26
ANESTESI LOKAL 1. Definisi Anestesi Lokal di Bidang Kedokteran Gigi Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan sensasi pada area tertentu dan terbatas yang dipersarafi oleh nervus tertentu pada tubuh akibat depresi eksitasi ujung serabut saraf ataupun karena inhibisi pada proses konduksi pada nervus perifer. Di kedokteran gigi, anestesi lokal digunakan untuk mengurangi nyeri, sehingga pasien merasa nyaman saat dilakukan tindakan oleh dokter gigi pun mampu bekerja dengan baik. Selain itu, anestesi lokal juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab nyeri pada wajah. Sedangkan Anestesiologi didefinisikan sebagai ilmu yang mendasari usaha dalam hal- hal pemberian anestesi dan analgesik serta menjaga keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan, melakukan tindakan resusitasi pada penderita gawat, mengelola unit perawatan intensif, memberi pelayanan terapi, penanggulangan nyeri menahun bersama cabang ilmu kedokteran lainnya dan dengan peran serta masyarakat secara aktif mengelola kedokteran gawat darurat. Anestesi bersifat reversibel dan sementara. Selain itu pada anestesi dikenal juga adanya anestesi topikal yang merupakan suatu pengaplikasian agen anestesi lokal pada permukaan membran mukosa atau kulit yang kemudian berpenetrasi melewati epidermis dan menganestesi ujung ujung saraf. 2. Indikasi dan Kontra Indikasi Anestesi Lokal di Bidang Kedokteran Gigi Anestesi lokal secara parenteral diberikan untuk infiltrasi dan anestesi blok saraf. Infiltrasi anestesi umumnya digunakan untuk pembedahan minor dan perawatan gigi. Anestesi blok saraf digunakan untuk pembedahan, perawatan gigi, dan prosedur diagnosis dan pengontrolan rasa sakit. Karena keanekaragaman dari mekanisme absorpsi dan

92456643 Anestesi Lokal

Embed Size (px)

Citation preview

ANESTESI LOKAL

1. Definisi Anestesi Lokal di Bidang Kedokteran Gigi

Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan sensasi pada area tertentu dan terbatas

yang dipersarafi oleh nervus tertentu pada tubuh akibat depresi eksitasi ujung serabut saraf

ataupun karena inhibisi pada proses konduksi pada nervus perifer.

Di kedokteran gigi, anestesi lokal digunakan untuk mengurangi nyeri, sehingga pasien

merasa nyaman saat dilakukan tindakan oleh dokter gigi pun mampu bekerja dengan baik.

Selain itu, anestesi lokal juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab nyeri

pada wajah.

Sedangkan Anestesiologi didefinisikan sebagai ilmu yang mendasari usaha dalam hal-

hal pemberian anestesi dan analgesik serta menjaga keselamatan penderita yang mengalami

pembedahan atau tindakan, melakukan tindakan resusitasi pada penderita gawat, mengelola

unit perawatan intensif, memberi pelayanan terapi, penanggulangan nyeri menahun bersama

cabang ilmu kedokteran lainnya dan dengan peran serta masyarakat secara aktif mengelola

kedokteran gawat darurat. Anestesi bersifat reversibel dan sementara.

Selain itu pada anestesi dikenal juga adanya anestesi topikal yang merupakan suatu

pengaplikasian agen anestesi lokal pada permukaan membran mukosa atau kulit yang

kemudian berpenetrasi melewati epidermis dan menganestesi ujung ujung saraf.

2. Indikasi dan Kontra Indikasi Anestesi Lokal di Bidang Kedokteran Gigi

Anestesi lokal secara parenteral diberikan untuk infiltrasi dan anestesi blok saraf.

Infiltrasi anestesi umumnya digunakan untuk pembedahan minor dan perawatan gigi.

Anestesi blok saraf digunakan untuk pembedahan, perawatan gigi, dan prosedur diagnosis

dan pengontrolan rasa sakit. Karena keanekaragaman dari mekanisme absorpsi dan

toksisitasnya, pemilihan jenis dan konsentrasi anestesi lokal yang ideal tergantung pada

prosedur yang akan dilakukan.

Dalam bidang kedokteran gigi, secara umum anestesi lokal diindikasi untuk berbagai

tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan oleh pasien, di

antaranya yaitu ekstraksi gigi, apikoektomi, gingivektomi, gingivoplasti, bedah periodontal,

pulpektomi, pulpotomi, alveoplasti, bone grafting, implant, perawatan fraktur rahang,

reimplantasi gigi avulse, perikoronitis, kista, bedah pengangkatan tumor, bedah pengangkatan

odontoma dan juga penjahitan dan Flapping pada jaringan muko-periosteum.

Sedangkan, kontraindikasi dari pemberian anestesi lokal meliputi:

1) Adanya infeksi/inflamasi akut pada daerah injeksi apabila melakukan anestesi secara

injeksi. Hindari blocking saraf inferior gigi pada dasar mulut atau area retromolar.

2) Penderita hemofilia, Christmas Disease, Von Willebrand Disease.

3) Alergi

4) Penderita hipertensi

5) Penderita penyakit hati/liver

Penderita dengan usia lanjut perlu diperhatikan adanya kelainan hati dan ginjal.

3. Persiapan Pra Anestesi

Sebelum dilakukan pemberian anestesi lokal, operator harus mempertimbangkan

risiko yang dapat terjadi pada pasien. Hal ini disebabkan oleh efek depresan yang merupakan

salah satu efek dari obat-obatan anestesi lokal. Selain itu, obat-obatan anestesi lokal pun

memiliki efek samping lain yaitu bronkospasm yang sering kali menyebabkan hiperventilasi

maupun vasodepressor sinkop. Oleh karena itu, keadaan umum pasien perlu dievaluasi

sebelum melakukan tindakan anestesi. Persiapan pra anestesi ini mencakup tiga persiapan,

yaitu persiapan diri anestetis, persiapan alat dan bahan, dan persiapan pasien.

Persiapan anestesis, berupa anestesis harus sehat fisik dan psikis, memiliki

pengetahuan dan keterampilan anestesi yang memadai, dan memiliki mental yang baik untuk

mengatasi apabila terjadi keadaan yang mengancam jiwa pasien.

Persiapan alat dan bahan anestesi, alat yang biasa digunakan adalah syringe untuk

menyutikkan bahan atau agen anestesi lokal ke daerah yang akan dianestesi. Hal ini perlu

diperhatikan agar penyuntikan berjalan cepat dan lancar. Kemudian siapkan mukosa yang

akan disuntik, dan siap dilakukan penyuntikan langsung pada daerah yang dikehendaki.

Evaluasi Praanestesi dilakukan melalui anamnesis serta evaluasi kondisi fisik pasien.

Dalam anamnesis, pasien ditanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah atau sedang

diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumi, riwayat alergi, dan juga beberapa keluhan-

keluhan yang mungkin dialami oleh pasien. Dalam evaluasi praanestesi ini pula ditanyakan

tentang ketakutan pasien sebelum dilakukan anestesi sehingga keadaan psikologis pasien

dapat pula dievaluasi.

Penyakit-penyakit yang umumnya ditanyakan kepada pasien dalam evaluasi

praanestesi adalah kelainan jantung, hipotensi, diabetes, gagal ginjal, penyakit liver, alergi

terhadap obat, hipertensi, rematik, asma, anemia, epilepsi, serta kelainan darah.

Pemeriksaan fisik praanestesi yang perlu dilakukan adalah inspeksi visual untuk

mengobservasi adanya kelainan pada postur tubuh pasien, gerakan tubuh, bicara, dan

sebagainya; evaluasi tanda vital; serta status kesehatan fisik menurut ASA.

4. Komplikasi Anestesi Lokal

1) Kerusakan Jarum

Penyebab utamanya adalah kelemahan jarum dengan membengkokkannya

sebelum di insersi dalam mulut pasien. Selain itu dapat terjadi karena pergerakan pasien

yang berlebihan secara tiba-tiba sehingga jarum penetrasi ke dalam otot.

Perawatan jika terjadi jarum patah, adalah:

1) Tetap tenang, jangan panik

2) Instruksikan pasien tidak bergerak, jaga mulut pasien agar tetap terbuka. Gunakan bite

block dalam mulut pasien.

3) Jika patahan masih terlihat, coba untuk mengambilnya.

2) Parastesi

Pasien merasa mati rasa (dingin) selama beberapa jam atau bahkan berhari-hari

setelah anastesi lokal. Penyebabnya bisa karena trauma pada beberapa saraf. Selain itu,

injeksi anastesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau cairan sterilisasi dapat

menyebabkan iritasi sehingga menyebabkan edema dan sampai menjadi parastesi.

Parastesi dapat sembuh sendiri dalam waktu 8 minggu dan jika kerusakan pada

saraf lebih berat maka parastesi dapat menjadi permanen, namun jarang terjadi.

Perawatan pada pasien yang mengalami parastesi yaitu:

1) Yakinkan kembali pasien dengan berbicara secara personal.

2) Jelaskan bahwa parastesi jarang terjadi, hanya 22% telah dilaporkan yang

berkembang menjadi parastesi.

3) Periksa pasien:

(1) Menentukan derajat dan luas parastesi

(2) Jelaskan pada pasien bahwa parastesi akan sembuh sendiri dalam waktu 2 bulan.

(3) Jadwal ulang pertemuan setiap 2 bulan sampai adanya pengurangan reaksi sensori

(4) Jika ada, maka konsultasi ke bagian Bedah Mulut.

3) Paralisis Nervus Fasial

Gambar 1. Paralisis nervus fasial akibat blok saraf alveolar inferior pada sisi kiri

Paralisis sebagian dari cabang trigeminal terjadi pada blok saraf infraorbital atau

infiltrasi kaninus maksila, biasanya dapat menyebabkan otot kendur.

Paralisis nervus fasial dapat disebabkan karena kesalahan injeksi anastesi lokal

yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum secara posterior menembus ke

dalam badan glandula parotid sehingga hal ini menyebabkan paralisis.

Pasien yang mengalami paralisis unilateral mempunyai masalah utama yaitu

estetik. Wajah pasien terlihat berat sebelah. Tidak ada treatment khusus kecuali

menunggu sampai aksi dari obat menghilang. Masalah lainnya adalah pasien tidak dapat

menutup satu matanya secara sadar, refleks menutup pada mata menjadi hilang dan

berkedip menjadi susah.

4) Trismus

Trismus adalah kejang tetanik yang berkepanjangan dari otot rahang dengan

pembukaan mulut menjadi terbatas (rahang terkunci). Etiologinya karena trauma pada

otot atau pembuluh darah pada fossa infratemporal. Kontaminasi alkohol dan larutan

sterlisasi pun dapat menyebabkan iritasi jaringan kemudian menjadi trismus. Hemoragi

juga penyebab lain trismus.

5) Luka jaringan lunak

Trauma pada bibir dan lidah biasanya disebabkan karena pasien tidak hati-hati

menggigit bibir atau menghisap jaringan yang teranastesi. Hal ini menyebabkan

pembengkakan dan nyeri yang siginifikan. Kejadian ini sering terjadi pada anak-anak

handicapped.

6) Hematoma

Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah blok nervus

alveolar superior posterior atau nervus inferior. Hematoma yang terjadi setelah blok saraf

alveolar inferior dapat dilihat secara intraoral sedangkan hematoma akibat alveolar blok

posterior superior dapat dilihat secara extraoral.

Komplikasi hematoma juga dapat berakibat trismus dan nyeri. Pembengkakan dan

perubahan warna pada region yang terkena dapat terjadi setelah 7 sampai 14 hari.

Gambar 2. Hematoma akibat blok nervus mentale bilateral

7) Nyeri

Penyebabnya dapat terjadi karena :

1) Teknik injeksi yang tidak hati-hati dan tidak berperasaan

2) Jarum tumpul akibat pemakaian injeksi multiple

3) Deposisi cepat pada obat anastesi local yang menyebabkan kerusakan jaringan

4) Jarum dengan mata kail (biasanya akibat tertusuk tulang)

Nyeri yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan kecemasan pasien dan

menciptakan gerakan tiba-tiba dan menyebabkan jarum patah.

8) Rasa terbakar

pH dari obat anastesi lokal yang dideposit ke dalam jaringan lunak dipersiapkan

berkisar 5, namun menjadi lebih asam (sekitar 3) sehingga menyebabkan rasa terbakar.

Selain itu, penyebab rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat, biasanya

pada palatal. Selain itu, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga

menyebabkan rasa terbakar.

Jika disebabkan karena pH, maka akan menghilang sejalan dengan reaksi anastesi.

Namun jika disebabkan karena injeksi terlalu cepat, kontaminasi dan obat anastesi yang

terlalu hangat dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat berkembang menjadi

trismus, edema, bahkan parastesi.

9) Infeksi

Penyebab utamanya adalah kontaminasi jarum sebelum administrasi anastesi.

Kontaminasi terjadi saat jarum bersentuhan dengan membran mukosa. Selain itu,

ketidakahlian operator untuk teknik anastesi lokal dan persiapan yang tidak tepat

menyebabkan infeksi.

10) Edema

Pembengkakan jaringan merupakan manifestasi klinis adanya beberapa gangguan.

Edema dapat terjadi karena:

1) Trauma selama injeksi

2) Infeksi

3) Alergi

4) Hemoragi

5) Jarum yang teriritasi

6) Hereditary angioderma

Edema dapat menyebabkan rasa nyeri dan disfungsi dari region yang terkena.

Angioneurotik edema yang dihasilkan akibat topical anastesi pada individu yang alergi

dapat membahayakan jalan napas. Edema pada lidah, faring, dan laring dapat berkembang

pada situasi gawat darurat.

11) Pengelupasan jaringan

Gambar 3. Pengelupasan jaringan pada palatum akibat iskemia sekunder yang lama akibat

local anastesi dengan vasonkonstriktor

Iritasi yang berkepanjangan atau iskemia pada gusi akan menyebabkan beberapa

komplikasi seperti deskuamasi epitel dan abses steril. Penyebab deskuamasi epitel antara

lain:

1) Aplikasi topical anastesi pada gusi yang terlalu lama

2) Sensitivitas yang sangat tinggi pada jaringan

3) Adanya reaksi pada area topical anastesi

Penyebab abses steril antara lain:

1) Iskemi sekunder akibat penggunaan lokal anastesi dengan vasokonstriktor

(norepineprin)

2) Biasanya berkembang pada palatum keras

Nyeri dapat terjadi pada deskuamasi epitel atau abses steril sehingga ada

kemungkinan infeksi pada daerah yang terkena.

12) Lesi intraoral post anastesi

Pasien sering melaporkan setelah 2 hari dilakukan anastesi lokal timbul ulserasi

pada mulut mereka, terutama di sekitar tempat injeksi. Gejala awalnya adalah nyeri. RAS

atau herpes simplex dapat terjadi setelah anastesi lokal. Recurrent aphthous stomatitis

merupakan penyakit yang paling sering daripada herpes simplex, terutama berkembang

pada gusi yang tidak cekat dengan tulang. Biasanya pasien mengeluh adanya sensitivitas

akut pada area ulser.

5. Teknik Blok Anestesi untuk Pencabutan Gigi Rahang Bawah

Anestesi blok rahang bawah biasanya dilakukan apabila kita memerlukan daerah yang

teranestesi luas misalnya pada waktu pencabutan gigi posterior rahang bawah atau

pencabutan beberapa gigi pada satu quadran.

Tabel 1. Teknik Blok Anestesi untuk Pencabutan Gigi Rahang Bawah

Teknik Saraf yang dituju Daerah yang teranestesi

Gow-Gates N. Mandibularis Gigi mandibula setengah quadran,

mukoperiosteum bukal dan

membran mukosa pada daerah

penyuntikan, dua pertiga anterior

lidah dan dasar mulut, jaringan

lunak lingual dan periosteum,

korpus mandibula dan bagian bawah

ramus serta kulit diatas zigoma,

bagian posterior pipi dan region

temporal

Akinosi dan Fisher N. Alveolaris

inferior dan N.

Lingualis

Gigi-gigi mandibula setengah

quadran, badan mandibula dan

ramus bagian bawah,

mukoperiosteum bukal dan

membrane mukosa didepan foramen

mentalis, dasar mulut dan dua

pertiga anterior lidah, jaringan lunak

dan periosteum bagian lingual

mandibula

5.1 Anestesi blok teknik Gow-Gates

Prosedur :

1) Posisi duduk pasien terlentang atau setengah terlentang.

2) Pasien diminta untuk membuka mulut lebar dan ekstensi leher

3) Posisi operator:

(1) Untuk mandibula sebelah kanan, operator berdiri pada posisi jam 8 menghadap

pasien.

(2) Untuk mandibula sebelah kiri, operator berdiri pada posisi jam 10 menghadap

dalam arah yang sama dengan pasien.

4) Tentukan patokan ekstra oral: intertragic notch dan sudut mulut. Daerah sasaran:

daerah medial leher kondilus, sedikit dibawah insersi otot pterygoideus eksternus.

5) Operator membayangkan garis khayal yang dibentuk dari intertragic notch ke sudut

mulut pada sisi penyuntikan untuk membantu melihat ketinggian penyuntikan secara

ekstra oral dengan meletakkan tutup jarum atau jari telunjuk.

6) Jari telunjuk diletakkan pada coronoid notch untuk membantu meregangkan jaringan .

7) Operator menentukan ketinggian penyuntikan dengan patokan intra oral berdasarkan

sudut mulut pada sisi berlawanan dan tonjolan mesiopalatinal M2 maksila.

8) Daerah insersi jarum diberi topical antiseptik.

9) Spuit diarahkan ke sisi penyuntikan melalui sudut mulut pada sisi berlawanan,

dibawah tonjolan mesiopalatinal M2 maksila, jarum diinsersikan kedalam jaringan

sedikit sebelah distal M2 maksila .

10) Jarum diluruskan kebidang perpanjangan garis melalui sudut mulut ke intertragic

notch pada sisi penyuntikan kemudian disejajarkan dengan sudut telinga kewajah

sehingga arah spuit bergeser ke gigi P pada sisi yang berlawanan, posisi tersebut dapat

berubah dari M sampai I bergantung pada derajat divergensi ramus mandibula dari

telingan ke sisi wajah.

11) Jarum ditusukkan perlahan-lahan sampai berkontak dengan tulang leher kondilus,

sampai kedalamam kira-kira 25 mm. Jika jarum belum berkontak dengan tulang,

maka jarum ditarik kembali per-lahan2 dan arahnya diulangi sampai berkontak

dengan tulang. Anestetikum tidak boleh dikeluarkan jika jarum tidak kontak dengan

tulang.

12) Jarum ditarik 1 mm , kemudian aspirasi, jika negatif depositkan anestetikum sebanyak

1,8 – 2 ml perlahan-lahan.

13) Spuit ditarik dan pasien tetap membuka mulut selama 1 – 2 menit .

14) Setelah 3 – 5 menit pasen akan merasa baal dan perawatan boleh dilakukan

.

Gambar 4. Lokasi anestesi untuk rahang bawah

5.2 Anestesi blok teknik Akinosi

Teknik ini dilakukan dengan mulut pasien tertutup sehingga baik digunakan pada

pasien yang sulit atau sakit pada waktu membuka mulut.

Prosedur:

1) Pasien duduk terlentang atau setengah terlentang

2) Posisi operator untuk rahang kanan atau kiri adalah posisi jam delapan berhadapan

dengan pasien.

3) Letakkan jari telunjuk atau ibu jari pada tonjolan koronoid, menunjukkan jaringan

pada bagian medial dari pinggiran ramus. Hal ini membantu menunjukkan sisi injeksi

dan mengurangi trauma selama injeksi jarum.

4) Gambaran anatomi:

(1) Mucogingival junction dari molar kedua dan molar ketiga maksila

(2) Tuberositas maksila

5) Daerah insersi jarum diberi antiseptic kalau perlu beri topikal anestesi.

6) Pasien diminta mengoklusikan rahang, otot pipi dan pengunyahan rileks.

7) Jarum suntik diletakkan sejajar dengan bidang oklusal maksila, jarum diinsersikan

posterior dan sedikit lateral dari mucogingival junction molar kedua dan ketiga

maksila.

8) Arahkan ujung jarum menjauhi ramus mandibula dan jarum dibelokkan mendekati

ramus dan jarum akan tetap didekat N. Alveolaris inferior.

9) Kedalaman jarum sekitar 25 mm diukur dari tuberositas maksila.

10) Aspirasi, bila negatif depositkan anestetikum sebanyak 1,5 – 1,8 ml secara perlahan-

lahan. Setelah selesai , spuit tarik kembali. Kelumpuhan saraf motoris akan terjadi

lebih cepat daripada saraf sensoris. Pasien dengan trismus mulai meningkat

kemampuannya untuk membuka mulut.

5.3 Teknik Fisher

Prosedur:

1) Posisi pasien duduk dengan setengah terlentang.

2) Aplikasikan antiseptic didaerah trigonum retromolar.

3) Jari telunjuk diletakkan dibelakang gigi terakhir mandibula, geser ke arah lateral

untuk meraba linea oblique eksterna. Kemudian telunjuk digeser ke median untuk

mencari linea oblique interna, ujung lengkung kuku berada di linea oblique interna

dan permukaan samping jari berada dibidang oklusal gigi rahang bawah.

Posisi:

1) Posisi I: Jarum diinsersikan dipertengahan lengkung kuku , dari sisi rahang yang tidak

dianestesi yaitu regio premolar.

2) Posisi II: Spuit digeser kesisi yang akan dianestesi, sejajar dengan bidang oklusal dan

jarum ditusukkan sedalam 5 mm, lakukan aspirasi bila negatif keluarkan anestetikum

sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Lingualis.

3) Posisi III: Spuit digeser kearah posisi I tapi tidak penuh lalu jarum ditusukkan sambil

menyelusuri tulang sedalam kira-kira 10-15 mm. Aspirasi dan bila negative keluarkan

anestetikum sebanyak 1 ml untuk menganestesi N. Alveolaris inferior. Setelah selesai

spuit ditarik kembali.

5.4 Teknik modifikasi Fisher

Setelah kita melakukan posisi III, pada waktu menarik kembali spuit sebelum

jarum lepas dari mukosa tepat setelah melewati linea oblique interna ,jarum digeser

kelateral (kedaerah trigonum retromolar), aspirasi dan keluarkan anestetikum sebanyak

0,5 ml untuk menganestesi N. Bukalis. Kemudian Spuit ditarik keluar.

5.5 Teknik Inferior Alveolar Nerve Blok

Blok nervus alveolar inferior biasanya digunakan untuk injeksi anestesi

mandibula. Menganestesi pada gigi mandibula dari garis midline diinjeksikan pada

corpus mandibula., mukosa bukal, dan tulang pada gigi anterior ke molar pertama

mandibular, dua pertiga anterior lidah dan dasar mulut, serta dasar mukosa dan tulang

daerah daerah lingual ke gigi mandibula di sisi injeksi. Gunakan jarum dengan panjang 25

gauge.

Jaringan harus menembus pada batas medial ramus mandibular di puncak

coronoid notch di pterygomandibular raphe. Titik suntikan harus sekitar 1,5 cm diatas

garis occlusal mandibula dengan bersudut kearah tulang-tulang. Barrel jarum harus

sejajar dengan bidang oklusal molar mandibula, dan tiba di premolar kuadran yang

berlawanan. Jarum harus maju pelan-pelan, menaruh beberapa tetes anestesi dan

aspirating sampai tulang. Biasanya pada pasien orang dewasa, jarum akan dimasukkan

20-25 mm (sekitar 2/3 panjang jarum). Pemberian anestesi akan tepat dikirimkan di atas

foramen mandibular.

Gambar 5. Teknik inferior alveolar nerve blok

Tabel 2. Gigi mandibula dan teknik anestesi

Gigi Anestesi pulpa

Jaringan lunak

Bukal Palatal

Incisor Infraorbital (IO) Infraorbital(IO) Nasopalatine

Infiltration Infiltration Infiltration

AMSA AMSA AMSA

P-ASA P-ASA P-ASA

V2 V2 V2

Canines Infraorbital Infraorbital Nasopalatine

Infitration Infiltration Infiltration

AMSA AMSA AMSA

P-ASA P-ASA P-ASA

V2 V2 V2

Premolar Infraorbital Infraorbital Greater palatine

Infitration Infiltration Infiltration

AMSA AMSA AMSA

ASA ASA V2

V2 V2

Molars PSA PSA Greater palatine

Infiltration Infiltration Infiltration

V2 V2 V2

From: Mosby. 2007. Dental Drugs Consult.USA:Elsevier.

6. Teknik Anestesi Infiltrasi untuk Rahang Atas dan Rahang Bawah

Teknik infiltrasi dapat dibedakan menjadi:

1) Suntikan submukosa

Istilah ini diterapkan apabila larutan didepositkan tepat dibalik membrane mukosa.

Walaupun cenderung tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi, suntikan ini sering

digunakan baik untuk menganestesi saraf bukal sebelum pencabutan molar bawah atau

operasi jaringan lunak.

2) Suntikan Supraperiosteal

Pada beberapa daerah seperti maksila, bagian kortikal bagian luar dari tulang alveolar

biasanya tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vascular yang kecil. Pada daerah ini bila

larutan didepositkan di luar periosteum, larutan akan terinfiltrasi melalui periosteum,

bidang kortikal, dan tulang medularis ke serabut saraf. Dengan cara ini anestesi pulpa gigi

dapat diperoleh melalui penyuntikan di sepanjang apeks gigi. Suntika supraperiosteal

merupakan teknik yang paling sering digunakan pada kedokteran gigi.

3) Suntikan subperiosteal

Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan antara periosteum dan bidang kortikal.

Karena struktur ini terikat erat, suntikan tentu terasa sakit. Karena itu, suntikan ini hanya

digunakan apabila tidak ada alternative lain atau apabila anestesi superficial dapat

diperoleh dari suntikan supraperiosteal. Teknik ini biasa digunakan pada palatum dan

bermanfaat bila suntikan supraperiosteal gagal untuk memberikan efek anestesi walaupun

biasanya pada situasi ini lebih sering digunakan suntikan intraligamen.

4) Suntikan Intraseous

Gambar 6. Suntikan intraseous

Pada teknik ini larutan didepositkan pada tulang medularis. Prosedur ini sangat effektif

apabila dilakukan dengan bur tulang dan jarum yang didesain khusus untuk tujuan

tersebut. Setelah suntikan supraperiosteal diberikan dengna cara biasa, dibuat incise kecil

melalui mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk mendapat

jalan masuk bagi bur dan reamer kecil. Kemudian dapat dibuat lubang melalui bidang

kortikal bagian luar tulang dengan alat yang sudah dipilih. Lubang harus terletak pada

bagian apeks gigi sehingga tidak mungkin merusak akar gigi geligi.

Jarum pendek dengan hubungan yang panjang diinsersikan melalui lubang dan diteruskan

ke tulang, larutan anestesi 0,25 ml didepositkan perlahan ke ruang medularis dari tulang.

Teknik suntikan intraseous akan memberikan efek anestesi yang baik pada pulpadisertai

gangguan sensasi jaringan lunak yang minimal. Walaupun demikian biasanya tulang

alveolar akan terkena trauma dan cenderung tejadi rute infeksi. Prosedur asepsis yang

tepat pada tahap ini merupakan keharusan.

5) Suntikan Intraseptal

Merupakan modivikasi dari suntikan intraseous yang kadang-kadang digunakan bila

anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila akan dipasang geligi tiruan immediate

serta bila teknik supraperiosteal tidak mungkin diguakan. Jarum 27 gauge diinsersikan

pada tulang lunak di crest alveolar. Larutan didepositkan dengan tekanan dan berjalan

melalui tulang medularis serta jaringan periodontaluntuk memeberi efek anestesi. Teknik

ini hanya dapat digunakan setelah diproses anestesi superficial.

6.1 Anestesi Infiltrasi pada Maksila

6.1.1 Gigi Incisive sentral, incisive lateral, dan kaninus

Gigi Incisive sentral RA dapat diberikan anestesi menggunakan teknik

infiltrasi. Membran mukosa ditarik kencang dan jarum dimasukkan sedalam kira-kira

8 mm kea rah apical pada margin ginggiva. Kemudian di dorong hati-hati ke atas,

melewati bawah periosteum, sampai ujung jarum mencapai apek gigi. Anestesi local

didepositkan sebanyak 1 ml.

Pada gigi incisive lateral, jarum harus dimasukkan pada akar yang terendah.

Selain tiu karena posisi apek akar gigi incisive yang relative dekat ke palatal,

seringkali digunakan anestasi blok naso palatine untuk menjamin tersedianya anestesi

pada gigi tersebut. Sedangkan paa gigi kaninus ujung jarum ditempatkan pada

eminensia kaninus.

6.1.2 Gigi Premolar I dan II

Anestesi infiltrasi pada gigi premolar kedua RA menggunakan teknik yang

sama dengan insicive dan kaninus. Membran mukosa ditarik kuat, kemudian jarum

dimasukkan secara perlahan, buat kemiringan menuju tulangsampai ujung jarum pada

apek gigi yang akan dianestesi. Eminensia kaninus dan dasar prosessus zygomatikus

maksila merupakan panduan yang berguna dalam menempatkan jarum. Untuk gigi

premolar pertama, jarum harus ditempatkan pada bagian fistal eminensia kaninus dan

sekitar 22 mm dari ujung cusp bukal. Sedangkan untuk gigi premolar kedua,

diempatkan di mesial dasar prosessus zygomatikus dan sekitar 21 mm dari ujung cusp

bukal.

6.1.3 Gigi Molar Permanen I, II, dan III

Pemberian anestesi pada gigi permanen molar dilakukan dengan cara bukal

infiltrasi. Adanya prosessus zygomatikus pada tulang maksila menyebabkan

diperlukannya pemberian dua infiltrasi, yang pertama pada mesial prosessus

zygomaticus untuk akar mesio distal, yang kedua diberikan pada bagian distal untuk

akar disto bukal. Untuk akar mesio bukal ujung jarum sebaiknya sekitar 23 mm dari

cusp mesio bukal. Sedangkan untuk akar disto bukal lebih pendek, sekitar 21 mm dari

csusp disto bukal. Akar palatal yang terlalu jauh dari kortek bukal maksila yang

terbagi, memerlukan adanya infiltrasi palatal. Untuk mencapainya diunakan jarum

yang pendek, kira 3-4mm yang amsuk ke mukosa palatal, sekitar 8 mm dari apical ke

margin ginggiva.

Tabel 3. Gigi maksila dan teknik infiltrasi

Gigi Anestesi pulpa

Jaringan lunak

Bukal Palatal

Insisif Incisive(Inc) IANB IANB

Inferior alveolar (IANB) GG GG

Gow-Gates (GG) VA VA

Vazirani-Akinosi(VA) Inc PDL

Periodontal ligament (PDL) injection IS IS

Intraseptal (IS) Mental Inf

Intraosseous (IO) PDL IO

Infiltration (lateral incisor only) Inf

IO

Canines Inferior alveolar IANB IANB

Gow-Gates GG GG

Vazirani-Akinosi VA VA

Incisive Inc PDL

Periodontal ligament innjection PDL IS

Intraseptal IS Inf

Intraosseous IO IO

Inf

Mental

Premolar Inferior alveolar IANB IANB

Gow-Gates GG GG

Vazirani-Akinosi VA VA

Incisive Inc PDL

Periodontal ligament injection PDL IS

Intraseptal IS IO

Intraosseous IO Inf

Mental

Inf

Molars Inferior alveolar IANB IANB

Gow-Gates GG GG

Vazirani-Akinosi VA VA

Periodontal ligament injection PDL PDL

Intraseptal IS IS

Intraosseous IO IO

Inf Inf

From: Mosby. 2007. Dental Drugs Consult.USA:Elsevier.

6.2 Anestesi Infiltasi pada Mandibula

6.2.1 Gigi Insisive sentral, incisive lateral, dan kaninus

Jarum ditempatkan sehingga ujung jarum kira-kira 18 mm dari tepi incisal.

Secara klinis, jarum ditempatkan jauh pada sulcus labial, dan ujungnya dimasukkan

kebawah periosteum. Sekitar 0,75-1 ml yang diinjeksikan.

6.2.2 Gigi Premolar I dan II

Ujung jarum ditempatkan pada sulkus buka, dekat dengan apek gigi yang

bersangkutan. Membran mukosa ditarik kuat dan ujung jarum ditempatkan secara

supperiosteum dengan kemiringan kearah tulang. Sekitar 0,5-1 ml cairan

didepositkan baik pada aspek labial maupun aspek ingual.

6.2.3 Gigi permanen molar I,II, dan III

Teknik dasarnya sama seperti gigi premolar, berbeda pada posisi jarum dalam

hubungannya dengan gigi yang bersangkutan.

7. Teknik Blok Anestesi N. Palatinus

Nervus naso palatinus keluar dari foramen incisivus. Daerah yang teranestesi adalah

bagian bucal dari palatum durum sampai gigi caninus kiri dan kanan. Tekniknya:

1) Titik suntikan terletak sepanjang papilla insisivum yang berlokasi pada garis tengah

rahang, di posterior gigi insisivus sentral. Ujung jarum diarahkan ke atas pada garis

median menuju canalis palatine anterior. Walaupun anestesi topical bisa digunakan untuk

membantu mengurangi rasa sakit pada daerah titik suntikan, anestesi ini mutlak harus

digunakan untuk injeksi nasopalatinus. Dianjurkan juga untuk melakukan anestesi

permulaan jaringan yang akan dilalui jarum.

2) Jarum tersebut jarum tersebut dimasukkan kira-kira 2 mm kemudian larutan anestesi

dikeluarkan secara perlahan-lahan sebanyak 0,5 cc. Jarum yang digunakan adalah jarum

yang pendek ukuran 25 atau 27 gauge. Analgesia palatum pada salah satu sisi sampai ke

kaninus dapat diperoleh dengan mendepositkan 0,5-0,75 ml larutan pada nervus palatina

besar ketika nervus keluar dari foramen palatina besar.

3) Secara klinis, jarum dimasukkan 0,5 cm. Suntikan diberikan perlahan karena jaringan

melekat erat. Mukosa dapat memutih, dan ludah dari kelenjar ludah minor dapat

dikeluarkan.

Gambar 7. Teknik blok anestesi N. Palatinus

7.1 Blok Nervus Palatinus Anterior

Syaraf ini keluar dari foramen palatinus major. Daerah yang teranestesi adalah

bagian posterior dari palatum durum mulai dari premolar.

1) Anatomi Landmark

Molar dua dan tiga maxilla. Tepi gingiva sebelah palatinal dari molar dua dan molar

tiga maxilla. Garis khayal yang kita buat dari 1/3 bagian tepi gingiva sebelah palatinal

ke arah garis tengah palatum

2) Indikasi

Untuk anestesi daerah palatum dari premolar satu sampai molar tiga. Untuk operasi

daerah posterior dari palatum durum.

3) Teknik

(1) Nervus palatinus anterior keluar dari foramen palatinus mayor yang terletak antara

molar dua, molar tiga dan 1/3 bagian dari gingiva molar menuju garis median.

Jika tempat tersebut telah ditentukan, tusuklah jarum dari posisi berlawanan mulut

(bila di suntikkan pada sebelah kanan, maka arah jarum dari kiri menuju kanan).

Sehingga membentuk sudut 90º dengan curve tulang palatinal. Jarum tersebut

ditusukkan perlahan-lahan hingga kontak dengan tulang kemudian kita

semprotkan anestetikum sebanyak 0,25-0,5 cc.

(2) Injeksi Nervus Palatinus Major

Tentukan titik tengah garis kayal yang ditarik antara tepi gingiva molar ketiga atas

di sepanjang akar palatalnya terhadap garis tengah rahang. Injeksikan anestetikum

sedikit mesial dari titik tersebut dari sisi kontralateral.

Karena hanya bagian n.palatinus major yang keluar dari foramen palatinum majus

(foramen palatinum posterior) yang akan dianestesi, jarum tidak perlu diteruskan

sampai masuk ke foramen. Injeksi ke foramen atau deponir anestetikum dalam

jumlah besar pada orifisium foramen akan menyebabkan teranestesinya

n.palatinus medius sehingga palatum molle menjadi keras. Keadaan ini akan

menyebabkan timbulnya gagging.

Injeksi ini menganestesi mukoperosteum palatum dari tuber maxillae sampai ke

regio kaninus dan dari garis tengah ke crista gingiva pada sisi bersangkutan.

Gambar 8. Injeksi nervus palatinus major

(3) Injeksi Sebagian Nervus Palatinus

Injeksi ini biasanya hanya untuk ekstraksi gigi atau pembedahan. Injeksi ini

digunakan bersama dengan injeksi supraperiosteal atau zigomatik.

Kadang-kadang bila injeksi supraperiosteal dan zigomatik digunakan untuk

prosedur dentistry operatif pada regio premolar atau molar atas, gigi tersebut

masih tetap terasa sakit. Disini, anestesi bila dilengkapi dengan mendeponir

sedikit anestetikum di dekat gigi tersebut sepanjang perjalanan n.palatinus major.

DAFTAR PUSTAKA

Malamed, Stanley F. 2004. Handbook of Local Anasthesia 5th

ed. St. Louis : Elsevier.

J.A. Baart & H.S. Brand. 2008. Local Anesthesia in Dentistry. United Kingdom: Wiley

Blackwell.

Mosby. 2007. Dental Drug Reference. USA: Elsevier.