9
MAKALAH PENALARAN DEDUKSI INDUKSI (DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH RANCANGAN PERCOBAAN DAN METODE ILMIAH) DISUSUN OLEH : NAMA : ARIF HABIBAL UMAM NIM : 06/193159/BI/07761 FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2007

8292684-Penalaran-Deduksi-Induksi.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH PENALARAN DEDUKSI INDUKSI

(DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH RANCANGAN PERCOBAAN DAN METODE ILMIAH)

DISUSUN OLEH : NAMA : ARIF HABIBAL UMAM NIM : 06/193159/BI/07761

FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2007

PENALARAN DEDUKSI DAN INDUKSI

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera

(observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.

Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi

yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar,

orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.

Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan

dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya

disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi

disebut konsekuensi.

Menurut Jujun Suriasumantri, Penalaran adalah suatu proses berfikir

dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu

kegiatan berfikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses

berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut

pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua

adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan

konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya

merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.

Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya

bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah

sumber kebenaran mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang

menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan

sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.

Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran

deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan

rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu

menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara

empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang

tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan

rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan

sementara ini biasanya disebut hipotesis. Penalaran deduktif dan penalaran

induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.

A. Penalaran Deduksi

Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan

kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari

yang umum, lawannya induksi (Poerwadarminta, 2006)

Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum

ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif

biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus

disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. (Suriasumantri, 2005)

Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal

yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-

bagiannya yang khusus. (www.id.wikipedia.com).

Metode berpikir deduksi sifatnya pasti. Metode ini dimulai dengan

diterimanya suatu premis mayor. Contoh: “Semua manusia akan mati” (premis

mayor). Kemudian, anggap kita memiliki premis minor: “Socrates adalah

manusia”. Karena Socrates adalah manusia, maka Socrates memiliki sifat-sifat

yang dimiliki semua manusia. Oleh karena itu, secara deduktif dapat disimpulkan

bahwa Socrates juga akan mati. Dapat juga dikatakan bahwa deduksi bersifat

tertutup karena kesimpulan yang diambil tidak boleh ditarik dari luar premis

mayor. Asalkan semua premisnya benar, maka kesimpulan yang diambil secara

deduktif juga akan benar.

Penalaran Matematika termasuk ke dalam penalaran deuksi karena bersifat

pasti. Matematika bukanlah ilmu yang didasari atas percobaan dan pengamatan

sehingga membuatnya dibedakan dengan sains. Perhatikan saja, apakah kebenaran

1+1=2 adalah sesuatu yang kita peroleh melalui percobaan dan pengamatan?

Tentu tidak. Kebenaran 1+1=2 merupakan sesuatu yang kita terima begitu saja.

Kalau begitu, bagaimana sejumlah teori matematika yang pernah ada dapat

muncul? Bagaimana tarikan logika agar kita dapat menyimpulkan bahwa suatu

teori itu benar secara matematis?

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa penalaran matematika dimulai dari

diterimanya kebenaran beberapa aksioma. Aksioma adalah suatu kebenaran yang

dapat kita terima begitu saja (tanpa ada pembuktian apapun). Contoh: Aksioma

bilangan bulat yang diusulkan oleh Guiseppe Peano (1858 - 1932). Aksioma

tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu bilangan bulat jika

ditambahkan dengan 1 (satu), maka akan menghasilkan bilangan bulat pada urutan

berikutnya. Contohnya, jika diambil angka “3″, maka jika angka tersebut

ditambahkan dengan “1″, maka akan menghasilkan bilangan bulat berikutnya dari

“3″, yaitu “4″.

Teorema matematika diturunkan dari satu atau irisan beberapa aksioma.

Kebenaran teorema ini harus dapat dibuktikan berdasarkan hukum-hukum yang

berlaku pada aksioma. Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil pada

pembuatan teorema tidak boleh keluar dari ruang lingkup aksioma yang berlaku.

Contoh teorema: Dua ditambah tiga sama dengan lima. Teorema ini

dibuktikan (berdasarkan aksioma bilangan bulat oleh Peano) sebagai berikut:

2 + 3

<=>

2+2+1

(2 merupakan bilangan bulat sebelum 3)

<=>

2+1+1+1

(1 merupakan bilangan bulat sebelum 2)

<=>

3+1+1

(3 merupakan bilangan bulat setelah 2)

<=>

4+1

(4 merupakan bilangan bulat setelah 3)

<=> 5 (5 merupakan bilangan bulat setelah 4)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa teorema yang menyebutkan 2+3=5

adalah benar!

Dilihat dari cara penurunannya, kesimpulan yang diambil dalam

pembuatan teorema adalah kesimpulan yang sifatnya pasti (tidak spekulatif).

Asalkan didasari dengan aksioma yang benar, maka teorema-teorema yang

diturunkan juga pasti benar. Inilah sifat matematika: pasti. Disebut apakah cara

pengambilan kesimpulan seperti ini? Kita sudah mengenal bahwa pengambilan

kesimpulan seperti ini disebut dengan metode deduksi.

Aksioma berfungsi sebagai premis mayor dalam pengambilan kesimpulan.

Yang berfungsi sebagai premis minor adalah ruang lingkup yang ingin ditelaah

oleh sebuah teorema. Hasil penarikan kesimpulan dari kedua premis ini adalah

teoremanya.

Untuk kepentingan praktis, terkadang suatu teorema tidak harus

diturunkan dari aksioma tetapi cukup diturunkan dari teorema lain yang sudah

dibuktikan terlebih dahulu. Selain itu, juga untuk kepentingan praktis, terkadang

pembuktian tidak perlu dilakukan secara lengkap. Bisa saja suatu pembuktian itu

membiarkan suatu bagian tertentu belum terbuktikan. Bagian ini disebut dengan

lemma. Jika lemma ini ternyata salah, maka gagal lah seluruh pembuktian yang

sudah dilakukan.

B. Penalaran Induksi

Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau

peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (Poerwadarminta, 2006)

Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang

bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara

induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai

ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri

dengan pernyataan yang bersifat umum (Suriasumantri, 2005)

Berpikir induksi adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan

bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena

yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi

adalah bentuk dari metode berpikir induktif. (www.id.wikipedia.com)

Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang

memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi

boleh dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena

beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka

sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.

Buat contoh penegasan kita kembali pada masyarakat Yunani, masyarakat

yang sebenarnya merintis kesopanan manusia. Lama sudah terpendam dalam

otaknya Archimedes, pemikir Yunani yang hidup 250 tahun sebelum Masehi,

persoalan: apa sebab badan yang masuk barang yang cair itu, jadi enteng

kekurangan berat? Ketika mandi, maka jawab persoalan tadi tiba-tiba tercantum di

matanya dan kegiatan yang memasuki jiwanya menyebabkan dia lupa akan adat

istiadat negara dan bangsanya. Dengan melupakan pakaiannya, ia keluar dari

tempat mandinya dengan bersorak-sorakkan "heureuka" saya dapati, saya dapati,

adalah satu contoh lagi dari kuatnya nafsu ingin tahu dan lazatnya obat haus

"ingin" tahu itu. Archimedes menjalankan experiment yang betul, ialah badannya

sendiri, yang jadi benda yang dicemplungkan ke dalam air buat mandi. Dengan

cara berpikir, yang biasa dipakainya sebagai pemikir besar, ia bisa bangunkan satu

undang yang setiap pemuda yang mau jadi manusia sopan mesti mempelajari

dalam sekolah di seluruh pelosok dunia sekarang.

Menurut undang Archimedes, maka kalau benda yang padat (solid)

terbenam pada barang cair, maka benda tadi kehilangan berat sama dengan berat

zat cair yang dipindahkan oleh benda itu.Tegasnya kalau berat Archimedes di luar

air umpamanya B gram dan berat air yang dipindahkan oleh badan Achimedes b

gram, maka berat Archimedes dalam air tidak lagi B gram, melainkan (B-b) gr.

Dengan contoh dirinya sendiri sebagai benda dan air sebagai barang cair,

maka simpulan yang didapatkan Archimedes dalam tempat mandi itu belumlah

boleh dikatakan undang. Semua benda dalam alam, kalau dicemplungkan ke

dalam semua zat cair mestinya kekurangan berat sama dengan berat-zat cair yang

dipindahkan oleh benda itu. Kalau semuanya takluk pada kesimpulan tadi, barulah

kesimpulan itu akan jadi Undang dan barulah Archimedes tak akan dilupakan oleh

manusia sopan, manusia yang betul-betul terlatih sebagai bapak undang itu.

(Madilog. hal 100-101 Tan Malaka, Pusat Data Indikator)

Sewaktu kecil, kita memperhatikan bahwa matahari terbit di timur. Hari

berikutnya, masih demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian. Sampai hari

ini, matahari masih juga terbit di timur. Berdasarkan pengalaman ini, maka kita

menyimpulkan bahwa setiap hari matahari terbit di timur. Perhatikan cara

pengambilan kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan

umum. Ini adalah penarikan kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan

bahwa esok matahari juga terbit di timur? Tidak. Kita hanya dapat menganggap

bahwa sangat besar kemungkinannya untuk matahari terbit di timur lagi pada

esok hari. Hal ini sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.

Coba perhatikan, bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa semua

benda akan jatuh jika dilepaskan pada ketinggian tertentu? Pertama, kita ambil

botol lalu melepaskannya. Botol tersebut jatuh. Kemudian kita melakukan hal

yang sama dengan pensil, sandal, batu, kelereng, topi, dan apel. Ternyata

semuanya juga jatuh. Dari berbagai percobaan ini, kita dapat menyimpulkan

bahwa semua benda akan jatuh jika dilepaskan pada ketinggian tertentu (induksi).

Apakah dapat dipastikan bahwa benda-benda lain pasti akan jatuh jika dilepaskan

pada ketinggian tertentu? Tidak. Kita hanya dapat mengatakan bahwa

kemungkinan besar benda tersebut akan jatuh juga. Demikianlah cara kita

mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan cara

induksi. Induksi merupakan cara berpikir saintifik. Metode induksi ini merupakan

metode yang umum digunakan. Berikutnya, kita akan melihat bagaimana sains

menggunakan metode ini untuk mengambil kesimpulan.

Syarat suatu ilmu dapat digolongkan ke dalam sains adalah ilmu tersebut

dapat dibuktian dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam metoda ilmiah ini,

suatu hipotesis harus sesuai dengan eksperimen. Pada eksperimen pertama,

hipotesis benar (sesuai hasil pengamatan). Pada eksperimen berikutnya, hipotesis

tersebut kembali benar. Pada eksperimen berikutnya lagi, hipotesis tersebut masih

juga benar. Dan seterusnya. Dari sejumlah eksperimen yang sudah dilakukan ini,

kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hipotesis tersebut benar. Ini adalah

pengambilan kesimpulan dengan metode induksi. Apakah dapat dipastikan bahwa

hipotesis tersebut juga akan sesuai dengan pengamatan pada eksperimen yang

dilakukan di waktu mendatang? Tidak. Kita hanya dapat meyakini bahwa

hipotesis tersebut kemungkinan besar sesuai dengan hasil pengamatan pada

eksperimen di waktu mendatang.

Dengan penggunaan metode induksi sebagai dasar pola berpikir saintifik,

berarti masih terdapat kemungkinan bahwa seluruh pengetahuan pada sains adalah

salah! Kalau begitu, apakah yang kita pelajari saat ini adalah kesia-siaan belaka?

Tentu tidak. Memang benar bahwa kita tidak dapat memastikan bahwa suatu

teori/hipotesis itu benar, namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesis itu

belum salah. Ini adalah landasan berpikir saintifik. Selama masih belum

ditemukan kesalahan teori tersebut, maka teori tersebut akan selalu dianggap

benar.

Sebagai catatan tambahan, sains juga menggunakan metode berpikir

deduksi terutama dalam memprediksi suatu kejadian. Teori adalah premis

mayornya. Suatu kesimpulan (dalam hal memprediksi) tidak boleh diambil diluar

batasan teori/premis mayor ini.

DAFTAR PUSTAKA

Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia.. Balai Pustaka,

hal. 273, 444

Pustaka website. www.id.wikipedia.com, diakses tanggal 15 Desember 2007

pukul 22.00 WIB

Pustaka website. www.id.wordpress.com, diakses tanggal 15 Desember 2007

pukul 22.30 WIB

Suriasumantri, S.J. 2005. Filsafat Ilmu. Pustaka Sinar Harapan, hal. 48-49

Tan Malaka.1999. MADILOG. Pusat Data Indikator, Jakarta, hal. 100, 101, 104