45

76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian
Page 2: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Tasawuf Falsafi Al-Hallaj

AL-HALLAJ

(Biografi,karya,tasawuf, dan pemikirannya)

Latar Belakang

Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan

melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat

dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad

tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran

yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik,

seperti halnya Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al

Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).

Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebaga i

wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang

tidak pernah habis dibahaskan, kerana pihak -pihak yang berbeda pendapat

tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis,

kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik

politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak dahulu.

Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh

Husein Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu

paham hulul. Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap

kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan

melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari

perbuatan maksiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh te rhadap

perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi.

A. Biografi Al-Hallaj

Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-

Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik

Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang

merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer

(dengan sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari

Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat

Daya Iran. Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat

perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya adalah

seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al -Hallaj .

Page 3: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan

Tustar. Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama

Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj berasal

dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.

Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal.

Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn

Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah

belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia

meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada

Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada

al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873-

879 M bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid al-

Baghdadi.

Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain,

menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh

ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al -Hallaj telah menunaikan

ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan pengembaraan

serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang membentuk pribadi dan

pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi

pembicara ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda

dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang bernama

Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan

ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi

setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan

dari seorang penjaga yang menaruh simpati padanya.

Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Dis ana ia bersembunyi

selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan

dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya

pada tahun 309/921M diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani

Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H

jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan mula -mula dipukul dan

dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan

kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan terga ntung pecahan-pecahan

tubunhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar tubuhnya dan

abunya dihanyutkan di sungai Dajlah.

Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya

eksekusi “ekstra tragis” yang diterima al -Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut

(disebat) seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya

dipenggal, tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki

dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu,

Page 4: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke

sungai sedangkan kepalnya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat

Islam dan sejarahnya.

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al -Hallaj,

algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian

dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang

diperintahkan untuk melempari batu kepadanya. Ketika itu dia selalu

mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara

dan hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan

ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada

Allah : “Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak

membutuhkan penguat semacam syahadat”.

Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai

memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya

dengan tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya

ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Sete lah itu

para algojo memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat,

seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo kepada Allah “Mereka

semua adalah hambaMu, mereka berkumpul untuk

membunuhku karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk

mendekatkan diri kepadaMu. Maka ampunilah mereka.

Andaikata Kau singkapkan kepada mereka apa yang Kau

singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan melakukan

apa yang mereka lakukan sekarang ini.” Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaim ana dikatakan

oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al -Quran beserta pemahamannya,

menguasai ilmu fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam

ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya,

dan masih banyak lagi sifat kesalehannya.

B. Karya – Karya Al-Hallaj

Ibnu nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan al -

Hallaj dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karya -karya al-Hallaj

tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Diantaranya adal ah:

1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.

2. Kitab Al Ushul wal Furu’.

3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.

4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.

Page 5: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

5. Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.

6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.

7. Kitab “Hua, Hua”.

8. Kitab At Thawwasin.

Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at -

Taftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap

dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit

dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang

dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus -rumus dan

istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.

C. Filsafat Al-Hallaj

Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syai r (Tawasin) dan juga

kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata -kata yang mendalam di

sekililing tiga hal, yaitu :

1. Hulul ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan

(nasut). Secara etimologi Hulul memiliki sinonim dengan infusion yang bermakna

“penyerapan” yakni menyerap keseluruh obyek yang dapat menerimanya (the

infusion spreads to all part of the receptive object). Secara harfiah hulul berarti

Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang

telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut

keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun

Nasution, hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh -

tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifa t

kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Paham hulul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham al -

ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al -Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi

dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al -ittihad, diri manusia lebur dan

yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep hulul,

diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al -ittihad yang dilihat satu wujud,

sedangkan dalam konsep ajaran hulul disana ada dua wujud tetapi bersatu

dalam satu tubuh .

Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri -Nya sendiri. Dalam

kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri -Nya sendiri,

yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat

Page 6: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzat-

Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan

cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun

mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat

dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan

cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada

diri Adam Allah muncul dalam bentuk-Nya. Teori ini nampak dalam syairnya:

سثحان مه اظهر واسىته # سر سىا الهىته الثالة

ثم تدا لخلمه ظاهرا # في صىرج األكل والشارب

Maha suci dzat yang sifat kemanusiaannya membuka rahasia

Ketuhanan-Nya yang gemilang

Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata

Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Melalui syair diatas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Allah memiliki

dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut).

Demikian pula pada diri manusia juga terdapat dua sifat dasar, yaitu sifat

ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Dengan demikian maka

manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Yang demikian ini

merupakan bentuk pemahaman al-Hallaj dalam menafsirkan Q.S. Al -Baqarah

ayat 34 yang berbunyi :

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: "Tunduklah

(beri hormat) kepada Nabi Adam". lalu mereka sekaliannya tunduk

memberi hormat melainkan Iblis; ia enggan dan takbur, dan

menjadilah ia dari golongan Yang kafir.

Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam. Karena

yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, maka al -Hallaj memahami bahwa

dalam diri Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain,

Page 7: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

hal ini (sujud) dikarenakan pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia

menjelma dalam diri Isa as.

Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat

ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam

dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh

manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :

الزاللرج تالماء مزجت روحك في روحي كما # تمزج الخم

ىي # فإذا اوت اوا في كل حال ك مس فإذا مس

لىا تدوا اوا مه أهىي ومه أهىي اوا # وحه روحان حل

فإذا أتصرتىي أتصرته # وإذا أتصرته أتصرتىا

Telah bercampur rohMu dalam rohku

Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih

Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku

Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala hal

Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang ku cintai adalah aku

Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh

Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia

Dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami.

Berdasarkan syair diatas, dapat diketahui bahwa persatuan antara Tuhan

dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Yakni dengan

terlebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya (nasut). Setelah sifat -sifat

kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan (lahut) yang ada

pada dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu

roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.

Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia

dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan,

demikian juga tindakannya. Namun disisi lain al -Hallaj mengatakan:

“Keinsananku tenggelam kedalam ketuhanan-Mu, tetapi

tidaklah mungkin percampuran. Sebab ketuhanan-Mu itu

senantiasa menguasai akan keinsananku. Barangsiapa yang

menyangka bahwa ketuhanan bercampur keinsanan jadi

satu, atau keinsanan masuk kedalam ketuhanan, maka

kafirlah dia. Sebab Tuhan itu bersendiri dalam zat-Nya dan

Page 8: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

sifat-Nya daripada makhluk dan sifat-Nya pula. Tidaklah

Tuhan serupa dengan manusia dalam rupa bentuk yang

mana jua pun”. Dengan demikian, al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya adalah

Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Seperti yang terlihat dala syairnya:

ق تيىىااوا سر الحك م ا اوا الحك # تل اوا حك ففر

Aku adalah yang Maha Benar

Dan bukanlah yang Maha benar itu aku

Aku hanya satu dari yang Maha Benar

Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul

yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian secara

jelas bahwa adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan. Dengan demikian,

hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada

kondisi fana’, atau sekedar terlebarnya nasut kedalam lahut, dan diantara

keduanya tetap ada perbedaan. Untuk lebih memahami doktrin hulul ini, lebih

jelasnya dapat merujuk kepada rangkaian penjelasan al -Hallaj berikut ini :

“Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar

atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik

ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senantiasa suci dan

meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat

kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam

dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempat

dalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada

diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi

punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh

Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan

perbuatan Tuhan . Air tidak dapat menjadi anggur

meskipun keduanya telah bercampur aduk ”.

2. Al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad)

Page 9: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Menurut al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala

sesuatu , segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan . Dan dengan

perantaraan Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa

diartika juga sebagai pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala

Nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari

Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran

dari Nur Muhammad.

Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama,

rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala

yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seora ng Rasul dan

Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi

rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.

Paham tentang Nur Muhammad ini berdasar pada hadis yang sangat populer di

kalangan ahli sufi, yaitu : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan

seluruh dunia berasal dari cahayku” . Dan paham ini kemudian

dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabai (w638H) dan

Abd.al Karim bin Ibrahim al Jili (w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil.

Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh

ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta

diperkenalkan oleh al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme

Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula -mula diperkenalkan oleh al Hallaj

dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah

Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud.

3. Wahdah al adyan (Kesatuan agama-agama) Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenranya nama agama yang berbagai

macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan

nama dari hakikat yang satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama

adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama,

atau lahir dalam satu agama, bukanlah a tas kehendaknya, tetapi dikehendaki

untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Paham

Wahdah al-Adyan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang

Nur Muhammad. Yakni pahamnya al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad

telah mendorongnya untuk berkesimpulan tentang kesatuan agama.

Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al -Azdi mengatakan, sebagaimana

dicatatkan oleh al-Taftazani sebagai berikut:

“Suatu hari aku bertengkar dengan orang yahudi di pasar

baghdad. Diapun ku maki: hai anjing. Ketika itu al-Hallaj

Page 10: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

lewat dan memandangku dengan geram. Dan tegurnya:

jangan kau maki anjingmu. Dan diapun langsung pergi.

Setelah pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun

ketika ku temui, dia memalingkan wajahnya. Akupun

meminta maaf kepadanya. Lalu dia berkata: wahai

sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap

golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan,

bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena itu, barangsiapa

menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama saja

halnya dia telah menghukumi golongan tersebut menganut

agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah ! agama-agama

yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah sebutan serta

nama yang beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi

tujuan tujuan semuanya tidak berbeda” . Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan

dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada

perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi lebih baik perdalamlah agama

masing-masing.

D. Pendapat Ulama Mengenai Pemikiran Al Hallaj

Berbagai macamlah perkataan ulama tentang al -Hallaj. Sebagian mengkafirkan

dan sebagian yang lain membela atau membenarkan. Beberapa perkataan,

terutama dari pihak masa kekuasaan pada masa itu tersiar bahwa ajaran al -

Hallaj sangat merusak ketentraman umum. Murid-muridnya sampai ada yang

menyangka bahwa al-Hallaj adalah Tuhan, sebagaimana prasangkaan orang

nasrani terhadap diri isa al-masih. Dia dianggap pandai menghidupkan orang

mati, menyembuhkan orang sakit kusta. Muridnya kian lama kian ba nyak. Dan

setelah diselidiki oleh penyelidik kerajaan, katanya dia mengadakan hubungan

yang rapat dengan kaum karamithah, yaitu segolongan umat di abad ketiga dan

keempat yang menyerupai faham komunis di indonesia. Sebab itu dia tidak mau

mengakui kekuasaan pemerintahan yang sah. Dia mengakui sebagian

kepercayaan kaum ismailiyyah bahwa imam yang sejati ialah imam yang ghaib.

Dan lagi menurut beritra yang tersiar itu pula beliau menfatwakan

bahwasannya naik haji yang lahir pergi ke mekkah itu tidaklah perlu

dikerjakan. Sebab itu hanya memayah-mayahkan diri saja. Itu boleh diganti

dengan haji yang lain, yaitu dengan haji rohani, dengan membersihkan diri dan

jiwa dan tafakur mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga ka’bah itu

Page 11: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

sendirilah yang datang kedalam khalwatnya menemuinya. Disanapun dia boleh

berthawaf.

Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang

diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang

sependapat dan membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafir kannya.

Dengan alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan

Tuhan adalah syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al

Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang

ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya.

Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang

sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak

mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa

berkata apa-apa".

Pembela-pembela Al Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan

orang kepadanya. Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat

Alawiyah, mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj

ada keretakan karena sikapnya, seperti keretakan pa da kaca, tetapi setelah

sampai pada maqam al qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai

tingkat bila diandaikan buah dia telah matang.

Imam Al Ghazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan

"ana al haq?". Beliau menjawab," Perkataan demikian yang keluar

dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah.

Apabila cinta sudah demikian mendalamnya, tidak ada lagi

rasa berpisah antara diri seseorang dengan seseorang yang

dicintainya". Sehingga beliau, Jalaludin Rumi, dan Fariduddin al Attar

memberinya julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid yang benar).

Beliau syekh Maftuh Basthul Birri salah satu masyayikh di ponpes Hidayatul

Mubtadi’in (lirboyo) dalam bukunya yang berjudul Manaqib 50 Wali Agung

mengatakan “Syekh al-Hallaj ini tinggi sekali ma’rifat dan ilmu haqiqatnya,

jadzab dan cintanya dengan Allah seperti imam Abu Yazid al -Bustomi, sehingga

beliau pernah berkata ANAL HAQ. Maka banyak orang yang ingkar karena tidak

sampai kefahamannya”.

Kesimpulan

1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Allah yang

Page 12: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

hidup pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum

mati untuk mempertanggung jawabkan ajarannya yang dianggap sesat oleh

beberapa ulama’ khususnya fuqoha pada masa itu.

2. Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi beliau dihukum

karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Beliau

membuka rahasia tentang Tuhan dengan mengemukakan segala yang dianggap

misteri tertinggi yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang

terpilih saja.

3. Ajaran al-Hallaj yang mashur adalah hulul (ketuhanan (lahut) menjelma ke

dalam diri insan (nasut)), al -haqiiqah al-muhammadiyyah (nur Muhammad),

dan wahdatul adyan (kesatuan semua agama).

4. Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan

makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan ilahi yang melingkupi makhluk -

Nya. Yang berbicara Ana Al-Haq bukanlah al-Hallaj pribadi, melainkan Tuhan

sendiri melalui mulut al-Hallaj.

Daftar Pustaka:

Massignon Louis, Al Hallaj, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, tt)

As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)

Rosihon anwar dan Mukhtar sholihin, ilmu tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, tt)

Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : PT. Pustaka

Panjimas)

Basthul Birri Maftuh, Manaqib 50 Wali Agung, (Kediri:Lirboyo, 1999)

Page 13: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

At Thawasin Al Azal

Oleh Hussain bin Manshur Al-Hallaj

1. Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad S.A.W) 2. Thasin Al Fahm (Pemahaman) 3. Thasin Al Shafa (Kebeningan) 4. Thasin Al Dairah (Lingkaran) 5. Thasin Al Nuqthah (Titik) 6. Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita Eterniti / Keabadian dan Kekeliruan Pemahaman) 7. Thasin Al Masyi-ah (Kehendak) 8. Thasin Al Tauhid (Keesaan) 9. Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam Tauhid) 10. Thasin Al Tanzih (Kesucian, Keterbebasan) 11. Thasin Bustan Al Ma‟rifah (Taman Pengetahuan/Ma‟rifat)

Page 14: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad SAW)

1. Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban,ia terpancar dan (tampak) kembali, dan melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang, yang menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia bintang yang graha perbintangannya di Langit „Azaly. Allah menyebutnya „ummi (awam) atas dasar keterpusatan aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan syafa‟atnya, dan makki (pusat) karena kedekatannya di Hadirat-Nya.

2. Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya, dan mengangkatnya dari beban “yang memberati punggungnya” (Q. 94: 2-3) serta Dia tetapkan kewenangannya. Sebagaimana Allah membuat „Badr‟-nya terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya bersinar gemerlap dari sumur Karamah (Zamzam).

3. Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut pandangan (bashirah) batinnya, dan tidak mewajibkan diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnah-nya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya.Ia telah „melihat‟ (Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan batas (halal-haram) perilaku.

4. Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya, maka tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.

5. Tiada seorang arif („irfan) pun yang merasa „kenal‟ padanya, yang tidak keliru mengenali

kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab, mereka mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]

6. Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Gaib.Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini.

Page 15: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului „Tiada‟ („Adam), namanya mendahului „Pena‟ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum apa pun.

8. Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad, dan harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.

9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia senantiasa diingat sebelum adanya „sebelum‟ dan setelah adanya „setelah‟, juga sebelum ada substansi dan kualitas. Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab, kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah damai, dan sebutannya adalah „ummi (awam).

10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada. Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang „menyatu‟ dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.

11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah „pembeda‟, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia untuk membasmi pemujaan.

12. Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap pengetahuan

Page 16: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

hanyalah setetes dari samuderanya, segenap kearifan hanyalah secauk dari bengawannya, dan segenap waktu hanyalah sesaat dari masanya.

13. Allah („ada‟) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan ma‟rifatnya bersifat lahir.

14. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.

15. Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya, sebab ia adalah „ia‟, dan ia adanya bersama Dia, sedangkan Dia adalah „Dia‟.

16. Tidak ada apa pun yang keluar dari „Mim‟ (م )-nya Muhammad (محمد ), dan tidak ada

yang masuk ke „Ha‟ ( ح)-nya. Adapun „Ha‟ (ح)-nya sebagaimana „Mim‟ (م)-nya yang

kedua, sedangkan ‟Dal‟ (د)-nya seperti „Mim‟ (م)-nya yang pertama. „Mim‟ (م)-nya yang

pertama adalah peringkat (maqam)-nya, serta „Ha‟ (ح)-nya adalah

keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana „Mim‟ (م )-nya yang kedua.

17. Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)-nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya tidak mampu [memalsu Al-Qur‟an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.

18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari‟at-nya, adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir, dibandingkan hikmahnya.

__________________________________________________

Page 17: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Fahm (Pemahaman)

1. Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3. Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'), musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.

5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu. Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini

Page 18: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.

7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.

8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)

__________________________________________________

Page 19: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Shafa (Kebeningan)

1. Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit menguraikannya. Jalan untuk

menempuhnya sempit, dan tentang jalannya itu, seorang penempuh (salik) harus mengarungi

'kobaran api' di tengah gurun yang dalam. Seorang asing (gharib) telah mengikuti jalan ini,

dan menyampaikan bahwa apa yang dialaminya ada empat puluh Maqam, yaitu:

1. Kesopansantunan ['adab],

2. Kegentarhatian [rahab],

3. Kejerihpayahan [nashab],

4. Penuntutan-diri [thalab],

5. Ketakjuban ['ajab],

6. Peniadaan ['athab],

7. Pemujaan [tharab],

8. Pendambaan [syarah],

9. Penjernihan [nazah],

10. Kelurusan [shidq],

11. Persahabatan [rifq],

12. Persamaan [litq],

13. Keberangkatan [taswih],

14. Penghiburan [tarwih],

15. Ketajaman [tamyiz],

16. Penyaksian [syuhud],

17. Keberadaan [wujud],

18. Penghitungan ['add],

19. Pengupayaan [kadda],

20. Pemulihan [radda],

21. Perluasan [imtidad],

22. Pengolahan [i'dad],

23. Penyendirian [infirad],

24. Pengendalian [inqiyad],

25. Kemauan [murad],

26. Kehadiran [hudur],

27. Pelatihan [riyadhah],

28. Kehati-hatian [hiyathah],

Page 20: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

29. Penyesalan [iftiqad],

30. Kedayatahanan [istilad],

31. Pengawasan [tadabbur],

32. Keterkejutan [tahayyur],

33. Perenungan [tafaqqur],

34. Kesabaran [tashabbur],

35. Penafsiran [ta'abbur],

36. Penolakan [rafdh],

37. Pengoreksian [naqd],

38. Pengamatan [ri'ayah],

39. Pembimbingan [hidayah],

40. Permulaan-jalan [bidayah].

Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang Hatinya tenang dan suci (shufi).

2. Tiap maqam memiliki keadaan (hal) spiritualnya sendiri sebagai pahalanya, yang

sebagiannya mungkin diperoleh dan sebagian lainnya tidak.

3. Adapun sang Gharib yang telah mengharungi gurun (hakikat) dan menyeberanginya, telah

mencakupnya serta memahaminya secara keseluruhan. Ia tidak memperoleh sesuatu yang

lazim ataupun biasa, tidak di gunung ataupun di darat.

4. "Ketika Musa (as) menunaikan tugasnya", ia meninggalkan ummatnya karena hakikat

akan merengkuhnya sebagai 'milik'-Nya. Tapi, masih juga ia berpuas dengan penerangan

semu tanpa pandangan (bashirah) batin langsung, sehingga ada perbedaan antara ia dan

sang Insan Kamil [Muhammad saw]. Karena itu ia (Musa as) berkata: "Siapa tahu aku

dapat membawa sedikit penerangan untukmu." [Q. 20: 10]

5. Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan semu, bagaimana dapat

seseorang yang menempuh jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya dengan jejak semu.

6. Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang kedengarannya difirmankan Semak

bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman) Allah.

7. Dan peranan 'aku' adalah seperti 'Semak' itu.

Page 21: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

8. Jadi, hakikat adalah 'hakikat' dan makhluk adalah 'makhluk'. Makanya buanglah sifat

kemakhlukanmu, supaya kau sesuai dengan-Nya, beserta Dia -- kau pun dalam liputan

hakikat.

9. 'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek dalam hakikatnya.

Soalnya adalah bagaimana itu terurai?

10. Allah berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu) pada Bukti (al-

Hujjah)," tapi bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku adalah 'Bukti' dari

setiap bukti.

11. Allah membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan kesepakatan, perjanjian, dan

persekutuan. Rahasiaku adalah penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan)

pribadi makhlukku. Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.

12. Allah memfirmankan pengetahuanku melalui 'aku' dari hatiku. Dia menarikku dekat

pada-Nya setelah jauh dari-Nya. Dia membuat aku menjadi Sahabat (Waly)-Nya, Dia

memilih aku…

_________________________________________________

Page 22: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Dairah (Lingkaran)

1. Pintu „ba‟ (ب) pertama melambangkan seseorang yang menjangkau lingkaran Kebenaran.

Pintu „ba‟ (ب) kedua melambangkan orang yang menjangkaunya, yang setelah

memasukinya, sampailah ia ke pintu yang tertutup. Pintu „ba‟ (ب) ketiga melambangkan seseorang yang tersesat di gurun Sifatnya-Kebenaran.

2. Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab jalannya terjegal dan sang penempuh (salik) disuruh kembali. Adapun noktah di atas melambangkan hasratnya. Noktah yang lebih bawah melambangkan kembalinya ke titik-tolaknya, dan noktah di tengah adalah kebingungannya.

3. Lingkaran dalam tidak memiliki pintu „ba‟ (ب), dan „titik‟ yang ada di dalamnya adalah pusat Kebenaran.

4. Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir maupun batin, tidak ada yang luput. Dan, ia pun tidak direkayasa.

5. Andaikan kau berhasrat memahami apa yang aku terangkan ini.“ambillah empat ekor „burung‟, cincanglah buatmu,” (QS. 2: 260) sebab Al-Haqq (Allah) „tak-terbang‟.

Page 23: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

6. Adalah kecemburuan-Nya yang membuat ia tampak, setelah Dia menyembunyikannya. Adalah keterpesonaan yang menjaga keterpisahan kita. Adalah kebingungan yang mencabut kita dari-Nya.

7. Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran Asal, ataupun rancangan Bidang. Dan, yang lebih licin lagi adalah memfungsikan kearifan secara batin, karena ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.

8. Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari wilayah luar, bukannya dari wilayah dalam.

9. Adapun tentang pengetahuannya-pengetahuan Kebenaran, sang pengkaji tidak memahaminya, karena ia tidak mampu. Pengetahuan menunjukkan tempat, sedang lingkaran itu „tempat‟ yang terlarang [haram].

10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy, sebab hanya ia seorang yang keluar dari Lingkarang Haram itu.

11. Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan jubah Kebenaran. Ia keluar dan

menyerukan “Ah!!!” (اح) kepada segenap makhluk.

_________________________________________________

Page 24: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Nuqtah (Titik)

1. Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik „AzaliyAda yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik „Azaliy yang berupa Asal, dan yang (keberadaannya) tidak bertambah ataupun berkurang, tidak juga habis sirna dirinya.

2. Orang yang mengangkal keadaan (hal) batinku telah menyangkalnya, karena tidak mengetahui aku, malah menyebutku bid‟ah. Dituduhnya aku dengan sebutan Iblis, serta dianggapnya kekeramatanku sebagai praktik perdukunan, juga demikian terhadap lingkaran suci yang berada di luarnya-luar jangkauan, yang dicemoohkannya.

3. Orang yang menjangkau lingkaran kedua membayangkan aku menjadi sang Pemangku Ilham.

4. Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku berada di bawah pengaruh nafsu.

5. Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran melupakan aku, bahkan perhatiannya beralih dariku.

6. “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada hari itu hanya Tuhan penolongmu untuk kembali. Juga pada hari itu setiap manusia akan diberi tahu tentang perbuatan yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11-13)

7. Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan semu, melarikan diri pada sang pelindung, mengkhawatiri pertanda-pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan akibatnya tersesat.

8. Aku terisap ke kedalaman samudera kelanggengan (baqa‟). Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran itu sibuk di pantai samudera pengetahuan dengan pengetahuannya sendiri, luput pandangan (bashirah) batinnya dariku.

9. Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang terbang dengan dua sayap Tashawuf. Ia menyangkal kekeramatanku, sebagaimana ia terus membumbung dalam penerbangannya.

10. Ia menanyai aku tentang kesucian-batin, dan aku menjawabnya: “Pangkaslah sayapmu dengan gunting penyirnaan-diri (fana‟). Kalau tidak, kau tidak dapat mengikuti aku.”

Page 25: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju Kekasihku.” Aku katakan kepadanya: “Hati-hati buat kau! Sebab, tidak ada yang menyerupai-Nya. Hanya Dia sang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia jatuh ke samudera kearifan dan hilang tenggelam.

12. Orang dapat menggambarkan samudera kearifan sebagai berikut:

Aku „melihat‟ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa: “Siapakah Engkau?” Dia menjawab: “Kau!” Namun, bagi-Mu, „di mana‟ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada „di mana‟ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun tidak punya bayangan tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu, yang memungkinkan akal mengetahui „di mana‟ adanya Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi setiap „di mana‟, mengatasi „titik‟ yang tak di mana-mana. Jadi, „di mana‟ Engkau adanya?

13. Sebuah titik-tunggal yang unik dari lingkaran (titik-titik), menandakan beragamnya

anggapan tentang kearifan. Adalah sebuah titik-tunggal saja yang dirinya berupa Kebenaran, sedangkan sisanya merupakan kekeliruan.

14. Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi‟raj) – “ia tampak kembali” saat kemuncakannya

(transenden). Karena pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak kembali. Ia menanggalkan hatinya „di sana‟, dan begitu dekat kepada-Nya. Ia sirna (fana‟) ketika „melihat‟ Allah, kendati demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana‟ ul-fana‟). Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir? Bagaimana mungkin pula ia tampak dan sekaligus tak-tampak?

15. Dari ketakjuban ia melintas ke pencerahan, dan dari pencerahan ke ketakjuban. Dengan kesaksian Allah, ia „menyaksikan‟ Allah. Ia sampai dan sekaligus pisah. Ia mencapai Pujaan-Nya, dan terputus dari hatinya. “Hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya.” (QS. 53: 11)

16. Allah menyembunyikannya ketika membuatnya begitu dekat. Dia mengangkatnya dan menyucikannya. Dia membuatnya dahaga dan menyegarkannya. Dia menyucikannya dan

Page 26: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

memilihnya. Dia menyerunya dan memerintahkannya. Dia menimpainya Cobaan dan menjenguknya untuk membantunya. Dia mempersenjatainya dan mendudukkannya di atas pelana.

17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia kembali, ia pun mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia menjawabnya – merasa dilihat, ia rendahkan dirinya. Karena minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia dicekam keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya dari Kota serta para pembantunya, ia pun terpisah dari bisikan nurani, dari pandangan, juga dari lamunan makhluk.

18. “Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau bertambah sedih. Matanya tidak goyah atau lelah oleh suatu „Saat‟ dari sejatinya masa.

19. “Sahabatmu tidak tersesat” dalam tafakurnya mengenai Kami. Ia tidak menyeberang dalam kunjungannya kepada Kami, tidak juga melanggar terhadap Risalah Kami. Ia tidak membandingkan Kami dengan yang lain kalau membicarakan Kami. Ia tidak menyimpang di taman zikir dalam tafakurnya mengenai Kami, tidak juga tersesat dalam pengembaraan di alam fikir.

20. Cukuplah ia mengingat Allah (zikru‟llah) dalam tarikan nafasnya, dan kerdipan matanya. Bertawakkal kepada-Nya dalam kesusahan, dan bersyukur atas nikmat-Nya.

21. “Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53: 4) dari Cahaya ke „Cahaya‟.

22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan, angkatlah kakimu tinggi-tinggi dari manusia serta makhluk lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan selaras dan sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang melampaui gunung dan lembah, gunung kesadaran dan lembah perlindungan, agar „melihat‟ Dia yang kau puja-puja. Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah Suci (Ka‟bah).

23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Allah, seperti seorang ‟asyiq yang memasuki Ma‟syuq. Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan, dan dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat sebagai pencari, dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali sebagai „Abdi. Ia begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali dengan bai‟at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai seorang saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.

Page 27: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia membidik tanda „di mana‟ [„ayna] dengan panah „di antara‟ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.

25. Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-„Addah) Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj, berkata:

26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk orang yang sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].

27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab ataupun Persia.

28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf „mim‟ ( م ), yang merupakan huruf pertanda “apa yang ia pancarkan.”

29. „Mim‟ ( م ) yang menandakan “Yang Terakhir”.

30. „Mim‟ ( م ) yang juga merupakan untaian “Yang Terawal”. Rentangan busur pertamanya adalah „Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya adalah „Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya adalah untaian dua „Alam itu. Serta Zat-Nya yang Khusus Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang Mutlak, panahnya dua rentangan.

31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api Iluminasi (tajalliy).

32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah yang pengertiannya merupakan gambaran kedekatan. Adapun sang Firman dari pemaknaan ini adalah Kebenaran Allah, bukan metode ciptaan-Nya. Dan, kedekatan ini juga hanya berlaku dalam lingkaran ketepatan yang amat sangat tepat.

33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Allah) ini terdapat dalam halusnya perbedaan, lewat pengalaman sebelumnya, dengan memakai penangkal yang dibuat oleh sang pecinta, untuk membalas keterputusannya dengan segenap kecintaan (makhluk), di pelananya yang sampai secara berbarengan, karena bahaya terus mengancam, serta tajamnya perbedaan, yang diatasinya dengan ayat pembebasan. Inilah jalan (shufi) yang terpilih dalam

Page 28: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

memperhatikan Diri pribadi. Dan, kedekatannya terlihat sebagai areal luas, agar sang arif („irfan) yang taat mengikuti jalannya tradisi nubuwah ini dapat dipahami adanya.

34. Sang Junjungan Yatsrib (Muhammad), shalawat dan salam atasnya, memaklumkan keagungan yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak-tergugat, yang terawat dalam “Kitab Tersembunyi” (QS. 56: 78), sebagaimana Dia menyatakannya dalam Kitab (alam) Terbuka, dalam “Kitab Tertulis” yang menerangkan makna bahasa burung, ketika Dia mengangkatnya „ke sana‟.

35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).

36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah tanpa pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui sesuatu itu “miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa merasa adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun tanpa air di suatu “gurun tanpa air”, juga sebagaimana pertanda di suatu “pertanda”.

37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun mengalihartikan maksudnya, sedangkan maksudnya terlihat dari kejauhan. Jalannya sulit, namanya agung, tampilannya unik. Pengetahuannya adalah ketidaktahuan, ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal, keawamannya adalah sumber rahasianya. Namanya adalah Jalannya, karakter-lahirnya adalah kehangatannya, dan perlambang-batinnya adalah kegairahannya.

38. Hukum syari‟at [syar‟iy] adalah ciri-khasnya, kebenaran [haqa‟iq] adalah gelanggangnya dan keagungannya. Jiwanya adalah serambinya, Syaitan adalah pengajarnya, dan setiap musafir yang ada dijadikannya sebagai kerabatnya. Keinsanan adalah nuraninya, kerendahhatian adalah kemuliaannya, kefanaan adalah subyek zikir-nya, istri adalah tamansarinya, dan fananya-fana adalah singgasananya.

39. Pelindungnya adalah perlindunganku, prinsipnya adalah peringatanku, syafa‟atnya adalah permohonanku, karunianya adalah persinggahanku, dan duka-citanya adalah kesedihanku.

40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan bajunya bukan apa-apa kecuali sekadar pengelap debu-(ku). Ajarannya adalah dasar pijakan keadaan (hal) batinnya, sedangkan keadaan batinnya adalah kefanaan. Kendati demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat menjadi obyek kemurkaan Allah. Makanya cukuplah ini, semoga rahmat Allah besertamu.

Page 29: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan pemahaman)

[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat berhubungan dengan wacana publik tentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...]

1. Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya, berkata: "Tidak ada

misi yang tangguh kecuali yang diemban Iblis dan Muhammad, shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."

2. Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada Muhammad: "Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud, dan Muhammad pun tidak menengok. Ia tidak berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan, tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)

3. Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke kemampuan awalnya.

4. Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali ke kemampuannya.

5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji."

6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang seperti Iblis.

7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya.

8. Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia didakwa ketika menuntut kesendirian (Allah) mutlak.

Page 30: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

9. Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia menjawab: "Tidak, kepada yang selain Engkau." Dia berfirman lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?" Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"

10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan alasanku (ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku -- Iblis, hingga dibedakan dari-Mu!"

11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau, ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."

12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru menjadi mitraku. Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini, yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"

13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku, aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."

14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak bergantung atasnya, bahkan

Page 31: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya berubah."

15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa, pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia) dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku adalah ingatan-Nya. Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung, sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."

16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau menahanku, baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk-kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku. Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."

17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titah-Nya, bukannya aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku. Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."

18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang khusyuk dalam 'cinta'!"

19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal)

spiritualnya 'Azazyl (عزازيل) [sebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang amalan yang baik. Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang perbuatan yang jahat."

Page 32: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali) yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat ditenun dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya, malaikat mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala." Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya, niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."

21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."

22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan pernyataanku, aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."

23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as) mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.

24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya, maka kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)! Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang Kebenaran!"

25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan tidak mencabut pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut pernyataannya ataupun mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa Allah pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?"

26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa aku mencabut pernyataan tegasku!

27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama pertamanya, 'Azazyl (عزازيل).

'Ain'-nya (ع) menunjukkan keluasan ikhtiarnya,

'zay'-nya (ز) adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-Nya),

'alif'-nya (ا) sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,

'zay'-nya (ز) yang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya,

Page 33: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

'ya'-nya (ي) langkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan

'lam'-nya (ل) ketegarannya dalam kesakitannya.

28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi, bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat diakurkan. Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih sempurna."

29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah milik-Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik-Mu. Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika Engkau mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as), Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu. Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."

30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai Penguasaku, demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran prinsip, tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya) menjadi seorang Syahid!

31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia dibebastugaskan ('uzyla), dibebastugaskan dari kesucian purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia tidak keluar dari akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.

32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-dirinya. Ia mendapatkan dirinya antara api tempat peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.

33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api telah membakarnya. Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-annya adalah kesia-siaan -- itulah ia adanya!

Page 34: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan sempit di kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita serta penuh kegelisahan.

35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para 'arifin tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis). Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.

36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Allah), sedangkan Iblis menolak (bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.

37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan pikirannya kesasar, sehingga ia berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir, tidak menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung kutukan di atas pundaknya hingga Akhir Ke-'baqa'-an Masanya-Masa Ke-'baqa'-an nanti...

_________________________________________________

Page 35: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)

1. Inilah penggambaran tentang Taqdir Ilahi. Lingkaran ( o ) pertama adalah Kehendak [masyi‟ah] Allah, dan ( o ) kedua adalah Hikmah-Nya, serta ( o ) ketiga adalah Kuasa-Nya, sedangkan ( o ) keempat adalah Ilmu-Nya yang „Azaliy.

2. Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan menempuh ujian dari

(lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku melintas ke yang kedua, aku harus menempuh ujian dari (lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang keempat.”

3. Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila aku istirah di „tidak‟ pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan („tidak‟) yang kedua, dan dibuang sampai aku mengucapkan („tidak‟) yang ketiga. Jadi, apakah yang keempat berarti bagiku?

4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu ada lingkaran-lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang keempat?

5. Adapun „Alif‟ ( ا ) dari „La‟ ( ال ) yang kelima adalah “Dia – Tuhan, Sang Hidup.” (QS. 2: 255)

_________________________________________________

Page 36: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Tauhid (Keesaan)

1. Dia – Allah, Sang Maha Hidup (Al-Hayy).

2. Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan „saksi‟ sebagai yang Satu.

3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah „di Dia‟ dan „dari Dia‟.

4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya, dan itu dapat dilambangkan demikian ini:

[Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol „wahdaniyah‟ ini dilambangkan oleh „Alif‟

( ) ‟panjang, dengan sejumlah „dal ( ا ) di dalamnya. Adapun „Alif‟-nya ( د merupakan ( ا

Zat, dan „dal‟-nya ( [.sebagai Sifat ( د

5. Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang mandiri, dan perlambangnya demikian ini:

[Inilah „Alif‟ ( ) ‟purba-Nya Zat (‟Alif‟ panjang) dengan „alif-alif ( ا lainnya, yang ( ا ا

merupakan wujud-wujud makhluk, dan yang hidup di atas „Alif‟ ( [.utama ( ا

6. Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan ketauhidannya, dan bukan sifat sang Obyek yang tersaksikan Satu.

Page 37: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

7. Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku membuat-Nya juga mengatakan “Aku”? Tauhidku datang dariku, dan bukan dari-Nya. Dia suci [munazzah] dariku dan Tauhidku.

8. Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali ke „ia‟ yang mengatakannya,” maka aku membuatnya (Tauhid) sebagai suatu makhluk.

9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa (Tauhid) ke pernyataannya tentang Penyatuan itu?

10. Andai kukatakan: “Memang, Tauhid adalah hubungan yang mengaitkan sang Obyek ke subyeknya,” maka aku telah mengarahkan hal ini ke sebuah ketentuan nalar!

____________________________________________

Page 38: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam Tauhid)

1. Adapun perlambang “Thasin Al Asrar fi al Tauhid : Kesadaran-Diri dalam Tauhid” adalah demikian ini:

[„Alif‟ ( ا ) panjang – Penyatuan; Tauhid. „Hamzah‟ ( ء) – kesadaran-diri, beberapa di

satu sisi dan beberapa lagi di sisi lainnya. „Ain‟ ( ع) di awal dan akhir – Zat.]

Kesadaran-diri itu berproses dari-Nya, kembali pada-Nya, dan beredar di dalam-Nya. Kendati demikian, secara nalar semuanya tidak penting (bagi-Nya).

2. Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman subyek, sebab Dia tidak

tercakup dalam subyek atau dalam obyek ataupun dalam kata-ganti lainnya. Akhiran

kata-bendanya juga tidak terliput pada Obyeknya. Kata-kepunyaan „ha‟-nya ( ح) adalah

milik „Ah‟-nya ( حا), dan bukan „Ha‟ ( ه) lain, yang tidak membuat kita bertauhid.

3. Bila kukatakan tentang „Ha‟ ( ه) ini „Wa-Ha‟ (وه), yang lainnya akan berseru padaku, “Malangnya!”

4. Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang menembus (Tauhid) ini, sehingga kita dapat „melihat‟ Allah melalui keadaan (hal) senyatanya.

5. Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang tersusun rapi”. Inilah ketentuannya, dan Penyatuan Allah (Tauhid) tidak terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati demikian, setiap ketentuan adalah batasan, dan sifat batasan hanya berlaku bagi obyek-terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid tidak mengakui pembatasan tersebut.

6. Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana Allah, bukannya Zat Allah.

7. Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena peran kebahasaan dari suatu istilah dan pengertiannya yang pas, tidak berpadu satu sama lain, ketika menyangkut

Page 39: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

sebuah imbuhan. Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu, ketika menyangkut Allah?

8. Kalau kukatakan: “Tauhid terpancar dari-Nya,” maka aku menggandakan Zat Ilahi, dan membuat pancaran dari Dirinya sendiri, ada bersama dengan-Nya, „ada‟ ataupun „tiada‟ Zatnya secara bersamaan.

9. Andai kukatakan bahwa „ada‟-nya tersembunyi „di dalam‟ Allah, dan Dia mengejawantahkannya. Bagaimana itu tersembunyinya, sedangkan di (Allah) sana tidak ada „bagaimana‟ atau „apa‟ ataupun „ini-itu‟, dan di sana juga tidak ada tempat [„dimana‟] yang memuat Dia.

10. Sebab, „di dalam ini-itu‟ adalah ciptaan Allah, sebagaimana adanya „di mana‟.

11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa substansi. Dan, yang tidak terpisahkan dari jasad bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang tidak terpisahkan dari ruh bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan sebuah perpaduan (spiritual).

12. Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek kita] dan memisahkannya dari kalimat tambahan, pemaduan, penghitungan, peleburan dan penyifatan.

13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri atas tindakan Allah, yang kedua terdiri atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk) ciptaan.

14. Sedangkan (lingkaran) titik-pusat melambangkan Tauhid, tetapi bukan (sebenarnya) Tauhid. Kalau tidak, bagaimana mungkin itu terpisahkan dari lingkaran?

____________________________________________

Page 40: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan)

1. Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok perlambangnya:

2. Inilah kesemestaan yang dapat memperlihatkan kepada kita mengenai fatwa dan hukum (Tauhid), juga buat para pakar, ahli „ibadah dan ahli madzhab, ahli fiqih dan ahli kalam.

3. Lingkaran pertama adalah „perasaan‟ harfiah, yang kedua adalah „rasa‟ batin, dan yang ketiga adalah kias „ruh‟ (yang tidak terkiaskan).

4. Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun digubah, yang dipakai, ditapis, disaring, disangkal, yang dibuai ataupun dibius.

5. Ia beredar dalam kata-ganti „kami‟ subyek-subyek pribadi. Seperti sebatang panah, ia menembusi sekujur mereka, melengkapinya, mengejutkannya, dan membalikkannya. Ia juga menakjubkan mereka, meneranginya, dan ia mempesonakannya saat „menemui‟ mereka.

6. Itulah keseluruhan substansi dan kualitas makhluk. Adapun Allah tidak berhubungan dengan perumpamaan ini.

7. Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah (refleksi) Tauhid.

8. Bila kukatakan bahwa Tauhid Allah itu shahih, orang akan menjawabku – “Tidak sangsi lagi!‟

Page 41: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

9. Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya: “Adakah maknanya Tauhid itu tamsil?” Padahal, tidak ada perbandingan saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu tidak ada hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab faktanya mengungkapkan bahwa sejumlah waktu itu mengintrodusir kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah menambahkan pengertian pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu bergantung. Bagaimanapun, kebergantungan bukanlah sifat Allah. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran maupun apa yang gaib, tidak mungkin terpancar (keluar) dari Zat-Nya Zat.

10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,” „Firman‟ adalah sifatnya Zat, bukan Zat itu sendiri.

11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai yang Satu,‟ „Kehendak‟ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.

12. Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan kita.

13. Jika kukatakan: “Tidak, ‟ia‟ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah aku menyatakan bahwa Tauhid adalah makhluk?

14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka apakah pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?

15. Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku mengatakan bahwa Allah adalah zatnya-Zat, dan „ia‟ (Tauhid) adalah Dia?

16. Inilah “Tha-Sin” yang membicarakan tentang penyangkalan atas alasan-alasan sekunder,

dan inilah lingkaran-lingkarannya, dengan „La‟ ( ال) yang tertulis di sini sebagai sosoknya:

Page 42: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

17. Lingkaran pertama adalah pra-Kelanggengan, yang kedua Keterangjelasannya, yang ketiga Dimensinya, dan yang keempat Berpengetahuannya.

18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.

19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang Pengetahuan, dan tidak bertemu. Yang kedua membuka Gerbang Penyucian, dan tidak bertemu. Yang ketiga membuka Gerbang Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat membuka Gerbang Pemaknaan, dan tidak bertemu. Tidak seorang pun „ketemu‟ Allah dalam Zat-nya atau dalam Kehendak-Nya, tidak dalam pembicaraan, apalagi dalam Dia-nya „Dia‟ Sejati.

20. Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia terjangkau oleh segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi orang kebatinan.

21. Inilah “Tha-Sin” tentang Nafi‟-Itsbat (Penyangkalan dan Penegasan) dan inilah penjabarannya:

22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang kebanyakan („amm), yang kedua pemikiran orang terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang menggambarkan „Ilmu Allah ada di antara

keduanya. Adapun „La‟ (ال) yang tertutup lingkaran adalah penyangkalan atas segenap

dimensi. Dua „ha‟-nya (ح) adalah perangkatnya, seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke atas. Di luar itu berawal ketergantungan (makhluk).

23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan pemikiran orang terpilih (tercebur) ke samudera kearifan. Tetapi, dua samudera itu akan mengering, dan jalan yang mereka tandai akan terhapus. Pikiran dan pemikiran itu akan lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya akan hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.

Page 43: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

24. Sedangkan di hadirat Keilahian Allah, Dia tetap „Ada‟, mengatasi sekalian makhluk yang bergantung. Segenap puji bagi Allah, yang tidak terjangkau oleh alasan sekunder. Bukti-nya sangat kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia, Tuhan Sang Kemegahan dan Keagungan serta Kemuliaan. Maha Satu yang „Tiada-Terbilang‟ dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan, hitungan, awalan atau akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya „Tiada-Terbayang‟ karena Dia bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-Nya, Penguasa Keluasan dan Keluhuran (QS. 55: 27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.

____________________________________________

"THASIN": Pencapaian Sang Laron

Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.

Lalu ia kembali ke rekan-rekannya, dan menceritakan

keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan.

Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api

dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

Cahayanya nyala api itu adalah Pengetahuan hakikat,

panasnya adalah Kenyataan hakikat,

dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran hakikat.

Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya,

sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung.

Sementara itu rekan-rekannya menantikan kedatangannya,

supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya,

karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja.

Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),

musnah dan buyar ke dalam kepingan-kepingan,

yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal!

Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke rekan-rekannya?

Dan keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang?

Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin,

niscaya sanggup terlepas dari perkabaran saja.

Page 44: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin,

tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya...

(: Dari Fragmen "THAWASIN" Al-Hallaj...)

"THASIN TITIK 'AZALI"

(Sebuah Fragmen dalam "THAWASIN" Al-Hallaj)

... aku 'melihat' Tuhanku dengan mata hatiku,

aku menyapa: "Siapakah Engkau?"

Dia menjawab: "Kau!"

namun, bagiku, 'di mana' tak memiliki tempat,

dan tak ada 'di mana' ketika perhatian menyangkut-Mu,

akal pun tak punya bayangan

tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu,

yang mengizinkan akal mengetahui 'di mana' Engkau adanya...

Engkau adalah 'Sesuatu' yang meliputi setiap 'di mana',

mengatasi 'Titik' yang 'tak-di mana-mana'.

jadi, 'di mana'-kah Engkau adanya...?

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab, terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd Arhman At-Tarjumana

Page 45: 76551510 TAWASIN Kitab Kematian

AM. SANTRIE lahir & besar di Bandung, & pernah menjalani kehidupan dgn berbagai

profesi. Sebelum menikah (1985) dgn Halimah -- yg telah membuahkan 7 org anak -- ia pernah

menerjuni jalan tasawuf, & keluar-masuk pesantren secara takhosus, jg mengikuti beberapa

thoriqoh mu'tabaroh. Lalu mendalami dunia sastra, dgn menulis berbagai prosa & artikel di

koran2 & majalah2, terutama di majalah sastra HORISON. Bahkan pernah memenangi

sayembara naskah sandiwara di DKJ (1981), serta menjuarai lomba cerpen di majalah

KARTINI (1982 & 1983). Begitu menikah, ia bekerja di Penerbit PUSTAKA Salman ITB

sebagai editor/penyunting, telah menyunting puluhan buku2 Islam. Di samping itu, ia pun telah

menerbitkan 2 buah buku: 1) "ALINEA" (1985), kumpulan cerpen bernafas tasawuf,

diterbitkan oleh PUSTAKA Salman ITB; dan 2) "MARTABAT (ALAM) TUJUH, Suatu

Naskah Mistik Islam dari Desa Karang, Pamijahan" (1987), dlm "WARISAN

INTELEKTUAL ISLAM INDONESIA", Editor: Ahmad Rifa'i Hasan, MA, diterbitkan

oleh MIZAN...