Document86

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gkjgkjkkk

Citation preview

  • Bioprospek, Volume 7, Nomor II, September 2010 ISSN 1829-7226

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman 77

    PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINALPADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA

    DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

    Jusmaldi dan Arini Wijayanti

    Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mulawarman

    ABSTRACT. The aim of this research was to know the prevalenceand species of gastrointestinal worm eggs on sambar deer (Cervusunicolor) in captivity deer Api Api village, Penajam Paser UtaraDistrict. Worm eggs obtained through feses examination by using thefloating method and the sedimentation method with 60 samples.Resulst of the research showed that 6 worm eggs species wasidentified in feces sambar deer, that consists of Dicrocoelium sp.,Schistosoma sp., Metagonimus sp., Eurytrema sp., Taenia sp. andEchinococcus sp. Eggs of Eurytrema sp had the most high frequencythat infects the sambar deer (15%), while Dicrocolium sp. had thelowest frequency (1.67%). Prevalence of worm eggs in male sambardeer was 40% and female was 36.67%. The number of worm eggs insambar deer male was 38.67 EPG while female was 32.00 EPG.Statistic test showed that no difference the number of worm eggs inboth sexes of sambar deer

    Keywords: Egg worms, Sambar deer

    PENDAHULUAN

    Di Indonesia dikenal beberapa jenis rusa yang dikategorikan sebagaisatwa langka, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan seperti rusa sambar(Cervus unicolor), rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa bawean (Axis kuhli).Jenis-jenis rusa tersebut telah dimanfaatkan secara luas dan berlangsung lama,baik secara legal maupun illegal sebagai sumber protein hewani, sebagai objekrekreasi, objek penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi (Toharidkk.,1993).

    Dewasa ini mulai di galakkan pemanfaatannya sebagai hewan budidayayang dapat memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat melalui usahapenangkaran. Selain itu, sebagai salah satu komponen ekosistem, rusa jugamempunyai manfaat ekologis dalam menjaga keseimbangan ekosistemdisamping berfungsi sebagai sumber plasma nutfah nasional (Tohari dkk.,1993).

    Rusa sambar merupakan salah satu dari empat jenis rusa di Indonesiayang sudah dilindungi oleh undang-undang namun jumlah populasinya terusberkurang akibat perburuan liar dan degradasi habitat aslinya (Maruf dkk.,2006). Untuk menjaga kelestarian populasi rusa sambar, maka diperlukanpengelolaan yang baik agar usaha-usaha pemanfaatannya dapat tetapberlangsung serta menghindari kepunahan spesies. Salah satu alternatif terbaikyang perlu di kembangkan untuk menjaga kelestarian rusa adalah melaluiprogram penangkaran (konservasi ex-situ).

    Kalimantan Timur memiliki Pusat Penangkaran Rusa yang terletak diDesa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara. Penangkaran rusa ini merupakansuatu terobosan yang bersifat melestarikan jenis rusa endemik dari kepunahan

  • Jusmaldi dan Arini Wijayanti Prevalensi dan Jenis Cacing Gastrointestinal Pada Rusa Sambar

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman78

    sekaligus sebagai awal domestikasi untuk dapat dibudidayakan dandimanfaatkan sebagai hewan ternak. Selain itu penangkaran ini dapat digunakansebagai laboratorium alam bagi kegiatan penelitian dalam rangka pemahamankeadaan biologi rusa dengan segala aspeknya (Muchsinin dkk., 2002). Tahapanmenuju pemanfaatan rusa melalui penangkaran di Kalimantan Timur difokuskanterhadap rusa sambar (Cervus unicolor brookei) yang merupakan spesies aslidaerah ini.

    Manajemen pemeliharaan merupakan aspek yang penting untukmendukung keberhasilan penangkaran, sehingga penelitian yang intensifmengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pembudidayaan rusa masih tetapperlu dilakukan, salah satunya mengenai aspek kesehatan. Kesehatan rusamerupakan suatu yang perlu mendapat perhatian serius agar produktivitas rusasemakin meningkat (Garsetiasih dan Takandjandji, 2007).

    Kehadiran fauna parasit terutama cacing pada hewan di lokasipenangkaran atau peternakan merupakan salah satu permasalahan yang sering dihadapi peternak. Pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu,kelembaban dan curah hujan) serta sanitasi yang kurang baik dapatmempengaruhi berkembangnya parasit khususnya cacing gastrointestinal padahewan ternak. (Dwinata, 2004)

    Pada umumnya parasit merugikan kesehatan hewan, dari sudut pandangekonomi kerugian terjadi akibat rusaknya organ karena parasitnya sendiri,kematian ternak dan biaya yang harus ditanggung untuk pengendaliannya.Kerugian lainnya akibat cacing berupa pertumbuhan dan perkembangan hewanternak terhambat, sedangkan pada ternak dewasa kenaikan berat badan tidaktercapai, organ tubuh rusak dan kualitas karkas rendah, fertilitas menurun dangangguan metabolik. Hal ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan,perubahan distribusi air, elektrolit dan protein darah (Anderson & Waller, 1983)

    Penelitian tentang prevalensi dan jenis telur cacing parasitgastrointestinal pada rusa sambar masih sangat terbatas. Rahman dkk. (2006)melaporkan tiga spesies nematoda pada rusa sambar penangkaran dari pusatkonservasi kehidupan liar di Malaysia. Tiga spesies nematoda tersebut adalahTrichostrongylus spp., Cooperia spp. dan Oesophagostomum spp. SementaraMaryanto dan Ahkmad (1995) di Dias-Bian Irian Jaya melaporkan jenis cacingpada rusa timur Merauke Irian Jaya yaitu: Paramphistomum cervi, Strongylus spdan Cestoda yang tidak teridentifikasi.

    Di Kalimantan Timur penelitian tentang jenis dan prevalensi telur cacinggastrointestinal pada rusa sambar khususnya di penangkaran rusa desa Api-ApiKabupaten Penajam Paser Utara belum pernah dilakukan, sementara kerugianyang diakibatkan oleh infeksi cacing gastrointestinal pada hewan ternak cukupbesar oleh sebab itu perlu dilakukannya tindakan pencegahan dan monitoringstatus kesehatan.

    METODE PENELITIAN

    Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini akan dilaksanakan selama 3 bulan, dari bulan Juni sampai

    Agustus 2010, bertempat di Pusat Penangkaran Rusa di Desa Api-ApiKecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser Utara dan dilanjutkan diLaboratorium Anatomi Fakultas MIPA Universitas Mulawarman Samarinda.

  • Bioprospek, Volume 7, Nomor II, September 2010 ISSN 1829-7226

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman 79

    Alat dan BahanAlat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu botol film, gelas ukur,

    pipet, spuit, timbangan, gelas kimia, gelas hitung whitlock, kertas label, batangpengaduk, alat tulis, kamera digital dan mikroskop listrik, sedangkan bahan-bahan yang diperlukan antara lain adalah air, methylen blue, formalin 10%,larutan garam jenuh, 30 sampel feses segar rusa sambar jantan, 30 sampel fesessegar rusa sambar betina dan buku identifikasi.Cara Kerja

    Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan kerja yaitu pertamapengambilan sampel feses di Penangkaran Rusa Desa Api-Api dan keduapemeriksaan telur cacing pada sampel feses dilakukan di Laboratorium AnatomiJurusan Biologi Fakultas MIPA Univesitas Mulawarman.Pengambilan Sampel Feses

    Alat dan bahan yang akan digunakan pada pengambilan sampel fesesdisiapkan terlebih dahulu, kemudian sampel feses yang masih segar diambilkurang lebih sebanyak 10 gram, setelah itu dimasukkan ke dalam botol film yangtelah diberi label (no koleksi, tanggal pengambilan dan jenis kelamin). Sampelfeses tersebut kemudian diberi 5 tetes formalin 10%, dan untuk selanjutnyasampel-sampel ini disimpan di dalam termos es yang telah di isi es batusebelumnya. Sampel feses yang sudah terkumpul selanjutnya dibawa keLaboratorium Anatomi Fakultas MIPA Universitas Mulawarman untukdiperiksa.Pemeriksaan Telur Cacing Pada Sampel Feses

    Pemeriksaan telur cacing pada sampel feses dilakukan dengan duametode yaitu metode apung dan metode sedimentasi, kedua metode ini dilakukankarena ada sifat telur cacing yang mengapung dan ada yang tenggelam.Analisis Data

    Data hasil dari penelitian ini diolah secara deskriptif (identifikasi telurcacing) dan tabulasi data dengan mengunakan tabel dalam bentuk kualitatif.Penentuan prevalensi dilakukan berdasarkan pada hasil pemeriksaan fesesdengan dari kedua metode kemudian dipersentasikan dengan mengunakan rumus

    %100xSNprevalensi

    Dimana N : Jumlah feses positif telur cacingS : Jumlah total feses yang diperiksa (Gaspersz, 1991)

    Untuk melihat apakah ada perbedaan jumlah telur cacing gastrointestinalper gram feses diantara jenis kelamin rusa sambar maka dilakukan uji T denganmengunakan program SPSS 15 for window.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Jenis-Jenis Telur Cacing Dan Frekuensi KehadirannyaBerdasarkan hasil pemeriksaan feses yang dilakukan terhadap 60 ekor

    rusa sambar (Cervus unicolor) dengan menggunakan metode apung dan metodesedimentasi didapatkan 6 jenis telur cacing. Jenis-jenis yang ditemukantermasuk kedalam filum Trematoda dan Nematoda; ordo Plagiorchiorida,Strigeorida dan Taeniideorida dan famili Dicrocoeliida, Schistosomatidae danTaeniidae. Adapun jenis-jenis telur cacing tersebut adalah Dicrocoelum sp.,

  • Jusmaldi dan Arini Wijayanti Prevalensi dan Jenis Cacing Gastrointestinal Pada Rusa Sambar

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman80

    Schistosoma sp., Metagonimus sp., Eurytrema sp., Taenia sp., Echinococcus sp.Jenis telur cacing yang ditemukan seluruhnya dalam keadaan belum berkembangdan secara umum morfologi dari telur ini berbentuk bulat hingga oval, bewarnakekuningan, coklat hingga coklat tua dan memiliki dinding. Perbedaan antarasatu jenis telur dengan yang lain hanya didasarkan pada karakteristik morfologiyang khas serta ukurannya. Deskripsi singkat tentang karakter morfologi telurcacing yang ditemukan dan identifikasi jenisnya mengikuti Soedarto, 1991 ;Levine, 1991 dan Yamaguchi, 1992 seperti yang di uraikan dibawah ini:

    Deskripsi: telur dari jenis iniberbentuk bulat, warna kuning sampaikuning coklat dan berdinding tebal.Dinding luarya bergaris-garis secararadier dan dinding dalamnyabergelombang tak beraturan.(Yamaguchi, 1992).

    Gambar 1. Echinococcus sp. (Diameter: 24,03 m) 400X

    Deskripsi: telur dari cacing jenis iniberwarna coklat tua, berdinding tebaldan mempunyai operculum.(Soedarto, 1991).

    Gambar 2. Telur Dicrocoelium sp. (Panjang: 45 m, Lebar: 30 m) 400X

    Deskripsi: telur cacing jenis iniberwarna coklat kekuningan,mempunyai dinding yang tembussinar. Terdapat tonjolan seperti spinapada salah satu ujungnya(Soedarto, 1991).

    Gambar 3. Telur Schistosoma sp. (Panjang: 48,06 m, Lebar: 26,70 m) 400X

  • Bioprospek, Volume 7, Nomor II, September 2010 ISSN 1829-7226

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman 81

    Deskripsi: telur dari jenis inimemiliki dinding yang relatif tebal,mempunyai operkulum. Warna daritelur ini adalah kuning hinggacoklat terang(Soedarto, 1991).

    Gambar 4. Telur Metagonimus sp. (Panjang: 29,37 m, Lebar: 16,02 m) 400X

    Deskripsi: telur dari jenis iniberbentuk ovoid, mempunyaioperculum dan memiliki dindingyang tipis(Levine, 1991).

    Gambar 5. Telur Eurytrema sp. (Panjang: 56.07 m, Lebar: 34,71 m) 400X

    Deskripsi: telur dari jenis iniberbentuk bulat, mempunyaiembriofor yang tebal, berwarnakuning hingga coklat yang bergarisradier(Yamaguchi, 1992).

    Gambar 6. Telur Taenia sp. (Diameter: 24,03 m) 400X

    Berdasarkan ukurannya, telur cacing yang di periksa pada penelitian inimemiliki ukuran yang sedikit berbeda, namun seluruh jenis yang ditemukanmemiliki karakter morfologi yang sama dengan rujukan yang digunakan.Perbedaan ukuran telur cacing ini dikarenakan adanya perbedaan jenis hospesdefinitifnya. Menurut Foreyt (2001) menyatakan bahwa ukuran telur cacingparasitik pada satwa liar tidak selalu sama dengan ukuran telur cacing parasitikpada satwa domestik.

    Telur cacing dari filum Trematoda dan Nematoda parasit merupakantelur cacing yang genusnya sering ditemukan pada hewan mamalia di seluruhdunia. Menurut (Soulsby, 1982) penyebaran telur cacing filum Trematoda danNematoda parasit meliputi daerah tropis dan sub tropis pada hewan mamalia

  • Jusmaldi dan Arini Wijayanti Prevalensi dan Jenis Cacing Gastrointestinal Pada Rusa Sambar

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman82

    domestik maupun liar. Dalam penelitian ini jenis yang ditemukan berbedadengan penelitian yang dilakukan (Rahman dkk, 2006) terhadap telur cacingpada rusa sambar di pusat pemulihan hidupan liar Malaysia di Sungkai Perak.(Rahman dkk, 2006) hanya menemukan 3 jenis telur cacing dari filum Nematodayaitu Trichostrongylus, Cooperia dan Oesophagostomum. Hasil berbeda jugadilaporkan oleh (Kusumaningtyas, 2006) yang menemukan 6 jenis telur cacingpada rusa sambar di kebun binatang Surabaya. Jenis-jenis tersebut adalahHaemonchus sp., Stronggyloides sp., Trichostrongylus sp., Toxocara sp.,Fasciola sp, dan Paramphistomum sp. Berbedanya jenis telur cacing yangditemukan diduga disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan hospesperantara yaitu jenis-jenis siput perantara. Jenis-jenis telur cacing dan frekuensikehadirannya pada rusa sambar dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

    Tabel 1. Jenis telur cacing dan frekuensi kehadirannya pada rusa sambar

    No Jenis telur cacingRusa Jantan (n=30) Rusa Betina (n=30) Total

    Individu(n=60)

    FR(%)IndividuPositif

    FR (%) IndividuPositif

    FR(%)

    1 Eurytrema sp. 5/30 16,67 4/30 13,33 9/60 15,002 Metagonimus sp. 3/30 10,00 - - 3/60 5,003 Echinococcus sp. 2/30 6,67 3/30 10,00 5/60 8,334 Taenia sp. 2/30 6,67 3/30 10,00 5/60 8,335 Dicrocoelum sp. 1/30 3,33 - - 1/60 1,676 Schistosoma sp. - - 2/30 6,67 2/60 3,34

    Ket : FR = frekuensi relatifBerdasarkan Tabel 1. jenis telur cacing Eurytrema sp. merupakan jenis

    yang frekuensinya paling tinggi menginfeksi rusa sambar yaitu 15% dari totalindividu. Jenis Dicrocolium sp. menginfeksi paling rendah dengan frekuensikehadiran 1,67% dari total individu. Perbedaan tingkat infeksi/ frekuensikehadiran telur cacing ini mungkin disebabkan oleh penyebaran dan jumlahpopulasi hospes perantara berupa jenis siput di lokasi penelitian dan tercemarnyasumber pakan oleh telur cacing parasit, mengingat sumber hijauan pada lokasipenelitian ini ada yang di datangkan dari luar. Namun dalam penelitian inipengamatan hospes perantara dan sumber pakan tidak dilakukan.

    Prevalensi Telur CacingNilai prevalensi adalah perbandingan jumlah individu rusa yang positif /

    negatif terinfeksi telur cacing dari total populasi yang diperiksa. Nilai prevalensirusa sambar yang positif dan negatif terinfeksi telur cacing dapat dilihat padaTabel 2. dibawah ini.Tabel 2. Prevalensi rusa sambar yang positif terinfeksi telur cacing berdasarkan

    pada pemeriksaan feses.

    No RusaSambarPopulasi (Ekor) Jumlah

    (Ekor)Terinfeksi Prevalensi(%)

    TidakTerinfeksi

    Prevalensi(%)

    12

    JantanBetina

    1211

    40,0036,67

    1819

    60,0063,33

    3030

    Jumlah 23 38,33 37 61,65 60Berdasarkan Tabel 2 di atas, rusa jantan memiliki nilai prevalensi

    terinfeksi 40% sedangkan rusa betina memiliki memiliki nilai prevalensi

  • Bioprospek, Volume 7, Nomor II, September 2010 ISSN 1829-7226

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman 83

    Rata

    -rat

    aju

    mla

    hte

    lurp

    ergr

    am

    0

    10

    20

    30

    40

    R usajantan

    R usabetina

    R usaJ antanR usaBetina

    terinfeksi 36,67%. Tingkat terinfeksi oleh telur cacing pada kedua jenis kelaminrusa ini menunjukan nilai prevalensi yang tidak jauh berbeda. Hal ini mungkindisebabkan karena sistim pemeliharaan dimana rusa jantan dan betina bercampurdalam satu pedok, sehingga peluang terinfesi tidak jauh berbeda. Hal yang samajuga dikemukakan oleh Dwinata (2004) dalam penelitiannya tentang prevalensiinfeksi telur cacing nematoda pada penangkaran rusa sambar di Bali.

    Faktor-faktor di luar hospes perantara yang di duga mempengaruhitingkat prevalensi infeksi adalah faktor genetik, pola beternak dan tingkatkekebalan inang. Menurut Nicolas (1989) variasi genetik dalam satu jenis hewanakan mempengaruhi ketahanannya terhadap infeksi parasit. Pola beternak yangintensif dapat mengurangi terpaparnya sumber pakan dari telur cacing jikadibandingkan dengan pola beternak yang ekstensif. Tingkat kekebalan inangjuga berpengaruh terhadap prevalensi infeksi. Gadahi dkk. (2009) menyatakandalam kondisi malnutrisi mengakibatkan ternak lebih peka terhadap infeksi telurcacing. Selanjutnya Soulsby (1982) menyatakan pada umumnya infeksi cacingparasit berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dankemampuan cacing parasitik untuk mengelak dari pertahanan spesifik inangdefinitif.

    Selain hal diatas faktor iklim juga berpengaruh pada tingkat prevalensiinfeksi seperti faktor musim, kelembaban udara dan temperatur. Musim hujan,kelembaban udara yang tinggi dan temperatur yang dingin adalah kondisi yangdi sukai oleh cacing parasit untuk berkembang (Gadahi dkk., 2009)

    Perbandingan Rata-Rata Jumlah Telur Cacing Per Gram FesesPerbandingan rata-rata jumlah telur/gram feses pada rusa sambar jantan

    dan rusa sambar betina dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7 di bawah ini :

    Tabel 3. Perbandingan jumlah telur/gram feses pada rusa sambar jantan dan rusasambar betina.

    No JenisKelaminJumlah Rusa

    SambarJumlah telur/gram feses

    Kisaran X SD12

    JantanBetina

    3030

    0 2400 240

    38,67 70.8432,00 61.61

    Gambar 7. Perbandingan rata-rata jumlah telur per gram feses pada rusa sambar

  • Jusmaldi dan Arini Wijayanti Prevalensi dan Jenis Cacing Gastrointestinal Pada Rusa Sambar

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman84

    Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 7, rusa sambar jantan memiliki jumlahrata-rata telur cacing 38,67 telur/gram feses. Pada rusa sambar betina rata-ratatelur cacingnya adalah 32 telur/gram feses. Rahman, dkk. (2006) dalampenelitiannya melaporkan jumlah rata-rata telur per gram feses pada rusa sambaradalah 360,80 61,50 telur/gram feses selanjutnya dikatakan bahwa jumlahrata-rata telur per gram feses < 500 tergolong infeksi ringan. Berdasarkan haltersebut infeksi parasit cacing pada rusa sambar di penangkaran rusa desa ApiApi tergolong sangat ringan karena jumlahnya jauh lebih kecil dari 500 / gramfeses dan ini juga sekaligus menunjukan status kesehatan rusa sambar tersebutterhadap infeksi cacing cukup baik pada lokasi penelitian.

    Hasil dari uji t berpasangan (paired t test) terhadap rusa sambar jantandan rusa sambar betina di pusat penangkaran rusa Desa Api-Api KabupatenPenajam Paser Utara dengan membandingkan jumlah telur cacing yang terdapatpada masing-masing individu rusa sambar jantan dan betina menunjukkan tidakada perbedaan jumlah telur cacing per gram feses diantara jenis kelamin rusasambar (0.386 < 2.045) 0,05. Hasil analisis statistik ini berarti ketahanan infeksi telur cacing di antara jenis kelamin rusa sambar tidak menunjukanadanya perbedaan yang nyata.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada rusa sambar (Cervusunicolor) dengan melakukan pemeriksaan feses menggunakan metode apung danmetode sedimentasi di penangkaran rusa Desa Api-Api Kabupaten PenajamPaser Utara, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

    1. Jenis telur cacing yang ditemukan pada feses rusa sambar denganmenggunakan metode apung dan metode sedimentasi adalahDicrocoelium sp., Schistosoma sp., Metagonimus sp., Eurytrema sp.,Taenia sp. dan Echinococcus sp.

    2. Jenis telur cacing Eurytrema sp. merupakan jenis yang frekuensinyapaling tinggi menginfeksi rusa sambar yaitu 15% dari total individusedangkan jenis Dicrocolium sp. menginfeksi paling rendah denganfrekuensi 1,67% dari total individu.

    3. Rusa sambar jantan memiliki nilai prevalensi infeksi telur cacing 40,00% sedangkan prevalensi infeksi telur cacing pada rusa sambar betinaadalah 36,67 %.

    4. Jumlah telur cacing gastrointestinal per gram feses pada rusa sambarjantan adalah 38,67 butir/gram feses sedangkan untuk rusa sambar betinaadalah 32,00 butir/gram feses. Pengujian secara statistik yang dilakukanmenunjukkan tidak adanya perbedaan atau identik secara statistik.

    5. Status kesehatan rusa sambar terhadap infeksi cacing cukup baik padalokasi penelitian.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anderson, N. and P.J. Waller. 1983. The Epidemiology and Control ofGastrointestinal Parasites of Cattle in Australia. Division of AnimalHealth Comonwealth Scientific and Industrial Research Organization,Australia.

  • Bioprospek, Volume 7, Nomor II, September 2010 ISSN 1829-7226

    Biologi FMIPA Universitas Mulawarman 85

    Dwinata, M.I. 2004. Prevalensi Cacing Nematoda Pada Rusa YangDitangkarkan. Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan UniversitasUdayana, Bali.

    Foreyt W. 2001. Veterinary Parasitology Refference Manual. Iowa State Press.Garsetiasih, R dan M, Takandjandji. 2006. Model Penangkaran RusaMakalah

    disajikan pada Ekspose Hasil Penelitian Konservasi dan RehabilitasiSumber Daya Hutan, Padang.

    Kusumaningtyas, P. 2007. Identifikasi Telur Cacaing saluran PencernaanMelalui Pemeriksaan Feses Pada Rusa Sambar ( Cervus unicolor) DiKebun Binatang Surabaya. Skripsi Sarjana Biologi UniversitasAirlangga.

    Levine, N.D. 1991. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

    Muchsinin, M., Semiadi G., Dradjat A.S dan Farida W. R. 2002.Pengembangan Rusa Sambar Sebagai Jenis Hewan Ternak Baru diKalimantan Timur, Dalam Prosiding Seminar Nasional Bioekologi danKonservasi Ungulata. Halaman 61-68 Bogor: Pusat Studi Ilmu Hayati,Lembaga Penelitian IPB, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan danKonservasi Alam, DepartemenKehutanan.

    Maryanto, I dan Akhmad. 1995. Kelimpahan dan Pola Pertumbuhan SertaParasit Rusa (Cervus Timorensis Moluccensis) di Dias-Bian MeraukeIrian Jaya. Halaman 1-9 Bogor: Zoo Indonesia No 25.

    Nicolas, F.W. 1989. Veterinary Genetics. Associate Profesor, School of AnimalHusbandry, University of Sydney. Oxoford. Clarendon Press.

    Rahman, W.A., N.A.I, Izzauddin and S.A.M, Sah. 2006. Prevalence ofGastrointestinal Nematodes and Faecal Egg Intestiny in Farmed SambarDeer (Cervus unicolor) From Wildlife Conservation Center, MalaysiaDepartement of Wildlife Conservation Center, Malaysian Departement ofWildlife and National Park, Sungkai, Perak. Biosains Journal, Volume17, Page 31-35.

    Soulsby,. 1982. Helmints, Artropods and Protozoa of Domesticated Animal, 7 thedition Bailliere and Tindol, London.

    Tohari, M, Burhanuddin M, Sri S.M. Cece, S. 1993. Analisis PerbandinganPolimorfisme Protein Darah Dari Beberapa Jenis Rusa di IndonesiaDengan menggunakan Elektroforesis Dalam Laporan Penelitian JurusanKonservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut PertanianBogor.

    Yamaguchi, T. 1992. Atlas Berwarna Parasitologi Klinik. Jakarta: Penerbit BukuKedokteran