81

repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 69390 › ... · Subdural Hematoma2018-07-03 · 1 BAB I ANATOMI KEPALA 1.1 SCALP Kulit kepala terdiri dari lima lapis

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Subdural Hematoma

Ridha Dharmajaya

2018

USU Press

Art Design, Publishing & Printing

Gedung F

Jl. Universitas No. 9, Kampus USU

Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

Kunjungi kami di:

http://usupress.usu.ac.id

USUpress 2018

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak,

menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa

atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 978 602 465 022 3

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Dharmajaya, Ridha

Subdural Hematoma / Ridha Dharmajaya – Medan: USU Press 2018.

vii, 70 p.; ilus.; 24 cm

Bibliografi

ISBN: 978-602-465-022-3

Dicetak di Medan, Indonesia

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohiiim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat

Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya maka buku ini dapat

diselesaikan. Cidera Kepala sebagai kasus operasi terbanyak

dalam bidang Bedah Saraf, memiliki beberapa jenis perdarahan

yang memiliki kekhususan pada gejala dan tanda klinis hingga

gambaran radiologisnya.

Ini adalah buku monograf bagian dari Cidera Kepala yang khusus

berisikan tentang Subdural Hematoma. Buku ini mengupas

seluruh aspek dari Subdural Hematoma, mulai dari anatomi dari

selaput dan pembuluh darah otak, sumber perdarahannya hingga

gejala klinis dan radiologis, yang berujung pada tatalaksana

komprehensif.

Selain itu, pada buku ini turut disajikan hasil penelitian tentang

kasus Subdural Hematoma, yang bertujuan melihat pengaruh

kondisi awal klinis pasien terhadap luaran tatalaksana operatif.

Buku ini disusun secara ringkas dan sistematis agar mudah

dipelajari dan dipahami. Penulis menyadari ada beberapa topik

yang belum dibahas sesuai dengan perkembangan terkini dunia

kedokteran terutama dalam bidang Ilmu Bedah Saraf. Penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada para guru dan

pembimbing, dan tak lupa penghargaan kepada seluruh subjek

penelitian yang telah memberikan sumbangsih yang sangat

berharga bagi dunia kedokteran. Semoga buku ini bermanfaat bagi

dunia akademik dan menjadi ladang pahala bagi penulis.

Medan, Januari 2018

Penulis,

Dr. dr. Ridha Dharmajaya, SpBS

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................. iii

Daftar Isi........................................................................................iv

Daftar Tabel ................................................................................... v

Daftar Gambar ...............................................................................vi

Bab I Anatomi............................................................................ 1

1.1 SCALP ...................................................................... 1

1.2 Tengkorak ................................................................. 2

1.3 Pembuluh darah dan Innervasi .................................. 5

1.4 Intrakranial ................................................................ 8

Referensi ........................................................................ 13

Bab II Meningens dan Vaskularisasi ........................................ 15

2.1 Meningens ............................................................... 15

2.2 Vaskularisasi Duramater ......................................... 22

Referensi ........................................................................ 24

Bab III Subdural Hematoma....................................................... 25

3.1 Definisi dan Epidemiologi ...................................... 25

3.2 Klasifikasi ............................................................... 26

3.3 Mekanisme Cidera .................................................. 28

3.4 Pemeriksaan Umum ................................................ 30

3.5 Subdural Hematoma Akut ...................................... 34

3.6 Subdural Hematoma Kronik ................................... 48

3.7 Perawatan Pasca Bedah .......................................... 62

3.8 Komplikasi dan Prognosis ...................................... 63

3.9 Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik ................. 65

Referensi ........................................................................ 69

v

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Glasgow Coma Scale ................................................ 32

Tabel 3.2 Tatalaksana bedah pada pasien dengan subdural

hematoma akut ......................................................... 45

Tabel 3.3 Jumlah Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik

dari tahun 2013-2017 ................................................ 65

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Lapisan kulit kepala dan tulang .............................. 2

Gambar 1.2 Tulang-tulang penyusun kranium ........................... 3

Gambar 1.3 Fontanel dan Sutura ................................................ 4

Gambar 1.4 Otot yang menyelimuti kranium ............................. 5

Gambar 1.5 Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala .................. 7

Gambar 1.6 Bagian otak ........................................................... 10

Gambar 2.1 Lapisan Meningens ............................................... 17

Gambar 2.2 Lapisan kulit dan meningens ................................ 17

Gambar 2.3 Meningens ............................................................ 20

Gambar 2.4 Epidural space dan subdural space ....................... 21

Gambar 2.5 Vaskularisasi Duramater ...................................... 22

Gambar 2.6 Sinus Venosus Dura ............................................. 23

Gambar 3.1 Roentgen Schedel dan Waters .............................. 33

Gambar 3.2 Gambar skema terjadi ruptur bridging vein

(BV). VL = Venous Lacunae, SSS = sinus

sagitalis superior, EV = Emisary Veinm, CC =

Cerebral kortex, P = Piamater, F = Falx, AT =

Arachnoid Trabeculae .......................................... 36

Gambar 3.3 Skema terjadi SDH. BV = bridging vein, CC =

Cerebral kortex, AT = Arachnoid Trabeculae,

DBC = Dural Border Cells, ABC = Arachnoid

Barier Cell Layer, D = Dura ................................ 37

Gambar 3.4 Gambar SDH karena tekanan vena meningkat ..... 37

Gambar 3.5 Skema SDH bertambah besar karena tekanan

intrakranial meningkat .......................................... 38

Gambar 3.6 Gambar beda SDH dengan EDH .......................... 39

Gambar 3.7 Gambar CT Scan SDH akut dengan herniasi

subfalcine (A) dan herniasi uncal (B) ................... 40

Gambar 3.8 Gambar SDH akut sepanjang tentorium (*)

dan pada temporal () ......................................... 41

vii

Gambar 3.9 A. dilakukan insisi bifrontal, B dilakukan burr

hole, C ditemukan sinus dan duramater ............... 46

Gambar 3.10 D ligasi anterior sinus sagitalis superior, E

sinus dipotong ...................................................... 47

Gambar 3.11 Gambar F identifikasi contusio dan subdural

hematom, G evakuasi hematom dengan

kombinasi suction dan bipolar ............................. 47

Gambar 3.12 A inisisi question mark, B setelah duramater

dibuka dapat mengevakuasi SDH dengan 1.

Suction, 2 forcep, 3 dengan disektor ................... 48

Gambar 3.13 CT Scan SDH kronis dan skema SDH Kronis .... 49

Gambar 3.14 Skema terbentuknya SDH kronis ........................ 50

Gambar 3.15 SDH kronis (yang ditandai dengan *) ................. 57

Gambar 3.16 Gambar SDH kronis bilateral .............................. 57

Gambar 3.17 SDH kronis frontoparietal kiri dengan midline

shift ke kanan ....................................................... 58

Gambar 3.18 CT Scan SDH kronik dengan kalsifikasi ............. 58

Gambar 3.19 MRI axial T1 SDH kronik ................................... 59

Gambar 3.20 MRI axial T2 SDH kronik ................................... 60

Gambar 3.21 Twist Burr hole .................................................... 61

Gambar 3.22 Twist Burr hole dengan insisi terpisah ................ 62

Gambar 3.23 Presentase Jenis Kelamin Kasus SDH di RSUP

Haji Adam Malik ................................................. 66

Gambar 3.24 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam

Malik Berdasarkan Usia ...................................... 67

Gambar 3.25 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam

Malik Berdasarkan onset kejadian ....................... 68

1

BAB I

ANATOMI KEPALA

1.1 SCALP

Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas

skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis

epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue

(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa

disebut dengan SCALP.1

S: Skin, berisi banyak kelenjar sebaeceous dan folikel rambut.

C: Connective tissue, lapisan lemak dan serat fibrosa yang

padat yang berada di bawah kulit, mengandung saraf dan

pembuluh darah di kepala.

A: Aponeurosis, yang disebut aponeurosis epikranial (atau

galea aponeurotika) adalah lapisan berikutnya. Ini adalah

lapisan kuat jaringan fibrosa padat yang membentang dari otot

frontalis anterior ke oksipitalis posterior.

L: Loose areolar connective tissue, lapisan jaringan ikat

areolar longgar yang memberikan bidang pemisahan antara

tiga lapisan atas dan perikranium. Dalam scalping, kulit

kepala dibuka melalui lapisan ini. Cara ini juga menyediakan

akses pada operasi kraniofasial dan bedah saraf. Lapisan ini

kadang-kadang disebut sebagai "zona berbahaya" karena

mudahnya agen infeksius dapat menyebar melalui vena

emmisari yang kemudian mengalir ke tengkorak. Jaringan

areolar longgar di lapisan ini terdiri dari kumpulan kolagen I

dan kolagen III. Lapisan ini juga kaya akan glikosaminoglikan

(GAG) dan memiliki matriks yang lebih banyak daripada

2

serat. Lapisan ini memungkinkan lapisan kulit kepala yang

lebih dangkal bergeser dalam kaitannya dengan perikranium.

P: Pericranium, adalah periosteum tulang tengkorak yang

memberi nutrisi dan memiliki kapasitas untuk perbaikan

tulang tengkorak. Perikranium bisa diangkat dari tulang untuk

memungkinkan pengangkatan tulang tengkorak (craniotomy).

Gambar 1.1 Lapisan kulit kepala dan tulang.2

1.2 Tengkorak4,5

Tengkorak (juga dikenal sebagai neurokranium), dibentuk

oleh aspek superior tengkorak. Tengkorak membungkus dan

melindungi otak, meninges dan pembuluh darah

serebral.Secara anatomi, tengkorak dapat dibagi lagi ke dalam

atap (dikenal sebagai calvarium), dan basis:

a. Calvarium: Terdiri dari tulang frontal, oksipital dan dua

tulang parietal.

b. Dasar kranial: Terdiri dari enam segmen tulang, yaitu

tulang frontal, sphenoid, ethmoid, oksipital, parietal dan

3

temporal. Tulang ini penting karena memberikan titik

artikulasio untuk vertebra servikalis pertama (atlas), serta

tulang wajah dan mandibula (tulang rahang).

Gambar 1.2 Tulang-tulang penyusun kranium

Sutura adalah sejenis sambungan berserat yang unik bagi

tengkorak. Sutura tidak bergerak, dan menyatu sepenuhnya

pada usia di atas 20 tahun. Sutura sangat penting secara

klinis, karena bisa menjadi titik kelemahan potensial pada

masa kanak-kanak dan dewasa. Sutura utama di masa dewasa

adalah:

a. Sutura koronal yang menyatukan tulang frontal dengan

dua tulang parietal.

b. Sutura sagital yang menyatukan kedua tulang parietal

satu sama lain.

c. Sutura lambdoid yang menyatukan tulang oksipital ke

dua tulang parietal.

Pada neonatus, penyatuan sambungan sutura yang tidak

sempurna menimbulkan celah membran antara tulang-tulang,

yang dikenal sebagai fontanel. Dua fontanel utama adalah

fontanel frontal (terletak di pertemuan antara sutura koronal

dan sagital) dan fontanel oksipital (terletak di pertemuan

antara sutura sagital dan lambdoid).

4

Gambar 1.3 Fontanel dan Sutura

Otot Occipitofrontalis6

Otot occipitofrontalis terdiri dari 2 perut oksipital dan 2 perut

depan. Perut oksipital timbul dari garis nuchal superior pada

tulang oksipital. Perut frontal berasal dari kulit dan fasia

superfisial kelopak mata bagian atas. Perut oksipital dan

frontal masuk ke dalam aponeurosis epikranial.

5

Gambar 1.4 Otot yang menyelimuti kranium.

5

1.3 Pembuluh darah dan Innervasi

a. Vaskularisasi kulit7

Pasokan darah dari kulit kepala adalah melalui lima

pasang arteri, tiga dari karotid eksternal dan dua dari

karotid internal:

Karotis internal

6

arteri supratrochlear yang memperdarahi dahi tengah.

Arteri supratrochlear adalah cabang dari arteri

oftalmika yang merupakan cabang arteri karotis

interna.

arteri supraorbital memperdarahi dahi sisi lateral dan

kulit kepala sejauh vertex. Arteri supraorbital adalah

juga cabang arteri oftalmika yang berasal dari karotis

interna.

Karotid eksternal

arteri temporal superfisial mengeluarkan cabang

frontal dan parietal untuk memasok sebagian besar

kulit kepala

arteri oksipital yang membentang di posterior untuk

memasok sebagian besar aspek posterior kulit kepala

arteri aurikular posterior, cabang arteri karotis

eksterna, naik ke belakang auricle untuk memasok

kulit kepala di atas dan di belakang auricle.

Karena dinding pembuluh darah melekat kuat pada

jaringan fibrosa dari lapisan fasial superfisial, ujung-ujung

arteri di sini tidak mudah dikontrol; Bahkan luka kulit

kepala kecil pun bisa berdarah deras.

Pasokan saraf

Innervasi dalam hal ini adalah koneksi saraf ke kulit

kepala: saraf sensorik dan motor yang menginervasi kulit

kepala. Kulit kepala diinervasi sebagai berikut:

Saraf supratrochlear dan saraf supraorbital dari divisi

oftalmik saraf trigeminal

Saraf oksipital lebih besar (C2) posterior sampai ke

titik puncak

Saraf oksipital lebih kecil (C2) di belakang telinga

7

Saraf zygomaticotemporal dari bagian maksilaris saraf

trigeminal yang memasok tidak memiliki rambut

Saraf Auriculotemporal dari bagian mandibular saraf

trigeminal

Innervasi kulit kepala dapat diingat dengan menggunakan

singkatan, "Z-GLASS" untuk, saraf Zygomaticotemporal,

Greater nervus oksipital, nervus occipital Lesser, nervus

Auriculotemporal, saraf Supratrochlear dan saraf

Supraorbital.

Gambar 1.5 Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala.5

8

1.4 Intrakranial

Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan

cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume

tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal

berkisar antara 5 dan 15 mmHg (millimeter air raksa)

a. Cairan Serebrospinal8,9

Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang

mengelilingi otak dan korda spinalis. CSS melindungi otak

terhadap getaran fisik. Antara CSS dan jaringan saraf

terjadi pertukaran zat-zat gizi dan produk sisa. Walaupun

CSS dibentuk dari plasma yang mengalir melalui otak,

konsentrasi elektrolit dan glukosanya berbeda dari plasma.

CSS dibentuk sebagai hasil filtrasi, difusi, dan transport

aktif melintasi kapiler-kapiler khusus kedalam ventrikel

(rongga) otak, terutama ventrikel lateralis. Jaringan kapiler

yang berperan dalam pembentukan CSS disebut pleksus

koroideus. Setelah berada didalam ventrikel, CSS mengalir

kebatang otak. Melalui lubang-lubang kecil dibatang otak,

CSS beredar kepermukaan otak dan korda spinalis.

Dipermukaan otak, CSS masuk ke sistem vena dan

kembali ke jantung. Dengan demikian CSS terus-menerus

mengalami resirkulasi melalui susunan saraf pusat.

Apabila saluran CSS diventrikel mengalami sumbatan,

maka dapat terjadi penimbunan cairan. Akibatnya akan

terjadi peningkatan tekanan didalam atau dipermukaan

otak.

b. Sawar Darah Otak8,9

Sawar darah otak mengacu kepada kemampuan sistem

vaskular otak untuk memanipulasi komposisi cairan

intersisium serebrum sehingga berbeda dibandingkan

dengan cairan intersisium dibagian tubuh lainnya. Sawar

darah otak terbentuk dari sel-sel endotel yang saling

berkaitan erat dikapiler otak, dan dari sel-sel yang melapisi

9

ventrikel yang membatasi filtrasi dan difusi. Fungsi

transport khusus mengatur cairan apa yang keluar dari

sirkulasi umum untuk membasahi sel-sel otak. Sawar

darah otak melindungi sel-sel otak yang halus dari pajanan

bahan-bahan yang pontensial berbahaya. Banyak obat dan

zat kimia tidak dapat menembus sawar darah otak.

Otak menerima aliran darah otak 15% dari curah jantung.

Tingginya tingkat aliran darah ini diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan otak yang terus-menerus akan

glukosa dan oksigen.

c. Otak.10

Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai

energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal

dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak

sangat rentan akan kebutuhan oksigen dan glukosa,

kebutuhan ini diterima melalui aliran darah yang konstan,

metabolisme otak, merupakan suatu proses yang tetap dan

kontinu, tanpa ada masa istirahat. Aktivitas otak yang tak

pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang kritis

sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-organ

sensorik dan system efektor perifer tubuh, serta berfungsi

sebagai pengatur informasi yang masuk, simpan

pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku.

Otak terdiri dari batang otak, serebelum, diensefalon,

sistim limbik dan serebrum. Peningkatan volume salah

satu diantara ketiga unsur utama ini mengakibatkan

desakan pada ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya

dan menaikan tekanan intrakranial.

10

Gambar 1.6 Bagian otak10

1. Otak besar (cerebrum)12

Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan

terdiri dari dua hemispherium cerebri yang

dihubungkan oleh massa substansia alba yang

disebut corpus callosum. Setiap hemisfer

terbentang dari os frontale sampai ke os

occipitale, diatas fossa cranii anterior, media,

dan posterior, diatas tentorium cerebelli.

Hemisfer dipisahkan oleh sebuah celah dalam,

yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat

menonjolnya falx cerebri.

Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas

dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini

dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu

pada bagian korteks serebral dan zat putih yang

terdapat pada bagian dalam yang mengandung

serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai

11

pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan

kehendak. Selain itu otak besar juga

mengendalikan semua kegiatan yang disadari

seperti bergerak, mendengar, melihat,

berbicara, berpikir dan lain sebagainya.

2. Otak kecil (cerebellum)13

Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri

dari dua belahan yang dihubungkan oleh

jembatan varol, yang menyampaikan

rangsangan pada kedua belahan dan

menyampaikan rangsangan dari bagian lain.

Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur

keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan

kerja otot ketika bergerak.

3. Batang Otak (Trunkus serebri/ brainstem)

Batang otak terdiri dari :

- Diensefalon

Bagian batang otak paling atas terdapat

diantara serebellum dengan mesensefalon,

kumpulan dari sel saraf yang terdapat

dibagian depan lobus temporalis terdapat

kapsula interna dengan sudut menghadap ke

arah lateral. Diensefalon ini berfungsi

sebagai vasokonstrik (memperkecil

pembuluh darah), respiratorik (membantu

proses pernafasan), mengontrol kegiatan

refleks, dan membantu pekerjaan jantung.

- Mesensefalon

Atap dari mesensefalon terdiri dari empat

bagian yang menonjol ke atas, dua di

sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus

superior dan dua disebelah bawah disebut

korpus kuadrigeminus inferior.

12

Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat

pergerakan mata, mengangkat kelopak

mata, dan memutar mata.

- Pons

Pons merupakan bagian tengah batang otak

dan area ini memiliki jalur lintas naik dan

turun seperti mesencephalon. Selain itu

terdapat banyak serabut yang berjalan

menyilang menghubungkan kedua lobus

cerebellum dan menghubungkan

cerebellum dengan korteks serebri.

- Medulla oblongata

Medula oblongata merupakan bagian dari

batang otak yang paling bawah yang

menghubungkan pons varoli dengan

medulla spinalis. Medulla oblongata

memiliki fungsi yang sama dengan

diensefalon.

13

Referensi

1. Satyanegara. Anatomi Susunan Saraf. Ilmu Bedah Saraf.

Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia. 2010. Hal. 11-76.

2. Ellis, H, Clinical Anatomy: A revision of applied anatomy

for clinical students, 10th edition. Oxford : Blackwell

Publishing. 2002

3. Harris CM. Scalp Anatomy. Diakses dari

https://emedicine.medscape.com/article/834808-

overview#a3. Diakses tanggal 28 Desember 2017.

4. Snell RS. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta: EGC.

2010. Hal. 192-236.

5. Slater BJ, Lenton KA, Kwan MD, Gupta DM, Wan DC,

Longaker MT. Cranial sutures: a brief review. Plast. Reonstr.

Surg. 2008. 121 (4): 170e–8e.

doi:10.1097/01.prs.0000304441.99483.97.

PMID 18349596.

6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia:

Elsevier Saunders; 2014.

7. Drake, Richard L, Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W. M..

Gray´s Anatomy for Students. Edisi ke-2. Philadelphia:

Elsevier. 2010. Hal. 862.

8. Baehr M dan Frotscher M. Covering of the Brain and Spinal

Cord: Cerebrospinal Fluid and Ventricular System. Duus’

Topical Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thiem. 2005. Hal

402-15.

9. Snell RS. Sistem Ventrikular, Cairan Serebrospinalis, serta

Sawar Darah Otak dan Sawar Darah Cairan

Serebrospinalis. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta:

EGC. 2010. Hal. 456-85.

10. Mayfield Brain and Spine. Anatomy of The Brain. Dapat

diakses https://www.mayfieldclinic.com/PE-

AnatBrain.htm. Diakses tanggal 28 Desember 2017.

14

15

BAB II

MENINGENS DAN VASKULARISASI

2.1 Meningens

2.1.1 Duramater

Selaput otak terluar yang terdiri dari dua lapisan, yaitu

lamina eksterna dan lamina interna. Lamina eksterna

merupakan jaringan fibrosa padat yang melekat erat

pada periosteum kalvaria dan banyak mengandung

pembuluh darah dan saraf. Lamina interna tersusun

atas lapisan sel pipih yang membentuk sekat-sekat

otak (falks serebri, tentorium serebeli, falks serebeli,

diafragma sela, dan kavum trigeminal Meckeli). Pada

cranium, duramater melekat kuat pada linea mediana,

diatas sinus sagitalis superior, sutura, dan pada

beberapa percabangan arteri meningea media. Selain

tempat diatas, perlekatannya tidak erat sehingga

membentuk ruang yang disebut sebagai rongga

epidural. Sedangkan pada basis kranii, duramater

melekat erat pada krista Gali, lamina kribosa, foramen

optikum, fisura orbitalis superior, foramen rotundum,

foramen ovale, foramen jugulare, dan meatus

akustikus internus. 1,2,3

16

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan

yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.

Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada

permukaan dalam dari kranium. Oleh karena

duramater tidak melekat pada selaput arachnoid di

bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang

subdura) yang terletak antara duramater dan

arachnoid, dimana pada ruang dapat dijumpai

perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau

disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural.

Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke

sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari

sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri meningea terletak antara duramater dan

permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).

Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan

laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami

cedera adalah arteri meningea media yang terletak

pada fosa temporalis (fosa media). 1,2,3

17

Gambar 2.1 Lapisan Meningens

Persarafan duramater ini terutama berasal dari cabang

n.trigeminus, tiga saraf servikalis bagian atas, bagian

servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. Reseptor –

reseptor nyeri dalam duramater diatas tentorium

mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, untuk

selanjutnya mengirimkan rasa nyeri kepala pada kulit

dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah

tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan

melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri

kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher. 1,2,3

Gambar 2.2 Lapisan kulit dan meningens

18

Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri

karotis interna, arteri maxillaries, arteri paringeal

asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Pada

segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea

media, yang umumnya mengalami kerusakan pada

cedera kepala. Arteri meningea media berasal dari

arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki

rongga kranialis melalui foramen spinosum dan

kemudian berjalan antara lapisan meningeal dan

endosteal duramater. Arteri ini terletak antara lapisan

meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini

kemudian berjalan ke depan dan ke lateral dalam suatu

sulkus pada permukaan atas sutura squamosa bagian

os temporale. Cabang anterior (frontal) secara

mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus

antero – inferior os parietale. Posisinya berhubungan

dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya.

Cabang posterior melengkung kearah belakang dan

mensuplai bagian posterior duramater. Vena –vena

meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater.

Vena meningea media mengikuti cabang – cabang

arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus

venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis.

Vena terletak di lateral arteri. 1,2,3

Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak

diantara lapisan- lapisan duramater. Fungsi utamanya

adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena

serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang

subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah

dalam sinus – sinus duramater akhirnya mengalir

kedalam vena – vena jugularis interna dileher. Vena

emissaria menghubungkan sinus venosus duramater

dengan vena – vena diploika kranium dan vena – vena

19

kulit kepala. Sinus Sagitalis Superior menduduki batas

atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di anterior pada

foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di

bawah lengkungan kranium, dan pada protuberantia

occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus

transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis

superior menerima vena serebralis superior. Pada

protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis

berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini

biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan,

berhubungan dengan sinus transverses yang

berlawanan dan menerima sinus occipitalis. 1,2,3

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang

bebas dari falx serebri, berjalan kebelakang dan

bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas

tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus

rekrus menempati garis persambungan falx serebri

dengan tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan

sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna,

berakhir membelok kekiri membentuk sinus

transfersus. Sinus transverses merupakan struktur

berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia

occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut

dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri

berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati

tepi yang melekat pada tentorium serebelli,

membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus

posterior os parietale. Mereka menerima sinus

petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena

– vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka

berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus

sigmoideus. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan

langsung dari sinus tranversus yang akan melanjutkan

20

diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus

occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang

menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia

berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan

bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus

terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi

corpus os sphenoidalis. 1,2,3

Gambar 2.3 Meningens

Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf

simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus

abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari

darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus

petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus

kecil pada batas – batas superior dan inferior pars

petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap

sinus kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap

sinus inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam

vena jugularis interna. 1,2,3

21

2.1.2 Arakhnoid

Lapisan avascular yang berada di bawah lapisan

duramater. Di bawah lapisan arachnoid terdapat

rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula,

pembuluh darah, nervus kranialis, dan dialiri oleh

cairan serebrospinal.

2.1.3 Piamater

Lapisan ini berada di bawah arachnoid dan

dihubungkan dengan jaringan ikat tipis. Lapisan ini

terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesoderm yang mirip

endothelium. Perlekatan piamater dengan korteks otak

melalui astrosit marginal, yang membuatnya

menempel mengikuti lekukan korteks dalam sulkus.

1,2,3

Gambar 2.4 Epidural space dan subdural space

22

2.2 Vaskularisasi Duramater

Arteri dura yang terbesar adalah arteri meningea media yang

cabangnya terdistribusi sepanjang lekukan lateral tengkorak.

Arteri ini adalah cabang dari arteri maxilaris yang berasal dari

arteri karotis eksterna; arteri ini masuk ke tengkorak melalui

foramen spinosum. Arteri meningea anterior relatif kecil dan

menyuplai bagian media duramater frontal dan bagian

anterior falks serebri. Arteri ini masuk ke tengkorak melalui

bagian anterior lempeng cribriform. Arteri ini merupakan

cabang arteri etmoidal anterior, yang merupakan cabang dari

arteri oftalmika; dengan demikian, arteri ini menghantarkan

darah dari arteri karotis interna. Arteri meningea posterior

masuk ke tengkorak melalui foramen jugular untuk

menyuplai duramater pada fossa cranial posterior. 1,2,3

Gambar 2.5 Vaskularisasi Duramater

23

Darah vena dari parenkim otak akan melewati ruang

subarachnoid dan subdural melalui vena-vena superfisial dan

profunda otak menuju sinus sagitalis superior, yang berada

pada garis tengah perlekatan falx cerebri. Pada bagian

belakang kepala, dimana falks serebri bergabung dengan

tentorium, sinus sagitalis superior akan bergabung dengan

sinus rektus. Darah vena dari kedua sinus ini akan berjalan

menuju sinus transversus, dan selanjutnya ke sinus

sigmoideus. Setelah itu, darah akan mengalir ke vena

jugularis interna, keluar melalui otak pada foramen

jugularis.1,2,3

Gambar 2.6 Sinus Venosus Dura

24

Referensi

1. Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV.

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 310-343

2. Snell Richard S.2009.Neuroanatomi Klinik.Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 292-303

3. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical

Physiology (9thed.). Setiawan, Irawati et al. 1997 (alih

bahasa), EGC: Jakarta.

25

BAB III

SUBDURAL HEMATOMA

3.1 Definisi dan Epidemiologi

Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang

terjadi antara bagian dalam duramater dengan arachnoid.1

Prevalensi terjadinya subdural hematoma pada cedera kepala

berat bergeser 30%. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan

dengan perdarahan epidural. Perdarahan ini sering terjadi

akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di

permukaan korteks serebri. Subdural hematoma akut telah

dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala

berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah

dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian

terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi. Hal itu

disebabkan teknik pencitraan yang lebih baik. Tingkat

mortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74%

pada pasien dengan Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5

kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat kematiannya

menurun hingga 39%.2,3,4

Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden secara

keseluruhan. Subdural hematoma lebih sering terjadi pada

pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-perempuan

sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi pada

hematoma subdural kronis. Rasio laki:perempuan telah

dilaporkan berkisar 2:1. Insiden subdural hematoma kronis

meningkat tinggi pada dekade kelima hingga ketujuh

kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56%

26

kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam

mereka, studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari

semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun.

Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi

pada orang dewasa berusia 70-79tahun. 3,5,6

3.2 Klasifikasi

Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut,

subakut, dan kronis. Ketiganya dibedakan berdasarkan

lamanya kejadian. Subdural hematom akut terjadi selama 48-

72 jam setelah cedera, subdural hematom subakut terjadi 3-20

hari setelah cedera, dan subdural hematom kronis terjadi dari

tiga minggu sampai beberapa bulan setelah cedera.2 Subdural

hematom akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 %

pasien mengalami koma. Jika sudah terjadi koma maka angka

kematian meningkat menjadi 60%.3

Perdarahan akut dimana gejala yang timbul segera hingga

berjam - jam setelah trauma. Terjadi pada cedera dentura

kepala yang cukup berat. Hal ini dapat mengakibatkan

perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu

kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5

mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran scanning

tomografinya, didapatkan lesi hiperdens berbentuk cekung.

3,4,5

Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari

biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural

sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan

darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada

pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran scanning

tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens

berbentuk cekung. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya

lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3,4,5

27

Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah trauma

bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa

muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan

setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,

bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan

perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan

gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural

kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini lama

kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan

sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.4,5,6

Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk

mengelilingi hematoma pada yang lebih baru, kapsula masih

belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea.

Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada

selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah

yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena

dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat

menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.

Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan

perdarahan baru yang menyebabkan hematom. 2,4,5,6

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang

dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea.

Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti

pada tumor serebri. Sebagian besar hematoma subdural

kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun.

Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan lesi

hipodens berbentuk cekung.

28

3.3 Mekanisme Cidera

Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat,

seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur

vena yang terjadi dalam ruangan subdural. 3,4,7

Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

• Trauma kapitis

• Trauma di tempat lain yang berakibat terjadinya

geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya

pada orang yang jatuh terduduk.

• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal

ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar

akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga

pada anak anak.

• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah

di dalam ruangan subdural.

• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan

dengan perdarahan subdural yang spontan, dan

keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

• Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)

• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung

membranosa yang konsentrik. Membran yang paling luar

tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah

tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan

membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta

berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla

spinalis serta dikenal sebagai piamater. 3,4,7

29

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak

sebagai periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan

bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi untuk

melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf

kranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf

kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang

mengalirkan darah ven dari otak dan meningen ke vena

jugularis interna dileher. 3,4,8

Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri,

yang terletak vertikal antara hemispherium serebri dan

lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang

berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang

berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam

kranium. 3,5,7,8

Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari

duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak.

Arachnoidea mater menjembatani sulkus – sulkus dan masuk

ke bagian yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang

antara arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang

subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan

serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta

melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis yang

mengenai kepala. 3,4,5

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang

menyokong otak dengan erat. Suatu sarung pia mater

menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat

mereka memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater

disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut

sebagai leptomeninges 3,4,7

30

3.4 Pemeriksaan Umum

3.4.1 Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma

kepala baik dengan jejas dikepala atau tidak. Jika

terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan

kesadaran atau pingsan. Jika diketahui pasien pingsan

atau memiliki riwayat pingsan sebelumnya, apakah

penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula?

Selanjutnya apakah pasien tetap sadar seperti semula

atau turun lagi kesadaran pasien? perhatikanlah

lamanya periode sadar atau lucid interval pada pasien

tersebut. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan

apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya

trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan

kejang adalah untuk mencari penyebab utama

penderita tidak sadar, apakah karena aspirasi atau

sumbatan nafas atas, atau karena proses intrakranial

yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu

ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,

adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-

muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga

penyakit lain yang sedang diderita, demikian pula

obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, serta

apakah pasien dalam pengaruh alkohol. 4,5,7

31

3.4.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan primer (primary

survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan

(breathing), tekanan darah atau nadi (circulation), derajat

kesadaran (disability) dalam skala koma glasgow (SKG)

serta apakah adakah jejas atau luka yang mengancam jiwa

(eksposure). Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi

sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube

atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian

oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi

dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri

sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara

bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah

memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya

peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau

syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk

mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya

peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks

Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan

bradipnea.4,6,7

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran

penderita dengan menggunakan Skala Koma Glasgow,

pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit

neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala

Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata,

respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi

verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan

adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi

herniasi di intrakranial dan terganggunya sistem

kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.

5,7,8

32

Tabel 3.1 Glasgow Coma Scale

Response Score

Eye Opening

Opens eyes spontaneously

Opens eyes in response to speech

Open eyes in response to panful stimulation (eg.

endotracheal suctioning)

Does not open eyes in reponse to any stimulation

4

3

2

1

Motor Response

Follows commands

Makes localized movement in response to painful

stimulation

Makes nonpurposeful movement in response to

noxious stimulations

Flexes upper extrimities/extends lower extrimities in

response to pain

Extends all extrimities in response to pain

Makes no response to noxious stimuli

6

5

4

3

2

1

Verbal Response

Is oriented to person, place and time

……, may be confused

Replies with inappropriate words

Makes incomprehensible sounds

Makes no response

5

4

3

2

1

3.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi,

pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, profil

hemostasis/koagulasi.

33

Pemeriksaan foto tengkorak schedel tidak dapat

dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur

tengkorak sering dipakai untuk meramalkan

kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi

tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur

tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan

kontralateral terhadap SDH. 4,5,7,8

Gambar 3.1 Roentgen Schedel dan Waters

34

3.5 Subdural Hematoma Akut

3.5.1 Patofisiologi

SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat

akselerasi otak dalam kranium disebabkan benturan.

Saat kepala berbenturan dengan benda keras,

menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi

di dalam kranium. Jika akselerasi ini berjalan hanya

sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar permukaan

otak dan pembuluh darah termasuk bridging veins.

Jika akselerasi dalam jangka waktu lama, regangan

dapat masuk lebih dalam menyebabkan diffuse axonal

injury (DAI). Sumber perdarahan lain subdural

hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena

kecil di korteks yang berkaitan dengan kontusio.

Subdural hematom biasanya berada sepanjang

konveksitas cerebral. Tempat paling sering kontusio

cerebral yang menyebabkan subdural hematom adalah

di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal

dan cerebral konveksitas. Subdural hematom juga

dapat terjadi antara falx dan permukaan medial

hemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcine

subdural hematom yang dikarakterisasikan dengan

hemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah

dibanding ekstremitas atas (falx syndrome).2

Autopsi yang dilakukan Maixner menyatakan dua

pertiga kasus SDH akut disebabkan oleh kontusio dan

sepertiga disebabkan oleh ruptur bridging vein.

Bridging vein yang berasal dari permukaan

superolateral posterior lobus frontal, parietal dan

oksipital berjalan ke depan menuju sinus sagitalis

superior dengan sudut kemiringan 100-85

0.

SDH akut dapat juga disebabkan oleh aneurisma,

tumor, dan arteriovenous malformation. Namun

35

mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging vein.

Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikal

yang mengalir ke sinus sagitalis superior. Vena ini

mengalirkan bagian medial, lateral dan superior

cerebral.6 Dapat dibagi menjadi area prerolandic (1-6

vena), area rolandic (1-3 vena), dan retrorolandic (1-3

vena). Kebanyakan satu atau vena bergabung menjadi

satu, mengalirkan area yang luas, ada juga vena yang

berdekatan mengalirkan area yang kecil.7 Leary dan

Edward menyatakan lapisan dura bagian dalam berupa

sel datar yang sama dengan fibroblas dikenal sebagai

dural border cells. Jika ada robekan bridging vein

maka darah akan masuk ke lapisan dural border cells

sehingga terjadi SDH. Ada juga yang membuat SDH

bertambah besar, yaitu tekanan vena cerebral yang

berjalan sama dengan tekanan intrakranial, hanya ada

perbedaan sedikit diantaranya.4 Jika tekanan vena

cerebral meningkat maka darah dari vena kortikal sulit

masuk ke dalam sinus sagitalis superior menyebabkan

darah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya SDH

akan bertambah besar, tekanan intrakranial juga

meningkat kembali.8

36

Gambar 3.2 Gambar skema terjadi ruptur bridging

vein (BV). VL = Venous Lacunae, SSS = sinus

sagitalis superior, EV = Emisary Veinm, CC =

Cerebral kortex, P = Piamater, F = Falx, AT =

Arachnoid Trabeculae

37

Gambar 3.3 Skema terjadi SDH. BV = bridging

vein, CC = Cerebral kortex, AT = Arachnoid

Trabeculae, DBC = Dural Border Cells, ABC =

Arachnoid Barier Cell Layer, D = Dura.

Gambar 3.4 Gambar SDH karena tekanan vena

meningkat

38

Gambar 3.5 Skema SDH bertambah besar karena

tekanan intrakranial meningkat

3.5.2 Gejala Klinis

SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu

lintas atau penganiayaan. Pasien dengan SDH akut

mengalami benturan benda tumpul di kepala baik

sedang maupun berat. Gambaran klinis tergantung

letak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien dengan

SDH akut biasanya berusia lebih tua dibanding cedera

tanpa SDH akut.9

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala

neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera.

Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh

tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak

dalam foramen magnum, yang selanjutnya

menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini

dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan

dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan

darah. 3,5,6

39

Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatan

tekanan intrakranial dan keparahan cedera difus pada

otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh keparahan

perkembangan hematom dan waktu terjadinya cedera.

Gejala klinis dan tanda pasien dengan SDH akut

supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese,

kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi yaitu,

ditemukannya dilatasi pupil ipsilateral dan kelemahan

motorik kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’s

notch dimana kelemahan motorik ipsilateral dan

dilatasi pupil kontralateral 2

3.5.3 Diagnosis10

Subdural hematom berlokasi diantara arachnoid dan

bagian dalam duramater. Oleh karena dura dan

arachnoid tidak menempel secara ketat maka SDH

sering terlihat lapisan mengikuti konveksitas hemisfer

dari falx anterior ke falx posterior

Gambar 3.6 Gambar beda SDH dengan EDH

40

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non

kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih)

ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian

dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak

terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal.

Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah

bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom

berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh garis

sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk

cembung seperti epidural hematom. 4,5,7,8

Gambar 3.7 Gambar CT Scan SDH akut dengan

herniasi subfalcine (A) dan herniasi uncal (B)

41

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat

berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya

akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.

Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak

pada perdarahan subdural yang sedang atau besar

volumenya. Bila tidak ada midline shift harus

dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline

shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang

mendasarinya. SDH akut dapat terjadi juga sepanjang

falx atau tentorium seperti gambar di bawah ini :

Gambar 3.8 Gambar SDH akut sepanjang

tentorium (*) dan pada temporal ()

42

Tidak seperti EDH, SDH terjadi pada lokasi

kounterkoup. Karena SDH berkaitan dengan cedera

parenkim, derajat efek masa dapat muncul lebih hebat

dibanding ukuran SDH. Dibandingkan otak normal

20-30 HU, densitas SDH akut 50-60 HU lebih tinggi

karena bekuan darah. Densitas SDH akan akan

berkurang secara progresif karena degradasi protein.

Ini mungkin sulit dibedakan dengan subarachnoid

pada cerebri yang atrofi. Pada kondisi subakut,

biasanya antara 1-3 minggu bergantung pada tingkat

hematokrit, faktor pembekuan, dan ada atau tidaknya

perdarahan berulang, terjadilah fase isodens. Selama

fase akut ke kronis, lapisan tipis konveksitas isodens

SDH sulit diidentifikasi

Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior

karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga

merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang

terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak

diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks

serebri menebal dan tidak beraturan. Gambaran ini

terjadi pada beberapa kasus berhubungan dengan child

abused. 4,5,7,8

43

3.5.4 Tatalaksana

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan

untuk pasien SDH, tentu kita harus memperhatikan

kondisi klinis dengan gambaran radiologisnya.

Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi,

perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan

dengan medikamentosa untuk menurunkan

peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti

pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10

mg intravena dan hiperventilasi. 5,6,7,8

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc

ataupun kurang) edema otak yang minimal dan

midline shift kurang dari 5 mm dilakukan tindakan

konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada

kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak

diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat

mengalami pengapuran. 5,6,7,8

Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita

dengan SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan

midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita

ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan

tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita

ini mendapat perbaikan fungsional

Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita

SDH akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang

normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita

yang membutuhkan operasi untuk SDH.

Penderita yang berada dalam keadaan koma tetapi

pada CT scan tidak menunjukkan gambaran lesi otak

kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury.

Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki

defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan

untuk tindakan operasi

44

Strategi tanpa pembedahan terfokus pada pencegahan

secondary injury setelah cedera kepala. Intervensi

medis ditargetkan pada tekanan intrakranial yang

terkontrol, memastikan aliran darah dan oksigen,

meminimalkan edema cerebri. Dua pertiga pasien

dengan cedera kepala berat, tidak ditemukan

gambaran CT Scan lesi massa yang signifikan.

Terdapat 25% pasien dengan lesi massa akan

mengalami perubahan kondisi klinis dalam 2-3 hari

setelah cedera. Paling sulit manajemen pada pasien

neurotrauma dengan GCS 8-14 dan memiliki lesi

massa ukuran sedang. Pertimbangan apakah harus

operasi atau tidak berdasarkan tekanan intrakranial,

jika tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg, segera

lakukan operasi dekompresi sebab walaupun lesi

massa kecil, tapi pembengkakan otak yang hebat dapat

ditemukan.

45

Tabel 3.2 Tatalaksana bedah pada pasien dengan subdural

hematoma akut

Indikasi pembedahan

Suatu subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih

besar dari 10 mm atau dengan pergeseran garis tengah otak

lebih besar dari 5 mm pada gambaran CT Scan, harus

dilakukan tindakan operasi, tanpa melihat derajat

kesadaran pasien (GCS).

Semua pasien dengan subdural hematoma akut dalam

keadaan koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) harus

menjalani pemantauan tekanan intrakranial.

Pasien koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) dengan

ketebalan SDH kurang dari 10 mm dan pergeseran garis

tengah otak kurang dari 5 mm, harus menjalani tindakan

operasi untuk evakuasi hematoma, bilamana nilai GCS

menurun 2 angka atau lebih pada waktu antara masa

trauma dan ketika masuk rumah sakit. Demikian pula bila

pada pasien ditemukan pupil yang asimetris atau dilatasi

dan atau tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg.

Waktu Pelaksanaan

Pasien dengan subdural hematoma akut yang terindikasi

untuk operasi, harus menjalani tindakan operasi evakuasi

hematoma segera secepatnya.

Metoda

Pada pasien koma (GCS<9) yang terindikasi tindakan

operasi evakuasi subdural hematoma, harus menjalani

tindakan kraniotomi dengan atau tanpa pengangkatan

tulang kranium dan duraplasti.

46

3.5.5 Teknik opeasi

Pasien dengan SDH mempunyai prognosis yang buruk

dibanding cedera kepala lainnya. Paling sering disebabkan

tabrakan motor pada pasien muda dan jatuh pada orang tua.

Hampir 50% pasien disertai dengan kontusio atau laserasi

korteks, biasanya terjadi di daerah frontal atau temporal.

Setelah keputusan operasi ditegakkan berdasarkan indikasi

operasi, maka selanjutnya akan dilakukan kraniotomi

frontotemporoparietal besar untuk evakuasi SDH.

Membuat tekanan otak tidak tinggi dapat dengan

memberikan manitol dan hiperventilasi ringan. Pencegahan

infeksi dilakukan dengan pemberian antibiotik profilaksis 1

jam sebelum operasi. Bekuan darah harus dievakuasi

dengan irigasi, suction, cup forceps. Ruang subdural harus

diinspeksi luas untuk mendapatkan hematom tambahan

atau perdarahan di tempat lain. Jika menemukan hematom

intracerebral dapat dievakuasi dengan melakukan

kortikotomi. Kontrol perdarahan dengan diatermi. Jika

perdarahan datang dari sinus, jangan menggunakan

diatermi karena merobek sinus, cukup dengan surgicel atau

gelfoam atau dapat juga tutup dengan otot ukuran 15x15

mm. Dengan menggunakan suction dan bipolar bekuan

darah dapat di evakuasi secara perlahan-lahan.

Gambar 3.9 A. dilakukan insisi bifrontal, B

dilakukan burr hole, C ditemukan sinus dan

duramater

47

Gambar 3.10 D ligasi anterior sinus sagitalis

superior, E sinus dipotong

Gambar 3.11 Gambar F identifikasi contusio dan

subdural hematom, G evakuasi hematom dengan

kombinasi suction dan bipolar

48

Gambar 3.12 A inisisi question mark, B setelah

duramater dibuka dapat mengevakuasi SDH dengan 1.

Suction, 2 forcep, 3 dengan disektor

3.6 Subdural Hematoma Kronik

3.6.1 Epidemiologi

Subdural hematom telah dilaporkan terjadi pada 5-

25% pasien cedera kepala berat. Insiden SDH kronik

dilaporkan dalam setahun 1-5,3 kasus per 100.000

penduduk. SDH lebih sering terjadi pada laki-laki

dibanding perempuan dengan perbandingan 3:1. Laki-

laki lebih sering terjadi SDH kronik. Kejadian SDH

kronik paling tinggi terjadi pada usia 50-70 tahun.

Penelitian lain insiden tertinggi terjadi usia 70-79

tahun, yaitu 7,35 kasus per 100.000 penduduk. Pada

infan dapat terjadi SDH interhemisphere dikarenakan

kasus-kasus “child abuse”.3

49

3.6.2 Patofisiologi

Pada SDH kronik, Virchow pada tahun 1857

menyebut pachymeningitis haemorrhagica interna.

Berdasarkan itu diasumsikan bahwa infeksi bakteri

(meningitis) dikendalikan respon inflamasi kronis di

duramater menghasilkan eksudat fibrin dan

pertumbuhan kapiler baru. Bagaimanapun inflamasi

terjadi juga pada proses cedera kepala. Pada duramater

secara histologi diidentifikasi terdapat lapisan yang

berperan sebagai fagosit atau fibro-selular jaringan

ikat, yang berperan membentuk membran baru pada

SDH kronis, jaringan ikat tersebut dinamakan dural

border cells. Sel-sel inflamasi direkrut masuk ke

dalam ruang subdural untuk memperbaiki dural border

cells, dan saat itulah dibentuk membran baru dan

pembuluh darah baru, dimana pembuluh darah

tersebut dapat terjadi kebocoran atau perdarahan kecil

yang masuk ke ruang subdural.13

Gambar 3.13 CT Scan SDH kronis dan skema SDH

Kronis

50

Gambar 3.14 Skema terbentuknya SDH kronis

Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi

dengan atrofi cerebral. Vena jembatan (bridging vein)

akan meregang bila volume otak mengecil sehingga

walaupun hanya trauma kecil saja dapat menyebabkan

robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara

perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah.

Keadaan volume otak yang mengecil menyebabkan

terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala

klinis muncul. Pada awal perdarahan subdural yang

kecil terjadi akibat perdarahan spontan. Pada

hematoma yang besar dapat menyebabkan

terbentuknya membran vaskular yang membungkus

hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari

pembuluh darah di dalam membran ini memegang

peranan penting, karena pembuluh darah pada

membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan

dalam penambahan volume dari perdarahan subdural

kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat

meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari

bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial

dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis

spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini

peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif

51

perlahan karena compliance tekanan intra cranial yang

cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran

hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan

melampaui mekanisme kompensasi tersebut3,4,8,9

Compliance intrakranial mulai berkurang yang

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra

kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral

berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut

dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin.

Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat

terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah

melalui incisura tentorial oleh karena meningkatnya

tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural

kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus

dan ganglia basalis lebih terganggu dibandingkan

dengan daerah otak lainnya. 3,5,6,7

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya

perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner

yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah

akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan

protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural

hematoma dan akan menyebabkan peningkatan

tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma.

Tekanan onkotik yang meningkat inilah yang

mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.

Tetapi ternyata di dapati kontroversi dari teori Gardner

ini, yaitu tekanan onkotik di dalam subdural kronik

ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya

sel darah merah.

Teori yang kedua mengatakan bahwa, perdarahan

berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya

perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis

ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan

52

subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam

pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar

membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level

dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik

dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dan

memperberat terjadinya SDH. 3,5,6,7,9

3.6.3 Gejala Klinis

Pasien dengan SDH kronis dapat terjadi tanpa riwayat

cedera kepala, dapat muncul gejala penurunan

kesadaran yang berfluktuasi, demensia progresif, dan

peningkatan tekanan intrakranial tanpa disertai tanda-

tanda lokal. Gejala umum SDH kronis adalah sakit

kepala yang kemudian diikuti penurunan kesadaran.

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa

hari, minggu, dan bahkan beberapa bulan setelah

cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu

vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi

perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.

Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi,

darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Adanya

selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan

ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah

dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini

yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan

merobek membran atau pembuluh darah di

sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan

hematoma3,4,6

53

Subdural hematoma yang bertambah luas secara

perlahan, utamanya terjadi pada usia lanjut (karena

vena yang rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua

keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama

beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Subdural

hematoma pada bayi bisa menyebabkan kepala

bertambah besar karena tulang tengkoraknya belum

menyatu, dengan fontanella atau ubun-ubun besar

yang masih terbuka. Subdural hematoma yang kecil

dapat diserap secara sepontan. Subdural hematoma

yang besar, dan menyebabkan gejala-gejala neurologis

harus dikeluarkan melalui pembedahan.

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama

mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis,

memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).

Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan

isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis

bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu

pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari

kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung

kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi

otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku

yang nyata, meskipun dapat menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang

lobus frontalis menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan

inkontinensia. 3,4,6

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau

samping lobus frontalis menyebabkan perhatian

penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang

berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam;

penderita mengabaikan akibat yang terjadi disebabkan

perilakunya.

54

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan

kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam

persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan

matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus

parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada

ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian

tubuhnya. 4,6,7,8

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis

menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang

berlawanan. Kerusakan yang luas dapat menyebabkan

hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian

pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan

menentukan arah kiri dan kanan. Kerusakan yang luas

bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam

mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya

atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk

yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya

bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa

menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu

berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari

lainnya. Lobus temporalis mengolah kejadian yang

baru saja terjadi dan mengingatnya sebagai memori

jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami

suara dan gambar, menyimpan memori dan

mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur

emosional. 4,6,7,8

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan

menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan

bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri

menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang

berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat

penderita dalam mengekspresikan bahasanya. 4,6,7,8

55

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang

non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian

seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama

yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah

seksual.

Mekanisme yang menghasilkan subdural hematoma

akut adalah dampak berkecepatan tinggi ke tengkorak.

Hal ini menyebabkan jaringan otak untuk

mempercepat atau memperlambat relatif terhadap

struktur dural tetap, merobek pembuluh darah.

Pembuluh darah robek adalah pembuluh darah yang

menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus

dural (disebut vena bridging). Pada orang lanjut usia,

vena jembatan sudah meregang karena atrofi otak

(penyusutan yang terjadi dengan usia). Benturan keras

kortikal dapat merusak baik vena atau arteri kecil, bisa

rusak oleh karena cedera langsung atau laserasi.

3.6.4 Diagnosis

Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama

untuk mengetahui tingkat keparahan dari trauma

kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara,

membuka mata dan respon otot harus dievaluasi

disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila

pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien

untuk membuka mata yang biasanya sering

ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak

sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting

dilakukan.

56

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan

semua dilihat pada gambaran CT tanpa kontras.

Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat

bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis

tengah. Seringkali, subdural hematoma kronis muncul

sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan

terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan

antara komponen akut (hyperdense) dan kronis

(hipodense). 5,7,8,9

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna

untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral.

Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih

cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga

lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI.

MRI baru dipakai pada masa recovery setelah trauma

terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak

yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat

dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih

sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan,

kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat

membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom

kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang

jelas pada CT-scan

Pada CT Scan akan dijumpai hipodens, berbeda

dengan SDH akut dengan gambaran hiperdens, seperti

gambar di bawah ini.

57

Gambar 3.15 SDH kronis (yang ditandai dengan *)

Gambar 3.16 Gambar SDH kronis bilateral

58

Gambar 3.17 SDH kronis frontoparietal kiri dengan

midline shift ke kanan

Gambar 3.18 CT Scan SDH kronik dengan

kalsifikasi

59

Pada pemeriksaan MRI, SDH akut akan memberikan

gambaran isointense hingga hipointense terhadap

substansia grisea pada T1, hipointense terhadap

substansia grisea pada T2, dan hiperintense pada

FLAIR. SDH subakut akan memberikan gambaran

hiperintense pada T1, hiperintense pada T2, dan

hiperintense pada FLAIR. Pada T1, SDH kronik akan

isointense jika hematoma stabil dan hiperintense jika

terjadi perdarahan berulang atau infeksi. Pada T2 juga

akan memberikan gambaran isointense jika hematoma

stabil, tapi hipointense jika perdarahan berulang. Pada

FLAIR berupa hipointense terhadap CSF.

Gambar 3.19 MRI axial T1 SDH kronik

60

Gambar 3.20 MRI axial T2 SDH kronik

3.6.5 Tatalaksana

SDH kronis dapat diterapi dengan medical

management yaitu istirahat, diuretik osmotik, dan

kortikosteroid. Konservatif dapat dilakukan pada

pasien dengan defisit neurologis minimal dan volume

SDH kronis minimal15.

Pilihan operasi pada SDH kronis, yaitu:

2 burr hole dengan irigasi dan aspirasi

1 burr hole dengan irigasi dan aspirasi

1 burr hole dengan meninggalkan subdural

drain

Twist drill craniostomy

Kraniotomi dengan eksisi membran subdural

61

3.6.6 Teknik Operasi

Pasien diposisikan supine, kepala dirotasi ke arah

lateral sesuai letak posisi hematoma. Dilakukan insisi

2 garis linier di frontal dan parietal mengikuti

kelengkungan atau konveksitas sesuai letak

hematoma. Burr hole diameter 1,5 cm, burr hole

pertama di posteroinferior, burr hole kedua pada

anterior burr hole sebelumnya, duramater dibuka,

dilakukan irigasi dengan normal saline, drain

dimasukkan ke dalam subdural.15

Gambar 3.21 Twist Burr hole

62

Gambar 3.22 Twist Burr hole dengan insisi

terpisah

3.7 Perawatan Pasca Bedah

Pemantauan kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan

segera sejak pasca operasi. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7.

Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti

dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. 9,10,11

Observasi setelah operasi harus tetap dilakukan, dikarenakan

pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan ulang yang

berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural

empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang

tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari

otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi

dari cairan subdural. Serial scanning tomografi pasca

kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. Apabila pasca operasi

kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih

terjadi hematoma atau hal lainnya yang timbul kemudian, ST

scan otak mutlak dilakukan. 8,10,11,12

63

3.8 Komplikasi dan Prognosis

Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera

parenkim otak dapat berhubungan dengan subdural hematoma

akut dan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca

operasi dapat terjadi rekurensi hematoma yang mungkin

memperlukan tindakan pembedahan. Sebanyak sepertiga

pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala

berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah

kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah

dilakukan tindakan intrakranial. 10,11,12,13

Pada pasien dengan subdural hematoma kronik yang

menjalani operasi drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami

komplikasi medis atas operasinya. Komplikasi medis, seperti

kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada

16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti rekurensi subdural

hematoma, intraparenkim hematoma, atau tension

pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.

Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan

gambaran CT scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi

untuk reakumulasi hematom dilapaorkan sekitar 12-22%.

Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien.

Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah

dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi

drainase dari subdural hematoma kronis (SDH). Pada pasien

ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap,

usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan. 10,11,12,13

Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada

beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran

yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga

hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa

kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk

dekompresi otak. 11,12

64

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik

memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90% kasus

pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang

disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas

menjadi lebih tinggi mencapai 50%. Pada penderita dengan

perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1 cm),

prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78%

dari penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi

(burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan

mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan subdural

akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka

mortalitas lebih kurang 20%11,12,13

Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH)

biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau

laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume

hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas

melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume

subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi,

hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada

atau tidaknya kontusio parenkim otak. 10,12,13,

Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural

yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap

jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi

dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila

dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah

selalu berakhir dengan kematian. 11,12,14

Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan

parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan

prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma

ekstra axial di ruang subdural. 11,13,14

65

Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah

satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir

(outcome) penderita SDH akut. Penderita yang sadar pada

waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan

penderita SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi

mempunyai mortalitas 40% - 65%. Tetapi Richards dan Hoff

tidak menemukan hubungan yang bermakna antara derajat

kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral

midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi.

Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH akut dengan

kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil

bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai

functional survival sebesar 10%. 16,17,18

3.9 Telaah Deskriptif SDH di RSUP Haji Adam Malik

Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik Medan sebanyak 195

kasus, terhitung dari 1 Januari 2013 hingga 31 Desember

2017. Mayoritas sebanyak 77% terjadi pada laki-laki, dengan

49% terjadi pada usia diatas 40 tahun. SDH beronset akut

sebanyak 69%, lebih banyak daripada yang beronset kronik.

Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2016. Berikut grafik dan

tabel kasus SDH di RSUP Adam Malik Medan.

Tabel 3.3 Jumlah Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik dari

tahun 2013-2017

Tahun Jumlah

2013 46

2014 38

2015 35

2016 53

2017 23

66

Melihat dari tabel 3.3 tampak jumlah kasus SDH tahun 2017

lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rerata

setiap bulannya berkisar 2,6 pasien/bulan. Hal ini terjadi

disebabkan semakin berkembangnya rumah sakit di daerah

yang dilengkapi oleh kemampuan tatalaksana bedah saraf

yang sederhana.

Gambar 3.23 Presentase Jenis Kelamin Kasus SDH di

RSUP Haji Adam Malik

Berdasarkan jenis kelamin, didapati jumlah penderita laki-laki

jauh lebih banyak daripada penderita perempuan. Hal ini

tidak berbeda dengan data di rumah sakit atau pusat trauma

lainnya.

Bila ditilik berdasarkan usia, sesuai grafik diatas, tampak

terlihat bahwa pasien utamanya berusia diatas 40 tahun

sebanyak 49%, selanjutnya berusia 18-40 tahun sebanyak

67

37%. Usia diatas 40 tahun adalah masih tergolong usia

produktif yang lanjut. Walaupun terkategori usia tua, tetapi di

usia ini seseorang umumnya masih aktif berkarya dan

beraktifitas. Demikian pula pada usia 18-40 tahun sebanyak

37%.

Gambar 3.24 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik

Berdasarkan Usia

Dalam gambar grafik 3.24 persentase kasus berdasarkan usia,

dapat dilihat SDH terjadi pada usia produktif.

2 % 5 %

7 %

37 %

49 %

Persentase Berdasar Usia

Balita (0-5)

Anak -anak (6-11)

Remaja (12-17)

Dewasa (18-40)

Tua (>40)

68

Bila ditelaah berdasarkan onset kejadian maka kasus kronik

hanya berkisar 31% dibandingkan kasus akut sebanyak 69%.

Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa angka mortalitas

pada kasus akut lebih besar daripada kasus kronik.

Gambar 3.25 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik

Berdasarkan onset kejadian

Analisa deskriptif diatas dapat digambarkan penurunan angka

kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik yang sangat mungkin

disebabkan semakin berkembangnya rumah sakit di daerah

yang mampu melaksanakan tatalaksana sederhana khususnya

bagi pasien trauma kepala.

Hasil telaah diatas turut menggambarkan bahwa penderita

SDH laki-laki lebih banyak perempuan, dengan angka

kejadian yang tinggi pada usia produktif dan berusia lanjut.

Subdural hematoma akut mempunyai angka yang jauh dari

tinggi dibandingkan subdural hematoma kronik.

69 %

31 %

Persentase Bedasarkan Onset

Akut

Kronik

69

Referensi

1. Goodman JC. Neuropathology of Traumatic Brain Injury.

Youmans and Wins Neurological Surgery. Philadelphia:

Elsevier. Edisi ketujuh. 2017; hal: 2265-77.

2. Miller JD dan Nader R.Acute Subdural Hematoma from

Bridging Vein Rupture: a Potential Mechanism for

Growth. Journal Neurosurg. 2014. 120; hal 1378-84.

3. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical

Physiology (9thed.). Setiawan, Irawati et al. 1997 (alih

bahasa), EGC: Jakarta

4. Guidelines for the management of severe head injury.

Brain Trauma Foundation, American Association of

Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and

Critical Care. J Neurotrauma 1996;13:641–734.

5. Koc RK, Akdemir H, Oktem IS, Meral M, Menku A.

Acute subdural hematoma: Outcome and outcome

prediction. Neurosurg Rev 1977;20:239–44

6. Kamal R. Acute Subdural Hematoma. Textbook of

Traumatic Brain Injury. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. 2012. Hal 158-168.

7. Megher RJ. Subdural Hematoma. Dapat diakses di

https://emedicine.medscape.com/article/1137207-

overview. Diakses tanggal 18 Januari 2017.

8. Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV.

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 310-343

9. Snell Richard S.2009.Neuroanatomi Klinik.Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 292-303

10. Depreitere B, dkk.. Mechanics of Acute Subdural

Hematomas Resulting from Bridging Vein Rupture.

Journal Neursurg. 2006. 104; hal 950-56.

11. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada

Perdarahan Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara

Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU: Medan

70

12. Kiliç T, Akakin A: Anatomy of cerebral veins and sinuses.

Front Neurol Neurosci. 2008; 23:4–15.

13. Vignes JR, Dagain A, Guérin J, Liguoro D: A hypothesis

of cerebral venous system regulation based on a study of

the junction between the cortical bridging veins and the

superior sagittal sinus. Laboratory investigation. J

Neurosurg. 2007; 107:1205–10.

14. Nemoto EM: Dynamics of cerebral venous and intracranial

pressures. Acta Neurochir Suppl. 2006; 96:435–37.

15. Meagher RJ. Subdural Hematoma Clinical Presentation.

Dapat dijumpai di

https://emedicine.medscape.com/article/1137207-clinical.

Diakses tanggal 20 Januari 2018.

16. Le TH dan Gean AD. Radiology of Traumatic Brain

Injury. Neurological Surgery. Edisi keenam. Philadelphia:

Elsevier. 2011. Hal 3342-61.

17. Zacko JC, Harris L, dan Bullock MR. Surgical

Management of Traumatic Brain Injury. Neurological

Surgery. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier. 2011. Hal

3424-52.

18. Al Jefri AYA, Sabbagh AJ. Acute Subdural Hematoma.

Neurosurgery Trick of The Trade Cranial. 2014. New

York: Thieme. Hal 486-89.

19. Edlmann E, Coll SG, Whitfield PC, Carpenter KLH, dan

Hutchinson PJ. Pathophysiology of Chronical Subdural

Hematoma: Inflammation, Angiogenesis, and Implications

for Pharmacotherapy. Journal of Neuroinflammation.

2017. 14; 108: hal 1-13.

20. Kamal R dan Mahapatra AK. Chronic Subdural

Hematoma. Textbook of Traumatic Brain Injury. New

Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2012. Hal 197-

201.

71

21. Lad SP dan Jung H. Chronic Subdural Hematoma.

Neurosurgery Trick of The Trade Cranial. 2014. New

York: Thieme. Hal 490-93.

22. Kaye, A. 2006. Textbook of Surgery Third edition hal

417-425. USA: Blackwell Publishing.

23. Markwalder TM, Steinsiepe KF, Rohner M, et al. The

course of chronic subdural hematomas after burr-hole

craniostomy and closed-system drainage. J Neurosurg

1981;55:390–6.

24. Bender MB, Christoff N. Nonsurgical treatment of

subdural hematomas. Arch Neurol 1974;31:73–9. 11

Jennett B, Bond M. Ass

25. Ohaegbulam SC. Surgically treated traumatic subacute and

chronic subdural haematomas: a review of 132 cases.

Injury 1981;13:23–6. 37 Patrick D, Gates PC. Chronic

subdural haematoma in the elderly. Age Ageing

1984;13:367–9

26. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gorgon D, Harti R,

Newell DW, et al. Surgical management of acute subdural

hematomas. Neurosurgery 2006;58(Suppl 2):16–24.

27. Dent DL, Croce MA, Menke PG, Menke PG, Young BH,

Hinson MS, et al. Prognostic factors after acute subdural

hematoma. J Trauma 1995;39:36–42

9 7 8 6 0 2 4 6 5 0 2 2 3