22
II. TINJAUAN PUSTAKA A. IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMARAN UDARA DAN BAU Pengertian pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. BAPEDAL (1999), mendefinisikan bahwa pencermaran udara adalah adanya kontaminasi atmosfer oleh gas, cairan atau limbah padat serta produk samping dalam konsentrasi dan waktu sedemikian rupa yang mengakibatkan gangguan, kerugian atau memiliki potensi merugikan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda serta menciptakan ketidaknyamanan. Selain itu, dapat membahayakan daya penglihatan dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan. Pengertian lain dari Canter (1977) menyatakan bahwa pencemaran udara yaitu adanya atau masuknya satu atau lebih zat pencemar atau kombinasinya di atmosfer dalam jumlah dan waktu tertentu baik yang masuk ke udara secara alami maupun aktivitas manusia, yang dapat menimbulkan gangguan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan terhadap harta benda atau terganggunya kenyamanan dan kenikmatan hidup dan harta benda. Pencemaran udara tidak mengenal secara tegas batas wilayah pengaruhnya, baik di kota maupun di daerah-daerah lainnya. Masalah yang ditimbulkan oleh pencemaran udara bahkan dapat meliputi ruang lingkup antar negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi penyebaran, seperti volume bahan pencemar, geografis, topografi, dan klimatologi. Jenis-jenis pencemaran udara, yaitu menurut bentuk (gas, partikel), menurut tempat (ruangan /indoor dan udara bebas /outdoor) dan menurut asal (primer, sekunder). Gangguan kesehatan yang ditimbulkan dapat berupa iritansia, asfiksia, anetesia, dan toksis. Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel, pencemaran udara berbentuk gas dapat dibedakan menjadi: Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), hidrogen sulfida (H 2 S) dan sulfat aerosol . Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N 2 O), nitrogen monoksida (NO), amoniak (NH 3 ) dan nitrogen dioksida (NO 2 ). Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO 2 ), karbon monoksida (CO), hidrokarbon. Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, vinyl klorida, air raksa uap. Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi: Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan timah. Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan, Benzen. Makhluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing. Pencemaran udara menurut tempat dan sumbernya ada dua macam: Pencemaran udara bebas (Outdoor air pollution), sumber pencemaran udara bebas: alamiah, berasal dari letusan gunung berapi, pembusukan, dll. Kegiatan manusia, misalnya berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, asap kendaraan, dll. Pencemaran udara ruangan (Indoor air pollution), berupa pencemaran udara di dalam ruangan yang berasal dari permukiman, perkantoran ataupun gedung tinggi. Pencemaran udara dapat pula dikelompokkan ke dalam:

A. IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMARAN UDARA DAN BAU · lain dari Canter (1977) menyatakan bahwa pencemaran udara yaitu adanya atau masuknya satu ... • Golongan gas yang berbahaya terdiri

  • Upload
    phamtu

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMARAN UDARA DAN BAU

Pengertian pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,

energi dan atau komponen lain ke dalam udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) udara

oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak

dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. BAPEDAL (1999), mendefinisikan bahwa

pencermaran udara adalah adanya kontaminasi atmosfer oleh gas, cairan atau limbah padat serta

produk samping dalam konsentrasi dan waktu sedemikian rupa yang mengakibatkan gangguan,

kerugian atau memiliki potensi merugikan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan,

tumbuh-tumbuhan dan benda serta menciptakan ketidaknyamanan. Selain itu, dapat

membahayakan daya penglihatan dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan. Pengertian

lain dari Canter (1977) menyatakan bahwa pencemaran udara yaitu adanya atau masuknya satu

atau lebih zat pencemar atau kombinasinya di atmosfer dalam jumlah dan waktu tertentu baik yang

masuk ke udara secara alami maupun aktivitas manusia, yang dapat menimbulkan gangguan pada

manusia, hewan, tumbuhan, dan terhadap harta benda atau terganggunya kenyamanan dan

kenikmatan hidup dan harta benda.

Pencemaran udara tidak mengenal secara tegas batas wilayah pengaruhnya, baik di kota

maupun di daerah-daerah lainnya. Masalah yang ditimbulkan oleh pencemaran udara bahkan dapat

meliputi ruang lingkup antar negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi

penyebaran, seperti volume bahan pencemar, geografis, topografi, dan klimatologi. Jenis-jenis

pencemaran udara, yaitu menurut bentuk (gas, partikel), menurut tempat (ruangan /indoor dan

udara bebas /outdoor) dan menurut asal (primer, sekunder). Gangguan kesehatan yang ditimbulkan

dapat berupa iritansia, asfiksia, anetesia, dan toksis.

Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel, pencemaran udara

berbentuk gas dapat dibedakan menjadi:

• Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S) dan sulfat

aerosol.

• Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N2O), nitrogen monoksida (NO), amoniak

(NH3) dan nitrogen dioksida (NO2).

• Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), hidrokarbon.

• Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, vinyl klorida, air raksa uap.

Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi:

• Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan timah.

• Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan, Benzen.

• Makhluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing.

Pencemaran udara menurut tempat dan sumbernya ada dua macam:

• Pencemaran udara bebas (Outdoor air pollution), sumber pencemaran udara bebas: alamiah,

berasal dari letusan gunung berapi, pembusukan, dll. Kegiatan manusia, misalnya berasal

dari kegiatan industri, rumah tangga, asap kendaraan, dll.

• Pencemaran udara ruangan (Indoor air pollution), berupa pencemaran udara di dalam

ruangan yang berasal dari permukiman, perkantoran ataupun gedung tinggi.

Pencemaran udara dapat pula dikelompokkan ke dalam:

4

• Pencemar primer: Polutan yang bentuk dan komposisinya sama dengan ketika dipancarkan,

lazim disebut sebagai pencemar primer, antara lain CO, CO2, hidrokarbon, SO, nitrogen

oksida, ozon serta berbagai partikel.

• Pencemar sekunder: Berbagai bahan pencemar kadangkala bereaksi satu sama lain

menghasilkan jenis pencemar baru, yang justru lebih membahayakan kehidupan. Reaksi ini

dapat terjadi secara otomatis ataupun dengan cara bantuan katalisator, seperti sinar matahari.

Pencemar hasil reaksi disebut sebagai pencemar sekunder. Contoh pencemar sekunder adalah

Ozon, formal dehida, dan Peroxy Acyl Nitrate (PAN).

Sumber pencemaran udara berdasarkan pergerakannya dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu (Krisnayya dan Bedi (1986) dan Sutamihardja (1985)):

1. Sumber pencemaran yang tidak bergerak (industri, pemukiman, dan pembangkit tenaga

listrik) yang menghasilkan unsur-unsur polutan ke atmosfir sebagai berikut: kabut asam,

oksida nitrogen, CO, partikel-partikel padat, hidrogen sulfida (H2S), metil merkatan

(CH3SH), NH3, gas klorin, H2S, flour, timah hitam, gas-gas asam, seng, air raksa, kadmium,

arsen, antimon, radio nuklida, dan asap.

2. Sumber pencemaran yang bergerak (kendaraan bermotor atau transportasi) yang

menghasilkan CO, SO2, oksida nitrogen, hidrokarbon, dan partikel-partikel padat.

Menurut Andrews (1972), penyebab pencemaran udara terbagi tiga kelompok, yaitu:

1. Gesekan permukaan, seperti menggergaji, menggali, gesekan (gosokan) dari beberapa bahan

(aspal, tanah, besi, dan kayu) yang membuang partikel padat ke udara dengan berbagai

ukuran.

2. Penguapan yang berasal dari cairan yang mudah menguap, seperti bensin, minyak cat, dan

uap yang dihasilkan oleh industri logam, kimia dan lainnya.

3. Pembakaran, seperti pembakaran bahan bakar fosil (minyak, solar, bensin, batubara,

pembakaran hutan, dsb.). Pembakaran tersebut merupakan proses oksidasi sehingga

menghasilkan gas-gas CO2, CO, SOx, NOx, atau senyawa hidrokarbon yang tidak terbakar

dengan sempurna.

Hehanusa (1986) menjelaskan bahwa sumber pencemar udara terutama SOx dan NOx

dibagi menjadi tiga kelompok yaitu dari alam, anthropogenik, dan campuran antara keduanya.

Proses alam yang banyak menyebabkan peningkatan konsentrasi SOx dan NOx di udara adalah :

(1) Proses dekomposisi biologis, (2) Kegiatan yang berhubungan dengan vulkanik, (3) Aktivitas

geotermal, dan (4) Kilat atau petir. Sumber pencemar anthropogenik atau akibat aktivitas manusia

adalah dipakainya secara besar-besaran bahan bakar fosil. Sumber pencemar campuran antara

keduanya adalah pemakaian pupuk di bidang pertanian yang melalui proses biologis akan

melepaskan SOx dan NOx ke udara dan pembakaran hutan. Dampak pencemaran udara dari

berbagai sumber ini bisa mempengaruhi terhadap makhluk hidup baik secara langsung maupun

tidak langsung (Tabel 1).

Industri terutama industri-industri besar merupakan salah satu sumber utama bagi

pencemaran udara lokal dan merupakan sumber yang harus diperhitungkan bagi pencemaran udara

regional. Pencemaran industri dikombinasikan dengan pencamaran dari sumber-sumber lain

seperti sampah perkotaan merupakan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.

Industri-industri yang menjadi sumber polusi bau dapat dilihat pada Tabel 2.

5

Tabel 1. Dampak pencemaran udara berupa gas

No Bahan pencemar Sumber Dampak/akibat pada

individu/masyarakat

1. Sulfur Dioksida (SO2) Batu bara atau bahan

bakar minyak yang

mengandung Sulfur.

Pembakaran limbah

pertanah. Proses

dalam industri.

Menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas

sehingga menimbulkan gejala batuk dan

sesak nafas.

2. Hidrogen Sulfa (H2S) Dari kawah gunung

yang masih aktif.

Menimbulkan bau yang tidak sedap, dapat

merusak indera penciuman (nervus

olfactory)

3. Nitrogen Oksida (N2O)

Nitrogen Monoksida

(NO)

Nitrogen Dioksida

(NO2)

Berbagai jenis

pembakaran. Gas

buang kendaran

bermotor. Peledak,

pabrik pupuk.

Menggangu sistem pernapasan.

Melemahkan sistem pernapasan paru dan

saluran nafas sehingga paru mudah

terserang infeksi.

4. Amoniak (NH3) Proses Industri Menimbulkan bau yang tidak

sedap/menyengat.

Menyebabkan sistem pernapasan,

Bronchitis, merusak indera penciuman.

5. Karbon Dioksida (CO2)

Karbon Monoksida

(CO) Hidrokarbon

Semua hasil

pembakaran. Proses

Industri

Menimbulkan efek sistematik, karena

meracuni tubuh dengan cara pengikatan

hemoglobin yang amat vital bagi oksigenasi

jaringan tubuh akaibatnya apabila otak

kekurangan oksigen dapat menimbulkan

kematian. Dalam jumlah kecil dapat

menimbulkan gangguan berfikir, gerakan

otot, gangguan jantung.

Sumber: Yuwono (2003)

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No.

Kep.50/MENLH/11/1996), bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra

penciuman, sedangkan kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu

yang dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat kebauan adalah

batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia

dan kenyamanan lingkungan.

6

Tabel 2. Sumber-sumber polusi bau di lingkungan

Sumber bau Senyawa atau kelompok bau

Chemical and petroleum industries

1. Refineries Hydrogen sulphide, sulphur dioxide, ammonia,

Hydrocarbons, organic acids, mercaptans,

aldehydes

2. Inorganic chemicals (fertilisers,

phosphates production, soda ash, lime,

sulfuric acids, etc.)

Ammonia, aldehydes, hydrogen sulphide, sulphur

dioxide

3. Organic chemicals ( paint industry,

plastics, rubber, soap, detergents,

textiles

Ammonia, aldehydes, sulphur dioxide,

mercaptans, organic acid

Pharmaceutical industry Aldehydes, aromatic, phenol, ammonia, etc.

Rubber, plastics, glass industries Nitro compounds (amines, axides), Sulphur

oxides, aldehydes, ketones, phenol, alcohols, etc.

Composting facilities Ammonia, sulphur containing compounds,

terpene, alcohols, aldehydes, ester, ketones,

volatile fatty acids (VFA)

Animal feedlots Ammonia, hydrogen sulphides, alcohol,

aldehydes, N2O

Wastewater treatment plant Hydrogen sulphydes, mercaptan, ammonia,

amines, skatoles, indoles, etc.

Sumber: Yuwono (2003)

Yuwono dan Gardjito (2005), mengemukakan pada dasarnya senyawa yang berbau adalah

senyawa kimia yang bersifat mudah menguap (volatile compound) dan pada umumnya berasal dari

golongan alkohol (alcohols), aldehida (aldehyde), keton (ketones), asam karboksilat (carbocxylic

acids), amina (amines), atau thiols (dengan gugus fungsional sulfhydryl). Contoh senyawa, rumus

kimia, dan kesan bau dapat dilihat pada Tabel 3.

7

Tabel 3. Senyawa-senyawa bau dengan rumus kimia dan kesan baunya

Nama senyawa Rumus kimia Kesan bau

Acetaldehyde

Ammonia

Butyric asid

Diethyl sulphide

Dimethyl amine

Dimethyl sulphide

Ethyl mercaptan

Formaldehyde

Hydrogen sulphide

Methyl marcaptan

Phenol

Propyl marcaptan

Sulphur dioxide

Trimethyl amine

Valeric acid

CH3CHO

NH3

CH3CH2CH2COOH

C2H5C2H5S

CH3CH3NH

CH3CH3S

C2H5SH

HCHO

H2S

CH3SH

C6H5OH

C3H7SH

SO2

CH3CH3CH3N

CH3CH2CH2CH2COOH

Pungent

Pungent

Rancid

Garlic

Fishy

Decayed cabbage

Decayed cabbage

Pungent

Rotten eggs

Decayed cabbage

Empyreumatic

Unpleasant

Pungent

Fishy

Body odour

Sumber : Yuwono (2003)

B. BAKU MUTU EMISI GAS

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No.

Kep.50/MENLH/11/1996), pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,

energi, dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi)

air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau

tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pengelolaan lingkungan yang tercemari

oleh gas polutan dibutuhkan pengendalian yang efisien dan efektif. Hal ini dikarenakan adanya

cemaran dapat merusak lingkungan serta mengganggu kestabilan kehidupan makhluk hidup,

terutama bagi manusia.

Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk

mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah. Hal tersebut antara lain pencemaran

industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan

bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan

pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Upaya pencegahan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas

industri dan aktivitas manusia memerlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan

menetapkan baku mutu lingkungan. Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan

menyebutkan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,

energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Baku mutu emisi gas dan ambang batas untuk beberapa jenis senyawa bau dalam udara

yang diperbolehkan dan tidak mengganggu manusia serta kenyamanan lingkungan diatur dalam

Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup untuk

8

baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebauan dapat dilihat pada Tabel 4 dan

Tabel 5.

Tabel 4. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan lain

Parameter Satuan Batas Maksimum

Bukan Logam :

1. Amoniak (NH3)

2. Gas Klorin (Cl2)

3. Hidrogen Klorida (HCl)

4. Hidrogen Fluorida (HF)

5. Nitrogen Oksida (NO2)

6. Opasitas

7. Partikel

8. Sulfur Dioksida (SO2)

9. Total Sulfur Tereduksi (H2S)

(mg/m3)

(mg/m3)

(mg/m3)

(mg/m3)

(mg/m3)

%

(mg/m3)

(mg/m3)

(mg/m3)

0.5

10

5

10

1000

35

350

800

35

Sumber: (SK. MENLH No. Kep. 13/MENLH/3/1995)

Tabel 5. Baku tingkat kebauan untuk beberapa jenis senyawa kimia

No Parameter Satuan Nilai

Batas

Metode

Pengukuran

Peralatan

1. Amoniak ppm 2.0 Metode Indofenol Spektrofotometer

2. Metil

Merkaptan

ppm 0.002 Absorpsi gas Gas khromatograf

3. Hidrogen

Sulfida

ppm 0.02 Merkuri tiosianat

Absorpsi gas

Spektrofotometer

Gas khromatograf

4. Metil

Sulfida

ppm 0.01 Absorpsi gas Gas khromatograf

5. Stirena ppm 0.1 Absorpsi gas Gas khromatograf

Sumber: (SK. MENLH No. Kep. 50/MENLH/11/1996)

Dalam KEP-50/MENLH/11/1996 tentang baku mutu kebauan tertulis sebagai berikut:

1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra penciuman;

2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar waktu tertentu yang dapat mengganggu

kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;

3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak

mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;

4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada

keadaan tertentu;

5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun campuran berbagai macam

senyawa.

9

C. GAS AMONIAK (NH3)

Amoniak (NH3) merupakan bahan dasar pembuatan pupuk yang berbasis nitrogen,

senyawa ini digunakan sebagai penyedia nitrogen yang siap digunakan dibandingkan dengan

nitrogen bebas yang merupakan senyawa inert karena lebih mudah dikonversi oleh tanaman.

Amoniak mempunyai bau yang sangat menyengat. Titik didihnya sangat rendah (-33.35 oC) pada

tekanan atmosfer sehingga berwujud gas yang tidak berwarna dan sangat mudah larut dalam air

membentuk basa lemah amonium hidroksida (NH4OH).

NH3(g) + H2O(l) NH4OH(l)

Amoniak dapat berwujud cair jika berada pada tekanan tingi yaitu sekitar 10 atm. Sifat-

sifat amoniak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sifat-sifat fisik amoniak

Karakteristik Nilai

Berat Molekul 17.03

Titik Beku (oC) -77.07

Titik didih (oC) -33.35

Densitas (g/mL) 0.817 (80 oC)

Viskositas (cP) 0.255 (-30 oC)

Panas Pembentukan (kJ/mol) 46.2 (18 oC)

Panas Penguapan (kJ/mol) 23.3 (-33.3 oC)

Panas spesifik (J/g oC) 2.225

Sumber: Perry (1999)

Emisi gas amoniak menyebabkan gangguan kesehatan gangguan pada saluran pernafasan,

iritasi selaput lendir mata, pusing serta gangguan kesehatan yang lainnya (Tabel 7 dan Tabel 8)

(Soemirat 2002).

Amoniak merupakan produk dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara

sempurna karena kondisi anaerobik. Amoniak memiliki nilai kesetimbangan untuk pH yaitu

9.26. Menurut Saeni (1989) reaksi kimianya adalah sebagai berikut:

NH4+

H+ + NH3

Reaksi tersebut memiliki arti bahwa bila nilai pH lebih dari 9.26 maka keseimbangan

terletak di sebelah kanan yaitu amoniak dalam bentuk NH3, sedangkan jika nilai pH kurang dari

9.26 maka keseimbangan akan terletak di sebelah kiri yaitu amoniak berbentuk NH4+ (Jenie dan

Rahayu 2004). Amoniak mempunyai bau yang sangat menyengat, sangat korosif terhadap logam

serta berbahaya bagi kesehatan manusia.

10

Tabel 7. Sifat-sifat bahaya amoniak

Parameter Bahaya Amoniak

Kesehatan Efek Jangka Pendek (Akut)

Iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan dan mata terjadi pada

400 - 700 ppm, sedangkan pada 5000 ppm menimbulkan kematian. Kontak

dengan mata dapat menimbulkan iritasi hingga kebutaan total. Kontak dengan

kulit dapat menyebabkan luka bakar (frostbite).

Efek Jangka Panjang (Kronis)

Menghirup uap asam pada jangka panjang mengakibatkan iritasi pada hidung,

tenggorokan dan paru-paru. Termasuk bahan teratogenik.

Nilai Ambang Batas: 25 ppm (18 mg/m3) (ACGIH 1987-88) STEL 35 ppm (27

mg/m3).

Toksisitas: LD 50 = 3 mg/kg (oral, tikus).

LC 50 = 200 ppm (tikus menghirup 4 jam).

Kebakaran Dapat terbakar pada daerah mudah terbakar: 16-25 % (LFL-UFL).

Suhu kamar: 651 oC.

Reaktivitas Stabil pada suhu kamar, tetapi dapat meledak oleh panas akibat kebakaran.

Larut dalam air membentuk ammonium hidroksida.

Sumber: Anonim (www.pupukkaltim.com 2010)

Tabel 8. Keselamatan dan Pengamanan Bahaya Amoniak

Parameter Keselamatan dan Pengamanan

Penanganan &

Penyimpanan

Hindari gas berada dalam ruang kerja, hindari dari loncatan api dan sumber panas.

Simpan pada tempat dingin, kering dan berventilasi dan jauh dari populasi.

Hindarkan dari asam, oksidator, halida, etoksi, logam alkali dan kalium klorat.

Tumpahan &

Bocoran

Bila terjadi tumpahan atau bocoran, harus ditangani oleh orang yang terlatih

dengan memakai alat pelindung diri. Jauhkan dari sumber api. Kabut amoniak

dapat disemprot oleh air.

Alat Pelindung

Diri

Paru-paru : Masker dengan Filter Amoniak atau respirator udara

Mata : Safety goggles dan pelindung muka

Kulit : Gloves (neoprene, karet, PVC karet butil)

Pertolongan

Pertama

Terhirup : Bawa ke tempat aman dan udara yang segar, beri pernapasan

buatan jika perlu, segera bawa ke dokter.

Terkena mata : Cuci dengan air bersih dan mengalir selama 20 menit dan segera

bawa ke dokter.

Terkena kulit : Cuci dengan air bersih dan mengalir selama 20 menit, lepaskan

pakaian yang terkontaminasi.

Pemadam Api Hentikan kebocoran gas dengan aman, gunakan semprotan air sebagai pendingin.

Media pemadaman CO2, halon, bubuk bahan kimia kering.

Sumber: Anonim (www.pupukkaltim.com 2010)

11

Amoniak dapat langsung direaksikan dengan oksigen menjadi nitrit. Reaksi antara

amoniak dengan asam nitrit dapat menghasilkan amonium nitrat yang memungkinkan

diaplikasikan sebagai pupuk. Kotoran hewan yang membusuk juga dapat menghasilkan nitrat.

Nitrifikasi merupakan konversi amonium menjadi nitrat secara biologis yang terjadi dari

dua tahap yang melibatkan dua kelompok mikroorganisme yaitu Nitrosomonas sp dan

Nitrobacter sp. Pada tahap pertama, amonium dikonversi menjadi nitrit dan pada tahap kedua

nitrit dikonversi menjadi nitrat (Sutedjo et al. 1991). Tahapan yang terjadi yaitu:

Tahap pertama:

NH4+ + 11

2 O2 Nitrosomonas sp

NO2- + 2H

+ + H2O

Tahap kedua:

NO2- + 1 2 O2

Nitrobacter sp NO3

-

Kedua reaksi tersebut menghasilkan energi yang dibutuhkan Nitrosomonas sp dan

Nitrobacter sp untuk pertumbuhan dan perawatan sel. Reaksi energi secara keseluruhan

dijabarkan sebagai berikut:

NH4+ + 2O2 NO3

- + 2H

+ + H2O

Bersamaan dengan energi yang dihasilkan, sebagian dari ion amonium diasimilasi

menjadi jaringan sel. Reaksi sintesis biomassa dijabarkan dengan persamaan sebagai berikut:

4CO2 + HCO3- + NH4

+ C5H7O2N + 5O2

Proses nitrifikasi secara keseluruhan dapat dijabarkan dengan persamaan sebagai berikut:

NH4+ + 1.86O2 + 1.98HCO

- 0.02C5H7NO2 + 0.98NO3

- + 1.88H2CO3 + 1.04H2O

(Sutedjo et al. 1991).

D. PENGGUNAAN NH3 DI INDUSTRI

Beberapa industri menggunakan amoniak dalam jumlah besar, sehingga emisi amoniak

yang dihasilkan juga dalam jumlah besar. Pabrik lateks pekat salah satu pabrik yang menghasilkan

emisi amoniak. Menurut Saputra (2008), emisi pabrik lateks pekat untuk amoniak adalah 1-600

ppm. Industri lateks pekat menggunakan amoniak sebagai bahan anti koagulan untuk mencegah

terjadinya prakoagulasi lateks serta desinfektan untuk pengawetan lateks. Selain industri karet,

amoniak juga banyak dihasilkan oleh industri peternakan, industri petrokimia, manufaktur logam,

industri makanan, pulp dan kertas, industri tekstil, pabrik pengolahan limbah, dan industri pupuk

urea. Amoniak banyak digunakan dalam memproduksi asan nitrat, sebagai indikator universal

untuk menguji gas yang berbeda-beda sehingga diketahui keberadaan gas tersebut, pupuk dengan

mencampurkan amoniak dengan air tanpa proses kimiawi tambahan, amoniak banyak digunakan

sebagai refrigerant sebelum ditemukannya dichlorodifluoromethane (Freon), amoniak juga

digunakan sebagai desinfektan, dan amoniak cair digunakan sebagai bahan bakar pada roket

(Busca 2003).

12

E. METODE PENGHILANGAN EMISI GAS

Menurut Devinny et al. (1999), ada dua bentuk pengendalian emisi udara yang dapat

diaplikasikan. Pengendalian sumber melibatkan pengurangan emisi melalui penggantian bahan

baku, pengurangan maupun pendaurulangan. Bagaimanapun, mekanisme pengurangan ini

mungkin dapat mengurangi kualitas produk atau meningkatkan biaya. Pengendalian yang kedua

merupakan cara dengan melakukan pengolahan gas yang dihasilkan. Pemilihan teknologi sering

ditentukan oleh desakan ekonomi ataupun ekologi. Beberapa batasan datang dari keadaan senyawa

yang akan diolah, konsentrasi dan bentuk emisi dari aliran limbah gas.

1. Pengendalian Emisi Gas Seacara Fisik dan Kimia

Metoda pemurnian gas buang secara fisik-kimia adalah berdasarkan pada perubahan

fase gas diserap oleh fase gas lain, fase cair atau fase padat, sebagai berikut:

a. Metode fase gas

Metode ini sebenarnya bukan metode penghilangan gas atau bau, akan tetapi

menyamarkan bau (busuk) yang tidak disukai dengan memberikan bau yang enak atau lebih

disukai.

b. Metode fase cair

Gas buang dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa penyerap gas (adsorban)

dalam fase cair, pada umumnya menggunakan air. Metode ini sangat baik untuk gas-gas

yang memiliki kelarutan yang tinggi terhadap zat cair (air). Adsorban yang sudah jenuh

perlu dimurnikan kembali bila memungkinkan, dimanfaatkan untuk penggunaan lain atau

dibuang.

c. Metode fase padat

Pada proses ini, gas dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa penyerap gas

dalam bentuk padat. Molekul-molekul gas akan terserap, terkondensasi dipermukaan

adsorban, secara fisik maupun kimia. Arang aktif sudah banyak dikenal sebagai bahan

penyerap bau yang relatif murah dan efektif. Arang aktif dalam bentuk butiran (granular

activatedcarbon, GAC) sudah banyak dipergunakan sebagai bahan penyerap bau dan

warna. Arang aktif dalam bentuk serat (activated carbon fiber, ACF) memiliki daya serap

yang lebih besar dibandingkan dengan GAC.

Daya serap ACF type FN-300GF-15 terhadap gas amoniak adalah 0.72g-NH3/kg-

dry AC sedangkan daya serap ACF-1300 terhadap senyawa organik yang mudah menguap

(volatile organic carbon, VOC) seperti alkohol, aseton dan tetra-hidrofuran adalah 0.44g-

VOC/kg-dry ACF (Lens dan Pol 2000). Daya serap secara fisik-kimia ini hanya

berlangsung dalam waktu yang relatif singkat sebelum mencapai titik jenuh. ACF atau

GAC yang telah jenuh ini perlu dipanaskan pada suhu diatas 100oC untuk melepaskan gas-

gas tersebut (regenerasi) dan kemudian dapat digunakan kembali. Dengan demikian polutan

gas ini tidak dihilangkan, tetapi diubah menjadi bentuk lain, dan mungkin akan tetap

menimbulkan polusi.

d. Pembakaran

Senyawa-senyawa gas organik dapat juga langsung dibakar dan menghasilkan

karbon dioksida dan air pada tingkat suhu yang cukup. Metoda ini memerlukan biaya

energi yang cukup besar, sehingga banyak dihindari.

13

Devinny et al. (1999) dan Lens dan Pol (2000) menambahkan beberapa metode yang

dapat digunakan untuk menangani limbah gas secara fisik-kimia antara lain:

1. Kondensasi: limbah gas yang pekat dilakukan pendinginan dan dikompres.

2. Insinerasi: terdiri dari insinerasi termal (700-1400 oC) dan insinerasi katalis (300-700

oC

dengan katalis platinum, palladium dan rubidium). Produksi NOx dan beberapa dioksin

juga bisa terjadi. Teknologi ini sesuai untuk aliran limbah gas pekat dan laju alir sedang.

3. Adsorpsi: adsorpsi terjadi dalam bahan pada fixed atau fluidized bed seperti karbon aktif

atau zeolite dan sangat efektif untuk uap dengan konsentrasi rendah. Regenerasi karbon

dimungkinkan dengan cara recovery polutan dengan desorpsi menggunakan uap air atau

udara panas.

4. Absorpsi: penghilangan limbah gas pencemar dengan larutan penyerap, seperti air maupun

pelarut organik (minyak silikon). Kesuksesan ditentukan oleh afinitas polutan terhadap

cairan. Menurut Nathanson (1997), metode ini disebut Flue Gas Desulfurization (FGD),

dengan larutan penyerap dapat berupa kapur (CaO) atau batu kapur (CaCO3).

5. Sistem membran: menggunakan perbedaan tekanan pada dua sisi membran. Tekanan aliran

gas sekitar 310-1400 kPa. Membran yang digunakan biasanya merupakan membran

hidrofobik mikroporous yang terbuat dari polietilen dan polipropilen.

2. Pengendalian Emisi Gas Secara Biologis

Penghilangan gas secara biologis ini dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas

mikroba. Pertama, gas-gas buangan diserap oleh bahan pengisi tertentu, kemudian dioksidasi

dan diuraikan atau digunakan sebagai sumber energi bagi mikroba. Mikroba memerlukan

kondisi tertentu untuk hidup. Kebutuhan ini harus dipenuhi dengan menumbuhkannya dalam

fase cair atau medium tertentu. Senyawa gas yang akan diolah dan sejumlah oksigen harus

dialirkan dari fase gas ke dalam fase cair. Populasi mikroba dapat terdispersi secara bebas

dalam fase cair, terimobilisasi pada suatu bahan pengepak atau bahan pengisi padat. Dengan

demikian dapat dibedakan tiga metoda biologi sebagi berikut (Ottengraf 1986): (1)

Bioscrubber, (2) Biotrickling filter, dan (3) Biofilter.

1. Bioscrubber: Kontaminan gas diabsorb dalam bentuk fase cair bebas. Fase gas yang

dialirkan akan dicuci dengan scrubber. Absorbsi dan biodegradasi terjadi secara terpisah.

Setelah kontaminan diabsorbsi secara fisik, degradasi terjadi dengan bantuan konsorsium

mokroorganisme tersuspensi pada tempat terpisah. Absorpsi terjadi pada kolom filter, spray

tower atau buble column. Air ditransfer ke vessel terpisah dimana kondisi lingkungan lebih

optimal untuk biodegradasi. Pada sistem dilakukan aerasi untuk memastikan degradasi

maksimal.

2. Biotrickling Filter: Kontaminan gas diabsorp sebagai fase cair bebas yang digunakan untuk

biodegradasi baik dengan menggunakan bakteri yang tersuspensi maupun dengan bakteri

terimobilisasi. Pada biotrickling filter, mikroba terjerap pada bahan organik yang bersifat

inert/lembam sedangkan mikroba tersuspensi dalam fase cair yang mendegradasi polutan

yang dilewatkan pada filter terkontaminasi. Udara yang dialirkan mengalami daur ulang

sedangkan nutrient, keasaman dan kebasaan ditambahkan oleh operator, disesuikan dengan

kondisi lingkungan agar polutan dapat dihilangkan secara optimal. Fenomena absorpsi dan

biodegradasi terjadi dalam satu reaktor yang sama. Reaksi berkelanjutan pada media dalam

fase gas.

14

3. Biofilter: Biofilter merupakan reaktor yang memiliki mikroorganisme terjerap pada media

untuk mengolah polutan gas. Mikroorganisme yang tumbuh membentuk biofilm pada

permukaan medium yang tersuspensi dalam fase air yang tersebar pada partikel media.

Media yang digunakan mengandung bahan yang inert (kompos, gambut, serasah daun, dsb)

yang memiliki luas permukaan untuk absorpsi dan penambahan nutrient. Gas dialirkan

pada bahan pengisi, kontaminan pada fase gas dijerap ke dalam biofilm dan ke permukaan

media tempat degradasi polutan. Biofilter merupakan kombinasi terhadap proses absorbsi,

adsorbsi, degradasi dan desorpsi polutan gas. Biofilter membutuhkan penambahan air untuk

mengontrol kadar air dan penambahan nutrient. Efektifitas secara keseluruhan dipengaruhi

oleh karakteristik dan sifat fisiko-kimia media yang digunakan, dimana termasuk porositas,

tingkat kepadatan media, kemampuan penyerapan air dan kemampuan penjerapan populasi

mikroorganisme. Titik kristis kinerja biofilter dan parameter performansi terdiri dari pH

media, suhu, kadar air media dan kandungan nutrient.

Tabel 9. Klasifikasi bioreaktor untuk pemurnian limbah gas

Tipe Reaktor Mikroorganisme Fase Air

Biofilter Terjerap Tidak bergerak

Biotrickling Filter Terjerap Bergerak

Bioscrubber Tersuspensi Bergerak

Sumber: Devinny et al. (1999)

Gambar 1. Biofilter (a), biotrickling filter (b), dan bioscrubber (c) ( Yuwono 2003).

F. BIOFILTER

Menurut Janni et al. (2000), ada beberapa metode penanganan yang digunakan untuk

mengontrol emisi gas penyebab bau yang meliputi metode fisika, kimia maupun biologi antara lain

adalah:

15

1. metode pengontrolan langsung dari sumbernya

2. penambahan bahan kimia tertentu pada limbah penyebab bau

3. menyimpan limbah pada storage (drum-drum penampungan)

4. penambahan ozon (ozonisasi)

5. teknologi plasma non thermal

6. penerapan metode biofiltrasi

Berdasarkan metode penanganan yang telah disebutkan, metode pada no. 1 hingga 5

termasuk dalam metode fisika-kimia. Dahulu metode ini banyak digunakan untuk menangani

masalah gas penyebab kebauan, namun karena biaya operasional metode ini cukup tinggi, sulit

dalam perawatan dan juga menimbulkan limbah sekunder, akhirnya metode ini telah banyak

ditinggalkan (Sun et al. 2000). Metode no. 6 adalah metode penanganan emisi gas penyebab bau

dengan biofiltrasi, metode ini merupakan pengembangan dari metode biologi. Menurut Sun et al.

(2000), biofiltrasi adalah teknologi yang digunakan untuk mengolah gas dan bau yang

biodegradable (dapat terurai oleh mikroorganisme). Metode biofiltrasi dibedakan menjadi tiga tipe

yaitu biofilter, bioscrubber dan biotrickling filter (Ottengraf 1986).

Biofilter didefinisikan sebagai packed tower deodorization apparatus atau alat penghilang

bau yang berupa tower dengan bahan pengisi didalamnya (Devinny et al. 1999). Teknik biofilter

ini terus dikembangkan sebagai alternatif teknologi untuk menggantikan metode fisika-kimia. Jika

dibandingkan dengan metode fisika dan kimia, beberapa keunggulan metode biologi antara lain

adalah biaya investasi dan pemeliharaan yang rendah, mudah perawatan, operasional alat yang

stabil pada jangka waktu lama serta tidak menimbulkan polusi baru (Cho et al. 2000).

Ditambahkan oleh Hirai et al. (2001) bahwa biofilter merupakan salah satu teknik yang efektif

sebab tidak membutuhkan wilayah konstruksi yang besar.

Menurut Ottengraf (1986), kinerja biofilter dalam penanganan gas penyebab bau dapat

dinilai berdasarkan beberapa hal berikut ini yaitu:

1. kapasitas penyerapan maksimum (g/kg-media kering/hari)

2. efisiensi penyerapan gas oleh media biofilter sekitar 95% dalam waktu yang relatif lama

3. kemampuan bahan pengisi dalam mempertahankan kondisi pH, suhu dan kadar air

Mekanisme kerja dari biofilter ini adalah melewatkan gas penyebab bau ke dalam kolom

biofilter. Pada awalnya gas-gas tersebut akan diserap oleh material padat dari bahan pengisi.

Penyerapan yang terjadi ini sering disebut dengan penyerapan secara fisik. Setelah material padat

jenuh dengan gas maka penyerapan gas akan dilanjutkan oleh mikroorganisme yang telah

membentuk lapisan tipis (biofilm atau biolayer) di dalam biofilter. Target komponen gas akan larut

atau terserap ke dalam lapisan biolayer ini, selanjutnya dioksidasi dan diuraikan oleh

mikroorganisme yang hidup dalam bahan pengisi (Yani 1999). Mikroorganisme menggunakan gas

penyebab bau sebagai sumber energi dan nutrient bagi kelangsungan hidupnya. Produk utama

yang dihasilkan dari reaksi ini adalah H2O, CO2, garam mineral, beberapa senyawa organik dan

sel-sel mikroorganisme (Degorce-Dumas et al. 1997).

G. BAHAN PENGISI

Penentuan bahan pengisi yang tepat sangatlah penting diperhatikan untuk

memaksimalkan efisiensi biofilter, sebab bahan yang dipilih akan menjadi media tempat tumbuh

bakteri, sehingga bahan pengisi dipilih yang bisa mendukung kehidupan bakteri (Hirai et al.

2001). Bahan pengisi merupakan jantung dari sebuah biofilter (Ottengraf 1986). Hal tersebut

16

karena bahan pengisi atau packing material atau filter beds merupakan inti operasional suatu

biofilter.

Menurut Hirai et al. (2001), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan bahan

pengisi untuk biofilter antara lain adalah:

1. mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi

2. mempunyai tingkat porositas yang tinggi

3. mempunyai daya memadat (compacting) yang rendah

4. tidak mengalami penurunan kinerja walaupun kadar air menurun

5. tidak berubah dalam jangka panjang

6. ringan

7. murah

8. mampu menyerap gas penyebab bau

9. mempunyai kapasitas penyangga yang tinggi terhadap produk akhir yang bersifat asam.

Bahan pengisi biofilter secara kimiawi dibagi menjadi dua jenis yaitu bahan anorganik

dan bahan organik. Bahan anorganik misalnya berasal dari kalsinat kristobalit, keramik, batu

karang, arang aktif, lava dan sebagainya. Efisiensi penghilangan bau yang dicapai biofilter

dengan menggunakan bahan pengisi anorganik ini cukup tinggi.

1. Tanah

Lapisan tanah bagian atas mengandung bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan

lapisan tanah bagian bawah. Pada lapisan atas (top soil) terdapat akumulasi bahan organik

berwarna gelap dan subur yang sangat penting untuk kehidupan makhluk didalamnya. Tiga

komponen tanah yang menyediakan nutrient adalah bahan organik, turunan bahan batuan induk

dan serpih-serpih lempung. Umumnya partikel tanah menempati lebih dari separuh rongga dalam

tanah. Rongga selebihnya yang terdapat antara partikel, disebut ruang pori, ditempati oleh air

dan udara. Kepadatan tanah didefinisikan sebagai massa per satuan volume tanah kering yang

juga mencerminkan ruang pori total dari tanah (Rao 1992).

Tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada biofilter sebab sangat murah, sangat

mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang melimpah, serta mengandung populasi mikroba yang

tinggi pula. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan kemampuan untuk menahan kehilangan

air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan gambut walaupun dalam kondisi yang

kering. Namun kekurangan dari bahan pengisi tanah yaitu mempunyai daya penurunan tekanan

yang besar dan sering terdapat garis-garis kecil pada media untuk lewat aliran udara. Tanah juga

mempunyai permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas. Tanah sangat bagus digunakan untuk

open-bed biofilter (Devinny et al. 1999).

2. Kompos Bokashi

Kompos merupakan bahan organik yang mempunyai keragaman dan kelimpahan

mikroorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang

netral. Bahan kompos mempunyai tahanan terhadap penurunan permukaan lebih tinggi

dibandingkan dengan gambut. Kompos juga cepat memadat, maka untuk memperbesar pori

media dapat ditambahkan bahan tambahan lain (Devinny et al. 1999). Kompos merupakan bahan

organik yang berfungsi sebagai pupuk yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah karena tanah

17

menjadi remah dan mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat dapat hidup dengan subur

(Wudianto 1996). Menurut Cosico (1985) pengomposan berarti suatu proses yang dapat

mengakibatkan suatu campuran bahan-bahan organik akan terurai menjadi produk akhir

(kompos) yang stabil di bawah kondisi yang optimum. Kompos tersebut dapat dipergunakan

sebagai pupuk dan penyubur tanah.

Harada et al. (1993), menyatakan bahwa bahan organik yang dikomposkan dan akan

digunakan untuk tanah pertanian sebaiknya terdekomposisi dengan baik dan tidak menimbulkan

berbagai efek yang merugikan terhadap pertumbuhan tanaman. Kompos dicirikan oleh sifat-sifat

berikut:

1. berwarna coklat tua sampai hitam

2. tidak larut dalam air meskipun sebagian dari kompos dapat membentuk suspensi

3. sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirofosfat, atau larutan amoniak oksalat

menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi humic,

fulfic, dan humin

4. nisbah C/N berkisar antara 10 – 20 (tergantung bahan baku dan derajat humidifikasi)

5. memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorbsi air yang tinggi

6. jika digunakan pada tanah, kompos memberikan efek-efek menguntungkan bagi tanah dan

pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh N, P, K, Ca, dan Mg.

7. tidak berbau

8. secara biokimiawi tidak stabil tetapi komposisinya berubah karena aktifitas mikroba,

sepanjang kondisi lingkungannya sesuai (seperti suhu dan kelembaban), yang akan dioksidasi

menjadi garam-garam anorganik, karbon dioksida, dan air.

Mutu kompos dipengaruhi oleh tingkat kematangannya. Kompos yang telah matang akan

memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah dan nisbah C/N

yang rendah. Kompos yang baik tidak mengandung bahan-bahan yang dapat merugikan

pertumbuhan tanaman dan tidak menebarkan bau yang ofensif serta kandungan airnya

mencukupi.

Kompos juga bisa digunakan sebagai bahan pengisi organik, karena memiliki keragaman

dan jumlah mikroorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta

pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan penurunan permukaan lebih tinggi

dibanding gambut (Devinny et al. 1999).

3. Serasah Daun Karet

Bahan organik tanah merupakan fraksi organik tanah yang berasal dari biomassa tanah

dan biomassa luar tanah. Sumbangan biomassa tanah dan tinggalannya yang telah mati, mula-

mula berupa serasah yang kemudian secara berangsur digabungkan dengan tanah. Penggabungan

dilakukan secara fisik oleh fauna tanah, khususnya makro fauna, atas serasah yang banyak

sedikit masih utuh, oleh air resapan infiltrasi yang membawa masuk hasil dekomposisi serasah

terlarutkan dan kolodial, serta gerakan kembang kerut tanah yang menarik masuk serasah dan

dekomposisinya (Notohadiprawiro 1999).

Serasah adalah daun-daun kering yang merupakan bahan pengisi tambahan yang

ditambahkan dalam media pengisi biofilter yang berfungsi untuk meningkatkan porositas pada

campuran bahan pengisi (Sun et al. 2000). Pemberian serasah daun karet dalam bahan pengisi,

yaitu sebagai bahan pengisi tambahan untuk memperkaya kandungan organik dalam media

18

(Liang et al. 2000). Serasah daun karet mengandung sedikit air tetapi memiliki banyak karbon

dan nitrogen (Djaja 2008).

H. ADSORPSI

Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisik atau kimia pada permukaan yang dipengaruhi oleh

suatu reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Adsorben adalah padatan atau cairan yang

mengadsorpsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorpsi. Jadi proses

adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan

cairan dengan padatan (Ketaren 1986). Menurut Setyaningsih (1995), adsorpsi adalah proses

terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan

adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan

tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Adsorpsi merupakan peristiwa terjadinya perubahan

kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase.

Walstra (2003) mendefinisikan adsorpsi sebagai proses difusi suatu komponen pada suatu

permukaan atau antar partikel. Komponen yang terserap disebut adsorbat dan bahan yang dapat

menyerap disebut adsorben. Adsorben dapat berupa padatan atau cairan. Adsorbat terlarut dalam

cairan atau berada dalam gas. Dalam proses adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan

adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul gas

atau cairan lainnya yang melibatkan ikatan intramolekuler diantara keduanya (Osmonics 2000).

Melalui proses pengikatan tersebut, maka proses adsorpsi dapat menghilangkan warna

(Kadirvelu dan Namasivayam, 2003) dan logam (Rossi et al. 2003).

Pari (1995) mengatakan bahwa ada dua metode adsorpsi yaitu adsorpsi secara fisik

(physicosorption) dan adsorpsi secara kimia (chemoisorption). Adsorpsi secara fisik terjadi

karena perbedaan energi atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Waals) sehingga

molekul-molekul adsorbat secara fisik terikat pada molekul adsorben. Jenis adsorpsi ini

umumnya adalah lapisan ganda (multi layer) dalam hal ini tiap lapisan molekul terbentuk di atas

lapisan-lapisan yang proporsional dengan konsentrasi kontaminan. Makin besar konsentrasi

kontaminan dalam suatu larutan maka makin banyak lapisan molekul yang terbentuk pada

adsorben. Adsorpsi fisik ini bersifat dapat balik (reversible) yang berarti atom-atom atau ion- ion

yang terikat dapat dilepaskan kembali dengan bantuan pelarut tertentu yang sesuai dengan sifat

ion yang diikat. Sedangkan adsorpsi secara kimia, ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia yang

kuat dan bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan energi

pengaktifan sehingga untuk melepaskannya diperlukan pula energi yang besarnya relatif sama

dengan energi pembentukan.

Menurut Setyaningsih (1995), mekanisme adsorpsi dapat diterangkan sebagai berikut:

molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (disebut

difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar, sebagian besar berdifusi

lanjut di dalam pori-pori adsorben (disebut difusi internal). Proses adsorpsi pada bahan terjadi

melalui tiga tahap dasar, yaitu: zat terjerap pada bagian luar, zat bergerak menuju pori-pori

bahan dan zat terjerap ke dinding bagian dalam dari bahan.

Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila mempunyai

daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar) dan

mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik maupun kimia

(Setyaningsih 1995).

19

Kirk dan Othmer (1957) dalam Pari (1995) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi adsorpsi suatu bahan antara lain adalah:

1. Karakteristik fisik dan kimia adsorben, seperti luas permukaan, ukuran pori dan komposisi

kimia permukaan bahan.

2. Karakteristik fisik dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul, kepolaran molekul dan

komposisi kimianya.

3. Konsentrasi adsorbat dalam fase cair.

4. Karakteristik fase cair, yaitu pH dan temperatur.

5. Lamanya proses adsorpsi berlangsung.

Kapasitas adsorpsi dipengaruhi oleh sifat adsorben. Struktur pori adsorben berhubungan

dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori adsorben, mengakibatkan luas permukaan

semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Kinetika adsorbsi dalam

penyerapan NH3 dapat digambarkan dengan model isotermis adsorbsi Freundlich. Teori isoterm

adsorbsi Freundlich mengasumsikan bahwa permukaan pori adsorben bersifat heterogen

dengan distribusi panas adsorbsi yang tidak seragam. Adapun bentuk persamaan Freundlich

sebagai berikut (Gokce 2009):

log x/m = log Kf + 1/n log Ce

dimana:

x = jumlah yang adsorbat diserap (mg)

m = berat adsorben (g)

Ce = konsentrasi kesetimbangan (mg/L)

Kf = intersep, menunjukkan kapasitas penyerapan dari adsorbent

1/n = slope yang menunjukkan keragaman adsorbsi dan konsentrasinya

Gambar 2. Mekanisme adsorbsi berdasarkan isotherm adsobsi Freundlich

(www.nature.com 2010)

x/m

(mg/g adsorbat)

Ce (mg/L)

Kurva isotherm Freundlich

Kf

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NH3 12.5%, HCl 0.1 N, H3BO3

5%, aquadest, dan bahan pengisi, yaitu tanah (bagian paling atas yang mengandung humus),

kompos bokashi, dan serasah daun karet. Tanah yang digunakan berasal dari hutan di kawasan

Cifor (Center for International Forestry Research), kompos bokashi yang digunakan berasal dari

petani pembuat pupuk organik di Desa Cikarawang (Dramaga), dan serasah daun karet yang

digunakan berasal dari perkebunan karet sekitar perumahan dosen IPB Dramaga. Alat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah cawan, oven, peralatan gelas, magnet bar, pH meter, buret,

keran udara, air pump, toples berpenutup dan timbangan.

B. METODE PENELITIAN

1. Karakterisasi Bahan Pengisi

Pada tahap ini dilakukan uji proksimat untuk masing-masing bahan yang akan

dipergunakan. Bahan pengisi berupa tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet masing-

masing akan di uji densitas, porositas, kadar air, pH, besarnya nilai C, N, dan P, C/N ratio,

water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC) (Lampiran 1). Hal ini

dilakukan untuk mengetahui kualitas karakteristik dari masing-masing bahan. Bahan pengisi

yang akan dipergunakan diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Bahan pengisi yang digunakan, (a) Tanah, (b) Kompos Bokashi, (c) Serasah Daun

Karet

(a) (b)

(c)

21

2. Penelitian Utama

Bahan pengisi berupa tanah dan kompos bokashi tidak mendapat perlakuan apapun

sebelum dilakukan pengujian. Serasah daun karet dicincang (diperkecil ukurannya) terlebih

dahulu sebelum dilakukan pengujian untuk mempermudah penelitian. Ketiga jenis bahan

pengisi ini akan dicampur atau dikombinasikan untuk mengetahui jenis kombinasi yang lebih

baik terhadap tingkat penyerapan gas polutan NH3 berdasarkan karakteristik yang diperoleh.

Dengan adanya kombinasi tersebut diharapkan akan lebih mudah mengetahui karakteristik

komposisi jika dilakukan penambahan dan pengurangan bahan tertentu, baik itu tanah,

kompos bokashi, atau serasah daun karet. Kombinasi tersebut di baca berurutan dari mulai

tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Perbandingan Komposisi bahan pengisi

Komposisi Bahan Perbandingan

Jumlah Bahan

(gram)

Kode

Tanah : Kompos Bokashi : Serasah Daun Karet

1 : 1 : 1 K111

1 : 1 : 2 K112

1 : 2 : 1 K121

1 : 2 : 2 K122

2 : 1 : 1 K211

2 : 1 : 2 K212

2 : 2 : 1 K221

3. Analisis Parameter Uji

a. Karakterisasi Campuran Bahan Pengisi

Bahan pengisi yang sudah diformulasi masing-masing dari komposisi akan

dilakukan uji densitas, porositas, kadar air, pH, besarnya nilai C, N, dan P, C/N ratio,

water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC) (Lampiran 1). Hal ini

perlu dilakukan karena pada masing-masing bahan mempunyai sifat yang berbeda-beda

sehingga sifat dari komposisi/campuran bahan juga akan berbeda juga.

b. Daya Serap Bahan Pengisi Terhadap Gas Amoniak (NH3)

Pada tahap ini masing-masing bahan pengisi dan masing-masing dari komposisi

atau campuran bahan pengisi akan dilakukan uji daya serap bahan terhadap pulutan NH3.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar daya serap masing-masing bahan

pengisi dan masing-masing komposisi/campuran bahan pengisi (g-N/g-bahan kering).

Caranya yaitu dengan meletakkan bahan pengisi dan campuran bahan pengisi di dalam

wadah tertutup dan dilakukan penimbangan setiap satu jam (Gambar 4). Penimbangan

dilakukan pada masing-masing bahan pengisi dan juga komposisi bahan hingga beratnya

22

konstan yang menandakan bahwa bahan tersebut sudah jenuh (sudah maksimal daya

serapnya terhadap polutan NH3).

Gambar 4. Alat untuk menguji daya serap bahan pengisi

c. Penentuan Bahan Pengisi dan Campuran Bahan Pengisi Terbaik

Pada tahap ini, semua data yang diperolah dari semua uji dilakukan uji ranking

untuk mengetahui karakteristik yang terbaik dari masing-masing bahan dan juga

campuran bahan. Metode ranking dilakukan dengan cara memberikan nomor urut dimulai

dari angka 1, yaitu komposisi dengan hasil pengukuran karakteristik terbaik, seterusnya

dilakukan hingga parameter uji yang telah ditentukan.

C. ANALISIS DATA

Data yang diperoleh akan disajikan dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan

grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan

(Walpole 1995). Sedangkan pengolahan datanya akan dilakukan dengan software statistik yaitu

Statistical Analysis System (SAS). Penentuan bahan pengisi terbaik dilakukan dengan

menggunakan metode ranking dengan parameter uji, kadar air, densitas, porositas bahan, pH, rasio

C/N, water holding capacity (WHC), dan ammonia holding capacity (AHC).

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3

atau 2 ulangan. Tujuh perlakuan tersebut ditentukan dari tiga jenis bahan pengisi yang digunakan.

Tiga ulangan dilakukan untuk uji densitas, porositas, kadar air, dan water holding capacity

(WHC). Dua ulangan dilakukan untuk uji ammonia holding capacity (AHC) dan daya serap bahan

terhadap amoniak (NH3). Model matematis Rancangan Acak Lengkap (RAL) dapat ditulis sebagai

berikut:

Yij = μ + αi + εij

Dimana :

i = Perlakuan ke 1, 2, ……, 6

j = Ulangan ke 1, 2, dan 3

Penutup rapat

Rak tempat meletakkan

bahan pengisi

Larutan gas amoniak (NH3) 12.5%

23

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulanagn ke-j

Data yang diperoleh diuji dengan uji F dan apabila menunjukkan pengaruh nyata maka

akan dilakukan analisis uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5%

(Mattjik dan Sumertajaya 2006).

24

D. DIAGRAM ALIR PENELITIAN

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian

Kesimpulan dan saran

Tanah

Pembuatan formulasi bahan dengan perbandingan

Tanah : Kompos Bokashi : Serasah Daun Karet

1:1:1, 1:1:2, 1:2:1, 1:2:2, 2:1:1, 2:1:2, 2:2:1

Pengujian fisik-kimia:

Kadar air

Densitas,

Porositas,

pH,

Kandungan C, N, P,

Rasio C/N

Penjenuhan dengan gas polutan NH3

Pengujian pH,

Analisis penyerapan NH3 dan N

Pengolahan data

Hasil

Water Holding

Capacity (WHC)

Ammonia Holding

Capacity (AHC)

Karakterisasi Bahan Pengisi

Karakterisasi Campuran Bahan Pengisi

Kompos Bokashi Serasah Daun Karet