Upload
nguyenkhue
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
99
Bab III
Rumah Kawin, Perkawinan dan Cio Tao
Penelusuran relasi Rumah Kawin dengan kehidupan masyarakat Cina
Benteng Udik, masa lalu dan masa kini, pada akhirnya mengerucut pada tiga
pokok bahasan, yaitu: eksistensi Rumah Kawin, tradisi perkawinan dan
spiritualitas Cio Tao. Melalui tiga faktor kontinuitas, strategi dan harmoni sebagai
pisau analisisnya diharap akan mengarah pada fakta-fakta relasi Rumah Kawin
Song dengan masyarakatnya.
III.1. Rumah Kawin sebagai Wacana
Rumah Kawin di Lingkungan Kampung Melayu, Teluknaga - Tangerang
hadir sebagai sarana yang memenuhi kebutuhan pernikahan masyarakat setempat
sejak tahun 1962, kehadiran Rumah Kawin bukan sekedar jawaban dari
keterbatasan lahan perumahan yang dimiliki calon pengantin, lebih jauh lagi
Rumah Kawin adalah wujud ideal dari sarana yang dibutuhkan masyarakat
setempat.
Kebutuhan berkembang sejalan dengan kemajuan yang dialami Kampung
Melayu, akses jalan raya dan pasokan listrik yang baru mereka rasakan tahun 1982
merupakan percepatan-percepatan terhadap perkembangan kebutuhan mereka,
informasi melalui interaksi dengan masyarakat luar, surat kabar dan tayangan
televisi mempercepat masuknya nilai-nilai medernitas yang mengutamakan
kepraktisan, unsur-unsur pembanding segera mengepung kehidupan mereka,
perbedaan itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat sekedar
dijawab tetapi harus ditindak-lanjuti, perbedaan tersebut mengerucut sebagai
tuntutan-tuntutan perubahan.
Cina Benteng Udik tidak diam, mereka melakukan perubahan drastis.
Tahun 1994, Rumah Kawin Teng merupakan sarana pertama yang menjawab
tuntutan, dua ratus juta rupiah yang dikumpulkan anak-anak Teng sebagai
pertaruhan untuk melakukan perubahan penampilan fisik sehingga menaikkan nilai
sewa gedung lebih dari lima kali lipat. Tampilan yang modern dengan konsep
penataan ruang lama menyebabkan Rumah Kawin Teng harus menghilangkan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
100
detail-detail karakter lokalnya, karakter rumah kawin Cina Benteng Udik. dengan
tampilan meja abu dan bahan-bahan sederhana sudah dihilangkan, bahan kayu
diganti tiang-tiang beton, bahan bambu dan anyaman diganti dengan papan
gypsum, kehadiran altar pengantin lengkap dengan backdrop-nya tidak beda
dengan tampilan ruang resepsi pernikahan di Jakarta, semua itu merupakan
identitas baru bagi Rumah Kawin Teng.
Ruang Serbaguna Lautan tampil lebih mewah, ruang yang tertata rapi,
langit-langit yang tinggi dan pelataran parkir yang luas menjadikan Ruang
Serbaguna Lautan sebagai tempat resepsi yang paling modern. Karakter lokal
Rumah Kawin Cina Benteng Udik tidak tampak mengingat gedung ini semula
digunakan sebagai gudang Indofood dan saat ini digunakan untuk kegiatan yang
beragam. Biaya sewa gedung serbaguna ini berkisar delapan juta rupiah berikut
altar pengantin sebagai dekorasi yang mudah dilepas dan dipasang ulang.
Bagaimana dengan Rumah Kawin Song?, semenjak 1962 Rumah Kawin
Song tampil apa adanya, penataan ruang yang khas sebagai Rumah Kawin Cina
Benteng Udik menunjukkan tidak adanya respon terhadap tuntutan perubahan,
Lantai yang terbuat dari flur semen membentuk gelombang-gelombang dibeberapa
tempat, bangunan berstruktur kayu dan bambu serta atap gerabah tampak jelas dari
ruangan karena tidak memiliki langit-langit, pencahayaan yang redup, meja altar
tua, miring dan kusam menambah kesan tidak terurus dengan benar, dapur kamar
mandi dan Ruang Pedaringan yang berbau jamur, kotor, kumuh dan tidak terawat
menjadikan Rumah Kawin Song sebagai Rumah Kawin yang paling buruk di
antara Rumah Kawin lain di Kampung Melayu. Di balik itu, apa yang dilakukan
oleh Cina Benteng Udik Kampung Melayu?, mereka menetapkan Rumah Kawin
ini sebagai Rumah Kawin yang paling ideal bagi mereka.
Rumah Kawin Song bukan yang paling murah, biaya sewa gedung di atas
lima juta rupiah tidak mengurangi minat masyarakat untuk menggunakan rumah
kawin ini, berdasarkan perbandingan pemakaiannya, Rumah Kawin Song paling
sering digunakan dibandingkan Rumah Kawin Teng, dan yang jarang digunakan
untuk pernikahan adalah Ruang Serbaguna Lautan. Apa yang tampak dari
fenomena Rumah Kawin Song ini?, apakah tampilan bersahaja Rumah Kawin
Song merupakan strategi mereka?. Nyatanya keluarga Song tidak mampu
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
101
membiayai renovasi Rumah Kawinnya, sertfikat Rumah Kawin yang tergadai
karena Song kalah judi juga entah ada di tangan siapa, penghasilan Rumah Kawin
habis terbagi untuk anak dan cucu Song yang hidup sederhana. Dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa Rumah Kawin Song hanya jalan di tempat, tidak merespon
tuntutan perubahan bahkan berlindung di balik wajah kolot tradisi setempat.
Dalam konteks strategi, tampak Rumah Kawin Teng telah menunjukkan
hasil pelaksanaan strateginya, yaitu mengubah citra diri dengan berganti wajah
sehingga penghasilan dari sewa gedung meningkat berlipat dan pangsa pasarnya
tidak terbatas pada suku atau agama tertentu; demikian juga dengan Ruang
Serbaguna Lautan yang tidak terikat dengan identitas tunggal sehingga tidak ingin
terjebak dalam satu wadah kegiatan; namun sebaliknya, bagaimana dengan Rumah
Kawin Song? Apakah kondisi tidak ada perubahan bisa disebut sebagai strategi?
Jika demikian, tentunya ada kunci yang dapat memberi jawaban - mengapa tidak
ada perubahan tetapi tetap bertahan?, bahkan paling diminati!.
Bagi masyarakat penyewa Rumah Kawin, katakanlah Pak Pandan sebagai
contohnya, alasan pertama yang mereka gunakan untuk memilih Rumah Kawin
adalah biaya sewa, alasan kedua adalah faktor kepercayaan atau agama, alasan
yang ketiga adalah perkiraan jumlah tamu yang menjadi ukuran suksesnya
penyelenggaraan perkawinan, alasan keempat adalah faktor ‘kebebasan’ yaitu
keleluasaan para tamu untuk ‘plesir’ di acara pesta kawin.
Strategi umumnya diawali dengan faktor perhitungan terhadap biaya sewa,
bagaimana menutup biaya sewa berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang
ditawarkan Rumah Kawin tersebut, fasilitas judi, Rumah Kawin Song
menyediakan lahan nyaman lengkap dengan dua puluh meja untuk judi, sebanyak
itu juga yang ditawarkan oleh Teng muda untuk Rumah Kawin Teng, tetapi tidak
demikian untuk Ruang Serbaguna Lautan. Pak Geyong yang sehari-hari berprofesi
sebagai buruh bangunan memilih Rumah Kawin Song karena mendapat potongan
biaya sewa yang besar sehingga biayanya murah, dia sadar akan beban biaya
pernikahan yang tidak dapat didukung oleh sit-an sebagai uang komisi judi.
Faktor biaya sewa dan pengeluaran untuk makanan merupakan perhitungan
biaya yang paling besar, secara tidak langsung Pak Pandan memperkirakan dua
puluh hingga dua puluh lima juta rupiah untuk total pengeluaran pestanya,
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
102
penggunaan biaya sebesar itu akan mudah diatasi apabila diantara tamu yang hadir
terdapat empat ratus atau lima ratus orang yang memberi Ang Pao rata-rata sebesar
lima puluh ribu rupiah. Selain itu Pak Jangkung yakin bahwa penghasilan dari Sit-
an penjudi bisa menutup biaya penyewaan gedung sebesar empat hingga lima juta
rupiah. Perhitungan di atas kertas memudahkan penyelenggara pesta untuk
berspekulasi, bagaimana menghadirkan tamu sebanyak mungkin agar biaya pesta
tertutup.
Faktor kepercayaan juga menentukan strategi penyelenggara pesta untuk
kesuksesan pestanya, Rumah Kawin Song bernuansa kepercayaan Budha (Budha
Mahayana, Konghucu dan Taoisme) sehingga Cina Benteng Udik yang beragama
Budha dapat memanfaatkannya dengan baik, Rumah Kawin Teng, meskipun
berwajah modern, masih mungkin digunakan sebagai pesta perkawinan masyarakat
yang beragama Budha, penataan ruangnya masih menggunakan model Rumah
Kawin lokal, altar meja abu dan kamar-kamar pengantin masih terletak pada ruang
yang sama seperti semula, berbeda dengan Ruang Serbaguna Lautan yang tidak
menyediakan fasilitas tersebut secara permanen. Pertimbangan ini hadir sebagai
salah satu alasan mengapa putri bungsu Pak Tan, sebagai cucu luar Song, memilih
tempat pernikahannya di tempat lain, bukan di Rumah Kawin Song, agama Kristen
yang di anutnya tidak sesuai dengan penampilan Rumah Kawin Song yang
bernuansa Budhis; demikian juga dengan perkawinan putra Pak Jamin.
Faktor perkiraan jumlah tamu yang akan hadir menentukan besarnya ruang
yang dibutuhkan, tamu yang hadir bergantung dari ‘keutangan’ yang harus dibayar
mereka kepada penyelenggara pesta. Sistem ‘keutangan’ ibarat menyebar benih
‘budi baik’ pada ladang-ladang subur dan pesta perkawinan anak ibarat menuai
balas budi dari ladang-ladang subur tersebut, banyaknya tamu yang datang sangat
bergantung dari kwalitas ‘budi baik’ yang telah diberikan pada komunitas-
komunitas tertentu, komunitas yang sering dijadikan ladang adalah komunitas
penggemar gambang, Komunitas Vihara, komunitas judi, komunitas petani,
komunitas nelayan, komunitas pedagang pasar dan komunitas olahraga sepeda
santai. Pesta perkawinan adalah pembuktian bagi kwalitas keutangan yang
disebarkan, Pak Pandan dengan penuh keyakinan menjamin pesta yang kerap dia
selenggarakan pasti berhasil, ‘pengabdiannya’ terhadap kelompok penggemar
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
103
gambang sebagai jaminannya bahwa jaringan yang telah dibentuk hingga kota
Jakarta, Bekasi dan Kerawang akan mendukung dan mereka akan menghadiri
undangannya dengan antusias; demikian juga dengan Ibu Nuning, komunitas
Vihara pasti akan mendukung pesta perkawinan yang kerap dia selenggarakan
karena dia adalah Rahmani pandita dan aktif dalam kegiatan sosial, sehingga
keluarga Pak Pandan memilih ruangan yang besar. Pak Tan adalah pendiri Vihara
dan dia adalah mantan pimpinan pengurus vihara, komunitas penggemar sepeda
santai yang sekarang dia tekuni merupakan lingkaran baru yang menjamin
keutangan tetap berlangsung secara baik, pada saat pernikahan putri bungsunya
Rumah Kawin yang dipilih adalah Restoran Rum yang ruangannya luas.
Apabila perkiraan jumlah tamu telah diprediksi, maka faktor hiburan apa
yang para tamu sukai merupakan pertimbangan yang terakhir. Pak Pandan
menetapkan kelompok Nagasakti sebagai pilihannya karena penyanyi dan lagu-
lagu yang ditampilkan paling menarik diantara kelompok lain, biaya yang paling
mahal bukan menjadi halangan karena hubungan baik dengan pemilik gambang
menghasilkan diskon yang besar. Pak Geyong menggunakan gambang milik Picis
karena banyak cokek yang menyukai kelompok ini, para cokek pasti mengajak
papi-papinya untuk menghadiri pesta. Beda dengan Pak Canda yang lebih memilih
kelompok gambang Naga Sari dari Kampung Jelupang Serpong karena
menghindar dari kejenuhan teman-temannya terhadap kelompok gambang lokal
Teluknaga. Penyelenggara pesta berstrategi untuk menghadirkan tamu yang ‘rata-
rata tidak diundang’. Lahan ngibing harus dipilih yang besar apabila penyelenggara
pesta adalah anggota komunitas penggemar gambang, atau lahan judi harus
dipersiapkan sebanyak-banyaknya karena penyelenggara pesta adalah anggota
komunitas judi, demikian juga dengan komunitas penggemar minuman keras.
Ketiga Rumah Kawin menyediakan lahan yang berbeda untuk menampung
kegiatan-kegiatan seperti itu.
III.2. Perkawinan sebagai Wacana
Perkawinan bukan sekedar menyebar undangan dan membuat pesta, upaya
untuk menyukseskan perkawinan harus diawali dengan tindakan-tindakan
persiapan secara material maupun spiritual. Perhitungan kebutuhan-kebutuhan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
104
dalam pesta akan berujung pada perhitungan besarnya biaya dan tenaga yang harus
dikeluarkan. Penyelenggara pesta dapat lebih mudah memperhitungkan resiko
yang akan ditimbulkan terkait dengan pilihan-pilihan yang jelas, misalkan sewa
Rumah Kawin, sewa gambang dan penyediaan konsumsinya.
Persiapan yang bersifat spiritual menyangkut kesiapan mental keluarga
pengantin untuk menghadapi hambatan-hambatan menjelang perkawinan. Doa
yang dilakukan di Vihara, mohon restu kepada Bante, minta dukungan ‘pendoa’
dari saudara-saudara yang dituakan dan doa kepada Makco dan Kongco sebagai
jaringan doa pihak dalam. Penyelenggaraan ritual Malam Rasul dan ritual
Pedaringan merupakan upaya menangkal hambatan-hambatan dari pihak luar.
Penyelenggaraan pesta perkawinan akan lebih berhasil apabila
penyelenggara pesta juga memperhatikan bagaimana caranya mengundang tamu
agar tidak ada kesalahan dalam penyampaiannya. Pak Geyong mendatangi tokoh-
tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggal dia, Kepada Desa, Ketua Rukun
Tetangga, pengurus Vihara, pengurus Gereja, tokoh-tokoh yang aktif di dunia
gambang, dunia judi, tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam lingkungan
pemerintah setempat bahkan Mandor desa1 merupakan pihak yang harus
dikunjungi untuk memberitahukan rencana penyelenggaraan pesta pernikahan
putrinya, kunjungan itu sangat berarti karena dia ingin mencantumkan nama-nama
mereka sebagai pihak yang mengundang. Mengapa harus mencantumkan nama-
nama mereka?, jawaban yang tepat adalah sudah seharusnya demikian, itulah
tradisi mereka untuk mengundang masyarakat. Berangkat dari sistim yang
dikonstruksi masyarakat Cina Benteng Udik, undangan adalah pemberitahuan yang
disebar merata pada masyarakat, undangan yang disebar adalah undangan tanpa
nama layaknya brosur. Pola penyebaran yang menjamin setiap orang dapat
‘menerima’ adalah melalui kurir yang berkeliling dari pesta satu ke pesta lainnya,
kurir akan memberi undangan pada orang-orang yang dia yakini sebagai penduduk
setempat. Penerima undangan menerima ‘berita undangan’ bukan sekedar untuk
dia tetapi kerabat-kerabat yang juga mengenal penyelenggara pesta, berita
undangan itu disampaikan secara lisan, selain itu papan nama juga ditempelkan di
depan Rumah Kawin pada saat pesta dipersiapkan, kedua cara ini merupakan
1 Mandor desa adalah Centeng atau jawara yang diangkat sebagai ketua keamanan desa.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
105
tatacara baku yang senantiasa dijalankan mereka sebagai jaminan bahwa
pemberitahuan telah tersebar secara merata sehingga tidak ada pihak-pihak yang
tidak diundang.
Pencantuman nama tokoh merupakan strategi lain agar orang-orang yang
memiliki kepentingan dengan tokoh-tokoh tersebut memiliki kesempatan untuk
bertemu dan menjalin relasi dalam pesta ini, komunitas Vihara akan lebih senang
datang ke pesta karena memandang tokoh mereka yang turut mengundang mereka,
demikian juga dengan pengurus gereja dan tokoh-tokoh gambang yang
‘dihadirkan’ oleh penyelenggara pesta, juga Mandor desa, dia adalah pihak yang
menjamin keamanan pesta.
Pencantuman nama para pengundang memiliki resiko terhadap mereka,
kerabat yang namanya dicantumkan harus senantiasa hadir dalam pesta itu, mereka
adalah penyambut tamu yang datang, menemani tamu berbicara dan mengarahkan
tamu pada komunitas yang tepat, apabila tamu yang datang adalah peminum maka
tamu tersebut diarahkan untuk duduk pada meja sahabat-sahabatnya para
peminum, demikian juga para penjudi, penggemar gambang, dan komunitas
keagamaan.
Apakah pencantuman nama tokoh akan menyebabkan masyarakat hadir
karena dicantumkannya nama-nama tokoh yang mereka kenal?, bagaimana kalau
masyarakat tidak mengenal penyelenggara pesta, atau bagaimana bisa hadir kalau
penyelenggara pesta adalah warga yang tidak mereka sukai, bahkan mereka
musuhi?
Bercermin pada pendapat Pak Pandan bahwa dia bisa mengabaikan peranan
kartu undangan, maka pencantuman nama dalam undangan perkawinan
sesungguhnya tidak memiliki pengaruh besar bagi kehadiran tamu, mencantumkan
nama-nama tokoh masyarakat lebih tepat sebagai penghormatan bagi tokoh-tokoh
setempat sesuai etika bermasyarakat, nama-nama tokoh tidak akan menggerakkan
masyarakat untuk hadir apabila tidak ada ‘keutangan’ yang harus dibayar terhadap
penyelenggara pesta. ‘keutangan’ dan ‘membayar keutangan’ sesungguhnya
merupakan inti kekuatan untuk menghadirkan tamu dalam pesta. ‘keutangan’ tidak
selalu berupa uang, Ibu Nuning yang membantu sebagai tukang masak dalam pesta
akan menanam ‘keutangan’ jasa masak, dalam kesempatan lain orang yang
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
106
‘keutangan’ akan ‘membayar keutangan’ kepada Ibu Nuning berupa bantuan
memasak dalam pesta Ibu Nuning atau memberinya uang. Sistim ‘keutangan’
menekankan ‘kwalitas keutangan’ yang dipertukarkan, bernuansa resiprositas.
‘kwalitas keutangan’ dikreasi oleh individu-individu melalui jasa baik yang
diberikan secara terus-menerus, Pak Pandan selalu hadir dalam pesta pernikahan
yang dibuat oleh penggemar gambang dilingkungan Tangerang, Jakarta, Bogor,
Bekasi dan Kerawang, peranannya yang aktif sebagai penyanyi dan penari
menyebabkan orang-orang mengenal dia sebagai penyanyi dan penari yang hebat,
tingkah Pak Pandan yang santun dan rela berkorban membuat orang lain
menghargai dia, Pak Pandan senantiasa meramaikan suasana pernikahan rekan-
rekannya. Selain itu, Pak Pandan adalah penggagas dan koordinator pesta gambang
pada saat Imlek, pesta kecil di depan halaman rumahnya yang kecil dan selalu
dihadiri para penggemar gambang yang dia undang, bebas dihadiri siapa saja dan
tidak dipungut biaya, pengabdiannya yang besar sebagai penggemar gambang
keromong menjadikan dia sebagai salah satu tokoh yang dikenal secara luas.
Langkah-langkah Pak Pandan adalah ‘kwalitas keutangan’ yang ditebar secara
konsisten terhadap komunitasnya, dia menyebutnya sebagai ‘gaul’. Demikian juga
dengan Pak Tan, keberaniannya sebagai penggagas dan pendiri Vihara Budha
Therawadha - sebagai jalan keluar bagi Cina Benteng agar mereka memiliki agama
yang sah - berbuah pada penokohannya dalam lingkungan Budhis Kampung
Melayu, Pak Tan adalah mantan pimpinan Vihara dan saat ini aktif dalam
lingkungan penggemar sepeda sehat. Pengabdian Pak Tan merupakan ‘keutangan’
yang sangat besar bagi masyarakat di sekitarnya.
Jika setiap kepala keluarga berstrategi dalam sistim ‘keutangan’ yang
mereka jalankan, tanpa mereka sadari mereka telah menciptakan harmoni bagi
masyarakatnya, perbuatan yang baik dan dijalankan secara konsisten akan
menciptakan ‘keutangan’ yang menguntungkan pelaku, suatu ikatan yang memiliki
konsekwensi sosial dengan sanksi yang jelas. Mereka yang aktif dalam sistim
‘keutangan’ adalah mereka yang akan mendapatkan bantuan dari ‘pembayar
keutangan’ disaat penyelenggaraan pesta kawin kelak. Dan sebaliknya, bagi
mereka yang tidak terlibat dalam ‘keutangan’ bahkan memiliki reputasi buruk
dalam ‘keutangan’, maka masyarakat ‘menghukum’ dengan cara tidak akan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
107
menghadiri bahkan tidak memberi ‘bantuan’ pada saat pesta pernikahan mereka.
Bukan sanksi yang berat, tetapi menyangkut harga diri dan eksistensi sebagai
kepala keluarga yang tidak berhasil.
Pak Jangkung yang tidak ingin terjerat dalam sistim ‘keutangan’ dapat
mengabaikan undangan terbuka dan tidak memberi Ang Pao pada penyelenggara
pesta perkawinan, Pak Jangkung sadar, apabila tindakan ini selalu dia lakukan
maka sanksi masyarakat berkaitan dengan kondisi tersebut tidak hanya
berpengaruh pada pesta perkawinan anaknya kelak, tetapi berpengaruh juga
terhadap hampir semua kesempatan ‘keutangan’ yang dia miliki, misalkan:
peristiwa kelahiran, peristiwa kematian, pesta ulang tahun atau perawatan di
Rumah Sakit. Bukankah sikap itu menjurus pada pengucilan dirinya oleh
masyarakat yang ‘memperhitungkan keutangan’?. Untuk menghindari hal tersebut,
Pak Jangkung berusaha untuk memilah dengan siapa dia terlibat ‘keutangan’
sebagai bentuk ‘keutangan’ yang tertutup, lingkaran eksklusif ini dijaga sebagai
upaya menyelaraskan sikap pihak lain yang berseberangan dengannya. Berbeda
dengan Pak Pandan, dia tidak dapat menghindar dari undangan meskipun sedang
sakit, figur yang lekat dengan komunitas gambang Keromong ini ‘dipaksa’
dihadirkan oleh penyelenggara pesta agar memeriahkan pesta, dia menjadi daya
tarik tamu lain untuk datang. Melihat fakta seperti ini tampak bahwa konstruksi
individu dalam ‘keutangan’ betul-betul merupakan upaya keras individu dalam
menjaga relasinya terhadap masyarakat, dibutuhkan upaya yang keras dan
konsisten agar berbuah baik sesuai dengan yang dia harapkan.
Apakah ‘keutangan’ harus selalu dibayar?, masyarakat Cina Benteng Udik
percaya bahwa kematian adalah bentuk kesialan, mereka menyebutnya swee.
Anggapan ini berakar pada tradisi Cina saat perayaan Pehcun, pada minggu
pertama bulan Juli, keluarga yang berduka tidak boleh membuat bacang atau
kwecang yaitu makanan berbahan ketan yang dibungkus daun bambu dalam bentuk
yang khas sebagai pantangan karena ada kesialan. Keluarga yang mengalami
kematian dianggap kotor dan perlu dikucilkan dari dunia abadi Cio Tao, untuk itu
keluarga yang kotor tidak boleh datang ke pesta bahkan tidak boleh memberikan
Ang Pao meskipun diwakilkan. Apakah ‘keutangan’ telah ‘diampuni’ oleh pihak
yang ‘memberi keutangan’?, untuk menjawab pertanyaan ini perlu analogi
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
108
‘penolakan pembayaran keutangan’ model Cina Benteng Udik. Di dalam pesta
perkawinan yang berlangsung dua bahkan tiga hari, penyelenggara pesta sangat
membutuhkan kedatangan tamu agar tetap terlihat ramai. Apabila tamu datang
pada hari pertama dan memberi Ang Pao, maka pemberian itu dapat ditolak (lebih
tepatnya tidak diterima) dengan maksud agar tamu tersebut kembali datang pada
hari berikutnya untuk menyerahkan Ang Pao, berdasarkan analogi di atas, maka
penolakan pembayaran ‘keutangan’ oleh pihak yang mengalami kedukaan hanya
berupa penundaan kewajiban pembayaran ‘keutangan’, perhitungan itu masih terus
berlanjut untuk kesempatan yang akan datang.
Jika masyarakat Cina Benteng Udik memahami bahwa keluarga yang
tengah berduka tidak boleh datang bahkan memberi Ang Pao pada pesta
perkawinan, mengapa keluarga yang berduka masih mencoba untuk memberi Ang
Pao dengan cara menitipkan?, jawabannya adalah strategi ‘keutangan’, yaitu setiap
individu dalam ‘keutangan’ harus selalu menjaga kewajiban membayar
‘keutangan’ tersebut, penolakan pasti akan terjadi tetapi niat untuk membayar
‘keutangan’ akan menjaga ‘kwalitas keutangan’ terhadap relasinya, upaya untuk
menjaga kelestarian dan harmoni dalam sistim ‘keutangan’.
Sistim ‘keutangan’ ibarat bola panas yang selalu berpindah dari tangan
individu satu kepada yang lainnya, mereka menyadari beban ini namun tidak
peduli apakah perhitungan akhirnya menguntungkan atau merugikan, Pak Tan
yang sudah mengawinkan seluruh anaknya merasa terbebas dari ‘keutangan’,
demikian juga dengan Pak Canda, Pak Pandan yang masih memiliki tiga anak
lajang masih harus berjuang demi sukses perkawinan anak-anaknya kelak. Apakah
keluarga A yang memiliki lima anak akan merasa beruntung dalam ‘keutangan’
dibandingkan dengan keluarga B yang hanya memiliki dua anak?, bukankah
keluarga B akan ‘menanggung’ tiga anak A dalam pesta perkawinannya kelak?. Di
dalam masyarakat Cina Benteng Udik, ‘keutangan’ bergulir tidak sebatas
perkawinan, tetapi terhadap banyak peluang yang bisa digunakan oleh masyarakat,
Pak Geyong, sebagai tukang bangunan, tidak bersikap sebagai buruh dalam
menetapkan upah kerjanya, dia menekankan sikap kekeluargaan yang ‘membantu’
pihak yang membutuhkan tenaganya, sikap dia juga termasuk memberi
‘keutangan’ bahkan juga membayar ‘keutangan’.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
109
Apakah ‘keutangan’ sama dengan berhutang?, apakah kewajiban
membayar ‘keutangan’ bisa dilakukan oleh anak-anaknya apabila orang tua mereka
meninggal?, masyarakat Cina Benteng Udik adalah masyarakat patrilineal, garis
keturunan ayah sebagai perhitungan keturunannya. Dalam kepercayaan Konghucu
ditegaskan bahwa ikatan anak terhadap ayahnya adalah ikatan Xiao atau Hauw,
yaitu sikap berbakti, sikap ini tidak akan berubah bahkan tidak akan berakhir
hingga ayah meninggal, sepanjang hidupnya ayah akan mendapat posisi yang
paling penting dalam hidup anak-anaknya, demikian juga dalam kewajiban untuk
membayar ‘keutangan’. Ayah adalah pihak yang berkuasa menetapkan jodoh, hari
perkawinan, tempat perkawinan dan bentuk perkawinan anaknya, ayah juga yang
menjamin suksesnya penyelenggaraan perkawinan, bahkan ayah juga yang harus
membayar ‘keutangan’ pada pihak lain, anak sebagai ‘obyek’ yang dikawinkan
merupakan medium untuk menunjukkan keberhasilan ayah dalam sistim
‘keutangan’, Pak Pandan mengakui anak-anak muda teman putrinya sedikit yang
hadir dalam pesta karena putrinya ‘tidak gaul’, teman-teman putrinya bukan
komponen penting dalam ‘keutangan’. Pak Geyong mengendalikan malam pesta
besar meskipun pengantin tidak berada dalam Rumah Kawin (pernikahan model
coa yaitu kedua pihak pengantin membuat pesta terpisah pada waktu bersamaan),
tamu yang hadir tidak perlu menyalami pengantin karena pesta pernikahan adalah
milik ayah pengantin. Jadi jelas posisinya bahwa ‘keutangan’ yang bergulir dalam
pesta ini adalah tanggungjawab ayah, bukan anak. Bagaimana halnya jika ayah
sudah meninggal, menantu lelaki Pak Pandan menggunakan wali dari pihak ayah
sebagai pengganti ayah, hadirnya wali hanya sebatas syarat berlangsungnya ritual
Cio Tao, dan keluarga menantu lelaki tidak menyelenggarakan pesta sehingga
terbebas dari sistim ‘keutangan’ almarhum ayahnya.
Ibarat pohon berbuah, ayah adalah cabang pohon dan anak adalah buah-
buah yang bergelayut pada cabangnya. Ayah membutuhkan dukungan suplai
‘mineral’ dana dari pohon sistim ‘keutangan’, suplai dana itu diberikan pada anak-
anaknya, selanjutnya cabang pohon akan mengerahkan upaya untuk
mengembalikan hasil fotosintesa ‘pembayaran keutangan’ terhadap batang pohon,
buah tidak diberi tugas untuk memberi pada cabang maupun batang, pada saatnya
kelak buah akan tumbuh sebagai cabang pohon baru yang melekat pada batang
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
110
‘keutangan’. Antara cabang dan batang, mekanisme pemberian dan pengembalian
harus sepadan sehingga harmoni yang dihasilkan akan membuat pohon sistim
‘keutangan’ ini tumbuh wajar dan bertahan lama. Ketergantungan batang pada
cabang sama besarnya dengan ketergantungan cabang terhadap batangnya.
III.3. Cio Tao sebagai Wacana
Sang-jit sebagai upacara lamaran model Cina Benteng adalah pemberian
uang susu, uang serahan, pakaian, sepatu dan sandal satu set dan buah-buahan.
Serahan ditempatkan pada nampan-nampan, setiap nampan dibawa oleh pasangan
suami-istri yang bahagia. Seluruh serahan disiapkan oleh pihak pengantin lelaki
dan diserahkan pada keluarga pengantin perempuan. Jenis dan banyaknya serahan
tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak. Pemberian serahan sebagai kiasan
bahwa pihak lelaki yang berinisiatif, tindakan inisiatif ini mencerminkan dominasi
lelaki terhadap perempuan. Pemberian uang susu sebagai kiasan membayar lunas
seluruh jerih payah orang tua membesarkan anak perempuannya, melalui
pembayaran ini pengantin lelaki memiliki hak penuh terhadap pengantin
perempuan, sebaliknya keluarga pihak perempuan melepaskan haknya atas
putrinya. Beberapa keluarga melakukan respon terhadap ritual uang susu ini, Pak
Tan menerima uang susu lalu mengambil separuh dari uang susu dan
mengembalikan separuhnya pada pihak lelaki, makna dari pengambilan separuh
dari uang susu adalah Pak Tan tidak melepas hak keluarganya atas putrinya,
sehingga kesetaraan antara pihak perempuan dan lelaki tetap terjaga. Pak Geyong
mengambil seluruh uang susu sebab dia sudah menikah lagi dengan perempuan
lain dan putri yang dia nikahkan adalah hasil pernikahan pertamanya, saat ini
putrinya tinggal bersama neneknya, pengambilan seluruh uang susu adalah kiasan
menyerahkan seluruh kehidupan putrinya kepada suaminya.
Besarnya uang serahan tidak memiliki makna tertentu, tetapi bentuk
serahan merupakan kiasan terhadap penyelenggaraan pesta. Pak Tan menerima lalu
mengembalikan seluruh uang serahan sebagai kiasan bahwa dia menerima
pernikahan ini tetapi tidak menyelenggarakan pesta pernikahan untuk putrinya,
pengembalian uang serahan ibarat menyerahkan tugas pada pihak pengantin lelaki
uantuk menyelenggarakan pesta.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
111
Serahan pakaian, sepatu atau sandal memiliki kiasan bahwa kebutuhan
hidup pengantin perempuan sepenuhnya dijamin oleh pengantin lelaki, pemberian
buah-buahan sebagai kiasan menggantungkan keturunannya terhadap pengantin
perempuan, buah-buahan yang diserahkan adalah buah yang beraroma, tahan lama
dan berkwalitas baik sebagai harapan terhadap anak-anak yang kelak dimiliki
mereka.
Sang-jit tetap digunakan oleh Cina Benteng Udik meskipun mereka sudah
meninggalkan agama Budha dan memeluk agama lain. Mereka meyakini bahwa
Sang-jit sepenuhnya adalah tradisi, bukan agama.
Ritual Cio Tao diselenggarakan mulai matahari terbit dan berakhir pada
tengah hari yaitu matahari tepat mencapai puncaknya, perhitungan ini sangat dijaga
karena mengandung makna kiasan perjalanan perkawinan yang terus memuncak
dan tidak pernah menurun. Prosesi ritual Cio Tao diawali dengan sembahyang
pada tiga altar sembahyang, altar pertama adalah sembahyang Sam Kay, altar
kedua adalah sembahyang abu leluhur dan altar yang ketiga adalah sembahyang
Coa Kun Kong yaitu Dewa Dapur.
Sembahyang Sam-kay adalah sembahyang pada Tuhan Allah, orang tua
pengantin perempuan dan pengantin perempuan sembahyang bergantian, pada altar
meja terdapat buah delima, srikaya, apel, jeruk, pisang mas, daun jepun, taspek dan
kembang jantan, buah-buahan yang disajikan memiliki makna kiasan. Delima
adalah lambang kekayaan bagi masyarakat Cina, Srikaya adalah lambang kekayaan
bagi masyarakat Jawa, sedangkan apel, jeruk dan pisang mas merupakan buah-
buahan yang kerap disajikan dalam sembahyang Budhis. Doa yang dipanjatkan
adalah permohonan ijin penyelenggaraan pernikahan putrinya. Sesaji berupa
makanan merupakan tradisi Cina yang menggunakan makan dan aktivitas makan
sebagai medium interaksi, pemberian makanan bertujuan agar sembahan merasa
senang, perasaan yang senang memudahkan pengajuan permintaan dan pasti
dikabulkan.
Sembahyang abu leluhur adalah sembahyang terhadap kongco dan makco,
yaitu tiga generasi di atas orang tua pengantin, di atas meja abu terdapat topi
caping mempelai lelaki yang dibungkus rapat dengan kain merah, topi caping yang
disembahyangi sebagai permohonan bahwa putri mereka akan membentuk
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
112
keluarga dan mohon restu bagi kepala keluarga baru dari marga lain. Topi caping
sebagai lambang prajurit Man Chu daratan Cina kuno yang gagah berani,
bertanggung-jawab terhadap kewajiban dan mematuhi peraturan; prajurit Man Chu
adalah figur ideal masyarakat Man terhadap kaum lelakinya. Topi caping yang
disembahyangi orang tua kedua mempelai dan kedua pengantin sebagai bentuk
kesepakatan bahwa pengantin pria akan ditahbiskan sebagai kepala keluarga baru
yang memiliki hak kepemimpinan bagi keluarganya kelak. Pengakuan ini sebagai
bentuk kesetaraan di dalam kewajiban antara kepala keluarga mertua dengan
kepala keluarga mantu, ibu rumah tangga mertua dengan ibu rumah tangga mantu,
bukan lagi sebagai ayah atau ibu terhadap anak. Penyetaraan ini penting
ditekankan karena ayah atau ibu sudah tidak terikat kewajiban terhadap anak.
Sembahyang Cao Kun Kong merupakan sembahyang untuk meminta
berkah, keselamatan, minta Peng An (sejahtera) dan jangan hujan, Dewa Dapur
merupakan pihak yang memiliki andil besar bagi kekayaan manusia sehingga
diletakkan di dekat pintu dapur. Kekayaan makanan adalah kaya akan harta benda
yang dapat digunakan untuk menghidupi setiap anggota keluarga. Sesaji berupa
bahan makanan seperti bubuk kopi, teh bubuk dan gula merah sebagai kiasan
penekanan terhadap berkah bahannya bukan makanannya.
Setiap sesi sembahyang, Nyonya Tan perias senantiasa mendahulukan ayah
pengantin dari pada ibunya, hio untuk ayah lebih besar dari pada hio ibu, dan siram
arak di bawah altar Sam Kay adalah tugas ayah pengantin. Di dalam ritual Cio Tao,
ayah lebih dominan dibandingkan dengan yang lain, sekali lagi hal ini dapat
dimaklumi karena Cina Benteng Udik adalah masyarakat patrilineal, apakah posisi
ini begitu penting artinya bagi Pak Pandan, jawabannya adalah benar-benar
penting, sebab di akherat nantinya dia adalah orang yang diminta pertanggung-
jawabannya. Kesalahan dalam Cio Tao sama beratnya dengan pelanggaran Cio
Tao.
Prosesi Cio Tao membutuhkan persiapan, pengantin perempuan adalah
pihak yang paling berat menjalani ritual ini. Naik Kwa Kun adalah ritual sehari
sebelum Cio Tao, pengantin perempuan harus menggunakan baju putih Cio Tao
yang khusus dibuat untuk pengantin perempuan. Rok bawah berwarna hijau
bermotif merupakan setelan pakaian pengantin yang disewa dari Tangerang. Kwa
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
113
Kun adalah kembang goyang ukuran pendek yang dipakai melingkar di atas dahi.
Dewi, sepupu pengantin perempuan, tidak ingin menyebutkan bagaimana rasanya
menggunakan Kwa Kun, pantangan untuk mengeluh atau menyebutnya berat harus
terus diingat, gambaran tentang Kwa Kun hanya diberikan seperti ini:
“gimana ya.. saya sih mendingan waktu pake Kwa Kun lengkap dari pada
setengah, ‘kan beratnya ke depan tuh”.
Pantangan mengeluh merupakan syarat utama dalam ritual, selesai ayah
dan ibu pengantin sembahyang, pengantin perempuan dibimbing kedua orang
tuanya melakukan ritual sembahyang yang sama. Selesai sembahyang pengantin
perempuan dibimbing untuk prosesi naik tampah, dalam posisi duduk pengantin
perempuan memakai Kwa Kun lengkap. Coret dahi yang terpasang dari pagi hari
tidak boleh dilepas, posisi penempelan coret dahi sudah diperhitungkan tepat di
bawah ikat kepala, coret dahi terbuat dari kain merah dan ikat kepala terbuat dari
kain flannel yang ditempel kepingan perak bermotif bunga.
Selesai ritual masuk tampah, pengantin perempuan disembunyikan dalam
kamar pengantin, tidak lama kemudian pengantin lelaki datang dan melakukan
ritual yang sama.
Ritual mempertemukan kedua pengantin merupakan puncak ritual Cio Tao,
pada tahap tabur beras dan membuka slyeur kedua pengantin sudah resmi
dinyatakan sebagai suami istri dan mereka memiliki rumah tangga baru.
Tahapan naik tampah lalu dirias merupakan kiasan memasuki dunia
perkawinan dan sikap pengantin perempuan yang harus terus menjaga penampilan,
beban berat prosesi dan hiasan yang digunakan ibarat kesulitan-kesulitan yang
lebih banyak dialami pengantin perempuan kelak, pengantin perempuan
didahulukan karena pengantin perempuan adalah milik pengantin lelaki, dia adalah
‘obyek’ yang telah ‘dibayar’ dan harus dijaga oleh pengantin lelaki, saat penutup
ritual, pengantin perempuan berjalan di depan dan pengantin lelaki di belakang
sebagai kiasan bahwa istri diberi kebebasan tetapi langkah-langkahnya terus
diawasi suami. Kebebasan dan pengawasan merupakan aturan baru yang harus
disepakati bersama, untuk mencapai kondisi yang harmonis setiap pihak harus
berubah dan menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan, setiap langkah
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
114
harus diperhitungkan akibat-akibatnya dan peranan orang tua tetap dominan dalam
membimbing pasangan muda ini.
Peranan pengganti orang tua dalam ritual Cio Tao merupakan beban berat,
Cio Tao berurusan dengan Kongco dan Makco dari keturunan satu marga, juga
Kong Ti Kong (Tuhan) yang akan meminta pertanggung-jawaban di akherat.
Tanggung-jawab bukan hanya pada saat ritual Cio Tao tetapi seumur hidup
perkawinan kedua pasangan pengantin. Dalam posisi ini wali Cio Tao tidak
memiliki hak, bahkan tidak mau memiliki hak untuk ikut campur dalam masalah
‘orang lain’, tetapi harus tetap bertanggungjawab. Untuk menghindari kesulitan ini,
langkah yang sering dilakukan oleh wali pihak luar adalah dengan hanya
mendampingi sembahyang tetapi tidak ikut sembahyang.
Kekhawatiran sepihak dan tindakan sepihak ini baik buat yang
melakukannya, namun posisi pengantin yang tidak memiliki ayah - bahkan ayah
dan ibu - menjadi sulit, pengantin yatim pasti tersisih dari sistim ‘keutangan’, dia
tidak memiliki peluang lain kecuali bergantung pada keluarga pasangannya.
Apabila pihak yang yatim adalah pengantin perempuan, dia tidak akan mengalami
kesulitan karena dia dalam posisi ‘diberikan’ pada pihak pengantin lelaki,
sebaliknya apabila pengantin lelaki adalah yatim, dia akan mengalami kesulitan
karena kendali akan tetap dipegang oleh orang tua pihak perempuan, keadaan ini
bisa indikasi pada awal Sang-jit terutama serahan uang susu, apakah diterima
seluruhnya atau setengah saja. Apabila diterima setengah maka orang tua pihak
perempuan masih meminta hak untuk mencampuri urusan rumah tangga putrinya,
tetapi bila diterima seluruhnya maka kekhawatiran itu bisa diabaikan. Jika Melalui
Sang-jit pasangan pengantin dapat menetapkan posisi mereka, pertanyaannya
adalah apakah posisi yang diinginkan pasangan pengantin dapat mempengaruhi
bentuk Sang-jit? Pak Tan menyerahkan permasalahan Sang-jit pada anaknya
dengan pertimbangan anak bungsu dan calon menantu sudah memiliki pekerjaan
tetap, keduanya beragama Kristen sehingga aturan secara Budhis tidak berlaku,
dan pertimbangan terakhir adalah Pak Tan tidak mau terikat lebih jauh dengan
‘keutangan’ karena dia sudah berusia tujuh puluh lima tahun, pertimbangan-
pertimbangan inilah yang mengakibatkan Sang-jit hanya berupa sandiwara yang
telah diatur, hanya sebagai tata krama.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
115
Cio Tao bagi Cina Benteng Udik hanya dapat dilakukan sekali seumur
hidup, peraturan ini dipegang teguh karena mengucapkan sumpah di hadapan
Tuhan, mereka yakin bahwa pasangan pengantin yang melakukan Cio Tao akan
tetap sebagai suami-istri di akherat kelak, sehingga tidak mungkin melakukan
perceraian di dunia karena akan tetap sebagai suami istri di alam hidup sesudah
mati. Bagi suami yang telah ditinggal mati istrinya, suami dapat mencari pasangan
istri baru, apabila istri baru adalah gadis atau janda yang belum terikat dalam Cio
Tao, maka istri baru dapat di Cio Tao seorang diri; sebaliknya jika istri baru adalah
janda yang telah di Cio Tao, maka tidak ada ritual Cio Tao bagi pasangan baru
tersebut. Bagaimana dengan istri yang ditinggal mati suami Cio Tao-nya, istri
dapat menikah dengan suami baru tetapi suami baru tidak di Cio Tao, demikian
juga jika suami baru sudah di Cio Tao. Peraturan Cio Tao tampak bercermin pada
masyarakat setempat, lelaki Cina Benteng Udik dapat melakukan poligami, tetapi
menolak poliandri. Praktek poligami dijelaskan oleh Pak Jamin melalui dirinya
sendiri, setelah istrinya monopouse dia mengambil istri muda. Pada awalnya istri
tua tidak terima dan selalu marah, namun pada akhirnya dapat menerima istri muda
suaminya sebagai bagian dari keluarganya, kini mereka hidup bersama satu rumah.
Berbeda dengan Pak Pandan, dia melakukan praktek poligami dan menikah hingga
enam belas kali. Ibu Nuning adalah istri ketiganya, tetapi dia adalah istri Pak
Pandan yang di Cio Tao, berkali-kali Ibu Nuning dikecewakan Pak Pandan karena
petualangannya, selama hidup sebagai istri Pak Pandan, Ibu Nuning pernah dimadu
tiga belas kali. Pak Pandan tidak pernah melepas istri Cio Tao-nya, dia merasa
tidak memiliki kesalahan dalam tanggungjawab Cio Tao-nya. Bercermin pada dua
contoh di atas, Pak Jamin dan Pak Pandan tidak bersalah di hadapan peraturan Cio
Tao, istri mereka masih diperlakukan dengan baik sesuai perintah Cio Tao, lalu apa
yang salah? Cio Tao sebagai kekuatan pengikat merupakan kekuatan tunggal
dalam perkawinan, kekuatannya tidak berpengaruh dalam pembagian harta, juga
tidak berpengaruh dalam pembentukan hak dan kewajiban pasangan. Cio Tao
hanya memberi kekuasaan yang besar bagi pihak lelaki sebagai kepala rumah
tangga. Kekuasaan yang besar itu digunakan untuk berbagai hal termasuk
‘memperalat’ Cio Tao sebagai pengikat istrinya. Jika demikian kondisinya,
mengapa kaum perempuan masih ingin diikat melalui Cio Tao?. Kaum perempuan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
116
Cina Benteng Udik masih membutuhkan Cio Tao sebagai pengikat suaminya,
ikatan ini merupakan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya
yang telah dinyatakan di dalam Cio Tao, mereka tidak peduli dengan apa yang
dilakukan oleh suaminya apabila suami menghianati rumah tangganya. Sesuatu
yang berimbang di dalam Cio Tao, yang timbul dari ritual yang memiliki kekuatan,
mereka mengakui kekuatan tunggal itu dan menyepakati ketentuan-ketentuannya
sebagai nilai hukum di antara mereka, nilai yang mengikat di dunia ini dan di
akherat nanti.
Cio Tao sebagai sikap hidup perkawinan telah dikonstruksi sebagai bagian
dari kematian, Baju putih Cio Tao milik pengantin merupakan baju yang sama
yang dikenakan pada saat mereka mati, apabila ukuran tubuh suami atau istri
mengalami perubahan maka baju Cio Tao dapat diganti dengan ukuran yang sesuai
dan dimeterai ulang pada upacara sembahyang Cengbeng yang jatuh pada minggu
pertama bulan April. Ikatan antara Cio Tao dengan kematian diperkuat dengan
makanan yang disajikan. Pada saat Cio Tao, dua belas jenis makanan ‘dimakan’
pengantin ditemani kedua pembantunya, pada saat sembahyang di depan peti mati
dua belas jenis makanan yang sama disajikan di meja sembahyang. Bagi pengantin
yang belum mengalami Cio Tao maka peti mati tidak boleh dipaku, hanya diikat
tali. Untuk permintaan khusus, Cio Tao dapat dilakukan pada saat kematian dengan
syarat sudah mengalami Cio Tao saat menikah. Ketentuan-ketentuan Cio Tao
mengikat perlakuan pada saat kematian dan ikatan yang terbentuk dihayati Cina
Benteng Udik sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah, ikatan perkawinan,
kematian, dunia dan akherat adalah satu kesatuan.
Cio Tao sebagai kekuatan tunggal pengikat perkawinan dan kematian harus
dipersiapkan secara matang dan teliti, untuk menghindari kejadian buruk dimasa
mendatang tindakan Cio Tao senantiasa diawali dengan perhitungan ‘waktu yang
tepat’, perhitungan yang mereka percayai adalah perhitungan yang berasal dari
Twapekong, yaitu Klenteng yang berada di Pasar Lama Tangerang. Perhitungan
yang berdasar pada data kelahiran kedua mempelai, berpedoman buku primbon
tahunan Thung Xu.
Kejadian yang menimpa Pandan muda adalah akibat dari pernikahan yang
salah perhitungan sehingga menimbulkan ‘kesialan-kesialan’ bagi Pandan,
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
117
demikian pengakuannya. Kegemarannya kawin dan cerai senantiasa dikaitkan
dengan ‘kutukan’ yang dia rasakan sepanjang hidup sesudah kegagalan dalam
pernikahan pertamanya. Ibu Nuning tidak berdaya terhadap alasan ini, ibarat kaki
yang sudah terjerat dengan ikatan Cio Tao yang kuat, Ibu Nuning tidak berdaya
menyaksikan suaminya melakukan kawin dan cerai hingga tiga belas kali. ibu
Nuning menganggap tindakan suaminya sebagai aib, Pak Pandan mengakui
tindakan aib yang dia lakukan semata-mata timbul dari kutukan perkawinan
pertama yang salah dan tidak dapat dikoreksi oleh Cio Tao yang dia lakukan saat
mengawini Nuning. Berdasarkan kejadian ini kembali Pak Pandan menggunakan
kekuatan Cio Tao sebagai kelemahannya, yaitu kutukan sebelum Cio Tao tidak ada
hubungannya dengan kekuatan Cio Tao sesudah menikah.
Kepercayaan masyarakat Cina Benteng Udik terhadap ‘kekuatan’ yang
dimiliki Cio Tao sama dengan kepercayaan mereka terhadap tindakan-tindakan
mistis yang mereka lakukan. Melakukan ritual Malam rasul pada hari pertama
persiapan pesta pernikahan, Ritual Pedaringan oleh dukun yang menjamin
makanan, sesaji untuk alat musik Gambang sebelum dimainkan dan sembahyang
Sam-kay sebelum ritual Cio Tao, merupakan kekuatan yang dihadirkan mereka
dalam Rumah Kawin. Mengapa mereka menggunakan kekuatan tambahan dalam
ritual pernikahan? Kekuatan tambahan digunakan untuk menutup kelemahan Cio
Tao dalam pesta perkawinan, Cio Tao hanya merengkuh dua insan yang
dinikahkan, kekuatan lain membentuk lingkaran untuk melindungi pesta
pernikahan yang dibuat oleh orang tua pengantin.
‘Kekuatan’ menjadi kata yang penting saat memaknai Rumah Kawin,
apakah kekuatan dibedakan berdasarkan waktu dan tempat?. Perhitungan waktu
yang tepat telah dijalankan mereka namun penetapan tempat tidak pernah
diberikan oleh Thung Xu yang notabene berasal dari Cina. Jika demikian misteri
tentang Rumah Kawin Song belum terpecahkan. Melalui cara apa masyarakat
Kampung Melayu memaknai Rumah Kawin Song? Waktu sebagai syarat
kesuksesan penyelenggaraan pesta mungkin menjadi ukuran yang sama dengan
pemilihan tempat, usia Rumah Kawin Song yang tua tampak jelas dari penampilan
yang kumuh dan bersahaja. Rumah Kawin Song dimaknai sebagai Rumah Kawin
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
118
yang memiliki ‘kekuatan’ lebih dari pada yang lain. Nilai tradisi - yang terikat
dengan waktu - yang memberi nilai lebih bagi Rumah Kawin Song.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Filename: Bab 3 Directory: C:\DOCUME~1\TOMY~1\MYDOCU~1\KUNTAR~1 Template: C:\Documents and Settings\T o m y\Application
Data\Microsoft\Templates\Normal.dotm Title: Subject: Author: Kuntara Keywords: Comments: Creation Date: 1/6/2010 11:57:00 AM Change Number: 6 Last Saved On: 1/7/2010 9:09:00 AM Last Saved By: Kuntara Total Editing Time: 5 Minutes Last Printed On: 1/9/2010 10:42:00 AM As of Last Complete Printing Number of Pages: 20 Number of Words: 6,456 (approx.) Number of Characters: 36,803 (approx.)
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
119
Bab IV Memahami Rumah Kawin Lebih Dekat
Modernisasi yang dialami masyarakat Cina Benteng Udik sejak
dibangunnya Bandar-udara Soekarno-Hatta merupakan percepatan yang dialami
masyarakat setempat untuk melakukan perubahan-perubahan. Pergeseran yang
terjadi berpengaruh besar terhadap wajah Rumah Kawin Cina Benteng Udik
Kampung Melayu, namun idealisme perkawinan masih dipegang teguh sebagai
kekuatan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat
pemeluk agama Budha (Budha Mahayana, Konghucu dan Taoisme).
Rumah kawin Teng dan Ruang Serbaguna Lautan tampil beda sebagai
respon terhadap tuntutan perubahan, namun perubahan bukan sebagai jawaban
tunggal dalam strategi bertahan. Rumah Kawin Song yang tidak melakukan
perubahan justru tampak ‘berstrategi’ dalam pertahanan bahkan sampai akhir tahun
2009 masih memenangi persaingan
Strategi yang menunjukkan diri sebagai elemen kekuatan ternyata
dikendalikan oleh masyarakat, bukan sekedar aktor-aktor yang tampil dalam
kepentingannya sebagai pemilik Rumah Kawin, penyewa Rumah Kawin, pemilik
gambang, tukang ‘plesir’, penjudi dan pemabuk. Masyarakat adalah pihak yang
menentukan ‘selera’ terhadap Rumah Kawin, masyarakat yang berstrategi dalam
kepentingannya terhadap Rumah Kawin.
Tarik-menarik kepentingan masyarakat terhadap Rumah Kawin ternyata
tidak lepas dari konstruksi masyarakat terhadap nilai-nilai keseimbangan dan
keabadian, nilai-nilai ini juga ditanamkan dalam sistim ‘keutangan’ yang
dijalankan dan dipelihara mereka, sistim yang dijaga dan diikat norma-norma, juga
dilengkapi sanksi moral. Masyarakat menjaganya sebagai potensi kekuatan sosial-
ekonomi diantara mereka, dalam sistim ‘keutangan’ inilah individu-individu
melakukan strategi-strategi untuk mencapai keberhasilan dalam pesta perkawinan,
tentunya kembali mengikat kepentingan-kepentingan terhadap Rumah Kawin.
Keseimbangan dan keabadian yang berwujud harmoni juga hadir dalam
wujud perkawinan, ikatan dalam perkawinan sebagai awal perjalanan dua insan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
120
menuju kematian, keseimbangan dan keabadian merupakan pengikat pandangan
terhadap dunia dan akherat, yaitu kehidupan dan kematian, inti ritual Cio Tao.
Masyarakat Cina Benteng Udik Kampung Melayu, Teluknaga Tangerang
membutuhkan ‘kekuatan’ dalam strategi untuk mencapai kesuksesan dalam
penyelenggaraan perkawinan, mereka juga membutuhkan ‘kekuatan’ bagi harmoni
dalam perkawinan, dan mereka juga membutuhkan ‘kekuatan’ bagi kelangsungan
semua potensi yang ada dalam masyarakat; sehingga ‘kekuatan’ adalah pengikat
antara strategi, harmoni dan kontinuitas dalam konteks Rumah Kawin Cina
Benteng Udik.
Apabila ‘kekuatan’ digunakan untuk mengukur perbedaan tiga Rumah
Kawin yang ada di Kampung Melayu, maka ‘kekuatan’ akan bersandar pada
‘believe’ yang mereka konstruksi dalam kehidupan mereka, bagi masyarakat
Budhis (Budha Mahayana, Konghucu dan Taoisme) kekuatan akan menjadi
maksimal apabila mereka menghadirkan kekuatan yang mereka sembah pada
waktu dan tempat yang tepat.
Perhitungan waktu telah mereka lakukan, dan perhitungan terhadap tempat
telah mereka kaitkan sekali lagi dengan waktu, Kongco-Makco sebagai nenek
moyang yang berkuasa menentukan nasib anak, cucu dan cicitnya merupakan
sumber kekuatan terhadap pernikahan. Ikatan masa lalu dan masa kini menjadi
‘kekuatan’ yang mereka butuhkan, Rumah Kawin Song sebagai Rumah Kawin
tertua dan berpenampilan ‘masa lalu’ merupakan medium yang tepat untuk
menghadirkan semuanya.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
121
Diagram 1 : Kerangka kesimpulan
Kontinuitas Strategi
Harmoni
Ritual Perkawinan
Perubahan Resiprositas
Kekuatan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Filename: Bab 4 Directory: C:\DOCUME~1\TOMY~1\MYDOCU~1\KUNTAR~1 Template: C:\Documents and Settings\T o m y\Application
Data\Microsoft\Templates\Normal.dotm Title: Subject: Author: Kuntara Keywords: Comments: Creation Date: 1/6/2010 11:58:00 AM Change Number: 6 Last Saved On: 1/7/2010 9:17:00 AM Last Saved By: Kuntara Total Editing Time: 10 Minutes Last Printed On: 1/9/2010 10:43:00 AM As of Last Complete Printing Number of Pages: 3 Number of Words: 523 (approx.) Number of Characters: 2,986 (approx.)
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009