34
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota Aspek yang mempengaruhi bentuk fisik suatu kota menurut teori Shirvani Hamid adalah tata guna lahan, bentuk dan massa bangunan, sirkulasi dan parkir, pedestrian, activity support, preservasi, open space dan signage. 2.1.1 Tata guna lahan Pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu sehingga secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan tertentu. Penggunaan lahan merupakan salah satu elemen kunci dalam perancangan kota yang menjabarkan rencana dua dimensi menjadi tiga dimensi. Penetapan land use pada lingkup urban design menentukan hubungan antara sirkulasi/parkir dengan intensitas kegiatan dalam urban area. Ada beberapa area yang memiliki intensitas, pencapaian, parkir, sistem transportasi yang membutuhkan penggunaan tersendiri. Beberapa masalah yang terjadi pada masa lalu hingga masa kini antara lain: 1. Kurangnya variasi penggunaan lahan, kompartementalisasi dan segregasi penggunaan lahan. 2. Kurang memperhitungkan faktor lingkungan dan kondisi fisik alamiah. Universitas Sumatera Utara

9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

Aspek yang mempengaruhi bentuk fisik suatu kota menurut teori Shirvani

Hamid adalah tata guna lahan, bentuk dan massa bangunan, sirkulasi dan parkir,

pedestrian, activity support, preservasi, open space dan signage.

2.1.1 Tata guna lahan

Pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam

mengalokasikan fungsi tertentu sehingga secara umum dapat memberikan gambaran

keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan tertentu. Penggunaan lahan

merupakan salah satu elemen kunci dalam perancangan kota yang menjabarkan

rencana dua dimensi menjadi tiga dimensi.

Penetapan land use pada lingkup urban design menentukan hubungan antara

sirkulasi/parkir dengan intensitas kegiatan dalam urban area. Ada beberapa area yang

memiliki intensitas, pencapaian, parkir, sistem transportasi yang membutuhkan

penggunaan tersendiri.

Beberapa masalah yang terjadi pada masa lalu hingga masa kini antara lain:

1. Kurangnya variasi penggunaan lahan, kompartementalisasi dan segregasi

penggunaan lahan.

2. Kurang memperhitungkan faktor lingkungan dan kondisi fisik alamiah.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

10

3. Tidak memperhitungkan infrastruktur, misalnya kawasan industri tua

membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan.

4. Bagaimana mengalokasikan penggunaan campuran (mixed use) untuk

menghidupkan vitalitas kota selama 24 jam, melalui peningkatan

sirkulasi, sistem infrastruktur, analisa lingkungan alami, dan kemudahan

pemeliharaan.

5. Pengembangan floor area ratio untuk mengendalikan coverage dan

ketinggian bangunan di kawasan pusat kota.

2.1.2 Bentuk dan massa bangunan

Bentuk dan massa bangunan harus mencakup ketinggian, blok massa,

koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, garis sempadan bangunan, gaya

atau langgam, skala, material, tekstur, warna. Studi mengenai bentuk terbangun dan

jaringan fisik tidak boleh semata-mata hanya menitikberatkan pada ketinggian, blok

massa, set-back, dan sebagainya (Spreiregen; 1965).

Prinsip-prinsip dasar rancang kota dan teknik dasar yang disajikan Spreiregen

(1965) menetapkan beberapa isu penting mengenai bentuk dan massa yang

mencakup:

1. Skala; yang berkaitan dengan pengamatan visual manusia, sirkulasi,

bangunan, dan ukuran lingkungan permukiman.

2. Ruang luar kota; sebagai sebuah elemen utama rancangan kota dan

pentingnya artikulasi oleh bentuk, skala urban, enclosure, serta tipe ruang

Universitas Sumatera Utara

Page 3: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

11

luar urban.

3. Massa; yang meliputi bangunan-bangunan, permukaan tanah, serta obyek

lain di dalam ruang yang dapat diatur.

Bentuk dan massa bangunan tidak semata-mata ditentukan oleh ketinggian

atau besarnya bangunan, penampilan bentuk maupun konfigurasi dari massa

bangunan akan tetapi ditentukan juga oleh besaran selubung bangunan (building

envelope), koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, ketinggian

bangunan, sempadan bangunan, ragam arsitektur, skala, material yang digunakan,

warna yang terdapat pada bangunan dan sebagainya. Semua faktor di atas akan

menciptakan penampilan dan konfigurasi bangunan yang membentuk kota tersebut.

2.1.3 Sirkulasi dan parkir

Elemen parkir mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas lingkungan,

yaitu kelangsungan kegiatan komersial pusat kota, kesan visual terhadap wujud fisik

dan bentuk kota. Ada beberapa cara untuk menangani parkir:

1. Membuat bangunan parkir

Lantai dasar bangunan parkir dapat dirancang untuk perdagangan eceran

agar mendapatkan kesinambungan visual dengan jalan.

2. Program multiguna

Dengan memaksimalkan tempat parkir untuk digunakan bersama oleh

berbagai penggunaan berbeda yang dapat menarik pengunjung berbeda

pada saat yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

12

3. Package-plan parking

Beberapa kegiatan bisnis yang mempunyai banyak pegawai membentuk

distrik parkir atau menyediakan beberapa blok untuk kegiatan parkir

sehari penuh.

4. Urban-edge parking

Developer bekerjasama dengan pemerintah kota mengembangkan area

parkir pada periferi wilayah kota yang padat.

Sirkulasi merupakan salah satu elemen pembentuk struktur lingkungan kota.

Bisa berupa arah, kontrol aktivitas, sistem jalan umum, pedestrian ways, transit dan

sistem hubungan.

2.1.4 Pedestrian ways

Pedestrian berasal dari bahasa Yunani, di mana berasal dari kata pedos yang

berarti kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagi pejalan kaki atau orang yang

berjalan kaki, sedangkan jalan merupakan media di atas bumi yang memudahkan

manusia dalam tujuan berjalan, maka pedestrian dalam hal ini memiliki arti

pergerakan atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat sebagai titik tolak

ke tempat lain sebagai tujuan dengan menggunakan moda jalan kaki.

Pedestrian juga berarti “person walking in the street“, yang berarti orang

yang berjalan di jalan. Namun jalur pedestrian dalam konteks perkotaan biasanya

dimaksudkan sebagai ruang khusus untuk pejalan kaki yang berfungsi sebagai sarana

pencapaian yang dapat melindungi pejalan kaki dari bahaya yang datang dari

Universitas Sumatera Utara

Page 5: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

13

kendaraan bermotor.

Beberapa pengertian dasar pedestrian menurut:

1. John Fruin (1979); berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan

internal kota, satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap

muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan

kehidupan kota.

2. Amos Rapoport (1977); dilihat dari kecepatannya moda jalan kaki

memiliki kelebihan yakni kecepatan rendah sehingga menguntungkan

karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati objek secara

detail serta mudah menyadari lingkungan sekitarnya.

3. Giovany Gideon (1977); berjalan kaki merupakan sarana transportasi

yang menghubungkan antara fungsi kawasan satu dengan yang lain

terutama kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan

permukiman, dengan berjalan kaki menjadikan suatu kota menjadi lebih

manusiawi.

Dengan demikian jalur pedestrian merupakan sebuah sarana untuk melakukan

kegiatan, terutama untuk melakukan aktivitas di kawasan perdagangan di mana

pejalan kaki memerlukan ruang yang cukup untuk dapat melihat-lihat, sebelum

menentukan untuk memasuki salah satu pertokoan di kawasan perdagangan tersebut.

Jalur pejalan kaki merupakan salah satu unsur penting dalam perancangan kota, dan

bukan sekedar bagian dari program untuk mempercantik kota. Jalur pejalan kaki

Universitas Sumatera Utara

Page 6: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

14

cenderung merupakan suatu sistem pemberian kenyamananan, di samping unsur

penunjang bagi pedagang eceran. Sebuah sistem pedestrian yang baik dapat

mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di kawasan pusat kota, dan

menambah kegiatan “cuci mata”, meningkatkan kualitas lingkungan, menciptakan

lebih banyak kegiatan penjualan eceran, dan menunjang perbaikan kualitas udara.

2.1.5 Kegiatan pendukung (Activity Support)

Merupakan salah satu bangunan yang mendukung kegiatan yang ada di sekitar

lingkungan. Penunjang aktivitas (acitivity support) mencakup semua penggunaan dan

kegiatan yang memperkuat ruang publik, yang saling melengkapi satu sama lain

yaitu:

1. Membuat pedestrian plaza atau bangunan korporasi tanpa toko-toko,

merupakan salah satu contoh tidak efisiennya urban desain, karena tidak

mempertimbangkan acitivity support di dalam maupun di dekat bangunan.

2. Demikian pula, suatu wilayah yang tidak memasukkan penunjang aktivitas

dalam rancangannya, akan menyebabkan wilayah tersebut secara gradual

mengalami kemerosotan lingkungan.

Penunjang aktivitas tidak hanya berupa penyediaan pedestrian way atau plaza,

tetapi juga mempertimbangkan perlunya fungsi utama untuk membangkitkan dan

menghidupkan kegiatan kota. Wujudnya bisa berupa pusat perdagangan, taman

rekreasi, pusat kegiatan lingkungan, perpustakaan umum dan lainnya. Penempatan

penunjang kegiatan yang tidak tepat akan berimplikasi buruk pada lingkungan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

15

sekitarnya. Misalnya, sebuah mall menjadi kurang berhasil dan kurang hidup karena

tidak menghubungkan dua pusat kegiatan.

Menurut Long Beach (1980) kegiatan belanja, makan-makan, menunggu,

istirahat, kegiatan pulang dan pergi ke tempat kerja, merupakan tanda-tanda vital

sehatnya pusat kota dan untuk menjamin berlangsungnya kegiatan tersebut

dibutuhkan penyediaan penunjang aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat penggunanya.

2.1.6 Signage

Branch (1995) dalam bukunya ”Comprehensive City Planning: Introduction

and Explanation”, mengatakan bahwa perancangan kota berkaitan dengan tanggapan

inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota, yaitu penampilan visual, kualitas

estetika dan karakter kota. Shirvani (1985) dalam ”The Urban Design Process”,

bahwa ada 8 (delapan) unsur yang mempengaruhi bentuk fisik kota yaitu tata guna

lahan, bentuk bangunan, sirkulasi dan perparkiran, ruang terbuka, jalan dan

pedestrian, pendukung kegiatan, perpapanan nama dan preservasi.

Papan nama/reklame adalah merupakan unsur tampilan visual yang cukup

penting dalam membentuk karakter kota. Sehingga dari sisi perancangan

kota/arsitektur kota, papan nama/reklame dengan berbagai bentuknya perlu diatur dan

ditata agar terjalin kecocokan lingkungan, pengurangan dampak visual negatif,

mengurangi kompetisi antara reklame dan juga mencegah kebisingan masyarakat atau

warga kota akan tampilan visual kotanya.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

16

Charlotte Design Guideline menyusun panduan penempatan signage pada tiga

zona, yaitu:

1. Private information zone; ditempatkan sampai batas proyeksi teritis

kanopi bangunan, small sign, orientasi untuk pejalan kaki.

2. Pedestrian zone; ditempatkan dalam batas persil bangunan, untuk

informasi lokasi, historis, nama kios, orientasi pejalan kaki.

3. Traffic zone; ditempatkan di dalam ROW, hanya diijinkan untuk rambu-

rambu lalu lintas.

2.1.7 Preservasi

Pelestarian tidak hanya berkenaan dengan kepentingan bangunan dan tempat

bersejarah, tetapi juga semua tempat dan bangunan yang ada sepanjang mereka secara

ekonomi adalah vital dan secara budaya mempunyai arti penting. Di dalam rancangan

kota pelestarian harus ditujukan untuk melindungi atau mempertahankan lingkungan

dan juga diarahkan pada pelestarian suatu kegiatan.

2.1.8 Ruang Terbuka Hijau (Open Space)

Pada elemen perancangan kota ruang terbuka didefinisikan sebagai lansekap,

hardscape (jalan, jalur pejalan kaki, dan sejenisnya), park, dan rekreasi terbuka di

dalam kota. Lahan kosong di dalam kota yang lazim disebut “super hole” pada masa

peremajaan kota tidak termasuk ruang terbuka karena ruang tersebut terbentuk secara

organis.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

17

2.2 Teori Pendekatan dalam Perancangan Kota

Menurut Roger Trancik, pendekatan figure/gound, linkage and place,

merupakan landasan yang dapat digunakan untuk melakukan perancangan kota, baik

secara historis maupun modern.

Ketiga pendekatan tersebut sama-sama memiliki potensi sebagai salah satu

strategi perancangan kota yang menekankan produk rancang kota secara terpadu.

Ketidakpahaman terhadap tiga pendekatan ini (Zahnd; 1999) seringkali menyebabkan

kegagalan dalam mendesain kawasan kota dengan baik, terutama terhadap hubungan-

hubungan antara tiga pendekatan tersebut.

2.2.1 Teori figure ground

Teori ini dapat dipahami melalui pola tatanan kota sebagai hubungan tekstural

antara bentuk yang akan dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space).

Figure adalah istilah untuk massa yang dibangun (biasanya di dalam gambar

ditunjukkan dengan warna hitam) dan ground adalah istilah untuk semua ruang di

luar massa tersebut (biasanya ditunjukkan dengan warna putih). Figure juga dimaknai

sebagai solid (blok massa) dan ground dimaknai sebagai void (ruang). Figure/ground

dapat digambarkan dalam skala makro dan mikro yaitu:

1. Dalam skala makro, figure/ground memperhatikan kota atau bagian kota

keseluruhannya.

2. Dalam skala mikro, figure/ground difokuskan pada satu kawasan saja.

Pada Gambar 2.1 dapat dilihat bentuk figure ground dari beberapa kota

Universitas Sumatera Utara

Page 10: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

18

yang menunjukkan kepadatan yang berbeda.

Gambar 2.1 Contoh Figure GroundSumber: Markus Zahnd, 1999

Figure/ground pada skala ini berfokus pada ciri khas tekstur dan

permasalahan tekstur secara mendalam.

Analisa figure/gound adalah alat yang sangat baik untuk:

a. Mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan

(urban fabric).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

19

b. Mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang.

Kelemahan analisis figure/gound adalah:

a. Perhatiannya hanya mengarah pada gagasan-gagasan ruang perkotaan

yang bersifat dua dimensi saja.

b. Perhatiannya sering dianggap terlalu statis.

2.2.2 Teori linkage

Teori ini dapat dipahami dari segi dinamika rupa perkotaan yang dianggap

baik sebagai generator penggerak kegiatan kota dan antar bagian kota. Penjelasan

mengenai teori figure/ground belum memberikan gambaran mengenai hubungan

pergerakan kegiatan di antara keduanya, karena itu perlu dipertegas dengan

hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan pada sebuah tata ruang kota, yang disebut

dengan istilah linkage (penghubung).

a. Linkage Visual

Linkage visual menghasilkan hubungan visual berupa garis, koridor, sisi,

sumbu dan irama dengan elemen-elemen sebagai berikut:

1. Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu

deretan massa, baik berupa bangunan maupun deretan pepohonan yang

memiliki massivitas dan membentuk garis lurus atau linear dengan

elemen pengakhiran pada kedua ujung garis linear tersebut seperti pada

Gambar 2.2. Garis linear yang terbentuk menimbulkan efek

keterhubungan/linkage yang kuat antara elemen pembentuk ruang kota.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

20

Gambar 2.2 Elemen GarisSumber: Markus Zahnd, 1999

2. Elemen koridor dibentuk oleh dua deretan massa yang membentuk

sebuah ruang seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Elemen KoridorSumber: Markus Zahnd, 1999

3. Elemen sisi menghubungkan suatu kawasan dengan satu massa, tetapi

tidak perlu diwujudkan dalam bentuk massa yang tipis elemen garis

seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Elemen SisiSumber: Markus Zahnd, 1999

4. Elemen sumbu mirip dengan koridor tetapi lebih banyak menggunakan

akses untuk menonjolkan bagian yang dianggap penting dan membentuk

konfigurasi dua dimensi seperti pada Gambar 2.5.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

21

Gambar 2.5 Elemen SumbuSumber: Markus Zahnd, 1999

5. Irama menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang

(ulang, varian, kontras, dan lainnya) seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 IramaSumber: Markus Zahnd, 1999

b. Linkage Struktural

Linkage struktural digunakan untuk menyatukan kawasan-kawasan kota

melalui bentuk jaringan struktural yang disebut collase (Colin Rowe dalam

Zahnd) atau disebut dengan istilah pattern atau pola struktur kota.

Linkage struktural pada dasarnya bertujuan:

1. Menggabungkan dua atau lebih kawasan sesuai dengan pola yang

diinginkan.

2. Menggabungkan dua kawasan dengan menonjolkan suatu kawasan

tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

22

Dalam penataan ruang kota, linkage sruktural yang baik menggunakan pola

kota dan bangunan sebagai stabilisator dan koordinator. Tanpa adanya koordinasi

dalam pembetukan struktur ini maka akan muncul tatanan ruang dan bangunan kota

yang berkesan kacau. Penerapan elemen linkage struktural dapat dilakukan dengan

cara:

1. Menambahkan atau melanjutkan pola yang sudah ada. Bentuk massa dan

ruang boleh berbeda tetapi harus tetap dipahami sebagai bagian dari

kawasan tersebut.

2. Menyambung elemen dengan memasukkan unsur-unsur baru dari elemen-

elemen di sekitar atau di luar kawasan.

3. Menembus sedikit mirip dengan elemen tambahan tetapi lebih rumit

karena polanya merupakan penggabungan dari pola-pola yang ada di

sekitarnya sehingga memberikan kesan sebagai campuran dari wujud

lingkungan di sekitarnya.

c. Linkage Kolektif

Linkage kolektif menunjukkan hubungan menyeluruh yang bersifat kolektif

dari ciri khas dan organisasi wujud fisik (spatial) kota. Ini disebabkan karena

sebuah kota memiliki banyak wilayah yang mempunyai makna terhadap

hubungan dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal), yaitu dari dirinya

sendiri maupun dari lingkungannya. Dalam tipe ini, linkage dikembangkan

secara organis di mana pola keterhubungan yang terbentuk cenderung pola

Universitas Sumatera Utara

Page 15: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

23

yang tidak teratur namun tetap memiliki keterhubungan yang cukup kuat

secara visual.

Ada tiga tipe bentuk kolektif (Fumihiko Maki; 1964):

1. Bentuk komposisi (compositional form)

Merancang obyek-obyek seperti komposisi dua dimensi seperti pada

Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Bentuk KomposisiSumber: Markus Zahnd, 1999

2. Bentuk mega (mega form)

Menghubungkan struktur seperti bingkai yang linier atau sebagai grid

(pola spatial kota). Linkage dicapai melalui hirarki yang bersifat open

ended (masih terbuka untuk berkembang) seperti pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Bentuk MegaSumber: Markus Zahnd, 1999

Universitas Sumatera Utara

Page 16: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

24

3. Bentuk kelompok (group form)

Muncul dari penambahan akumulasi bentuk dan struktur yang biasanya

berada di sekitar ruang terbuka publik. Pola yang terbentuk cenderung

lebih fleksibel dan tidak kaku namun tetap menunjukkan keterhubungan

yang kuat seperti pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Bentuk KelompokSumber: Markus Zahnd, 1999

2.2.3 Teori place

Pendekatan ini dipahami dari segi seberapa besar pentingnya ruang-ruang kota

dikaitkan dengan nilai kesejarahan, kehidupan budaya dan kehidupan sosial

masyarakatnya.

Pendekatan ini adalah alat yang baik untuk:

1. Memberikan makna pada ruang kota melalui tanda kehidupan kota yang

dicerminkan pada aktivitas masyarakatnya.

2. Memberikan makna pada ruang kota secara kontenkstual.

Kelemahan pendekatan ini adalah perhatiannya hanya difokuskan pada satu

Universitas Sumatera Utara

Page 17: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

25

tempat saja. Teori place (dapat) merujuk pada pemahaman pembentukan identitas

lingkungan berdasarkan teori Kevin Lynch yaitu:

1. Paht (jalur)

2. Edge

3. Landmark

4. Node

5. District

Gagasan Lynch dalam Image of Environment mengenai pembentukan

identitas lingkungan dapat dimaknai sebagai berikut:

1. Identitas lingkungan merupakan karakter spesifik yang tidak dimiliki

wilayah lain.

2. Identitas lingkungan ditempatkan pada unsur-unsur lingkungan yang

mudah diamati dan dikenali.

3. Identitas lingkungan ditampilkan dalam wujud yang bersifat inderawi.

Ketiganya merupakan rangkaian proses yang berkesinambungan, bahkan

menghubungkan konsep yang bersifat transenden sampai ke wujud fisik yang mudah

dipahami.

2.3 Aspek Psikologi Arsitektur

Dalam menterjemahkan dimensi manusia ke dalam urban desain harus

banyak memperhatikan hakikat manusia seperti yang dikaji dalam ilmu-ilmu

perilaku/ behavioural science yaitu psikologi, perseptual, kultural dan data sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

26

Namun tidak boleh dilupakan bahwa seorang perancang kota membutuhkan data-data

dan konsep tentang bentuk fisik di samping konsep-konsep tentang manusia dan

perilakunya.

Bentuk dan massa bangunan terdiri dari elemen-elemen antara lain ketinggian,

kepejalan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, penutupan

(coverage), garis sempadan, langgam/gaya arsitektur, skala, material, tekstur dan

warna. Semua elemen ini menimbulkan pengaruh atau kesan secara psikologis

terhadap manusia. Kesan psikologis ini ditimbulkan terutama oleh “stimulus” visual

yang diterima oleh pengamat.

Menurut Proshansky bahwa kini perhatian utama dalam perancangan urban

adalah “the study of human behavior and experience in relation to the urban setting“3

dan memang psikologi lingkungan berpengaruh langsung ketimbang ilmu-ilmu sosial

lainnya.4 Proses interaksi lingkungan ini dapat dilihat seperti pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Bagan proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objekSumber: Prohansky, 1976

3 Proshansky, Environmental Psychology, 1976 dalam Rudyanto Soesilo dan Agus Zulkarnaen ( Eds ),Teori Perancangan Kota AR-741 Perancangan Urban ( hal. II-38 ), Teknik Arsitektur Fakultas PascaSarjana ITB 1990/1991.4 The Essential point is that the city dweller is socialized not justby people, personalities and socialgroups but by spaces and places.

INFORMASI

KOGNISI

SIKAPPERSEPSI

MOTIVASI

PERILAKU

PENGALAMAN

ALATINDERA

Universitas Sumatera Utara

Page 19: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

27

Bagan di atas menerangkan bahwa informasi yang diterima oleh indera visual

manusia yang berupa komposisi dari elemen-elemen bentuk dan massa bangunan

kemudian diserap oleh otak pengamat dan terjadi dinamika penyerapan dari informasi

tersebut. Selanjutnya adalah proses pemaknaan atau persepsi yang akan sangat

tergantung pada tingkat pengetahuan dan pengalaman (kognisi) yang dimiliki oleh

pengamat, kemudian timbul motivasi untuk bersikap dengan perilaku.

Pertimbangan tentang hubungan antara konfigurasi pola jalan dan bangunan

dengan aspek ingatan peta kognitif (cognitive map) telah banyak menyumbang pada

pembentukan konsep-konsep perancangan urban. Pengaruh struktur kota pada kognisi

lingkungan (environmental cognition) juga menjadi pertimbangan penting dalam

perancangan lingkungan urban. Sebagai contoh perencanaan kota baru Ciudad

Guyana di Venezuela oleh Aplleyard 1976 yang banyak menggunakan hasil riset

Kevin Lynch menunjukkan bahwa kawasan urban dapat diorganisasikan secara

maksimal dengan pola jalan kota yang regular, distrik yang dibatasi dengan jelas dan

landmark yang mudah terlihat dan hasilnya sangat memuaskan secara psikologis.

Penyajian informasi yang baik akan menimbulkan kesan yang baik pula pada

pengamat demikian juga sebaliknya bila informasi yang disajikan tidak baik maka

akan menimbulkan kesan yang tidak baik pula bagi pengamat yang akhirnya

membentuk persepsi manusia sebagai akibat kondisi lingkungan yang ada. Dengan

demikian jelas bahwa proses perancangan arsitektur terlebih lagi menyangkut suatu

kawasan urban harus dapat menghasilkan penyajian informasi yang baik secara

Universitas Sumatera Utara

Page 20: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

28

visual kepada pengamat dengan mempertimbangkan seluruh elemen yang

mempengaruhi bentuk dan massa bangunan agar dapat mencapai kesan yang baik

berupa visual comfort dan psychology comfort.

Smardon (1986) mengatakan bahwa nilai visual suatu kawasan ditunjukkan

oleh adanya kualitas fisik yang terbentuk oleh hubungan atau interelasi antar elemen

elemen visual pada suatu lansekap kota dengan kriteria penilaian sebagai berikut:

1. Dominasi; berkaitan dengan peraturan pemerintah, sesuatu yang

berpengaruh terhadap pengalaman seseorang, ditimbulkan oleh satu atau

dua elemen yang sangat kontras, yang secara visual sangat menonjol.

2. Keragaman; perbedaan pola-pola elemen yang bervariasi dan hubungan

jalan dengan elemen-elemen tersebut.

3. Kesesuaian; kesesuaian elemen visual dengan fungsi.

4. Keharmonisan; keselarasan elemen-elemen visual.

5. Kesatuan; harmoni secara keseluruhan elemen visual dengan lingkungan

sekitar.

6. Keunikan; karakter visual, sumber visual, kualitas visual yang aneh, atau

jarang ditemukan.

7. Kontinuitas; suatu kesinambungan secara visual, keterhubungan yang

tidak terpisahkan, rangkaian, perpaduan.

8. Keistimewaan; kesan visual yang tidak terlupakan, dibentuk oleh adanya

elemen atau unit visual yang menonjol dan menarik.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

29

Penilaian aspek visual merupakan hasil interaksi antara masyarakat terhadap

lingkungan kota dalam persepsi mengenai town image atau karakter dalam pemikiran

(in mind), merupakan perpaduan (composite) dari aspek natural dan cultural

landscape (Garnham, 1985). Persepsi sebagai tanggapan interaksi oleh pengamat

dapat berbeda-beda, dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang, keadaan cahaya,

jarak amatan, serta bidang pandang yang mengelilingi objek (Betchel dalam Naupan

2007).

Persepsi yang ditimbulkan akibat interaksi antara pengamat dan objek

dipengaruhi oleh jarak amatan dalam skala ruang (Garnham, 1985). Posisi amatan

mempengaruhi penentuan persepsi dalam hal sudut pandangan dan atitude (Smardon,

1986). Amatan akan dirasakan optimal bila jarak dalam keadaan seimbang (balance).

Jarak amatan yang terlalu besar akan menghasilkan persepsi monumental dan dalam

jarak amatan yang terlalu dekat akan merasakan skala ruang yang lebih intim

sehingga dapat menggambarkan persepsi pada tekstur objek amatan (Ashihara, 1970).

Persepsi visual yang terbentuk adalah suatu media komunikasi yang dapat mudah

untuk diterima oleh para pengamat. Tujuan dari persepsi visual adalah untuk

mengidentifikasi variasi pengalaman untuk memperoleh respon terhadap lingkungan

terbangun melalui media stimulasi fotografi, setting lingkungan dan bangunan

(Alexander, 1977; Purcel, 1995; Betchel, 1987 dalam Naupan, 2007). Persepsi visual

memberikan gambaran penilaian terhadap kualitas visual. Kontekstual penilaian

kualitas visual dipengaruhi oleh konteks lingkungan dan derajat kelangkaan. Objek

Universitas Sumatera Utara

Page 22: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

30

visual tidak dapat dinikmati secara tunggal tanpa memperhatikan kesatuan pandangan

dengan lingkungannya (Cullen, 1961). Penilaian kualitas visual pada awalnya

ditujukan untuk ruang terbuka/lansekap dan area jalur pedestrian (Smardon, 1986).

P Penilaian kualitas ruang di perkotaan perlu adanya penyesuaian skala berdasar

kan pada cultural landscape bangunan fisik kota yang mendominasi suatu kota

(Kristiadi dalam Naupan, 2007).5

Berkaitan dengan itu Asihara (1974) menjelaskan bahwa manusia dalam

mengamati suatu objek visual, sudut pandangan mata manusia secara normal pada

bidang vertikal adalah 60o, tetapi bila melihat secara intensif maka sudut pandangan

berkurang menjadi 1o seperti pada Gambar 2.11. Sudut pandang terhadap objek juga

dipengaruhi oleh jarak manusia terhadap objek yang diamati. Semakin jauh jaraknya

semakin besar sudut amatan sebaliknya semakin dekat jaraknya semakin kecil sudut

amatan terhadap objek yang diamati.

pengamatan pengamatan

normal 60o intensif 1o

Gambar 2.11 Sudut pandang mata manusiaSumber: Data sekunder yang diolah, 2012

5 Kristiadi. dalam Naupan, 2007 dalam Femy Kartika K.D. Felisia. Tesis Pengaruh Activity SupportTerhadap Penurunan Kualitas Visual Pada Kawasan Kampus UNDIP Semarang, 2008

Universitas Sumatera Utara

Page 23: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

31

Mata memandang bangunan memiliki 2/3 bidang penglihatan di atas bidang

ketinggian mata. Jika bagian langit harus dimasukkan ke dalam bidang pandangan

maka penglihatan seseorang dapat melihat sebuah bangunan sebagai keseluruhan

pada sudut 27o atau D/H = 2 (D: jarak bangunan ke pengamat, H: tinggi bangunan).

Dalam keadaan ini bangunan akan mengisi seluruh bidang penglihatan

pengamat. Jika pengamat ingin mengamati deretan bangunan/sekelompok bangunan

maka harus pada sudut 18o atau D/H = 3 (Ashihara, 1970). Menurut Ashihara skala

eksterior cenderung samar dan mendua, apabila ruang itu kekurangan suatu gaya

yang melingkupi. Jika bangunan berdiri sendiri maka bangunan cenderung bersifat

sculptural atau monumental karakternya. Bila D/H = 1, maka merupakan titik genting

(nisbi normal) di mana kualitas ruang eksterior dirasakan kehilangan keseimbangan

antara tinggi bangunan dan ruang antara bangunan. Perletakan D/H = 1,2,3 paling

sering digunakan (Norman, 1983).

Jika D/H>4 maka interaksi bersama mulai menghilang dan interaksi antar

bangunan sukar dirasakan. Sedangkan bila D/H < 1 maka bentuk dan raut bangunan,

tekstur dinding, ukuran dan lokasi, pembukaan-pembukaan dan sudut masuknya

cahaya kedalam bangunan menjadi persoalan utama. Namun tata letak D/H < 1 dapat

dicapai jika suatu keseimbangan yang memadai dijaga dan hubungan antara

bangunan dan ruang sebaiknya distabilkan.

Meskipun pandangan ideal D/H = 2, namun untuk menciptakan skala kawasan

yang lebih intim seperti kawasan komersial, rasio perbandingan yang cocok adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 24: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

32

Batas normal H

Jarak komersil

berada pada rasio perbandingan D/H = 1 bahkan dapat mencapai D/H = 0,6

(Ashihara, 1970) seperti pada Gambar 2.12. Hal ini dimungkinkan terjadi pada ruang-

ruang kota mengingat nilai komersial yang tinggi sehingga ruang yang ada selalu

dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk dapat menampung kebutuhan aktifitas yang

ada.

Gambar 2.12Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012

D

HD/H>4

Interaksi mulai hilang

Pengamat Bangunan

Pengamatan kelompok bangunan

D/H=3H

DPengamat Bangunan

Bangunan

Jarak pandang ideal

D/H=2H

DPengamat

DPengamat Bangunan

D/H=3

H

Pengamat Bangunan

D/H<1

D

Universitas Sumatera Utara

Page 25: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

33

2.4 Teori Persepsi

Persepsi pada dasarnya adalah proses aktif untuk menghasilkan informasi dari

lingkungannya yang dibimbing oleh motivasi dan kebutuhan seseorang. Pada

umumnya manusia memberikan perhatian pada sesuatu secara bertahap dan semakin

detail sehingga membentuk klasifikasi pengalaman pada dirinya. Gerakan

(movement) menurut Gibson (1979) merupakan aspek penting dalam persepsi,

gerakan badan yang dilakukan manusia adalah salah satu cara manusia untuk

mendapatkan informasi dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan menurut Sarlito

(1992) pengertian persepsi dalam pandangan kontruktivisme adalah kumpulan

penginderaan yang diorganisasikan secara tertentu yang dikaitkan dengan

pengalaman masa lalu dan dikaitkan pada makna tertentu. Persepsi manusia dapat

berubah-ubah karena adanya proses fisiologis dan ruang mempunyai atribut yang

dapat mempengaruhi persepsi seseorang.

Faktor-faktor pemahaman ruang (tingkah laku) menyangkut hal-hal yang

lebih dalam mengenai aspek psikologi dari pemakai, bagaimana persepsinya

mengenai suatu ruang/bangunan, bagaimana kebutuhan interaksi sosial antara

pemakai dan bagaimana arti simbolis suatu ruang/bangunan. Menurut Hall.E, (1966)

pengalaman ruang dapat dibentuk melalui:

1. Visual space, terbentuk dari persepsi indera penglihatan.

2. Audial space, terbentuk dari persepsi indera pendengaran.

3. Obsticel space, terbentuk dari persepsi indera penciuman.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

34

4. Thermal space, terbentuk dari persepsi terhadap temperatur lingkungan.

5. Testicle space, terbentuk dari persepsi indera peraba.

6. Kinesthetic space, terbentuk dari persepsi keterbatasan gerak manusia.

2.4.1 Persepsi sebagai produk interaksi individu dan setting

Penghuni dalam ruang, mendapat stimulus dari susunan objek fisik (properti)

dalam suatu setting melaui proses penginderaan untuk dimengerti dan dimaknai

berdasarkan pengalaman individu. Hasil proses penginderaan tadi berupa makna dari

interaksi individu terhadap properti yang dapat mempengaruhi individu tersebut yang

dinamakan persepsi individu terhadap properti. Persepsi inilah yang selanjutnya

menghasilkan reaksi yang berwujud sikap terhadap lingkungannya.

2.4.2 Atribut sebagai produk interaksi individu dalam setting

Menurut Weissman (1981) fenomena perilaku merupakan bentuk interaksi

individu maupun organisasi dengan setting lingkungan (properti dan komponen

lingkungan), fenomena perilaku ini disebut ”atribut” manusia. Lebih lanjut Weissman

(1981) menyebutkan fenomena perilaku berupa atribut tersebut diantaranya:

1. Kenyamananan, adalah lingkungan yang memberi rasa nyaman sesuai

tuntutan panca indera dan antropometrik, serta dapat memfasilitasi

kegiatan untuk mendapatkan efisiensi ruang. Dalam hal ini

kenyamananan memiliki ambang batas ”mutlak” panca indera (Atkinson

dkk, 1983) seperti penglihatan dalam melihat lilin menyala jarak 30 mil di

Universitas Sumatera Utara

Page 27: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

35

malam yang gelap, pendengaran dalam mendengar detak jam jarak 20

kaki disuasana tenang, perasa dalam sesendok teh gula dalam satu galon

air, penciuman dalam setetes parfum yang menguap ke dalam ruangan,

dan sayap lalat yang jatuh 1 cm dari pipi.

2. Aktivitas, adalah perilaku dalam suatu ruangan secara terus menerus.

3. Kesesakan, perasaan individu tentang kepadatan (density) suatu

lingkungan. Meskipun tidak selalu berkaitan tetapi kesesakan dan

kepadatan ruang sering saling mempengaruhi.

4. Sosiabilitas, adalah kemampuan individu melakukan hubungan sosial

dalam suatu setting, dalam hal ini menyangkut pola kedekatan hubungan

antar individu dalam setting konteks keruangan.

5. Privasi, merupakan keinginan atau kecenderungan pada diri manusia

untuk tidak diganggu. Dalam konteks keruangan lebih ke arah

teritorialitas suatu individu.

6. Aksesbilitas, merupakan kemudahan untuk bergerak dalam rangka

melalui maupun menggunakan lingkungan. Dalam konteks ini kelancaran

sirkulasi menuju suatu tujuan yang menjadi konsep utama.

7. Kemampuan beradaptasi, merupakan kemampuan lingkungan untuk

menampung perilaku-perilaku yang berbeda dalam suatu setting. Menurut

Woodwart dalam Gerungan (2000), ada empat kemungkinan.

8. Makna, adalah kemampuan lingkungan menyajikan makna-makna indivi

Universitas Sumatera Utara

Page 28: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

36

dual atau budaya bagi penghuni.

9. Legalibilitas, kemampuan lingkungan memudahkan manusia untuk

memahami lingkungan tersebut.

10. Kontrol adalah kondisi suatu ruang mewujudkan personalitas maupun

teritori yang digunakan untuk mengendalikan teritorial personal mereka.

11. Visibilitas, kemampuan ruang untuk dapat terlihat dengan mudah pada

jarak tertentu hal ini termasuk segala hal yang dilakukan supaya terlihat

dari daerah tertentu.

Konsep mengenai ruang (space), selama ini dikembangkan malalui beberapa

pendekatan, yang paling dominan menurut Friedman dan Harvey dalam Hariyadi

(1995) adalah:

1. Pendekatan ekologis

Dari pendekatan ini, ruang dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem, di

mana komponen-komponen pembentuk ruang saling berhubungan,

berpengaruh dan terkait secara mekanis.

2. Pendekatan ekonomi-fungsional

Dari pendekatan ini, ruang dipandang sebagai komoditi, di mana secara

natural, dinamika pasar akan membentuk keseimbangan antara

permintaan dan penawaran ruang, sehingga kriteria pemanfaatan ruang

menjadi pertimbangan utama pendekatan ini.

3. Pendekatan sosial-politik

Universitas Sumatera Utara

Page 29: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

37

Dari pendekatan ini, ruang digunakan untuk menunjukan power

seseorang atau kelompok tertentu dengan tujuan untuk menguasai ruang

tersebut.

Dari ketiga pendekatan tersebut pola ruang publik terkait kegiatan komersial

adalah susunan posisi dari ruang yang dapat diakses oleh publik yang dimanfaatkan

oleh seseorang atau sekelompok orang untuk dapat melakukan kegiatan komersial di

ruang tersebut.

2.5 Teori Aktivitas Pendukung

2.5.1 Definisi aktivitas pendukung

Kota merupakan suatu ruang atau wadah yang di dalamnya terkait dengan

manusia dan kehidupannya. Kota akan terus berkembang dan seiring dengan

perkembangan pada suatu kawasan akan menarik tumbuhnya aktivitas-aktivitas yang

mendukung perkembangan kawasan tersebut yaitu elemen aktivitas pendukung.

Menurut Shirvani (1985) aktivitas pendukung termasuk di dalamnya semua

fungsi dan kegiatan yang memperkuat ruang-ruang publik kota, antara aktivitas dan

ruang fisik selalu saling melengkapi. Bentuk, lokasi, dan karakter suatu tempat

spesifik akan menarik munculnya fungsi, penggunaan ruang dan aktivitas yang

spesifik pula. Sebaliknya suatu kegiatan cenderung memperhatikan lokasi yang layak

dan baik untuk mendukung kegiatan itu sendiri. Dalam hubungannya dengan

perancangan kota, aktivitas pendukung ini berarti suatu elemen kota yang mendukung

dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang

Universitas Sumatera Utara

Page 30: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

38

mempunyai konsentrasi pelayanan yang cukup besar.

Aktivitas pendukung tidak hanya menyediakan jalan pedestrian atau plaza

tetapi juga mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan elemen-elemen kota

yang dapat menggerakkan aktivitas (Darmawan, 2003). Karakteristik suatu ruang

publik akan terbentuk karena adanya aktivitas-aktivitas yang tumbuh dan berkembang

sehingga memperkuat imej ruang publik tersebut (Lynch, 1969).

2.5.2. Fungsi aktivitas pendukung

Menurut Krier (1979) aktivitas pada sebuah kota akan muncul pada area-area

publik seperti square dan jalan. Jalan merupakan penghubung antar bagian dalam

sebuah kota memiliki potensi untuk munculnya fungsi dan aktivitas lain. Aktivitas

komersil tersebut menjadi generator yang dapat menghidupkan ruang publik. Adapun

fungsi utama aktivitas pendukung adalah menghubungkan dua atau lebih pusat-pusat

kegiatan umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup,

menerus, dan ramai (Danisworo dalam Suntoro, 2002).

Tujuannya adalah untuk menciptakan kehidupan kota yang sempurna/lebih

baik yang dengan mudah mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan

sehari-hari kepada masyarakat kota, di samping memberikan pengalaman-

pengalaman yang memperkaya pemakai (urban experience) dan memberikan peluang

bagi tumbuh berkembangnya budaya urban melalui lingkungan binaan yang baik dan

bersifat mendidik. Kemudahan akses dan kenyamanan fasilitas pada lingkungan

binaan tersebutlah yang pada akhirnya akan mewujudkan kota yang manusiawi.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

39

2.5.3 Bentuk aktivitas pendukung

Bentuk aktivitas pendukung yaitu:

1. Ruang terbuka, bentuk fisiknya dapat berupa taman rekreasi, taman kota,

plaza-plaza, taman budaya, kawasan pedagang kaki lima, jalur pedestrian,

kumpulan pedagang makanan kecil, penjual barang-barang seni/antik,

kumpulan pedagang makanan kecil, penjual barang-barang seni/antik atau

merupakan kelompok hiburan tradisional/lokal.

2. Bangunan diperuntukkan bagi kepentingan umum/ruang tertutup adalah

kelompok pertokoan eceran (grosir), pusat pemerintahan, pusat jasa dan

kantor, department store, perpustakaan umum, dan sebagainya.

2.5.4 Kriteria perancangan aktivitas pendukung

Menurut Brolin dalam Suntoro (2002) untuk menghadirkan ciri lingkungan

kota yang ada hendaknya kriteria desain dari bentuk dan fungsi aktivitas pendukung

ini juga melihat aspek kontekstual dan serasi dengan lingkungannya. Di sini

dibutuhkan kejelian seorang perancang kota (arsitek) untuk menangkap nuansa

lingkungan yang ada dan mengekspresikannya lewat kreativitas yang hasilnya selaras

dengan lingkungannya. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam perancangan

aktivitas pendukung antara lain:

1. Untuk terciptanya dialog yang menerus dan memiliki karakter lokal perlu

adanya keragaman dan intensitas kegiatan yang dihadirkan dalam ruang

tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

40

2. Perlu adanya koordinasi antara kegiatan dengan lingkungan binaan yang

dirancang.

3. Dengan memperhatikan kultur dan pola kehidupan sosial kota merupakan

suatu sistem dari bentuk kegiatan yang memperhatikan aspek kontekstual

terhadap lingkungannya.

4. Untuk dapat menampung aktivitas pada elemen aktivitas pendukung perlu

adanya bentuk dan lokasi yang terukur dari ruang/fasilitas yang

menampung dan bertitik tolak dari skala manusia, agar tidak terjadi

konflik kepentingan antara pengguna tanah di kota.

5. Dalam penggunaan ruang-ruang umum kota seperti taman kota perlu

adanya tempat duduk yang memenuhi persyaratan desain sehingga para

pemakai dapat menikmati lingkungan sekelilingnya.

Keberadaan aktivitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi

kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang publik kota, sehingga semakin

dekat dengan pusat kota semakin tinggi intensitas dan beragam kegiatannya.

Keberadaan elemen aktivitas pendukung diharapkan dapat mengintegrasikan dan

menjadi penghubung antar kegiatan yang terjadi. Kenyataan yang menunjukkan

ruang publik banyak dipadati dan dimanfaatkan oleh masyarakat menunjukkan tanda

sebuah kota yang sehat dan hidup.

2.6 Teori Pertumbuhan Koridor

Salah satu bentuk dasar street adalah koridor, yang merupakan ruang pergerak

Universitas Sumatera Utara

Page 33: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

41

an linear, sebagai sarana untuk sirkulasi. Karakteristiknya ditentukan oleh bangunan

yang melingkupinya dan aktifitas yang ada pada koridor tersebut (Krier, 1979). Selain

itu, pembangunan yang terkontrol dengan koridor jalan untuk kendaraan yang

mempunyai kontribusi yang besar bagi pergerakan dan bentuk trafik dalam suatu

perkotaan (Bishop, 1989). Dalam buku Designing Urban Coridor (Bishop, 1989)

terdapat 2 macam urban koridor, yaitu:

1. Komersial koridor, urban komersial koridor termasuk didalamnya.

Beberapa dari jalan untuk kendaraan utama yang melewati kota. Biasanya

dimulai dari area-area komersial menuju pusat sub-urban yang baru di

mana padat dengan kompleks perkantoran dan pusat layanan.

2. Scenic koridor, memang kurang umum jika dibandingkan dengan

komersial koridor, tetapi scenic koridor memberikan pemandangan yang

unik dan terkenal bagi pengendara saat melewati jalan tersebut. Walaupun

scenic koridor kebanyakan berada di area pedesaan, beberapa komunitas

masyarakat mengenali keunikan urban koridor tersebut karena

memberikan kesempatan bagi mereka dalam perjalanan.

Pendekatan lokal dalam desain dan kontrol dari komersial koridor tergantung

dari fungsi jalan dan lingkungan komunitas masyarakat di mana jalan tersebut berada.

Jumlah, ukuran, dan kondisi dari koridor yang penting akan bervariasi tergantung dari

komunitas tersebut. Pemeliharaan dari keberadaan koridor akan memecahkan

beberapa problem utama kecepatan pertumbuhan suatu kota. Koridor sebagai ruang

Universitas Sumatera Utara

Page 34: 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Bentuk Fisik Suatu Kota

42

pergerakan, memiliki 2 pengaruh langsung pada kualitas lingkungan, yaitu

kelangsungan aktivitas komersial dan kualitas visual yang kuat terhadap struktur dan

bentuk fisik kota. Elemen sirkulasi urban design merupakan peralatan yang

bermanfaat dalam menyusun lingkungan kota karena dapat

membentuk, mengarahkan, dan mengontrol pola aktifitas dan pengembangan suatu

kota (Shirvani, 1985).

Keberadaan suatu koridor sebagai pembentuk elemen kota tidak akan terlepas

dari faktor yang ada dalam koridor tersebut yaitu:

1. Fasade

2. Figure Ground

3. Pedestrian Ways

4. Street Furniture;xx

Bentuk koridor menurut Rob Kryer adalah ruang terbuka dengan bentuk

memanjang yang memiliki batas-batas di sisinya. Menurut Edmund Bacon, koridor

berbentuk deretan massa yang menciptakan linkage visual antara 2 tempat. Roger

Trancik (1986) menyebutkan bahwa pola massa dalam sebuah koridor adalah suatu

figure ground yang dapat membantu mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola tata

ruang, selain itu juga masalah pembentukan dinding koridor.

Universitas Sumatera Utara