43
PENDAHULUAN Hepatitis kronis adalah terjadinya peradangan dan nekrosis hati yang berlangsung minimal 6 bulan. 1 KLASIFIKASI DARI HEPATITIS KRONIS 1,2 Berdasarkan penyebab/etiologi o Hepatitis viral kronis: Hepatitis B, B plus D, C dan virus-virus lain o Hepatitis autoimun: tipe 1, 2, dan 3 o Hepatitis kronis karena obat-obatan o Hepatitis disebabkan kelainan genetik: penyakit Wilson, def α1 antitripsin Berdasarkan pemeriksaan histopatologis dapat dibagi 3 yaitu: 1. Hepatitis Kronik Persisten Terdapatnya infiltrasi sel-sel radang di daerah portal, fibrosis periportal sedikit sekali atau tidak ada, arsitektur lobular normal, limiting plate pada hepatosit utuh, piece meal necrosis (-). Umumnya pasien asimtomatik atau mengalami gejala konstitusi ringan (lemah, anoreksia, mual). Pada pemeriksaan fisik hati membesar, lembek, kenyal. Limpa tidak teraba, ikterik ringan. Pada laboratorium peningkatan ringan aktivitas aminotransferase. Perkembangan menjadi hepatitis kronik aktif dan sirosis sangat jarang terjadi, terutama pasien hepatitis kronis persisten idiopatik atau autoimun.

71130483 Referat Hepatitis Kronis Finished

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

PENDAHULUAN

Hepatitis kronis adalah terjadinya peradangan dan nekrosis hati yang berlangsung minimal 6

bulan.1

KLASIFIKASI DARI HEPATITIS KRONIS 1,2

Berdasarkan penyebab/etiologi

o Hepatitis viral kronis: Hepatitis B, B plus D, C dan virus-virus lain

o Hepatitis autoimun: tipe 1, 2, dan 3

o Hepatitis kronis karena obat-obatan

o Hepatitis disebabkan kelainan genetik: penyakit Wilson, def α1 antitripsin

Berdasarkan pemeriksaan histopatologis dapat dibagi 3 yaitu:

1. Hepatitis Kronik Persisten

Terdapatnya infiltrasi sel-sel radang di daerah portal, fibrosis periportal sedikit sekali

atau tidak ada, arsitektur lobular normal, limiting plate pada hepatosit utuh, piece

meal necrosis (-). Umumnya pasien asimtomatik atau mengalami gejala konstitusi

ringan (lemah, anoreksia, mual). Pada pemeriksaan fisik hati membesar, lembek,

kenyal. Limpa tidak teraba, ikterik ringan. Pada laboratorium peningkatan ringan

aktivitas aminotransferase. Perkembangan menjadi hepatitis kronik aktif dan sirosis

sangat jarang terjadi, terutama pasien hepatitis kronis persisten idiopatik atau

autoimun.

2. Hepatitis Kronik Lobular

Terdapat fokus nekrosis dan peradangan dalam lobulus hati. Secara morfologis mirip

hepatitis akut yang sedang sembuh perlahan. Limiting plate utuh, fibrosis periportal

sedikit atau tidak ada, arsitektur lobulus normal. Jarang menjadi hepatitis kronis aktif

dan sirosis.

Dapat dianggap varian hepatitis kronik persisten dengan komponen lobuler dengan

gambaran klinis/laboratoriumnya serupa. Kadang-kadang aktivitas klinis meningkat

spontan, mirip hepatitis akut, perburukan sementara gambaran histologis.

3. Hepatitis Kronik Aktif

Ditandai oleh nekrosis hati yang terus-menerus, peradangan portal/periportal dan

lobuler serta fibrosis. Keparahan dari ringan sampai berat. Dapat menimbulkan

sirosis, gagal hati, dan kematian.

Bentuk ringan: erosi ringan dari limiting plate dengan beberapa piece meal nekrosis

tanpa nekrosis bridging atau penumpukan rosette.

Bentuk berat: septa fibrous meluas ke kolumna sel hati, pembentukan rosette,

nekrosis bridging sel hepar, saluran porta dan vena sentralis, juga antara portal.

Jika terkena multilobulus dan mengenai seluruh hati terjadi perburukan cepat bahkan

gagal hati akut.

Klinis walaupun ada yang asimtomatik, tapi sebagian besar dengan konstitusi ringan

sampai berat, terutama rasa lelah. Lebih sering ditemukan hipertensi portal, kadar

aminotransferase cenderung lebih tinggi dan ikterik (hiperbilirubinemia). Pada 20-

50% biopsi juga sudah mengalami sirosis, bersamaan dengan hepatitis kronik

aktifnya.

HEPATITIS VIRAL KRONIK

1. HEPATITIS VIRUS B KRONIK

PENDAHULUAN

Pengidap hepatitis B kronik diketahui dengan terdapatnya HbsAg dalam darah lebih dari 6

bulan.3 Hepatitis B kronik tidak selamanya harus didahului oleh serangan hepatitis B akut. Pada

beberapa keadaan, hepatitis akut langsung diikuti oleh perjalanan ke arah kronisitas. Keadaan

lain, walaupun seperti akut, ternyata sudah terjadi hepatitis kronis. Kira-kira 10% orang dewasa

dan 90% neonatus yang terinfeksi akut menjadi kronis. Insidensi ditemukannya HbsAg

mendekati 5% penduduk dunia (300 juta orang). Lebih dari 10%nya tinggal di SubSahara dan

Asia Tenggara. Dari yang terinfeksi secara kronis 20%nya akan menjadi sirosis atau

hepatoseluler karsinoma (HCC) dan sekitar 1-2 juta orang pertahun yang akan meninggal dunia.1-

5

PATOGENITAS INFEKSI HEPATITIS B KRONIK

Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit terjadi akibat lisis hepatosit

melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi VHB bergantung pada integritas

sistem imunologis seseorang. Infeksi kronis terjadi jika terdapat gangguan respon imunologis

terhadap infeksi virus. Selama infeksi akut, terjadi infiltrasi sel-sel radang antara lain limfosit T

yaitu sel NK (Non spesific Killer) dan sel T sitotoksik. Antigen virus, terutama HbcAg dan

HbeAg, yang diekspresikan pada permukaan hepatosit bersama-sama dengan glikoptotein HLA

kelas I, mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk lisis oleh limfosit T.

walaupun ekspresi HLA oleh hepatosit normal cukup memadai, ekspresi ini akan semakin

diperkuat oleh peningkatan aktivitas interferon endogen yang diproduksi selama fase awal

infeksi virus. Interferon juga akan mengaktifkan enzim seluler termasuk 2-5 oligoadenilat

sintetase, endonuklease dan protein kinase. Enzim-enzim tersebut akan menghambat sintesis

protein virus dengan cara degradasi mRNA atau menghambat proses translasi. Perubahan-

perubahan akibat interferon ini akan menimbulkan suatu status antiviral pada hepatosit yang

tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi selama proses lisis hepatosit yang terinfeksi.

Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronik menunjukkan bahwa respons imunologis

selular terhadap infeksi virus tidak baik. Jika respons imunologis buruk, lisis hepatosit yang

terinfeksi tidak akan terjadi, atau berlangsung ringan saja. Virus terus berproliferasi sedangkan

faal hati tetap normal. Kasus demikian disebut pengidap sehat. Di sini ditemukan kadar HbsAg

serum tinggi dan hati mengandung sejumlah besar HbsAg tanpa adanya nekrosis hepatosit.6

Pasien dengan respons imunologis yang lebih baik menunjukkan nekrosis hepatosit yang

terus berlangsung, tetapi respons ini tidak cukup efektif untuk eliminasi virus dan terjadilah

hepatitis kronik. Gangguan respons imunologis ini penting terutama pada pasien leukemia,

gangguan ginjal atau transplantasi organ, penerima obat imunosupresif, homoseksual, pasien

AIDS dan neonatus.1,6

Kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit T dapat terjadi akibat berbagai

mekanisme:

1. Fungsi sel T supresor yang meningkat

2. Gangguan fungsi sel T sitotoksik

3. Adanya antibodi yang menghambat pada permukaan hepatosit

4. Kegagalan pengenalan ekspresi antigen virus atau HLA class I pada permukaan hepatosit.

Kapasitas produksi atau respons terhadap interferon endogen yang kurang akan

menyebabkan gangguan ekspresi HLA class I tersebut sehingga tidak akan dikenal oleh

sel limfosit T.1,6

DIAGNOSTIK6

Hepatitis kronik adalah penyakit yang berlangsung secara perlahan dan menyelinap.Keluhan

yang ada tidak sejalan dengan beratnya kerusakan jaringan hati. Pada separuhnya, pasien datang

dengan gejala penyakit hati kronik yang jelas seperti ikterus, asites atau gejala hipertensi portal.

Jarang sekali ditemukan ensefalopati hepatik pada saat pertama kali pasien datang berobat.

Kadang-kadang pasien datang sudah dengan karsinoma primer.

Pada perjalanan penyakitnya bisa terjadi relaps yang ditandai dengan perasaan tambah lelah

dan kadar transaminasi serum semakin meningkat. Keadaan ini berkaitan dengan serokonversi

HbeAg menjadi Anti-Hbe. Serokonversi terjadi secara spontan pada 10-15% pasien, atau timbul

setelah terapi interferon, sesudah penghentian terapi antikanker, cangkok organ atau pemberian

kortikosteroid. DNA VHB dapat menetap positif walaupun sudah terjadi serokonversi.

Eksaserbasi akut dengan DNA VHB positif tetapi HbeAg negatif terjadi pada keadaan

viremia oleh virus mutan daerah pre-core. Pada keadaan reaktivasi ini pemeriksaan IgM anti-

HBc positif. Akan tetapi reaktivasi dapat pula berupa perubahan HbeAg negatif menjadi HbeAg

dan DNA VHB yang positif.

Pada keadaan ini gambaran klinis bervariasi dari tanpa gejala sampai gagal hati fulminan.

Kelainan hasil laboratorium tidka terlalu menyolok. Terdapat peninggian ringan kadar bilirubin,

transaminase, dan γ-globulin. Kadar albumin biasanya normal. Kadar HbsAg dalam serum

biasanya berbanding terbalik dengan beratnya hepatitis kronik. Pada tingkat lanjut, HbsAg sukar

ditemukan di dalam darah, tetapi IgM Anti-HBc positif. HbeAg, Anti-Hbe, dan DNA VHB

mungkin positif, mungkin pual negatif. Dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) DNA

VHB bisa dideteksi bahkan pada kasus dengan HbsAg negatif.

Karakteristik dari fase infeksi HBV kronik Dikutip dari 3

Karakteristik Stage I

Imun Tolerance

Stage II

Imun Klirens

Satge III

Residual HBV-

DNA Integrasi

Derajat Replikasi Tinggi Rendah Tidak ada

Usia (thn) 0-20 20-40 ≥ 40

Biokimia Hati Normal Mengarah ke

hepatitis

Normal (kadar

albumin ↓)

Α Feto Protein Normal N / ↑ ↑ (dalam kanker)

Hepatitis B virus

DNA

+++ + -/+

HbeAg +++ + -

Anti HbeAg - +/- +

Inflamasi Hati Sedikit / - Prominen Tidak signifikan

Histologi Hati Perubahan minimal,

hepatitis kronis

persisten

Hepatitis kronik

aktif

Bridging lobular

Nekrosis, sirosis

Perubahan minimal

Sirosis, HCC

PENANGANAN HEPATITIS B KRONIS Dikutip dari 3

Infeksi HBV

Kronik

HbeAg (+) Anti Hbe (+)

HBV DNA

(-)

HBV DNA (+)

ALT Normal ↑ ALT ALT Normal ↑ ALT

Diamati selama 3-6 bln

Tanpa dekompensasi

hatiInterferon

Respon Tdk respon

Remisi menetap

Remisi sementara

Kambuh menetap

Pengobatan Ulang: mungkin dgnPrednisolon + interferon

Remisi Tidak

Respon

Cari penyebab lain dari ↑ ALT & ikuti pengobatan

OBSERVASI

TERAPI/PENANGANAN PENDERITA HEPATITIS B KRONIK

Tujuan terapi Hepatitis Kronik B 3,6,7

1. Menekan dan menghilangkan replikasi virus (HbeAg, HBV DNA)

2. Kontrol jangka panjang nekroinflamasi dai hepatosit (GPT)

3. Mencegah transformasi maligna dari hepatosit (Integrasi HBV DNA virus ke dalam DNA

genom host)

Ketiga hal di atas bertujuan mencegah sekuele sirosis hepatis atau KHP.

Penerapan secara serologis:7

HbeAg (+) HbeAg (-) dan HbeAb (+)

HBV DNA HBV DNA ↓ / (-)

HbsAg (+) HbsAb (+)

TERAPI NON SPESIFIK/NASEHAT 3

1. Umum

Pengidap dilarang menjadi donor darah, sperma, susu atau organ tubuh lainnya, pinjam

meminjam alat cukur dan gosok. Pengidap harus memberitahukan status pengidapnya

kepada dokter gigi, dokter pribadi, dan petugas laboratorium. Keluarga di rumah,

istri/keluarga seharusnya diimunisasi bila HbsAg (-) dan HbsAb (-). Bila ibu pengidap

hamil, diberitahu dokter kebidanan untuk segera mengimunisasi bayi yang baru lahir (pasif

dan aktif).

2. Diet

Makanan sehat bergizi untuk mempertahankan berat badan tetap normal. Dianjurkan diet

tinggi kalori, protein, lemak secukupnya (diet hati). Bila sudah terjadi komplikasi sirosis hati

terutama dengan asites dianjurkan restriksi lemak, garam, air, protein, sebaiknya diberikan

vitamin.

3. Latihan/kerja

Pengidap asimtomatis bisa kerja dan olah raga seperti biasa. Bila timbul sirosis hati hindari

latihan berat.

4. Alkohol dan obat-obatan

Hindari hepatotoksik potensial, hindari minum alkohol secara rutin dan regular. Steroid dan

obat imunosupresif akan memperberat infeksi laten dan dapat menimbulkan suatu hepatitis

fatal.

MEDIKAMENTOSA

Pilihan terapi medikamentosa

1. Interferon

2. Nucleoside analogue

3. Imunosupresif/steroid

1. Interferon

Penyuntikan subkutis selama 4 bulan (16 minggu) setiap hari dengan dosis 5 juta unit,

atau 3 kali seminggu dengan dosis 10 juta unit, menyebabkan serokonversi 40% dari

infeksi HBV replikatif (HbeAg dan DNA HBV terdeteksi dalam serum) menjadi

nonreplikatif (anti HbeAg terdeteksi) disertai perbaikan gambaran histologi hati, dan pada

10% HbsAg mungkin tidak terdeteksi lagi. Respon terhadap interferon meningkat pada

pasien dengan kadar DNA HBV yang rendah sampai sedang (<200pg/mL) dan pada

pasien dengan lama sakit yang singkat (rata-rata 1,5 tahun), 70%nya mengalami

perubahan status replikatif bila diikuti selama 5 tahun.7

Efek samping interferon: lelah, sakit otot-otot, demam, sakit kepala, anoreksia, berat

badan menurun, rambut gugur, leukopenia, trombositopenia.2,6,7

Seleksi penderita yang diberi IFN:6,7

1. HbsAg (+), HbeAg (+), HBV DNA (+) lebih dari 6 bulan

2. Kenaikan nilai ALT persisten (1,5 kali nilai tertinggi atau 100µ/L)

3. Biopsi hati: hepatitis kronis ± sirosis

Tanda perbaikan dalam terapi:

Ditandai hilang atau menurunnya HBV DNA, serokonversi

HBeAg anti Hbe, HbsAg anti HBs, lisis hepatosit yang terinfeksi, peningkatan

ALT.

2. Lamivudine

Merupakan nukleosida analog generai ke II. Mekanisme kerja menghambat replikasi

virus, menghambat nekroinflamasi, memperbaiki histologi hati, mencegah sirosis hati dan

KHP. Obat ini lebih toleran, efektif, ekonomis, efek samping tidak ada. Dapat digunakan

tunggal, kombinasi dengan IFN, juga pada pemakaian IFN yang kurang berhasil atau

kontraindikasi. Dosis 100 mg/hari. Penghentian pengobatan jika HbeAg menghilang atau

terjadi serokonversi ke anti Hbe (pemeriksaan beberapa kali). Pada penelitian di Asia

serokonversi HbeAg terjadi 22% dalam 1 tahun, 29% dalam 2 tahun dan 40% dalam 3

tahun. Obat-obat golongan nukleosida analog generasi kedua yang lain: Lobucavir,

Famciclovir, Adefovir.7

3. Steroid

Steroid tunggal tidak banyak berhasil dalam terapi hepatitis kronis. Pemberian jangka

pendek (6 minggu) kemudian dihentikan tiba-tiba menimbulkan efek withdrawal terjadi

fenomena rebound. Hasil penelitian dengan steroid obat tunggal maupun kombinasi

dengan interferon ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung.3

PROGNOSIS

5 tahun survival rate pada pasien hepatitis kronis B dengan kelainan hati ringan adalah 97%,

untuk kronik aktif 86% dan 55% untuk kronik aktif hepatitis denga sirosis. Imunisasi massal

pada bayi yang baru lahir, anak di bawah umur 1,5 tahun adalah cara yang terbaik untuk

mencegah hepatitis akut, kronis, sirosis hati, KHP.2

PENANGANAN PENDERITA INFEKSI VHB KRONIK3

Pengidap kronik VHB(HbsAg (+) VE . 6 bulan)

Nasehat non spesifik

LatihanAlkohol dan Obat

Evaluasi Awal

HbeAg/anti HbeAg ± HBV DNABiokimia hati/SGPT

USG hati ± biopsi hati

HbeAg (+) veHBV DNA (+) veALT/AST normal

Minimal changes

HbeAg (+) veHBV DNA (+) ve

ALT/AST ↑Hepatitis kronis

HbeAg (-) veAnti Hbe (+) ve

HBV DNA (+)Hep. Kronis

HBV DNA (-)Sirosis Hati

KHP SurveilansUSG dan α fetoprotein regular

Terapi SpesifikObservasi

2. HEPATITIS DELTA KRONIS 5

PENDAHULUAN

HDV dipercaya menginfeksi sekitar 5% dari pengidap 300 juta HbsAg di dunia, dimana

angka tertinggi di Amerika Selatan dan Afrika. Kronisitas hepatitis D sama dengan hepatitis B,

yaitu sekitar 10-15% dari hepatitis akut. Pada mereka pengguna obat-obat narkotika IV yang

positif HbsAg terdapat peningkatan prevalensi HDV sebanyak 17-90%. Transmisi juga dapat

melalui hubungan sexual dan perinatal.

DIAGNOSTIK

Superinfeksi hepatitis B terjadi bila seorang penderita hepatitis B kronis/pengidap terinfeksi

HDV. Infeksi hepatitis D akut pada pengidap HbsAg ini biasanya akan berkembang ke arah

kronis. Tingkat penyakit biasanya lebih berat pada hepatitis HBV-HDV kronis. Pemeriksaan

serologi infeksi HDV melalui IgM anti HDV atau IgG anti HDV. HbcAb IgM dilakukan untuk

membedakan koinfeksi (HbcAb IgM positif) dan superinfeksi (HbcAb IgM negatif).

Pemeriksaan serologi lain adalah HDV RNA.

TERAPI

Pasien HBV-HDV terinfeksi kurang berespon terhadap interferon dibanding dengan HBV

saja. Penelitian terbaru Lamivudine cukup baik untuk terapi HBV-HDV koinfeksi.

3. HEPATITIS C KRONIS

PENDAHULUAN

Prevalensi hepatitis virus C (HCV) meningkat di seluruh dunia. WHO memperkirakan lebih

dari 170 juta individu di seluruh dunia terjangkit HCV.8

Insiden HCV di Indonesia sampai saat ini belum ada data pasti, namun dari pemeriksaan

terhadap penderita HCV (+) dilaporkan terdapat 44,8% HCV RNA (+), dan HCV RNA (+) ini

lebih banyak ditemukan pada usia tua dan ekonomi rendah.9

Kadar HCV dalam cairan tubuh seperti saliva, sperma, urin, feses dan sekresi vagina amat

rendah dibandingkan di dalam serum. Transmisi HCV melalui hubungan seksual hanya kurang

dari 3-7%. Hal ini dapat dieliminir lagi dengan pemakaian kondom. Insiden meningkat pada free

sex, mempunyai penyakit seksual yang menular, homoseksual, lama kawin dan meningkatnya

jumlah virus.

Hepatitis virus C mempunyai kemampuan untuk bermutasi dalam replikasi RNA (quasi

spesies) yang pada akhirnya akan mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap

penatalaksanaan. Tingkatan perubahan (diversity) akan berbanding lurus dengan resistensi

terhadap terapi interferon.

Ada enam genotip utama dan sejumlah subtipe dari HCV berdasarkan pendekatan

molekular. HCV genotip 1, khususnya 1b, tidak berespon terhadap terapi sama seperti genotip 2

dan 3. Genotip 1 juga dihubungkan dengan penyakit liver yang lebih berat dan resiko yang lebih

tinggi untuk mendapat HCC.8,10

PATOGENESA

Bila seorang terinfeksi HCV sebagian kecil akan sembuh sempurna dan sebagian besar

menjadi kronis dengan terbentuknya antibodi terhadap virus C (anti HCV). Reaksi imunologis

bersifat humoral dan selular dimana sistem humoral membentuk IgM anti HCV dan imunologik

selular mengaktivasi sel sitotoksik untuk menghancurkan virus C dengan bantuan MHC (mayor

histocompability) dan interferon, dimana interferon melalui enzim 2,5 oligo adenylate sintetase

menghambat pembentukan protein virus (replikasi virus).

Bila sel T sitotoksik mampu mengeliminasi virus akan terjadi penyembuhan dan bila gagal

akan menjadi hepatitis kronik. Walaupun anti HCV negatif selama lebih dari 6 bulan dan

transaminase normal namun kalau masih ditemukannya HCV RNA (+) maka penderita dianggap

sebagai pengidap hepatitis C.2,10

Koinfeksi dengan HBV juga telah dihubungkan peningkatan keparahan hepatitis C kronik

dan mempercepat laju ke arah sirosis. Tambahan koinfeksi dengan HBV mempengaruhi

perkembangan ke arah HCC.

Perjalanan Penyakit Hepatitis C Dikutip dari 11

Hepatitis Virus C

Hepatitis Akut

RNA-HCV 2-7 hari

Sembuh/ResolusiRNA-HCV (-)

IgM anti HCV (-)ALT Normal

Carier Hep CRNA-HCV (+)

IgM anti HCV (-)ALT Normal

Hep C KronisRNA-HCV (+)

IgM anti HCV (+)ALT Meninggi

20-30% 20-30%60-80%

Sirosis / Hepatoma Sirosis

Hepatoma

20%

Anti HCV 6-12 bln

DIAGNOSIS8

Karena gejala klinis sangat minimal maka pemeriksaan penunjang memang mempunyai

peranan yang sangat penting.

Diagnosis ditegakkan dengan: Anti HCV positif “Marker of infection”

HCV RNA positif “Marker of viremia”

BEBERAPA PEMERIKSAAN PENUNJANG ANTARA LAIN:

1. Laboratorium

Tes anti bodi Hepatitis C

Skrining serologis anti HCV mencakup enzim immunoassay (EIA) yaitu EIA 1 dan EIA

2 yang 97% spesifik. Cara ini untuk membedakan kasus akut dan kronis. EIA generasi

ketiga sudah dapat mendeteksi antibodi 4-10 minggu setelah terinfeksi. Rekombinan

imunoblot assay (RIBA) yaitu RIBA-2 digunakan untuk konfirmasi infeksi HCV dengan

hasil EIA positif pada populasi resiko rendah.

HCV RNA dengan PCR digunakan untuk mendeteksi infeksi dalam 1-3 minggu terpapar.

Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.

Viral load test diperiksa secara kualitatif digunakan untuk memperkirakan hasil anti HCV

yang sepertinya menggambarkan progresifitas penyakit.

Genotip virus penting dalam terapi penderita, akan membantu dalam melihat hasil dan

lama terapi. Secara klinis perbedaan yang relevan adalah antara genotip 1 dan genotip 2

dan 3. Genotip 1 biasanya diterapi 12 bulan sedang yang lain 6 bulan.

Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum pengobatan:

Anti HCV anti bodi EIA

Genotip

HCV RNA kuantitatif; reverse transcriptase PCR lebih sensitif dari DNA

Pemeriksaan ALT dan AST, bilirubin dan level albumin

Skrining koinfeksi

2. USG hati dan sistem biliar untuk menyingkirkan kemungkinan diagnostik lain.

3. Biopsi hati

Biopsi hati sebenarnya tidak diharuskan pada awal pengobatan, dilakukan untuk menilai

aktivitas penyakit hati yang dihubungkan dengan HCV. Evaluasi histologis dari biopsi

hati dapat meramalkan prognosa dan progresifitas penyakit. Temuan biopsi juga dapat

menyingkirkan penyebab lain sehingga dianjurkan pada pemeriksaan awal infeksi HCV.

Tapi ada juga bila hanya tidak dijumpai adanya remisi menetap.

PENATALAKSANAAN12

Indikator respon pengobatan yang diharapkan adalah klirens virus, ditunjukkan dengan tidak

terdapatnya HCV RNA di serum dengan menggunakan test yang paling sensitif. Respon virus

pada akhir pengobatan (End of Treatment Viral Response = ETVR) dinyatakan dengan tidak

dijumpainya HCV RNA pada akhir pengobatan. Respon virus menetap (Sustained Viral

Response = SVR) dinyatakan dengan HCV RNA pada 6 bulan setelah menyelesaikan

pengobatan.

RESPON VIRUS MENETAP (SVR)

SVR adalah berkorelasi baik dengan manfaat perubahan fibrosis hati, pencegahan HCC dan

perbaikan klinis lain. Alanin Aminotransferase (ALT) sebagai indikator biokimia hepatitis

mempunyai beberapa kelemahan antara lain:

1. Penggunaan ALT untuk menggambarkan suatu respon (ETR atau SR) mempunyai angka

kesalahan 15%

2. Penggunaan ALT untuk menggambarkan tidak respon mempunyai angka kesalahan 10-

50% tergantung pada adanya sirosis, penggunaan regimen interferon yang lebih kuat atau

produk interferon seperti pegylated (PEG)-IFN

MANFAAT PENGOBATAN ANTIVIRAL PADA HEPATITIS KRONIS C

1. Regresi fibrosis

2. Mengurangi angka terjadinya HCC

3. Mengurangi laju terjadinya komplikasi lain seperti gagal hati dan angka kematian oleh

karena penyebab hati.

4. Meningkatkan kualitas hidup

Hal berikut di bawah ini mempengaruhi hasil pengobatan:

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Variabilitas virus

4. Titer HCV RNA

5. Keparahan fibrosis

Pasien dengan ALT serum normal tidak diterapi. Pasien dengan tidak ada atau fibrosis yang

minimal tidak penting sekali diterapi dengan antiviral. Bila telah ditetapkan untuk tidak diterapi

maka pasien ini harus diikuti untuk melihat progresi penyakitnya, mencakup biopsi liver ulangan

untuk melihat tingkatan fibrosis, setiap 3-7 tahun. Pasien dengan fibrosis nyata yang berisiko

menjadi sirosis dengan sirosis kompensata harus dipertimbangkan pemberian terapi antiviral.

Pasien dengan sirosis dan gagal hati secara umum tidak boleh diterapi dengan antivirus

HCV. Sebaliknya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati.

Yang mempengaruhi hasil pengobatan: usia, jenis kelamin, variabilitas virus, titer HCV

RNA, keparahan fibrosis.

TERAPI PASIEN YANG BELUM PERNAH DITERAPI SEBELUMNYA12

Rekomendasi dari Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan Hepatitis C kronik

adalah terapi kombinasi dengan interferon/ribavirin. Lama terapi 6 bulan untuk genotip 2 dan 3

atau genotip 1 dengan beban virus rendah (<2.000.000 virus ekivalen/ml) dan 12 bulan untuk

genotip 1 dan 4 dengan beban virus tinggi (>2.000.000 virus ekivalen/ml). Pemakaian IFN dosis

tinggi setiap hari selama 4-6 minggu pertama pengobatan (terapi induksi) memperbaiki efikasi

antiviral tetapi belum dapat dibuktikan meningkatkan SVR. Jika terapi kombinasi tidak tersedia

atau kontraindikasi maka monoterapi IFN dan regimen khusus atau produk lain yang menambah

efikasi masih mempunyai peranan.

PASIEN YANG TIDAK MEMBERI RESPON VIRUS MENETAP

Yang termasuk golongan ini adalah pasien yang respon tetapi kemudian relaps ataupun yang

tidak respon sama sekali, walaupun pada beberapa pasien ini ada terlihat manfaat perlambatan

progresi ke arah fibrosis dan perbaikan klinis.

Rekomendasi Konsensus Asia Pasifik:

Terapi ulangan harus dipertimbangkan pada pasien yang relaps setelah ETR terhadap

pengobatan sebelumnya dengan regimen yang kini dipertimbangkan suboptimal, misal IFN 3

juta U, tiga kali seminggu selama 6 bulan.

Rekomendasi yang dianjurkan antara lain:

a. IFN 3 juta U, 3x/minggu, selama 6 bulan ditambah ribavirin 1000-1200 mg/hari, sesuai

dengan berat badan.

b. Monoterapi IFN optimal seperti dosis yang lebih tinggi dan/atau waktu yang lebih lama,

atau penggunaan produk iFN yang lebih kuat.

Dikutip dari 11

PENANGANAN PENDERITA INFEKSI VHC KRONIK

HCV RNA (+) HCV RNA (-)

↑ ALTALT Normal ALT Normal↑ ALT

Biopsi Hati

Penyakit Hati Sedang Penyakit Hati Ringan

Interferon

Respon Tidak Respon

Singkirkan penyebab lain Hepatitis Kronik: Wilson Disease, Lupoid

Hepatitis, dsb. Obati yang mendekati

Remisi Menetap Remisi Sementara

Pengobatan Ulang: mungkin dengan dosis yang lebih besar dan periode yang lebih lama atau terapi kombinasi

Remisi Tidak Respon

Observasi

OBSERVASI

Efek Samping Ribavirin dan Interferon

Efek samping segera berupa flu like symptom, mual, iritabilitas, insomnia, diare, gangguan

pendengaran, visual, dan anoreksia. Efek samping jangka panjang berupa penurunan berat badan,

sering buang air besar, banyak tidur, efek psikologis (anxietas, depresi, dan iritabilitas), rambut

rontok, insomnia, trombositopenia dan lekopenia. Ribavirin (7-10%) dapat menimbulkan anemia

hemolitik.

PROGNOSA

Infeksi HCV bersifat self limiting hanya pada sejumlah kecil kelompok, selainnya

berkembang menjadi kronis.

20% berkembang menjadi sirosis setelah 20 tahun, dan 1-4% dari antaranya menjadi

HCC setiap tahunnya setelah 30 tahun. HCC lebih sering pada penderita yang alkoholis,

sirosis dan koinfeksi dengan HBV.

Dengan terapi baru yang direkomendasi, mencakup PEG IFN dan ribavirin, sustained

respond sebesar 60%.

PENCEGAHAN

Tidak ada produk yang disediakan untuk mencegah hepatitis virus C

Pengembangan imunoprofilaksis untuk penyakit ini masih sulit

Pasien dengan HCV harus dinasehatkan untuk berhenti menggunakan alkohol

Selama hubungan seksual agar menggunakan pengaman

Skrining pasien dengan resiko tinggi dan memulai pengobatan yang tepat dapat

membatasi insiden terjadinya sirosis dan HCC

4. HEPATITIS AUTOIMUN

Hepatitis autoimun (HAI) adalah suatu kesatuan dari sindroma heterogen hepatitis kronis

yang ditandai dengan inflamasi dan nekrosis hepatoselular yang berkelanjutan, biasanya dengan

fibrosis dan cenderung untuk berkembang menjadi sirosis atau gagal hati. Dapat juga sebagai

akut bahkan fulminan.2

Kejadian HAI lebih sering pada wanita dibanding laki-laki (4:1). HAI dibandingkan dengan

penyakit hati lainnya merupakan kasus yang jarang. Prevalensi diperkirakan 50-200/1.000.000

kasus di Eropa Utara dan populasi Kaukasian Amerika Utara, dimana 20% sebagai hepatitis

kronik. Secara epidemiologik penyakit ini diduga terkait dengan HLDASR4. HAI memiliki

mortalitas yang tinggi dan remisi yang rendah. Tanpa pengobatan, 50% pasien dengan HAI berat

akan meninggal dalam 5 tahun.13

ETIOLOGI

Pada HAI agen-agen seperti virus, bakteri, zat kimia, obat-obatan dan genetik bertanggung

jawab sebagai pencetus terjadinya proses autoimun terhadap diri sendiri secara terus-menerus.

Akhir-akhir ini lebih difokuskan pada virus sebagai pencetus. Semua virus hepatotropik mayor

diduga menyebabkan HAI yaitu virus campak, HAV, HBV, HCV, HDV, Herpes Simplex Virus

tipe I dan Epstein Barr Virus.2

PATOGENESIS2

Patogenesis terjadinya HAI sampai saat ini masih belum jelas. Bukti yang ada

menampakkan adanya progresifitas secara langsung menyerang sel hati. Autoimunitas ini

mungkin diturunkan secara genetik dan spesifisitas kerusakan hati dapat dicetuskan oleh

lingkungan. Sebagai contoh, pasien hepatitis A dan B yang self limited dapat terjadi HAI.

Bukti yang mendukung patogenesis HAI adalah:

1. Lesi histopatologi hati dominan terdiri dari sel-sel T sitotoksik dan sel plasma

2. Terdapatnya sirkulasi autoantibodi (nuclear, smooth muscle, thyroid) faktor rheumatoid

dan hiperglobulinemia

3. Kelainan autoimun lainnya seperti tiroiditas, reumatoid artritis, autoimun hemolitik,

colitis ulcerativa, glomerulonefritis proliferatif, diabetes melitus juvenil, sindrom sjorgen

sering terjadi pada hepatitis autoimun

4. Histocompability haplotypes dihubungkan dengan penyakit autoimun seperti HLA-B1, -

B8, -DRw3 dan DRw4 sering terjadi pada pasien dengan hepatitis autoimun.

5. Tipe hepatitis kronis responsif terapi glukokortikoid/imunosupresif.

Kunci patogenesis HAI terdapatnya autoantibodi sirkulasi yang digambarkan pada pasien dengan

ANA, anti LKM, antibodi-antibodi “soluble liver antigen” (sitokeratin), antibodi spesifik hati

reseptor asiloglikoprotein (hepatic leptin) dan protein membran hepatosit dapat menjadi faktor

yang berperan patogenesis hepatitis autoimun.

Mekanisme imun humoral berperan terhadap terjadinya manifestasi ekstrahepatik seperti

artralgia, artritis, vaskulitis kutaneus, glomerulonefritis yang terjadi akibat mediasi sirkulasi

kompleks imun.

KLASIFIKASI2,13

Klasifikasi HAI terdiri dari:

(1). Hepatitis Autoimun tipe I: sindrome klasik terjadi pada wanita muda berkaitan dengan

adanya hiperglobulinemia

(2). Hepatitis Autoimun tipe II: terjadinya pada anak-anak dan paling sering pada populasi

mediteranian. Tidak dihubungkan dengan ANA tetapi dengan anti LKM.

(3). HAI tipe III: pasien dengan tipe ini mempunyai kerentanan ANA dan anti LKM1,

mempunyai antibodi sirkulasi terhadap soluble liver antigen secara langsung pada

sitoplasmik hepatosit sirlokeratin 8 dan 18. Banyak terjadi pada wanita dengan

gambaran klinik hampir sama dengan HAI tipe I.

MANIFESTASI KLINIS14

Gejala hepatitis autoimun amat bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai gejala yang berat

seperti hepatitis fulminan. Gejalanya dapat berupa lemas, lekas lelah atau nyeri sendi. Kalau

keadaan berlanjut dapat terlihat gejala sirosis hati. Gejala dapat terus menerus atau hilang timbul.

Patogenesis terjadinya hepatitis autoimun mungkin karena gangguan hemostatik yang

Asimtomatik

Observasi tanpa terapi

memelihara toleransi diri (self tolerance). Akibat terjadinya presentasi autoantigen, aktivitas

imunosit dan penghancuran sel hati.

Pada pemeriksaan laboratorium, yang menyolok adalah peninggian SGOT/SGPT.

Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan limfoplasmositik dan infiltrasi radang yang disertai

bridging necrosis.

Diagnosa ditegakkan dengan menemukan ANA, SMA, anti LKM 1, anti SLA dan

peninggian imunoglobulin dengan kadar 1,5 sampai 2 kali normal.

TERAPI:14

Simtomatik

Prednison 30-40 mg/hari

Azatriopin 50-100 mg/hari

Sampai SGPT <2 x normal

Prednison diturunkan 5 mg/2 minggu

Azatriopin dipertahankan jika SGPT kecil 2x normal

Setelah prednison 15 mg/hari

Diturunkan 2,5 mg/bulan dengan azatripon

Prednison dihentikan, azatriopin 2 tahun

Biopsi hati

SGPT normal, hentikan pengobatan

(Gambar algoritme terapi hepatitis autoimun)

PROGNOSIS

Umumnya baik. Bila terjadi gagal hati dapat dilakukan transplantasi hati. Rekurensi dapat

terjadi pada 40% kasus.

5. HEPATITIS AKTIF KRONIKA YANG BERHUBUNGAN DENGAN OBAT 2, 15

Keseluruhan gambaran hepatitis aktif kronika dapat dihubungkan dengan reaksi obat. Obat

tersebut antara lain metildopa, isoniazid, ketokonazole dan nitrofurantoin. Gambaran klinis

mencakup ikterus dan hepatomegali. Kadar globulin dan transaminase serum meningkat serta

bias ditemukan sel LE didalam darah. Biopsi hati memperlihatkan hepatitis aktif kronika dan

bahkan sirosis. Nekrosis hati membentuk jembatan (bridging) tidak terlalu berat. Perbaikan klinis

dan biokimia mengikuti penghentian obat. Eksaserbasi hepatitis mengikuti pemaparan ulang ke

obat. Reaksi obat harus dipertimbangkan dalam etiologi pasien maupun dengan sindroma klinik

hepatitis aktif kronika.

HEPATOTOKSISITAS METILDOPA

Perubahan kecil dalam uji hati dilaporkan sekitar 5% pada pasien. Kelainan ini khas

berubah meskipun pemberian obat berlanjut. Kurang dari 1% pasien cedera hati akut menyerupai

hepatitis virus atau kronik aktif atau jarang reaksi kolestasis. Tampak 1-20 minggu setelah

metildopa dimulai 50% kasus dibawah 4 minggu. Demam, anoreksia, malaise tampak selama

beberapa hari sebelum ikterik. Sekitar 15% pasien gambaran dengan hepatotoksisitas metildopa,

gambaran klinis, biokimia dan histologi adalah pasien hepatitis kronik aktif dengan atau tanpa

nekrosis yang menjembatani dan sirosis makronodular. Dengan penghentian obat, penyakit

biasanya berubah walaupun progrestifitas telah tampak pada beberapa pasien.

HEPATOTOKSISITAS ISONIAZID

Pada kira-kira 10% orang dewasa yang mendapat obat anti tuberkulosa isoniazid

mengalami peningkatan kadar aminotransferase serum selama beberapa minggu pertama terapi,

sepertinya hal ini merupakan respon adaptif terhadap metabolik toksik dari obat tersebut.

Diteruskannya pengobatan atau tidak bergantung kepada kadar aminotransferase serum (<200 U)

diperhatikan jika turun atau tidak dalam beberapa minggu kemudian. Kira-kira 1% pasien

penyakit berkembang dan sulit dibedakan dari hepatitis virus. Kira-kira ½ kasus ini timbul dalam

2 bulan pertama terapi. Biopsi hati terjadi perubahan serupa dengan penderita hepatitis virus atau

nekrosis hati bridging. Penyakit tersebut dapat berat dengan angka kematian 10%. Cedera hati

berkaitan dengan usia, meningkat setelah usia 35 tahun. Frekuensi tertinggi diatas 50 tahun.

Hepatotoksisistas diperberat dengan alkohol dan rifampisin.

HEPATOTOKSISITAS ASPIRIN

Bila seseorang makan aspirin dengan dosis 2-3, 5 mg/hari akan dapat timbul gejala hepatitis

setelah 1-8 bulan. Hepatitis yang timbul secara klinis, laboratorium dan histopatologi mirip

dengan gambaran hepatitis kronik aktif.

HEPATOTOKSISITAS NITROFURANTOIN

Obat ini telah disertai dengan ikterus kolestatik dan hepatitis aktif kronika empat minggu

sampai 11 tahun setelah memulai obat ini. Biasanya pasien membaik bila obat dihentikan. Tetapi

sirosis dapat berkembang dan pasien bisa meninggal dengan gagal hati progresif fatal.

Mekanismenya bisa sitotoksisitas langsung ke senyawa induk atau ke metabolit.

6. DEFISIENSI α-1 ANTI TRIPSIN

α-1 anti tripsin disintesa dalam retikulum endoplasma kasar dalam hati. Terdiri dari 80-90%

α-1 globulin serum yang merupakan penghambat tripsin dan protease lain in vitro.

PATOGENESA PENYAKIT HATI

Kerusakan hati bukan dikarenakan penurunan α-1 antitripsin di sirkulasi, tetapi adanya

akumulasi α-1 antitripsin. Pada defisiensi α-1 antitripsin homozigot, transport protein dari

retikulum endoplasmic ke aparatus golgi terganggu, yang mengakibatkan kerusakan intrasel,

tetapi belum jelas bagaimana terjadi kerusakan hati.

GAMBARAN KLINIS

10-20% homozigot defisiensi α-1 antitripsin akan mengalami disfungsi hati. Pada empat

bulan pertama kehidupan akan terjadi ikterus hepatitis-kolestasis dalam berbagai tingkat

keparahan. Bisa fatal, tetapi biasanya mereda pada usia sekitar 6 atau 7 bulan dengan gejala sisa

hepatomegali. Masa relatif sehat diikuti oleh sirosis dan komplikasinya dapat dalam masa kanak-

kanak atau awal masa dewasa, dan terjadi peninggian tekanan portal atau acites. Sirosis yang

terjadi dapat tetap terkompensasi selama bertahun-tahun, tetapi juga dapat menjadi parah yaitu

25% meninggal selama masa kanak-kanak. Penyakit ini jarang pada orang dewasa. Dilaporkan

terdapat 5 pasien dengan defisiensi α-1 antitripsin homozigot dari 469 pasien penderita penyakit

hati kronik dan kelimannya dan kelimanya mempunyai riwayat ikterus neonatal.

DIAGNOSA

Setiap pasien sirosis hati, tanpa memandang usia dan dengan riwayat ikterik neonatal juga

dengan kelainan thorax (emphisema) haruslah dicurigai sebagai penderita defisiensi α-1

antitripsin. Untuk konfirmasi dapat diukur kadar α-1 antitripsin dalam serum.

TERAPI

Terapi penggantian dengan α-1 antitripsin sintetik atau berasal dari plasma telah digunakan

untuk mengobati penyakit paru. Transplantasi hati telah berhasil dilakukan. Fenotip resipien

cepat berubah ke fenotip donor.

7. PENYAKIT WILSON 17

PENDAHULUAN

Penyakit yang jarang ini, terutama pada orang muda, ditandai oleh sirosis hepatis,

degenerasi ganglia basalis otak serta cincin pigmentasi coklat kehijauan dalam tepi kornea

(cincin Kayser-Fleiser).

Penyakit ini tersebar diseluruh dunia, tetapi terutama dalam Yahudi dari asal usul Eropa

Timur, orang Arab, Italia, Jepang, China, Indian dan masyarakat yang mempunyai angka

perkawinan antar keluarga yang tinggi. Prevalensinya sekitar 1 dalam 30.000 dengan frekuensi

pembawanya sekitar 1 dalam 90.

Diturunkan autosom resesif dan kedua orang tua harus membawa gen abnormal. Cara

herediter ini menggambarkan bahwa cacat gen tunggal bertanggung jawab bagi gangguan

ekspresi tembaga bilier dan berkurangnya kadar seruloplasmin.

Peningkatan jumlah tembaga, yang tertimbun dalam jaringan, bertanggung jawab bagi

perubahan hati, neurologi, cincin Kayser-Fleisher dan kornea dan lesi dalam ginjal dan organ

lain.

Eksresi tembaga billier rendah. Eksresi tembaga urine meninggkat. Tetapi kadar tembaga

serum hampir selalu berkurang. Seruloplasmin (α-2 globulin yang bertanggung jawab untuk

pemindahan tembaga di dalam plasma) berkurang. Masukkan tembaga diet harian yang normal 4

mg, dari itu 2 mg diserap dan dieksresikan dalam empedu, sehingga pasien dalam keadaan

seimbang. Pada penyakit Wilson, hanya 0,2-0,4 mg dapat dieksresikan dalam empedu dengan 1

mg ke dalam urin sehingga timbul keseimbangan tembaga yang positif.

PATOLOGI

- Hati memperlihatkan semua tingkatan perubahan dari fibrosis periporta melalui nekrosis

submasif ke sirosis makronodular kasar.

- Ginjal memperlihatkan perubahan perlemakan dan hidropik dengan penimbunan tembaga

dalam tubulus contortus proximalis.

- Cincin Kayser-Fleisher karena pigmen yang mengandung tembaga ditimbun dalam

membrana descement ditepi permukaan posterior kornea.

GAMBARAN KLINIS

Keracunan umum jaringan dengan tembaga. Pada anak-anak, terutama terlibat hati (bentuk

hepatic) kemudian perubahan neuropsikiatri menjadi semakin nyata (bentuk neurologi). Pasien

setelah usia 20 tahun biasanya mempunyai gejala neurologi. Dua jenis keadaan ini dapat

tumpang tindih, kebanyakan pasien bergejala atau telah terdiagnosa antara usia 5-30 tahun.

BENTUK HEPATIK

- Hepatitis fulminan. Ditandai oleh ikterus progresif, asites serta gagal hati dan ginjal,

biasanya pada anak atau orang muda.

- Hepatitis aktif kronika. Biasanya pada usia 10-30 tahun sebagai hepatitis aktif kronik

dengan ikterus, kadar transaminase tinggi dan hipergammaglobulinemia, perubahan

neurologi muncul 2-5 tahun kemudian. Gambaran ini bisa sangat menyerupai bentuk lain

hepatitis aktif kronika. Hal ini menekankan keperluan untuk menyaring semua pasien

yang demikian untuk penyakit Wilson.

- Sirosis. Pasien bisa tampil dengan sirosis yang berkembang pelan-pelan. Gambaran klinis

mencakup “spider” vaskular, splenomegali, acites dan hipertensi portal.

- Karsinoma hepatoseluler sangat jarang.

Bentuk-bentuk lain: bentuk neuropsikiatri dan perubahan ginjal

TES LABORATORIUM

- Kadar tembaga dan seruloplasmin serum biasanya berkurang

- Eksresi tembaga urin 24 jam meningkat

- Pada orang yang dikontraindikasikan biopsi hati dan kadar seruloplasmin serumnya

normal, maka penggabungan radio tembaga yang diberikan perorang ke seruloplasmin

bisa bersifat diagnostik.

BIOPSI HATI

Kandungan tembaga harus diukur dengan aktivasi neuron

TERAPI

Terapi dimulai dengan 1,2g d-penisilamin hidroklorida oral dalam empat dosis yang

diminum sebelum makan. Penisilamin meng’chelate’ tembaga dan meningkatkan eksresi urin

sebanyak 1000-3000 ug/hari. Jika tidak ada perbaikan ditingkatkan 1,5-2 gr/hari. Perbaikan

dengan memudarnya cincin Kayser-Fleisher dan berkurangnya gejala neurologi. Diet rendah

tembaga sedikit bermanfaat, tetapi makanan yang mengandung tinggi tembaga seperti: coklat,

kacang, jamur, hati, kerang harus dihindari.

PROGNOSIS

Penyakit Wilson yang tidak diobati akan progresif dan fatal. Bahaya terbesar adalah pasien

tetap tidak terdiagnosa dan meninggal tidak diobati. Prognosis juga tergantung atas respon

terhadap terapi penisilamin kontinu selama 6 bulan. Kematian akibat gagal hati, perdarahan

varises esofagus atau infeksi yang dapat terjadi akibat ketidakmampuan neurologi.

KEPUSTAKAAN

1. Sherlock S, Dooley J. Chronic Hepatitis. In: Diseases of the Liver and Billiary System.

9th ed. London : Blackwell; 1993. P.293-321.

2. Isselbacher KJ, Dienstag JL. Chronic Hepatitis. In: Fauci (eds). Harrison’s Principles of

Internal Medicine. 14th ed. New York : Mc Graw Hill; 1998.p.1697-1704.

3. Yu HK, Guan R. Hepatitis B current strategies for prevention and management. Medical

progress 1997;2:21-8.

4. Pyrsopoulus NT. Hepatitis B. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic992.

htm

5. Wolf CD. Hepatitis, Viral. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic3180.

htm

6. Abdurarachman SA. Hepatitis virus kronik. Dalam: Waspadji (edt). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. Hal 266-270.

7. Malik AH, Lee WM. Vhronic hepatitis B virus infection: treatment strategies for the next

milenium. Annals of Internal Medicine 2000;9:723-9.

8. Dhawan VK. Hepatitis C. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic999.htm

9. Akbar N. Hepatitis infection in general population. Departement of Internal Medicine

University of Indonesia School of Medicine. In: Journal of Internal Medicine 1997;

3:181-6.

10. Davis GL. Hepatitis C. In: Shiff ER (eds). Shiff’s Diseases of the liver. 8 th ed.

Philadeplhia: Lippincott; 1919.p.757-91.

11. Tarigan P. Kuliah penatalaksanaan hepatitis virus C kronik FK USU.

12. Farrell GC. Management of Hepatitis C. Draft working party reports from the Asia

Pacific consensus on prevention and management of chronic hepatitis B and C 1999.

Kyoto. Japan.

13. Manns MP. Autoimun hepatitis. In: Shiff ER (eds). Shiff’s diseases of the liver. 8 th ed.

Philadephia: Lippincott; 1919.p.919-35.

14. Akbar N. Diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis autoimun. Pertemuan Ilmiah Tahunan

2001. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FKUI. Hal 27-29.

15. Sherlock S, Dooley J. Drugs and the liver. In: Diseases of the liver and billiary system. 9 th

ed. London: Blackwell; 1993.p.322-356.

16. Sherlock S, Dooley J. α1 antitrypsin deficiency. In: Diseases of the liver and billiary

system. 9th ed. London : Blackwell;1993.p.425-7.

17. Sherlock S, Dooley J. Wilson’s disease. In: Disease of the Liver and Billiary System. 9 th

ed. London: Blackwell;1993.p.400-7.