow atau yang lebih populer dengan panggilan Rostow, adalah tokoh
pemikir ekonomi yang cukup dikenal pemikiran-pemikirannya. Teori pertumbuhan ekonomi yang
dikemukakan oleh Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pada dekade
179
1950-1960, teori Rostow banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi
mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan. Teori Rostow didasarkan pada pengalaman
pembangunan yang telah dialami oleh negara-negara maju terutama di Eropa. Dengan mengamati
proses pembangunan di negara- negara Eropa, mulai dari abad
pertengahan hingga abad modern, Rostow memformulasikan pola pembangunan menjadi tahap-tahp
evolusi dari suatu pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economics Growth, Rostow (1960) menyatakan
bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dapat menyebabkan: 1) perubahan
orientasi ekonomi, politik dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi
berorientasi keluar; 2) perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga yaitu
kesadaran untuk membina keluarga kecil; 3) perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat dari
melakukan investasi yang tidak produktif menjadi investasi yg produktif; dan 4) perubahan sikap
hidup dari adat istiadat yang kurang merangsang pembangunan ekonomi, seperti kurang menghargai
waktu kerja dan orang lain.
Kemudian, Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi lima tahap:
1) tahap perekonomian tradisional; 2) prakondisi tinggal landas; 3) tinggal landas; 4) menuju
kedewasaan; dan 5) tahap konsumsi massa tinggi. Masing-masing tahapan tersebut kemudian
dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap Perekonomian Tradisional
Pada tahap masyarakat tradisional (the traditional society) ditunjukkan oleh suatu
masyarakat yang strukturnya berkembang di arus kehidupan ekonomi yang masih menggunakan
cara-cara berproduksi relatif primitif dan cara-cara hidup masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai yang dicetuskan oleh cara berpikir yang tidak rasional, dan oleh kebiasaan yang telah
berlaku secara turun temurun. Bentuk perekonomian pada masyarakat ini cenderung bersifat
subsisten dimana pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi masih sangat terbatas. Dalam
perekonomian semacam ini sektor pertanian memegang peranan penting. Masih rendahnya
pemanfaatan teknologi dalam proses produksi menyebabkan barang-barang yang diproduksi
sebagian besar adalah komoditas pertanian dan bahan mentah lainnya. Struktur sosial
kemasyarakatan dalam sistem masyarakat seperti ini bersifat berjenjang. Kemampuan penguasaan
sumberdaya yang ada sangat dipengaruhi oleh hubungan darah dan keluarga.
Dalam masyarakat tradisional seperti itu, ciri yang menonjol adalah 1) tingkat produksi per
kapita dan tingkat produktivitas per pekerja masih sangat rendah, karena sebagian besar sumberdaya
179
masyarakat masih digunakan untuk kegiatan sektor pertanian; 2) struktur sosial masyarakat bersifat
sangat hirarkis dengan tingkat mobilitas vertikal masyarakat sangat kecil, dan kedudukan masyarakat
tidak berbeda dengan nenek moyang; dan 3) kegiatan politik dan pemerintahan di daerah-daerah
didominasi oleh para tuan tanah.
2. Tahap Prakondisi Tinggal Landas
Pada tahap prakondisi tinggal landas, pembangunan ekonomi sebagai sebuah proses telah
menyebabkan perubahan ciri-ciri penting dari suatu masyarakat, yaitu perubahan dalam sistem
politiknya, struktur sosialnya, nilai-nilai masyarakatnya, dan perubahan struktur ekonomi yang
bersifat multidimensi.
Untuk mencapai perubahan-perubahan tersebut, masyarakat diperhadapkan kepada suatu
masa transisi tertentu untuk mempersiapkan diri mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri (self
sustained growth). Tahapan ini memiliki dua corak yang amat berbeda: 1) tahap prasyarat tinggal
landas yang dialami oleh negara-negara Eropa, Asia, Timur Tengah dan Afrika, yaitu perombakan
terhadap masyarakat tradisional yg sudah ada untuk mencapai tahap tersebut; dan 2) tahap prasyarat
tinggal landas yg dialami negara born free (daerah imigran seperti Amerika Serikat, Kanada,
Australia dan Selandia Baru), dan tanpa harus merubah sistem masyarakat tradisional yg sudah ada.
Tahap kedua dari proses pertumbuhan Rostow ini pada dasarnya merupakan proses transisi
dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sektor industri mulai berkembang di samping
sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian. Tahap kedua ini
merupakan tahap yang menentukan bagi persiapan menuju tahap-tahap pembangunan berikutnya,
yaitu tahap tinggal landas. Sebagai tahapan yang berfungsi mempersiapkan dan memenuhi prasyarat-
prasyarat pertumbuhan swadaya, diperlukan adanya semangat baru dari masyarakat.
Menurut pengamatan Rostow, negara-negara di Eropa mengalami tahap kedua ini kira-kira
pada abad ke-15 sampai ke-16. Pada saat itu terjadi perubahan radikal dalam masyarakat Eropa
dengan munculnya semangat Renaissance. Semangat ini telah membalikkan semua tatanan nilai
masyarakat Eropa saat itu yang cenderung statis menjadi sangat dinamis.
Perubahan paradigma berfikir nampaknya merupakan istilah yang lebih tepat untuk menilai
fenomena itu. Pada tahap ini, perekonomian mulai bergerak dinamis, industri-industri bermunculan,
perkembangan teknologi cukup pesat, dan lembaga keuangan resmi sebagai penggerak dana
masyarakat mulai bermunculan, serta terjadi investasi besar-besaran terutama pada industri
manufaktur. Kondisi ini selanjutnya disebut sebagai tonggak dimulainya industrialisasi.
179
Industrialisasi dapat dipertahankan jika dipenuhi prasyarat sebagai berikut: 1) peningkatan
investasi disektor infrastruktur/prasarana terutama prasarana transportasi; 2) terjadi revolusi teknologi
di bidang pertanian untuk memenuhi peningkatan permintaan penduduk kota yang semakin besar;
dan 3) perluasan impor, termasuk impor modal, yang dibiayai oleh produksi yang efisien dan
pemasaran sumber alam untuk ekspor. Proses pembangunan dan industrialisasi yang berkelanjutan
akan terjadi jika keuntungan yang diperoleh diinvestasikan kembali pada sektor yang menguntungkan.
3. Tahap Tinggal Landas
Awal dari tahap tinggal landas pada umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan yang
sangat dramatis dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa, seperti terciptanya kemajuan yang pesat
dalam inovasi, terbukanya pasar-pasar baru, terjadinya revolusi politik dan kehidupan demokrasi
secara luas, dan revolusi industri yang berhubungan erat dengan revolusi metode produksi dan lain
sebagainya. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan
bagi kehidupan masyarakat.
Faktor –faktor penyebab dimulainya tahap tinggal landas itu amat beragam dan berbeda-beda
satu sama lainnya, namun yang jelas perubahan-perubahan itu muncul dan terus berkembang karena
disangga oleh kekuatan nilai-nilai dan budaya yang luhur, serta semangat dan etos kerja yang kuat
untuk maju dari suatu bangsa. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut maka secara teratur akan
tercipta pembaharuan-pembaharuan dan peningkatan penanaman modal. Dan pada gilirannya
penanaman modal yang makin bertambah tinggi akan berdampak pada pertambahan yang cepat pada
pendapatan nasional melebihi pertambahan pada jumlah penduduk. Dengan demikian, tingkat
pendapatan per kapita makin lama akan menjadi makin bertambah besar. Pengalaman negara-negara
Eropa menunjukkan bahwa tahap ini berlaku dalam waktu yang relatif pendek, sekitar dua
dasawarsa.
Dalam hubungan itu, tinggal landas didefinisikan sebagai tiga kondisi yang saling berkaitan
sebagai berikut: 1) kenaikan laju investasi produktif antara 5-10 persen dari pendapatan nasional; 2)
perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi;
dan 3) hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan institusional yang menimbulkan hasrat
ekspansi di sektor modern, dan dampak eksternalnya akan memberikan daya dorong pada
pertumbuhan ekonomi. Prasyarat pertama dan kedua sangat berkaitan erat satu sama lain. Kenaikan
laju investasi produktif antara 5-10 persen dari GNP pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan
yang tinggi pada sektor-sektor dalam perekonomian, khususnya sektor manufaktur. Sektor
179
manufaktur diharapkan memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi karena sektor tersebut merupakan
indikator bagi perkembangan industrialisasi yang yang dilakukan.
Selama masa tinggal landas, berkembangnya sektor industri pemimpin dengan tingkat
pertumbuhan tinggi (leading sector), paling tidak ada empat faktor yang perlu dicermati, yaitu 1)
harus ada kemungkinan perluasan pasar bagi barang-barang yg diproduksi yang mempunyai
kemungkinan untuk berkembang dengan cepat; 2) dalam sektor tersebut harus dikembangkan teknik
produksi yang modern dan kapasitas produksi harus bisa diperluas; 3) harus tercipta tabungan dalam
masyarakat dan para pengusaha harus menanamkan kembali keuntungannya untuk membiayai
pembangunan sektor pemimpin; dan 4) pembangunan dan transformasi teknologi sektor pemimpin
harus bisa diciptakan kebutuhan akan adanya perluasan kapasitas dan modernisasi sektor-sektor lain.
Di samping itu, sektor manufaktur adalah sektor yang memiliki keterkaitan terbesar dengan
sektor-sektor lain. Jika sektor manufaktur berkembang pesat, maka sektor-sektor lain pun akan
terpengaruh untuk berkembang pesat pula. Pada akhirnya pertumbuhan yang tinggi pada semua
sektor akan berakibat pada perkembangan GNP yang lebih tinggi dari kondisi semula. Dalam
studinya, Rostow menyatakan negara-negara yang telah mencapai tahapan lepas landas ini adalah:
Inggris pada Tahun 1850, USA pada Tahun 1900, Jerman dan Perancis pada Tahun 1910, Swedia
pada Tahun 1930, Jepang pada Tahun 1940, Rusia dan Kanada pada Tahun 1950.
Tabel 2.4Urutan Negara Tinggal Landas & Leading Sector
Menurut Perkiraan Walt Whitman Rostow
No Urut Negara Tahun Leading Sector 1 Inggris 1783-1802 Industri Tekstil 2 Perancis 1830-1860 Jaringan KA 3 Belgia 1833-1860 Jaringan KA 4 USA 1843-1860 Jaringan Jalan KA 5 Jerman 1850-1873 Jaringan Jalan KA 6 Swedia 1868-1890 Industri Kayu 7 Jepang 1878-1900 Industri Sutera 8 Rusia 1890-1914 Jaringan Jalan KA 9 Kanada 1896-1914 Jaringan Jalan KA 10 Argentina 1935 Industri Subst Impor 11 Turki 1937 -12 India 1952 -13 RRC 1952 -
Sumber: Sadono Sakirno (2006;173).
179
Seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4 bahwa pada umumnya negara-negara barat mencapai
tahap tinggal landas pada abad ke-19, kecuali Inggris yang sudah mencapainya pada akhir abad
sebelumnya dengan masa tinggal landas berkisar antara 20 sampai 30 tahun.
Prasyarat ketiga merupakan kondisi yang harus dipenuhi agar prasyarat pertama dan kedua
dapat terpenuhi dengan baik. Prasyarat ketiga merupakan iklim yang memungkinkan
terpenuhinya prasyarat pertama dan kedua terpenuhi. Tanpa terpenuhinya prasyarat ketiga, praktis
prasyarat pertama dan kedua tidak akan terpenuhi. Prasyarat ketiga ini menunjukkan kesadaran
Rostow bahwa perubahan perekonomian pada dasarnya merupakan konsekuensi dari perubahan
motif dan inspirasi non ekonomi dari seluruh lapisan masyarakat. Artinya perubahan ekonomi dalam
skala besar tidak akan terjadi selama tidak ada iklim kondusif yang memungkinkan perubahan
tersebut. lklim kondusif tersebut adalah perubahan faktor-faktor non ekonomi dari masyarakat yang
sejalan dengan proses pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
4. Tahap Menuju Kedewasaan
Pada tahap menuju kedewasaan (the drive to maturity), penerapan teknologi modern secara
efektif sudah merambah di hampir semua kegiatan produksi dan pemanfaatan kekayaan alam. Sektor
pemimpin baru akan bermunculan menggantikan sektor pemimpin yang mengalami kemunduran.
Tahap ini merupakan tahapan jangka panjang di mana produksi dilakukan secara swadaya, yang
ditandai dengan munculnya beberapa sektor penting yang baru.
Pada saat negara berada pada tahap kedewasaan teknologi, terdapat tiga perubahan penting
yang terjadi, yaitu 1) struktur dan keahlian tenaga kerja berubah, kepandaian dan keahlian pekerja
bertambah tinggi, sektor indusri bertambah penting peranannya, dan sektor pertanian menurun
peranannya. Pada saat itu tenaga kerja telah berubah dari tidak terdidik menjadi tenaga kerja terdidik;
2) sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan, dan peranan manajer professional
semakin penting dan menggantikan kedudukan pengusaha pemilik, atau dengan kata lain telah terjadi
perubahan watak pengusaha dari pekerja keras dan kasar berubah menjadi manager yang cerdas,
beretika dan sopan; dan 3) masyarakat telah jenuh terhadap industrialisasi dan menginginkan
perubahan lebih jauh.
5. Tahap Konsumsi Massa Tinggi
179
Tahap konsumsi massa tinggi (the age of high mass consumption) merupakan akhir dari
tahapan pembangunan yang dikemukakan oleh Rostow25. Pada tahap ini akan ditandai dengan
terjadinya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat
pembangunan pusat kota sebagai sentral bagi tempat bekerja. Penggunaan alat transportasi pribadi
maupun yang bersifat transportasi umum seperti halnya kereta api merupakan suatu hal yang sangat
dibutuhkan. Pada fase ini terjadi perubahan orientasi dari pendekatan penawaran (supply side)
menuju ke pendekatan permintaan (demand side) dalam sistem produksi yang dianut. Sementara itu
terjadi pula pergeseran perilaku ekonomi yang semula lebih banyak menitikberatkan pada sisi
produksi, kini beralih ke sisi konsumsi.
Pada saat itu, masyarakat mulai berpikir bahwa kesejahteraan bukanlah permasalahan
individu, yang hanya dipecahkan dengan mengkonsumsi barang secara individu sebanyak mungkin,
namun lebih dari itu mereka memandang kesejahteraan dalam cakupan yang lebih luas yaitu
kesejahteraan masyarakat bersama dalam arti luas.
Terlepas dari permasalahan di atas terdapat tiga kekuatan utama yang cenderung
meningkatkan kesejahteraan dalam tahap konsumsi besar-besaran ini (Jhingan, 1988: h.188), yaitu 1)
penerapan kebijakan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas
nasional; 2) ingin memiliki satu negara kesejahteraan (welfare state) dengan pemerataan pendapatan
nasional yang lebih adil melalui peningkatan jaminan sosial, fasilitas hiburan bagi para pekerja dan
sistem pajak progresif26; 3) keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting
seperti mobil, jaringan rel kereta api, rumah murah, dan berbagai peralatan rumah tangga yang
menggunakan listrik dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan makin meningkatnya konsumsi
masyarakat melebihi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) menjadi konsumsi terhadap barang
tahan lama dan barang-barang mewah.
Amerika merupakan satu-satunya negara yang pertama kali mencapai era konsumsi massa
tinggi ini, yaitu sekitar Tahun 1920. Hal yang sama kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa
25 Salah satu aspek yang terlupakan dalam teori Rostow adalah peran sentral bantuan luar negeri yang berfungsi sebagai penutup kesenjangan tabungan-investasi dan kesenjangan devisa. Ketika Rostow diundang Bank Dunia (1984) untuk dimintai tanggapannya mengenai hal ini, ia menilai bahwa bantuan luar negeri merupakan salah satu faktor kritis dalam pembangunan negara sedang berkembang. Tidak mengherankan bila ia menambahkan syarat tinggal landas bagi negara sedang berkembang sebagai berikut (Rostow dalam Meier dan Seers, 1984:239): The concept of take-off suggested the possibility that developing countries would eventually move to self-sustained growth when soft loan would no longer berequired.
26 Dalam sistem perpajakan seperti ini, makin tinggi pendapatan makin besar pula tingkat pajak atas pendapatan itu. Cara ini berbeda dengan di negara-negara persemakmuran (comment wealth), ditempuh dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang telah merata melalui sistem pajak progresif (semakin banyak semakin besar).
179
Barat. Satu-satunya negara di Asia yang telah mencapai tahap tersebut adalah Jepang. Negara yang
pertama mencapai tahap ini adalah USA (Tahun 1920), Inggris (Tahun 1930), Jepang dan Eropa
Barat (Tahun 1950) Rusia (Pasca Stalin).
Sampai sejauh ini, teori pembangunan Rostow masih terus diperdebatkan dan menuai kritik.
Tahap-tahap pembangunan yang dijelaskan oleh Rostow merupakan sistem pentahapan yang berfifat
prosedural bersyarat. Misalnya, tahap kedua tidak dapat terjadi tanpa tahap pertama, tahap ketiga
tidak akan terjadi tanpa tahap kedua dan seterusnya. Konsep dan pola pertumbuhan ini semacam ini
dibangun berdasarkan sejarah pembangunan yang dilakukan di negara-negara di Eropa yang
memiliki struktur sosial dan budaya yang mapan.
Kondisi tersebut tentu sulit terjadi pada negara-negara di Asia dan Afrika yang belum
memiliki sistem sosial yang teratur. Interaksi kebudayaan Barat, akibat kolonialisme, dalam
kebudayaan Timur (negara sedang berkembang di Asia dan Afrika), menyebabkan tahapan dalam
teori Rostow terjadi secara simultan. Ketika di daerah perkotaan modern di negara sedang
berkembang sudah berada pada tahap tinggal landas, bahkan lebih tinggi lagi, sementara itu di daerah
perdesaan sistem perekonomian dan kemasyarakatan masih berada pada tahap tradisional. Bahkan
dalam kenyataannya, ada negara-negara di dunia ini yang tidak pernah melewati tahap pertama dari
pertumbuhan ekonomi Rostow, namun langsung menginjak tahap kedua. Amerika Serikat dan
Australia merupakan negara yang mengalami pola pertumbuhan ini. Hal ini terjadi karena keduanya
merupakan benua temuan orang-orang Eropa, di mana penduduknya adalah orang-orang Eropa yang
kemudian mentransfer ilmu dan pengetahuannya ke benua tersebut.
Simon Kuznets (1979) telah melancarkan suatu kritik tajam terhadap teori Rostow.
Pertanyaan kritisnya adalah: bagaimana mungkin suatu desain sederhana dapat menjadi suatu
rangkuman deskriptif atau klasifikasi analitik dari suatu perubahan historis yang beragam dan
bervariasi? Kusnetz juga mencatat kemiripan dan perbedaan antara teori Rostow dengan Karl Marx.
Teori Rostow pada dasarnya merupakan alternatif bagi teori Karl Marx, di mana Rostow
menawarkan Communism Manifesto.
Pada dasarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori Karl Marx dan Rostow. Pertama,
pada kedua teori tersebut dengan berani menginterpretasikan evolusi sosial khususnya di sektor
ekonomi. Kedua, baik Karl Marx maupun Rostow telah mencoba mengeksplorasi permasalahan dan
konsekuensi dari pembangunan sosial yang dilakukan. Ketiga, Karl Marx dan Rostow menyadari
bahwa perubahan sistem ekonomi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan yang
179
terjadi di bidang politik, kebudayaan, dan sosial. Sementara di sisi lain perubahan sistem ekonomi
akan berpengaruh juga terhadap kehidupan politik, kondisi budaya dan sosial masyarakat.
Meski kedua teori tersebut memiliki banyak kesamaan, namun satu sama lain tetap memiliki
perbedaan, yaitu 1) Karl Marx memandang bahwa manusia bersifat sangat kompleks yang memiliki
berbagai dimensi kebutuhan dari ekonomi sampai budaya. Di sisi lain, Rostow mempersempit
dimensi manusia menjadi satu yaitu sebagai homo economicus. Meski demikian Rostow sadar bahwa
perubahan ekonomi yang sangat besar harus dipandang sebagai konsekuensi dari perubahan motif
dan inspirasi dimensi non ekonomi dari manusia; 2) Karl Marx mendasarkan teorinya pada sistem
konflik antar kelas masyarakat, eksploitasi satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain, dan
adanya tekanan-tekanan semacam itu yang melekat pada sistem kapitalis, sedangkan Rostow lebih
implisit dalam memandang interaksi kelas masyarakat dalam sistem kapitalis mengingat Rostow
sendiri adalah ekonom yang berkiblat ke kapitalis; 3) Karl Marx mengasumsikan bahwa keputusan
yang diambil oleh masyarakat semata-mata hanyalah fungsi dari siapa pemilik sumberdaya. Artinya
perubahan ekonomi hanyalah merupakan fenomena yang hanya dipengaruhi oleh perubahan motif
dan inspirasi ekonomis kelas masyarakat penguasa sumberdaya saja, sedangkan Rostow memandang
perubahan ekonomi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan motif dan inspirasi
non-ekonomi yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat.
Demikian banyaknya kritik terhadap teori Rostow, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan
kritik-kritik tersebut melebihi teori Rostow itu sendiri. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa
pola pemikiran maupun istilah-istilah Rostow telah mempengaruhi pola pemikiran di banyak negara
sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
K. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI SIMON KUZNETS
179
Simon Kuznets27 adalah salah seorang penerima hadiah Nobel di bidang ekonomi. Sosok
yang satu ini sangat produktif, berbagai karya yang dihasilkan banyak ditemui di hampir semua
perpustakaan, khususnya perpustakaan di universitas-universitas yang menyelenggarakan pendidikan
ekonomi. Ia terkenal karena karya-karyanya telah memberikan kontribusi yang sangat positip bagi
perkembangan teori pembangunan ekonomi.
Meskipun komite hadiah Nobel memberinya penghargaan karena karyanya di bidang
pertumbuhan ekonomi dan struktur perubahan sosial, namun sebenarnya kontribusi terpenting dari
karya Kuznets adalah dalam mengembangkan sistem akuntansi pandapatan nasional yang diterapkan
semua negara untuk mengukur kegiatan ekonomi. Dalam hal ini Kuznets menyederhanakan
pemahaman tentang pendapatan nasional itu sebagai penjumlahan dari nilai barang dan jasa (product)
yang dihasilkan oleh keseluruhan perusahaan dalam ekonomi selama periode tertentu.
Sebagaimana diketahui, karya Kuznets tidak hanya mengukur gejala ekonomi, melainkan
juga berusaha mencari tahu akar penyebab pertumbuhan ekonomi dan perubahan kesenjangan
pendapatan, mempelajari lingkaran pertumbuhan yang dilewati ekonomi, berusaha memahami
konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan, dan masih banyak lagi
temuan-temuan yang lainnya.
Kuznets sangat memahami bahwa pendapatan sebagai indikator kekayaan atau kesejahteraan
memiliki keterbatasan. Mungkin itu sebabnya, dalam setiap kali menjelaskan metodologi yang
dipakai menyusun pengukuran kegiatan ekonomi nasional dan beberapa masalah yang dihadapi
dalam membuat estimasi, Kuznets selalu melakukannya dengan sangat hati-hati. Demikian halnnya
ketika Kuznets membedakan barang akhir (final good) dengan barang perantara (intermediate good),
dan menggunakan perbedaan ini untuk menghindari persoalan perhitungan ganda. Misalnya sebuah
27 Kuznets lahir di Pinsk (waktu itu menjadi bagian dari Uni Soviet, sekarang masuk wilayah Belarusia) pada Tahun 1901. Sejal awal Perang Dunia I, bersama orang tuan dan keluargaya ia pindah ke KHarkov, sebuah kota yang terkenal karena kehidupan intelektualnya. Setelah lulus dari sekolah umum lokal, Kuznets mendaftar di Universitas Kharkov. Di sanalah ia mempelajari ekonomi dan mengenal teori inovasi dan siklus bisnis dari Joseph Schumpeter. Ketika revolusi Rusia menutup universitas dan mengakibatkan perang sipil, keluarga Kuznets meninggalkan Rusia, ia kemudian pindah ke Turki dan akhirnya menetap di Amerika Serikat. Di tempat inilah Kuznets melanjutkan studinya di Columbia University, dan pada Tahun 1926 ia berhasil menamatkan studi doktoralnya. Setelah memperoleh gelar doktor, ia bekerja selama tiga tahun lamanya sebagai peneliti ekonomi di Biro Penelitian Ekonomi Nasional, kemudian ia menggeluti profesi sebagai dosen di Universitas Pennsylvania dengan berbagai jabatan yang dilakoninya. Selama hidupnya (1901-19855), banyak buku dan karya-karya akademik yang telah dihasilkan Kuznets: Cyclical Fluctuation and Variable Trade (1926); Scular Movements In Production and Prices (1930); National Income: Encylopedia of The Social Science (1933); National Income and Its Composition (1941); National Income; a summary of findings (1946); Propotion of Capital Formation to National Product (1952); Economic Growth and Income Inequality (1955); Economic Growth and Structure: Selected Essays (1965); Population, Capital and Growth (1973); Growth, Population and Income Distribution: Selected Essays (1979); dan masih banyak lagi karya-karya lainnya.
179
mobil, jelas bahwa mobil itu adalah barang jadi yang dijual ke konsumen, mobil itu dirakit dari
barang-barang perantara seperti ban, kaca, mesin, rem, dan peralatan-peralatan lainnya. Untuk
menghitung nilai ban yang dijual kepada pabrik otomotif dan juga nilai dari mobil keseluruhan, tentu
nilai ban yang diproduksi akan terhitung dua kali. Untuk mendapatkan ukuran aktivitas ekonomi yang
lebih akurat maka perlu mengurangi nilai semua bagian dari harga akhir mobil yang dijual kepada
konsumen. Dengan mengambil perbedaan ini, atau menghitung nilai yang ditambahkan oleh pembuat
mobil, pada akhirnya dapat ditetapkan standar pengukuran pendapatan nasional yang sampai
sekarang prosedur ini masih dipakai dan terus dikembangkan28.
Salah satu karya Kuznets mengenai pengukuran pendapatan nasional telah membawanya
pada studi siklus bisnis, atau ekspansi dan kontraksi periodik dari aktivitas ekonomi. Dalam studi
fluktuasi ekonominya, Kuznets (1930) menemukan siklus menengah dari pertumbuhan dan
penurunan yang bertahan sekitar 20 tahun. Siklus ini kemudian dinamakan “siklus Kuznets” untuk
menghormati penemuannya (Abramovitz, 1961). Kuznets berpendapat bahwa perubahan demografi
dapat menjelaskan siklus 20 tahun ini. Peningkatan populasi dapat berasal dari gelombang imigrasi
atau dari angka pertumbuhan kelahiran karena adanya keadaan ekonomi yang mendukung. Apapun
penyebabnya, pertumbuhan populasi akan mengakibatkan permintaan yang lebih besar untuk barang-
barang konsumen, khususnya perumahan. Tambahan permintaan mendorong investasi usaha
tambahan. Hal ini, ditambah kemampuan untuk mengambil keuntungan dari ekonomi skala, berperan
daam mempercepat pertumbuhan produktivitas. Akibatnya, standar hidup naik ketika populasi
tumbuh. Tetapi warga yang baru ini segera menjadi bagian dari angkatan kerja yang besar, dan hal ini
membawa pada tekanan penurunan upah. Saat upah jatuh, pengeluaran dan investasi juga turun, dan
fase penurunaan siklus ekonomi dimulai.
Kuznets (1953, 1955) menguji dampak pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan
dan mempelopori pengukuran distribusi pendapatan. Dengan menggunakan data pajak pendapatan
IRS dan data survei Biro Sensus Amerika Serikat, ia meneliti bagian dari total pendapatan yang
diterima oleh setiap sepuluh kelompok pendapatan (10% penerima pendapatan teratas, 10% penerima
28 Kuznets sangat menyadari bahwa estimasi pendapatan nasional tidak memasukkan barang dan jasa yang tidak dipasarkan dan dijual. Misalnya, ketika rumahtangga memasak daging, menyiangi rumput, dan membersihkan rumah, sesungguhnya rumahtangga ini telah memproduksi barang dan jasa, tetapi barang dan jasa ini tidak dihitung dalam angka aktivitas ekonomi pemerintah. Demikian halnya dengan kegiatan illegal seperti prostitusi dan perdagangan obat bius, maka sulit atau tidak mungkin diukur sehingga tidak dapat dimasukkan dalam estimasi aktivitas ekonomi keseluruhan.
179
kedua, 10% penerima ketiga, dan seterusnya) untuk setiap tahun antara 1913 -1948. Kuznets (1953) 29
menemukan bahwa dalam masa perang, 1% populasi teratas dari penduduk Amerika menerima 15%
dari seluruh pendapatan nasional dan 5% teratas dari penduduk Amerika menerima antara 25-30%
dari semua pendapatan. Ia juga menemukan penurunan dalam kesenjangan pendapatan di Amerika
pada masa dan setelah perang dunia II, dengan 1% teratas hanya mendapat 8,5% dari seluruh
pendapatan dan 5% teratas menerima 18% dari total pendapatan. Siklus bisnis, menurut Kuznets,
dapat menjelaskan perubahan ini. Pengangguran yang rendah pada masa dan setelah perang dunia II
meningkatkan bagian dari pendapatan total yang jatuh ke tangan kelompok berpendapatan rendah.
Pada saat yang sama suku bunga yang rendah dan pajak pendapatan yang tinggi mengurangi bagian
pendapatan yang jatuh ke tangan kelompok yang paling kaya. Dengan melihat data selama jangka
waktu yang panjang dan data dari berbagai negara, Kuznets (1955) menemukan bahwa pemerataan
pendapatan mengikuti pola bentuk U, pola itu menurun pada tahap awal perkembangan ekonomi
yang membuat keadaan orang miskin bertambah buruk, namun pola itu kemudian naik lagi pada
tahap perkembangan selanjutnya dan karena itu menguntungkan mereka yang berpendapatan rendah.
Kuznets mencurahkan perhatiannya pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
produktivitas. Hal ini merupakan perluasan dari fokusnya pada pertumbuhan ekonomi karena
pertumbuhan ini bertkaitan dengan perpaduan efek dari produktivitas yang tinggi dan populasi yang
besar. Dari kedua faktor ini pertumbuhan produktivitas jelas lebih penting, karena seperti yang
ditunjukkan oleh adam smith, pertumbuhan produktivitas inilah yang akan menghasilkan peningkatan
dalam standar kehidupan. Dengan mempelajari pertumbuhan produktivitas, Kuznets bisa
menggabungkan minatnya pada perubahan dalam populasi, pada pembuatan estimasi empiris yang
tepat, dan pada peningkatan standar hidup.
Kuznets sangat menekankan pada perubahan dan inovasi teknologi sebagai cara
meningkatkan pertumbuhan produktivitas. Ia (Kuznets, 1946) memperkirakan bahwa selama lebih
dari 50 tahun tiga perlima keuntungan dalam produktivitas Amerika terkait dengan kemajuan
teknologi dan dua perlimanya terkait dengan redistribusi tenaga kerja dari sektor yang kurang
produktif ke sektor yang lebih produktif. Karena teknologi merupakan faktor yang lebih penting
29 Sebelum Kuznets, Nikolai Kondratieff (1925), seorang ahli ekonomi Rusia, mencatat bahwa eksistensi perputaran jangka panjang berlangsung antara 45-60 tahun. Dengan menguji beberapa ratus tahun dari data harga untuk Amerika, Perancis dan Jerman (ditambah data produksi besi, batu bara, dan produk-produk lain di seluruh dunia), Kondratieff memperhatikan bahwa ada periode reguler sepanjang 20-30 saat harga naik dan periode 20-30 tahun saat harga turun. Perubahan ekonomi jangka panjang ini dinamakan “gelombang kondratieff”. Perputaran yang lebih singkat sekitar 10 tahun, dihubungkan dengan perubahan dalam investasi bisnis.
179
secara historis, dan karena redistribusi tenaga kerja menjadi kurang penting. Ketika orang Amerika
yang bekerja di pertanian semakin kurang, maka ia berpendapat bahwa usaha untuk meningkatkan
produktivitas harus difokuskan pada terobosan dan kemajuan teknologi.
Terakhir, bagaimanapun Kuznets telah mengembangkan cabang pengetahuan substansial
tentang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Dari karyanya, Kuznets juga telah menghasilkan
jumlah data yang sangat besar yang dapat diuji oleh para ahli ekonomi. Dan karya tersebut juga
membuat pemerintah dapat menyusun dan melaporkan data ekonomi makro berdasar basis reguler.
L. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI SOLOW
Robert M. Solow (1956) dalam tulisannya yang berjudul Contribution to the Theory of
Economic Growth, menyederhanakan teori pembangunan ekonomi sebagai sebuah model fungsi
produksi. Dalam model ini dioperasikan beberapa faktor produksi seperti modal (Capital=C), tenaga
kerja (Labour=L), sumberdaya alam (Natural Resources=N), dan perkembangan teknologi dalam
perjalanan waktu (Technology=T), yang selanjutnya diformulasikan sebagai berikut:
Y= ∫(C, L, N, T) ...... (18)
Dari model persamaan (18), jika diasumsikan sumberdaya alam (N) adalah konstan, seperti
tanah menjadi terbatas adanya dalam keadaan tertentu dan selama beberapa waktu, sedangkan di
pihak lain modal dan tenaga kerja bertambah disertai oleh kemajuan teknologi, maka perubahan pada
hasil produksi (pendapatan) dapat dinyatakan dalam rumus perubahan faktor-faktor sebagai berikut;
Y= v.ΔC + w.Δ L + Y’ ...... (19)
Dari model persamaan (19), v menunjukkan produktivitas marjinal modal, w menunjukkan
produktivitas marjinal tenaga kerja dan Y’ mencerminkan peningkatan produksi yang berkaitan
dengan perkembangan teknologi. Mengenai produktivitas marjinal modal v, ini berbeda
pengertiannya dengan incremental capital-output ratio (ΔC/Δ Y). Sebab v menunjukkan peningkatan
hasil produksi berkenaan dengan tambahan satuan (unit) modal, dengan semua faktor produksi
lainnya dalam kondisi ceterus peribus. Kondisi seperti ini tidak berlaku dalam hal incremental
capital-output ratio (ICOR). Karena, perubahan hasil produksi terjadi bisa disebabkan oleh adanya
perubahan pada semua faktor produksi, masing-masing dan atau secara bersamaan. Perbedaan yang
serupa juga berlaku antara produktivitas marjinal dari tenaga kerja denga labour output ratio.
179
Laju pertumbuhan produksi dan pendapatan dalam kerangka analisis Neo-Klasik dapat
dinyatakan sebagai laju pertumbuhan seluruh faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi:
g = ΔY/Y = v C/Y. ΔC/C + w.L/Y. Δ L/L + ΔY’/Y ...... (20)
Dalam hal ini, ΔY/Y, ΔC/C, Δ L/L, dan ΔY’/Y mewakili laju pertumbuhan secara
proporsional pada pendapatan, modal, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Lebih lanjut, v C/Y
mencerminkan elastisitas produksi terhadap modal, dan w.L/Y menunjukkan elastisitas produksi
terhadap perubahan tenaga kerja.
Dalam model Neo-Klasik, angkatan kerja bertambah dengan laju yang konstan dan ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat eksogen. Dengan kata lain penduduk dan angkatan kerja yang
bertambah dengan tingkat yang konstan itu tidak peka terhadap dan tidak dipengaruhi oleh faktor-
faktor kekuatan ekonomis. Pendapat ini adalah sama seperti dalam model Harrod dan model Domar.
Berbeda halnya dengan investasi, akumulasi cadangan modal dengan adanya investasi baru
dalam konsep Neo-Klasik tidak tergantung dari keputusan investasi secara tersendiri. Artinya dalam
model Neo-Klasik tidak dimasukkan fungsi investasi dimana investasi ditentukan oleh serangkaian
faktor determinan seperti tingkat bunga, perkiraan tingkat laba di masa depan, dan lain sebagainya.
Tabungan dianggap akan tersalur secara otomatis dan seluruhnya sebagai investasi. Hal yang penting
ialah adanya hasrat untuk menabung. Keputusan untuk menabung dianggap identik dengan keputusan
untuk investasi. Dalam kerangka pemikiran ini, tidak akan ada penyimpangan investasi ex-post (yang
sama dengan tabungan ex-post) dari investasi ex-ante, ataupun sebaliknya.
Perbedaan yang bersifat mendasar antara pendekatan Neo-Keynes (Harrod-Domar) dan
pendekatan Neo-Klasik terletak pada saran pendapat bahwa tabungan akan tersalur secara otomatis
dan seluruhnya sebagai investasi; tanpa adanya fungsi investasi yang terlepas dari fungsi tabungan.
Selain itu, terdapat perbedaan mengenai serangkaian postulat yang menyangkut persaingan bebas,
fleksibilitas dan mobilitas faktor-faktor produksi serta kemungkinan substitusi diantara faktor-faktor
produksi yang bersangkutan seperti yang telah disinggung di atas.
Sejalan dengan pemikiran Harrod-Domar sebagaimana dijelaskan di atas, maka begitu pula
dalam model Solow, dibeberkan beberapa postulat yang mendasari model Solow, baik postulat itu
terungkap secara tersurat ataupun secara tersirat.
1) Tabungan dianggap identik dengan investasi. Tidak ada fungsi investasi secara tersendiri dan
tabungan secara otomatis menjadi tambahan pada cadangan modal;
179
2) Tabungan dianggap bagian proporsional dari pendapatan; S=sY dan s (saving ratio) = S/Y. Dalam
hal ini persamaan dengan Model Harrod.
3) Investasi neto adalah sama dengan tingkat pertambahan pada cadangan modal: I=ΔC. Oleh
karena investasi identik dengan tabungan, maka: I = ΔC = S = sY;
4) Angkatan kerja bertambah dengan laju yang konstan dan proporsional, yaitu n yang bersifat
eksogen: L/L = n;
5) Perkembangan ekonomi berdasarkan fungsi produksi yang kontinu dan ditandai oleh imbalan jasa
yang konstan dan sepadan dengan skala produksi (canstant returns to scale): Y=∫(C,L).
Pendapat mengenai constant return to scale itu berimplikasi terhadap hasil produksi per
tenaga kerja menjadi fungsi dari jumlah modal per tenaga kerja; Y/L = ∫(C,L). Jelas di sini bahwa
postulat mengenai fungsi produksi yang kontinu berdasarkan constant returns itu berbeda sekali
secara mendasar dari konsep perimbangan-perimbangan tetap (fixed coefficients) di antara faktor-
faktor produksi sebagaimana hal itu digunakan dalam Model Harrod dan Model Domar.
Selain itu, Solow juga menyederhanakan gagasan Harrod dan Domar dengan menghindarkan
permasalahan yang terkait dengan kemungkinan ketimpangan antara tabungan ex-ante dan investasi
ex-ante. Solow berpangkal pada pendapat bahwa segenap tabungan secara otomatis akan tersalurkan
sebagai investasi. Dalam modelnya sama sekali tidak ada peranan bagi perilaku investor dengan
ekspektasinya tentang masa depan sehingga juga tidak ada fungsi investasi secara independen.
Persamaan dasar model Neo-klasik berbeda dari apa yang terkandung dalam model Harrod.
Perhatian Solow sebenarnya berkisar pada capital-labour ratio, C/L, nisbah pertambahan modal
terhadap bertambahnya tenaga kerja. Hasil produksi per tenaga kerja dianggap sebagai fungsi dari
modal per tenaga kerja: Y/L = ∫(C,L).
Masalah mendasar di sekitar peranan capital-labour ratio dalam perkembangan waktu:
meningkat atau menurun ataukah tetap konstan? Hal itu satu sama lain menjadi penting untuk
menunjukkan ciri-ciri pokok pada laju pertumbuhan semua variabel dalam proses ekonomi.
Dari pemikiran Solow di atas beserta persamaan dasarnya dan dengan latar belakang sejumlah
postulat yang diungkapkan sebelumnya, kini ditonjolkan salah satu kesimpulan pokok dalam gagasan
Solow bahwa proses pertumbuhan pada hakekatnya adalah stabil dan berlangsung dalam
keadaan equilibrium. Dalam struktur ekonomi sendiri terkandung kekuatan-kekuatan yang masing-
masing dan secara bersamaan bergerak secara konvergen ke arah laju pertumbuhan yang memadai
equilibrium dengan kestabilan dalam perkembangan ekonomi.
179
Melalui proses interaksi antara tingkat tabungan (investasi) per tenaga kerja dengan tingkat
capital labour ratio dan berdasarkan postulat tentang mobilitas faktor-faktor produksi beserta
substitusi di antara faktor-faktor produksi, oleh para pakar Neo-Klasik ditekankan adanya mekanisme
dalam proses ekonomi yang memungkinkan konvergensi kekuatan-kekuatan ekonomi pada laju
pertumbuhan dalam keadaan equilibrium. Dalam pada itu, diakui oleh sementara kalangan Neo-
Klasik sendiri bahwa proses demikian memang bisa memakan waktu yang cukup lama.
Dalam konteks ekonomi, pertumbuhan yang stabil seperti diungkapkan oleh Solow dan para
pengikutnya, perhatikan lagi postulatnya mengenai fungsi produksi yang berdasarkan constant return
to scale. Hal ini berlainan sekali dengan postulat dalam Model Harrod mengenai fungsi produksi
berdasarkan fixed coeficients. Satu sama lain membawa ramifikasi yang berbeda bagi perkembangan
pemikiran dalam masing-masing model (sebagai konsekuensi dari konsistensi logika internal).
Dalam model Neo-Klasik, konsep capital-output ratio tidak mengandung ciri besaran yang
konstan, melainkan ada berbagai tingkat capital-output ratio. Hal yang konstan adalah capital-labour
ratio, berbeda dengan kerangka analisis Neo–Keynes berdasarkan fungsi produksi dengan fixed
coefficients, memandang konsep capital-labour ratio sebagai besaran yang konstan.
M.TEORI DEPENDENSI
Teori dependensi merupakan antitesis dari teori modernisasi. Teori ini memberi kritik tajam
terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori
modernisasi.Teori dependensi dengan tegas menyatakan bahwa hambatan pembangunan justru
disebabkan oleh intervensi dari negara-negara maju di Barat. Misalnya, berbagai bantuan dari negara-
negara maju di Barat, apapun bentuk dan tujuannya serta berapapun jumlahnya, dianggap telah turut
menciptakan berbagai ketergantungan baru bagi negara-negara terbelakang kepada negara-negara
maju di Barat.
Teori dependensi muncul setelah teori modernisasi diterapkan di banyak negara terbelakang.
Teori ini memberikan perhatian pada persoalan keterbelakangan, lambannya pembangunan dan
ketergantungan dari negara terbelakang, khususnya di Amerika Latin. Teori ini juga mencermati
keterkaitan negara terbelakang dengan negara-negara maju di Barat sebagai bentuk hubungan yang
tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang merugikan negara terbelakang.
Pengamatan yang dilakukan oleh para ahli sejarah telah memberikan gambaran penting serta bukti
empirik terhadap kegagalan teori modernisasi. Fakta sejarah menunjukkan bahwa syahwat ekonomi
179
yang begitu besar dari negara-negara maju di Barat untuk menguasai sumberdaya-sumberdaya
ekonomi, meyakinkan negara-negara terbelakang bahwa negara-negara maju di Barat akan selalu
menindasnya dengan berusaha menjaga aliran surplus ekonomi dari negara-negara terbelakang ke
negara-negara maju di Barat. Oleh karena itu, teori ini dengan tegas menantang hegemoni ekonomi,
politik, budaya dan intelektual dari negara–negara maju di Barat30.
Kerangka teori dependensi pada mulanya merupakan paradigma pembangunan yang khas di
Amerika Latin. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Amerika Latin (KEPBBAL) yang selanjutnya dikenal sebagai Manifesto KEPBBAL. Namun
karena kebijaksanaan KEPPBBAL ini kurang mendapat respons dan dukungan dari Pemerintah
Amerika Latin, menyebabkan program-program KEPBBAL tidak berhasil dan tidak mampu
merealisasikan beberapa gagasan lainnya yang lebih radikal, termasuk diantaranya program
pembagian tanah. Akibatnya, stagnasi ekonomi tak dapat dihindari dan represi politik muncul secara
meluas kepermukaan pada tahun 1960-an. Ketika itu ditunjukkan dan dijelaskan berbagai kelemahan
dari kebijaksanaan industralisasi subsitusi impor (ISI) yang dijalankan oleh Amerika Latin. Salah satu
kelemahan dari kebijaksaan ISI ini adalah tidak efektifnya mengurangi ketergantungan terhadap
impor, karena impor terhadap barang-barang modal tak dapat dihadiri. Sementara, barang-barang
ekspor konvensional tidak terperhatikan lagi dalam suasana hiruk pikuk industrialisasi. Akibatnya,
hampir bersamaan waktunya muncul masalah-masalah yang akut pada neraca pembayaran di hampir
semua negara terbelakang, dan optimisme pertumbuhan berganti dengan depresi yang mendalam.
Ketika Prebisch menjabat ketua KEPBBAL, Ia pernah memberikan kritik tajam tentang
keusangan konsep pembagian kerja internasional (international division of labour/IDL). Menurut
skema IDL, Amerika Latin akan memperoleh banyak keuntungan apabila di satu pihak lebih
memfokuskan pada upaya memproduksi bahan pangan dan bahan mentah yang diperlukan oleh
30 Konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunan, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: 1) Proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996); 2) Teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995); 3) Teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid); dan 4) Referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
179
negara-negara industri. Di lain pihak, negara-negara industrri tersebut menyediakan keperluan
barang-barang industri yang dibutuhkan Amerika Latin. Pada garis besarnya, Prebisch mengajukan
gagasan dasar bahwa pembagian kerja internasional yang hanya menguntungkan negara industri
harus dihentikan, dan Amerika Latin harus melakukan pembangunan industri untuk menjamin
kebutuhan dalam negeri, disamping tetap memperhatikan dan menjaga, paling tidak untuk sementara,
kemampuan ekspor bahan pangan dan bahan mentahnya.
Gagasan Prebisch ini tampaknya disambut baik oleh pemerintah Amerika latin dan
diimplementasikan melalui serangkaian kebijakan-kebijakan ekonominya. Namun faktor rendahnya
daya beli masyarakat menyebabkan pasar domestik tidak mampu menunjukkan ekspansinya,
meskipun barang-barang kebutuhan dalam negeri telah tersedia dalam jumlah yang cukup.
Ringkanya, teori dependensi lahir sebagai paradigma baru untuk memberikan jawaban atas
kegagalan program KEPBBAL, krisis teori marxis ortodoks, dan menurunnya kepercayaan terhadap
teori modernisasi di Amerika Serikat. Kehadiran teori dependensi tentunya harus dapat menguraikan
berbagai kelemahan teori modernisasi dan menawarkan pendapat baru yang mampu menutup
berbagai kelemahan tersebut.
Sebagaimana diketahui, para penganut aliran teori dependensi cenderung menggunakan
asumsi dasar: i) kondisi ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi
seluruh negara Dunia Ketiga; ii) ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang di akibatkan oleh faktor
luar; iii) ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi yang terjadi akibat mengalirnya
surplus ekonomi dari negara dunia ketiga ke negara maju; iv) ketergantungan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global; dan v) kondisi ketergantungan dilihat
sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan.
Dalam konteks ini, pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik menjadi suatu
hal yang penting untuk menentukan kebijakan pembangunan suatu negara. Dalam hal ini penciri
(karakteristik) suatu negara dapat dikaji dari perspektif historis, dan pendekatan pembangunan yang
ditempuh oleh banyak negara terbelakang hingga saat ini tidak terlepas dari pengalaman sejarah
negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Namun perbedaan
sejarah antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan tetap ada dan bahkan sangat
mendasar sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya juga berbeda.
Dari perdebatan panjang mengenai teori dependensi, disimpulkan ada enam inti pembahasan:
179
(1) pembahasan menyeluruh melalui pendekatan kasus: gejala ketergantungan dianalisis dengan
pendekatan menyeluruh yang memberi tekanan pada sistem dunia. Dalam pendekatan ini,
ketergantungan adalah akibat dari proses kapitalisme global, yang menempatkan negara
pinggiran hanya sebagai pelengkap;
(2) faktor eksternal versus faktor internal: para pengikut teori dependensi tidak sependapat dalam
penekanan terhadap kedua faktor ini. Ada yang beranggapan faktor eksternal lebih ditekankan,
seperti Frank Des Santos. Sebaliknya ada yang menekankan faktor internal sebagai penyebab
munculnya ketergantungan, seperti Cordosa dan Faletto;
(3) analisis ekonomi versus analisis sosio politik: Raul Plebiech memulai analisisnya dengan
menggunakan analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkannya juga bersifat ekonomi.
Andre Gunder Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu sosial, terutama
sosiologi dan politik. Dengan demikian teori dependensi dimulai sebagai masalah ekonomi
kemudian berkembang menjadi analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan
bagian dari pendekatan yang multidisipliner dan interdisipliner. Analisis sosiopolitik
menekankan pada analisis kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran;
(4) analisis kontradiksi regional: salah satu kelompok penganut teori dependensi sangat
menekankan analisisnya tentang hubungan negara-negara pusat dengan pinggiran. Tokoh yang
banyak bergulat dalam pembahasan ini adalah Andre Gunder Frank. Sedangkan kelompok
lainya menekankan analisis kelas, seperti Cardoso;
(5) keterbelakangan versus pembangunan: teori dependensi sering disamakan dengan teori
tentang keterbelakangan dunia ketiga. Para pemikir teori dependensi seperti Dos Santos, Cardoso,
dan Evans menyatakan bahwa ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang
perlu dijelaskan adalah sebab, sifat dan keterbatasan dari pembangunan yang terjadi dalam
konteks ketergantungan; dan
(6) voluntarisme versus determinisme: penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah
sebagai suatu yang deterministik. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan dari feodalisme ke
kapitalisme dan akan menuju ke sosialisme. Penganut Neo Marxis seperti Frank kemudian
mengubahnya melalui teori dependensi. Menurutnya kapitalisme negara-negara pusat berbeda
dengan kapitalisme negara pinggiran. Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan
karena itu perlu di ubah menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank
adalah penganut teori voluntaristik.
179
Selanjutnya, pembahasan mengenai teori dependensi akan difokuskan pada teori dependensi
klasik, dan teori dependensi baru. Masing-masing teori ini memiliki latar belakang pemikiran serta
pendekatan analisis yang berbeda sebagai berikut:
1.Teori Dependensi Klasik
Sejak tahun 1970-an, teori dependensi klasik telah demikian banyak menerima kritik. Pada
dasarnya kritik tersebut dialamatkan kepada kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam metode
kajian, konsep, dan implikasi kebijakan yang selama ini dimiliki oleh teori dependensi klasik. Namun
tidak serta merta para pendukung teori dependensi klasik menerima kritik tersebut. Justeru
sebaliknya, teori dependensi menuduh ajaran teori modernisasi tidak lebih dari sekadar akrobat
akademik yang berusaha memberikan pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara maju untuk
mengeksploitasi negara-negara terbelakang.
Implikasi kebijakan teori dependensi klasik secra filosofis, menghendaki untuk meninjau
kembali pengertian pembangunan. Teori dependensi menyadari sepenuhnya, bahwa para penguasa
yang telah mapan, pemilik modal besar, petani kaya dan tuan tanah, para pemimpin organisasi
keagamaan, pemimpin informal msayarakat, serta para elit yang lain kemungkinan besar tidak akan
menyetujui kebijakan pembangunan yang mencoba untuk memutuskan hubungan dengan negara
maju yang selama ini telah terbina dengan baik, sebagai akibat dari telah demikian erat keterkaitan
kepentingan politik-ekonomi mereka dengan kepentingan negara maju.
Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia mencerminkan kerakteristik yang khas teori
dependensi dalam usahanya menguji persoalan pembangunan Dunia Ketiga. Dari padanya
diharapkan dapat dilihat secara lebih jelas dan oleh karena itu dapat dicari kekuatan teori dependensi
dalam mengarahkan pola pikir peneliti, para perencana kebijaksanaan, dan pengambil keputusan
untuk mengikuti tesis-tesis yang diajukan.
Sejak dari awal penjelasannya, teori dependensi telah secara tegas dan detail menguraikan
akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja internasional. Teori ini berpendapat, selama
hubungan pertukaran yang tidak berimbang tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional,
maka ketergantungan negara dunia ketiga tetap tak terselesaikan. Maka dari itu, teori ini mengajukan
usulan yang radikal untuk mengubah situasi ketimpangan ini, yakni dengan revolusi sosialis.
2. Teori Dependensi Baru
179
Teori dependensi baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimiliki oleh teori
dependensi klasik. Teori ini tidak lagi menganggap situasi ketergantungan sebagai suatu keadaan
yang berlaku umum dan memilki karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Situasi ketergantungan juga tidak lagi semata disebabkan oleh faktor eksternal, lebih dari itu, teori
dependensi baru ini tidak memberlakukan lagi situasi ketergantungan sebagai persoalan ekonomi
yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan.
Ketergantungan, menurut teori yang telah diperbaharui ini lebih dikonsepkan sebagai sesuatu
yang memiliki batas ruang dan waktu. Karenanya selalu memiliki ciri yang unik. Dengan kata lain,
situasi ketergantungan merupakan situasi yang memiliki nilai kesejarahan yang khas. Lebih dari itu,
faktor internal memilki andil lahirnya suasana ketergantungan, dan oleh karenanya ketergantungan
juga merupakan persoalan politik sosial. Dari uraian di atas dapat distrukturkan beberapa persamaan
dan perbedaan dari kedua teori tersebut sebagai berikut:
Tabel 2. 5Persamaan dan Perbedaan Teori Dependensi Klasik dengan Teori Dependensi Baru
TEORI DEPENDENSI KLASIK TEORI DEPENDENSI BARU1 Persamaan pokok perhatian Negara dunia ketiga Sama 2 Level analisis Nasional Sama3 Konsep pokok implikasi - Sentral-pinggiran
- Ketergantungan Sama
4 Kebijakan Ketergantungan bertolak belakang dengan pembangunan
Sama
5 Perbedaan metode Abstrak pola umum ketergantungan Historis-struktural situasi konkrit ketergantungan
6 Faktor pokok Eksternal kolonialisme dan ketidakseimbangan nilai tukar
Internal negara dan konflik kelas
7 Ciri-ciri politik ketergantungan Fenomena ekonomis Fenomena sosial 8 Pembangunan dan
ketergantungan- Bertolak-belakang - Hanya menuju pada keterbelakangan
- Koeksistensi- Pembangunan yang bergantung
Dengan perubahan pendekatan seperti yang telah diuraikan, tidak heran jika teori dependensi
baru telah melahirkan berbagai kategori ilmiah baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh teori
dependensi klasik seperti misalnya pembangunan yang bergantung, negara birokratik otoriter, aliansi
tiga kelompok pembangunan yang dinamis. Sebagai akibatnya, pemaknaan baru ini telah mampu
membuka jendela untuk melihat persoalan baru, atau paling tidak dengan pisau analisis baru, yang
179
pada gilirannya telah menghasilkan tidak sedikit karya penelitian baru yang menguji secra lebih teliti
persoalan pembangunan dan ketergantungan di negara-negara terbelakang.
Sebagaimana diketahui bahwa teori dependensi berpangkal pada teori-teori imperialisme
dan kolonialisme yang dipelopori oleh Raul Presbich, Andre Gunder Frank, dan Theotonia Dos
Santos. Pandangan dari masing-masing teori tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Teori Raul Presbich tentang industri substitusi import
Dalam konteks teori pembangunan ekonomi, di dunia ini terdapat dua kelompok negara, yaitu
(i) negara yang memproduksi hasil pertanian, dan (ii) negara yang memproduksi barang industri.
Antara kedua kelompok negara tersebut kemudian melakukan hubungan dagang, dan menjalin
kerjasama yang saling menguntungkan31.
Presbich menentang pandangan mengenai pembagian kerja internasional dan adanya
keuntungan komparatif. Menurutnya negara-negara di dunia ini terbagi menjadi dua, yaitu negara
maju yang menghasilkan barang-barang produksi dan negara terbelakang yang memproduksi
hasil pertanian. Dua negara ini saling berhubungan dan seharusnya saling diuntungkan. Namun
yang terjadi negara–negara terbelakang semakin tertinggal bila dibanding dengan negara-negara
maju. Hal ini disebabkan oleh menurunnya nilai tukar barang-barang hasil pertanian terhadap
barang hasil produksi. Akibatnya terjadi defisit pada neraca perdagangan di negara-negara
terbelakang. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang menjadi korban atas pembagian kerja
internasional dan adanya keuntungan komparatif tersebut, sehingga semakin tertinggal dibanding
dengan Jepang dan negara-negara lain yang telah lebih maju industrinya.
2)Teori Andre Gunder Frank tentang Pembangunan Keterbelakangan
Menurut Gunder Frank, ketertinggalan dan kemiskinan di negara-negara terbelakang
bukanlah sebuah gejala alamiah dan bukan pula karena kekurangan modal. Ketertinggalan dan
kemiskinan merupakan akibat dari proses ekonomi, politik dan sosial sebagai implikasi dari
31 Kesimpulan ini dibangun berdasarkan teori pembagian kerja secara tradisional, dan teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing Negara.
179
globalisasi dan sistem kapitalis. Dalam hal ini, kemiskinan di negara-negara terbelakang disebabkan
oleh adanya pembangunan di negara-negara maju.
Selanjutnya, Gunder Frank membagi negara–negara menjadi dua yaitu negara metropolis
dan negara satelit. Negara metropolis bekerjasama dengan elit lokal negara satelit untuk melakukan
dominasi di negara satelit. Gunder Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi: (i) terdapat
kesenjangan pembangunan antara negara metropolis dan satelitnya, pembangunan pada negara
satelit sangat terkendala oleh status negara satelit; (ii) kemampuan negara satelit dalam pembangunan
ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara
metropolis sedang melemah. Tesis ini merupakan antitesis dari teori modernisasi yang menyatakan
bahwa kemajuan negara satelit hanya dapat dilakukan melalui hubungan dan difusi dengan negara
metropolis. Tesis ini juga dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu isolasi
temporer yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara
metropolis. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol
mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama,
kemunduran ekonomi pada Tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan
industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah
isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara metropolis-satelit menjadi
melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis; (iii)
negara terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan
dengan negara metropolis pada masa lalu. Frank menjelaskan, pada negara satelit yang memiliki
hubungan sangat erat telah menjadi sapi perah bagi negara metropolis. Negara satelit tersebut hanya
sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah
industri kapitalis di negara metropolis; (iv) kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai
usaha pemenuhan kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara metropolis. Perkebunan
yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar
yang berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit; dan (v)
eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi
pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara satelit menjadi hilang dan diganti
menjadi pertanian yang kapitalis.
179
Beberapa pendapat yang disampaikan Frank sangat kental dengan nuansa pemikiran Marx
tentang kapitalisme dan eksploitasi. Frank memperkuat pendapatnya dengan menunjukkan bukti-
bukti empirik dan menggunakan metode historis struktural. Bukti empirik yang dikumpulkan Frank
berupa hasil penelitian sejarah perkembangan sosial dan ekonomi negara-negara Amerika Latin.
3)Teori Theotonia Dos Santos tentang Struktur Ketergantungan
Menurut Dos Santos bahwa negara-negara satelit itu merupakan negara bayangan dari negara
metropolis. Dalam hal ini, ketika negara metropolis mengalami kemajuan maka negara satelit akan
maju pula. Begitu juga sebaliknya ketika negara metropolis mengalami krisis maka negara satelit
akan terkena dampaknya. Akan tetapi kemajuan dan atau kemiskinan tersebut bukanlah indikator
pembangunan di negara satelit, karena hal itu hanyalah refleksi dari negara metropolis saja.
Bagaimanapun juga negara satelit tetap tenggelam dalam ketergantungan terhadap negara metropolis.
Pandangan ini bertentangan dengan pendapat Frank yang menyatakan hubungan negara
satelit dengan negara metropolis selalu bersifat parasitisme atau merugikan negara satelit. Namun
menurut Santos, hubungan tersebut tidak selamanya besifat negatif. Walaupun hanya sebagai refleksi
negara metropolis, Santos juga menyatakan bahwa negara satelit bisa juga berkembang, meskipun
perkembangan ini merupakan perkembangan yang tergantung, atau perkembangan ikutan. Simpul
dan dinamika perkembangan ini tidak datang dari negara satelit, tetapi dari negara induknya. Contoh
konkritnya adalah negara–negara persemakmuran Inggris yang berkembang menjadi negara maju.
Dalam teori dependensi, terdapat dua pendapat yang berbeda: 1) struktur ketergantungan
yang ada di negara satelit tidak akan memungkinkan negara ini melakukan pembangunan, khususnya
industrialisasi; dan 2) pembangunan dan industrialisasi yang terjadi merupakan bayangan dari apa
yang terjadi di negara-negara metropolis.
Ditegaskan lebih lanjut bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan
perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara-negara metropolis adalah
kapitalisme sehingga menyebabkan munculnya usaha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan
ekonomi pada negara satelit merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi
kapitalisme oleh negara-negara metropolis.
Sebagaimana diketahui bahwa keterbatasan sumber daya pada negara-negara maju
mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran ke negara-negara terbelakang yang
melimpah kekayaan alamnya. Pola ekpansi yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa
179
adanya ketergantungan yang dialami oleh negara-negara terbelakang. Negara-negara ini akan selalu
menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu
tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara
terbelakang menjadi satelitnya. Konsep inilah yang lebih dikenal dengan istilah pusat - periferi.
Dalam hubungan ini, Santos mengajukan tesis tentang pembagian ketergantungan menjadi
tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan
teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh
negara jajahan. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan
kini telah dihapuskan. Sedangkan ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19,
menjadikan ekonomi negara tergantung, lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk
pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai
tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya
berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap
negara terbelakang adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga
kerja, dan terbatasnya perkembangan pasar domestik negara terbelakang itu sendiri.
3.Perbandingan Teori Modernisasi dengan Teori Dependensi
Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar terhadap persoalan pembangunan dan
ketertinggalan negara-negara terbelakang. Teori modernisasi berpandangan bahwa industrialisasi
perlu dipercepat dengan cara memproduksi sendiri kebutuhan barang-barang dalam negeri untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali beban penyediaan devisa negara yang selama
ini diperlukan untuk membayar impor barang-barang tersebut. Strategi industrialisasi ini pada
awalnya ditempuh dengan memberikan proteksi kepada industri dalam negeri dan mengenakan tarif
yang tinggi terhadap barang-barang luar negeri (import), sedemikian rupa sehingga kemampuan
bersaing dari industri dalam negeri meningkat dan dianggap telah mampu untuk bersaing. Pada saat
itulah industri dalam negeri sudah saatnya beroperasi dan bersaing tanpa adanya proteksi.
Dari berbagai perbedaan yang berhasil dikaji, maka dapat distrukturkan perbandingan teori
modernisasi dengan teori dependensi sebagai berikut:
Tabel 2. 6Perbandingan Teori Modernisasi dengan Teori Dependensi
179
Elemen Perbandingan Teori Modernisasi Teori DependensiPersamaan fokus perhatian (keprihatinan)
Pembangunan Dunia Ketiga
Sama
Metode Sangat AbstrakPerumusan Model-model
SamaSama
Dwi-Kutub struktur ekonomi
Tradisional dan Modern(Maju)
Sentral (metropolis)Pinggiran (satelit)
Perbedaan warisan teoritis Teori EvolusiTeori Fungsionalisme
Program KEPBALLMarxis Ortodoks
Hubungan Internasional Saling menguntungkan Merugikan negara dunia ketigaMasa depan Dunia Ketiga Optimis PesimisKebijakan Pembangunan (Pemecahan Masalah)
Lebih mendekatkan keterkaitan negara maju.
Mengurangi keterkaitan dengan negara sentral revolusi sosialis.
Keterangan: KEPBALL = Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin
Selanjutnya, teori modernisasi menganjurkan untuk lebih mempererat keterkaitan hubungan
kerjasama negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju melalui bantuan modal, peralihan
teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Sedangkan teori dependensi memberikan anjuran
yang sama sekali berbeda, yaitu mengupayakan secara terus menerus mengurangi ketergantungan
negara–negara terbelakang dari negara-negara maju sehingga memungkinkan tercapainya
pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin
memerlukan revolusi sosialis.
N. TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI KELEMBAGAAN
Pemikir ekonomi yang satu ini, Douglas Cecil North32, selama hidupnya (1920-1989) telah
banyak berkontribusi penting dalam pengembangan bidang ilmu ekonomi melalui beberapa kegiatan
risetnya, diantaranya: 1) mengintroduksi metode statistik untuk studi sejarah ekonomi; 2) menguji
dan menjelaskan peran institusi dalam mengatur tingkah laku manusia; dan 3) memahami kekuatan
historis yang membuat ekonomi menjadi kaya atau miskin. Ketiga rangkaian penelitian ini berusaha
32 Douglas Cecil North lahir di Cambridge Massachusetts pada Tahun 1920. Ketika North sedang tumbuh remaja, hidupnya sering berpindah-pindah karena mengikuti Ayahnya yang seorang manajer dari perusahaan asuransi Metropolitan Life. Karena itu, sekolah North juga berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. North pernah sekolah di Connecticut, Ottawa, Lausanne, New York City, dan di Long Island. Dia masuk di perguruan tinggi di Universitas California, Berkeley, karena ayahnya dipindahkan ke San Francisco dan North tidak ingin berada jauh-jauh dari keluarganya. Di Berkeley, North mengambil tiga bidang yaitu ilmu politik, ekonomi, dan filsafat. Ia secara serius mempertimbangkan untuk melanjutkan ke jurusan hukum setelah lulus nanti, namun pecahnya Perang Dunia II, membuat ia membatalkan rencana ini. Karena perasaan North yang kuat untuk tidak (ingin) membunuh orang, North bergabung dengan armada niaga. Tiga tahun di lautan memberikan North kesempatan untuk mengisi waktunya dengan membaca dan merenung, dan dia memutuskan untuk menjadi seorang ahli ekonomi ketimbang menjadi seorang pengacara.
179
menjelaskan pertumbuhan ekonomi dari segi institusi dengan mempergunakan teknik statistik untuk
menguji teori institusionalnya tentang penyebab pertumbuhan ekonomi.
North adalah tokoh pemikir dan pengembang ekonomi kelembagaan baru (New Institutional
Economics)33 yang memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada Tahun 1993. Hadiah Nobel yang
diperolehnya itu kemudian menjadi pemicu perkembangan ilmu ekonomi kelembagaan baru saat ini.
Pemikir ekonomi kelembagaan baru pada umumnya menolak sebagian asumsi ajaran ekonomi
klasik/neoklasik karena dianggap tidak realistis, kalau tidak mau disebut fatal, seperti tidak adanya
biaya transaksi (Zero Transaction Cost) dan rasionalitas instrumental (Instrumental Rationality).
Ekonomi klasik yang mengasumsikan semua manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan
insentif ekonomi ternyata dalam praktiknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang
mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya. Oleh karena itu asumsi-asumsi tersebut harus
dibatalkan. Itulah sebabnya, ekonomi kelembagaan sejak diploklamirkan bekerja di luar mekenisme
dan cara pandang pemikiran ekonomi klasik/neoklasik.
Intinya, keputusan ekonomi tidak bisa menyandarkan sepenuhnya pada kekuatan rasionalitas,
dan selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak
bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (Non-
Market Institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak pada kegagalan yang tidak berujung
pangkal, yakni dengan jalan mendesain aturan main/kelembagaan.
Sebagai tokoh ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics), North menyatakan
bahwa kelembagaan ekonomi dibentuk oleh aturan-aturan formal berupa rules, laws dan
constitutions; serta aturan informal berupa norma, kesepakatan, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan
penentu terbentuknya karakter dan struktur masyarakat serta kinerja ekonominya. North juga
membedakan institusi dengan organisasi. Dalam hal ini, institusi dimaknai sebagai the rules of the
game, sedangkan organisasi bermakna sebagai their entrepreneurs are the players.
Bagi North, institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sifat-sifat pemaksaan dari
peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia
33 Beberapa pemikir ekonomi yang masuk kedalam kelompok mazhab ekonomi kelembagaan ini diantaranya: (1)Thorstein Bunde Veblen (1857-1929), Ia menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat; (2) Wesley Clair Mitchel (1874-1948), Ia berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu karyanya adalah Business Cycle and Their Causes (1913), dengan menggunakan bermacam data statistik ia kemudian menjelaskan masalah fluktuasi ekonomi; (3) Gunnar Karl Myrdal (1898-1987) dari Swedia. Salah satu pesan Myrdal kepada para ahli ekonomi ialah agar ikut membuat value judgement. Jika tidak dilakukan struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realistis; (4) Joseph A. Schumpeter (1883-1950), Ia menyatakan bahwa sumber utama kemakmuran bukan terletak dalam domain ekonomi itu sendiri, melainkan berada di luarnya, yaitu dalam lingkungan dan institusi masyarakat. Lebih jelas lagi, sumber kemakmuran terletak dalam jiwa entrepreneurship para pelaku ekonomi yang merancang pembangunan.
179
secara berulang-ulang. Definisi yang hampir sama juga diberikan oleh Robin (2005) bahwa institusi
merupakan the rules of the game in economic, political and social interactions. Institusi ini
merupakan wadah atau lingkungan dimana organisasi-organisasi sosial hidup dan berkembang
(Institutions determine social organization). Sedangkan yang dimaksud sebagai organisasi disini
adalah organisasi politik (misalnya partai politik, DPR, dan DPRD); organisasi ekonomi (perusahaan,
satuan-satuan perdagangan, kooperasi dan sebagainya); organisasi sosial (gereja, klub-klub); dan
organisasi pendidikan (sekolah, universitas, dan organisasi-organisasi penyelenggara pelatihan).
North (1993) menyatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil
nyata hanya dengan memperbaiki kebijakan ekonomi makro belaka. Agar reformasi berhasil, maka
dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada
setiap pelaku ekonomi. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah
hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah.
Menurut Yustika (2008), kehadiran ekonomi kelembagaan dimaksudkan untuk mewartakan
bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi
politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/
komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model
kesepakatan yang dibuat (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori
hak kepemilikan), dan lain-lain. Ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi yang percaya
adanya peran besar dari lembaga-lembaga dalam kinerja ekonomi suatu masyarakat, karena batasan
dan aturan yang dibuat masyarakat yang bersangkutan dipatuhi atau dipaksakan pemenuhannya.
Dalam perkembangannya, studi tentang ekonomi kelembagaan begitu menarik dan bahkan
memperoleh tempat di kalangan pemikir ekonomi dan sosiologi, baik di Barat maupun di dunia
Timur, termasuk di Indonesia. Perkembangan studi ekonomi kelembagaan yang demikian dinamis
memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai konsep ekonomi kelembagaan dan
falsafah keilmuannya serta mengapa akhir-akhir ini ilmu ekonomi kelembagaan banyak diminati?
Di dunia Barat, kajian mengenai kelembagaan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru.
Di masa lampau, ketika Adam Smith telah berhasil membumikan teori ekonominya dalam kehidupan
masyarakat, maka sejak itu pula muncul berbagai pandangan yang pro dan kontra. Dalam khazanah
ilmu ekonomi, kelompok yang kontra terhadap teorinya Adam Smith itu lazim dikenal dengan
ekonomi kelembagaan lama (Old Institutional Economics).
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat
penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan
179
yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008: 55). Oleh karena itu, untuk mendekati gejala
ekonomi maka pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang dibangun
dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya
setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk
kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif
langsung berbicara dua hal: 1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan 2) penelitian
kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan
penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri
pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta
berpikir dari sudut pandang orang dalam atau yang dalam ranah antropologi disebut dengan emic.
Ketiga, yang dimaksud nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif
sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan ialah bagaimana
pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik
tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena.
Dalam ekonomi kelembagaan menekankan bahwa manusia menciptakan dan menggunakan
lembaga-lembaga tertentu untuk memecahkan berbagai konflik ekonomi dalam masyarakat. Jika
ekonomi ortodoks percaya bahwa persaingan bebas akan menghasilkan harmoni dan efisiensi, maka
ekonomi kelembagaan mencari kemungkinan-kemungkinan tindakan bersama (collective action) dan
kerjasama antarmanusia (human cooperation) untuk mengatasi konflik ekonomi sosial yang ada.
Maka dari itu, ekonomi kelembagaan berusaha mempelajari dan memahami peranan
kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait yang lebih luas. Kelembagaan
yang dipelajari biasanya tumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang
sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada
dan berfungsi di segala bidang kehidupan. Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian
menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan sosial humaniora, ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi
kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan
ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel. Penghargaan
179
tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada bidang keilmuannya,
yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).
Teori ekonomi konvensional yang bertumpu pada paradigma persaingan bebas kini terbukti
tidak mampu untuk menyelesaikan masalah perekonomian karena mekanisme dan praktik-praktik
ekonomi telah mereduksi hak-hak rakyat. Demikian juga dengan krisis keuangan global yang
menerpa dunia saat ini, menjadikan mainstream ekonomi yang berpijak pada pendekatan ekonomi
klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, oleh karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin
memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
Sebenarnya sudah cukup lama hadir aliran baru teori ekonomi yang lebih mengandalkan
upaya koperatif (kerjasama), dibandingkan teori ekonomi konvensional yang lebih mengandalkan
kompetisi. Faktor terpenting yang membedakan negara-negara Eropa yang menganut welfare
state dengan Amerika Serikat yang menganut pasar bebas adalah kerangka kelembagaan
(institutional framework). Walaupun kedua kubu sama-sama memiliki kelembagaan yang kuat,
titik pijak atau landasan filosofisnya sangat berbeda. Memang, kedua kubu tersebut menghasilkan
tingkat kemakmuran yang tinggi, namun dengan “wajah kemanusiaan” cukup kontras.
Budaya suatu bangsa akan sangat mempengaruhi dan merupakan faktor utama pembentuk
lembaga yaitu aturan yang mengatur segala tindakan seseorang. North menegaskan tiga
komponen lembaga yaitu 1) batasan-batasan informal (informal constrain); 2) aturan-aturan
formal (formal rule); dan 3) paksaan pematuhan terhadap keduanya (enforcement of both).
Hanya saja dari ketiga komponen tersebut praktis hanya satu komponen yang memadai yaitu
aturan non-formal yang berlaku didalam masyarakat. Kepercayaan (trust) yang merupakan pilar
utama modal sosial menjadi variabel penting dalam aturan non-formal. Di tengah-tengah
dehumanisasi teknologi dan arus informasi saat ini, masyarakat tampaknya lebih mengutamakan
aturan-aturan informal ketimbang regulasi formal yang dibuat pemerintah, misalnya aturan adat yang
telah disepakati oleh masayarakat. Hal ini disebabkan oleh aturan formal yang dikeluarkan
pemerintah saat ini lebih berpihak kepada pasar, dalam hal ini investor asing, bukan kepada
masayarakat kecil. Misalnya, kasus Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 tentang
liberalisasi sektor perminyakan terbukti hanya akan menguntungkan pihak investor asing dalam
mengeksplorasi minyak di Indonesia. Oleh karena itu, selain membangun institusi formal yang
kredibel, dalam memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa hanya dengan
mengutak-atik indikator makro ekonomi. Selain harus merancang aturan formal yang memadai,
179
kebijakan pemerintah juga harus mempengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Korupsi yang masih
terus terjadi merupakan bukti, kebijakan pemerintah masih berhenti pada formalitas aturan dan belum
sampai memengaruhi tindakan para aktor ekonomi. Hukuman berat bagi para koruptor, termasuk
para menteri yang terlibat korupsi, akan membantu mendisiplinkan para aktor ekonomi dan modal
sosial lah yang merupakan variabel utama dalam membangun perekonomian yang berdasarkan
ekonomi kelembagaan. Hal tersebut terbukti di negara-negara eropa yang menganut welfare state.
Praktik-praktik ekonomi yang memberikan peran kepada lembaga-lembaga keuangan
mikro secara lebih proporsional seperti yang ditempuh oleh Muhammad Yunus (peraih Hadiah
Nobel perdamaian Tahun 2009) menjadikan trust sebagai modal utama dalam membangun
Grameen Bank. Hanya dengan bermodalkan kepercayaan Muhammad Yunus kepada nasabah,
maka Grameen Bank mampu mengatasi masalah kemiskinan di Bangladesh.
Banyak bukti empirik menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan penentu utama
kesejahteraan dan pertumbuhan jangka panjang. Memang terbukti bahwa negara yang memiliki
landasan kelembagaan lebih baik pada masa lalu adalah negara yang sekarang lebih makmur.
Kelembagaan yang lebih baik, paling tidak menghasilkan dua hal: pertama, segala lapisan
masyarakat memperoleh ruang gerak yang luas untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi;
kedua, para elite, politisi, dan kelompok-kelompok kekuatan lain tak bisa leluasa mengambil alih
pendapatan dan investasi pihak lain.
Berbagai gagasan mengenai alternatif pembangunan ekonomi saat ini lagi-lagi membutuhkan
keseriusan dari pihak pemerintah dan dukungan dari berbagai stakeholder yang ada. Dukungan yang
paling dibutuhkan untuk konteks ke-Indonesiaan sekarang adalah dari pihak pemerintah daerah,
karena di era desentralisasi saat ini, pemerintah daerah-lah yang lebih mengetahui kondisi
masyarakatnya. Misalnya dalam membuat aturan formal dan aturan non-formal serta dalam
penyaluran jaring pengaman sosial, pemerintah daerah seharusnya lebih banyak terlibat dan membuat
formulasi khusus untuk itu.
O. EKONOMI PENGETAHUAN
Kini kita telah memasuki era ekonomi baru, yaitu suatu perekonomian yang benar-benar telah
berubah dari sebelumnya, yaitu era ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Di era ini,
teknologi informasi berkembang begitu cepat sehingga berbagai produk teknologi informasi dapat
diperoleh dengan mudah dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti untuk
179
kepentingan studi, pendidikan dan sosial-budaya. Berbagai software dan resources lain yang
diperlukan dapat juga diakses secara bebas bahkan gratis melalui internet.
Perkembangan internet yang demikian marak saat ini telah menjangkau jutaan pemakai,
akibatnya, tidak hanya peluang-peluang bisnis baru seperti electronic banking, virtulal shopping/
business, dan semacamnya yang tumbuh dan berkembang, tetapi juga telah memungkinkan
dilakukannya kegiatan networking dan partnership antarpelaku bisnis secara lintas industri, lintas
kawasan, dan bahkan lintas negara dengan lebih cepat dan efektif.
Dalam ekonomi seperti itu, teknologi informasi dan knowledge akan menjadi sumberdaya
yang sangat vital, dan proses ekonomi akan banyak dihela oleh peran dari digitalisasi, mobilitas
modal, dan liberalisasi. Sehingga produk barang dan jasa yang dihasilkan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari condong padat pengetahuan, kaya fungsi, dan sangat fleksibel.
Knowledge economy bukan semata digital economy, ia merupakan sesuatu yang sangat
kompleks dan merupakan fenomena yang terus merambah luas ke semua aspek kehidupan. Dahlman,
et al. (2006) menyebutkan beberapa dimensi knowledge economy, diantaranya: 1) dikendalikan oleh
teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi (ICT); 2) telekomunikasi dan networking
distimulir oleh pertumbuhan ICT yang cepat, dan menetrasi ke semua aspek kehidupan manusia dan
menciptakan masyarakat informasi; 3) pengetahuan yang berbasis informasi didukung oleh budaya
dan nilai-nilai spiritual telah menjadi kekuatan independen dan faktor penting dalam transformasi
sosial, ekonomi, teknologi dan budaya; 4) dimungkinkan dilakukannya integrasi dan pooling
intellectual untuk memacu pembangunan suatu negara. Setiap negara akan memperoleh manfaat dari
pembangunan knowledge economy dan meraih kemajuan menuju kesejajaran dalam proses
pembangunan global; dan 5) berdampak terhadap aktivitas sosial di setiap negara termasuk sistem
institusi dan inovasi serta pengembangan sumberdaya manusia.
Pada perekonomian yang senantiasa memperluas jaringan ekonominya dan teguh mentaati
segala norma-norma yang berlaku serta meningkatkan kapasitas aset nir fisiknya, maka akan makin
besar peluang inovasi yang dapat dilakukan dan ditumbuhkembangkan. Dan disanalah peran
ekonomi pengetahuan itu ada. Lalu, apa yang dimaksudkan dengan ekonomi pengetahuan itu?
Para pakar maupun institusi global seperti OECD, World Bank, dan APEC, memberikan
definisi ekonomi pengetahuan sangat beragam, namun pada intinya ekonomi pengetahuan itu ditandai
oleh penciptaan dan eksploitasi pengetahuan yang memainkan peran dominan dalam pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih spesifik lagi, ekonomi pengetahuan didefinisikan sebagai
suatu ekonomi yang secara langsung didasarkan pada produksi, distribusi, dan penggunaan
179
knowledge dan informasi. Definisi ini diperkuat lagi oleh Hossain dan Cheng Ming (2004)
bahwa ekonomi pengetahuan merupakan kegiatan ekonomi di mana proses produksi, distribusi,
dan konsumsi pengetahuan berlangsung secara berkelanjutan, serta adanya siklus memperluas
pengetahuan yang terus-menerus untuk penciptaan kesejahteraan.
Implementasi dan peningkatan keunggulan dalam ekonomi pengetahuan melibatkan
beberapa aktivitas dan komponen, diantaranya dapat dielaborasi sebagai berikut:
Aktivitas Ekonomi Pengetahuan:
1. Knowledge Production: aktivitas produksi didasarkan pengetahuan dan ide baru;
2. Knowledge Distribution: aktivitas penyebaran pengetahuan di antara anggota masyarakat;
3. Knowledge Consumption: penggunaan pengetahuan untuk menciptakan nilai dan membuat
pengetahuan baru dari pengetahuan yang ada.
Komponen Ekonomi Pengetahuan:
1. Knowledge Organization:membuat, menerima, menyebarkan, mengelola, dan
memanfaatkan pengetahuan.
2. Knowledge Worker: kemampuan kreatif dan inovatif orang untuk menggunakan
pengetahuan.
3. Knowledge Goods: Barang-barang yang berisi pengetahuan.
4. Knowledge Service: Produk jasa yang memiliki muatan kreativitas, ide baru, dan
ketrampilan baru;
5. Knowledge Asset: mencakup kreativitas, ide-ide dan pemikiran baru, skill, hak cipta,
brain power, kemampuan inovatif, smart leadership, kemampuan kewirausahaan, brand,
reputasi, pengakuan, serta know how;know-what; know-why; dan know-who (know 1 h; 3w).
Terkait dengan hasil elaborasi di atas perlu diketahui, bahwa pengetahuan itu adalah bentuk
primer dari modal. Sedangkan modal yang lain seperti uang, mesin, gedung dan lainnya hanyalah
derivasi dari pengetahuan. Tanpa pengetahuan, semua bentuk modal tersebut nyaris tak berarti apa-
apa. Uang misalnya, hanyalah selembar kertas yang hampir-hampir tidak ada nilainya. Mesin
hanyalah sekumpulan besi-besi, dan gedung hanyalah sekumpulan material bahan bangunan. Tingkat
kebermaknaan dari setiap bentuk modal tersebut bagaimanapun akan sangat ditentukan oleh
kepemilikan pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan dapat memberikan kehidupan dan makna
bagi semua bentuk modal itu sehingga bernilai dan berguna bagi manusia.
179
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagaimana dirujuk
oleh Lee dan Gibson (2002) membedakan pengetahuan dengan informasi. Pengetahuan adalah suatu
konsep yang lebih luas dari pada informasi. Dalam hal ini, pengetahuan mencakup komponen: know-
what; know-why; know-how; dan know-who. Dua komponen yang terakhir ini merupakan tacit
knowledge yang diperoleh dari pengalaman yang sulit untuk dikodifikasi, diukur dan disebarluaskan.
Sedangkan informasi hanya mencakup komponen know-what dan know-why. Masing-masing dari
komponen pengetahuan tersebut memiliki makna dan kegunaannya sendiri, yaitu:
1) Know-what: merujuk pada knowledge tentang fakta yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
relatif sederhana, seperti pertanyaan tentang jumlah rumah tangga miskin, jumlah pekerja
menurut sektor ekonomi, tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran
dan sebagainya. Jadi knowledge jenis ini lebih dekat dengan apa yang disebut dengan informasi;
2) Know-why: merujuk pada scientific knowledge dari principles and laws of nature. Aplikasi
knowledge jenis ini terutama pada pilihan dan pengembangan teknologi, produk atau proses
pada area industri atau organisasi yang spesialistik seperti riset di laboratorium. Untuk
memperoleh akses pada knowledge jenis ini, pelaku ekonomi harus berinteraksi atau
mempekerjakan tenaga spesialis yang terlatih baik atau pelaku ekonomi membeli pengetahuan
tertentu;
3) Know-how: merujuk pada skill atau kapabilitas dalam melakukan sesuatu. Kow-how adalah
tipikal knowledge yang dikembangkan berdasarkan pengalaman pelaku ekonomi atau
perusahaan secara spesifik. Kow-how sulit untuk dikodifikasi dan ditiru oleh pesaing karena
menyatu pada individu dan perusahaan;
4) Kow-who: merujuk pada informasi tentang “siapa tahu apa” dan “siapa tahu bagaimana
melakukan apa”. Kow-who sangat penting dalam ekonomi karena informasi dapat terdispersi
secara luas dan tidak seimbang karena pembagian kerja yang luas dan adanya perubahan
teknologi yang cepat.
Pengetahuan, kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu 1) pengetahuan yang bersifat
individual dan subyektif (tacit knowledge); dan 2) pengetahuan yang bersifat sebagai pengetahuan
organisasional (explicit knowledge). Tacit knowledge dimaksudkan sebagai pengetahuan personal
yang sulit untuk diformalisasikan atau dikomunikasikan pada orang lain. Pengtahuan ini terdiri dari
ketrampilan teknis yang bersifat subyektif, wawasan/ pengetahuan yang mendalam, dan intuitif yang
179
terjadi pada seseorang karena telah terlibat dalam suatu aktivitas untuk suatu periode yang lama.
Sedangkan explicit knowledge adalah pengetahuan formal yang mudah untuk disebarkan kepada
pihak lain. Pengetahuan ini seringkali ditandai dalam bentuk rumus matematis, peraturan-peraturan,
spesifikasi-spesifikasi dan sebagainya.
Kedua kategori pengetahuan tersebut bersifat saling melengkapi. Sepanjang tetap bersifat
pengetahuan individu maka bagi organisasi tacit knowledge hanya akan menjadi nilai yang terbatas.
Sebaliknya, explicit knowledge tidak akan muncul secara spontan, tetapi dengan memelihara dan
melatih benih-benih tacit knowledge yang telah dimiliki.
Dinamika interaksi kedua bentuk pengetahuan tersebut akan menghasilkan inovasi dan
selanjutnya akan menjadi organizational knowledge. Oleh karena itu, organisasi ekonomi, apapun
bentuknya, harus dapat menjadikan knowledge creating company yang bermanfaat bagi organisasi,
yaitu terampil dalam mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge sehingga dapat
mendorong inovasi dan pengembangan produk baru. Hal ini penting dilakukan karena tanpa inovasi
kehidupan organisasi akan berhenti. Lalu, bagaimana caranya?
Menurut Choo (1998), transformasi pengetahuan itu berproses melalui tahapan sebagai
berikut: Pertama, dari tacit knowledge ke explicit knowledge melalui proses sosialisasi, yaitu suatu
proses mendapatkan tacit knowledge melalui berbagai pengalaman. Misalnya karyawan suatu
perusahaan yang mempelajari keahlian baru melalui kegiatan on-the-job training; Kedua, dari
pengetahuan tacit ke pengetahuan explicit melalui eksternalisasi, yaitu suatu proses mengubah
pengetahuan tacit menjadi konsep yang explicit melalui penggunaan analogi-analogi dan model-
model. Eksternalisasi pengetahuan tacit merupakan intisari dari aktivitas penciptaan pengetahuan dan
yang paling banyak terlihat dalam fase penciptaan konsep pengembangan produk baru. Eksternalisasi
dipicu melalui dialog atau pemikiran bersama; Ketiga, dari pengetahuan explicit ke pengetahuan
explicit melalui kombinasi, yaitu proses penciptaan pengetahuan explicit dengan cara mengajukan
pengetahuan explicit dari sejumlah sumberdaya secara bersamaan, sehingga setiap individu bisa
menukar dan mengkombinasi pengetahuan explicit nya. Informasi yang sudah ada kemudian
dikategorikan, dibandingkan dan dipilih dengan cara tertentu sehingga bisa menghasilkan
pengetahuan explicit baru; Keempat, dari pengetahuan eksplicit ke pengetahuan explicit melalui
internalisasi, yaitu suatu proses menanamkan pengetahuan explicit menjadi pengetahuan tacit.
179
Internalisasi suatu pengalaman diperoleh melalui model penciptaan pengetahuan ke dalam basis
pengetahuan tacit dalam bentuk penyebaran mental model atau latihan.
Manakala proses transformasi pengetahuan itu dapat dibudayakan melalui praktik-praktik
manajemen pengetahuan secara optimal, maka akan menjadikan perekonomian itu lebih inovatif.
Dan tentunya, inovasi ini lahir dari proses yang panjang.
Dalam perspektif ekonomi pengetahuan, keberhasilan ekonomi atau bisnis menghadapi
persaingan lebih tergantung pada strategi manajemen pengetahuan daripada strategi alokasi aset fisik
dan keuangan. Dengan demikian, peran aset nir-fisik atau sumberdaya unik dan sulit ditiru ini dalam
meningkatkan daya saing semakin penting dan menentukan. Karena itu, aset tersebut harus
ditingkatkan kualitasnya, dioptimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya secara terus menerus agar
menjadi sumber utama pembaharuan dan inovasi dalam sebuah perekonomian.
Integrasi pengetahuan dan informasi dalam aktivitas ekonomi dan bisnis telah sedemikian
besar sehingga mempengaruhi perubahan-perubahan struktural dan operasional ekonomi dan bisnis.
Realitas ini kemudian mendorong terjadinya transformasi yang mempengaruhi basis keunggulan
kompetitif. Implikasinya, pada industri-industri yang memiliki basis pengetahuan yang kuat, akan
memiliki platform yang tangguh dalam melakukan inovasi secara terus menerus sehingga
menghasilkan proses dan produk baru yang lebih berninilai dan demanding. Karena itu, industri-
industri semacam ini akan mendominasi pasar global.
Sebuah studi di Amerika Serikat dan di negara-negara maju menunjukkan bahwa kontribusi
teknologi maju pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang hampir mendekati 50%. Bersamaan
dengan itu, ekonomi dan industri di negara-negara tersebut dapat tumbuh dan berkembang pesat serta
berkelanjutan karena ditopang oleh knowledge society dan knowledge worker yang memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menghadapi globalisasi yang bergerak sangat cepat. Pada Tahun
2005, lebih dari 40% tenaga kerja di Eropa bekerja pada industri-industri yang berbasis pengetahuan.
Negara-negara seperti Swedia, Denmark, Inggris, dan Finlandia merupakan negara yang sebagian
besar tenaga kerjanya (lebih dari 50%) bekerja pada industri-industri yang berbasis pengetahuan.
Alur ilmu pengetahuan (knowledge flows) bertalian erat dengat proses inovasi. Menurut
OECD ada empat bentuk alur pengetahuan, yaitu 1) interaksi diantara perusahaan melalui aktivitas
kerjasama riset (joint research activities); 2) kerjasama riset diantara perusahaan, universitas dan
institusi riset publik termasuk co-patenting dan co-publishing; 3) difusi knowledge dan teknologi
179
kepada perusahaan melalui adopsi mesin dan peralatan baru; dan 4) mobilitas personal yang
membawa tacit knowledge khususnya antara sektor publik dan privat.
Sebagaimana dinyatakan oleh Lee dan Gibson (2002), ekonomi pengetahuan pada awalnya
dikembangkan melalui networking antara dunia kampus dengan dunia bisnis dan pemerintah.
Aktivitas ini berlangsung di sekitar kawasan universitas-universitas dan pusat-pusat riset terkemuka
pada sebagian besar negara maju di dunia. Melalui networking itulah, knowledge didiseminasikan,
diadaptasi, dan kemudian diaplikasikan dalam berbagai industri yang menghasilkan produk-produk
inovatif dengan nilai tambah yang besar. Dalam proses aplikasi ini diperoleh feedback yang
menghasilkan knowledge baru yang dapat menciptakan nilai yang lebih besar.
Siklus dalam memproduksi pengetahuan berlangsung secara terus menerus sehingga terjadi
akumulasi kapabilitas pengetahuan sebagai sumber keunggulan daya saing yang berkelanjutan
(sustainable competitive advantage). Dalam konteks ekonomi pengetahuan, mengapa pengetahuan
memiliki peran dominan? Ada beberapa alasan yang mendasari, diantaranya: 1) pengetahuan adalah
bentuk dasar dari kapital. Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada akumulasi pengetahuan.
Makin besar akumulasi pengetahuan di suatu negara maka ekonominya akan tumbuh berkelanjutan;
2) upaya pengembangan teknologi baru dapat menciptakan technical platform untuk inovasi lebih
lanjut yang memainkan peran kunci dalam pertumbuhan ekonomi; 3) teknologi dapat meningkatkan
nilai pengembalian investasi yang tidak dapat dilakukan bila hanya menambah tenaga kerja dan
sumberdaya material; 4) berbeda dengan ekonomi tradisional, investasi dan teknologi membuat
keduanya lebih bernilai yang menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan
berkelanjutan. Invesrtasi pada R & D untuk inovasi teknologi dapat menciptakan peluang yang lebih
besar dalam memperoleh return karena dicapai monopoli teknologi yang sulit ditiru oleh pesaing.
Sebagaimana diidentifikasi oleh Skyrme (1999) dalam Sampurno 2007, ada lima megatrend
dalam ekonomi pengetahuan: 1) industri menjadi lebih padat pengetahuan (knowledge intensive); 2)
penggunaan informasi dan knowledge pada produk dengan fungsi dan kemanfaatan yang lebih baik
sehingga dapat membentuk harga premium; 3) informasi memainkan peran penting dalam sistem
ekonomi; 4) intangible assets yang dimiliki jauh lebih besar nilainya dibandingkan dengan tangible
assets; 5) perdagangan intangible assets berkembang pesat dalam ekonomi pengetahuan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inovasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Inovasi akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan jika ditopang dan mengakarkan dirinya
pada kekuatan mutu aset nir fisik, termasuk didalamnya mutu modal manusia. Dalam hubungannya
179
dengan pengembangan inovasi, menurut hemat saya ada beberapa komponen aset nir fisik yang perlu
mendapat perhatian dan perlakuan lebih, yaitu modal sosial, modal intelektual, dan modal spiritual.
Inisiatif dari berbagai pihak yang telah membangun dan memperkuat ekonomi
pengetahuan yang diarahkan melalui pembangunan infrastruktur teknologi informasi di Indonesia
perlu diberikan apresiasi secara khusus. Karena, mereka telah menyadari lebih awal terhadap
nilai penting teknologi informasi bagi anak bangsa di masa depan terkait dengan akselerasi
kemajuan bangsa Indoneisa sendiri untuk dapat maju dan bersaing dengan negara-negara lain.
Akan tetapi, manakala pembangunan infrastruktur teknologi informasi itu tidak dibarengi
dengan upaya-upaya penyadaran dan penanaman nilai-nilai penting teknologi informasi kepada
anak bangsa sejak sekarang, khususnya dalam hal mentransformasikan diri dari hanya sekadar
pengguna menjadi penghasil informasi dan ilmu pengetahuan, akan menjadi amat disayangkan
karena bangsa Indonesia hanya menjadi bangsa pemakai dan bukan bangsa penghasil.
Upaya-upaya tersebut sangat strategis dan bahkan mendesak karena saat ini kita tengah
memasuki era ekonomi pengetahuan yang mengandalkan olah pikir, ilmu pengetahuan, teknologi
dan kualitas SDM sebagai faktor kunci sukses dalam bersaing. Selain daripada itu, nilai tambah
suatu barang dan jasa bukan hanya semata ditentukan oleh besarnya modal yang tertanam dalam
produksinya, melainkan oleh tingkat pengetahuan yang tertanam di dalam produk dan jasa itu.
Olehnya itu, kini mulai terjadi pergeseran pola produksi dari padat modal ke padat pengetahuan.
P. RINGKASAN
Kajian terhadap perkembangan teori pembangunan ekonomi sebagaimana diuraikan di atas
berpangkal pada kondisi keseimbangan umum (general equilibrium), sehingga faktor-faktor kekuatan
dinamika dengan berjalannya waktu tetap dapat berperan secara bersamaan dalam interaksinya satu
dengan yang lain. Pendekatan teoritis yang dipergunakan untuk mengetahui proses perkembangan
teori pembangunan ekonomi itu bersifat elektis-selektif sehingga hal-hal yang dianggap terbaik dari
berbagai mazhab pemikiran ekonomi dapat dipilih secara selektif.
Bagaimanapun, kajian tersebut telah memberi manfaat bagi upaya memahami secara lebih
komprehensif mengenai teori pembangunan ekonomi, terlebih karena kajian ini didukung dan
diperkuat oleh serangkaian postulat, seperangkat peralatan analisis ekonomi, dan stylized facts.
179
Kombinasi antara postulat, peralatan analisis ekonomi, dan stylized facts dengan hasil
vertifikasi empiris dan kuantifikasi yang terkandung dalam gagasan dari setiap pakar ekonomi,
menawarkan berbagai pendekatan namun tetap dijaga konsistensi dalam analisisnya. Kombinasi
tersebut menjadi tolok ukur kuantitatif, dan satu sama lain merupakan komponen-komponen penting
yang saling melengkapi dalam kerangka analisis masalah-masalah pembangunan ekonomi.
Kombinasi ini satu sama lain menjadi semakin jelas manakala diperhatikan lingkup dan sifat
permasalahan dalam proses perubahan struktural.
Dalam konteks perubahan struktural, perubahan teori pembangunan ekonomi berproses
dalam batas ruang dan waktu, berlangsung di tengah-tengah arus dinamika dan pergulatan ekonomi
sesuai dengan tuntutan kebutuhan pada zamannya. Untuk memahami proses perubahan itu,
diperlukan penelusuran terhadap berbagai peristiwa masalah, pemikiran dan pembangunan ekonomi,
mulai dari pemikiran dan teori pembangunan ekonomi mazhab klasik hingga ke pemikiran dan teori
pembangunan ekonomi mazhab kontemporer berikut segala variannya.
Untuk mengkaji berbagai perubahan yang melatari munculnya teori pembangunan ekonomi
dan kemajuan pembangunan ekonomi di banyak negara, ada beberapa landasan teoritis yang dinilai
cukup ampuh dan dapat dipergunakan: pertama, landasan teori fungsionalis atau normatif tentang
proses dialektika yang menjadi penggerak dari perubahan-perubahan pemikiran di berbagai bidang
kehidupan dalam masyarakat; kedua, landasan teoritis mengenai paradigma dari himpunan segala hal
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada periode waktu tertentu, turut menentukan wujud ilmu
pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge) yang ada pada periode itu. Dalam hal ini,
terjadinya revolusi ilmu pengetahuan dan pengetahuan itu sebagai akibat dari pergeseran paradigma
yang berlangsung secara cepat dan mendadak; dan ketiga, landasan ekonomi moralitas, landasan
teoritis ini selalu berusaha memberi pertimbangan kongkrit bagaimana menciptakan ekonomi yang
adil sesuai dengan kondisi yang dihadapi masyarakat.
Strategi pembangunan ekonomi didasarkan pada sasaran-sasaran selektif yang ingin dicapai
berdasarkan skala prioritas dalam pentahapan waktu dan perkembangan keadaan. Penggunaan
konsep fungsi produksi yang menunjukkan hasil produksi dari kombinasi faktor-faktor produksi yang
terlibat dalam proses produksi dianggap relevan sebagai dasar kajian, sehingga penggunaan fungsi
produksi sebagai peralatan analisis pembangunan ekonomi sebagaimana dipaparkan dalam mazhab
pembangunan ekonomi klasik masih dianjurkan. Demikian pula dalam lingkup yang lebih terbatas,
179
pemikiran mazhab Neo-Klasik dan pemikiran mazhab Neo-Keynes mengenai teori pertumbuhan
ekonomi dianggap masih relevan.
Kombinasi peralatan analisis ekonomi yang mencakup unsur-unsur pokok kerangka
pemikiran Harrod-Domar, Leontief, dan Kuznets yang dilengkapi dengan teknik analisis statistik-
matematis dan peralatan analisis lainnya dalam hubungannya dengan kajian di atas sangat dianjurkan
untuk dipergunakan, karena pemakaian alat analisis ini sangat bermanfaat untuk menilai sampai
seberapa jauh telah diupayakan kombinasi yang optimal dalam pola penggunaan faktor-faktor
produksi, sehingga fungsi produksi juga mengandung fungsi kesejahteraan masyarakat.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan rinci, mengenai penggunaan
konsep capital output rasio (COR) yang bersumber dari model Harrod-Domar dianggap sangat
bermanfaat untuk menjaga konsistensi dalam analisis pembangunan ekonomi dan sebagai tolok ukur
produktivitas investasi modal sehingga perlu ditopang oleh analisis input-output (Leontief) dan
analisis berdasarkan time series (Kuznets).
COR dan beban tanggungan, manakala keduanya dan masing-masing masih berada pada
tingkatan yang tinggi, maka hal itu satu sama lain mengindikasikan penggunaan faktor-faktor
produksi telah optimal dan efisiensi ekonomi secara menyeluruh masih tinggi. Efisiensi ekonomi
berdasarkan efektivitas dalam penggunaan faktor-faktor produksi mengandung relevansi terhadap
upaya pemerataan dan perwujudan keadilan sosial.
Keberhasilan teori pembangunan ekonomi neo-klasik tidak secara otomatis menjadikan
sistem kapitalis dianut oleh semua negara di Eropa, karena di dataran ini telah berkembang suatu
aliran pemikiran ekonomi yang disebut mazhab historismus atau yang dikenal sebagai aliran etis.
Mazhab ini kerangka teoritisnya dibangun berdasarkan perspektif historis, dan pola pendekatan
pembangunan ekonomi yang dipergunakan dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi
berpangkal pada perspektif historis —induktif empiris— dengan mendasarkan pada fenomena
ekonomi menyeluruh dan tahapan perkembangannya. Namun, doktrin dari mazhab historimus ini
disimpulkan kurang jelas, karena tidak mengembangkan sebuah sistem melainkan lebih merupakan
reaksi terhadap konsepsi klasik dan neo-klasik yang menghendaki tidak adanya campur tangan
pemerintah dalam perekonomian.
Implikasi dari pemikiran mazhab hirtorimus: pertama, perlunya kebijakan negara memberi
perlindungan bagi kaum buruh. Banyak negara sedang berkembang mengabaikan hal ini, padahal
179
masalah perlindungan kaum buruh perlu diperhatikan karena posisi tawar mereka sangat rendah
dihadapan kaum pengusaha. Kalaupun ada organisasi serikat pekerja, kaum buruh belum mendapat
perlindungan yang sewajarnya; kedua, perekonomian di kebanyakan negara sedang berkembang,
termasuk di Indonesia, sangat didominasi oleh sektor pertanian, yang umumnya sulit untuk maju. Jika
ingin maju maka langkah awal yang perlu dilakukan ialah memacu industrialisasi.
Studi empiris terhadap perubahan struktur ekonomi dan berbagai proses yang menyertai
akibat dari pertumbuhan pendapatan per kapita menyimpulkan bahwa seiring dengan pertumbuhan
pendapatan per kapita dalam jangka panjang, akan disertai berbagai proses perubahan struktural
dalam perekonomian. Adapun proses perubahan struktural tersebut adalah 1) proses akumulasi; 2)
proses alokasi; 3) proses demografi; dan 4) proses distribusi. Pengertian disertai disini dimaksudkan
bahwa timbulnya proses perubahan tersebut bukan karena kenaikan pendapatan per kapita.
Dalam proses akumulasi atau yang selanjutnya didefinisikan sebagai proses penggunaan
sumberdaya dan dana untuk meningkatkan kapasitas produksi masyarakat di masa depan, perubahan
struktur ekonomi dapat ditinjau melalui pertumbuhan pendapatan masyarakat, dimana sebagian
dialokasikan bukan untuk tujuan konsumsi akhir, melainkan digunakan untuk investasi. Dalam proses
ini, terdapat investasi fisik dan investasi nir-fisik (Human Investment).
Terjadinya proses akumulasi dapat dilihat dari tiga hal, yaitu 1) perubahan struktur tabungan
dan investasi akan berpengaruh terhadap kemampuan menabung dan investasi; 2) perubahan struktur
penerimaan negara yang berasal dari pajak berpengaruh terhadap kemampuan penerimaan
pemerintah; dan 3) perubahan pengeluaran pemerintah untuk membiayai sektor pendidikan yang
akan mempengaruhi tingkat pendidikan penduduk. Dua hal yang pertama merupakan indikator dari
peningkatan kapasitas produksi dari sumberdaya-sumberdaya berbentuk piranti keras, sedangkan
satu hal yang terakhir merupakan indikator peningkatan kapasitas produksi dari sumberdaya dalam
bentuk piranti lunak, yang dalam hal ini menyangkut kemampuan manusianya. Menurut Samuelson
dan Hekcsher-Ohlin, komposisi resources endowment akan mengalami perubahan yang pada
gilirannya dapat mengubah keunggulan komparatif dalam memproduksi barang dan jasa. Dengan
kata lain, kenaikan pendapatann per kapita dapat menaikkan kemampuan menabung dan atau
kemampuan investasi.
Perubahan struktur ekonomi dapat juga ditinjau dari proses alokasi, yaitu proses yang terjadi
karena adanya interaksi antara proses akumulasi yang pada gilirannya merubah keunggulan
179
komparatif dalam memproduksi barang dan jasa di satu pihak serta berubahnya pola konsumsi yang
biasanya menyertai proses peningkatan pendapatan per kapita di lain pihak. Sebagai akibat dari
adanya interaksi tersebut maka proses peningkatan pendapatan per kapita dalam kurun waktu yang
lama biasanya disertai dengan berubahnya struktur produksi dan struktur barang dan jasa yang
diperdagangkan melalui batas-batas nasional.
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, terjadi pergeseran di dalam penggunaan
sumber-sumber daya, baik sumber daya fisik maupun sumber daya manusia. Proses ini selanjutnya
disebut sebagai proses alokasi sumberdaya. Proses alokasi sumberdaya ini secara sistematis akan
mengakibatkan perubahan pada: 1) struktur permintaan dalam negeri (domestic); 2) struktur produksi
dalam negeri; dan 3) pola perdagangan luar negeri. Perubahan ini pada dasarnya merupakan hasil
akhir dari interaksi antara permintaan dan penawaran. Permintaan lebih dipengaruhi oleh
perkembangan pendapatan masyarakat yaitu perubahan dalam pola konsumsi, di lain pihak
penawaran dipengaruhi oleh perubahan proporsi penggunaan sumberdaya dan perubahan teknologi,
yaitu bertambahnya keuntungan komparatif yang timbul sebagai akibat dari proses akumulasi yang
menyertai peningkatan pendapatan per kapita.
Pada proses distribusi dan proses demografi, dapat dilihat dalam satu kerangka acuan analisis
dengan proses akumulasi dan proses alokasi. Dengan begitu dapat dihindarkan pandangan yang
menganggap seolah-olah proses distribusi dan proses distribusi ini merupakan proses yang berdiri
sendiri, terlepas dari segi-segi pokok lainnya dalam proses pembangunan.
Ditinjau dari proses distribusi, pada tahap awal pembangunan lazimnya distribusi pendapatan
secara relatif cenderung memburuk. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya perbedaan
dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal (capital
stock). Pihak yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih
banyak pula dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal. Ketidakmerataan
dalam pembagian pendapatan juga dapat terjadi karena ketidaksempurnaan pasar dan adanya
gangguan yang menyebabkan persaingan dalam pasar tidak bisa bekerja secara sempurna.
Menurut teori pembangunan ekonomi neo-klasik perbedaan pendapatan dapat dihilangkan
atau dikurangi melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Melalui proses ini penetrasi hasil
pembangunan akan menyebar secara alamiah sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Manakala
setelah proses tersebut masih ada perbedaan pendapatan yang cukup timpang, maka masalah ini dapat
179
dipecahkan dengan mempergunakan beberapa pendekatan, diantaranya: 1) memaksimumkan
pertumbuhan PDB melalui peningkatan tabungan dan alokasi sumberdaya yang lebih efisien yang
mampu memberikan manfaat pada semua kelompok masyarakat; 2) mengarahkan investasi pada
masyarakat miskin dalam bentuk pendidikan dan atau akses pada kredit yang lebih mudah; 3) melalui
sistem pajak atau alokasi langsung barang-barang konsumen; dan 4) pengalihan aset yang tersedia
kepada kelompok miskin seperti halnya dengan kebijakan land-reform.
Proses pembangunan ekonomi biasanya tidak hanya ditandai oleh perubahan atau pergeseran
struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa, akan tetapi juga ditandai oleh perubahan yang
terjadi dalam struktur penduduk dan ketenagakerjaan. Proses perubahan ini diistilahkan sebagai
proses demografi. Proses ini terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur permintaan, struktur
produksi dan perbaikan fasilitas kesehatan, gizi serta pendidikan seiring dengan pertumbuhan
pendapatan per kapita. Proses ini juga mencakup peralihan berbagai hal yang terkait dengan tempat
tinggal penduduk, urbanisasi, angka kelahiran dan kematian, serta hal-hal yang terkait dengan
ketenagakerjaan seperti pengangguran, tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat upah.
Dalam sektor ketenagakerjaan, manakala terjadi penurunan cepat dari jumlah angkatan kerja
dalam sektor pertanian maka akan memungkinkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja
dan upah riil di sektor tersebut. Fenomena ini disebut sebagai structural turning point. Berawal dari
structural turning point, pada gilirannya akan terjadi penurunan rasio penduduk yang bekerja di
sektor pertanian terhadap keseluruhan angkatan kerja. Dengan bertambahnya sektor formal, rasio
pekerja dengan upah dan gaji terhadap seluruh angkatan kerja akan meningkat pula.
Terakhir adalah peningkatan rasio tenaga spesialis dan manajer terhadap seluruh angkatan
kerja. Indikator yang terakhir ini berhubungan erat dengan skala usaha, semakin banyak unit-unit
usaha berskala besar maka semakin banyak diperlukan tenaga spesialis dan manajer. Seiring dengan
perubahan itu, maka transformasi ekonomi dan pekerjaan pun ikut bergerak dengan sangat cepat,
kemudian mengubah proses fundamental dan memberi nilai tambah pada setiap tahap dalam
memproduksi barang atau jasa, yang selanjutnya disebut sebagai rantai nilai pekerjaan. Yang
menarik dari perubahan dan pergerakan ekonomi serta ragam pekerjaan baru itu adalah adanya peran
yang begitu penting dari teknologi informasi dan modal intelektual sebagai motor penggerak
pembangunan ekonomi, dan percepatan perubahan itu menuntut dunia pendidikan mempersiapkan
dan menghasilkan lulusannya yang lebih berdaya juang dan berdaya saing.
179
Dalam hubungannya dengan pembahasan dan pendalaman tentang teori pertumbuhan
ekonomi, tidak terlepas dari peran dan kontribusi pemikiran Joseph Schumpeter. Ia berpandangan
bahwa perkembangan ekonomi itu bukan merupakan proses yang harmonis ataupun gradual,
melainkan merupakan perubahan yang spontan dan terputus-putus dengan munculnya ide-ide baru
yang kreatif dan inovatif, sehingga seolah-olah menjelma menjadi faktor pengganggu terhadap
keseimbangan yang telah ada. Tentunya, ide-ide baru yang kreatif dan inovatif ini lahir dari proses
yang panjang, mulai dari tranformasi pengetahuan ke dalam invensi, kemudian berlanjut menjadi
inovasi dalam output dan inovasi pada sumberdaya yang dimiliki.
Inovasi, sebagai unsur strategis dalam aktivitas entrepreneur, dimaksudkan sebagai aplikasi
dari ide-ide baru dalam tehnik produksi dan organisasi yang akan membawa perubahan-perubahan
dalam fungsi produksi. Inovasi akan menghentikan siklus melingkar dari ekonomi stationer dan
menghasilkan perkembangan ekonomi dengan posisi equilibrium baru pada tingkat pendapatan yang
lebih tinggi. Dalam perekonomian yang dinamis, jenis inovasi itu akan muncul bunga, yang oleh
Schumpeter diintrepretasikan sebagai bagian dari pajak yang dibebankan kepada entrepreneur.
Inovasi dapat berbentuk: 1) memperkenalkan barang-barang baru atau barang-barang berkualitas baru
yang belum dikenal konsumen; 2) memperkenalkan metode produksi baru; 3) pembukaan pasar baru
bagi perusahaan; 4) penemuan sumber-sumber ekonomi baru; dan 5) mengoperasikan model atau
struktur organisasi baru dalam industri yang mampu menciptakan efisiensi.
Dalam kehidupan ekonomi yang makin modern, inovasi bukan sekedar jargon, tapi telah
menjadi keharusan. Ini sesuai dengan ragam dan sifat pekerjaan yang terus berubah, dan menuntut
agar produk dari pekerjaan-pekerjaan itu serba lebih bagus, lebih cepat dan lebih murah. Itulah
alasan yang melatari pendapatnya Peter Drucker bahwa dalam ekonomi yang telah maju sekalipun,
jika tidak mampu memenuhi tuntutan inovasi, maka ekonomi tersebut akan jatuh dan hancur.
Faktor utama penyebab perkembangan ekonomi adalah kualitas dari proses inovasi yang
dilakukan oleh para entrepreuner. Dalam hal ini, inovasi berpengaruh terhadap: 1) temuan
teknologi; 2) keuntungan lebih; 3) akumulasi modal; dan 4) proses peniruan (imitation) teknologi.
Kesemuanya itu dapat diwujudkan manakala dipenuhinya syarat-syarat: adanya calon pelaku inovasi
dalam masyarakat; adanya lingkungan sosial, politik dan teknologi yang kondusif untuk merangsang
tumbuhnya ide-ide cerdas yang kreatif dan semangat untuk berinovasi; tersedianya cadangan ide-ide
179
baru secara memadai; dan adanya sistem perkreditan yang menyediakan dana bagi entrepreneur
untuk merealisir ide tersebut menjadi kenyataan.
Dalam konteks usaha sebagai fungsi wiraswasta, maka wiraswasta dalam arti pemimpin
individual tak lagi berhak memainkan peranannya dalam perekonomian, karena fungsi wiraswasta
sudah usang. Dalam pada itu, kemajuan teknologi yang dilakukan oleh para ahli dalam industri besar,
inovasi tidak lagi dilakukan oleh orang per orang, melainkan merupakan pekerjaan rutin yang
dipimpin oleh manejer yang ahli dalam perusahaan besar.
Schumpeter juga memberi perhatian terhadap teori siklus bisnis, karena teori ini memiliki
peranan penting dalam mengelola perekonomian. Siklus bisnis dikonsepsikan sebagai krisis-krisis
yang mengganggu perkembangan ekonomi. Siklus bisnis tersebut berproses melalui empat fase, yaitu
1) fase puncak; 2) fase kontraksi; 3) fase depresi; dan 4) fase ekspansi. Masing-masing siklus bisnis
tersebut bertalian dengan suatu periode puncak yang menunjukkan permintaan konsumen meningkat
dengan cepat serta investasi dan laba bisnis adalah tinggi. Ketika permintaan konsumen dan
profitabilitas mengalami pertumbuhan yang menurun, serta investasi, produksi dan kesempatan kerja
juga berkurang, maka kemudian periode puncak berubah menjadi periode kontraksi. Dalam periode
kontraksi atau resesi, jika tidak dapat dilakukan perbaikan ekonomi, maka aktivitas bisnis akan terus
merosot dan berimbas pada meluasnya pengangguran yang semakin berat, kapasitas industri
terpasang tidak dapat digunakan, harga-harga yang stabil bahkan menurun, dan kepercayaan bisnis
merosot tajam. Kondisi ini merupakan kondisi terburuk dalam suatu perekonomian atau yang
kemudian disebut sebagai periode trough atau depresi. Dalam kenyataannya, periode depresi tidak
akan dapat bertahan lama, karena semua pelaku bisnis ingin secepatnya bangkit dari keterpurukan.
Semangat itulah yang kemudian mendorong upaya pemulihan ekonomi seiring dengan tumbuhnya
investasi dan kesempatan kerja, serta kembalinya kepercayaan dunia bisnis. Sejak itu periode depresi
berakhir dan kondisi ekonomi kembali mengalami pertumbuhan atau yang disebut sebagai periode
ekspansi, hingga pada gilirannya kondisi itu akan kembali menuntun pada suatu periode puncak yang
baru dengan siklusnya yang akan berulang kembali.
Kecenderungan umum yang terjadi menunjukkan bahwa ketika perusahaan berkembang
semakin besar maka perasaan kemanusiaan semakin tak dimiliki, dan dengan skala yang besar itu,
inovasi seakan merupakan hak dari pemimpin-pemimpin industri. Di saat itulah berlangsung proses
179
depersonalized, dimana aktivitas inovasi ditransformasi menjadi kegiatan administrasi rutin yang
dilakukan oleh orang-orang bergaji dan para pemegang saham.
Mengenai monopoli, perihal creative destruction dan economic evolution juga menjadi
perhatian Schumpeter. Ia melihat kekuatan monopoli sangat ditentukan oleh para entrepreneur yang
berinovasi, maka dari itu kepada mereka perlu diberi insentif yang sesuai dan reward yang tepat,
hingga kemudian pemberian insentif yang sesuai dan reward yang tepat itu beralih dan digantikan
melalui rantai creative destruction oleh monopoli dari inovator baru yang menyusul berikutnya.
Untuk alasan-alasan penolakannya terhadap follow the crowd, Schumpeter tetap menentang implikasi
kebijakan dari ide-ide Keynes yang dianggapnya sebagai ancaman bagi tumbuhnya inovasi yang
merupakan faktor pendorong dalam ekonomi, yaitu inisiatif swasta.
Upaya Schumpeter membahas economic evolution, ditempuh dengan menjelaskan perubahan
ekonomi dengan cara-cara di luar pola yang umum. Pertama, evolusi ekonomi itu bukan merupakan
proses pertumbuhan sederhana dimana seluruh sektor dalam kehidupan ekonomi berekspansi secara
seimbang. Sebaliknya, evolusi ekonomi ditandai oleh kreasi baru dan penghancuran terhadap produk
dan proses lama. Selanjutnya, kemunculan perusahaan-perusahaan baru yang jumlahnya cukup
banyak, oleh perusahaan-perusahaan lain tidak dibarengi dengan peningkatan kompetensi dan bahkan
mengganti bidang spesialisasinya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan itu tereliminasi dan lenyap
dalam proses evolusioner, dan para pekerja yang kehilangan pekerjaannya menghadapi tekanan yang
berat karena kehilangan kesejahteraan. Oleh sebab itu, proses creative destruction merupakan konsep
yang merefleksikan perjuangan kompetitif dan fokus terhadap reaksi-reaksi atas hilangnya
kesejahteraan sementara pada tingkat mikro dan makro.
Terkait dengan konsep creative destruction ini, Herbert Simon (1982) berpendapat bahwa
destruksi itu bukan destruksi sumberdaya yang sesungguhnya, akan tetapi ancaman potensial bagi
keberlangsungan perusahaan hingga menyebabkan munculnya perubahan dalam cara-cara kerja yang
rutin. Menurut model Simon, perusahaan-perusahaan akan tetap mengikuti cara-cara kerja yang rutin
manakala masih mampu mempertahankan kinerja yang memuaskan. Namun, ketika hal tersebut
tidak lagi terjadi, misalkan karena tekanan kompetitif, maka perusahaan-perusahaan itu mulai
mencari inovasi atau imitasi cara-cara yang lebih baik. Jika berhasil, maka perusahaan-perusahaan itu
akan membuang cara-cara kerja yang lama dan menghindari destruksi organisasi.
179
Dalam pandangan Schumpeter, kreasi merupakan kejadian yang relatif independen dan
bukan merupakan respons adaptif terhadap kekurangan atau tekanan lainnya. Oleh sebab itu, inovasi
enterepreneur muncul pertama kali melalui bekerjanya sistem ekonomi yang menyebabkan destruksi
terhadap cara-cara lama. Selanjutnya, creative destruction ini oleh Schumpeter diformulasikan
dengan skema analitis evolusi dalam pembangunan dan siklus ekonomi. Menurut skema ini, evolusi
dari cara-cara kerja dalam perekonomian akan terjadi melalui rangkaian kejadian-kejadian: 1) bahwa
titik equilibrium awal dari suatu sistem ekonomi didasarkan pada cara-cara kerja yang solid. Sistem
ini diasumsikan memiliki equilibrium yang membiarkan beroperasinya agen-agen ekonomi dalam
cara-cara kerja yang biasa dilakukan; 2) bahwa kondisi equilibrium awal akan hancur ketika
inovator-inovator memulai usahanya. Hal ini akan meningkatkan perekonomian, namun secara
perlahan arus inovasi menghilang karena terbatasnya kemampuan berinovasi dalam kondisi di luar
equilibrium awal; 3) bahwa untuk mempertahankan suatu perekonomian yang terus meningkat, tidak
cukup hanya dengan berinovasi, karena proses kompetitif dalam destruksi kreatif ini mengalami
penurunan yang cukup tajam. Dari kejadian ini, perusahaan-perusahaan tua dipilih dan yang lain
bertahan dari cara-cara lama yang merusak. Pada akhirnya, hanya cara-cara lama yang dibaharui yang
dapat bertahan dan eksis dalam perekonomian; dan 4) bahwa evolusi ekonomi dan cara-cara lama
dalam sistem perekonomian pada kondisi equilibrium dapat merusak daya inovatif. Proses ini
menciptakan reaksi sosio-politis yang dapat mengubah fungsi masa depan secara radikal.
Dari skema Schumpeter mengenai evolusi ekonomi hanya terdapat dua konsep yang saling
berhubungan, yaitu koevolusi perekonomian dan sistem sosio-politik. Menurut Schumpeter,
konsep creative destruction dapat dipandang sebagai alat utama untuk menghubungkan ilmu
ekonomi dan sosiologi dalam masyarakat kapitalis. Argumentasinya jelas, bahwa sungguhpun
konsekuensi dari evolusioner adalah kenaikan dalam standar umum kehidupan, namun reaksi sosio-
politis tetap ada. Reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa kapitalisme masih mengandung
instabilitas dari creative destruction. Orang-orang yang merasa kehilangan akan cenderung bereaksi
dengan kebencian dan melupakan isu penerimaan kaum kapitalis jangka panjang. Reaksi sejenis
itu mendorong tindak kekerasan yang terus meningkat terhadap setiap pencapaian dari evolusi
kapitalis dari para pekerja yang didukung oleh kaum intelektual.
Adalah sebuah penyimpangan dari tradisi Klasik ataupun Neo-Klasik, ketika John Maynard
Keynes mengemukakan gagasan-gagasannya mengatasi great depression. Ketika itu Keynes
179
mengusung gagasan mengenai pentingnya keberadaaan dan peran Bank Sentral serta campur tangan
pemerintah dalam perekonomian. Begitu juga pandangannya mengenai pendapatan dan kesempatan
kerja ditentukan oleh jumlah pengeluaran swasta dan Negara. Karena pandangan itu berbeda dengan
aliran ekonomi Klasik ataupun Neo-Klasik maka akhirnya pandangan-pandangan itu menjadi
mazhab baru, mazhab ekonomi modern yang biasa dikenal dengan sebutan mazbab Keynesian.
Ketika itu Keynes menyampaikan kritiknya terhadap ekonomi klasik dan mengusulkan
sebuah metode untuk management of aggregate demand. Pada tahun 1930-an, sesudah great
depression, negara semakin memainkan peranan pentingnya pada sistem kapitalism di sebagian besar
kawasan dunia. Sistem ekonomi ini sering disebut dengan mixed economies. Pandangan Keynes ini
sering dianggap sebagai awal dari pemikiran ekonomi modern. Karena Keynes menganggap
pentingnya peran pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, sehingga Keynes sering disebut
sebagai Bapak Ekonomi Pembangunan, dan sering juga disebut sebagai Bapak Ekonomi Makro.
Untuk memperkuat pemikiran ekonominya, Keynes berpendapat bahwa pengeluaran
masyarakat untuk konsumsi dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan
masyarakat mengakibatkan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Selain itu, pendapatan
masyarakat juga berpengaruh terhadap tabungan. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, semakin
besar pula tabungannya karena tabungan merupakan bagian pendapatan yang tidak dikonsumsi.
Walaupun pendapatan penting peranannya dalam menentukan konsumsi, peranan faktor-faktor lain
tidak boleh diabaikan, diantaranya kekayaan yang terkumpul, tingkat bunga, sikap berhemat, keadaan
perekonomian, dan distribusi pendapatan.
Berdasarkan pemikiran ekonomi dan berbagai pendapat yang melatarinya, Keynes berhasil
melakukan escape dari masa lalu, yaitu dari tradisi laissez faire yang dianut para pakar ekonomi
masa silam seperti Adam Smith, David Richardo dan gurunya sendiri Alfred Marshall. Keynes
kemudian berhasil membentuk suatu bangunan rumah utuh dalam struktur teori-teori ekonomi
baru, sehingga terjadi revolusi baik dalam teori maupun pada kebijakan ekonomi.
Dalam tradisi ekonomi klasik ataupun neo-klasik, analisis-analisis ekonomi lebih banyak
bersifat mikro. Namun ketika John Maynard Keynes pada tahun 1920-an, mulai memisahkan ilmu
ekonomi makro (macroeconomics) dari ilmu ekonomi mikro (microeconomics). Sejak saat itu tradisi
klasik ataupun neo-klasik mulai ditinggalkan dalam berbagai analisis ekonomi. Kemudian pada tahun
1930-an, pemisahan itu menjadi semakin jelas ketika muncul kesepakatan bersama antara Keynes
179
dan para ekonom lain. Dalam hal ini, analisis ekonomi makro dilakukan dengan melihat hubungan di
antara variabel-variabel ekonomi secara agregat.
Dalam hal ekonomi kelembagaan, ketika teori ekonomi konvensional terbukti tidak mampu
lagi menyelesaikan masalah perekonomian karena mekanisme dan praktik-praktik ekonomi telah
mereduksi hak-hak rakyat, dan ketika krisis keuangan global yang menerpa dunia saat ini telah
memporakporandakan tatanan ekonomi, menjadikan mainstream ekonomi yang berpijak pada
pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya. Oleh karena itu studi ekonomi
kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
Ekonomi kelembagaan yang dimaksudkan adalah cabang ilmu ekonomi yang percaya adanya
peran besar dari lembaga-lembaga dalam kinerja ekonomi suatu masyarakat, karena batasan dan
aturan yang dibuat masyarakat yang bersangkutan dipatuhi atau dapat dipaksakan pemenuhannya.
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidicipliner sangat penting
untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang
lain sebagai satu kesatuan analisis. Untuk mendekati gejala ekonomi, pendekatan ekonomi
kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu:
partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya
setiap fenomena sosial selalu spesifik dan merujuk pada kondisi sosial tertentu. Lewat premis
partikularitas, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: 1) fenomena sosial tidak
bersifat tunggal; dan 2) penelitian kualitatif telah memproklamasikan keterbatasannya.
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan
penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri
pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta
berpikir dari sudut pandang orang dalam atau yang dalam ranah antropologi disebut dengan emic.
Ketiga, yang dimaksud nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif
sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan ialah bagaimana
pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik
tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena.
179
Dalam ekonomi kelembagaan menekankan bahwa manusia menciptakan dan menggunakan
lembaga-lembaga tertentu untuk memecahkan berbagai konflik ekonomi dalam masyarakat. Jika
ekonomi ortodoks percaya bahwa persaingan bebas akan menghasilkan harmoni dan efisiensi, maka
ekonomi kelembagaan mencari kemungkinan-kemungkinan tindakan bersama dan kerjasama antar
manusia untuk mengatasi konflik ekonomi sosial yang ada. Intinya, keputusan ekonomi tidak bisa
menyandarkan sepenuhnya pada kekuatan rasionalitas, dan selalu ada insentif bagi individu untuk
berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar.
Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar untuk melindungi agar pasar tidak terjebak pada
kegagalan yang tidak berujung pangkal, yakni dengan jalan mendesain aturan main/kelembagaan.
Sebagai tokoh ekonomi kelembagaan baru, North menyatakan bahwa kelembagaan ekonomi
dibentuk oleh aturan-aturan formal berupa rules, laws dan constitutions; serta aturan informal berupa
norma, kesepakatan, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan penentu terbentuknya karakter dan struktur
masyarakat serta kinerja ekonominya. North juga membedakan institusi dengan organisasi. Dalam
hal ini, institusi dimaknai sebagai the rules of the game, sedangkan organisasi bermakna sebagai
their entrepreneurs are the players. Bagi North, institusi adalah peraturan perundang-undangan
berikut sifat-sifat pemaksaan dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang
membentuk interaksi antara manusia secara berulang-ulang. Beberapa contoh institusi yang mampu
memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan
tanah. Sedangkan yang dimaksud sebagai organisasi disini adalah organisasi politik (misalnya partai
politik, DPR, dan DPRD); organisasi ekonomi; organisasi sosial; dan organisasi pendidikan.
Kehadiran ekonomi kelembagaan ini salah satunya dimaksudkan untuk mewartakan bahwa
kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi, desain aturan main, norma
dan keyakinan individu/komunitas, insentif untuk berkolaborasi, model kesepakatan yang dibuat
(teori kontrak), dan pilihan atas kepemilikan aset fisik atau non fisik (teori hak kepemilikan).
Praktik-praktik ekonomi yang memberikan peran kepada lembaga-lembaga keuangan
mikro secara lebih proporsional seperti yang ditempuh oleh Muhammad Yunus (peraih Nobel
perdamaian Tahun 2009) menjadikan trust sebagai modal utama dalam membangun Grameen
Bank. Hanya dengan bermodalkan kepercayaan itulah maka Grameen Bank mampu mengatasi
masalah kemiskinan di Bangladesh.
179
Banyak bukti empirik menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan penentu utama
kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Memang terbukti bahwa negara yang
memiliki landasan kelembagaan lebih baik pada masa lalu adalah negara yang sekarang lebih
makmur. Kelembagaan yang lebih baik, paling tidak menghasilkan dua hal: pertama, segala
lapisan masyarakat memperoleh ruang gerak yang luas untuk berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi; kedua, para elite, politisi, dan kelompok-kelompok kekuatan lain tak bisa leluasa
mengambil alih pendapatan dan investasi pihak lain.
Kini, paradigma pembangunan ekonomi telah menjurus kepada munculnya kesadaran baru
tentang peran pengetahuan, sehingga keberadaannya makin mendapat perhatian oleh banyak
kalangan dan dipandang menjadi faktor penggerak yang utama dalam pembangunan ekonomi. Dari
pemahaman dan kesadaran itulah kemudian muncul istilah knowledge economy.
Para pakar maupun institusi global seperti OECD, World Bank, dan APEC, memberikan
definisi knowledge economy sangat beragam, namun pada intinya knowledge economy itu ditandai
dengan penciptaan dan eksploitasi pengetahuan yang memainkan peran dominan dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Perlu ditegaskan disini bahwa pengetahuan itu adalah
bentuk primer dari modal. Sedangkan modal yang lain seperti uang, mesin, gedung dan lainnya
hanyalah derivasi dari pengetahuan. Tanpa pengetahuan, semua bentuk modal tersebut nyaris tak
berarti apa-apa. Uang misalnya, hanyalah selembar kertas yang hampir-hampir tidak ada nilainya.
Mesin hanyalah sekumpulan besi-besi, dan gedung hanyalah sekumpulan material bahan bangunan.
Tingkat kebermaknaan dari setiap bentuk modal tersebut bagaimanapun akan sangat ditentukan oleh
kepemilikan pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan dapat memberikan kehidupan dan makna
bagi semua bentuk modal itu sehingga bernilai dan berguna bagi manusia.
Knowledge economy pada awalnya dikembangkan melalui networking antara dunia kampus
dengan dunia bisnis dan pemerintah. Aktivitas ini berlangsung di sekitar kawasan universitas-
universitas dan pusat-pusat riset terkemuka pada sebagian besar negara maju di dunia. Melalui
networking itulah, knowledge didiseminasikan, diadaptasi, dan kemudian diaplikasikan dalam
berbagai industri yang menghasilkan produk-produk inovatif dengan nilai tambah yang besar. Dalam
proses aplikasi ini diperoleh feedback yang menghasilkan knowledge baru yang dapat menciptakan
nilai yang lebih besar.
179
Siklus dalam memproduksi pengetahuan berlangsung secara terus menerus sehingga terjadi
akumulasi kapabilitas pengetahuan sebagai sumber keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Ada
beberapa alasan yang mendasari mengapa pengetahuan memiliki peran dominan, diantaranya: 1)
pengetahuan adalah bentuk dasar dari kapital. Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada
akumulasi pengetahuan. Makin besar akumulasi pengetahuan di suatu negara maka ekonominya
akan tumbuh berkelanjutan; 2) upaya pengembangan teknologi baru dapat menciptakan technical
platform untuk inovasi lebih lanjut yang memainkan peran kunci dalam pertumbuhan ekonomi; 3)
teknologi dapat meningkatkan nilai pengembalian investasi yang tidak dapat dilakukan bila hanya
menambah tenaga kerja dan sumberdaya material; dan 4) berbeda dengan ekonomi tradisional,
investasi dan teknologi membuat keduanya lebih bernilai yang menyebabkan tingkat pertumbuhan
ekonomi lebih tinggi dan berkelanjutan. Investasi pada R & D untuk inovasi teknologi dapat
menciptakan peluang yang lebih besar dalam memperoleh return karena dicapai monopoli teknologi
yang sulit ditiru oleh pesaing.
Dalam perpektif knowledge economy, keberhasilan ekonomi atau bisnis menghadapi
persaingan lebih ditentukan oleh strategi manajemen pengetahuan daripada strategi alokasi aset fisik
dan keuangan. Knowledge economy bukan semata digital economy, ia merupakan sesuatu yang
sangat kompleks dan merupakan fenomena yang terus merambah luas ke semua aspek kehidupan.
Beberapa dimensi dari Knowledge economy, diantaranya: 1) dikendalikan oleh teknologi, terutama
teknologi informasi dan komunikasi (ICT); 2) telekomunikasi dan networking distimulir oleh
pertumbuhan ICT yang cepat, dan menetrasi ke semua aspek kehidupan manusia dan menciptakan
masyarakat informasi; 3) pengetahuan yang berbasis informasi didukung oleh budaya dan nilai-nilai
spiritual telah menjadi kekuatan independen dan faktor penting dalam transformasi sosial, ekonomi,
teknologi dan budaya; 4) dimungkinkan dilakukannya integrasi dan pooling intellectual untuk
memacu pembangunan suatu negara. Setiap negara akan memperoleh manfaat dari pembangunan
knowledge based economy dan meraih kemajuan menuju kesejajaran dalam proses pembangunan
global; dan 5) berdampak terhadap aktivitas sosial di setiap negara termasuk sistem institusi dan
inovasi serta pengembangan sumberdaya manusia.
Akhir-akhir ini, integrasi pengetahuan dan informasi dalam aktivitas ekonomi dan bisnis
telah sedemikian besar sehingga mempengaruhi perubahan-perubahan struktural dan operasional
ekonomi dan bisnis. Realitas ini kemudian mendorong terjadinya transformasi yang mempengaruhi
179
basis keunggulan kompetitif. Implikasinya, pada industri-industri yang memiliki basis pengetahuan
yang kuat, akan memiliki platform yang tangguh dalam melakukan inovasi secara terus menerus
sehingga menghasilkan proses dan produk baru yang lebih berninilai dan demanding. Karena itu,
industri-industri semacam ini akan mendominasi pasar global.
Dengan demikian, penguasaan pengetahuan yang disertai dengan kepemilikan aset nir-fisik
atau sumberdaya unik dan sulit ditiru menjadi sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing dan
daya juang. Karena itu, pengetahuan dan aset tersebut harus ditingkatkan kualitasnya, dioptimalkan
pengelolaan dan pemanfaatannya secara terus menerus agar menjadi sumber utama pembaharuan dan
inovasi dalam sebuah perekonomian.
Alur ilmu pengetahuan bertalian erat dengat proses inovasi. Menurut OECD ada empat
bentuk alur pengetahuan, yaitu 1) interaksi diantara perusahaan melalui aktivitas kerjasama riset; 2)
kerjasama riset diantara perusahaan, universitas dan institusi riset publik termasuk co-patenting dan
co-publishing; 3) difusi knowledge dan teknologi kepada perusahaan melalui adopsi mesin dan
peralatan baru; dan 4) mobilitas personal yang membawa tacit knowledge khususnya antara sektor
publik dan privat.
Dari pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa inovasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Inovasi akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan jika ditopang dan mengakarkan dirinya
pada kekuatan mutu aset nir fisik. Dalam hubungannya dengan pengembangan inovasi, menurut
hemat saya ada beberapa komponen aset nir fisik yang perlu mendapat perhatian dan perlakuan lebih,
yaitu modal sosial, modal intelektual, dan modal spiritual.
Kajian mutakhir terhadap berbagai dimensi dan peran pengetahuan menyimpulkan lima
megatrend yang sedang mengemuka dalam pembangunan ekonomi: 1) industri menjadi lebih padat
pengetahuan (knowledge intensive); 2) penggunaan informasi dan knowledge pada produk dengan
fungsi dan kemanfaatan yang lebih baik (smart products) sehingga dapat membentuk harga premium;
3) informasi memainkan peran yang sangat penting dalam sistem ekonomi; 4) intangible assets yang
dimiliki perusahaan jauh lebih besar nilainya dibandingkan dengan tangible assets; 5) perdagangan
intangible assets berkembang pesat dalam knowledge economy.
Ringkasnya, pada suatu perekonomian yang senantiasa meningkatkan kapasitas aset nir
fisiknya, memperluas jaringan ekonomi dan bisnisnya serta teguh mentaati prinsip-prinsip etika bisnis
179
dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya, maka akan makin besar peluang inovasi yang dapat
dilakukan dan ditumbuhkembangkan dalam perekonomian tersebut. Dan disanalah peran ekonomi
pengetahuan itu dapat dibuktikan.
LATIHAN
Setelah mempelajari keseluruhan materi pada bab ini, konstruksikanlah pengetahuan saudara
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Kemukakanlah pendapat saudara tentang paradigma baru pembangunan ekonomi?
2. Konstruksikan kembali konsep pembangunan ekonomi yang saudara anggap paling ideal untuk
kasus Indonesia!
3. Jelaskanlah konsep dan dimensi pembangunan ekonomi!
4. Apa yang saudara ketahui tentang variabel-variabel utama pembangunan ekonomi?
5. Bedakanlah modal fisik dan modal nir fisik menurut karakteristiknya!
6. Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi untuk kasus pembangunan
ekonomi di Indonesia!
7. Menurut saudara, faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi?
8. Jelaskan keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan pembangunan ekonomi!
9. Telusurilah hambatan-hambatan dalam pembangunan berkelanjutan dan upaya-upaya yang telah
dilakukan untuk kasus di Indonesia!
10. Kemukakanlah pendapat saudara tentang praktik-praktik pembangunan ekonomi di Indonesia dari
perspektif paradigna baru pembangunan ekonomi!