ABDUL HADY. TESIS-2 Perbaiki Dr. Din Ke SAifuddin - Copy

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara hukum ( rechtsstaat ) bermakna bahwa di

dalam Negara Kesatuan RI, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Elemen-elemen esensial negara hukum ( rechtsstaat ) yang

menjadi ciri tegaknya supremasi hukum antara lain harus ada jaminan bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya selalu dan senantiasa berlandaskan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrument

pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga Negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana mempunyai peranan yang berbedabeda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundangundangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para narapidana. Salah satu di antara kewenangan penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan yang merupakan sub sistem dari sistem ketatanegaraan 1

2

Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam kedudukannya sebagai salah satu sub sistem hukum, Kejaksaan berada dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegrasi, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan sub sistem lainnya untuk mencapai tujuan dari sistem hukum tersebut. Dari aspek kelembagaan, sub sistem hukum yang lain dalam penegakan hukum di Indonesia adalah hakim, polisi,

advokat/penasihat hukum/pengacara, lembaga permasyarakatan, bahkan tersangka, terdakwa, serta terpidana. Kejaksaan Republik Indonesia memiliki kedudukan sentral sehubungan dengan penegakan hukum di Indonesia dan sebagai salah satu badan penegak hukum. Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menegaskan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kajian tentang kedudukan sentral Kejaksaan RI adalah sama dengan kajian terhadap kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia. Sudah tentu penekanannya adalah pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normatif praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.1

1

Marwan Efendi, Kejaksaan R.I. (Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005. h al. 108.

,

3

Keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami pergantian nama dan pemerintahan, fungsi dan tugas Kejaksaan tetap sama, yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan

lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 Undang-undang RI. Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2004), diatur bahwa : 1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undangundang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.

4

3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal, yaitu : 1. Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan; 2. Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang; 3. Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka; 4. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Pada bagian Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang dibidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Penuntut Umum yang lain sebagai Jaksa Penuntut Umum pengganti.

5

Dalam Penjelasan Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa istilah menjunjung tinggi adalah termasuk pengertian memberi perlindungan. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, pejabat Kejaksaan harus mengindahkan hubungan hirarki di lingkungan pekerjaannya. Mencermati pengaturan tersebut dapat dijelaskan bahwa Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa Kejaksaaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif. Apabila dilihat dari sisi kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya ambivalensi kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia. Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, Marwan Efendy yang mengutip penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undangundang RI. Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. menjelaskan bahwa : Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa seperti yang digariskan dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors .2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan merupakan bentuk pembaharuan Kejaksaan di Indonesia agar kedudukan2

Ibid ., hal. 108 .

6

dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan, dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan

kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Bila kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya ( Dual Obligation ). Marwan Efendy, mengatakan bahwa adalah suatu hal yang mustahil apabila Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Argumentasi ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung RI., sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan, dan juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan3

diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.

3

Ibid ., hal. 109 .

7

Pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan R.I. secara normatif dapat dilihat dalam Pasal 30 dalam Undang-Undang RI. Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. yaitu : (1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penututan ; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaaan dengan kekuasaan khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijaksanaan penegakkan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f.Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) Huruf a dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan

dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna

8

dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Lebih lanjut mengen ai hal ini Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yang dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga memberikan pengertian Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, Jaksa wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut 1. menerima dan memeriksa berkas perkara ; 2. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan ;4

:

Keputusan Menteri Kehakiman RI, Nomor : M.01.PW.07.03 Tahun 1982, tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , Bumi Aksara, Jakarta, 1990, h al.297.

4

9

3. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ; 4. membuat surat dakwaan ; 5. melimpahkan perkara ke pengadilan ; 6. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan kepada terdakwa maupun saksisaksi ; 7. melakukan penuntutan ; 8. menutup perkara demi kepentingan hukum ; 9. melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung-jawab sebagai penuntut umum ; 10. melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian jelaslah bahwa uraian tugas dan wewenang Kejaksaan ada yang bersifat represif dan ada yang bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dimaksud dengan fungsi turut menyelenggarakan adalah mencakup kegiatan-kegiatan membantu, turut serta, dan bekerja sama dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Dalam bidang melakukan ketertiban dan ketentraman umum tersebut, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengawasan peredaran barang cetakan, pengawasan

10

aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam hal tersebut

Kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, telah menjadi pengetahuan publik bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin hari semakin menipis. Hal ini tercermin dengan fenomena di mana masyarakat mulai mengambil jalan pintas untuk main hakim sendiri dan enggan untuk mengadukan atau melaporkan terjadinya suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh pandangan sebagian masyarakat bahwa proses penyelesaian hukum melalui lembaga peradilan penuh dengan permainan, seringkali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara ( Dominus Litis ),

mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Di samping sebagai penyandang Dominus Litis ,

Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar ). 5 Pasal 1 butir 7 KUHAP memberikan batasan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilanAnnonimous, Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Supremasi Hukum http://wijatobone.blogdetik.com/tag/ Diakses Februari 2011 .5

11

negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dikutip Andi Hamzah mengatakan bahwa : Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan memutus perkara pidana itu terhadap terdakwa. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa penuntutan adalah perbuatan penuntut umum menyerahkan perkara pidana kepada hakim untuk diperiksa dan diputus. 6 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah dilengkapi oleh penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan menurut Pasal 139 KUHAP.7

Apabila penuntut umum telah mengambil

langkah untuk melakukan penuntutan, maka dengan tindakan itu ia menyatakan pendapatnya secara positif, meskipun bersifat sementara, bahwa terdapat cukup alasan untuk mendakwa bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan seharusnya dijatuhi hukuman pidana.8

Penuntut umum (dalam hal ini kejaksaan atau kepala kejaksaan negeri) setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik, segera menunjuk salah seorang jaksa (calon penuntut umum) untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian atas hasil penelitiannya jaksa6

Andi Hamzah,

Hukum Acara Pidana Indonesia

. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, .

hal. 157 . Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal Demi Hukum Djambatan, Jakarta, 1998. h al. 87. 8 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana . Akademika Pressindo., Jakarta, 1985, h al. 4.7

12

tersebut mengajukan saran kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) antara lain: (1) Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan oleh penyidik. Hal ini oleh Pasal 14 KUHAP disebut prapenuntutan ; (2) Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas ; (3) Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran disetujui, maka diterbitkan surat ketetapan. Atas surat ketetapan dapat diajukan praperadilan ; (4) Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukkan penuntut umum. Penunjukkan penuntut umum ini biasanya serentak dengan penunjukkan penuntut umum pengganti yang maksudnya jika penuntut umum berhalangan, maka penuntut umum pengganti yang bertugas (Pasal 198 KUHAP). Dalam hal ini, penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang diajukan kepada pengadilan negeri. Walaupun perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, masih memungkinkan bagi penuntut umum untuk mengubah surat dakwaan, hal ini diatur dalam Pasal 144 KUHAP.9

Dalam kaitannya dengan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum, maka eksistensi surat (requisitoir) merupakan bagian

yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan (requisitoir) dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan dalam Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Surat mencantumkan tuntutan jaksa penuntut umum

sebagaimana dimaksud tuntutan9

(requisitoir)

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyelidikan dan Penyidikan . Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h al. 19-20.

13

terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa. Berbeda dengan surat dakwaan yang disampaikan di awal persidangan, belum ada ancaman pidananya, dan disusun berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan penyidikan polisi/Penyidikan Penyidik PNS. Berlainan dengan Surat Tuntutan, maka Fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir) , sebagai dasar pembuatan

pembelaan terdakwa dan atau pembelanya, sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan

selanjutnya. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.10

Selain itu, dalam hal percepatan pelayanan dan penyelesai perkara pidana dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana Lembaga Kejaksaan juga berpedoman pada ketentuan

an

Surat Edaran Jaksa

Agung R.I Nomor: SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana dan Surat Edaran Jaksa Agung R.I Nomor : SE -003/A/JA/02/2009

tentang Penge ndalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum Jo Surat Edaran Jaksa Agung R.I Nomor : SE -

010/A/JA/12/2010 tentang Penge

ndalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara

Penting Tindak Pidana Umum. Kedua Surat edaran tersebut pada intinya10

E Sasrodanukusumo,

Tuntutan Pidana . Jakarta: Siliwangi, Jakarta, 1998, h

al. 236.

14

adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan bagi pencari keadilan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana. Kemudian untuk menindaklanjuti Surat Jaksa Agung R.I Nomor : SE010/A/JA/12/2010 tanggal 23 Desember 2010 tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mengeluarkan petunjuk kepada seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia dan Kajati meneruskan kepada Kajari dan Kacabjari di daerah hukumnya, sebagaimana Petunjuk JAM PIDUM tersebut dengan surat Nomor : R-78/E/Ep.2/01/2011, tanggal 27 Januari 2011 tentang Tolok Ukur tuntutan pidana perkarar narkotika, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya disparitas tuntutan, khususnya dalam perkara narkotika. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas kewenangan pembuatan rencana tuntutan oleh Kejaksaan RI terhadap suatu perkara pidana sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana B. Identifikasi Masalah Dalam penulisan penelitian tesis ini pemasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah: 1. Apakah pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian perkara pidana telah berjalan sebagaimana mestinya ? 2. Apa kah faktor penyebab terjadinya hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana ? .

15

3. Apa kah upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana ? C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan sistem penuntutan dalam penyelesaian perkara pidana telah berjalan sebagaimana mestinya. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab terjadinya dalam penyelesaian

hambatan dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan rencana tuntutan pidana . Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum secara akademis khususnya guna menambah khazanah bacaan bagi perpustakaan hukum mengenai sistematika peradilan pidana khususnya tentang penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan Negeri oleh lembaga Kejaksaan RI. dalam penyelesaian perkara

16

2. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan untuk memberi pemahaman pada praktisi hukum, termasuk pula dalam hal ini para pihak dan instansi terkait sistematika peradilan pidana khususnya tentang penyusunan rencana tuntutan dalam penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan Negeri oleh lembaga Kejaksaan RI merupakan masukan bagi peningkatan kinerja . Di samping instansi/institusi dapat

Kejaksaan RI.

D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian yang ada di lingkungan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, penelitian mengenai Perkara Pidana , Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian

ini belum pernah dilakukan dalam topik dan

permasalahan-permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas

keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

17

E. Kerangka Pikir Kerangka pikir yang dimaksud dalam penulisan ini adalah pemikiran teoritis yang digunakan dalam menganalisis permasalahan dalam penlitian ini. Kerangka pemikiran menurut Didi Atmadilaga yaitu merupakan hal yang esensial pada kegiatan penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis (konsepsional) dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang menjadi objek penelitian. Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam penelitian tesis ini, maka penelitian ini menggunakan teori kewenangan dan teori kepastian hukum yang dikaitkan dengan Azas peradilan. Dalam ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah and the ruled .11 Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah(the rule Max

Miriam Budiardjo, 1999, hal 35-36 .

11

Dasar-Dasar Ilmu Politik

, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

18

kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.12

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan. Jadi kewenangan yang dimaksud14

13

adalah hal ini adalah kewenangan

untuk mewujudkan tujuan hukum yang pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat di nilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.15

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah: mewujudkan keadilan ( rechtsgerechtigheid ), kemanfaatan ( rechtsutiliteit ) dan kepastian hukum ( rechtszekerheid ). 16 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagaiA. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h al. 52. 13 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang , Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, h al. 1. 14 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan , Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, h al. 37-38. 15 Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem , Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, h al. 79. 16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, h al. 85.12

19

ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, melahirkan ajaran mengenai keadilan (

17

telah

justice) . Smith mengatakan bahwa: the end of

tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian ( justice is to secure from injury ). 18

Pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, menjelaskan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan

wewenang (competence) . Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Apabila ditelaah secara umum fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.19

Pada sisi

lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihakBismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi , Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU Medan, 17 April 2004, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, Adam Smith On Law , Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981, h al. 244. 18 Ibid , sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund , 1982, h al. 9. 19 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum , Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, h al. 25.17

20

lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum. Kewenangan tersebut antara lain dikenal dengan tindakan Upaya Paksa dari penegak hukum, yang dalam hal ini melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan ( penyiksaan ( torture ). 20 violence ) dan

Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem

peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum. Pelaksanaan kewenangan ini pada dasarnya memberikan keadilan dan kepastian hukum. Dalam hal ini mengatakan bahwa : bertujuan untuk O.C Kaligis ,

Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungannya yang dijalankan melalui suatu mekanisme hukum merupakan refleksi dari konsep negara hukum. Setiap negara huk um memiliki kewajiban untuk menj amin dan menghormati HAM, melindungi serta menega kkannya. Mekanisme negara hukum telah mengakui bahwa sejak lahir manusia 21 membawa hak-hak yang melekat dalam dirinya sebagai manusia. Sistem peradilan pidana ini dijalankan dengan berlandaskan asas asas hukum ya itu aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkr et dan pelaksanaan

hukum. Dalam bahasa Inggris, kata asas diformatkan sebagai principle , Ada tiga pengertian kata asas:1) hukum dasar, 2) dasar

Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaam Kedudukan dalam Hukum , Alumni, Bandung, 2003, h al. 6. 21 O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2006, h al.12 .

20

21

sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan 3) dasar citacita. Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.22

Salah satu asas hukum pidana Indonesia adalah asas

yang berlaku dalam sistem peradilan the right due process of law , yaitu bahwa

setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum oleh karena itu prinsip due process of law tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Artinya menekankan harus ada keseimbangan dalam penegakan hukum, yaitu antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi seorang yang diduga pelaku tindak pidana (tersangka). Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka oleh aparat penegak hukum selanjutnya akan menimbulkan dalam menegakan keadilan) miscarriage of justice (kegagalan

. Dimana penegak hukum yang mempunyai

kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan.23

Bagi integritas moral proses pidana

(moral

integrity of the criminal proses) keadilan (miscarriage of justice)

sendiri, kegagalan dalam menegakan ini akan berakibat fatal, yaitu dapat

merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.22 23

Marwan Mas. Pengantar Ilmu Hukum . Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h Ibid , hal.12 .

al. 95.

22

Selain itu, dalam proses peradilan pidana juga asas justitie , yaitu merupakan

contante

asas peradilan cepat, sederhana dan biaya

ringan . Asas tersebut yang dianut dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan Hakim), merupakan bagian hak-hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam Undang-Undang tersebut.24

Apabila ditelaah dalam ketentuan KUHAP Indonesia beberapa asas peradilan yang pokok, yaitu : 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka

diketahui ada

hukum dengan tidak

mengadakan pembedaan perlakuan (asas persamaan di muka hukum). 2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya

dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang ( berwenang ). 3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah presumption of innocent ). = asas perintah tertulis dari yang

24

Andi Hamzah.. Hukum Acara Pidana Indonesia

. Sinar Grafika, Jakarta, 2006, ha

l.11.

23

4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut). 5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsek wen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak). 6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya (asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya). 7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum (asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan). 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (asas hadirnya terdakwa).

24

9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang, misalnya pemeriksaan terhadap kejahatan kesusilaan pengadilan anak-anak, yang menurut sifatnya perlu dilakukan dalam sid ang tertutup, keputusannya harus

dilakukan secara terbuka. (asas pemeriksaan dimuka umum). 10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang pengawasan pelaksanaan putusan). Undang-Undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the bersangkutan (asas

law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (penjelasan atas Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI). Negara hukum tidak dapat di wujudkan apabila kekuasaan negara

masih bersifat absolut atau tidak terbatas, karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa kekuasaan negara harus di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.25

Jadi pada negara hukum dapat dipahami,

bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan suatu normaFranz Magnis Suseno, Etika Politik (Pinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaran Modern ), PT Gramedia, Jakarta, 2003, h al. 295.25

25

obyektif yang mengikat pihak yang memerintah. Adapun yang dimaksud dengan norma obyektif adalah hukum yang tidak hanya berlaku secara formal tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea hukum. 26 Sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of powers ). Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, oleh karenanya perlu adanya suatu intitusi hukum yang membatasinya dan mengontrolnya. Institusi hukum tersebut yakni konstitusi.27

Menurut Arsitoteles yang dikutip Azhary, mengatakan bahwa : Suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia mengatakan: aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak. Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh Bangir Manan karena konstitusi secara ensensi mengandung makna pembatasan kekuasaan pemerintah dan perlindungan hak-hak rakyat dari tindakan sewenangwenang pemerintah.29

28

Ibid. Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analitis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya), UI-Press, Jakarta, 1995, h al. 20 . 28 Ibid ., h al. 20 . 29 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan , PSH FH UII, Yogyakarta,1999, h al. 13 .27

26

26

Hakikat pengertian konstitusi tersebut jika dikaitkan dengan pengertian pemerintah dalam arti luas (l egislative, excecutive dan

yudikative ) adalah sebagai sarana pemisahan dan pembagian kekuasaan. Artinya konstitusi mengatur pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan pemerintah. Sebagaimana diketahui, pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. Pemisahan dan pembagian ini ditujukan untuk menciptakan suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus mencegah kekuasaan esekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.30

Selain itu, menurut M. Elizabeth

Magill pemisahan kekuasaan dalam ketentuan konstitusi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mengontrol kekuasaan negara dengan memisahkannya kedalam tiga kekuasaan yang berbeda, dan memberikan jaminan terhadap pemisahan tersebut.31

Demikian juga halnya untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini kaedah positif terimplikasi kepada : bahwa dalam negara

manapun semuanya mengakui adanya suatu asas persamaan dalam hukum di depan hukum atau rule of law meliputi : 1. Supremacy of law30 31

equality before the law,

seperti asas hukum

yang dipakai dalam Negara

anglo saxon bahwa rule of law

(supremasi hukum)Op. Cit ., hal.301 .

Franz Magnis Suseno, Ibid .

27

2. Equality before the law

(persamaan kedudukan dalam hukum) (Pengakuan Hak Asasi Manusia) .32

3.Constitrution based on human right

Secara teoritis, Presiden atau pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan ( regelen ) maupun dalam lapangan pelayanan

(besturen ). Penyelenggaraan pemerintah yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.33

Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi Dalam konsepsi walfare state. welfare state. Seperti halnya Indonesia. Tugas utama pemerintah adalah34

memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Pemikiran tentang teori kekuasaan negara sebagaimana dijelaskan di atas, baik dalam konsep pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan tidak memberikan penjelasan dimana kedudukan Kejaksaan RI.32 33

Miriam Budiarjo ,Op.Cit, hal.25 . Ibid . 34 Prajudi, Hukum Administrasi Negara

, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h

al.27.

28

(lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan). Jaksa memahami bahwa sebagai kuasa hukum ( legal representative ) dari Kepolisian RI. dan

untuk menjelaskan pendapat-pendapat pihak kepolisian dihadapan pengadilan atau Jaksa dapat pula mengambil peran sebagai konsultan hukum ( Domestik legar adviser ) yang memberikan nasehat hukum kepada polisi bagaimana melaksanakan prosedur-prosedur hukum. Di lain sisi, Jaksa menganggap dirinya sebagai pihak yang utama dalam mewakili pengadilan dalam melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, dalam konsepsi walfare state , tindakan pemerintah

tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada Freies Ermessen, yakni kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan

sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. 35 Apabila dikaitkan dengan objek penulisan dalam hal ini mengenai penyusunan rencana penuntutan dalam penyelesai an suatu tindak pidana

merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang melibatkan para aparat penegak hukum. Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut Friedman, yaitu: 1. Fungsi kontrol sosial ( social control ). Menurut Donald Black bahwa semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.35

Ibid .

29

2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa ( dispute stlement ) dan konflik ( conflict ). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil ( micro ). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik. 3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial ( retribution function and social engineering function ). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah. 4. Fungsi pemeliharaan sosial ( social maintenance function ). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya ( rule of the game ). 36 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work ) yang ditetapkan oleh suatu Undang-undang atau hukum. Dalam upaya penegakan hukum ini diperlukan adanya suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem Penegakan Hukum Pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah Kekuasaan kehakiman.38 37

Bertolak dari pemikiran tersebut, maka kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana terdiri dari: a. Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan)Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum Radjagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 69-70 . 37 Ibid . 38 Barda Nawawi Arif, Peranan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu http://fitrohlaw.blogspot.com/html , Diakses Maret 2011.36

, ,

30

b. Kekuasa n Penuntutan (Badan Penuntutan) c. Kekuasan Me ngadili (Badan Pengadilan), dan d. Kekuasaan Pelaksana pidana (Badan Eksekusi) .39

Keempat kekuasaan tersebut adalah merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( system ). Mahmud integrated criminal justice criminal

Mulyadi mengatakan bahwa dalam teori

justice system mempunyai tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara mater il ( criminal law ), hukum pidana formil ( procedure ), hukum pelaksanaan pidana ( the law of criminal ).

the enforcement of criminal law

Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Sistem peradilan pidana (criminal justice system)40

merupakan suatu

sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui kompenen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. Sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia

dapat dilihat dari berbagai mekanisme dan sistem sebagaimana diaturIbid . Mahmud Mulyadi, Sistem Peradilan Pidana , Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU, Medan, 2004, h al . 41 .4039

31

dalam Undang -Undang RI. Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Kelembagaan yang termasuk dalam sistem tersebut adalah: Pertama, Penyelidik dan penyidik (Kepolisian RI), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang R .I Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian R selaku Pengemban Fungsi Kepolisian, dibantu oleh Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kedua , Penuntut adalah Kejaksaan sebagaimana tertuang dalam UndangUndang R .I Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R .I, diberikan .I,

wewenang tambahan melakukan penyidikan atas tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Ketiga, Pengadilan yang menurut Undang-

Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim, menjadi lembaga yudikatif, terpisah dari lembaga eksekutif, dibantu oleh Panitera dan Staf, yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Keempat, Penahanan (Lembaga

Pemasyarakatan), mengelola Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka pemidanaan dan pengelola Rumah Tahanan (Rutan) dan Rumah Penitipan Barang Sitaan (Rupbasan). Keempat institusi ini merupakan jalinan yang harus bekerja dalam sistem guna mewujudkan tujuan pembangunan bidang hukum acara pidana agar mayarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta tercapai dan ditingkatkannya pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Kemudian, guna mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum,

32

maka keempat institusi tersebut harus seiring sejalan dalam proses penegakan hukum. Namun dalam pelaksanaan tak jarang ditemui berbagai Criminal

penyimpangan terhadap sistem yang selama ini diatur Undang. Justice System

adalah masalah Pelayanan Publik oleh Pemerintah dan privacy

dituntut kesadaran untuk penghormatan terhadap hak-hak asasi dan

warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memperluas cakupan penanganan Criminal

justice System seyogyanya, sementara belum ada pengganti acuannya maka dipergunakan terlebih dahulu KUHP yang ada. Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak secara dinamis. Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarik-menarik dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan ketidak ketidakteraturan hukum ( oleh Charles Sampford.41

teraturan, inilah yang disebut dengan teori Theories of legal disorder ) yang dikembangkan

41

HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Rafika Aditama, Bandung , 2005, h al. 105-108.

33

Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena keteraturan tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.42

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang akan digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain: 1. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan ; 2. Rencana Tuntutan adalah Persiapan Jaksa Penuntut Umum untuk membuat tuntutan atas perkara pidana yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri ; 3. Perkara Pidana adalah perkara yang terjadi akibat adanya pelanggaran atau tindakan yang melanggar ketentuan hukum pidana ;

4. Penyelesaian Perkara Pidana adalah prosedur penyelesaian suatu perkara pidana mulai dari penanganan perkara pidana dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai pada pembinaan narapidana oleh pihak lembaga pemasyarakatan ;

Mochtar Kusumaatmaja , Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional , Bina Cipta, Bandung 1986, h al. 3.

42

34

5. Pengadilan Negeri Banda Aceh adalah lembaga yang berwenang menjalankan proses peradilan dalam wilayah dan daerah hukum Kota Banda Aceh ; 6. Kejaksaan R.I adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan ; 7. Kejaksaan Negeri Banda Aceh adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara khususnya dalam bidang penuntutan dengan daerah hukumnya Kota Banda Aceh F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif , dimana fakta-fakta keadaan .

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya, yang bertujuan untuk mengangkat fakta-fakta, keadaan, variable, dan fenomena-fenomena yang terjadi ketika penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya baik berupa aspekaspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa dalam penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri. Dari segi43

Pendekatan ,

penelitian

ini

mempergunakan

pendekatan yuridis normatif43

untuk mengkaji peraturan-peraturan dan

Lexy J. Moleong, Tipe Penelitian Deskriptif Kualitatif, Buku Metodologi Penelitian, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, h al. 3 dan 6.

35

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan yang diberikan

tugas atau kewenangan

penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa dalam

penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri. Penelitian kualitatif juga dimaknai sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.44

Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif

bercirikan latar alamiah, manusia sebagai alat(instrument), metode kualitatif, analisis data secara induktif, teori dari dasar, deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain bersifat sementara, hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. 2. Objek Dan Lokasi Penelitian Objek penelitian adalah pelaksanaan penyusunan rencana tuntutan oleh pihak Kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana Kejaksaan Negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan merupakan di45

. Adapun Kejaksaan

Negeri yang dijadikan objek penelitian adalah Kejaksaan Negeri Banda Aceh yang wilayah kerjanya di Kota Banda Aceh. Lokasi penelitian adalah di Kota Banda Aceh, yaitu pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh yang wilayah kerjanya di Kota Banda Aceh. Kejaksaan Negeri Banda Aceh dan Pengadilan Negeri BandaLexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 2006, h al. 4. 45 Ibid, hal.11-13.44

PT. Remaja Rosda Karya, Bandung,

36

Aceh dipilih dengan alasan dalam penyusunan rencana tuntutan perkara pidana masih ditemukan adanya hambatan sehingga menghambat proses penuntutan perkara pidana di Pengadilan Negeri Banda Aceh. 3. Sumber Data Bahwa karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, maka sumber data dalam utama adalah sumber tertulis dalam bentuk sebagai berikut: a. Bahan hukum primer , yaitu merupakan bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide), seperti : peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan objek penelitian. b. Bahan hukum sekunder , yaitu merupakan bahan pustaka yang

meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan penemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. c. Bahan hukum tersier , yaitu bahan hukum yang berfungsi

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka seperti kamus hukum dan kamus lainnya yang menyangkut penelitian ini. 4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam

penelitian ini adalah dokumentasi atau riset kepustakaan (telaah pustaka). Dalam kaitannya dengan teknik ini, maka fokus riset

37

dilakukan terhadap tiga jenis sumber data yaitu bahan hukum primair, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Di samping melakukan pengumpulan bahan hukum, juga dikumpulkan data primer yang dilakukan dengan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap para pihak yang berkaitan dengan penyusunan rencana tuntutan oleh jaksa (penuntut umum) dalam

penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri sebagai narasumber yang terdiri dari Informan. Penentuan informan ini dilakukan terhadap para pihak yang menangani perkara pidana di Pengadilan Negeri Banda Aceh, dimana penelitian ini didasarkan pada tujuan tertentu karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.

Informana. Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh. b. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh terdiri 3

orang.c. Penyidik pada Seksi Tindak Pidana Umum

pada Keja ksaan Negeri

Banda Aceh terdiri 2 orang.d. Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh terdiri 2 orang. e. Jaksa pada Pemeriksa Pengawasan Keja

ksaan Tinggi Aceh terdiri 1

orang.

38

f. Terdakwa yang terlibat dalam tindak pidana yang terdiri 2 orang. g. Staf LBH Banda Aceh 1 orang. h. Tokoh Masyarakat.

Karena informan tersebut merupakan para pihak yang menangani perkara dan yang berpekara serta pemerhati hukum yang berlaku, maka wawancara dilakukan secara semistruktur. Dalam hal ini peneliti memberi pertanyaan baik berupa pada saat pemeriksaan saksi ketika penuntut umum yakin dengan 2 (dua) alat bukti yang mendukungnya maupun pada tahap tuntutan pidana, penuntut umum saksi-

sering kali memohon kepada majelis hakim untuk menunda persidangan dengan alasan tuntutan belum selesai, padahal dalam penyelesaian perkara pidana peradilan kita menganut azas cepat, singkat dan biaya ringan sehingga para terdakwa memperoleh kepastian hukum bagi dirinya. 6. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dianalisis berdasarkan metode kua litatif, yaitu dengan melakukan:4646

46

Soerjono Soekanto,

Pengantar Penelitian Hukum,

Grafindo, Jakarta, 2006,

hal. 225 .

39

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah terhadap penyusunan rencana penuntutan ;

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan .47

Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hasil seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif.48

G. Sistematika Penulisan Guna mempermudah dalam pemahaman terhadap permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, maka pembahasan dan penulisannya dibagi dalam 4 bab, yaitu :

Ibid. , hal. 226 . Lexy J. Moleong, Bandung, 2002, h al.103 .4848

4747

Metodologi Penelitian Kualitatif

,

Remaja Rosdakarya,

40

Bab I merupakan Bab menguraikan Latar Belakang

Pendahuluan yang di dalamnya Dan

Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan

Kegunaan Penelitian, Keaslian Penelitian, Kerangka Pikir, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II adalah bab yang berisi Landasan Teoritis yang berjudul Kewenangan Kejaksaan R.I Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana . Di dalam bab ini diuraikan tentang Dalam Sistem Peradilan Pidana Kewenangan Kejaksaan R.I (SPP) dan

, Sistem Peradilan Pidana

Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana

Di Indonesia, Azas Contante Justitie

Merupakan Azas Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan, Pada Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia .

BAB III adalah hasil penelitian mengenai Gambaran Umum Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Di dalam bab ini dibahas tentang Sejarah Perkembangan Lembaga Kejaksaan Di Indonesia, Peranan Kejaksaan R.I di Indonesia , Tugas Dan Wewenang Kejaksaan Lembaga Penuntut an Dalam Proses Peradilan Pidana Lembaga Kejaksaan R.I . Bab IV adalah bab hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diteliti, yang berjudul Rencana Tuntutan dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Pengadilan Negeri. Di dalam bab hasil penelitian ini dibahas tentang Pelaksanaan Sistem Penuntutan Penyelesaian Perkara Pidana, Hambatan yang Dihadapi Dalam Dalam R.I sebagai

serta Pengawasan

Penyusunan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan

41

Upaya yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan Rencana Tuntutan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Bab V adalah Bab Penutup yang menguraikan tentang Kesimpulan dari hasil penelitian yang kemudian juga disertai dengan beberapa Saran.

BAB II LANDASAN TEORITIS KEWENANGAN KEJAKSAAN R.I DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Kewenangan Kejaksaan R.I Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku dapat dikatakan subyek tindak pidana. Terjadinya tindak pidana adalah karena adanya perilaku atau

perbuatan manusia yang melanggar ketertiban umum terhadap aturan hukum dan perbuatan itu akan menimbulkan ketidaktenteraman dalam masyarakat. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi

42

tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.49

Moeljatno membedakan antara dua istilah mengenai tindak pidana dan perbuatan jahat, yang dalam hal ini dapat dipidananya perbuatan lain halnya dengan dapat dipidananya orangnya.50

Pandangan seperti ini disebut opposite dari pandangan

dengan pandangan dualistis yang merupakan monistis, yang melihat

keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu

kesemua merupakan sifat dari perbuatan. Di samping hal-hal di atas, unsurunsur tindak pidana pun di bagi menjadi 2 (dua) golongan. Ada unsur

tindak pidana yang dualistis dan ada yang monistis. Perbuatan pidana ini menurut sifat dan wujudnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Dalam hal ini juga termasuk dengan tidak melaksanakan ketentuan yang diatur dalam suatu perundang-undangan, seperti halnya tindak pidana makar yang membahayakan kehidupan bernegara dan masyarakat. Tegasnya mereka merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata tertib dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil.51

49

Adami Chazawi, Hukum Pidana . Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

hal. 1.

4450

51

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana . Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h al. 3. Djoko Prakoso, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia , Liberty, Yogyakarta, 1998,

hal. 20 .

43

Menurut Simon sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso : Hukum pidana adalah perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dengan suatu nestapa (pidana). Sedangkan hukum pidana menurut Van Hamel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut. 52 Di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas, yaitu apa yang sering disebut dengan azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenalle (tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya). Lebih lanjut Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit , peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum. Alasan lain adalah bahwa dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama , adanya kejadian yang tertentu, dan53

Kedua

adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu perbuatan pidana, maka yang paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat, adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si pembuat. Dengan berpedoman pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno akhirnya menegaskan :Ibid ., hal. 24. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana 2002, h al. 54.53

52

, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta,

44

1. bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling , kelakuan atau tingkah laku ; 2. bahwa pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.54

Kata feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja tetapi termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana.55

Pendapat di atas terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit yang diketengahkan. Pemakaian istilah ini, dinilai kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari strafbaarfeit itu sendiri, yakni adanya pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku. Dengan pemisahan ini maka terlepaslah salah satu elem en dari strafbaarfeit dan bila demikian halnya, padanan kata ini dikesampingkan. Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit ini

adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya dengan peristiwa pidana sebagai berikut : Secara harafiah perkataan strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui

5455

Ibid., hal. 56. Ibid., hal. 56-57.

45

bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai 56 pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat. 57 Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan. Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat ( dader ) yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (unsur subjektif).58

Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga

mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku di dalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk tindak pidana.P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h al. 181. 57 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum , Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, h al. 338. 58 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia , Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989, h al. 390.56

46

Hukum

pidana

merupakan

sarana

yang

penting

dalam

penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umu mnya dan

korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang

utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.59

Menurut Moeljatno tindak pidana adalah : Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.60

Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatan manusia,

yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan, dengan ancaman pidana ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan yang berupa kejadian yang ditimbulkan orang yang melanggar larangan, dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. UntukSyafrinadi, Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pembunuhan, Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006, h al. 1. 60 Moelyatno, Op.Cit ., hal 71.59

Hukum

47

menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana. Merupakan pengertian merujuk pada dua keadaan yaitu pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu. Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan fungsi di bidang penuntutan. Pengertian penuntutan adalah suatu

tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yang dalam hal ini dan cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa oleh Hakim di Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka (7) KUHAP dan Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004. Selanjutnya dalam Pasal 2 angka (1) UU No 16 Tahun 2004, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini yang disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar hukum.

48

Tugas dan wewenang Kejaksaan RI, secara normatif, khususnya dalam hal penanganan perkara pidana, dapat dilihat di beberapa pasal dalam ketentuan UU No. 16 Tahun 2004, antara lain ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam ketentuan di atas, ada hal yang baru diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004, yaitu mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan dalam melakukan Penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf d bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

49

jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula halnya pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh, di mana Jaksa yang ditunjuk sebagai penuntut umum menjalakan tugas layaknya lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang khususnya KUHAP dan KUHAP dan Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004 dan berbagai ketentuan lain yang berkaitan dengan penyidikan dan penuntutan.61

Demikian pula halnya dalam hal kewenangan kh

usus di bidang

tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi Jaksa disamping sebagai penuntut dalam sistem peradilan pidana juga dapat berperan sebagai penyidik. D alam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi. 62 Keterangan tersebut di atas menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa Tugas dan Wewenangan Kejaksaan termasuk dalam hal ini

Kejaksaan Negeri Banda Aceh tidak hanya sebagai sebagai Lembaga61 62

Mukhzan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 2 Mei 2011 Nilawati, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 3 Mei 2011

50

Penuntut dalam Proses Peradilan Pidana tetapi juga dapat berperan dalam penyidik terhadap tindak pidana tertentu. Akan tetapi dalam penulisan ini pembahasan hanya dibatasi pada peran kejaksaan sebagai lembaga penuntut. Dalam menjalankan Kewenangan Kejaksaan juga melalui berbagai

proses mulai dari menerima perkara hasil penyidikan penyidik sampai pada pada pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam penyusunan suatu tuntutan jaksa berwenang mengajukan prapenuntutan. Prapenuntutan merupakan

wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Jaksa Penuntut telah menerima dan memeriksa hasil penyidikan dari Penyidik( Kepolisian /PPNS) berikut bukti-buktinya, dan kemudian berpendapat hasil penyidikan belum lengkap dan sempurna, maka atas dasar itu, Jaksa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya. Misalnya, tambahan dan merinci tindakan tersangka dan mencari bukti lainnya yang akan memperkuat dugaan pelanggaran tersebut dan sebagainya. Dalam kaitan ini, penyidik segera melaksanakan permintaan penuntut umum. Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa

pemeriksaan pendahuluan sudah lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum harus memperhatikan dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan tersangka. Bagi tersangka, Jaksa Penuntut Umum memberikan kesempatan untuk persiapan pembelaan

51

dirinya. Bagi kepentingan umum adalah untuk menghindari sejauh mungkin jalan menghentikan penuntutan demi kepentingan umum.63

Dalam hal penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak menuntut, maka harus menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua macam keputusan tidak menuntut yang dibenarkan KUHAP. penghentian penuntutan karena alasan teknis. Kedua, Pertama, Penghentian

penuntutan karena alasan kebijakan. Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan, yaitu apabila tidak cukup bukti, peristiwanya bukan tindak pidana korupsi dan Kalau perkaranya ditutup demi hukum. Kewenangan untuk menghentikan penuntutan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan (diskresi) penuntutan yang dijalankan bersumber dari asas yang dikenal sebagai asas oportunitas atas kebijakan penuntutan. Dalam asas oportunitas64

Jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak63 64

Mukhzan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 2 Mei 2011 Nilawati, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Wawancara Tanggal 3 Mei 2011

52

dikehendaki, atau apabila penuntutan itu akan lebih merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan dilakukan. Dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 35 huruf c Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kepentingan umum yang dimaksud adalah

kepentingan bangsa dan

Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan opportunitas yang hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negera yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Guna mengimplementasikan tugas dan kewenangan Kejaksaan, sesuai dengan dengan perencanaan stategis Kejaksaan maka telah disusun Visi Kejaksaan, yaitu mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan

menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, ditetapkan misi Kejaksaan yaitu :

a. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum; b. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM; c. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

53

Dalam penentuan arah kebijakan yang baik guna mewujudkan visi dan misi penegakan hukum tersebut, maka diperlukan langkah-langkah strategis yang bersinergi dengan pelaksanaan tugas pokok dan wewenang dari kejaksaan itu sendiri, termasuk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Langkah-langkah strategis tersebut tertuang dalam berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu memperlancar upaya kejaksaan dalam menegakkan supremasi hukum seperti yang diharapkan oleh masyarakat selama ini.

B. Sistem Peradilan Pidana Pidana Di Indonesia

(SPP) Dan Tahapan Pemeriksaan Perkara

1. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Perkembangan penegakan hukum di Indonesia saat ini masih menjadi sorotan seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Kondisi hukum di Indonesia kembali mengalami kegamangan khususnya dalam penegakan hukum. Berbagai cara telah dilakukan, misalnya dengan mengandalkan institusi penegakan hukum yang sudah ada, bahkan pembentukan berbagai komisi hukum dan penempatan berbagai individu yang professional dan berkualitas serta bebas dari kepentingan, namun upaya-upaya ini belum mampu men hukum di Indonesia. Dari sekian banyak bidang hukum, maka dapat dikatakan bahwa bidang hukum pidana (termasuk sistem dan proses peradilan pidananya) ingkatkan citra

54

menempati urutan pertama yang tidak hanya mendapat sorotan, tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa lainnya. Proses peradilan pidana yang berawal dari tahap penyelidikan oleh kepolisian, akan berpucak pada penjatuhan pidana dan dieksekusinya pelaku ke lembaga pemasyarakatan. Penjatuhan pidana kepada pelaku oleh pengadilan merupakan upaya yang sah terhadap pelaku kejahatan. Pidana sial yang dapat mencerminkan nilai dan dibandingkan dengan bidang hukum

sendiri merupakan suatu pranata so

struktur masyarakat, sehingga merupakan kesepakatan yang dibuat sebagai reaksi terhadap pelangg aran hati nurani bersama. Oleh karena itulah hukum pidana yang merupakan sarana kontrol so sial dan sebagai produk

politik, sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan oleh para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam Sistem Peradilan Pidana.65

Sistem peradilan pidana (SPP) merupakan Criminal Justice System

konsep pendekatan

yaitu sebuah pendekatan sistem dalam mekanisme

penyelenggaraan peradilan pidana yang diawali oleh ketidakpuasan terhadap proses peradilan pidana di Amerika Serikat. Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid mengatakan bahwa bekerjanya SPP meniti beratkan pada administrasi peradilan.66

k

Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia . Karya Ilmiah, FH. USU, Medan, 2006, h al. 2. 66 Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif dalam SPP, Tesis Program Pasca Sarjana UI. 2004, h al. 36 .

65

55

Konsep Sistem peradilan pidana

ini yang merupakan b eberapa

bentuk mekanisme kontrol dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) sekarang, antara lain : a) internal; b) eksternal; c) horizontal (dari lembaga lain atau dari masyarakat); dan d) vertikal. kemudian diadopsi dan

dikembangkan di Indonesia sesuai kondisi yang ada mulai mendapat perhatian pada dasawarsa terakhir ini.67

Indriyanto Seno Adji mengatakan

bahwa Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System , suatu Law enforcement

sistem yang dikembangkan oleh praktisi hukum ( officers) di Amerika Serikat.68

Dikatakan oleh Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu

operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.67 69

Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Terpadu dan Peran Akademis , Makalah pada forum dengan pendapat publik: pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 2425 Juni 2003 68 Indriyanto Seno Adji, Arah dan Sistem Peradilan (Pidana) terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek) , dengan topic mencari format pengawasan dalam system peradilan terpadu, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, tanggal 18 April 2001, hal. 5. 69 Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku ke dua, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h al. 140 .

56

Menurut Loebby Loqman tujuan dari SPP adalah : Terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari SPP adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari Hukum Acara Pidana lainnya, yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat. 70 Dalam perkembangannya, Sistem Peradilan Pidana itu mengalami perluasan arti dan tujuannya sebagaimana digambarkan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut : Diatas memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas sistem adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka melanggar hukum itu. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini memang luas : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. 71 Menurut Soedjono Dirdjosisworo, penyelenggaraan peradilan pidana dapat dipahami sebagai mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang di Pengadilan serta pelaksanaan keputusan pengadilan.72

Muladi

berpendapat bahwa penyelenggaraan peradilan pidana tidak hanyaLoebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana Makalah, Jakarta, 13 November 2001 . 71 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001 . 72 Indriyanto Seno Adji, Op.Cit, hal. 5.70

57

menyangkut

mekanisme

bekerjanya

aparat

hukum

pidana,

penyelenggaraan peradilan pidana mencakup pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan hukum. 73 Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem yaitu terhadap penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan sidang Pengadilan oleh Pengadilan,

pemasyarakatan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu Criminal Justice .74 Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa : Mardjono Reksodiputro-lah yang memperkenalkan dan memperluas konsep Sistem Peradilan Pidana begitu pula dengan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) sebagai terjemahan dari Integrated of Criminal Justice System . Mardjono Reksodiputro menghendaki adanya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang terpadu diantara keempat komponen yang ada. Cara kerja keempat komponen itu diibaratkan sebagai bejana berhubungan. Satu dari keempat komponen mengalami gangguan akan mempengaruhi cara kerja komponen lainnya. Misalnya, pemeriksaan tersangka yang dilakukan dengan penyiksaan, senyatanya akan mengakibatkan kelemahan pada dakwaan Jaksa di hadapan Pengadilan. Sudah barang tentu pengadilan dapat menilai Berita Acara Penyidikan yang diperoleh berdasarkan penyiksaan itu. Akibat lebih jauh, lembaga pemasyarakatan, sebagai bagian dari sistem ini, tidak dapat berhasil membina pelakunya untuk menjadi bagian masyarakat seutuhnya, karena tersangka/terdakwa telah dibebaskan oleh pengadilan mengingat cacatnya penyidikan yang dilakukan oleh sub-sistem kepolisian. 75Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Arah Reformasi Hukum di Indonesia , The Habibie Center, Jakarta, 2002, h al. 52 . 74 Mardjono Reksodiptro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit, hal. 85 . 75 Indriyanto Seno Adji, Arah , Op.Cit, hal. 7.73

Integrated

58

Sebagai suatu sistem, maka cara kerja Sistem Peradilan Pidana ini didukung oleh keempat komponen diatas (Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan). Ada sementara pihak berpendapat bahwa pembatasan komponen Sistem Peradilan Pidana, tanpa memasukkan advokat didalamnya, mengingat keberadaan profesi advokat hanya merupakan bagian dari cara kerja sub-sistem peradilan saja. Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa hal demikian perlu diperbaiki. Advokat, sebagai bagian dari profesi hukum mempunyai tugas yang sama dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Advokat telah mendapat pengakuan sebagai salah satu sub-sistem SPP melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan bantuan hukum sejak proses penyidikan, penuntutan sampai dengan proses peradilan. Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa : Sering kita melupakan bahwa lembaga-lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan peradilan pidana harus saling berhubungan dalam suatu sistem. Oleh karena itulah sering dipergunakan istilah Sistem Peradilan Pidana, yang terdiri atas sub-sub sistem : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem peradilan inilah, maka profesi pengacara (Advokat), profesi jaksa dan 76 profesi hakim melakukan masing-masing tugas mereka. Setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati baik oleh sub sistem itu sendiri maupun sub sistem lainnya. Meskipun setiap sub-sistem akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan landasan dan pedoman kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub-sistem yang bersangkutan, tetapi masing-masing tujuan sub-sistem tidak boleh76

Mardjono Reksodiputro,

Hak Asasi Manusia , Op.Cit,

hal.79-80.

59

bertentangan dengan tujuan utama, yaitu dari sistem itu sendiri (dalam hal ini : Sistem Peradilan Pidana).77

Kesalahan pada sub-sistem yang satu akan

mengakibatkan kegagalan pada sub-sistem yang lainnya sehingga tujuan dari sistem itu sendiri yaitu tujuan SPP tidak akan terwujud. Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid, lima cirri pendekatan sistem peradilan pidana : 1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; 3. Efektivitas dari sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; 4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan 78 administration of justice. Muladi berpendapat, penggunaan istilah sistem dalam SPP, semua subsistem harus mengarah pada 6 hal, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Berorientasi pada tujuan yang sama; Menjauhkan sifat fragmentaris; Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar; Adanya keterkaitan dan ketergantungan antar sub-sistem; Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan nilai tertentu; 79 Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian. Dengan melihat pendapat diatas dapat dilihat terdapat jenis pendekatan internal dan eksternal dalam pelaksanaan SPP. Pendekatan internal mencakup bagaimana SPP bekerja untuk mencapai tujuan dimana salah satu sub-sistem dari SPP adalah Kejaksaan, sedangkan pendekatan eksternal menempatkan SPP dalam sistem yang lebih besar dimanaIbid . Mujadid, Menciptakan , Op.Cit , hal.38. 79 Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Mei 2002.7877

the

60

terdapat interaksi antara SPP dengan sistem sosial lainnya. Dalam hal ini Kejaksaan sebagai Sub-sistem SPP merupakan bagian dari interaksi tersebut. Dari pendekatan tersebut, dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan untuk menilai bagaimana SPP bekerja untuk mencapai tujuannya. Dari uraian di atas