59
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan saluran akar adalah perawatan dengan mengangkat jaringan pulpa yang telah terinfeksi dari ruang pulpa dan saluran akar. Tujuan dari perawatan ini adalah membersihkan saluran akar yang terinfeksi oleh bakteri. Perawatan saluran akar memiliki prinsip yaitu membunuh semua mikroorganisme yang dapat menginfeksi pulpa dan jaringan apeks gigi sebelum dilakukan pengisian saluran akar. Untuk memenuhi prinsip tersebut, maka dalam perawatan saluran akar dilakukan sterilisasi dengan cara irigasi. Pada tahap irigasi ini diperlukan larutan irigasi yang mampu membunuh bakteri dan membersihkan smear layer. 1 Terdapat berbagai macam bakteri di dalam rongga mulut yang dapat menginfeksi jaringan pulpa. Salah satunya adalah bakteri Enterococcus faecalis. Berdasarkan beberapa

repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 12269... · Web view repository.unhas.ac.idberada pada peringkat ketiga bakteri patogen nasokomial, serta resisten

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawatan saluran akar adalah perawatan dengan mengangkat jaringan pulpa

yang telah terinfeksi dari ruang pulpa dan saluran akar. Tujuan dari perawatan ini

adalah membersihkan saluran akar yang terinfeksi oleh bakteri. Perawatan saluran

akar memiliki prinsip yaitu membunuh semua mikroorganisme yang dapat

menginfeksi pulpa dan jaringan apeks gigi sebelum dilakukan pengisian saluran akar.

Untuk memenuhi prinsip tersebut, maka dalam perawatan saluran akar dilakukan

sterilisasi dengan cara irigasi. Pada tahap irigasi ini diperlukan larutan irigasi yang

mampu membunuh bakteri dan membersihkan smear layer.1

Terdapat berbagai macam bakteri di dalam rongga mulut yang dapat

menginfeksi jaringan pulpa. Salah satunya adalah bakteri Enterococcus faecalis.

Berdasarkan beberapa penelitian Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang

persisten pada infeksi endodontik sehingga menjadi mikroorganisme yang dominan

pada saluran akar, khususnya pada perawatan saluran akar yang gagal. Untuk itu

diperlukan larutan irigasi yang adekuat dalam membunuh bakteri ini.2,3

Saat ini terdapat beberapa macam bahan irigasi yang umum digunakan, yaitu

larutan sodium/natrium hipoklorit (NaOCl), klorheksidin (CHX), dan ethylene

diamine tetraacetic acid (EDTA). Namun, yang paling sering digunakan ialah

NaOCl. Hal ini disebabkan karena NaOCl dianggap cukup efektif sebagai larutan

irigasi dan dianggap mewakili syarat-syarat ideal larutan irigasi dibandingkan larutan

irigasi yang lain. Namun, NaOCl tidak mampu membersihkan smear layer secara

menyeluruh pada saat pembersihan ruang pulpa. Untuk itu, NaOCl dikombinasikan

dengan bahan irigasi yang memiliki kemampuan melarutkan smear layer secara

menyeluruh, yaitu ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA). Konsentrasi NaOCl

yang efektif ialah antara 0,5%-5,25%. Selain itu pendapat lain juga mengatakan

konsentrasi NaOCl yang dianggap ideal ialah 2,5-5%. Namun, semakin tinggi

konsentrasinya, maka semakin tinggi pula toksisitasnya.4,5,6

Saat ini telah berkembang produk alami yang dapat dijadikan sebagai

alternatif bahan irigasi, salah satunya adalah ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa). Buah mahkota dewa ini memiliki kandungan zat aktif dengan berbagai

fungsi. Kandungan buah mahkota dewa antara lain, alkaloid, saponin, flavanoid, dan

polifenol. Di antara kandungan zat aktif buah mahkota dewa tersebut, yang berfungsi

sebagai antibakteri adalah saponin. Selain itu, saponin juga dapat berperan sebagai

detergen alam yang bersifat emulgator yang mampu melarutkan smear layer pada

saat irigasi saluran akar. Penelitian Beltrice (2010) menyatakan bahwa ekstrak buah

mahkota dewa efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis dengan daya

hambat minimal 12,5% dari konsentrasi 6,25%,12,5%, 25%, dan 50% yang

digunakan.7,8

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perbandingan

efektivitas daya hambat ekstrak buah mahkota dewa dengan larutan irigasi NaOCl

terhadap bakteri Enterococcus faecalis yang terdapat pada infeksi saluran akar

mengingat buah mahkota dewa memiliki zat aktif saponin sebagai antibakteri dan

antivirus serta mampu melarutkan smear layer, yang merupakan salah satu syarat

ideal suatu bahan irigasi.

2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapatkan rumusan masalah yaitu:

bagaimana perbandingan efektivitas daya hambat ekstrak buah mahkota dewa

(Phaleria macrocarpa) 12,5% dengan larutan NaOCl 3% terhadap Enterococcus

faecalis?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perbandingan efektivitas daya hambat ekstrak buah

mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) 12,5% dengan larutan NaOCl 3% terhadap

bakteri Enterococcus faecalis.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Jika diketahui bahwa ekstrak buah mahkota dewa lebih efektif menghambat

pertumbuhan Enterococcus faecalis dibandingkan larutan NaOCl maka

ekstrak buah mahkota dewa dapat dijadikan alternatif bahan irigasi saluran

akar.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi untuk

penelitian ekstrak mahkota dewa selanjutnya.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah ekstrak buah

mahkota dewa 12,5% lebih efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis

dibandingkan larutan NaOCl 3%.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikrobiologi Endodontik

Mikroorganisme menyebabkan hampir semua patosis jaringan pulpa dan

jaringan periradikuler. Untuk mengobati infeksi endodontik, seorang dokter gigi

harus mengetahui sebab dan akibat dari invasi bakteri pada jaringan pulpa dan

jaringan periradikuler sekitarnya. Pada penelitian W.D.Miller (1890) ditemukan

adanya hubungan antara mikroorganisme dengan penyakit pulpa dan jaringan

periapikal serta menunjukkan adanya perbedaan antara bakteri pada ruang pulpa dan

saluran akar. Penelitian Kakehashi dkk (1965) menunjukkan bahwa bakteri

merupakan penyebab terjadinya infeksi pulpa dan berkembangnya lesi periapikal.1,2

Pada gigi dengan nekrosis pulpa dan lesi periapikal, 90% dari bakteri yang

diisolasi merupakan bakteri anaerob. Bakteri ini hanya tumbuh pada lingkungan yang

tidak ada oksigen. Bakteri tersebut berfungsi pada tingkat potensial oksidasi-reduksi

yang rendah dan pada umumnya kurang memiliki enzim superoksida dismutase dan

katalase. Bakteri mikroaerofil dapat tumbuh di lingkungan dengan oksigen tetapi

sebagian besar energinya berasal dari jalur anaerob. Bakteri anaerob fakultatif

tumbuh pada lingkungan yang ada atau tidak ada oksigen dan biasanya memiliki

enzim superoksida dismutase dan katalase. Untuk menghilangkan mikroorganisme

dan untuk memperoleh penyembuhan jaringan periapikal, perlu dilakukan perawatan

endodontik, meliputi instrumentasi, irigasi/aspirasi dressing dan pengisian ruang

pulpa.3

2.2 Bakteri Enterococcus faecalis di Dalam Saluran Akar

Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang tidak membentuk spora,

fakultatif anaerob, kokus gram positif dan tidak menghasilkan reaksi katalase dengan

hidrogen peroksida. Bakteri ini berbentuk ovoid dengan diameter 0,5–1 μm dan

terdiri dari rantai pendek, berpasangan atau bahkan tunggal. Sebagian besar jenis ini

merupakan non hemolitik dan non motil.9,10

Gambar1. Koloni Enterococcus faecalis dengan scanning electron microscope (pembesaran 1000x)

Sumber:http://www.bacteriainphotos.com/Enterococcus%20faecalis%20light%20microscopy.html

Pada dasarnya, Enterococcus faecalis merupakan flora normal komensal yang

habitatnya pada gastrointestinal dan rongga mulut. Namun, dapat menjadi

5

mikroorganisme patogen penyebab infeksi pada luka, bakteremia, endokarditis, dan

meningitis. Di rongga mulut, Enterococcus faecalis adalah salah satu jenis bakteri

yang sering ditemukan pada saluran akar. Bakteri ini dapat ditemukan pada kasus

infeksi endodontik primer. Namun, sering sekali ditemukan pada kasus perawatan

endodontik yang gagal. Enterococcus faecalis dapat diisolasi dari berbagai infeksi

rongga mulut serta berhubungan erat dengan respon inflamasi periradikular.

Gambaran klinis sebagai akibat virulensi bakteri ini adalah periodontitis apikal akut,

periodontitis kronis, periodontitis apikal eksaserbasi, termasuk pada kasus

periodontitis marginal, dan abses periradikular.9,11,12

Saat ini, bakteri Enterococcus faecalis berada pada peringkat ketiga bakteri

patogen nasokomial, serta resisten terhadap beberapa antibiotik seperti

aminoglikosida, penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan vankomisin. Sekitar 80-

90% kasus infeksi enterococcal pada manusia disebabkan oleh Enterococcus

faecalis. Sekitar 23-70% dari hasil kultur positif Enterococcus faecalis diisolasi pada

obturasi saluran akar dengan tanda-tanda periodontitis apikal kronis. Selain itu,

bakteri tersebut dapat beradaptasi pada kondisi tertentu serta memiliki pertahanan

yang kuat pada infeksi saluran akar ketika nutrisi sangat terbatas. Kemampuannya

untuk bertoleransi dan beradaptasi pada lingkungan dapat menjadi keuntungan lebih

dari spesies lainnya. Pada penelitian in vitro, Enterococccus faecalis ditemukan di

tubulus dentin, dimana tidak semua bakteri memiliki kemampuan seperti ini. Pada

penelitian lainnya, dilakukan kultur dari berbagai variasi bakteri yang diinokulasi ke

dalam saluran akar. Terlihat Enterococcus faecalis dapat mengadakan kolonisasi

yang baik dan dapat bertahan dalam saluran akar tanpa dukungan dari bakteri

6

lainnya. Keberadaan bakteri ini dalam saluran akar dapat diketahui dari hasil kultur

dan metode PCR.9,11,13,14

2.3 Bahan Irigasi Saluran Akar

Salah satu cara untuk mengeliminasi bakteri di dalam saluran akar adalah

dengan melakukan irigasi saluran akar. Irigasi saluran akar merupakan tahapan

penting dalam menunjang keberhasilan perawatan saluran akar, karena irigasi

memudahkan pengeluaran jaringan nekrotik, mikroorganisme, dan serpihan dentin

dari saluran akar terinfeksi dengan aksi bilasan larutan irigasi. Irigasi penting untuk

dilakukan selama preparasi pada setiap pergantian alat dan setelah preparasi selesai

untuk mengangkat sisa pulpa, mikroorganisme, dan serbuk dentin hasil preparasi

serta smear layer. Smear layer sering melekat pada pada dinding saluran akar

terutama pada sepertiga apeks sehingga menyebabkan pengisian yang tidak hermetis.

Smear layer yang tidak terangkat juga dapat menyebabkan infeksi ulang sehingga

terjadi kegagalan perawatan. Sisa jaringan nekrotik dan mikroorganisme perlu

dihilangkan agar bahan pengisi dapat berkontak baik dengan dinding saluran akar.

Penggunaan larutan irigasi akan membersihkan area yang tidak dapat dicapai oleh

instrumen endodontik. 4,6,15,16

2.3.1 Sifat-sifat bahan irigasi. 4,15,17

Adapun sifat – sifat bahan irigasi adalah

1. antibakteri dengan spektrum yang luas.

7

2. pelarut debris/jaringan, irigan dapat melarutkan atau menghancurkan sisa-sisa

jaringan lunak atau keras agar memudahkan pembuangan sisa-sisa jaringan

tersebut.

3. memiliki tegangan permukaan rendah, sifat ini memudahkan mengalirnya

larutan irigasi ke dalam tubulus dan ke daerah yang tidak dapat dimasuki

instrumen.

4. Irigan tidak boleh mengiritasi jaringan periradikuler.

5. Tidak bersifat toksik, mutagenik, dan karsinogenik, serta murah.

Larutan irigasi yang paling sering digunakan adalah natrium/sodium hipoklorit

(NaOCl). Larutan ini tidak mahal, mudah diperoleh, dan sering digunakan dalam

penelitian. Akan tetapi, bukti eksperimen tak serta merta terkait langsung dengan

keefektifan klinis. Walaupun penelitin in vitro mengindikasikan bahwa NaOCl

melarutkan jaringan dengan mudah. Namun, eksperimen pada gigi yang diekstraksi

dan penggunaan klinisnya tidak begitu memuaskan dalam melarutkan smear layer.15

Metode irigasi dilakukan dengan menggunakan syringe plastik berkapasitas 2,5

sampai 5 ml dengan jarum ukuran 25 gauge yang ujungnya telah ditumpulkan. Jarum

dibengkokkan sekitar 30o dari pusat jarum sehingga saluran akar baik gigi anterior

ataupun posterior dapat terjangkau. Bahan irigasi tidak boleh ditekan kuat masuk ke

jaringan periapikal tetapi arus dialirkan perlahan saja di dalam saluran akar. Pada

saluran akar yang relatif besar, maka ujung syringe diletakkan tanpa adanya

resistensi dari dinding saluran akar dan selanjutnya ujung jarum ditarik ke arah luar

beberapa milimeter. Irigan yang berlebih dapat ditampung dengan menggunakan

ujung kasa berukuran 2x2 inci yang diletakkan dekat dengan gigi untuk menyerap

8

kelebihan bahan irigan. Untuk mengeringkan saluran dapat dilakukan dengan

menggunakan paper point.16

2.3.2 Macam – macam larutan irigasi.

Beberapa macam larutan irigasi saluran akar yang saat ini populer adalah

larutan sodium hipoklorit (NaOCl), larutan kelator/ethylene diamine tetraacetic acid

(EDTA), mixture of tetracycline, an acid and a detergent (MTAD), klorheksidin

(CHX), dan iodine potasium iodide (IPI).4

2.3.2.1 Sodium hipoklorit.

Larutan NaOCl telah digunakan sebagai bahan irigasi pada perawatan

endodontik selama bertahun-tahun. Larutan ini murah, mudah didapatkan, dan

bersifat antibakteri yang tinggi, dan dapat melarutkan jaringan. Sodium/natrium

hipoklorit yang pertama kali digunakan sebagai larutan irigasi untuk luka infeksi

pada Perang Dunia I, sekarang merupakan larutan irigasi yang paling sering

digunakan dalam praktek dokter gigi, dikenal juga sebagai pemutih pakaian.

Kelebihan bahan ini adalah mampu melarutkan jaringan pulpa vital dan nekrotik,

membilas debris keluar dari saluran akar, bersifat antibakteri dengan spektrum luas,

sporasid, virusid, pelumas, ekonomis, dan mudah diperoleh. Beberapa penelitian

menujukkan bahwa larutan NaOCl 5,25% lebih efektif membunuh bakteri

Enterococcus faecalis dalam waktu 30 detik dibandingkan dengan larutan NaOCl

0,5% dan 2,5% yang mampu membunuh bakteri dalam waktu 10-30 menit.4,16

9

Efek antibakteri NaOCl tergantung dari beberapa faktor, diantaranya pH,

waktu kontak, temperatur, dan juga konsentrasi yang digunakan. Makin tinggi

konsentrasi larutan, makin kuat daya antibakteri yang dihasilkan, tetapi juga makin

besarnya iritasi terhadap jaringan. Walaupun NaOCl sebagai larutan irigasi yang

ideal, kelemahan larutan ini adalah tidak mampu melarutkan partikel anorganik

dentin, tidak dapat menghilangkan smear layer, serta rasa dan bau yang tidak

menyenangkan. Dalam penggunaannya larutan NaOCl sering dikombinasikan

dengan larutan EDTA 17% yang berfungsi sebagai chelating agent dan dapat

melarutkan komponen anorganik. Pada penelitian Bystrom (1985) menunjukkan

bahwa larutan NaOCl 5% dan EDTA lebih efektif membunuh bakteri dibandingkan

larutan NaOCl 0,5% dan 5% yang diaplikasikan secara tunggal.6,17

2.3.2.2 Larutan kelator / EDTA.

Larutan kelator yang sering digunakan dalam perawatan endodontik adalah

garam disodium dari ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) 17% dalam larutan

netral. Kelator adalah pelarut komponen anorganik dan memiliki efek antibakteri

yang rendah, sehingga dianjurkan sebagai pelengkap dalam bahan irigasi saluran

akar setelah sodium hipoklorit. Pada penelitian Maria dkk (2006) menunjukkan

bahwa larutan EDTA 17% memiliki efektivitas paling rendah dalam membunuh

bakteri Enterococcus faecalis dibandingkan dengan larutan NaOCl 2,5% dan

klorheksidin (CHX) 0,2%.4,18

Mekanisme kerja dari larutan EDTA adalah membentuk kelat dengan ion

kalsium dari dentin dan smear layer sehingga mudah larut dalam air dan dikeluarkan

dari saluran akar. Smear layer yang terbentuk selama preparasi mekanik saluran akar

10

dan yang melekat pada dinding saluran akar, dapat dengan mudah dilepas melalui

demineralisasi, membuat tubulus dentin terbuka lebar. Hal ini memudahkan penetrasi

disinfektan lebih jauh ke dalam dentin saluran akar.4,6,16

Beberapa laporan penelitian menunjukkan penggunaan EDTA menyebabkan

erosi pada dinding saluran akar akibat hiperdekalsifikasi. Akan tetapi, penelitian

SEM (Scanning Electron Microscope) yang dilakukan oleh Niu dkk, menunjukkan

tidak terjadi erosi bila hanya EDTA yang digunakan sebagai larutan irigasi.

Efektivitas larutan EDTA juga di pengaruhi oleh pH. Pada pH rendah, efektivitas

larutan dalam membersihkan dinding saluran akar menjadi menurun, tetapi efek

erosinya meningkat karena pH rendah membuat larutan EDTA lebih bersifat asam.4,6

2.3.1.3 Klorheksidin.

Klorheksidin (CHX) merupakan basa kuat dan paling stabil dalam bentuk

garam klorheksidin diglukonat yang larut dalam air. Klorheksidin sangat luas

digunakan sebagai desinfektan karena memiliki sifat antibakteri baik terhadap bakteri

gram positif, negatif, dan spora bakteri. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas

antibakteri larutan CHX 2% hampir sama dengan larutan NaOCl 5,25%.4

Klorheksidin tidak dapat digunakan sebagai larutan irigasi tunggal pada

perawatan saluran akar karena tidak memiliki kemampuan melarutkan jaringan

nekrotik dan kurang efektif terhadap bakteri gram negatif. Oleh sebab itu, kombinasi

larutan irigasi NaOCl dan klorheksidin dianjurkan untuk meningkatkan kemampuan

keduanya.4

11

2.4 Tanaman Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

Keanekaragaman hayati yang merupakan potensi alam masih sangat sedikit

menjadi subjek penelitian ilmiah di Indonesia. Tanaman mahkota dewa merupakan

salah satu tanaman tradisional Indonesia yang sedang dikembangkan agar dapat

digunakan secara optimal sebagai salah satu pengobatan alternatif. Pohon mahkota

dewa (Phaleria macrocarpa) berasal dari Papua/Irian Jaya. Disebut juga Makuto

Rojo, Makuto Ratu, Obat Dewa, Pau (Obat Pusaka) atau Crown of God. Berasal dari

Papua (Irian Barat) dan dikenal serta dibudidayakan di Indonesia di Keraton

Jogjakarta dan Solo. Karena ukuran buah yang relatif besar, para ahli botani memberi

sebutan macrocarpa (macro=besar). Taksonomi dari tumbuhan mahkota dewa

sebagai berikut: 7

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Myrtales

Famili : Thymelaeaceae

Genus : Phaleria

Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.

12

Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) adalah tanaman perdu yang

tumbuh subur pada dataran rendah hingga ketinggian 1200 meter di atas permukaan

laut. Tanaman ini mempunyai 1200 spesies yang tersebar di 67 negara. Penampilan

tanaman ini sangat menarik, terutama saat buahnya mulai tua berwarna merah marun,

sehingga banyak dipelihara sebagai tanaman hias. Akhir-akhir ini tanaman mahkota

dewa banyak digunakan sebagai obat tradisional. Di dalam daunnya terkandung

alkaloid, saponin, serta polifenol. Beberapa khasiat farmakologis saponin adalah

sebagai antiinflamasi, antiulkus, ekspektoran, antibakteri, antijamur, antivirus,

stimulasi dan depresi susunan saraf pusat, spermatosid, molusida, antioksida,

meningkatkan sistem imun, dan menghambat pertumbuhan sel ganas. Senyawa

saponin ini merupakan larutan berbuih yang diklasifikasikan berdasarkan struktur

aglycon ke dalam triterpenoid dan steroid saponin. Kedua senyawa tersebut

mempunyai efek antiinflamasi, analgesik, dan sitotoksik.7,8

13

Gambar 2. Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)Sumber: http://mahkotadewa.com/blog/2004/12/aktivitas-antioksidan-dan-antibakteri-produk-kering-instant-dan-effervescent-dari-buah-mahkota-dewa/

Buah mahkota dewa ini biasanya digunakan untuk mengobati berbagai

penyakit mulai dari flu, rematik, paru-paru, sirosis hati sampai kanker. Di dalam kulit

buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flavanoid. Bijinya

dianggap beracun, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar untuk mengobati

penyakit kulit. Batang tanaman mahkota dewa yang bergetah digunakan untuk

mengobati penyakit kanker tulang, sehingga mungkin hanya akar dan bunganya saja

yang jarang dipergunakan. Hasil penelitian Lisdawati menunjukkan bahwa daging

buah dan cangkang biji mengandung beberapa senyawa antara lain: alkaloid,

flavonoid, senyawa polifenol, dan tanin. Acuan pustaka yang ada telah menyebutkan

bahwa tanaman marga Phaleria umumnya memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa

aktif mahkota dewa yang berkhasiat sebagai antibakteri adalah saponin, alkaloid, dan

tanin. Setiap bagian pohon mahkota dewa, terutama yang berkhasiat obat, mendapat

perlakuan tertentu setelah dipanen.7,8

2.4.1 Kandungan buah mahkota dewa.

Buah mahkota dewa mengandung beberapa zat aktif seperti:19

1) Alkaloid, bersifat detoksifikasi yang dapat menetralisir racun di dalam tubuh

2) Saponin, yang bermanfaat sebagai:

a. sumber antibakteri dan antivirus

b. meningkatkan sistem kekebalan tubuh

c. meningkatkan vitalitas

14

d. mengurangi kadar gula dalam darah

e. mengurangi penggumpalan darah

3) Flavonoid

a. melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh dan mencegah

terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah

b. mengurangi kandungan kolesterol serta mengurangi penimbunan

lemak pada dinding pembuluh darah

c. mengurangi kadar risiko penyakit jantung koroner

d. mengandung antiinflamasi (antiradang)

e. berfungsi sebagai anti-oksidan

f. membantu mengurangi rasa sakit jika terjadi pendarahan atau

pembengkakan

4) Polifenol, berfungsi sebagai antihistamin (antialergi).

Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan spesies

tanaman yang berbeda, terutama tanaman dikotil dan berperan sebagai bagian dari

sistem pertahanan tanaman. Istilah saponin diturunkan dari bahasa Latin sapo yang

berarti sabun, diambil dari kata saponaria vaccaria, suatu tanaman yang

mengandung saponin digunakan sebagai sabun untuk mencuci. Saponin larut dalam

air tetapi tidak larut dalam eter. Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman,

baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Pada tanaman budidaya, saponin

triterpenoid merupakan jenis yang utama, sedangkan saponin steroid umum terdapat

pada tanaman yang digunakan sebagai tanaman obat. Beberapa faktor seperti umur

fisiologis, kondisi agronomi dan lingkungan dapat mempengaruhi kandungan

15

saponin dalam tanaman. Tanaman muda dalam suatu spesies mempunyai kandungan

saponin lebih tinggi dibanding dengan tananam dewasa.20

16

BAB III

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Perawatan Endodontik

Tahapan Irigasi

Bahan Irigasi Saluran Akar

Syarat Ideal

1. Antibakteri2. Pelarut smear layer3. Tegangan permukaan

rendah4. Tidak mengiritasi

jaringan5. Tidak toksik

Jenis Larutan Irigasi

1. Sodium hipoklorit2. Klorheksidin3. MTAD4. EDTA

3.2 Kerangka Konsep

Keterangan: : Variabel yang diukur

: Varabel yang tidak diukur

: Lingkup penelitian

18

Perawatan Endodontik

Gagal Berhasil

Candida Albicans

E. faecalis

Larutan Irigasi Saluran Akar

Ekstrak Buah Mahkota

Dewa

Larutan NaOCl

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian : Eksperimen laboratorium

4.2 Lokasi Penelitian : Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Unhas

dan Balai Besar Laboratorium Dinas Kesehatan

Makassar

4.3 Waktu Penelitian : 24 Oktober – 20 Novermber 2011

4.4 Data

3.4.1 Jenis data : Data primer

3.4.2 Pengolahan data : SPSS

3.4.3 Penyajian data : Dalam bentuk tabel dan grafik

3.4.4. Analisis data : Untuk mengetahui ada/tidak perbedaan secara

signifikan antara ekstrak mahkota dewa 12,5%,

larutan NaOCl 3%, dan akuades (kontrol negatif)

digunakan uji Anova. Sedangkan untuk

mengetahui bahan uji mana yang memiliki

perbedaan digunakan uji beda lanjut LSD.

4.5 Subyek Penelitian : Bakteri Enterococcus faecalis

4.6 Variabel

4.6.1 Variabel sebab : ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%,

akuades (kontrol negatif)

4.6.2 Variabel akibat : pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis pada media

agar.

4.6.3 Variabel kendali : media tumbuh blood agar dan temperatur yang digunakan

untuk menumbuhkan Enterococcus faecalis (370C).

4.6.4 Variabel moderator : kandungan fitokimia dari buah mahkota dewa.

4.7 Definisi Operasional

a) Ekstrak buah mahkota dewa adalah ekstrak dengan konsentrasi 12,5% yang

didapatkan dengan melakukan ekstraksi buah mahkota dewa dengan pelarut

etanol 96%.

b) Koloni Enterococcus faecalis adalah bakteri Enterococcus faecalis yang berasal

dari stem cell Enterococcus faecalis kemudian dikultur pada media blood agar.

c) Larutan NaOCl 3% adalah larutan yang dibuat dari 3 gram bubuk NaOCl yang

dilarutkan dalam 100 ml akuades.

20

4.8 Alat Dan Bahan Penelitian

4.8.1 Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain tabung erlenmeyer (Pyrex,USA),

destilator, cawan petri (Pyrex,USA), kertas saring, autoklaf (Hirayama,Jepang),

pipet mikro (Thermo election corp.), vacum rotary evaporator, inkubator

(Memmert), lampu spirtus, jangka sorong (Mitutoyo, Jepang), ose, pinset (CE

Stainless, Jepang), timbangan analitik (Sartorius), aluminium foil, pencadang

stainless steel.

4.8.2 Bahan yang diperlukan dalam penelitian antara lain buah mahkota dewa, pelarut

etanol 96%, suspensi Enterococcus faecalis, spirtus, media blood agar, larutan

NaOCl 3%, dan akuades.

4.9 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

4.9.1 Prosedur pembuatan ekstrak buah mahkota dewa

Pada prosedur pembuatan ekstrak buah mahkota dewa ini yang pertama dilakukan

adalah menyiapkan buah mahkota dewa yang segar. Buah mahkota dewa tersebut dicuci

bersih lalu diiris tipis–tipis dan dikeringkan di bawah sinar matahari, kurang lebih 7

hari. Buah mahkota dewa yang telah kering tersebut dihaluskan dengan blender hingga

menjadi serbuk simplisia, kemudian disimpan dalam wadah dan dimaserasi dengan

pelarut etanol 96% selama 3 hari. Setelah itu, simplisia tersebut diperkolasi dengan

menggunakan perkolator yang ditutup dengan aluminium foil dan pada bagian ujung

perkolator disumbat dengan kapas basah dan kertas saring. Setelah 24 jam, bagian ujung

lain dari perkulator, yang sebelumnya telah disambungkan pada tabung untuk

menampung cairan, dibuka sehingga cairan maserat menetes sedikit demi sedikit.

21

Prosedur penampungan maserat tersebut diulangi sehingga menghasilkan maserat yang

berwarna jernih. Setelah itu, semua maserat digabung dan disaring lalu diuapkan dengan

vaccum rotary evaporator. Setelah melakukan semua prosedur di atas, maka hasil akhir

yang didapat adalah ekstrak buah mahkota dewa.

4.9.2 Pembuatan medium blood agar

Cara pembuatan medium blood agar :

1. Darah domba 25-30 ml dimasukkan dengan menggunakan spoit ke dalam

tabung erlenmayer I yang berisi batu didih/bola kaca untuk memisahkan

fibrin darah domba.

2. Mengambil darah domba tanpa fibrin pada tabung erlenmayer I sebanyak 5

cc, dimasukkan ke tabung erlenmayer II yang berisi blood agar 100 ml.

3. Setelah tercampur sempurna, blood agar ditempatkan pada 3 cawan petri

dengan ketebalan 20 ml untuk masing-masing cawan petri.

4.9.3 Persiapan bakteri uji

4.9.3.1 Penyiapan biakan bakteri Enterococcus faecalis

1. Mengambil bakteri Enterococcus faecalis sebanyak 1 ose dan diinokulasikan

pada seluruh permukaan blood agar.

2. Bakteri diinkubasikan pada suhu kamar (37oC) selama 1-2 x 24 jam

22

4.9.3.2 Pembuatan suspensi bakteri uji

Bakteri yang telah disiapkan disuspensikan dengan bantuan NaCl 0,9% steril dan

penetapan kepekatan suspensi biakan dilakukan dengan cara visual yaitu dengan

membandingkan antara suspensi biakan dengan larutan Mc. Forland 0,5.

4.9.4 Langkah-langkah pengujian efektivitas antibakteri ekstrak buah mahkota

dewa dan larutan NaOCl

1. Menyiapkan bahan uji, yaitu ekstrak buah mahkota dewa 12,5% , larutan NaOCl

3%, dan kontrol negatif (akuades steril).

2. Menyiapkan 2 buah cawan petri.

3. Memasukkan medium blood agar ke dalam 2 cawan petri dengan volume yang

sama.

4. Meletakkan bakteri uji dengan menggunakan ose dispossible sehingga menutupi

seluruh permukaan blood agar.

5. Meletakkan pencadang steril sebanyak 3 buah ke dalam masing-masing cawan

petri.

6. Meneteskan bahan uji ke pencadang menggunakan pipet mikro sebanyak 150 µl

untuk masing-masing cawan petri. Satu cawan petri terdiri dari 3 pencadang

dengan 3 bahan uji, yaitu ekstrak buah mahkota dewa 12,5% , larutan NaOCl

3%, dan kontrol negatif.

23

7. Setelah semua pencadang telah ditetesi, ketiga cawan petri didiamkan selama

10-20 menit, lalu dimasukkan ke dalam inkubator suhu 37oC.

8. Setelah 24 jam dalam inkubator, dilakukan pengukuran zona inhibisi dengan

menggunakan jangka sorong. Pengukuran ini dilakukan pada daerah jernih disisi

pencadang.

9. Luas daerah jernih merupakan indikasi kemampuan bahan uji dalam

menghambat bakteri.

24

4.10 Alur Penelitian

Medium blood agar + pencadang + Enterococcus faecalis

Inkubasi pada temperatur

37oC selama 24 jam

Pengukuran zona inhibisi

Analisis hasil

25

Ekstrak buah mahkota dewa 12,5%

Akuades(kontrol negatif)

Bahan Uji

NaOCl3%

BAB V

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan

Makassar maka diperoleh hasil penelitian berikut ini :

Tabel 1. Rata-Rata Diameter Zona Inhibisi Bahan Uji terhadap Pertumbuhan Bakteri E.faecalis (periode inkubasi 24 jam)

Bahan UjiReplikasi

I II

Ekstrak buah mahkota dewa 12,5% 12,0 mm 9,16 mm

Larutan NaOCl 3% 17,0 mm 17,0 mm

Kontrol negatif 0 mm 0 mm

Keterangan: diameter pencadang= 8 mmkontrol negatif= akuades steril

Tabel 1 menunjukkan rata-rata diameter zona inhibisi bahan uji. Setiap bahan uji

pada pencadang dilakukan 3 kali pengukuran diameter dari berbagai arah. Pada tabel

tersebut dapat dilihat selama periode inkubasi 24 jam, ekstrak buah mahkota dewa

12,5% memiliki rata-rata diameter zona inhibisi sebesar 12,0 mm pada replikasi I dan

9,16 mm pada replikasi II. Untuk larutan NaOCl 3%, rata-rata diameter zona inhibisi

pada replikasi I 17,0 mm, begitu pula pada replikasi II. Pada kontrol negatif, baik

26

replikasi I maupun II tidak ditemukan zona inhibisi (0 mm). Jadi, berdasarkan tabel

tersebut yang memiliki zona inhibisi paling besar ialah larutan NaOCl 3%. Untuk lebih

jelasnya, zona inhibisi pada masing-masing bahan uji dapat dilihat pada grafik dibawah

ini:

Ekstrak buah mahkota dewa 12,5%

NaOCl 3% Kontrol negatif0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Replikasi IReplikasi II

Gambar 3. Grafik efektivitas ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol (-) terhadap pertumbuhan E.faecalis

Dari hasil uji efektivitas tersebut, dilakukan uji statistik data untuk mengetahui

apakah ada perbedaan bermakna pada efektivitas ekstrak buah mahkota dewa 12,5%

dengan larutan NaOCl 3% pada pengamatan 24 jam terhadap Enterococcus faecalis

dilakukan uji Anova one way dan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant

Difference), dan diperoleh hasil sebagai berikut:

27

D i a m e t e r z o

Bahan Uji

Tabel 2. Uji Anova Ekstrak Buah Mahkota Dewa 12,5%, Larutan NaOCl 3%, dan Kontrol Negatif terhadap Pertumbuhan E.faecalis

Bahan UjiReplikasi

Uji AnovaI II

Ekstrak buah mahkota dewa 12,5% 12,0 mm 9,16 mm 0,002*

Larutan NaOCl 3% 17,0 mm 17,0 mm

Kontrol negatif (akuades) 0 mm 0 mm

*Signifikan dengan p< 0,05

Tabel 3. Uji Least Significant Difference (LSD) Ekstrak Buah Mahkota Dewa 12,5%, Larutan NaOCl 3%, dan Kontrol Negatif terhadap pertumbuhan E.faecalis

Bahan Uji Bahan Uji Nilai Signifikan Keterangan

NaOClEkstrak buah mahkota dewa 0,012 S

Kontrol negatif 0,001 SEkstrak buah mahkota

dewaNaOCl 0,012 SKontrol negatif 0,003 S

Kontrol negatifNaOCl 0,001 SEkstrak buah mahkota dewa 0,003 S

Keterangan: S= Signifikan (p<0,05)NS= Non Signifikan (p>0,05)

Dari hasil uji statistik Anova pada Tabel 2 diperoleh hasil yang signifikan karena

menunjukkan nilai p<0,05, yaitu 0,002. Hal ini berarti ada perbedaan efektivitas yang

bermakna antara ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol

negatif terhadap pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis. Oleh karena hasilnya

28

signifikan, maka dilanjutkan uji LSD untuk mengetahui antar bahan uji yang mana yang

memiliki perbedaan yang signifikan. Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa semua bahan uji

memiliki perbedaan yang signifikan, baik antara larutan NaOCl 3% dengan ekstrak

buah mahkota dewa 12,5%, maupun ekstrak buah mahkota dewa 12,5% dengan kontrol

negatif.

29

(a)

(b)

Keterangan : EBMD = Ekstrak buah mahkota dewa

Gambar 4. Zona inhibisi ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol (-) terhadap pertumbuhan E.faecalis pada pengamatan 24 jam (a) replikasi I (b) replikasi II

30

EBMD 12,5%

NaOCl 3%

Kontrol (-)

Kontrol (-)

NaOCl 3%

EBMD 12,5%

BAB VI

PEMBAHASAN

Perbedaan efektivitas antibakteri antara ekstrak buah mahkota dewa 12,5%

dengan larutan NaOCl 3% dapat diketahui dengan menggunakan metode difusi agar,

yaitu membandingkan diameter zona inhibisi pada sekeliling pencadang yang berisi

perlakukan (ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol

negatif). Diameter zona inhibisi yang dihitung adalah daerah jernih disekeliling

pencadang yang menunjukkan bahwa bahan uji memiliki sifat antibakteri.

Setelah inkubasi 24 jam, ekstrak buah mahkota dewa 12,5% dan larutan NaOCl

3% menunjukkan adanya zona inhibisi sedangkan kontrol negatif tidak menunjukkan

adanya zona inhibisi. Pada Tabel 1 menujukkan bahwa diameter zona inhibisi tertinggi

terdapat pada larutan NaOCl 3% , yaitu 17,0 mm sedangkan pada ekstrak buah mahkota

dewa 12,5% memiliki diameter inhibisi hanya mencapai 12,0 mm. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa memang lebih kecil

dibandingkan larutan NaOCl. Selain itu, diameter zona inhibisi juga dapat dipengaruhi

oleh toksisitas bahan uji, kemampuan difusi bahan uji pada media, interaksi antar

komponen yang terdapat pada media, dan kondisi lingkungan mikro in vitro.21 Pada

Tabel 2, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ekstrak buah

mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol negatif dengan nilai signifikansi

31

0,002 (p<0,05) dan semua bahan uji memiliki perbedaan yang bermakna satu sama lain

yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil penelitian ini juga relevan dengan penelitian Beltrice (2010) yang

menggunakan konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12,5%, dan 6,25% untuk menentukan

KHM ekstrak buah mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan Enterococcus

faecalis. Pada konsentrasi 12,5% tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri,

sedangkan pada konsentrasi 6,25% masih ditemukan adanya pertumbuhan bakteri

sehingga konsentrasi 12,5% menjadi konsentrasi hambat minimum pada penelitian

tersebut. Pada penelitian Bella (2011) yang menguji efektivitas antibakteri ekstrak

mahkota dewa terhadap Streptococcus mutans menetapkan konsentrasi 6,25% sebagai

KHM. Selain itu, pada penelitian Winda (2011) yang membandingkan daya antibakteri

ekstrak buah mahkota dewa 25% dengan cresophene terhadap Streptococcus viridans

memperoleh hasil bahwa daya antibakteri cresophene lebih tinggi dibandingkan ekstrak

buah mahkota dewa 25%. Hasil lain ditemukan pada penelitian Lina (2006),

menyatakan bahwa KHM ekstrak buah mahkota dewa terhadap Pseudomonas

aeruginosa adalah 1,25%. Adanya perbedaan hasil pada masing-masing penelitian

mungkin disebabkan oleh toksisitas bahan uji, kemampuan difusi bahan uji pada media,

interaksi antar komponen yang terdapat pada media, dan kondisi lingkungan mikro in

vitro.21,22,23,24

Sodium hipoklorit (NaOCl) merupakan bahan irigasi yang paling sering

digunakan karena daya antibakterinya yang tinggi. Asam hypochlorous yang terdapat

dalam larutan NaOCl bertindak sebagai pelarut apabila berkontak dengan jaringan

organik, akan membebaskan klorin. Klorin yang bergabung dengan protein amino akan

32

membentuk Chloramine. Klorin merupakan agen pengoksida yang kuat memberikan

sifat antibakteri yang menghambat enzim-enzim bakteri dengan membentuk

pengoksidaan irreversible grup SH (sulphydryl), enzim esensial bakteri.22

Efektivitas ekstrak buah mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan bakteri

Enterococcus faecalis dipengaruhi oleh kandungan fitokimianya. Ekstrak buah mahkota

dewa memiliki kandungan saponin yang bersifat antibakteri yang bekerja dengan cara

menghambat sintesisi protein, menghambat pembentukan DNA, dan merusak dinding

sel bakteri. Selain itu, kandungan tanin dalam buah mahkota dewa juga dapat

menghambat sintesis protein.7,8

Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa ekstrak buah mahkota dewa

12,5% dan larutan NaOCl 3% memiliki efektivitas antibakteri terhadap Enterococcus

faecalis yang baik. Hal ini terlihat dari diameter zona inhibisi kedua bahan uji yang

dihasilkan lebih besar dari diameter pencadang, yaitu 8 mm. Pada hasil analisis data

dengan uji Anova pun diperoleh hasil yang signifkan karena p<0,05, yaitu p= 0,002.

Namun, jika kedua bahan uji tersebut dibandingkan, maka dapat disimpulkan bahwa

larutan NaOCl 3% memiliki daya hambat terhadap Enterococcus faecalis lebih tinggi

dibandingkan ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, dengan kata lain larutan NaOCl 3%

lebih efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis daripada ekstrak buah

mahkota dewa 12,5%.

Jika hasil penelitian ini dipadukan dengan hasil penelitian sebelumnya, yaitu

penelitian Bella (2011) dan Lina (2006), dapat disimpulkan bahwa ekstrak buah

mahkota dewa efektif sebagai antibakteri, tetapi tidak cukup ideal digunakan pada

bidang kedokteran gigi, khususnya bidang endodontik, karena konsentrasi hambat

minimum ekstrak buah mahkota dewa terhadap Enterococcus faecalis cukup tinggi,

yaitu 12,5%.

33

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini maka dapat diperoleh kesimpulan, yaitu:

1. Ekstrak buah mahkota dewa 12,5% efektif menghambat pertumbuhan bakteri

Enterococcus faecalis.

2. Larutan NaOCl 3% lebih efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis

daripada ekstrak buah mahkota dewa 12,5%.

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas antibakteri ekstrak buah

mahkota dewa terhadap Enterococcus faecalis secara in vivo.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan efektivitas ekstrak buah mahkota

dewa dan larutan NaOCl dengan konsentrasi yang berbeda dari penelitian ini.

3. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas antibakteri ekstrak buah

mahkota dewa terhadap bakteri lain yang terdapat di dalam rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baumgartner JC, Bakland LK, Sugita EI. Microbiology of endodontics and asepsis in endodntic practice. In: Ingle JI, Bakland LK, eds. Endodontics Fifth Edition. Kanada: BC Decker,2002:65-8.

2. Baumgartner JC. Microbiologic aspects of endodontic infections. J Can Dent Assoc 2004; 32(6):459-68.

3. Ferreira CM, Rosa OP, Torres SA, Ferreira FB, Bernardinelli N. Activity of endodontic antibacterial agents againts selected anaerob bacteria. Braz Dent J 2002;13(2):118-22.

4. Tanumihardja M. Larutan irigasi saluran akar. Dentofasial 2010;9(2):108-15.

5. Grande NM, Plotino G, Falanga A,dkk. Interaction between EDTA and Sodium hypochlorite. JOE 2003;32(5):460-4.

6. Prabaswari IR, Untara RTE, Siswadi YL. Pengaruh kombinasi berbagai konsentrasi larutan irigasi natrium hipoklorit dengan EDTA 17% terhadap kebersihan dinding saluran akar. J Ked Gi 2010;1(3):157-63.

7. Soeksmanto A, Hapsari Y, Simanjuntak P. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian tanaman mahkota dewa, Phaleria macrocarpa (scheff) boerl (thymelaceae). Biodiversitas 2007;8(2):92-5.

8. Dewanti TW, Wulan SN, Nur IC. Aktivitas antioksidan dan antibakteri produk kering, instant dan effervescent dari buah mahkota dewa. [serial online] 2010; [internet]. Available from: URL: http://mahkotadewa.com/blog/2004/12/aktivitas-antioksidan-dan-antibakteri-produk-kering-instant-dan-effervescent-dari-buah-mahkota-dewa/. Accessed on 19 Desember 2010.

9. Suchitra U, Kundabala M. Enterococcus faecalis: An Endodontic pathogen. J Endod 2002;11-3.

10. Vibha H. Enterococcus faecalis; clinical significance & treatment considerations. J Endod 2002.

35

11. Kayaoglu G, Dag Orstavik. Virulence factors of Enterococcus feacalis: relationship to endodontic diseases. Sages Journal 2004;15(5):308-20.

12. M Seluck, Ahmet O. Analysis of Enterococcus faecalis in samples from Turkish patients with primary endodontic infections and failed endodontic treatment by real-time PCR SYBR green method. Journal of Applied Oral Science 2009;17(5).

13. Cogulu Dilsah, Atac Uzel. Detection of Enterococcus faecalis in necrotic teeth root canals by culture and polymerase chain reaction methods. European Journal of Denstistry. Oktober 2007;Vol.1.

14. Sedgley, Lennan. Survival of Enterococcus faecalis in root canal ex vivo. International Endodontic Journal. Oktober 2005;38(10); 735-42.

15. Walton RE, Torabinejad M. Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Alih bahasa: Narlan S, Winiati S, Bambang N. ed ke-3.Jakarta: EGC, 2008:41-278

16. Nugrohowati, Hadhy TD. Peran irigan terhadap lapisan smear dinding saluran akar. JITEKG 2009;6(1):9-12.

17. Bystrom A, Sundqvist G. The antibacterial action of sodium hypochlorite and EDTA in 60 cases of endodontics therapy. International Endodontic Journal 1985;18:35-40.

18. Bulacio MA, Cangemi R, Cecilia M, Raiden G. In vitro antibacterial effect of different irrigating solutions on Enterococcus faecalis. Acta Odontol 2006;19(2):75-80.

19. Majalah Flona. Manfaat mahkota dewa. Edisi 27(2). Mei, 2005:13-4,23.

20. Supardjo. Saponin peranan dan pengaruhnya bagi ternak dan manusia. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

21. Mickel AK, Sharma P, Chogle S. Effectiveness of stainnous fluoride and calsium hidroxide againts Enterococcus faecalis. J Endod 2003; 29(4): 259-60.

36

22. Belrice. Daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa. Scheff ( Boerl.)) terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar secara in vitro. Universitas Sumatera Utara. 2010.

23. Siregar B. Daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa [scheff.] boerl) terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans (in vitro). [serial online] 2011; [internet]. Available from : URL : www. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30101/7/Cover.pdf . Accessed December 7, 2011.

24. Susanti L. Khasiat ekstrak etanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) sebagai anti bakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa. Jurnal Kimia dan Teknologi 2006;5(2):67-72.

25. Sugiarto W. Perbedaan daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa [scheff.] boerl) 25% dengan cresophene terhadap pertumbuhan Streptococcus viridans (in vitro). [serial online] 2011; [internet]. Available from: URL: http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-sl-2011-sugiartowi-154444&q=phaleria+macrocarpa. Accessed December 10, 2011.

37