82223211 Pembelajaran Yang Menumbuhkan Minat Mahasiswa Berwirausaha

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

PEMBELAJARAN YANG MENUMBUHKAN MINAT MAHASISWA BERWIRAUSAHA Oleh : Darpujiyanto *)

AbstraksiPembelajaraan kewirausahaan diperlukan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan minat kewirausahaan (entrepreneurship intention) agar para lulusan perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja dari pada pencari kerja. Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk menyiapkan agar mahasiswa memiliki kesiapan untuk membuka usaha baru setelah lulus kuliah. Namun demikian pembelajaraan kewirausahaan masih memberikan perdebatan. Perdebatan adalah berkaitan dengan apakah pendidikan kewirausahaan dapat diajarkan serta metode pengajaran yang paling tepat dilakukan. Pandangan tradisional beranggapan bahwa kewirausahaan itu bakat dari lahir dan karenanya tidak dapat diajarkan. Namun beberapa studi empiris menemukan bahwa kewirausahaan dapat diajarkan, diantaranya melalui pendekatan action based learning, experiental learning dan consultation-based learning. Pembelajaraan kewirausahaan dalam upaya meningkatkan minat mahasiswa untuk berwirausaha, dalam pendekatan teori ekonomi memerlukan faktor pendorong (push) baik dari personal dan lingkungan serta faktor penarik (pull) yang berupa kesempatan-kesempatan untuk berwirausaha. Dari sudut pandang Ilmu sosial dan psikologi, teori yang paling sering dipakai dalam memperkirakan suatu dorongan perilaku adalah teori reasoned action dan teori planned behavior. Pembelajaraan kewirausahaan dalam upaya untuk meningkatkan minat mahasiswa untuk berwirausaha memerlukan: pengetahuan, ketrampilan, sikap yang akhirnya menumbuhkan perilaku berwirausaha yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Paper ini bertujuan: (1) untuk lebih memahami pro kontra pembelajaraan kewirausahaan di perguruan tinggi, (2) memahami kerangka teori pembelajaraan kewirausahaan dalam upaya meningkatkan minat mahasiswa untuk berwirausaha.

Kata Kunci: pembelajaraan kewirausahaan, minat mahasiswa berwirausaha (entrepreneruship intenstion), pendidikan tinggi *) Dosen Manajemen STIE ASIA Malang

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang

21

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

A. PENDAHULUAN Jumlah pengangguran dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini disebabkan sedikitnya lapangan pekerjaan sedangkan jumlah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi terus bertambah. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan antara jumlah lapangan pekerjaan dengan orang yang akan bekerja. Apalagi diperparah dengan timbulnya aksi PHK dari beberapa perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Masalah pengangguran sebenarnya bisa diatasi jikalau negara mampu menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin. Namun hal ini sepertinya tidak mungkin bisa secepatnya terealisasi, karena banyaknya kendala baik dari segi ekonomi maupun sumber daya manusia (SDM) itu sendiri. Berwirausaha merupakan trobosan guna menanggulangi pengangguran terdidik. Mulai tahun 2009, dukungan kegiatan kemahasiswaan menyediakan pendidikan kewirausahaan kepada mahasiswa yang punya motivasi untuk berwirausaha. Program pendidikan kewirausahaan ini masuk dalam daftar isian pelaksanaan anggaran masingmasing perguruan tinggi, sekitar 70% dari dana yang diterima setiap perguruan tinggi dipakai untuk mendukung mahasiswa dalam menjalankan bisnis (Kompas, 2011). Menurut data dari BPS tentang angka pengangguran dari tahun 2006 sampai 2009 mengalami peningkatan. Pada bulan Agustus (2006) terjadi peningkatan yakni dari 182.629 jiwa menjadi 226.261 jiwa sedangkan program diploma berjumlah 224.964 jiwa, pada bulan Februari ( 2007 ) pengangguran tercatat sebesar 409.890 jiwa sedangkan program diploma sebesar 330.316 jiwa. Sedangkan pada tahun 2008 tercatat lulusan SMA menyumbang angka yang paling besar sekitar sebanyak 3.369.959 juta jiwa diikuti pengangguran SD sebanyak 2.179. 792 juta jiwa, SMP sebanyak 2.166.619 juta jiwa, diploma/akademi sebanyak 519.867 jiwa dan universitas sebanyak 626.202 jiwa. Begitu pula data pada bulan Februari 2009 ada peningkatan pengangguran tercatat sebanyak 9.258.964 juta jiwa dari total angkatan kerja sekitar 113.744.408 juta jiwa, dari jumlah 9,39 juta jiwa penganggur tersebut sebagian besar ada didesa jika dilihat dari latar belakang pendidikan SD kebawah sebanyak 2.508.253 juta jiwa, SLTP sebanyak 2.094.378 juta jiwa, SMA sebanyak 2.341.592 juta jiwa, SMKSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 22

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

sebanyak 1.415.696 juta jiwa, sedangkan diploma sampai sarjana sebanyak 891.638 jiwa. Merupakan suatu presentase peningkatan pengangguran terdidik yang sangat tinggi di Indonesia, jumlah ini diprediksi semakin meningkat apabila tidak segera diatasi, sementara itu perusahaan perusahaan semakin selektif dalam menerima karyawan. Semua ini menuntut individu untuk bisa pandai-pandai mengatur strategi, mencari gagasan dan bersikap mandiri untuk menyiasatinya. Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi. Hampir seluruh sekolah masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat, misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat. Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan suatu negara adalah para wirausahawan. Wirausahawan adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Dewasa ini banyak kesempatan untuk berwirausaha bagi setiap orang yang jeli melihat peluang bisnis tersebut. Karier kewirausahaan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat serta memberikan banyak pilihan barang dan jasa bagi konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Meskipun perusahaan raksasa lebih menarik perhatian publik dan sering kali menghiasi berita utama, bisnis kecil tidak kalah penting perannya bagi kehidupan sosial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari fenomena yang ada tentang kenaikan jumlah pengangguran terdidik maka semakin menunjukkan pentingnya penerapan pendidikan yang dapat memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha seletah lulus. Diharapkan mahasiswa mempunyai motivasi dalamSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 23

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

berwirausaha sehingga dapat menjalankan wirausaha dengan baik dan diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran terdidik. Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi lulusan sarjananya menjadi seorang wirausahawan muda sangat penting dalam menumbuhkan jumlah wirausahawan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan sarjana akan mengurangi pertambahan jumlah pengangguran bahkan menambah jumlah lapangan pekerjaan. Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat.

B. MINAT BERWIRAUSAHA 1. Pengertian Wirausaha Kata entrepreneur berasal dari kata Prancis, entreprendre, yang berarti berusaha. Dalam bahasa Indonesia, kata "wiraswasta" berasal dari Wira yang berarti utama, gagah, berani, luhur, teladan atau pejuang. Swa berarti sendiri dan Sta berarti berdiri. Jadi wiraswasta (entrepreneur) berarti pejuang yang utama, gagah, luhur, berani dan layak menjadi teladan dalam bidang usaha dengan landasan berdiri diatas kaki sendiri. Wirausaha adalah suatu kemauan keras dalam melakukan kegiatan yang bermanfaat (Tarmudji, 1996). 2. Minat Berwirausaha Segala perbuatan manusia timbul karena dorongan dari dalam (faktor internal, push factor) dan rangsang dari luar (faktor eksternal, pull factor), tetapi tidak akan terjadi sesuatu jika tidak berminat. Secara umum minat adalah kecenderungan terhadap sesuatu (Noeng Muhadjir, 1992). Minat berdasarkan dari beberapa pendapat di atas adalah perasaan senang atau kecenderungan hati seseorang yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu dengan berpartisipasi terhadap kegiatan yang menjadi obyek kesukaannya itu. Minat mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang sebab jika seseorang tersebut mempelajari sesuatu dengan penuh minat maka dapat diharapkan hasilnya akan lebih baik. Selain itu minat adalah perasaan tertarik atau berkaitan pada suatu hal atau aktifitas tanpa ada menyuruhSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 24

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

(Tarmudji, 1991). Minat seseorang dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan seorang lebih tertarik pada suatu obyek lain. Dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas seseorang yang berminat terhadap sesuatu obyek tertentu cenderung menaruh perhatian lebih besar. Niat berwirausaha (entrepreneurial intention) dapat dilihat sebagai minat untuk menciptakan suatu organisasi baru atau sebagai perilaku mengambil resiko untuk memulai suatu bisnis baru ( Katz & Gartner, 1988). Niat (intention) dapat dilihat seperti penyebab suatu tindakan dan yang lebih tinggi adalah melaksanakan tindakan, yang lebih tinggi lagi adalah kemungkinan dalam melibatkan aksi/tindakan (Chandrashekaran, et. al, 2000). Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa kesadaran seseorang yang tertarik dan senang pada suatu usaha akan nampak dalam kegiatan mempelajari, memahami, dan berkecimpung dalam usaha itu. Aktivitas atau kegiatan yang dilandasi dengan minat kemungkinan besar akan berhasil, karena dilakukan dengan rasa senang dan tanpa paksaan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang yang berminat terhadap wirausaha akan merasa senang atau suka melakukan berbagai tindakan yang berhubungan dengan wirausaha. Minat bersifat pribadi, sehingga minat individu antara satu dengan yang lainnya berbeda. Bahkan minat pada diri seseorang dapat berbeda dari waktu ke waktu, karena minat merupakan kesediaan jiwa yang sifatnya untuk menerima sesuatu dari luar individu. Maka minat sekaligus kaidah pokok dalam menanggapi sesuatu, termasuk di dalamnya minat mahasiswa untuk berwirausaha.

C. PRO KONTRA PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN Kewiraswastaan dilihat sebagai sesuatu yang bisa diajar dan beberapa hal dilihat sebagai karakteristik personal sebagai pembawaan sejak lahir (Kuratko, 2005). Beberapa studi literatur kualitatif dan kuantitatif banyak menemukan pembelajaran melalui experiential learning telah terbukti dapat digunakan sebagai kerangka untuk pengembangan metoda danSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 25

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

kurikulum learning-centred yang baru. Experiential learning telah digunakan dalam interdisciplinary dan multi-disciplinary (Kolb, Boyatzis& Mainemelis, 2001). Experiential learning sebagai alat penghubung pendidikan dan manajemen. Pendidikan kewiraswastaan tidak sama dengan kebanyakan aspek pendidikan manajemen. Pendidikan kewiraswastaan harus dimulai dengan bekerja pada berbagai situasi untuk mengatasi banyak permasalahan. Timmons & Spinelli (2004) berpendapat bahwa kewiraswastaan adalah tak beraturan, tidak linier, dan tak dapat diramalkan. Mereka berpendapat bahwa pendidikan kewiraswastaan yang efektif harus mengakibatkan pengembangan ketrampilan dan kemampuan yang dapat menciptakan tindakan untuk dapat keluar dari kerancuan, kekacauan, dan ketidak-pastian. Seperti dicatat oleh Bandura (1991), pengalaman pribadi menjadi faktor yang paling utama yang mempengaruhi pengembangan self-efficacy. Hamer (2000) mencatat bahwa hal penting dalam penerapan pengajaran kewirausahaan berkaitan tentang metoda yang berdasar praktek (field-based) ( seperti melalui pelatihan suatu keahlian) dan sedikit didukung metoda pengajaran kelas (classroom-based) (seperti: permainan peran dan simulasi). Teknik pembelajaran experiential adalah teknik yang modifikasi format kualiah melalui ceramah sebagai metode tradisional dengan siswa bekerja melalui pengalaman yang tersusun dalam kelompok kecil (Gaidis, Andrews, & summer, 1991) untuk melaksanakan riset pemasaran nyata ( Churchill, 1986) sebelum magang full-time sebagai praktek usahawan ( Aronsson, 2004). Namun demikian, studi empiris masih memberikan banyak perbedaan yaitu apakah kewirausahaan dapat diajar atau tidak (Fiet, 2001; Hynes, 1996; Kuratko, 2005). Beberapa studi empiris menemukan hal positif bahwa kewirausahaan dapat diajarkan (seperti dilakukan oleh: et. al, 2006; Lepoutre et. al, 2005; Naomi ( 2000; Ahmad et. al, 2010; Pihie , 2009; Schreier, 1984; Douglas & Shepherd, 2002; Rasmussena dan Srheimb, 2006; Fregetto, 2002; Atherton, 2007). Demikian juga hasil penelitian Mcmullan& Gillin (1998) dan Vesper ( 1994) yang menemukan bahwa kewiraswastaan dapat diajar. Gorman& Hanlon ( 1997)Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 26

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

melakukan literatur review beberapa penelitian dalam jangka waktu 10-tahun berkaitan dengan pendidikan kewiraswastaan dan menemukan bahwa sebagian besar dari studi empiris yang disurvei menemukan kewiraswastaan dapat diajarkan melalui pendidikan kewiraswastaan. Hal ini berbeda dengan manajemen kursus/pelatihan dimana selalui menemukan hasil positif (Hostager & Decker, 1999). Riset baru-baru ini yang dilakukan oleh Raichaudhuri (2005) menemukan bahwa lebih dari 50 persen para mahasiswa yang mengambil kelas kewiraswastaan di Universitas Harvard telah memulai usaha sendiri. Donckels& Miettinen (1997) berpendapat bahwa peran pendidikan kewiraswastaan yang utama adalah menaikkan penerimaan dan kesadaran siswa untuk melakukan spekulasi dengan mengambil resiko melalui berkarir sebagai wiraswasta. Wang & Wong (2004) dalam penelitian di Singapura, menemukan bahwa sebelum mengenal pendidikan kewiraswastaan, mahasiswa mempunyai persepsi dan pengetahuan yang rendah tentang kewiraswastaan. Setelah mengambil matakuliah kewiraswastaan persepsi mahasiswa mengalami peningkatan. Lee& Wong ( 2003) dalam studinya menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan pada perguruan tinggi mempunyai hubungan langsung dalam membentuk sikap siswa dalam mengambil resiko untuk pendirian usaha baru. Penelitian Lee & Wong menduga bahwa persepsi usahawan semakin positif melalui pendidikan kewiraswastaan, namun juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan eksternal dan dukungan kewiraswastaan oleh pemerintah. Lebih dari itu, pemerintah Singapura banyak melakukan dukungan agar mahasiswa setelah lulus dapat memulai usaha baru. Niat berwirausaha (entrepreneurial intention) dapat dilihat sebagai minat untuk menciptakan suatu organisasi baru ( Katz& Gartner, 1988) atau sebagai perilaku mengambil resiko untuk memulai suatu bisnis baru (Krueger, 2000). Niat (intention) dapat dilihat seperti penyebab suatu tindakan dan yang lebih tinggi adalah melaksanakan tindakan, yang lebih tinggi lagi adalah kemungkinan dalam melibatkan aksi/tindakan (Chandrashekaran, McNeilly, Russ,& Marinova, 2000). Beberapa studi terdahulu telah menemukan suatu mata rantai yang kuat antara niat dan perilaku dalam kewiraswastaan dalam berbagai situasi ( Douglas& Gembala, 2002; Sheppard, Hartwick,& Warshaw, 1988).Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 27

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Namun beberapa studi lain menemukan bahwa kewirausahaan tidak mudah diajarkan (seperti dilakukan oleh: Audet. 2004; Shen dan Chai, 2006; Lekhotla, 2007; Lee dan Wong, 2003; Verheul, 2001; Brazeal et. al, 2008). Hal tersebut disebabkan karena dampak pembelajaran kewirausahaan seperti melalui experiental learning terhadap niat untuk berwirausaha sebagaio pilihan karir tidak dapat diukur hanya melalui persepsi jangka pendek tetapi dalam periode lama dan fluktuatif (Audet. 2004), disamping itu pembelajaran kewirausahaan perlu dukungan faktor penrik (opportunity) seperti peluang pasar dan dukungan pemerintah (Shen dan Chai, 2006; Lekhotla, 2007; Lee dan Wong, 2003; Verheul, 2001; Brazeal et. al, 2008). Fayolle et. al (2006) melakukan penelitian tentang Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan dan Lingkungan Sosial terhadap Niat Mahasiswa untuk Berwirausaha. Dalam model penelitian ini, pembelajaran experiental dalam Entrepreneur Teaching Programmes (ETP) diramalkan dapat mempengaruhi sikap, norma subyektif dan perilaku yang akhirnya dapat mempengaruhi niat mahasiswa untuk berwirausaha (entrepreneural intention). Penelitian dilakukan melalui seminar selama 3 hari dan kuesioner terhadap 275 mahasiswa tentang program pembelajaran experiental. Diskusi dilakukan dalam kelompok kecil 4-5 orang tentang pembelajan yang dilakukan. Kuesioner dilakukan untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap niat mereka untuk berwirausaha (entrepreneural intention). Kuesioner dilakukan dengan menggunakan 47 item skala likert serta 23 item personal mahasiswa (seperti: umur, jenis kelamin, pengalaman, dll.) yang diberikan setelah program pembelajaran experiental selesai dilakukan. Kuesioner niat untuk berwirausaha (entrepreneural intention) dikembangkan dari Kolvereid (1996) untuk mengukur parameter Ajzens intention. Hasil penelitian menemukan bahwa pembelajaran experiental menurunkan sikap dan norma subyektif tetapi meningkatkan perilaku dan niat mahasiswa untuk berwirausaha. Hasil penelitian menemukan hubungan positif antara pembelajaran experiental dalam Entrepreneur Teaching Programmes (ETP) dengan entrepreneural intention, artinya pembelajaran experiental dalam Entrepreneur Teaching Programmes (ETP) dapat menaikkan atau menurunkan entrepreneural intention.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 28

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Lepoutre et. al (2005) bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kewiraswastaan pada siswa sekolah menengah. Penggunaan kombinasi metode penerimaan diri (self perceived) dan pretest-posttest digunakan untuk menaksir perubahan dari tujuan usahawan, sikap dan kreativitas usahawan. Penelitian dilakukan terhadap pendidikan kewiraswastaan di 21 sekolah menengah atas dan terhadap 3130 siswa di Flanders, Negeri Belgia. Tiap sekolah diterapkan metode utama pembelajaran kewirausahaan yang berbedabeda seperti: ceramah, seminar, simulasi, magang ke industri. Model diuji terhadap dampak dan kecenderungan serta keinginan untuk bertindak. Hasil penelitian menemukan bahwa entrepreneurship education programs sangat diperlukan siswa dalam membentuk sikap dan kompetensi kewirausahaan. Tiap siswa mempunyai respon berbeda-beda terhadap entrepreneurship education programs yang dilakukan tiap sekolah. Penelitian menemukan perbedaan yang signifikan antara pre-test dan kontrol pada beberapa faktor seperti: intention to start own business, creativity, attitude towards, entrepreneurs, perceived feasibility, perceived desirability, propensity to act. Pengalaman siswa dipengaruhi oleh: perceived, perceived desirability dan propensity to act. Pengalaman juga mempengaruhi niat siswa untuk memulai suatu bisnis. Penelitian ini menyoroti pentingnya program dan hasil secara obyektif, seperti evaluasi hubungan antara para siswa dalam rangka meningkatkan efektivitasnya. Naomi ( 2000) melakukan penelitian untuk mengevaluasi program pembelajaran Student Placements for Entrepreneurs in Education (SPEED) yang berbasis experiential learning terhadap niat siswa untuk memulai usaha sebagai pilihan karir. Peneltiian dilakukan melalui pemberian angket/kuesioner terhadap siswa setelah program pembelajaran Student Placements for Entrepreneurs in Education (SPEED). Hasil peneltiian menemukan bahwa program pembelajaran Student Placements for Entrepreneurs in Education (SPEED) yang berbasis experiential learning memberikan siswa untuk memperoleh pengalaman, kepercayaan dan pengetahuan terhadap suatu bisnis atau menggunakan pengalaman baru yang mereka berhasil temukan untuk memulai usaha sebagai pilihan karir setelah meraka lulus.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 29

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Ahmad et. al (92010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menjelaskan implementasi dari pembelajaran kewirausaaan berbasis konsultasi (consultation-based) yang diadopsi oleh Universitas Nasional Malaysia ( UKM) dan untuk mengevaluasi gaya pembelajaran yang berdasar pada teori experiential learning. Penelitian ini ini juga mengamati faktor yang berperan terhadap keberhasilan program tersebut. Program SMIDECUKM pelajaran berbasis konsultasi (consultation-based) sesuai dengan teori belajar Kolb dan Lewin Field Theory. Program diarahkan pada kelompok siswa universitas melalui kasus realbusiness, karenanya memungkinkan praktek dan aplikasi pengetahuan yang mereka peroleh di kelas. Tahap pertama, program menjaring 50 siswa melalui interview yang mempunyai kualifikasi untuk mengikuti program. Sebanyak 50 siswa tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi 10 kelompok dan diberi modal untuk memulai suatu bisnis, mereka dapat melakukan konsultasi bisnis dan pendampingan selama 5 bulan. Pada bulan keenam meraka dimiinta memberikan laporan berkaitan dengan kendala, peluang, kekuatan, formulasi strategi serta kinerja usaha dan penerimaan mereka terhadap program. Penelitian ini dilakukan untuk meninjau ulang implementasi experiential learning di negara sedang berkembang ( Malaysia) dan menyediakan argumentasi kritis berdasar pada teori experiential learning. Pihie ( 2009) melakukan penelitian untuk menentukan persepsi mahasiswa terhadap niat untuk memulai usaha baru sebagai pilihan karir.Data dikumpulkan melalui pembagian daftar pertanyaan terhadap siswa. Studi dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset deskriptif pada 1,554 mahasiswa universitas mengambil bagian dalam penelitian. Setiap butir kuesioner mempunyai keandalan antara 0,74 dan 0,96. Hasil penelitian menemukan bahwa mahasiswa mempunyai prestasi sedang pada semua aspek yang berhubungan dengan terhadap niat untuk memulai usaha baru sebagai pilihan karir seperti dalam aspek manajemen, keuangan dan pemasaran. Niat mahasiswa untuk memulai usaha baru berbeda signifikan antara mereka yang mempunyai/tidak mempunyai cita-cita yang positif. Penemuan juga menunjukkan bahwa mereka merasa kewiraswastaan perlu untuk diajarkan pada universitas mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap karier usahawan. Penemuan studi ini, merekomendasikan untuk menerapkan strategi pengajaran yang memasukkan aspekSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 30

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

kemampuan manajemen, keuangan dan pemasaran dalam mendukung niat mahasiswa untuk memulai usaha baru sebagai pilihan karir.

D. KERANGKA TEORI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BERWIRAUSAHA 1. Pendekatan Teori Ekonomi Verheul (2001) dalam jurnal berjudul An eclectic theory of entrepreneurship memberikan kerangka teori penting tentang masuknya seseorang menjadi wirausaha di sektor usaha tertentu. Verheul (2001) mengemukakan dua teori berkenaan tentang motivasi untuk berwirausaha, push theory dan pull theory. Menurut push theory, individu di dorong (push) untuk menjadi wirausaha dikarenankan dorongan lingkungan yang bersifat negatif, misalnya ketidakpuasan pada pekerjaan, kesulitan mencari pekerjaan, ketidak lenturan jam kerja atau gaji yang tidak cukup. Sebaliknya, pull theory berpendapat bahwa individu tertarik untuk menjadi wirausaha karena memang mencari hal-hal berkaitan dengan karakteristik wirausaha itu sendiri, seperti kemandirian atau memang karena yakin berwirausaha dapat memberikan kemakmuran. Masuknya (entry) wirausaha dalam suatu sektor usaha ditinjau dari sisi pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Menurut Verheul (2001) pendidikan kewirausahaan dapat meningkatkan kemampuan personal dalam mengelola sumberdaya untuk keberhasilan usaha. Pendidikan kewirausahaan dapat merubah sikap dan perilaku seseorang untuk tertarik (entry) menjadi wirausaha di sektor usaha tententu. Namun, semua itu tidak mudah dilakukan dan memerlukan faktor penarik (pull factor) yaitu faktor yang disebabkan oleh kesempatan (opptunity). Pengetahun, ketrampilan, keahlian kewirausahaan perlu didukung oleh: peluang pasar, kondisi lingkungan ekonomi, persaingan industri yang mendukung. Pendidikan kewirausahaan perlu dukungan pemerintah (G1, G2,G3,G4,G5) dalam menciptakan iklim yang kondusif terhadap tumbuh kembangnya kewirausahaan.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 31

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Dengan demikian keahlian, keterampilan dan semangat individu menjadi sangat penting ketika memutuskan masuk menjadi wirausaha ( self employment) sebagai pilihan karir. Faktor luar yang ikut berperan terhadap pengembangan kewirausahaan adalah perkembangan teknologi, kehadiran lembaga keuangan penyedia modal dan jaringan hubungan antar individu (modal sosial). Faktor yang melekat pada individu yang mempengaruhi kewirausahaan antara lain kemampuan, sifat individu, preferensi, sistem nilai dan sikap mental. Ketika masuk ke sektor usaha, wirausaha perlu mempertimbangkan pendapatan sebagai imbalan kerjanya dan risiko yang harus ditanggung (risk-reward profile). Jika bekerja pada orang lain lebih menguntungkan maka seseorang akan memilih meninggalkan usaha sendiri dan memilih bekerja dengan pendapatan berupa gaji. Sebaliknya jika usaha sendiri lebih menguntungkan wirausaha memilih masuk ke sektor usaha dibanding bekerja pada orang lain. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang kerangka kewirausahaan dan peran pemerintah dapat dijelaskan melalui Gambar 1. (Verheul 2001):

Gambar 1. Kerangka Kerja untuk Menentukan Entrepreneurship Sumber: Verheul (2001)

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang

32

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Masuk dan keluar (entry/exit) dalam suatu usaha adalah gambaran tentang profil pendapatan sebagai imbalan dan risiko yang harus ditanggung dalam usaha. Jika banyak wirausaha masuk ke sektor usaha tertentu akan memberi signal pasar yang baik maka wirausaha yang sudah ada di dalam akan bertahan atau mereka yang ada di luar usaha ingin masuk pada sektor yang memberi signal pasar yang baik tersebut. Hal ini karena pendapatan lebih besar dibanding risiko yang ditanggung, namun sebaliknya jika pendapatan lebih kecil dibanding risiko yang ditanggung, para wirausaha barangkali memilih keluar dari usaha yang bersangkutan. Lee dan Wong (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh faktor lingkungan sebagai faktor penarik dan pendorong kewirausahaan. Faktor lingkungan dilihat dari faktor dalam aspek demografis (umur, gender, pendapatan, pendidikan) dan psikologis (need for achievment, locus of control, pengambilan resiko dan kebebasan). Faktor lingkungan mempengaruhi sikap dan sikap mempengaruhi pemilihan wirausaha sebagai pilihan karir melalui penciptaan usaha baru/niat berwirausaha (entrepreneurship intention). Sikap diukur dari sikap terhadap pendapatan, sikap terhadap resiko dan sikap terhadap kebebasan. Variabel sikap merupakan variabel yang dapat dibangun melalui pendidikan kewirausahaan (experiental learning). Penelitian dilakukan melalui survey terhadap 11660 responden yang merupakan mahasiswa di 2 universitas dan 4 politeknik di Singapura Tahun 2000. Dari 11660 responden, sebanyak 708 (6,07%) siap untuk memulai usaha baru. Analisis dilakukan melalui analisis binomial (regresi logistik) karena variabel terikat yang merupakan variabel dummy. Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah: adanya hubungan antara faktor umur, politeknik, pengalaman kerja dan pendidikan terhadap kesiapan untuk memulai usaha baru (berwirasuaha sebagai pilihan karir). Namun penelitian ini tidak menemukan pengaruh faktor need for achievment, locus of control, pengambilan resiko dan kebebasan serta faktor lingkungan lainnya (seperti: umur, kondisi sosial ekonomi) terhadap kesiapan untuk memulai usaha baru.

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang

33

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

2. Pendekatan Teori Sosial dan Psikologi Minat seseorang terhadap suatu obyek diawali dari perhatian seseorang terhadap obyek tersebut. Minat merupakan sesuatu hal yang sangat menentukan dalam setiap usaha, maka minat perlu ditumbuhkembangkan pada diri setiap mahasiswa. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Minat pada dasarnya adalah penerimaan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri pribadi sehingga kedudukan minat tidaklah stabil karena dalam kondisi-kondisi tertentu, minat dapat berubah-ubah, tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Minat bertalian erat dengan perhatian, maka faktor-faktor tersebut adalah pembawaan, suasana hati atau perasaan, keadaan lingkungan, perangsang dan kemauan (Chandrashekaran, et. al, 2000). Teori yang paling sering dipakai dalam memperkirakan suatu dorongan perilaku adalah teori reasoned action (Ajzen and Fishbein, 1980) dan teori planned behavior (Ajzen, 1988, Segal, Borgia and Schoenfeld, 2005). Teori planned behavior (TPB) adalah kelanjutan dari teori reasoned action (TRA) yang memasukkan pengukuran dalam control belief dan perceived behavioral control. Teori planned behavior dikembangkan untuk melihat proses dimana individu memutuskan, terikat pada tindakan tertentu. Kolvereid (Segal, Borgia and Schoenfeld, 2005) mendemonstrasikan bahwa kerangka yang dibangun Ajzen adalah model yang solid untuk memperkirakan motivasi untuk berwirausaha. Ajzen (1991) menyatakan bahwa motivasi adalah anteseden dari perilaku, dimana terkandung tiga variabel, yaitu: (1) attitude toward the behavior, merujuk pada derajat sejauh mana individu menerima ketertarikan dari perilaku yang dimaksud. Secara umum, orang yang meyakini bahwa melakukan perilaku tertentu dengan probabilitas yang tinggi, dapat memberikan hasil yang paling positif, maka orang itu akan memiliki sikap yang mendukung perilaku tersebut. (2) subjective norm, merujuk pada tekanan sosial yang diterima (perceived social norm) untuk melakukan perilaku yang dimaksud. Perceived social norms adalah pengukuran dukungan sosial terhadap perilaku dari orang lain yang penting seperti keluarga, teman, role model atau mentor.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang

(3)

perceived

behavioral

control34

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

(misalnya evaluasi diri atas kompetensi seseorang terkait dengan tugas atau perilaku). Perceived feasibility adalah pengukuran behavioral control, sama dengan konsep efikasi diri (Self-effication) dari Bandura (1991). Izquierdo dan Buelens (2008) mengembangkan model menguji dalam teori Planned Behavior dan menemukan bahwa Attitudes toward the behavior, Entrepreneurial Acts dan Students Antecedents mempengaruhi Entrepreneurial Intention, sedangkan Perceived Competencies mempengaruhi minat berwirausaha (Entrepreneurial Intention) (pre-test) dan sesudah pembelajaraan (post-test) kewirausahaan. Lin dan Chen (2006) menguji teori Planned Behavior dengan melakukan penelitian kewirausahaan pada 533 responden negara yang berbeda yaitu : 1 di Eropa (Spanyol) dan di Asie Selatan (Taiwan). Lin dan Chen (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa minat berwirausaha (Entrepreneurial Intention) dipengaruhi oleh Personal Attraction, Perceived Social, Norms Self-efficacy, sedangkan Personal Attraction, Perceived Social, Norms Self-efficac dipengaruhi oleh External demographic variables. Pada periode sebelumnya Lin dan Cohart (2002) menguji teori Planned Behavior minat kewirausahaan (Entrepreneurial Intention) dipengaruhi oleh Entrepreneurial Knowledge, Perceived Feasibility (self-efficacy), Perceived Desirability, Perceived Attraction, Perceived Social. Nasurdin et. al (2010) menemukan bahwa Role Model, Social Identification, Social Norm mempengaruhi Perceived Desirability dan Perceived Desirability mempengaruhi minat berwirausaha (Entrepreneurial Intention). Segal, Borgia dan Schoenfeld (2005) menyatakan bahwa hampir sama dengan model Ajzen di atas, model kejadian kewirausahaan dari Shapero (1982) pun memiliki dua faktor utama, yaitu perceived credibility (perceived feasibility) dan perceived desirability. Shapero and Sokol (1982) mengkonsepkan perceived desirability sebagai ketertarikan sebagai personal untuk memulai bisnis. Adapun perceived feasibility dikonsepkan melalui Entrepreneurial Self-efficacy. Entrepreneurial Intentions meningkat pada periode sebelum

pengukuran yang bersifat persepsi atas kapabilitas seseorang terkait menciptakan usahaSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 35

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

baru. Sebagai tambahan, Shapero juga menambahkan variabel ketiga, propensity to act yang konsepnya sangat dekat dengan lokus kendali (locus of control). Shapero and Sokol (1982) and Krueger (1993) berpendapat bahwa perceived desirability, perceived feasibility, and propensity to act berhubungan dengan motivasi untuk berwirausaha. Model dari Azjen and Shapero juga mempertimbangkan efikasi diri (self-efficacy), pengganti dari feasibility, sebagai prediktor yang penting. Farzier and Niehm (2008) mengemukakan bahwa motivasi berwirausaha dapat diprediksi berdasarkan persepsi atas tingkat kemenarikan karir (career attractiveness), tingkat kelayakan (feasibility) dan keyakinan atas efikasi diri (self-efficay beliefs) untuk memulai usaha. Jika dalam uraian sebelumnya Segal, Borgia dan Schoenfeld (2005) menyatakan bahwa Self-efficacy adalah pengganti dari feasibility, tidak demikian dengan Farzier dan Niehm. Farzier dan Niehm (2008) mengutip Krueger dan Brazeal (1994) yang menjelaskan bahwa Self-Efficacy berkaitan dengan persepsi dapat secara aktual diimplementasikan. Minat atas dapat kemampuan dibentuk seseorang untuk pengalaman melakukan suatu perilaku, sedangkan feasibility merujuk pada keyakinan bahwa suatu tugas melalui langsung atau pengalaman yang mengesankan yang menyediakan kesempatan bagi individu untuk mempraktekkan, memperoleh umpan balik dan mengembangkan keterampilan yang mengarah pada effikasi personal dan pengharapan atas hasil yang memuaskan (Farzier & Niehm, 2008). Pengaruh keluarga, pendidikan dan pengalaman kerja pertama adalah faktor penting dalam pengembangan kewirausahaan (Segal, Borgia, & Schoenfeld, 2005). Orang tua memberikan dampak kuat pada pemilihan karir, penelitian menunjukkan para wirausaha biasanya memiliki orang tua yang juga seorang wirausaha (Farzier & Niehm, 2008). Pendidikan dan pengalaman kerja dapat mempengaruhi pilihan karir dengan mengenalkan ide-ide baru, membangun keterampilan yang diperlukan dan menyediakan akses pada role model (Farzier & Niehm, 2008). Douglas dan Shepherd (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa aktor-faktor yang mempengaruhi minat berwirausaha ditinjau dari sikap terhadap pendapatan, kebebasan, resiko, dan berusaha. Usahawan adalah sering diuraikan dalam terminologi kekuatan atauSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 36

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

kelemahan sikap mereka dalam dimensi ini. Analisis gabungan digunakan untuk menentukan alami dan arti sikap ini dalam memilih suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Penelitian ini juga menyelidiki pengaruh sikap ini terhadap niat untuk memulai suatu bisnis. Hasil penelitian menemukan hubungan penting antara manfaat yang diharapkan dari suatu pekerjaan, kebebasan, pendapatan dan resiko terhadap kewirausahaan sebagai pilihan karir. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi minat secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul karena pengaruh rangsangan dari dalam diri individu itu sendiri. Faktor-faktor intrinsik sebagai pendorong minat berwirausaha antara lain karena adanya kebutuhan akan pendapatan, harga diri, dan perasaan senang. Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh seseorang baik berupa uang maupun barang. Berwirausaha dapat memberikan pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keinginan untuk memperoleh pendapatan itulah yang dapat menimbulkan minatnya untuk berwirausaha. Harga Diri menyebabkan manusia merasa butuh dihargai dan dihormati orang lain. Berwirausaha digunakan untuk meningkatkan harga diri seseorang, karena dengan usaha tersebut seseorang akan memperoleh popularitas, menjaga gengsi, dan menghindari ketergantungannya terhadap orang lain. Keinginan untuk meningkatkan harga diri tersebut akan menimbulkan minat seseorang untuk berwirausaha.Perasaan Senang adalah suatu keadaan hati atau peristiwa kejiwaan seseorang, baik perasaan senang atau tidak senang. Perasaan erat hubungannya dengan pribadi seseorang, maka tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu hal yang sama tidak sama antara orang yang satu dengan yang lain. Rasa senang akan diwujudkan dengan perhatian, kemauan, dan kepuasan berwirausaha. Faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi individu karena pengaruh rangsangan dari luar. Faktor-faktor ekstrinsik yang mempengaruhi minat berwirausaha antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, peluang pendidikan/pengetahuan. Lingkungan Keluarga adalah kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga yang lain. Keluarga merupakan peletak dasar bagi pertumbuhan danSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 37

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

perkembangan anak, disinilah yang memberikan pengaruh awal terhadap terbentuknya kepribadian. Rasa tanggung jawab dan kreativitas dapat ditumbuhkan sedini mungkin sejak anak mulai berinteraksi dengan orang dewasa. Minat berwirausaha akan terbentuk apabila keluarga memberikan pengaruh positif terhadap minat tersebut, karena sikap dan aktifitas sesama anggota keluarga saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan Masyarakat merupakan lingkungan di luar lingkungan keluarga baik di kawasan tempat tinggalnya maupun di kawasan lain. Masyarakat yang dapat mempengaruhi minat berwirausaha antara lain; tetangga, saudara, teman, kenalan, dan orang lain. Peluang merupakan kesempatan yang dimiliki seseorang untuk melakukan apa yang dinginkannya atau menjadi harapannya. Suatu daerah yang memberikan peluang usaha akan menimbulkan minat seseorang untuk memanfaatkan peluang tersebut. Sebenarnya banyak kesempatan yang dapat memberikan keuntungan di lingkungan kita. Kesempatan ini dapat diperoleh orang yang berkemampuan dan berkeinginan kuat untuk meraih sukses. Pengetahuan yang di dapat selama kuliah merupakan modal dasar yang digunakan untuk berwirausaha, juga keterampilan dan keahlian yang di dapat selama di perkuliahan menjadi modal dasar mahasiswa untuk mulai usaha baru.

E. PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN YANG DAPAT MENINGKATKAN MINAT BERWIRAUSAHA Wirausahawan dan innovator memiliki tiga karakteristik utama, yang terdiri dari: pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Garavan dan Barra, 1994). Pengetahuan adalah seperti pengetahuan industri, produk, teknik atau proses. Ketrampilan adalah seperti ketrampilan networking, ketrampilan manajemen, ketrampilan keuangan, ketrampilan komunikasi, ketrampilan pengambilan keputusan, ketrampilan personal (seperti ketekunan dan kerja keras). Sikap adalah sikap terhadap pengambilan resiko (risk-taking), seperti halnya kekuatan psycho-social individu dan kontek budaya, mempengaruhi perilaku bersifat wirausahawan. Sebagai konsekwensi, Pembelajaran kewirausahaan perlu memusatkan perhatian pada: (a)Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 38

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Penyebarluasan pengetahuan tentang manfaat kewirausahaan, (b) Memperoleh alat untuk menganalisis dan membaca lingkungan bisnis dalam mengembangkan perencanaan bisnis, (c) Mengembangkan ketrampilan wirausahawan, pengelolan dan bakat, (d) Motivasi individu untuk mendukung kewirausahaan, (e) Stimulasi Pemikiran kreatif, (f) Mengembangkan sikap yang positif dan keinginan untuk berubah, (g) Memberi harapan dan mendukung wirausaha baru . Pendidikan kewirausahaan tradisional bisnis, bagaimana mendapatkan memfokuskan pada penyusunan rencana proses pengembangan usaha dan

pembiayaan,

manajemen usaha kecil (Solomon dan Fernald , 1991 dan Hisrich dan Peters, 2002 dikutip Bell, 2008). Pendidikan tersebut juga memberikan pengetahuan mengenai prinsipprinsip kewirausahaan dan keterampilan teknis bagaimana menjalankan bisnis. Namun demikian, peserta didik yang mengetahui prinsip-prinsip kewirausahaan dan pengelolaan bisnis tersebut belum tentu menjadi wirausaha yang sukses (Bell, 2008). Lekhotla (2007) menemukan bahwa faktor personal seperti: keramahan, ketegasan, aktif, ambisi, inisiatif, ekspresi, suka berteman, komunikasi, dan kemampuan menjual tidak dibutuhkan untuk menjadi wirausaha sukses. Untuk memulai usaha memerlukan keahlian, ketrampilan, persiapan, melalui suatu perencanaan bisnis yang efektif. Perguruan tinggi mempunyai peran dalam pelatihan dan pendidikan yang dilakukan melalui metode ceramah (teaching of knowledge and facts), tetapi juga beragam kemampuan dan sikap (variety of skills and attitudes). Hasil penelitian menemukan bahwa pembelajaran kewiraswastaan tidak hanya dapat dilakukan di perguruan tinggi, tetapi juga masyarakat dan harus terintegrasi dengan kebijakan Pemerintah dengan menciptakan lingkungan kondusif bagi tumbuh kembangnya wirasuaha. Pendidikan kewirausahaan akhir-akhir ini lebih memfokuskan pada keterampilan dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka seperti melalui experiental learning, action based learning dan consultation based learning. Konsep experiential learning sudah banyak dikenal saat ini, namun mulai dikenal pada tahun 1971 (Kolb, 1971). Beberapa studi literatur kualitatif dan kuantitatif banyak menemukanSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 39

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

efektivitas experiential learning dalam berbagai situasi, dan telah terbukti dapat digunakan sebagai kerangka untuk pengembangan metoda dan kurikulum learning-centred yang baru (Hickcox, 1991; Iliff, 1994). Experiential learning telah digunakan dalam inter-disciplinary dan multi-disciplinary (Kolb, Boyatzis& Mainemelis, 2001). Experiential learning sebagai alat penghubung pendidikan dan manajemen. Fayolle et. al (2006) melakukan penelitian tentang Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan dan Lingkungan Sosial terhadap Niat Mahasiswa untuk Berwirausaha. Dalam model penelitian ini, pembelajaran experiental dalam Entrepreneur Teaching Programmes (ETP) diprediksi dapat mempengaruhi sikap, norma subyektif dan perilaku yang akhirnya dapat mempengaruhi niat mahasiswa untuk berwirausaha (entrepreneural intention). Penelitian dilakukan melalui seminar selama 3 hari dan kuesioner terhadap 275 mahasiswa tentang program pembelajaran experiental. Diskusi dilakukan dalam kelompok kecil 4-5 orang tentang pembelajan yang dilakukan. Kuesioner dilakukan untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap niat mereka untuk berwirausaha (entrepreneural intention). Kuesioner dilakukan dengan menggunakan 47 item skala likert serta 23 item personal mahasiswa (seperti: umur, jenis kelamin, pengalaman, dll.) yang diberikan setelah program pembelajaran experiental selesai dilakukan. Kuesioner niat untuk berwirausaha (entrepreneural intention) dikembangkan dari Kolvereid (1996) untuk mengukur parameter Ajzens intention. Hasil penelitian menemukan bahwa pembelajaran experiental menurunkan sikap dan norma subyektif tetapi meningkatkan perilaku dan niat mahasiswa untuk berwirausaha. Hasil penelitian menemukan hubungan positif antara pembelajaran experiental dalam Entrepreneur Teaching Programmes (ETP) dengan entrepreneural intention, artinya pembelajaran experiental dalam Entrepreneur Teaching Programmes (ETP) dapat emnaikkan atau menurunkan entrepreneural intention. Shen dan Chai (2006) melakukan penelitian untuk menguji pendidikan

kewiraswastaan dengan konsep experiential learning pada kurikulum universitas mempunyai dampak positif dalam mengubah persepsi mahasiswa untuk memulai usaha baru. Peneltiian menggunaan model experiential learning KolbS sebagai kerangka konsep untukSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 40

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

menginterpretasikan

tindakan

yang

diambil

oleh

Universitas

Singapura

dalam

memperkenalkan berbagai format tentang pendidikan kewiraswastaan. Shen dan Chai (2006) melakukan penelitian dengan membagikan kuesioner pada 760 mahasiswa yang memperoleh pendidikan kewirausahaan dengan pendekatan experiential learning di fakultas Bisnis dan Akunting, Teknologi informasi dan fakultas teknik yang tersebar pada beberapa perguruan tinggi yaitu ; National University of Singapore (NUS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore Management University (SMU), Nanyang Polytechnic (NYP), Ngee Ann Polytechnic (NP), Temasek Polytechnic (TP), Singapore Polytechnic (SP). Hasil peneltiian menemukan bahwa dari sebanyak 760 sampel, sebanyak 455 (59.9%) menyatakan berniat memulai usaha baru, sebanyak 305 (40.1%) menyatakan belum siap memulai usaha baru sebagai pilihan karir. Mahasiswa politeknik lebih banyak dibndingkan universitas dan jumlah sampal pria lebih banyak dibanding wanita yang berniat memulai usaha baru. Faktor independence, perseverance, opportunity, interpersonal dan skills berpengaruh signifikan terhadap niat mahasiswa berwirausaha sebagai pilihan karir. Namun Risk taking, Innovation dan kepemimpinan bukan merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi niat mahasiswa berwirausaha sebagai pilihan karir. Meskipun ditemukan bukti bahwa pendidikan kewiraswastaan dengan konsep experiential learning mempunyai hubungan positif dalam merubah niat dan persepsi mahasiswa untuk berwirausaha, namun penemuan ini belum selesai, pengembangan kewirausahaan memerlukan faktor lain berkaitan dengan aspek kesempatan (opportunity) sebagai faktor penarik (seperti lesunya pasar) dan kegagalan implementasi yang tidak menunjukkan pengaruh positif. Fregetto, E. (2002) meneliti efektivitas dari simulasi bisnis pada 3 kelas

kewiraswastaan di Universitas Illinois Chicago. Penelitian ini menemukan efektivitas simulasi bisnis untuk pengajaran kewiraswastaan. Penggunaan metoda experiential learning dalam pendidikan kewiraswastaan menjadi hal penting, sebab pendidik mata kuliah kewirausahaan menyukai belajar experiential agar para siswa mereka mengenali kekurangan kelas kewiraswastaan berbasis ceramah (lecture-based). Hasil penelitian menemukan bahwa

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang

41

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

simulasi bisnis adalah merupakan hal positif yang dapat meningkatkan pengalaman belajar para siswa. Rasmussena dan Srheimb ( 2006) melakukan penelitian berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan berbasis praktek atau tindakan (Action-based learning). Di Swedia, ketertarikan terhadap kewirausahaan telah mengalami pertumbuhan tinggi pada tahun 1990an. Berbagai kegiatan seperti melalui konsultasi, kursus, training dilakukan. Penelitian dilatar belakangi bahwa kegiatan inovasi melalui penciptaan usaha baru dan area bisnis baru merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan ekonomi baik dalam skala perusahaan, wilayah dan nasional. Hal yang menjadi kendala adalah kemauan individu untuk menjadi usahawan. Perguruan tinggi dapat menangkap kebutuhan ini dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi setiap lulusan mereka untuk menjadi usahawan dan melalui kegiatan inovasi. Pendidikan kewiraswastaan telah memfokuskan pada pengajaran individu, semakin berorientasi praktek. Penelitian dilakukan melalui studi kasus. Penelitian ini menemukan sejumlah aktivitas berbasis tindakan/praktek pada lima universitas di Swedia. Pendidikan kewiraswastaan lebih sedikit dilakukan melalui pengajaran individu di dalam kelas dan lebih pada aktivitas yang learning-by-doing dalam suatu jaringan/kelompok. Beberapa inisiatif mempunyai multisasaran, seperti pendidikan kewirausahaan, memulai usaha baru, dan komersialisasi riset universitas. Implikasi dari program pendidikan kewiraswastaan berbasis tindakan disajikan. Mahasiswa perlu dibekali dengan berbagai atribut, keterampilan dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka. Artinya mata kuliah kewirausahaan perlu dirancang secara khusus untuk dapat mengembangkan karakteristik kewirausahaan, seperti kreativitas, pengambilan keputusan, kepemimpinan, jejaring sosial, manajemen waktu, kerjasama tim, dll (Brockhaus; Rae, dalam Bell, 2008). Untuk itu diperlukan perubahan sistem pendidikan kewirausahaan yang tadinya difokuskan pada orientasi pengendalian fungsional seperti, keuangan, pemasaran, sumber daya manusia dan operasi (Meyer dalam Bell, 2008) menjadi fokus pada mengembangkan jiwaSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 42

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

kewirausahaan

pada

peserta

didik.

Sehingga tantangannya adalah bagaimana sistem mereka dalam hal

pembelajaran yang dapat mengembangkan diri peserta didik

keterampilan, atribut dan sekaligus karakteristik perilaku seorang wirausaha (Bell, 2008). Pihie ( 2009) melakukan penelitian untuk menentukan persepsi mahasiswa terhadap niat untuk memulai usaha baru sebagai pilihan karir. Penemuan juga menunjukkan bahwa mereka merasa kewiraswastaan perlu untuk diajarkan pada universitas mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap karier usahawan. Penemuan studi ini, merekomendasikan untuk menerapkan strategi pengajaran yang memasukkan aspek kemampuan manajemen, keuangan dan pemasaran dalam mendukung niat mahasiswa untuk memulai usaha baru sebagai pilihan karir. Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaraan kewirausahaan dalam upaya untuk meningkatkan minat mahasiswa untuk berwirausaha memerlukan: pengetahuan, ketrampilan, sikap yang akhirnya menumbuhkan perilaku berwirausaha yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Pendidikan kewirausahaan akhir-akhir ini lebih memfokuskan pada keterampilan dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka seperti melalui experiental learning, action based learning dan consultation based learning.

F. KESIMPULAN Pandangan tradisional beranggapan bahwa kewirausahaan itu bakat dari lahir dan karenanya tidak dapat diajarkan. Namun beberapa studi empiris menemukan bahwa kewirausahaan dapat diajarkan, diantaranya melalui pendekatan action based learning, experiental learning dan consultation-based learning. Minat mahasiswa untuk berwirausaha diperlukan faktor pendorong (push) baik dari personal dan lingkungan serta faktor penarik (pull) yang berupa kesempatan-kesempatan untuk berwirausaha. Faktor pendorong adalah seperti: pendidikan, pengalaman, ketrampilan, keahlian, dukungan keluarga, keinginan untuk memperoleh pendapatan, kerja keras, semangat inovasi dan pengambilan resiko. Faktor penarik adalah seperti: kesempatan-kesempatan untuk berwirausaha seperti peluang pasar,Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 43

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

peluang inovasi dan kultur kewirausahaan dalam masyarakat. Pendidikan kewirausahaan yang dapat meningkatkan minat mahasiswa untuk berwirausaha adalah yang dapat mengoptimalkan faktor-faktor tersebut dalam diri mahasiswa seperti melalui experiental learning, action based learning dan consultation based learning.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R. C. O., Suraiya, I. dan Rahid, M. R. 2010. entrepreneurial/business learning: Malaysia experience. African Management Vol. 4(12), pp. 2508-2513, 18 September, http://www.academicjournals.org/AJBMISSN 1993-8233 2010

Consultation-based Journal of Business 2010 diakses dari Academic Journals

Aronsson, M. (2004). Education Matters--But Does Entrepreneurship Education? An interview with David Birch. Academy of Management Learning & Education, 3(3), 289-292. Atherton, A. 2007. Preparing for business start-up: pre-start activities in the newventure creation dynamic. Journal of Small Business and Enterprise DevelopmentVol. 14 No. 3, 2007 diakses dalam www.emeraldinsight.com/ 1462-6004.htm Audet. 2004. A Longitudinal Study of the Entrepreneurial Intentions of University Students. Academy of Entrepreneurship Journal, 6(1): 57-63. Bell, Joseph R, (2008), Utilization of Problem Based-Learning in an Entrepreneurship Business Planning Course, New England Journal of Entrepreneurship, Spring 2008, pp 53 Brazeal, D.V, Schenkel, M.T, Azriel, J.A. 2008. Awakening the Entrepreneurial Spirit: Exploring the Relationship Between Organizational Factors and Perceptions of Entrepreneurial Self-Efficacy and Desirability in a Corporate Setting. Spring New England Journal of Entrepreneurship 2008 Volume 11 Number 1 Douglas, E. J., & Shepherd, D. A. (2000). Entrepreneurship as a Utility Maximising Response. Journal of Business Venturing, 15(3), 231-251.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 44

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Douglas, E. J., & Shepherd, D. A. (2002). Self-Employment as a Career Choice: Attitudes, Entrepreneurial Intentions, and Utility Maximization. Entrepreneurship: Theory & Practice, 26(3), 81-90 Fayolle, A., Gailly, B. dan lassas, C.N. 2006. Efect dan Counter-effect of Entrepreneurship Education and Social Context on Students Intentions. Journal. Estudios De Ekonomia Aplikada. Vol. 24-2. Page 509- 523 Fregetto, E. 2002. Business Plan Or Business Simulation For Entrepreneurship Education?. Developments in Business Simulation and Experiential Learning, Volume 29. Gorman, G., & Hanlon, D. (1997). Some research perspectives on entrepreneurship education, enterprise education and education for small business managment: A tenyear literature review. International Small Business Journal, 15(3), 56-77. Gaidis, W. C., Andrews, J. C., & summer. (1991). An experiential approach for integrating ethical analysis into marketing coursework. Journal of Marketing Education, 13(2), 39. Hamer, L. O. (2000). The Additive Effects of Semistructured Classroom Activities on Student Learning: An Application of Classroom-Based Experiential Learning Techniques. Journal of Marketing Education, 22(1), 25-34. Hostager, T. J., & Decker, R. L. (1999). The effects of an entrepreneurship program on achievement motivation: A preliminary study. San Francisco: SBIDA. Hynes, B. (1996). Entrepreneurship education and training Introducing entrepreneurship into non-business disciplines. Journal of European Industrial Training, 20(8), 10-17. Izquierdo dan Buelens (2008) COMPETING MODELS OF Entrepreneurial Intentions: The Influence Of Entrepreneurial Self-Efficacy And Attitudes. Presentado en Internationalizing Entrepreneurship Education and Training, IntEnt2008 Conference, 17-20 Julio 2008, Oxford, Ohio, USA. Este artculo obtuvo el Best Paper Award, 3rd rank. Katz, J., & Gartner, W. B. (1988). Properties of Emerging Organizations. Academy of Management Review, 13(3), 429-441. Katz, J., & Gartner, W. B. (1988). Properties of Emerging Organizations. Academy of Management Review, 13(3), 429-441.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 45

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Kuratko, D. F. (2005). The Emergence of Entrepreneurship Education: Development, Trends, and Challenges. Entrepreneurship: Theory & Practice, 29(5), 577-597. Krueger, J., Norris F. (2000). The Cognitive Infrastructure of Opportunity Emergence. Entrepreneurship: Theory & Practice, 24(3), 5-23. Lee, L., & Wong, P.K. (2003). Attitude towards Entrepreneurship Education and New Venture Creation. Journal of Enterprising Culture, 11(4), 339-357. Lekhotla, M. 2007. The Development of Small Medium Micro Enterprises: The Case Studies of The Gauteng Universities. International Business Conference, Pretoria, September 2007 Lepoutre, J., Van Den Berghe, W., Tilleuil, O. dan Crijns, H. 2005. A new approach to testing the effects of entrepreneurship: Education among secondary school pupils. Entrepreneurship Theory and Practice, 29(5): 577-598. Muhadjir, Noeng. 1992. Pengukuran kepribadian. Yogyakarta: Rake Sarasih. McMullan, W. E., & Gillin, L. M. (1998). Industrial viewpoint--entrepreneurship education. Technovation, 18(4), 275-286. Nasurdin et. al (2010) Examining a Model of Entrepreneurial Intention Among Malaysians Using SEM Procedure. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.33 No.2 (2009), pp.365-373 Naomi, R. W. H. 2000. Evaluating the impact of SPEED on students career choices: a pilot study. Education Training Vol. 52 Nos. 6/7, 2010 pp. 463-476. Emerald Group Publishing Limited Pihie, Z. A.L. 2009. Entrepreneurship as a Career Choice: An Analysis of Entrepreneurial Self-Efficacy and Intention of University Students. European Journal of Social Sciences Volume 9, Number 2 (2009) Raichaudhuri, A. (2005). Issues in Entrepreneurship Education. Decision, 32(2), 73-84. Rasmussena, E. A. dan Srheimb,R. 2006. Action-based entrepreneurship education. Technovation 26 (2006) 185194 Shapero,A.(1982), Social Dimensions of Entrepreneurship, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ.Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang 46

Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA

Vol. 5 No. 1. Desember 2010

Shapero,A. and Sokol, L.(1982), The social dimension of entrepreneurship, in Kent, C.A., Sexton, D.L. and Vesper,K.H.(Eds), Encyclopedia of Entrepreneurship, Prentice-Hall, Englewood Cliffs,NJ. Shen, C dan Chai, L. 2006. Changing Entrepreneurial Perceptions and Developing Entrepreneurial Competencies through Experiential Learning: Evidence From Entrepreneurship Education in Singapores Tertiary Education Institutions. Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability Volume II, Issue 2, 2006 Schreier, J. W. 1984. Megatrends for business simulation and experiential learning. Developments in Business Simulation & Experiential Exercises, Volume 11, 1984 Solomon, G. T., & Fernald Jr, L. W. (1991). Trends in Small Business Management and Entrepreneurship Education in the United States. Entrepreneurship: Theory & Practice, 15(3), 25-39. Tarmudji, Tarsis. 1996. Prinsip-prinsip Kewirausahaan. Yogyakarta: Liberti. Timmons, J. A., & Spinelli, S. (2004). New Venture Creation: Entrepreneurship for the 21st century (6th ed.). Boston: McGraw-Hill.Vesper, K. H. (1994). Experiments in Entrepreneurship Education: Successes and Failures. Journal of Business Venturing, 9(3), 179-187.

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ASIA Malang

47