28
37 BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN INDONESIA A. Euthanasia dalam Pandangan Ilmu Kedokteran Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berkatan dengan aspek hukum yang selalu aktual untuk dibicarakan dari waktu ke waktu sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang Arbortus provokatus dan Euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan diingatkan, sampai kini, tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak, tindakan Arbortus provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu dihadapai oleh kalangan kedokteran dan masyarakat, bahkan diperkirakan akan semakin meningkat di masa yang akan datang. 57 Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan: 58 1. Menggugarkan kandungan (abortus provocatus) 57 M.Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Op.Cit, Hal 120 58 Kode Etik Kedokteran Indonesia-Lampiran III (Declaration of Genewa) Oleh panitia redaksi musyawarah kerja susila kedokteran nasional, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta,1969. Universitas Sumatera Utara

repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

37

BAB II

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN

INDONESIA

A. Euthanasia dalam Pandangan Ilmu Kedokteran

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berkatan

dengan aspek hukum yang selalu aktual untuk dibicarakan dari waktu ke waktu

sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran,

yaitu tentang Arbortus provokatus dan Euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter

disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan

diingatkan, sampai kini, tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan

masalah ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, atau dicapainya

kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak, tindakan

Arbortus provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang

diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima,

bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu

dihadapai oleh kalangan kedokteran dan masyarakat, bahkan diperkirakan akan

semakin meningkat di masa yang akan datang.57

Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya,

dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik

kedokteran, dokter tidak diperbolehkan:58

1. Menggugarkan kandungan (abortus provocatus)

57

M.Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Op.Cit, Hal 120

58

Kode Etik Kedokteran Indonesia-Lampiran III (Declaration of Genewa) Oleh panitia

redaksi musyawarah kerja susila kedokteran nasional, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta,1969.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

38

2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak

mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)

1. Arbortus provocatus:

Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah arbortus

provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang, dapat kita lihat dalam

pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut:.

“seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat tahun”.

Disamping pasal 346 KUHP, masih banyak pasal-pasal lain yang

menyatakan bahwa abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya

pasal-pasal 347, 348, dan pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini

merupakan perbuatan terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang

dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya

merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut.

Keputusan untuk melakukan abortus provocatus ini harus diambil sekurang-

kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis dari pada perempuan yang

hamil dan suaminya, atau keluarga yang terdekat. Abortus jenis inilah yang

disebut sebagai: arbortus provocatus therapeuticus.59

Pelubang seorang dokter

dapat melakukan tindakan aborsi dan bersifat legal dilakukan oleh tenaga

kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan indikasi medis.

59

Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 81-82

Universitas Sumatera Utara

Page 3: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

39

Persyaratannya adalah 1). Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik. 2).

Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten. 3). Dilakukan

di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.

Dasar hukum aborsi adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan pasal 15:

“dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu

hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.

Kemudian dalam UU Kesehatan No.36 tahun 2009, dalam pasal 75 Ayat 1

dinyatakan dengan tegas bahwa “bahwa setiap orang dilarang melakukan

aborsi”. Ketentuan tentang larangan aborsi ini dikecualikan berdasarkan UU

Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 75 ayat 2, berdasarkan :60

a. “Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik

yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit

genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki

sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan.

b. “Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis

bagi korban perkosaan.

Di dalam rumusan Undang-undang Hukum Pidana, aborsi dilarang dan

dapat dikenai sanksi pidana, namun berdasarkan pasal 75 ayat (2) Undang-

Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, perbuatan aborsi mendapat

pengecualian jika hal tersebut dilakukan dengan maksud kedaruratan medis yang

dapat mengancam jiwa si ibu, yang sesuai dengan rumusan pasal tersebut. Dan

tentunya hal tersebut harus dapat dibuktikan. Dan bagaimana halnya dengan

Euthanasia.

60

Soekidjo Notoatmodjo.Op,Cit.Hal 137

Universitas Sumatera Utara

Page 4: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

40

2. Euthanasia

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien

yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya

diakhiri saja. Begitu kira-kira penafsirannya, sampai sebegitu jauh, tidak semua

orang sejutu akan prinsip Euthanasia. Para dokter pun demikaian halnya. Pada

umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak

dari segi religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang

dialami manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia,

karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti

penderitaan seseorang dalam sakit yang di deritanya, walau bagaimanapun

keadaanya, memang sudah terjadi kehendak Tuhan oleh sebab itu, mengakhiri

hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan.

Argumentasi demikian tadi juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik

Kedokteran Indonesia, Bab II, pasal 9, yang sekaligus juga mencermikan sikap

atau pandangan para dokter di Indonesia. Sebaliknya kelompok yang menyetujui

adanya Euthanasia itu, disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa

dilakukan atas dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang

dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar

penderitaanya diakhiri saja.61

Pada kenyataanya, perdebatan tentang Euthanasia memang telah

diperkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lain, yakni

transplantasi organ tubuh manusia, inseminasi buatan, sterilisasi, bayi tabung dan

61

Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 82-83

Universitas Sumatera Utara

Page 5: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

41

arbortus provocatus (pengguguran kandungan). Perdebatan atau kontroversi

masalah-masalah tersebut lebih terfokus pada soal moralitas, etika maupun

hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat akhir-

akhir ini, ternyata tidak di ikuti dengan kemajuan dibidang hukum dan etika.62

“contemporary development have posed a whole series of new problem.

One could even say: if medicine is in of trouble because of too much change, law

is in trouble because of too little change”.

Tugas seorang dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama

manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-

kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap

dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter

tersebut tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di

seluruh dunia, dan hampir tiap Negara telah mempunyai Kode Etik

Kedokterannya masing-masing. Pada umunya kode etik tersebut didasarkan pada

sumpah Hippocrates, yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan

Dokter se-Dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh Sidang ke-22

Himpunan tersebut di Sydney bulan agustus 1968.63

Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa

suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas etik yang mengatur

hubungan antara manusia pada umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-

akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam

masyarakat itu secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam

62 Crisdiono M.Achadiat,Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan

Zaman, (Jakarta;EGC,2007) Hal.180.

63 Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 79-80.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

42

Declaration Of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-

Dunia di genewa pada bulan September 1948, didalam deklarasi tersebut antara

lain dinyatakan sebagai berikut:64

“I will maintain the utmost respect for human life from the time of

conception, eve under threat, I will not use my medical knowledge

contrary to the laws of humanity”.

Khusus untuk di Indonesia, pertanyaan semacam ini secara tegas telah

dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak

tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI

tentang: pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23

Oktober 1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat Bedasarkan Peraturan

Mentri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.65

Dalam Bab II pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut,

dinyatakan bahwa: 66

“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi

makhluk insani”.

Pada pasal ini yang mengharuskan seorang dokter untuk selalu

memberikan pelayanan kesehatan yang sebaik mungkin kepada si pasien yang

bersumber pada “Lafal sumpah dokter” (yang berlaku saat ini, hasil

penyempurnaan Rakernas MKEK tahun 2012) khusus lafal sumpah dokter pada

pasal ke-5,6,7, yakni:67

64 Ibid.

65

Ibid.

66 Ibid.

67

Kode Etik Kedokteran Indonesia. 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 7: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

43

1. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang

bertentangan dengan prikemanusiaan, sekalipun diancam.

2. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.

3. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan si pasien, dengan

memperhatikan kepentingan masyarakat.

Juga bila dilihat dari sumpah/ janji dokter yang dinyatakan sebagaimana

telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun

1951 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 46) berbunyi

sebagai berikut:68

"Saya bersumpah/berjanji bahwa:

- Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan

perikemanusiaan;

- Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan

bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya;

- Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur

jabatan kedokteran;

- Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena

pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter;

- Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;

- Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita saya akan berikhtiar

dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh

pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian

atau Kedudukan Sosial;

- Saya akan memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan

pernyataan terima kasih yang selayaknya;

- Teman-sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung;

- Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat

pembuahan;

- Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan

Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum

perikemanusiaan;

- Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya".

68 http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/parent/21310 diakses pada

tanggal 30 agustus 2016, jam 19:25

Universitas Sumatera Utara

Page 8: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

44

Dengan demikian, berarti di Negara manapun di dunia ini seorang dokter

mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap hidup insani mulai saat

terjadinya pembuahan”. Dalam hal ini berarti bahwa bagaimanapun gawatnya

sakit seseorang pasien, setiap dokter harus tetap melindungi dan mempertahankan

hidup pasien tersebut.69

Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya

sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam

hubungan ini dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu

melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya.

Dalam hal Euthanasia indikasi medis untuk mencapai tujuan yang konkret

tidak ada, kecuali hanya menghentikan penderitaan rasa sakit. Dilakukan menurut

aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran dapat terpenuhi bila ada

standar of procedure yang dibuatnya, dan untuk persetujuan pasien dapat terjadi.

Dengan demikian Euthanasia pasti bertentangan dengan hukum.

Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa

derita. Tetapi kemudian pengertian ini berkembang menjadi

pembunuhan/pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan

membiarkan seseorang seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy

death). 70

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) mengenai Euthanasia dalam

3 pengertian yakni:71

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,

untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.

69

Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 80.

70 M.Achadiat,Op.Cit.Hal.189

71 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

45

2. Ketika Hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan

memberikan obat penenang.

3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Kode Etik Kedokteran tentang proses dan Eksistensi Kematian pasien

dengan Euthanasia. secara garis besar, Euthanasia dikelompokkan dalam dua

kelompok, yaitu Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Pandangan yang

mengelompokan Euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkan pada cara

Euthanasia itu dilakukan.

Menurut Kartono Muhammnad, Euthanasia aktif adalah suatu tindakan

mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan

maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti saluran asam,

melepas pemacu jantung dan sebagainya. Termasuk tindakan

mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien,

berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya

harapan hidup. Dengan kata lain tanda-tanda kehidupan masih terdapat

pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Sedangkan Euthansaia pasif,

baik atas permintaan ataupun tidak atas permintan pasien, yaitu, ketika

dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan

bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien (catatan

bahwa perawatan rutin yang optimal untuk mendampingi/membantu

pasien dalam fase terakhirnya diberikan).

R. Soeprono dalam suatu diskusi panel tentang Euthanasia mengatakan

bahwa segala perbuatan dokter terhadap si sakit bertujuan memelihara

kesehatan dan kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus

mempertahankan dan menerima kehidupan manusia. Harus diingat,

meringankan penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter.

Mungkin dari segi inilah sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu

macam Euthanasia dan ada pula yang menerima kedua-duanya dengan beberapa

pertimbangan tertentu.

Terlepas dari benar atau tidaknya praktek Euthanasia telah terjadi

Indonesia, masalah ini penting dikaji untuk medapatkan solusinya sebab sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 10: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

46

Negara hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban terhadap suatu

perbuatan yang dijalankan oleh setiap warga Negara atas dasar profesinya.

Pengertian tanggung jawab menurut kamus hukum adalah keadaan wajib

menanggung segala sesuatunya, kalau suatu terjadi dapat dilakukan penuntutan.

Menurut Black Law Dictionery , istilah liability dapat diartikan sebagai suatu

keadaan dimana seseorang terikat secara hukum atau keadilan untuk

melaksanakan sesuatu tindakan. Tanggungjawab hukum tenaga kesehatan

dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kesehatan terhadap ketentuan-ketentuan

hukum dalam menjalankan profesinya.72

Kajian dan telaah dari sudut medis, etika dan moral maupun hukum oleh

masing-masing pakarnya, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk

pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan Euthanasia, tetapi sebenarnya

ternyata bukan Euthanasia, Oleh professor Leenen kasus-kasus demikian ini akan

disebut sebagai Psuedo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan

sebagai Euthanasia, dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah

Euthanasia semu.73

Bentuk-bentuk Pseudo-Euthanasia diuraikan Leenen ialah diantaranya:74

1. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati batang otak:

Ialah fungsi berpikir atau merasakan pada manusia dapat berlangsung jika

otak masih berfungsi. Walaupun pernapasan dan detak jantung masih ada,

namun jika otak tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara intelektual

dan psikis/ kejiwaan telah berakhir. Mati otak menjadi tanda bahwa

seorang telah meninggal dunia dalam proses kematian.

72 Arifin Rada,Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam, Volume XVIII No. 2 Tahun

2013

73. M.Achadiat,Op.Cit Hal.184

74

Ibid.Hal 184-187.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

47

2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya :

Undang-undang perdata telah mengatur tentang perikatan/perjanjian,

demikian pula syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut (pasal 1320). Salah

satu syarat yang harus dipenuhi ialah kehendak bebas, artinya perjanjian

itu bebas dari paksaan, tipuan atau salah pengertian. Selain itu suatu

tindakan yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai

penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. Secara umum

dapat dikatakan bahwa dokter tidak berhak melakukan tindakan apapun

terhadap pasien jika tidak diizinkan atau dikehendaki oleh pasien tersebut.

3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan

(force majure) :

Hal ini diatur dalam pasal 48 KUHP. Misal si suatu RS hanya ada 2 buah

alat bantu napas (rispirator) yang telah terpakai oleh pasien yang

membutuhkan. Jika kemudian datang pasien ketiga yang juga memerlukan

respirator, dokter harus memilih kepada siap respirator harus dipasang.

Namun harus diingat bahwa dokter tidak berhak melepaskan respirator

dari kedua pasien pertama tanpa izin.

4. Penghentian perawatan/ pengobatan/ bantuan medik yang diketahui tidak

ada gunanya lagi :

Dengan demikian seorang dokter tidak memulai atau meneruskan suatu

perawatan/pengobatan, jika secara medik telah diketahui tidak dapat

diharapkan suatu hasil apapun, walaupun langkah ini mengakibatkan

kematian pasien. Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan

untuk mengakhiri/memperpendek hidup pasien, melainkan untuk

menghindari dokter bertindak diluar kompetensinya. Dapat dikatakan

bahwa langka tersebut mencegah terjadinya penganiyayaan terhadap

pasien, berdasarkan pasal 351 KUHP.

Kita di Indonesia, sebagai Negara yang ber-Agama dan ber-Pancasila,

percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Segala

sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada mahkluk

manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan

segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan

memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup dari pada sesama manusia.

Adalah tugas ilmu kedokteran membantu meringankan penderitaan pasien, atau

bahkan menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-

Universitas Sumatera Utara

Page 12: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

48

benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut

membantu meringankan penderitaanya. Walaupun kadang-kadang dari tindakan

peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara

perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).

Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan

euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan

(don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah

orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang

menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers). Kiranya tidak

memerlukan penjelasan lagi betapa permasalahan sekitar Euthanasia bagi pihak

yang terlibat adalah problematik yang tampaknya tidak begitu saja dapat diatasi

dan dilampaui. Penerapan penyelenggara Euthanasia pada pasien-pasien terminal

semata-mata merupakan tindakan yang mengalir dari sumber rasa kemanusiaan

yang dalam dan demi menghormati keinginan orang lain. Keterlibatan emosionil

dokter merupakan satu-satunya alasan mengapa ia menyediakan diri memberikan

bantuan yang nyata kepada pasien yang dalam sakratul maut.75

Namun bilamana ia cenderung bersikap positif terhadap permintaan pasien

seraya melakukan tindakan-tindakan aktif, maka diatas kepalanya mengancam

peristiwa tindak pidana. Ada pula sejumlah dokter yang mengindahkan dan

menjunjung tinggi pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Bagi mereka

75 F.Tengker, Mengapa Euthanasia?,(penerbit, NOVA,Bandung 1990) Hal.59.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

49

kehidupan adalah suci, anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberi dan

mengambilnya kembali, suatu yang berada di luar kekuasaan manusia.76

Menghormati kehidupan insani juga dipompa ke dalam keyakinan dokter

sejak ia mengikuti pendidikan medisnya, secara berkesinambungan ia belajar

mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas kehidupan. Penyakit dan

kematian adalah musuh-musuh. Suatu tindakan yang diarahkan kepada kematian

pada hakekatya tidak sejalan dengan jalur pemeriksaan medis77

.

B. Kematian dan Hak Mati dalam Ilmu Kedokteran

Apabila di pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian

seseorang melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang

dokter bahkan diwajibkan senantiasa melindungi mahkluk insani, sebagaimana

ditetapkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di

dunia, terutama di Negara-negara maju, masa kini sangat intensif

dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi

dari segi medis, kemudian diminta oleh keluarganya supaya penderitaanya

dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di Negara-negara maju dewasa ini.

Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi itu, mengajukan

permintaan kepada pengadilan atau pejabat yang berwenang supaya memberikan

legalisasi untuk mati.78

Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat

dengan definisi dari pada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya

76 Ibid.

77

Ibid.

78

Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 93

Universitas Sumatera Utara

Page 14: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

50

kenyataan bahwa profesi medis dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan

alat-alat ataupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan

seseorang yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungnya tetap

hidup dan berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”. Di negara-negara maju

sudah banyak yang memberikan definisi tentang kematian, tetapi definisi yang

diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang

memberikan definisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang

bersifat umum. Definisi khusus itu biasanya akibat kemajuan yang telah dicapai

dalam bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan

terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh (Anatomical

Gifts).79

Sebagai suatu contoh dapat disebutkan definisi kematian yang telah

diterima oleh The American Association tahun 1975, yang menyatakan kematian

adalah “for all legal purpose, a human body with irreversible cassation of total

brain function, accrding to medical practice, shall be considered dead”. Definisi

kematian ini diterima sebagai akibat dripada perkembangan ilmu kedokteran,

sehubungan dengan “organtransplants”, mencabut alat-alat untuk menopang

kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan

kembali.80

Perkembangan Euthanasia tidak lepas dari perkembangan konsep tentang

kematian. Usaha manusia memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian

dengan menggunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru

79 Ibid,Hal 94

80 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

51

dalam Euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang

dinyatakan mati.81

Kebutuhan akan defenisi baru tentang kematian berkembang sebagai

akibat langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk

mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tetapi

otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang

parah.82

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dengan istilah kematian dalam

ilmu hukum? Pengertian mati menurut hukum adalah lepasnya atau hilangnya

nyawa dari tubuh seseorang.83

1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1988, mati dan

didefenisikan “berhentinya darah mengair”. Berhentinya darah mengalir

ini berarti jantung dan paru-paru berhenti bekerja oleh sebab itu menurut

batasan ini, mati atau kematian itu terjadi apabila “jantung berhenti

berdenyut”. Jantung berhenti berdenyut, berarti darah tidak dapat mengalir

keseluruh tubuh yang berakibat semua fungsi tubuh berhenti total karena

tidak ada aliran darah.

Namun dengan demikian, dengan berkembangnya ilmu kedokteran

tampaknya konsep ini sudah tidak dapat digunakan lagi, karena dengan

teknologi resusitasi (nafas buatan) telah memungkin jantung dan paru-

paru yang terhenti dapat berdenyut kembali. Dengan bekerjanya kembali

81 Sutarno,Op.Cit,Hal 91

82

Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 98

83 Soekidjo Notoatmodjo.Op,Cit.Hal 144-145

Universitas Sumatera Utara

Page 16: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

52

jantung dan paru-paru ini maka akan terjadi aliran darah lagi keseluruh

tubuh dan kembali hidup.

2. Mati saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini juga tidak dapat

dipakai lagi, karena dengan teknologi resusitasi seperti disebutkan, seakan-

akan nyawa dapat dikembalikan lagi.

3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan

fungsinya secara terpadu. Bahwa organ-organ tubuh kita berfungsi secara

terpadu, yang dikendalikan oleh otak kita. Apabila semua organ tubuh kita

masih berfungsi secara terpadu yang dikendalikan oleh otak, berarti kita

masih hidup. Namun konsep ini juga diragukan dan dipertanyakan. Karena

tampaknya organ-organ tubuh berfungsi sendiri, dengan atau tanpa

dikendalikan oleh otak kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa

transplantasi, organ tubuh seseorang dapat dipindahkan ke tubuh orang

lain. Dalam proses pemindahan atau transplantasi pada tahap tertentu

organ tubuh yang ditransplantasi masih tetap berfungsi, meskipun sudah

tidak di bawah kendali otak orang yang bersangkutan.

4. Batang otak telah mati (brain stem death): bahwa otak merupakan pusat

penggerak dan pengendali baik secara fisik maupun sosial. Oleh sebab itu,

bila batang otak telah mati maka diyakini bahwa manusia itu telah mati

secara fisik maupun sosial. Mati menurut konsep ini adalah hilangnya

“hidup” manusia secara permanen, sehingga fisik dan sosialnya sudah

tidak berfungsi lagi.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

53

5. Menurut undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 117,

seseorang dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan

sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila

kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Apabila kita memperhatikan

batasan kematian menurut undang-undang ini, sebenarnya merupakan

suatu bentuk akomodasi dari berbagai batasan tentang kematian atau mati,

yang sebelumnya telah ada atau dirumuskan.

Plato mengatakan jiwa manusia bukan merupakan substansi lengkap, jiwa

merupakan formasi yang menjiwai materi, yaitu badan, tetapi jiwa melakukan

aktivitas yang melebihi-melebihi aktivitas-aktivitas badani belaka, yaitu berfikir,

berkehendak dan bercita-cita.84

Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati :85

1. Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Tiap sel dalam

tubuh manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap adanya

oksigen dan oleh karenanya, mempunyai saat kematian yang berbeda pula.

2. Bagi Dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi

pada kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh.

3. a. Dalam tubuh manusia, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam

penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru dan otak

(khususnya batang otak).

b. Diantara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak

tidak dapat dinyatakan hidup lagi.

4. Defenisi mati, seseorang dinyatakan mati bilamana :

a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau

irreversible, atau

b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.

5. Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada mati

batang otak. Sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan

medis diteruskan agar organ tetap baik.

6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implakasi

hukum dan implikasi teknis lapangan, maka dengan ini Ikatan Dokter

84Gunawan Setiardja, Manusia dan Ilmu. Telaaah Filsafat Atas Manusia Yang Menekuni

Ilmu Pengetahuan.cet.3, (semarang:2005), Hal 24.

85

Tercantum dalam Lampiran SK PB IDI No.23 1/PB/A.4/07/90.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

54

Indonesia mengajukan usul perubahan dan penambahan PP No. 18 tahun

1981, terutama yang berkenaan dengan defenisi seperti yang tercantum

dalam pasal 1 ayat 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut.

7. Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan

terapeutik/paliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan

tujuan ilmu kedokteran, maka tindakan terapeutik/paliatif dapat

dihentikan. Penghentian tindakan terapeutik/paliatif sebaiknya

dikonsultasikan dengan sedikitnya dengan seorang dokter-dokter yang

lain.

Jadi Ikatan Dokter Indonesia merumuskan bahwa seseorang dinyatakan

mati apabila : fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti,

berarti irreversible atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.

Penyataan tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang, seperti

Elektro Kardiogram atau EKG dan Elektro Ensepalogram atau EEG. Upaya

mengembalikan berfungsinya fungsi jantung dan pernafasan ini,yang sering

disebut resusitasi dalam kejadian ini tidak memberikan banyak arti lagi86

. Upaya

resusitasi darurat dapat diakhiri apabila terjadi hal berikut :

1. Sesudah resusitasi paling sedikit setengah sampai dengan satu jam terbukti

tidak ada lagi nadi pada normotermia tanpa resusitasi jantung dan paru,

2. Ada tanda-tanda klinis mati otak,

3. Garis datar pada EKG selama paling sedikit 30 menit meskipun telah

dilakukan resusitasi dan pengobatan optimal,

4. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan resusitasi.”

Sebetulnya, kelahiran dan kematian yang alami atau kematian ada

ditangan Allah, namun F. Tengker mempertanyakan masih ada kematian kumlah

tersebut. Sejak dari kandungan, kehidupan kita telah ditentukan oleh jaringan

86 Samil, Ratna Suprapti, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia,1980.Hal 93.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

55

kerja oleh pelayanan kesehatan yang begitu luas jangkauannya seperti vaksinasi,

higiena, pelayanan medis dan sebagainya, sehingga kehidupan manusia tidak

dapat lagi disebut alami. Hal ini berlaku juga dan barangkali lebih terasa dalam

masalah pengakhiran kehidupan.87

Dengan demikian mungkin Tengker

menganggap bahwa hampir semua kematian juga tidak alami, tetapi dalam

prosesnya sudah banyak campur tangan manusia lain.

Bahwa dalam Euthanasia para ahli hukum kurang bisa leluasa mengikuti

perkembangan proses pengobatan atau perawatan pasien di Rumah Sakit karena

problem yang rumit. Pada kasus Euthanasia, dokternya dapat dikenai pidana

karena pada saat ini belum ada hukum positif yang melindungi tindakan tersebut.

Kesalahan-keselahan dokter dapat terjadi pada saat merawat atau mengobati

pasiennya, maka pernyataan bahwa hal-hal diatas tidak dapat digunakan pasal-

pasal dalam KUHP merupakan pernyataan yang kurang tepat. Persoalan ini

tergantung dari hasil pendalaman peristiwanya, oleh karena itu penerapan pasal-

pasal dalam KUHP masih dapat digunakan untuk kasus Euthanasia tertentu.88

Pada umunya seseorang yang menderita sakit yang tidak tertahankan akan

berusaha untuk menghindari penyebab rasa sakitnya, namun apabila tidak

memungkinkan, apalagi ditambah dengan faktor lain dan cukup berat, maka tidak

menutup kemungkinan pasien tersebut akan bunuh diri. Pada pasien yang

mengalami keadaan seperti itu, bunuh diri dengan bantuan dokternya

(Euthanasia) dapat menjadi hal yang paling mungkin untuk dilakukan.89

87 F.Tengker,Kematian Yang Digandrungi, Euthanasia dan Hak Menetukan Nasib

Sendiri, (Bandung; Penerbit Nova,1991), Hal 108.

88

Sutarno,Op.Cit,Hal 97.

89 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

56

Dokter ataupun keluarga pasien, kalaupun ada kehendak untuk

melaksanakan Euthanasia, umunya dikarenakan faktor kasian melihat pasien yang

bersangkutan, walaupun ada kemungkinan alasan yang lain. Seperti biaya

perawatan atau yang lainnya.90

Dilihat dari segi perdata, dokter dalam melakukan tindakan medik

berdasar pada permintaan pasien atau keluarganya, diikuti dengan tanya jawab,

pemeriksaan pada pasien dan upaya-upaya untuk memperoleh penyembuhan91

.

Jadi sebetulnya telah terjadi kontrak yang tidak tertulis anatara dokter dan pasien.

Dalam hal ini, apabila ada wanprastasi dalam kontrak tersebut maka pihak yang

melakukannya dapat digugat. Dalam hal Euthanasia, sengketa-sengketa perdata

tidak atau jarang terjadi. Dalam kasus Euthanasia, sengketa perdata tidak atau

jarang terjadi, karena umumnya kehendak untuk dilakukannya Euthanasia berasal

dari pihak pasien dan keluarganya.

Dalam hal kontrak, teori kontrak yang modern cenderung untuk

menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan

kepada terpenuhinya rasa keadilan. Bahkan janji-janji prakontrak dapat

dikenakan akibat hukum, berdasarkan asas-asas etikad baik yang ditekankan pada

tahap perundingan.

90 Ibid.Hal 99

91

Mokh. Khoirul Huda. Transaksi Terapeutik Sebagai Dasar Hubungan Hukum Dokter

dan Pasien. Dalam Perspektif Hukum, (Vol.3,November 2003), Hal 1

Universitas Sumatera Utara

Page 21: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

57

Selanjutnya secara materiil, suatu tindakan medis sifatnya tidak

bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :92

a. Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai tujuan yang konkret,

b. Dilakukan menurut aturan-atauran yang berlaku di dalam ilmu kedokteran,

c. Sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.

Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan

perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini

misalnya :93

a. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya

menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya,

b. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi

lagi,

c. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.

Dengan demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya, walaupun hak

ini tidak secara tegas dicantumkan sebagaimana “hak untuk hidup”. Dalam

kondisi yang demikian itu pula, seseorang yang mempergunakan “hak untuk

mati”-nya. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak,

tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.

C. Malpraktek Medis Euthanasia

Secara etimologis, malpraktek mengandung kata mal yang artinya buruk

atau salah, sehingga malpraktek diartikan salah melakukan prosedur yang

92 Wiradharma,Op.Cit.Hal 4.

93

Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 100

Universitas Sumatera Utara

Page 22: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

58

berujung pada kerugian pasien atau bahkan sampai fatal. Atau dapat melakukan

tindak pidana seperti Arbortus Provocatus Criminalis. Dalam hal salah melakukan

prosedur ini, dapat saja dikatakan malpraktek harus memenuhi unsur

kecerobohan, kesembronoan, kekurang hati-hatian (professional misconduct) atau

kekurang mampuan yang tidak pantas (Unreasonable lack of skill) yang hanya

dilakukan oleh pengemban profesi Dokter, Advocat, Notaris, dan lain-lain.94

Malpraktik merupakan istilah umum dan tidak selalu berkonotasi yuridis,

karena ada juga yang lain, misalnya malpraktek etis. Hal ini dapat dimengerti

karena malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah, walaupun

demikian istilah malpraktek ini umumnya ditujukan pada pelaksanaan suatu

profesi, misalnya Dokter, Advocat dan lainnya. Dalam bidang kesehatan,

walaupun yang dimaksud dengan tenaga medis oleh PP nomor 32 tahun 1996

tentang tenaga kesehatan hanya dokter dan dokter gigi, tetapi malpraktek oleh

tenaga kesehatan seiring dikatakan malpraktek medis.95

Istilah malpraktek medis tidak dikenal dalam Hukum Positif Indonesia.

Banyak pengertian yang ditulis para ahli. Ada yang membagi malpraktek medis

menjadi dua kelompok, yaitu malpraktek medis yang disengaja dan medis karena

kelalaian. Tetapi ada juga yang menganggap bahwa malpraktek medis adalah

malpraktek medis yang terjadi karena kelalaian atau kompetensi dokternya

dibawah standar. Euthanasia aktif langsung dapat dimasukkan dalam golongan

malpraktek medis yang disengaja atau malpraktek medis Kriminal.96

94 Sutarno,Op.Cit,Hal 39

95

Ibid. 96

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

59

Disebut atau dinyatakan malpraktek Kriminal (criminal malpractice) jika

perbuatan tersebut memenuhi unsur aduan pidana (batin, alasan pemaaf hubungan

batin dengan perbuatan). Dalam kriminal malpraktek dapat berupa kesengajaan

(intentional), kecerobohan (recklessness) atau kelapaan (negligence) contoh

malpraktek criminal yang bersifat kesengajaan dintaranya:97

1. Melakukan Euthanasia (aktif, pasif, volunter, maupun involunter).

2. Melakukan Arbortus Provocatus tanpa memenuhi unsur hukum.

3. Menerbitkan surat-surat pada pasien yang tidak benar.

4. Membuka rahasia pasien tanapa alasan yang memenuhi unsur hukum.

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila

memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan

perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan,

kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat

terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat

(2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.98

Menurut J. Guwandi malpraktek medis ini dapat dibedakan menjadi dua

golongan, yaitu:

a. Dilakukan dengan sengaja, yang dilarang oleh peraturan perundang-

undangan atau dolus. Dengan perkataan lain, malpraktik dalam arti sempit,

misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis,

melakukan Euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak

benar, dan sebagainya.

97 Ns.Ta’adi, Hukum Kesehatan.,(Jakarta: EGC.2010).Hal 61.

98

Endang Kusumah Astuti, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya

Pelayanan Medis, (Semarang:2003), Hal,14.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

60

b. Dilakukan tidak dengan sengaja atau negligence atau culpa, atau karena

kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau

sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat atau bahkan

meninggal dunia.

Dalam golongan pertama, tindakan dilakukan secara sadar, sengaja

dilakukan atau itensional, dolus, tujuan tindakannya sudah diarahkan kepada

akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak perduli akan akibatnya, walaupun

mengetahuai atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan

dengan hukum yang berlaku. Sehingga golongtan malpraktik ini sering disebut

dengan criminal malpractice. Sedangkan yang kedua lebih sering dipersoalkan,

berintikan ketidak sengajaan, culpa, negligence, yang akibatnya tidak diharapkan,

akan timbul, tidak ada motif untuk menimbulkan akibat tersebut. Sering diartikan

karena kurang hati-hati, sembrono, ceroboh, kurang teliti, acuh, tidak peduli

terhadap kepentingan orang lain.99

Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk

kesengajaan, yakni:100

1. Kesengajaan (dolus)

a. Kesengajaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu

diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi;

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku (doer or dader)

mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan

terjadi suatu akibat lain.

99Machmud,Sayahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Bagi Dokter Yang Diduga

Melakukan Medical Malpraktek, (Bandung:CV Mandar Maju.2008).Hal 161-162

100

Bahder Johan Nasution, Op.Cit.,Hal 54

Universitas Sumatera Utara

Page 25: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

61

c. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan

dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi

sipelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga

dilarang dan diancam oleh undang-undang.

2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP101

Simons menerangkan “kealpaan” bahwa pada umumnya kealpaan itu

terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan,

disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu

perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika

yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul

suatu akibat yang dilarang undang-undang102

.

Pada umumnya kealpaan (Culpa) dibedakan atas:

a. Kealpaan dengan kesadaran (Bewuste schuld). Dalam hal ini sipelaku telah

membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat tetapi

walaupun ia berusaha untuk mencegah akan timbul juga akibat tersebut.

b. Kealpaan tanpa kesadaran (Onbewuste schuld). Dalam hal ini, sipelaku

tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang

dilarang dan

diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya

meperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang

dokter adalah “kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang dipidana adalah penyebab

101 Ibid.Hal 55.

102Laden Marpaung,Asas,Teori,Praktik HukumPidana,(Jakarta:sinargrafika,2008).Hal.25.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

62

dari timbulnya akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan cacat

atau matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut

dapat dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah

melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari keadaan-

keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Umpamanya

karena kelalaian seorang dokter yang memberikan obat yang salah kepada

pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus

pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu

kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal ia sadar

sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya.103

Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan

dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh.

Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa kealpaan itu

paling tidak memuat tiga unsur:104

1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum

tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan

suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.

2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir

panjang

3. Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus

bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

103

Ibid.Hal.57.

104

Ibid.Hal 59.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

63

Para dokter harus menyadari bahwa tindakan medis yang sudah benar dan

bahkan yang terbaik sekalipun belum cukup dijadikan jaminan baginya untuk

menghindarkan diri dari tuntutan atau gugatan, meskipun sudah dilandasi niat dan

tujuan yang mulia. Masih diperlakukan landasan yang bersifat filosofis, yaitu

menghormati hak asasi pasien untuk menentukan nasibnya sendiri atau The right

to self determination.105

Profesi kedokteran harus dilaksanakan dengan selalu mempertimbangkan

etika. Antara moral, etika, dan hukum selalu berhubungan, keduanya sama

sebagai dasar pembuatan dan tujuan yang baik. Sesuai dengan yang dikatakan

oleh Lord Chief Justice Coleridge : “It would not be correct to say that every

moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded on moral

obligation”, maka tidak semua yang dikatakan salah oleh etika juga salah oleh

hukum, sebaliknya yang dikatakan salah oleh hukum pasti salah menurut etika.

Sebagian berpendapat malpraktek medis termasuk kelalaian, tetapi ada juga yang

memasukkan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja kedalam

malpraktek, dan ini sering disebut dengan criminal medical malpractice.

Euthanasia sering disebut sebagai hal yang terakhir ini, disamping abortus

provocatus criminalis.106

Para penulis seperti Veronica, Hermien Hadiati Koeswadji, Danny

Wiradharma dan lain-lain. Memberikan penjelasan makna dari malpraktek medis

atau medical malpractice. Salah satu penulis tersebut, Hermien Hadiati Koeswadji

menjelaskan bahwa secara harfiah malpractice berarti Bad Practice atau praktek

105 Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, edisi 3,

(Semarang Universitas Dipenogoro, 2005) ,Hal.39-40.

106

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 63856 › Chapter II.pdf... · BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN ...A. Euthanasia dalam Pandangan

64

buruk yang berkaitan dengan peraktik penerapan ilmu dan teknologi medic dalam

menjalankan profesi medic yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek

berkaitan dengan “How to practice the medical science and technology”, yang

sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktik

dan orang yang melaksanakan praktik, maka Hermien lebih cenderung

menggunakan istilah “maltreatment”.107

107Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum Kedokteran. Studi Tentang Hubungan Hukum

Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, (Jakarta: PT. Aditya Bakti, 1998)

Universitas Sumatera Utara