Upload
nguyendung
View
242
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ABSTRAK
Kematian merupakan suatu peristiwa yang dialami semua makhluk yang
bernyawa, baik itu manusia, tumbuhan, maupun hewan. Meskipun kematian
adalah keniscayaan tapi sepertinya manusia seakan-akan tidak peduli dengan
peristiwa tersebut. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini rata-rata manusia
mementingkan kehidupan dunianya yang berdampak menghalalkan berbagai cara
untuk memuaskan kepentingannya seakan tidak memikirkan dampak dari
perbuatannya setelah mati.
Mencermati perilaku manusia memaknai kematian, ada yang menganggap
kematian merupakan malapetaka yang dapat merampas kemewahan dunia, maka
orang seperti itu akan menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan
kepentingannya. Selain itu ada pula yang menganggap bahwa kematian
merupakan peristiwa perpindahan alam dari alam dunia ke alam akhirat yang lebih
abadi, yang mana disana mereka akan merasakan kenikmatan dan kesusahan
sesuai amal yang dilakukannya. Maka orang seperti itu akan menjadikan
kehidupan dunianya sebagai tempat beramal salih.
Dipikirkan atau tidak kematian merupakan kepastian sekaligus peristiwa
dahsyat yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, untuk itu kematian perlu
untuk diteliti meskipun merupakan peristiwa gaib yang tidak dapat dijelaskan oleh
akal, tapi al-Qur’an telah menjelaskan hal tersebut. Kematian dalam al-Qur’an
menggunakan kata al-Maut, al-Ajal, dan Wafah, ketiganya mempunyai konteks
makna yang berbeda. Penelitian ini tidak meneliti seluruh kata tersebut, akan
tetapi fokus terhadap kata al-Maut sebagai objek penelitian. Kata al-Maut dipilih
karena lebih umum yang dikenal oleh seseorang sekaligus mempunyai konteks
makna yang beragam bila dibandingkan kata al-Ajal, dan Wafah. Penelitian ini adalah penelitian kitab tafsir bersifat kepustakaan (library
research) yang akan mencari pendapatnya KH.Misbah Musthafa tentang makna
al-Maut dan konteks keragaman maknanya dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. Adapun analisa dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
memaparkan apa adanya yang ada dalam kitab tafsir kemudian menganalisa pesan
atau maksud dari penafsiran tersebut.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah al-Maut dalam tafsir al-Ikli>l tidak
selamanya dimaknai dengan mati (lepasnya ruh dari jasad) akan tetapi dimaknai
dengan mati akal, bangkai, dan tandus. Ketiganya berada pada objek yang
berbeda-beda yaitu manusia, hewan, dan bumi. Ketiga objek tersebut mempunyai
konteks makna (substansi makna) yang beragam, yaitu: Pertama, makna al-Maut berhubungan dengan manusia mempunyai enam makna yaitu, 1) Al-Maut bermakna akhir kehidupan di dunia, 2) Al-Maut bermakna mati akal (tidak mau
berfikir), 3) Al-Maut bermakna keterpisahan, 4) Al-Maut bermakna pembatas, 5)
Al-Maut bermakna nikmat, 6) Al-Maut bermakna siksa. Kedua, al-Maut berhubungan dengan hewan dimaknai dengan bangkai yaitu hewan yang
disembelih dengan tidak menggunakan aturan agama. Ketiga, al-Maut berhubungan dengan bumi dimakani dengan tandus atau gersang, maksudnya
bumi kehilangan kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman modern seperti sekarang ini yang ditandai dengan pesatnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan manusia seakan terasa lebih kompleks
yang terus menimbulkan berbagai kepentingan yang berbenturan diantara manusia
guna memenuhi kepentingan hidupnya. Salah satu dampak yang muncul adalah
sifat hedonisme, yaitu manusia hanya mencari kepuasan pribadi dengan
menghalalkan berbagai cara, sehingga menyebabkan manusia lupa akan hakikat
hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Swt.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa ini? Bangsa yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis
belakangan sering terdengar berita-berita di televisi tentang pencurian,
pemerkosaan, penipuan, dan kekerasan. Tidak hanya berita itu saja, sering
terdengar juga berita korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Mulai
penggelapan uang pajak, manipulasi maupun penyuapan. Seakan-akan bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang koruptif, manipulatif dan mengabaikan nilai-nilai
moral agama. Munculnya perilaku-perilaku menyimpang tersebut tidak terlepas
dari kondisi masyarakat yang belum bisa memaknai modernisasi itu sendiri.1
1 Muzaini, “Perkembangan Teknologi dan Perilaku Menyimpang dalam Masyarakat
Modern”, dalam Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. II, no. 1, 2014, h. 53.
2
Para pelaku kemunkaran dan kemaksiatan tersebut seakan-akan hidup
selamanya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka akan mati dan akan
mempertanggungjawabkan amal perbuatannya.
Meskipun ada sebagian manusia yang menganggap kematian merupakan
hal yang biasa dan tidak usah terlalu dipikirkan, sebagai orang Islam yang
beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, harus memikirkannya. Karena
perhatian al-Qur’an terhadap fenomena kematian sangat besar. Sebagaimana
tercatat, bahwa al-Qur’an berbicara tentang kematian kurang lebih sebanyak 300
ayat, dan ditambah dengan hadis-hadis Nabi.2 Ini menunjukkan bahwa kematian
merupakan hal yang penting untuk dipersiapkan.
Mencermati perilaku manusia dalam memandang kematian, tidak dapat
dipungkiri bahwa mereka menyadari kematian merupakan peristiwa yang sangat
dahsyat yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, akan tetapi seseorang
jarang atau enggan untuk membicarakan secara terang-terangan. Ada segolongan
orang yang memandang kematian sebagai malapetaka yang merampas kenikmatan
hidup sehingga mereka memilih jalan hidup hedonistis sebelum kematian tiba.3
Namun ada pula yang berpandangan sebaliknya, yakin bahwa hidup di
dunia hanya sesaat dan kehidupan akhirat lebih mulia, lebih utama dan lebih
abadi, maka mereka memilih jalan spiritual dan menjauhi tawaran kenikmatan
duniawi, demi mengejar kebahagiaan yang lebih tinggi di balik kematian. Ada
2 M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan Al-Qur’an,
cet. 2, (Tangerang: Lentera Hati, 2008), h. 15. 3 Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian (Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme),
cet. VII, (Jakarta: Hikmah, 2006), h. XV-XVi.
3
lagi segolongan orang yang tidak mau berpikir soal kematian karena dianggap
tidak begitu berguna.4
Dipikirkan maupun tidak, kematian adalah ketentuan setiap mahluk, baik
manusia, hewan, maupun tumbuhan. Telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-
‘Ankabu>t: 57 yang artinya “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati,
kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” Adapun mengenai waktu
terjadinya kematian hanyalah Allah yang mengetahui, manusia harus selalu
waspada untuk mempersiapkan diri menunggu datangnya kematian.
Bagi sebagian orang, kematian merupakan sesuatu yang menakutkan dan
mengkhawatirkan, karena anggapan bahwa mereka akan terpisah dengan
kesenangan hidup di dunia. Tapi hakikatnya tidaklah demikian, kematian yang
sering diartikan dengan terpisahnya ruh dari jasad, sebenarnya merupakan salah
satu tahapan menuju kehidupan yang abadi.
Dari pemaparan diatas, banyak pertanyaan tentang kematian, diantaranya
mengapa Allah Swt. menciptakan kematian? Padahal manusia menginginkan
hidup abadi di dunia dan tidak ingin terlepas dari kemewahannya. Selain itu
bagaimana proses terjadinya kematian? Apakah manusia merasakannya atau
tidak? Setelah ruh terlepas dari jasad apa yang terjadi setelah kematian tersebut?
Mengapa manusia takut pada kematian? Dan apa sebenarnya kematian itu?
Kematian (maut) merupakan kejadian gaib yang tidak bisa dijawab oleh
akal. Akal hanya bisa menjawab berdasarkan pengalaman dan spekulasi.
Syukurlah agama mengungkap sedikit tentang misteri itu, walau harus diakui
4 Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian (Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme), h.
XVi.
4
banyak yang diinformasikan agama atau atas nama agama itu tidak mudah dicerna
akal. Kendati demikian, mempercayai hal-hal yang diinformasikan agama dalam
bidang metafisika, walau tidak dipahami oleh akal tidak berarti merendahkan
peranan akal atau nalar,5 malah sebaliknya, ini menunjukkan kebesaran Sang
Maha Pencipta Allah Swt. dan menunjukkan bahwa ilmu manusia hanyalah
sedikit.
Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam telah membahas tentang
kematian. Al-Qur’an menggambarkan kematian menggunakan kata al-Ajal, al-
Maut, dan al-Wafa>h. Kata al-Ajal yang bermakna kematian dalam Mu’jam
Mufahras li Ma’ani al-Qur’an tercatat ada tujuh kata,6 al-Maut dalam Mu’jam
Mufahras li al-Fa>z al-Qur’an al-Kari>m tercatat ada 163 kata dengan berbagai
bentuk baik isim maupun fi’il7, dan al-Wafah yang bermakna kematian ada 23.
8
Menurut Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni, kata al-Ajal mempunyai arti
masa berakhirnya sesuatu dan bisa dimaknai dengan masa berakhirnya kehidupan
manusia.9 Ini menunjukkan bahwa setiap yang hidup mempunyai batas usia dan
akan diakhiri dengan kematian.
Sedangkan makna al-Maut sering dipahami dengan terpisahnya roh dari
jasad. Walaupun kebanyakan maknanya terpisahnya roh dari jasad, tapi ada
5 M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan Al-Qur’an, h.
11. 6 Muhammad Basa>m Rusydi>, ‚Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1995), h. 1153. 7 Muhammad Fu’ad Abd Baqi>, “Mu’jam Mufahras Li al-Fa>z} al-Qur’an al-Kari>m,‛
(Mesir: Dar al-Hadis, 1943) h. 678-680. 8 Muhammad Basa>m Rusydi>, ‚Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an, h. 1315-1316.
9 Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni>, ‚Mufrada>t Fi> Gari>b al-Qur’a>n‛ ,
Juz 2, (T.tp: Maktabah Nazar al-Musthafa al-Bazi, T.th), h. 13.
5
makna lain selain makna tersebut. Menurut Ahmad Ibn Fa>ris al-Maut adalah
hilangnya kekuatan, dan juga bisa dimaknai dengan kebalikan dari hidup.10
Kata al-Maut setelah dikorelasikan dengan kata sebelum dan sesudahnya
ternyata tidak hanya diartikan terpisahnya ruh dari jasad, melainkan memiliki arti-
arti lain secara majazi. Di dalam kitab Mufrada>t Gari>b al-Qur’a>n setidaknya
terdapat lima makna, yaitu: 1) Mati adalah hilangnya kekuatan na>miyah yang ada
pada manusia, hewan dan tumbuhan. 2) Mati adalah hilangnya kekuatan al-Hasah
(pengetahuan dan perasaan). 3) Mati karena hilangnya kekuatan akal. 4) Mati
dalam arti kehawatiran atau ketakutan. 5) Mati dalam arti tidur.11
Selain itu dalam Mu’jam Mufahras li Ma’ani al-Qur’an kata al-Maut
mempunyai topik ayat yang lebih bervariatif bila dibandingkan dengan kata ajal
dan wafah. Setidaknya kata al-Maut ada 32 topik yang tercatat dalam Mu’jam
Mufahras li Ma’ani al-Qur’an.12
Maka dari itu kematian (al-Maut) ini menarik
untuk diteliti.
Hubungan antara kata (lafaz}) dan makna tidak bisa dipisahkan. Lafaz}
adalah apa yang diucapkan, baik terdengar maupun tertulis. Sedangkan, makna
adalah kandungan lafaz} dan tujuan yang hendak dicapai dengan pengucapan atau
penulisannya.13
Jadi seorang penafsir harus mengusai dengan baik kaidah-kaidah
10
Abi> al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakariya>, ‚Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah‛, juz 5,
(T.tp: Dar al-Fikr, T.th), h. 283. 11
Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni>, ‚Mufrada>t Fi> Gari>b al-Qur’a>n‛ , h. 616.
12 Muhammad Basa>m Rusydi>, ‚Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an, h. 1153-1159.
13 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 75-76.
6
bahasa Arab.14
Tanpa penguasaan bahasa Arab dengan baik, maka sulit seorang
penafsir dapat menafsirkan al-Qur’an dengan benar, sebab al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab.
Untuk itu diperlukan kitab tafsir dalam memahami makna dan pesan yang
terkandung dalam al-Qur’an supaya mendapat pemahaman yang jelas dan tidak
tergelincir pada pemahaman yang salah. Maka dari itu skripsi ini akan membahas
tentang “Makna Al-Maut Menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l
fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l”.
Tafsir Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l dipilih penulis karena kekaguman
terhadap Kiai Misbah Musthafa yaitu seorang Kiai pesantren dan dibesarkan di
lingkungan pesantren yang tidak bisa lepas dari kajian kitab kuning dan gramatika
bahasa Arab yaitu ilmu nahwu, sharaf dan balagah dapat menulis kitab tafsi>r
lengkap 30 juz.
Latar belakang intelektual Kiai Misbah dalam bidang agama dimulai dari
belajar di Pondok Pesantren Kasingan Rembang dibawah asuhan KH.Khalil bin
Harun pada tahun 1928. Orientasi pendidikan Misbah terfokus untuk mempelajari
ilmu gramatika dengan menggunakan kitab al-Juru>miyah, al-‘Imrit}i> dan alfiyah.
Pada usianya yang masih muda Misbah berhasil mengkhatamkan alfiyah
sebanyak 17 kali. Setelah merasa paham dan matang dalam ilmu bahasa Arab,
Misbah kemudian mendalami berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti
fiqh, ilmu kalam, h}adis\, tafsi>r, dan lain-lain. Selain menimba ilmu pada
14
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
336.
7
KH.Khalil, ia juga berguru kepada KH.Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang.15
Misbah Musthafa terbilang Kiai yang produktif, disela-sela kesibukannya
mengajar dan berdakwah, ia menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kedalam
bahasa jawa. Salah satu kitab terbesarnya adalah Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-
Tanzi>l.
Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l adalah kitab tafsi>r yang ditulis dengan
huruf pegon yaitu menggunakan aksara Arab berbahasa Jawa. Kitab ini ditulis
lengkap 30 juz sesuai urutan mushaf al-Qur’an yang dibagi menjadi 30 jilid dan
satu jilid terdiri dari satu juz.
Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l memliki ciri husus, selain dimaknai
gandul (arti perkata dibawah ayat al-Qur’an), Kiai Misbah juga membagi
penjelasan terhadap ayat menjadi dua bagian, secara global ditandai dengan satu
garis mendatar, dan secara rinci ditandai dengan dua garis mendatar. Kiai Misbah
juga menggunakan istilah-istilah tertentu yang menunjukkan adanya sesuatu yang
penting dari ayat tersebut. Istilah-istilah tersebut diantaranya “keterangan”,
“masalah”, “tanbih”, “faedah”, dan “kisah”.
Atas latar belakang tersebut, penulis memilih tafsir al-Iklil karya Misbah
Musthafa sebagai analisis. Untuk memfokuskan penelitian supaya pembahasan
tidak kabur dan banyaknya ayat yang membahas kematian maka peneliti
15
Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Karya KH.
Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara), Vol. 1, no. 1, 2015, h.
36-37.
8
membatasi hanya membahas kata al-Maut dalam bentuk masdar yang berupa isim
ma’rifat dan nakirah dalam tafsir Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l.
Peneliti memilih membahas kata al-Maut dalam bentuk masdar yang
berupa isim ma’rifat dan nakirah, tidak lain karena masdar adalah induknya
kalimat, sedangkan isim ma’rifat dan isim nakirah mempunyai keunikan
tersendiri, yaitu dalam kaidah tafsir dijelaskan:
“Jika isim nakirah diulang, maka yang kedua bukan yang pertama, dan
jika isim ma’rifat terulang maka yang kedua adalah yang pertama”. Contohnya
dalam Qs. al-Insyirah: 5-6.
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Berdasarkan kaidah tafsir diatas, maka yang dimaksud dengan kesulitan
pada ayat 5 dan 6 mempunyai berat yang sama, akan tetapi kemudahan yang
didapat dalam ayat 5 berbeda dengan kemudahan pada ayat 6.
Dalam penelitian ini tidak membahas semua ayat al-Maut yang telah
dibatasi dalam bentuk ism masdar, akan tetapi akan membahas beberapa ayat
yang mewakili topik ayat yang berhubungan dengan pembahasan.
Berdasarkan latar belakang diatas, yaitu kematian merupakan peristiwa
yang dahsyat yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, dan kematian
dalam al-Qur’an tidak hanya bermakna terlepasnya roh dari jasad akan tetapi
kematian mempunyai makna konotasi yang berbeda, selain itu Allah menciptakan
kematian pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu, maka dari itu peneliti
9
ingin meneliti “Makna Al-Maut Menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r
Al-Ikli>l fi> Ma’a >ni> Al-Tanzi>l”.
Tafsi>r al-Ikli>l dipilih karena kekaguman kepada Kiai Misbah Musthafa
seorang lulusan podok pesantren dan juga pendakwah dapat menulis tafsir
lengkap 30 juz. Selain kekaguman terhadap beliau, dalam tafsi>r al-Ikli>l terdapat
tiga penjelasan yaitu ditafsirkan perkata, penjelasan secara umum yang ditandai
dengan satu garis, dan penjelasan secara terperinci yang ditandai dengan dua garis
mendatar. Kadang Misbah Musthafa juga menggunakan kata tanbihun yang
digunakan untuk menambahkan keterangan jika diperlukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dan uraian latar belakang diatas, maka pokok
permasalahan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Apa makna al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi>
Ma’a>ni> al-Tanzi>l?
2. Apa konteks keragaman makna al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa
dalam Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui makna al-Maut menurut Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi>
Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
2. Mengetahui konteks keragaman makna al-Maut menurut Misbah Musthafa
dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
10
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu secara akademis dan sosial.
1. Manfaat secara akademis, diharapkan dapat memberikan sumbangan
(kontribusi) pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan
wacana keislaman dengan melengkapi data-data yang sudah ada sebelumnya.
2. Manfaat secara sosial, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
pemahaman hususnya kepada penulis, dan umumnya kepada kaum muslimin
bahwa makna kematian (al-Maut) tidak selamanya berarti terpisahnya roh
dari jasad, akan tetapi mempunyai makna lain dan juga banyak fenomena
tentang kematian. Menambah ketaqwaan kepada Allah Swt. sehingga bisa
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan ahirat.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai kematian (al-Maut), KH.Misbah Musthafa dan Tafsi>r al-
Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l bukanlah merupakan hal yang baru dalam penelitian.
Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh penulis, banyak karya-karya yang telah
dihasilkan dari pembahasan tentang kamatian, KH.Misbah Musthafa dan Tafsi>r
al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l baik dalam bentuk buku, skripsi, maupun jurnal. Maka
literatur-literatur yang dijadikan tinjauan pustaka dalam penelitian ini dibagi
menjadi tiga, yaitu yang berhubungan dengan al-Maut, KH.Misbah Musthafa, dan
Tafsir al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
Dari sejauh penelusuran yang penulis lakukan terdapat karya-karya
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini diantarnya adalah:
11
Skripsi yang ditulis oleh Supriyanto dengan judul “Makna Hidayah
Menurut Misbah Musthafa (Studi Atas Tafsir al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l), ia
menjelaskan makna hidayah menurut Misbah Musthafa. Menurutnya, Misbah
Musthafa dalam tafsir al-Ikli>l setidaknya mengartikan hidayah menjadi tiga
makna, yaitu petunjuk, penerang dan pertolongan. Perbedaan penafsiran dengan
ulama lain yaitu Misbah lebih mengarahkan kepada aplikasi makna hidayah
dengan diarahkan kepada amal lahiriah yang berkembang di masyarakat.16
Skripsi yang ditulis oleh Siti Zakiyatul Humairoh berjudul “Penafsiran
Kyai Misbah Bin Zainal Musthafa Terhadap Ayat-Ayat Mutasya>biha>t dalam
Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Ma>wi> Tarjamah Baha>sa> Ja>wi>‛, ia memfokuskan
meneliti penafsiran Misbah Musthafa terhadap ayat-ayat mustasya>biha>t.
Menurutnya, Misbah Musthafa dalam menafsirkan ayat-ayat mustasya>biha>t
mengikuti ulama khalaf yaitu dengan mentakwilkannya, dan tidak jarang juga
mengikuti pendapat ulama salaf yaitu lebih membiarkannya.17
Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Sholeh berjudul “Studi Analisis
Hadis-Hadis Tafsi>r al-Ikli>l Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Al-D{uha>
Sampai Surat Al-Na>s)”, ia meneliti kualitas hadis-hadis yang terdapat pada Tafsi>r
al-Ikli>l yang dimulai dari surat al-D}uha> sampai al-Na>s. Muhammad Sholeh
membagi hadis dalam tafsir al-Ikli>l menjadi tiga kategori, yaitu: hadis yang tidak
ada sanad dan matan, yaitu menggunakan bahasa penafsir sendiri, hadis yang
16
Supriyanto, “Makna Hidayah Menurut Kyai Misbah Musthafa (Studi Atas Kitab Tafsir
Al-Iklil Fi Ma’ani Al-Tanzil)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Surakarta, 2010). 17
Zakiyatul Humairoh, “Penafsiran Kyai Misbah Bin Zainal Musthafa Terhadap Ayat-
Ayat Mutasya>biha>t dalam Tafsir al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Ma>wi> Tarjamah Baha>sa> Ja>wi‛ >. (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2016).
12
hanya menggunakan potongan matannya saja tidak ada sanadnya, dan terakhir
hadis yang terdapat sanad dan matannya.
Muhammad Sholeh memfokuskan meneliti hadis kategaori kedua, yaitu
hadis yang hanya menggunakan potongan matannya saja, dan didapat kesimpulan
hadis yang digunakan dalam tafsir al-Ikli>l hususnya mulai surat al-D}uha> sampai
al-Na>s mempunyai kualitas yang berbeda. Ada yang menggunakan hadis dhaif,
dan juga ada yang menggunakan hadis sahih. Selain membahas kualitas hadis di
dalamnya juga terdapat biografi, karya KH.Misbah Musthafa, latar belakang
penulisan, sistematika, dan corak penulisan kitab Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-
Tanzi>l.18
Artikel yang ditulis oleh Ahmad Baidlowi yang berjudul “Aspek
Lokalitas Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, ia menjelaskan unsur lokalitas Tafsi>r
al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, diantaranya: 1) Lokalitas dalam penampilan, yaitu
menggunakan aksara pegon, dan makna gandul. 2) Lokalitas komunikasi yaitu
menggunakan bahasa Jawa. 3) Lokalitas penafsiran, diantaranya Misbah Musthafa
mengkritik tradisi Jawa, mengkritik terjemahan lokal yaitu makna al-Baqarah,
mengkritik Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), dan juga mengkritik soal
pengkultusan guru.19
Skripsi UIN Syarif Hidayatullah yang ditulis oleh Abdul Basit yang
berjudul “Kematian dalam al-Qur’an: Perspektif Ibn Kas\i>r”, ia mendeskripsikan
tentang kematian menurut Ibn Kathi>r yang terfokus pada empat tema, yaitu
18
Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah
Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Wali
Songo, Semarang, 2015). 19
Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k fi> Ma’a>ni> al-tanzi>l Karya KH.
Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara), Vol. 1, No. 1, 2015.
13
kematian adalah ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai ajal, sesaat
menjelang kematian dan cobaan-cobaan. Ayat-ayat yang ditafsirkan menurut Ibn
Katsi>r diantaranya adalah Qs. al-Nisa>’: 78, Qs. A<li Imra>n: 185, dan 156-158, serta
Qs. al-Jum’ah: 5-8. Abdul Basit mendeskripsikan penafsiran Ibn Kas\i>r tentang
ayat-ayat kematian yang terfokus pada ayat-ayat di atas, dan mendapat
kesimpulan bahwa kematian merupakan kepastian dan untuk mempersiapkannya
sebaiknya tidak mengikuti perbuatan-perbuatan orang kafir.20
Artikel yang ditulis oleh Umar Latif yang berjudul “Konsep Mati dan
Hidup (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis)” yang dimuat dalam jurnal
Al-Bayan Vol. 22, No. 34 tahun 2016, ia menggambarkan bahwa mati dan hidup
merupakan keniscayaan yang harus dilalui manusia. Umar Latif menyimpulkan
bahwa mati dan hidup berdasarkan konsep Islam merupakan rantai kehidupan
yang saling berhubungan. Artinya kematian adalah satu dimensi kehidupan
berikutnya dan akan berlangsung setelah proses kehidupan yang pertama.21
Artikel yang ditulis oleh Murtiningsih dalam Jurnal Intizar, Vol. 19, No.
2, tahun 2013 dengan judul “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, ia
menguraikan kematian menurut kaum sufi, islam dan medis. Murtiningsi
menyimpulkan kematian menurut kaum sufi adalah orang yang hatinya mati, yaitu
tidak dapat menerima kebenaran. Al-Qur’an menyebut kematian dengan kata
maut, ajal, dan wafat.22
20
Abdul Basit, “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kas\i>r”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014). 21
Umar Latif, “Konsep Mati dan Hidup dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep
Eskatologis), dalam Al-Bayan, Vol. 22, No. 34, Juli-Desember, 2016. 22
Murtiningsih, “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, dalam Intizar, Vol. 19,
No. 2, 2013.
14
Dari tinjauan pustaka yang dipaparkan diatas, memang ada yang
membahas tentang Tafsi>r al-Ikli>l karya Misbah Musthafa dan kematian, tapi yang
membahas secara spesifik yang terfokus pada kata al-Maut menurut Misbah
Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l belum ada.
F. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan kerangka teori tafsir sastra terhadap al-Qur’an
yang digagas oleh Ami>n al-Khulli>. Pandangan Ami>n al-Khulli> mengenai tafsir al-
Qur’an (yakni, penafsiran teks itu sendiri dengan menggunakan studi-studi yang
terdahulu) sama pentingnya. Pertama, ia ingin dalam menulis tafsir al-Qur’an agar
memperhatikan subjek dan tidak membatasi pada penafsiran satu bagian saja
dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain al-Qur’an terhadap topik yang
sama. Kedua, perlu menekankan studi cermat atas setiap kata al-Qur’an, tidak saja
dengan bantuan kamus-kamus klasik melainkan juga pada tahap pertama dengan
bantuan adanya paralel al-Qur’an dan lafaz} ataupun mashadir yang sama.
Terakhir, mufassir seharusnya menganalisis al-Qur’an menggabungkan lafaz}-lafaz}
kedalam kalimat dan hendaknya berusaha menjelaskan efek psikologis bahasa al-
Qur’an terhadap para pendengarnya.23
Dari uraian diatas, Amin al-Khulli membagi kajian teks al-Qur’an menjadi
dua tahap, yaitu:
1. Kajian sekitar al-Qur’an (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n).
2. Kajian terhadap al-Qur’an itu sendiri (dira>sah ma> fi> al-Qur’a>n nafsih).
23
J.J G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Pengantar Mohamad Nur Kholis,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), h. 108-109.
15
Pada kajian yang pertama (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n) diarahkan pada
investigasi aspek sosio-historis, geografis-kultural, dan antropologis wahyu.
Sedangkan kajian yang kedua (dira>sah ma> fi> al-Qur’a>n nafsih) dimaksudkan pada
kata-kata individual semenjak diturunkan, pemakaiannya dalam al-Qur’an serta
sirkulasinya dalam bahasa Arab. Pelacakan evolusi kata individual ini diikuti
kajian terhadap struktur kalimat dan frasa-frasa tertentu dengan perangkat ilmu
bahasa Arab, akan tetapi tidak boleh melewati batas-batas keperluan, yakni hanya
untuk menangkap keindahan struktur teks. Kemudian disusul pemberian makna
yang hati-hati agar diperoleh pengertian semestinya yang dikehendaki teks.24
Karena penelitian ini penelitian tafsir maka langkah pertama berkaitan
dengan kajian sekitar kitab tafsir, yaitu dengan mencari aspek sosio-historis kitab
tafsir, geografis-kultural, dan antropologis kitab tafsir dan berusaha mencari latar
belakang dan kehidupan sosial penafsir. Kemudian langkah kedua berkaitan
dengan kajian kitab tafsir itu sendiri, yaitu dengan diarahkan pada mencari
metodologi, corak, gaya bahasa dan penafsiran terhadap kata dan ayat al-Qur’an
tersebut dengan cara:
1. Mengumpulkan setiap ayat yang membicarakan objek kajian yang dipilih
yaitu al-Maut sehingga tidak berpusat pada satu ayat saja.
2. Memaknai apa adanya sesuai yang ada dalam kitab tafsir.
3. Menganalisis bagaimana Misbah Musthafa menafsirkan suatu ayat dengan
metodologi yang dipakai.
24
Ibid., h. XV
16
Dengan langkah-langkah tersebut secara teoritik penelitian ini diharapkan
dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan peneliti sehingga dapat
memberikan sumbangan keilmuan keislaman, dan dapat mencapai tujuan yang
ingin dicapai oleh peneliti.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan dari
sebuah penelitian. Bahkan keberadaan metode tersebut akan membentuk
karakter keilmiahan dari sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan (Library Research),25
yaitu penelitian yang berusaha
mendapatkan data dengan cara membaca dan meneliti literatur atau bahan-
bahan yang tertulis.
2. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian
dengan menggunakan bahan kepustakaan (library research), maka tehnik
yang digunakan adalah pengumpulan data secara literatur, yaitu penggalian
bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan objek pembahasan. Oleh
karena itu sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian.
a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari hasil
pengumpulan dari obyek penelitian, yaitu Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-
Tanzi>l.
25
Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
1999), h. 28.
17
b. Data sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan
sumber primer serta pembahasan dalam penelitian, baik berupa literatur
kitab-kitab tafsir para mufassir yang lain, Mu’jam Mufahras Li al-Fa>d}
al-Qur’a>n al-Kari>m buku sosial, skripsi, majalah, jurnal dan sumber lain
yang dijadikan rujukan yang dapat mendukung dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini termasuk kajian tafsir yang terfokus pada sebuah
tema, maka langkah-langkahnya yaitu:
a. Mengumpulkan ayat-ayat yang menggunakan lafaz} al-Maut dalam al-
Qur’an dengan menggunakan Mu’jam Mufahras Li al-Fa>d} al-Qur’a>n al-
Kari>m.
b. Mengidentifikasi ayat yang berhubungan dengan tema.
c. Mendeskripsikan penafsiran Misbah Musthafa mengenai ayat al-Maut.
d. Menganalisis penafsiran Misbah Musthafa baik dari segi metodologi
maupun pokok pemikirannya
4. Analisis Data
Penelitian ini berusaha mengkaji kitab tafsir dengan mengambil tema
tertentu (tematik) dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu
menjelaskan fakta atau pemikiran tokoh apa adanya dalam kitab tafsir agar
dapat diterima secara rasional.
Pada prakteknya, yaitu menggambarkan tentang apa yang akan
diteliti, bagaimana pola pikirnya, ciri-ciri mendasar dan melakukan
perbandingan. Dalam hal ini penulis menggambarkan biografi Misbah
18
Musthafa dan ruang sosial yang melingkupinya, selanjutnya mendeskripsikan
Tafsi>r al-Ikli>l, kemudian mengungkapkan ayat-ayat yang menggunakan lafaz}
al-Maut dan mendiskripsikan apa adanya. Setelah tergambar semuanya,
kemudian mengambil kesimpulan dari penafsiran Misbah Musthafa baik dari
segi metodologi maupun pokok pemikirannya.
H. Sistematika Pembahasan
Agar dapat difahami secara mudah dan sistematis, maka bahasan-bahasan
dalam skripsi akan dibagi menjadi lima bab. Adapun gambaran dari masing-
masing bab dan bahasan tersebut sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan, tujuannya adalah untuk
memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan diteliti. Gambaran
umum ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan. Bab ini merupakan awal dari pembahasan yang akan dikaji.
Bab kedua berisi penjelasan mengenai biografi Misbah Musthafa, dan
seputar kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. Selanjutnya dalam bab ini akan
dipaparkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan dan
sosial politik, perjalanan intelektual, karya-karyanya. Kemudian akan
dideskripsikan pula mengenai Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l dari segi latar
belakang penulisannya, sistematika kitab, serta metode penafsiran yang
digunakan.
Bab ketiga berisi pembahasan tentang tema penelitian. Bab ini berisi
tentang kategorisasi dan variasai kata al-Maut, yang didalamnya meliputi
19
pengertian, kategorisai ayat-ayat yang menggunakan kata al-Maut, redaksi ayat
beserta penafsiranya KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni al-
Tanzil.
Bab keempat merupakan inti berisi tentang penafsiran Misbah Musthafa
terhadap ayat-ayat al-Maut, dan kontekstualisasi maknanya. Kemudian akan
dilanjutkan dengan analisis penafsiran Misbah Musthafa terhadap ayat-ayat al-
Maut dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
Bab kelima merupakan penutup, yang berisi tentang kesimpulan dan
saran-saran yang direkomendasikan penulis untuk penelitian berikutnya.
20
BAB II
KH.MISBAH MUSTHAFA
DAN TAFSI<R AL-IKLI<L FI< MA’A<NI< AL-TANZI<L
A. Biografi KH.Misbah Musthafa
1. Latar Belakang Kehidupan dan Sosial Politik
KH.Misbah Musthafa adalah seorang pengasuh pondok pesantren al-
Balagh, Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Ia dilahirkan di pesisir utara Jawa
Tengah, tepatnya di kampung Sawahan, Gang Palem, Rembang pada tahun
1916 dengan nama kecil Masruh. Ia lahir dari pasangan keluarga H.Zainal
Musthafa dan Khadijah. Ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang yang
taat beragama. Selain itu juga dikenal sebagai pedagang batik yang sukses,
oleh karena itu keluarga Masruh dikenal sebagai keluarga yang cukup berada
untuk ukuran ekonomi saat itu.1
KH.Misbah memiliki empat saudara, yaitu: Zuhdi, Maskanah, Bisri,
dan yang terakhir adalah KH.Misbah. Zuhdi dan Maskanah adalah anak dari
istri pertama yang bernama Dakilah, dengan kata lain ibu Misbah adalah
Khadijah istri kedua H.Zainal.2
KH.Misbah beserta kakaknya KH.Bisri, masa kecilnya dididik dengan
ketat dan disiplin ilmu agama, mereka berdua dipondokkan di Kasingan
Rembang yang diasuh oleh K.Khalil. Orientasi pendidikan Misbah terfokus
untuk mempelajari ilmu gramatika dengan menggunakan kitab al-
1 Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain
Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Wali
Songo, Semarang, 2015), h. 35. 2 Ibid., h. 36.
21
Juru>miyah, al-‘Imrit}i> dan Alfiyah. Pada usianya yang masih muda
Misbah berhasil mengkhatamkan Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah merasa
paham dan matang dalam ilmu bahasa Arab, Misbah kemudian mendalami
berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqh, kalam, h}adi>s}, tafsi>r, dan
lain-lain.3
Setelah mendalami ilmu agama di Kasingan, Misbah kecil
meneruskan menimba ilmu di Tebuireng Jombang, asuhan KH.Hasyim
Asy’ari, disinilah ia dikenal kecakapannya dalam ilmu alat, sehingga sangat
disegani baik oleh senior dan junior. Hal itu bisa dimaklumi, karena semasa
di Kasingan Misbah Musthafa sudah popular “ngelotok” atau mumpuni
dalam memahami kitab Alfiyah Ibnu Malik, sehingga ketika di Tebuireng ia
sering diminta temannya untuk mendemonstrasikan metode pengajaran
Alfiyah Ibnu Malik yang diterapkan di Kasingan, yang terkenal dengan
sebutan “Alfiyah Kasingan”.4
Setelah menyelesaikan di Tebuireng ia memperdalam pendidikan
agamanya di Makah. Setelah mempelajari aneka ragam disiplin ilmu-ilmu
keagamaan melalui sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning,
Misbah pun kemudian mempelajari ilmu-ilmu agama melalui penelaahan
langsung terhadap sumber primer, yaitu al-Qur’an. Dengan memahami
langsung ayat-ayat al-Qur’an Misbah semakin yakin terhadap pengetahuan
3 Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Karya KH.
Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur‟an dan Tafsir di Nusantara), Vol. 1, No. 1, 2015, h.
36-37. 4 Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain
Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), h. 35.
22
yang dimiliknya. Misbah kemudian sering berdakwah dari satu kampung
kekampung yang lain untuk menyebar luaskan ajaran Islam. Misbah
Musthafa adalah seorang pendakwah yang cukup populer saat itu, selain juga
seorang qari’ yang pandai dalam melagukan bacaan al-Qur’an. Sebelum
tampil untuk berdakwah sering kali Misbah tampil juga sebagai qari’ dalam
sebuah pengajian.5
Pada tahun 1940, KH.Misbah dijodohkan oleh KH.Achmad Bin
Syu’ab (Sarang Rembang) dengan putri KH.Ridwan dari desa Bangilan
Tuban. Dari perkawinannya dikaruniai lima anak, dua orang putri dan tiga
orang putra yaitu: Syamsiyah, Hamnah, Abdullah Badik,dan Ahmad Rafiq.6
Setelah KH.Ridwan meninggal dunia, semua kegiatan pondok
diserahkan kepada Misbah Musthafa. Dan mulai saat itulah ia mulai
mengasuh pondok pesantren al-Balagh, yang terletak di dusun Karangtengah,
kecamatan Bangilan, kabupaten Tuban. Semasa hidupnya Misbah dikenal
sangat produktif menulis, kurang lebih 200 judul kitab telah diterjemahkan,
baik kedalam bahasa Indonesia maupun kedalam bahasa Jawa yang ditulis
dengan huruf Arab Pegon, seperti Safinah al-Najah, al-Muhadzab, Sulam al-
Nahwu, Ibnu Aqil, Jum’aul Jawami’, al-Hikam, Ihya’ Ulum al-Din, dan
Tafsir Jalalain. Dari beragam karya yang diterbitkan dan beredar di
masyarakat, menunjukkan bahwa pengetahuannya tidak hanya satu
spesifikasi, melainkan hampir seluruh bidang ilmu agama dikuasainya, seperti
5 Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k fi> Ma’a>ni> al-tanzi>l Karya KH. Misbah
Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur‟an dan Tafsir di Nusantara), h. 37 6 Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain
Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), h. 36.
23
tata bahasa, Fiqh, Hadi>s}, Tafsi>r, Bala>gah, Tasawuf, Kala>m, dan lain-lain.
Hanya satu bidang yang tidak ia sentuh, yaitu mantiq atau logika. Sehari-hari
ia menulis dan menerjemahkan kitab, tidak kurang 100 lembar tulisan tangan,
yang kemudian diserahkan kepada para penulis indah (Khatthath) untuk
disalin. Kesibukannya ini tidak pernah meninggalkan kewajibannya mengajar
santri.7
Selain penulis dan pengajar, KH.Misbah juga sempat menjabat
sebagai PJS camat Bangilan. Di masyarakat dia dikenal sebagai pribadi yang
tegas tanpa kompromi dalam memutuskan suatu masalah atau hukum. Sering
kali Misbah berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru, bahkan
pernah suatu kali mengharamkan program Keluarga Berencana dan
Musa>baqah Tila>wah al-Qur’an (MTQ), yang menjadi program andalan Orde
Baru.8
Disisi lain KH.Misbah Musthafa juga aktif dalam kegiatan politik,
dengan motivasi berdakwah melalui parti-partai atau ormas. Pertama Misbah
aktif di partai NU, namun karena ada perselisihan tentang masalah keabsahan
BPR (Bank Perkeriditan Rakyat), ia keluar. Misbah Musthafa beranggapan
bahwa BPR mempraktikan riba, oleh karena itu haram. Semantara itu partai
NU menganggap bunga Bank tidak riba, sehingga tidak masalah. Perbedaan
pandangan ini merupakan salah satu pemicu keluarnya Misbah dari partai
NU. Setelah keluar dari partai NU, ia kemudian masuk ke partai Masyumi,
meskipun tidak lama. Misbah kemudian keluar dan masuk partai PPI (Partai
7 Ibid., h. 36.
8 Ibid.
24
Persatuan Indonesia. Keikutsertaannya dalam partai PII juga tidak
berlangsung lama, karena Misbah Musthafa kemudian masuk partai Golkar.
Dalam partisipasinya dipartai Golkarpun tidak berlangsung lama. Kemudian
ia keluar dan berhenti sama sekali dari kegiatan politik. Menurut Gus Nafis
bahwa masuknya Misbah Muthafa dalam partai politik yaitu bertujuan untuk
berdakwah. Oleh karena itu, Misbah sering berdiskusi dengan teman-teman
dalam partainya terutama masalah yang sedang trend di masyrakat. Selain itu
alasan Misbah Musthafa sering keluar masuk dalam suatu partai karena beliau
merasa bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh
teman-temanya di partai.9
Setelah berhenti dalam kegiatan berpolitik, Misbah Musthafa
kemudian banyak menghabiskan waktunya untuk mengarang dan
menerjemahkan kitab-kitab ulama salaf. Karena menurut Misbah bahwa
berdakwah yang paling efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan
apapun adalah menulis, mengarang, dan menterjemahkan kitab. Pada usia 78
tahun, tepatnya pada hari senin 07 Dzul Qa’dah 1414 H, atau bertepatan
dengan 18 april 1994 M, ia wafat, dengan meninggalkan dua istri, lima putra
beserta karyanya yang belum selesai antara lain: enam buah kitab berbahasa
Arab yang belum sempat diberi judul dan tafsir Taj al-Muslimi>n yang sampai
wafatnya baru selesai empat juz.10
9 Ibid., h. 37.
10 Ibid., h. 38.
25
2. Karya-karya Misbah Musthafa.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Misbah Musthafa mengusai
berbagai bidang agama, hal itu terbukti dengan banyaknya karyanya dalam
bidang fiqh, tata bahasa Arab, tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Diantara
karyanya adalah11
:
a. Dalam Bidang fiqh
1. Karya Asli
a. Karya asli dalam bahasa Jawa.
1. Manasik Haji dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif
Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.
2. Masa>il al-Jana>iz dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis
Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.
3. Masa>il al-Nisa’ dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai
Buku Surabaya.
4. Masa>il al-Jana>iz dalam bahasa Jawa dengan penerbit Kiblat
Surabaya.
5. Fasholatan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Sumber
Surabaya.
b. Karya asli dalam bahasa Indonesia.
1. Manasik Haji dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Majlis
Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.
11
Siti Zakiyatul Humairoh, “Penafsiran KH.Misbah Musthafa terhadap Ayat-ayat
Mustasyabihat dalam Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil”, (Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis IAIN
Surakarta, 2015), h. 24-29.
26
2. Pegangan Modin dalam bahasa Indonesia dengan penerbit
Kiblat Surabaya.
3. Fasholatan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Progresif
Surabaya.
2. Karya Terjemahan
a. Terjemahan dalam bahasa Jawa
1. Minha>j al-Abidi>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
2. Matan Tah}ri>r terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
al-Ihsan Surabaya.
3. Masa>il al-Fara>id terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
4. Minnah al-S}aniyyah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
5. Ubdat al-Fara>id terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
6. Nu>r al-Mubi>n fi> Ada>b al-Mushalli>n terjemahan dalam bahasa
Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan,
Tuban.
7. Jawa>hir al-Lammaah terjemahan bahasa Jawa penerbit Majlis
Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.
8. Kifa>yat al-Akhya>r terjemahan dalam bahasa Jawa Juz 1
dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.
27
9. Minhaj al-Abidin terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
10. Safi>nah al-Najah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
11. Bahjal al-Masa>il terjemahan dalam bahasa Jawa dengan al-
Ihsan Surabaya.
12. Minha>j al-Qawi>m terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit al-Ihsan Surabaya.
13. Sulam al-Taufiq terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
14. Al-Bajuri> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Kiblat Surabaya.
15. Matan Taqri>b terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Asco Surabaya.
16. Fath} al-Mu’i>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Asco Surabaya.
17. Bida>yah al-Hida>yah terjemahan dalam bahasa Jawa penerbit
Us\man Surabaya.
b. Terjemahan dalam bahasa Indonesia
1. Al-Muhazab terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Karunia, Surabaya.
2. Abi> Jamrah terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
28
b. Dalam bidang Kaidah Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah)
1. Karya terjemahan dalam bahasa Indonesia
a. Jauhar al-Maknun terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Menara Kudus.
2. Karya terjemahan dalam bahasa Jawa
a. Alfiyah Kubra terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Balai Buku Surabaya.
b. Naz}am maqsud terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Balai Buku Surabaya.
c. Naz}am Imriti> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Balai Buku Surabaya.
d. Juru>miyyah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Majlis Ta’lif al-Khatath.
e. Sulam al-Nahwu terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Asegaf Surabaya.
f. Jauhar al-Maknun terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Karuni Surabaya.
g. Alfiyah Sugra terjemahan dalam bahasa Jawa penerbit al-Ihsan
Surabaya.
c. Dalam Bidang Tafsir
1. Karya Asli
a. Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’ani> al-Tanzi>l dalam bahasa Jawa dengan
penerbit al-Ihsan Surabaya.
29
b. Taj al-Muslimi>n, Juz I, II, III, IV penerbit Majlis Ta’lif Wa al-
Khatath, Bangilan, Tuban.
2. Karya Terjemahan
a. Terjemahan bahasa Indonesia
Tafsi>r Jalalain terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Assegaf Surabaya.
b. Terjemah bahasa Jawa
1. Tafsi>r Jalalain terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Assegaf Surabaya.
2. Tafsi>r Su>rah Ya>si>n terjemahan dalam bahasa Jawa yang ditulis
dengan bahasa Jawa.
d. Dalam Bidang Hadis
1. Karya Asli
a. Tiga Ratus Hadis dalam bahasa Jawa dengan penerbit Bina Ilmu
Surabaya.
b. 633 Hadis Nabi dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan
Surabaya.
2. Karya Terjemahan
a. Terjemahan dalam bahasa Indonesia
1. Al-Jami>’ al-S}agi>r terjemahan dalam bahasa Indonesia
dengan penerbit Karunia Surabaya.
2. Riya>d} al-S}a>lih}i>n dalam bahasa Indonesia dengan penerbit
Karunia Surabaya.
30
3. Bukhari> terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Assegaf Surabaya.
b. Terjemahan dalam bahasa Jawa
1. Al-Jami>’ al-S}ahi>r terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Assegaf Surabaya.
2. Hasita Mimiyyah dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Assegaf Surabaya.
3. Riya>d} al-S}a>lih}i>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Assegaf Surabaya.
4. Durrah al-Na>s}ih}i>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Asco Pekalongan.
5. Bukhari> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Asco Surabaya.
6. Bulug al-Mara>m terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit al-Ihsan Surabaya.
7. Al-Az\kar al-Nawawi> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit al-Ma’arif Bandung.
8. Al-Jami>’ al-S}aghi>r terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit al-Ihsan Surabaya.
e. Dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf
1. Terjemahan dalam bahasa Indonesia
a. Az\kiya’ terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit
Assegaf Surabaya.
31
b. Dala>il terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit
Assegaf Surabaya.
c. Al-Syifa terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit
Karunia Surabaya.
2. Terjemahan dalam bahasa Jawa
a. Al-H{ikam terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Assegaf Surabaya.
b. Az\kiya’ terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf
Surabaya.
c. Sihr al-Khutaba dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf
Surabaya.
d. Syams al-Ma>’arif terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Assegaf Surabaya.
e. Id}at al-Nasi’in terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Karunia dan Raja Murah Pekaongan.
f. Asma> al-Husna> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit
al-Ihsan Surabaya.
g. Ihya>’ Ulumuddi>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Raja Murah Pekalongan.
h. Luklua terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Kiblat
Surabaya.
i. Ta’lim terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Imam
Surabaya.
32
j. Was}aya> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Ustman
Surabaya.
f. Dalam bidang Kalam (Teologi).
Terjemahan dalam bahasa Jawa
1. Tija>n Dura>ri> terjemah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai
Buku Surabaya.
2. Syu’b al-I<ma>m dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan
Surabaya.
g. Dalam bidang yang lain.
1. Karya asli
a. Minhad al-Rahma>n dalam bahasa Jawa dengan penerbit menara
Kudus.
b. Khutbah Jum‟ah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Karya
Abadu Surabaya.
c. Syi‟ir Qiyamat dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf
Surabaya.
d. Manakib Wali Sanga dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-
Khatah, Bangilan , Tuban.
e. Aurad al-Baligah (Wirid Jawa) dengan penerbit Majlis Ta’lif
Wa al-Khatah, Bangilan, Tuban.
f. Wirid Ampuh dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah,
Bangilan , Tuban.
33
g. Khutbah Jum‟ah dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan
Surabaya.
h. 300 Do‟a dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Sansiyah
Solo.
2. Karya terjemahan
a. Terjemahan dalam bahasa Indonesia
1. Nu>r al-Yaqi>n terjemah dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Karunia Surabaya.
2. Al-Rahbanuyyah terjemah dalam bahasa Indonesia dengan
penerbit Balai Buku Surabaya.
3. Attaz\kirat al-Haniyyah (Khutbah) dengan penerbit Majlis
Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan , Tuban.
b. Terjemahan dalam bahasa Jawa
1. Diba>’ makna dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku
Surabaya.
2. Qurrat al-‘Uyun terjemah dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.
3. Dala>il terjemah dalan bahasa Jawa dengan Penerbit Majlis
Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan, Tuban.
4. Misbah al-Dauji (Barjanji) terjemah dalam bahasa Jawa
dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan,
Tuban.
34
5. Hizib Nas}r terjemah dalam bahasa Jawa dengan penerbit
Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan , Tuban.
6. Nadhan Burdah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan
penerbit Assegaf Surabaya.
7. Beberrapa Hizb dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf
Surabaya.
B. Kitab Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l
1. Latar Belakang Penulisan
Pada umumnya setiap mufassir mempunyai tujuan ataupun alasan
dalam menulis kitab tafsir. Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang
dalam menulis kitab tafsir. Begitu juga dengan Misbah Musthafa, ada dua
hal utama yang melatar belakangi penulisan kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni>
al-Tanzi>l. Pertama bertujuan sebagai sarana dakwah agama Islam. Karena
pada waktu itu Misbah banyak menyaksikan ketidak seimbangan antara
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat yang ada disekelilingnya. Banyak dari masyarakat
yang hanya mementingkan kehidupan dunianya saja, dan menyampingkan
urusan akhiratnya.
Oleh karana itu timbul keinginan Misbah untuk menulis sekaligus
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an kedalam bahasa Jawa, agar al-
Qur’an mudah dipahami oleh orang-orang awam. Dalam misinya, Misbah
juga mengajak kepada orang-orang Islam agar sungguh-sungguh dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an menyimpan makna-makna
35
yang harus dipahami. Apabila umat Islam dapat megetahui makna ayat-ayat
yang terkandung dalam al-Qur’an, diharapkan umat Islam mampu
melaksanakan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mempunyai kepribadian
yang kokoh. Ajakan Kiai Misbah ini tercantum dalam kitab tafsirnya yaitu:
“Al-quran sewijine kitab suci saking Allah kang wajib digunakake
kanggo tuntunan urip dening kabih kawulane Allah kang podo melu
manggon ana ing bumine Allah. Saben-saben wong Islam wajib
ngagungake yen al-Quran iku dadi tuntunan uripe, yaiku artine ucapan ‚wa al-Qur’a>n ima>mi>‛. Wong Islam ora kena urip ing bumine Allah nganggo
tuntunan sak liyane al-Qur‟an. Ora kena urip cara wong kafir, utawa wong
Hindu utawa wong Budha utawa cara apa bahe.”12
Terjemah:
“Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci dari Allah yang harus
digunakan sebagai tuntunan hidup oleh semua hamba Allah yang
menempati bumi-Nya. Setiap orang Islam wajib mengakui bahwa al-Qur’an
menjadi tuntunan hidupnya, inilah artinya ‚wal al-Qur’a>n ima>mi>‛. Setiap
muslim tidak boleh hidup dibuminya Allah dengan menggunakan tuntunan
selain al-Qur’an, tidak boleh hidup dengan cara orang kafir, orang Hindu,
orang Budha atau yang lainnya.”
Secara bahasa kata al-Ikli>l berarti mahkota. Bagi Misbah, mahkota
merupakan hal yang berharga yang dimiliki setiap orang. Dalam konteks
makna itulah, ia berharap karya tafsir ini menjadi sesuatu yang berharga
bagi setiap orang dan dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
kehidupan,13
supaya kaum muslimin dapat bersikap seimbang terhadap
kehidupan dunia dan akhirat dengan cara melindungkan diri dibawah
naungan al-Qur’an disertai ilmu dan amal sehingga bisa bersama-sama
mendapatkan ketentraman dan kesenangan batin di dunia maupun akhirat.
12
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, Juz 1, (Surabaya: al-Ihsan,
Tt), h. 1. 13
Islah Gusmian, Memahami Kalam Tuhan, (T.Tp: Tpt, 2013), h. 36.
36
Penulisan kitab Tafsi>r al-Ikli>l dimulai pada tahun 1977 dan selesai
ditulis pada tahun 1985. Dalam penafsirannya, Misbah banyak menjelaskan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang berkembang
dalam masyarakat pada waktu itu.14
2. Sistematika Kitab
Kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l adalah salah satu kitab tafsir
yang ditulis oleh Misbah Musthafa yang ditulis lengkap 30 juz, mulai juz 1
sampai dengan juz 30 dan dicetak sebanyak 30 jilid. Dari 30 jilid tersebut
mempunyai warna sampul yang beragam, ada yang berwarna merah muda,
biru, ungu dan lain-lain.15
Setiap jilid berisi penafsiran terhadap setiap juz
dari al-Qur’an. Jilid 1 merupakan penafsiran terhadap al-Qur’an juz 1, jilid 2
untuk juz 2 dan seterusnya hingga jilid 30 yang berisi penafsiran KH.
Misbah Musthafa atas juz 30 dari kitab suci al-Qur’an. Akan tetapi jilid 30
ini dikasih nama juz ‘amma. Kitab tafsir yang diteliti ini merupakan cetakan
Maktabah al-Ihsan Surabaya yang tidak dicantumkan tahun terbitnya.
Jilid 1 terdiri dari 137 halaman, jilid 2 (142 halaman), juz 3 (184
halaman), juz 4 (245 halaman), jilid 5 (143 halaman), juz 6 (157 halaman),
jilid 7 (145 halaman), jilid 8 (190 halaman), jilid 9 (210 halaman), juz 10
(294 halaman) jilid 11 (249 halaman), jilid 12 (180 halaman), jilid 13 (178
halaman), jilid 14 (185 halaman), jilid 15 (236 halaman), jilid 16 (108
halaman), jilid 17 (123 halaman), jilid 18 (140 halaman), jilid 19 (114
14
Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah
Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), h. 45. 15
Lihat lampiran
37
halaman), jilid 20 (136 halaman), jilid 21 (141 halaman), jilid 22 ( 129
halaman), jilid 23 (127 halaman), jilid 24 (97 halaman), jilid 25 (117
halaman), jilid 26 (88 halaman), jilid 27 (80 halaman), jilid 28 (94
halaman), jilid 29 (117 halaman), jilid 30 (192 halaman).
3. Metode Penafsiran
Metode merupakan jalan atau cara yang digunakan mufassir dalam
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pandangan,
kecenderungan, dan keinginan mufasirnya.16
Oleh karena itu, setiap kitab
tafsir mempunyai metode yang berbeda dengan kitab tafsir lainnya.
Kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l yang ditulis KH.Misbah
Musthafa mempunyai metode dan corak tertentu sesuai dengan keahlian dan
tujuan yang ingin dicapai mufassir. Metode atau cara yang digunakan
Misbah Musthafa dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dalam kitab Tafsi>r al-
Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l terbagi menjadi empat bagian yaitu pertama ia
menyebutkan nama surat dan jumlah ayat, kemudian memaknai perkata,
setelah itu memberi penjelasan secara global, jika penjelasan secara global
dirasa kurang, maka ia menjelaskan secara terperinci. Penjelasan
selengkapnya sebagai berikut:
a. Nama Surat dan Jumlah Ayat
KH.Misbah Musthafa sebelum menafsirkan ayat al-Qur’an,
terlebih dahulu menyebutkan nama surat dan jumlah ayatnya.
Kemudian menjelaskan surat tersebut diturunkan sebelum hijrah
16
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur‟an), (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 378.
38
(makiyyah) atau diturunkan sesudah hijrah (Madaniyyah). Contohnya
“ ” kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa jawa “surah fatihah iki surah kang temurun marang kanjeng
Nabi Muhammad Saw. nalika kanjeng Nabi ana ing Mekah.”17
Akan
tetapi tidak semua surat dalam al-Qur’an di jelaskan jumlah dan tempat
turunnya, misalnya pada surat al-Baqarah ia langsung menafsirkan ayat
pertama tidak menyebutkan surat dan jumlah ayatnya terlebih dahulu.
Misbah Musthafa menyebutkan suatu surat yang sebagian
ayatnya merupakan ayat makiyyah, sementara ayat yang lainnya
termasuk ayat madaniyyah, contohnya pada surat al-An’a >m. Misbah
menyebutkan “Surah An‟am iki ayate ana satus sewidak lima, kabeh
temurun marang kanjeng Nabi ana ing Makah kejaba ayat 91, 92, 93,
151, 152, 153.”18
Artinya “Surat al-An’a >m ini ayatnya ada seratus enam
puluh lima, semua turun kepada Nabi Muhammad ketika di Makah
kecuali ayat 91, 92, 93, 151, 152, 153.
Pada ayat-ayat tertentu KH.Misbah Musthafa menyebutkan
sebab turunnya ayat (asba>b al-Nuzu>l). Contohnya pada surat al-
Ankabu>t: 57, ia menjelaskan sebagai berikut:
“He para kawulo Ingsun kang podo iman! Ngertiyo! Bumi Ingsun
iku jembar. Sangka iku sira kabeh supoyo podo nyembah husus marang
Ingsun, ojo nyembah liyane Ingsun. Wong-wong Mekah iki ora bisa
ngibadah terang-terangan ana ing Makah. Ing wektu iku hijrah neng
17
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, Juz I, (Surabaya:
Maktabah al-Ihsan, T.Tt), h. 2. 18
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, Juz VII, h. 1025.
39
Madinah fardu ain. Nanging wong kang apes podo kuatir yen mati
kelaparan yen melu hijrah. Nuli ayat iki tumurun.”19
Terjemah:
“Wahai hambaku yang beriman! Ketahuilah!, bumi-Ku sangat
luas, untuk itu kalian semua supaya beribadah husus kepada-Ku, jangan
beribadah kepada selain Aku. Orang-orang Makah tidak bisa beribadah
terang-terangan di Makah. Ketika itu hijrah ke Madinah Fardu ain.
Tapi orang yang kurang beruntung khawatir akan mati kelaparan jika
ikut hijrah. Kemudian ayat ini turun.”
Sebab turunnya ayat tersebut berkaitan dengan orang Islam yang
kurang beruntung berada di Makah setelah ditinggal nabi Muhammad
hijrah ke Madinah. Orang-orang Makah tidak bisa beribadah dengan
terang-terangan di Makah dan harus sembunyi-sembunyi. Ketika itu
hijrah ke Madinah hukumnya fardu ‘ain, akan tetapi orang yang kurang
beruntung tadi khawatir akan mati kelaparan apabila ikut hijrah
kemudian ayat ini turun dan Allah memerintahkahkan, “Kalian semua
jangan bertempat didaerahnya orang-orang musyrik apabila tidak aman
melakukan ibadah, hijrahah! Jangan takut mati kelaparan, karena setiap
yang bernyawa pasti mati. Apabila mereka yakin akan mati, tentu
semua yang dianggap menyusahkan akan hilang.”
b. Terjemah Setiap Kata (Makna Gandul)
Tafsi>r al-Ikli>l merupakan kitab tafsir yang ditulis oleh ulama’
pesantren, maka tidak heran jika penulisnya memberikan terjemah
setiap kata yang ditulis dibawahnya yang dalam tradisi pesantren
disebut dengan makna gandul, yaitu arti perkata dengan menggunakan
19 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3491-3493.
40
bahasa Jawa yang ditulis miring yang diletakkan dibawah kalimat
dengan menggunakan huruf Arab.
Dengan adanya makna gandul di setiap kalimat, maka
memudahkan pembaca yang kebanyakan adalah para santri untuk
mengetahui kedudukan kalimat, apakah menjadi mubtada>’ atau khabar,
fi’il atau fa’il dan seterusnya, yang dalam tradisi pesantren disebut
dengan tarki>b al-Kali>mah.
c. Penjelasan Global
Setelah memberikan makna gandul, KH.Misbah
menerjemahkan ayat demi ayat dengan terjemahan bebas tanpa terikat
pada susunan dan pola kalimat. Terjemahan secara bebas semacam ini
lebih dikatakan sebagai langkah untuk menemukan intisari yang
dimaksud oleh ayat, sehingga penjelasan ini lebih tepat dikatakan
sebagai penjelasan global. Posisi intisari ini diletakkan persis dibawah
ayat yang diberi makna gandul dengan pemisah berupa garis tunggal.
KH.Misbah ketika memberikan penjelasan global menyebutkan
ayah “ ” kemudian nomor surat yang diletakkan didalam kurung, akan
tetapi kadang langsung menyebutkan nomor ayat tanpa menyebutkan
ayah “ ” terlebih dahulu. Dalam memberikan penjelasan global
Misbah tidak selalu menjelaskan per ayat, akan tetapi kadang
menggabungkan dua atau tiga ayat yang dijelaskan dalam satu bahasan.
41
Contohnya dalam surat al-Fa>tihah, KH. Misbah menggabungkan
penjelasan dua ayat sekaligus. Contoh:
Penafsirannya:
“(3/4) Allah yang selalu dipuji-puji adalah dzat yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang untuk semua makhluk sampai kapanpun. Dan
dzat yang merajai hari pembalasan amal yaitu di hari qiyamat.”
Penulis menemukan bahwasannya KH.Misbah Musthafa tidak
menerjemahkan secara global semua ayat, contohnya pada QS. al-
Ah}za>b: 19, Misbah tidak menjelaskan secara global, tapi ia tetap
menerjemahkan perkata.
d. Penjelasan Terperinci
Setelah Misbah Musthafa menjelaskan per kata dan secara
global, setelah itu menjelaskan secara terperinci. Penjelasan terperinci
ini ditandai dengan dua garis mendatar dibawah penjelasan global yang
dikasih tanda keterangan yang disingkat ket. () . Misbah tidak
menjelaskan secara terperinci semua ayat, akan tetapi hanya ayat-ayat
yang dianggap perlu untuk dijelaskan.
20 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 1, h. 4
42
Misalnya pada ayat 4 dari surat al-Fa>tihah KH. Misbah
memberikan penjelasan secara terperinci. Penjelasannya sebagai
berikut:
“(Ket. 4) Mulane ditertemtuake ana ing yaumiddin, kerono ono
ing dunyo iki akeh kawulo kang podo ngerebut kadudukane Allah dadi
pangerane kabeh mahluk, kaya raja Fir‟aun, raja Namrud, lan liya-
liyane. Sak weneh ulama‟ ahli qira‟ah iki ana kang maca maliki ora
nganggo alif”21
Terjemah:
“(Ket. 4) Mengapa ditentukan di yaum al-Di>n, sebab di dunia
banyak orang yang merebutkan posisi Allah Swt. sebagai Tuhannya
makhluk, seperti raja Firaun, Namrud dan lain sebagainya. Sebagian
ulama’ ahli qira’ah ada yang membaca maliki dengan membaca
pendek”
Dalam penjelasan diatas, KH.Misbah juga menyinggung
masalah qira’ah, ini menunjukkan bahwa dia juga menguasai masalah
qira’ah.
Hal lain yang menarik dari tafsi>r al-Ikli>l adalah ditemukan
nuansa ilmiahnya. Di beberapa tempat terlihat beberapa ayat yang
ditafsirkan secara rasional. Misalnya penafsiran soal bentuk bumi yang
bulat yang selalu berputar pada porosnya, sehingga terjadi pergantian
siang dan malam. Disini KH.Misbah tidak hanya memberikan
penjelasan secara rasional, akan tetapi ia memberikan ilustrasi berupa
gambar lingkaran yang disorot dengan baterai, maka nampak daerah
yang terkena sinar akan terang (siang) dan yang tidak tersorot lampu
21
Ibid.
43
akan gelap (malam). Seperti itulah proses terjadinya siang dan malam.
Penafsiran lengkapnya seperti dibawah ini:
“Yen kepengen weruh ubenge rina lan bengi, anjupuko bal
utowo barang kang buder liyane. Coba ing wektu bengi disenter karo
sentolop (baterai). Bal diubengake alun, endi kang ngadepi sorote
sentolop iku rino, kang ora ngadepi iku bengi. Bal iku contone bumi,
sorote sentolop iku sorote srengenge. Kahanan kang mengkono iku ora
berubah, lan terus mlaku kanti rapi. Wis pirang ewu tahun? Opo kang
mengkono iku lumaku tanpa ono kang netepake? Ora tinemu ono ing
akal.”22
Terjemah:
“Apabila ingin melihat berputarnya siang dan malam, ambillah
bola atau benda bulat lainnya. Coba waktu malam di sorot dengan
baterai. Bola diputar pelan-pelan, bagian yang terkena cahaya adalah
siang, dan yang tidak terkena cahanya adalah malam. Bola
diumpamakan bumi, cahaya baterai adalah cahayanya matahari.
Keadaan seperti itu tidak berubah, dan terus berjalan dengan tertib.
Sudah beribu tahun? Apakah yang demikian berjalan tanpa ada yang
mengatur? Tidak bisa dipikir secara akal.
Selain nuansa ilmiah, Misbah Musthafa mengkritik terjemahan
lokal yaitu terkait kata baqarah dalam al-Qur’an yang diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia menjadi sapi betina. Menurut KH.Misbah
terjemahan sapi betina dari kata baqarah tidaklah tepat. Selama ini
orang-orang menerjemahkan sapi betina karena ada anggapan bahwa
huruf ta‟ dalam kata baqarah menunjukan perempuan. Ia memberi
penjelasan dengan panjang lebar dan memberi referensi dengan kasus
lain.
KH.Misbah berpendapat bahwa ta‟ yang ada pada kata baqarah
tersebut bukan ta’ ta’nis akan tetapi ta’ mufarriqah yaitu ta’ yang
22
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3761.
44
membedakan antara mufrad dan jama’. KH.Misbah mengkritik
pendapat tersebut dengan mengatakan “Amit-amit itu salah. Ta‟ kang
ana ing lafadz baqarah iku dudu ta‟ ta‟nist ta‟ fariqah bayn al-mufrad
wa al-jam‟i”. Kemudia ia menjelaskan lebih lanjut bahwa yang
dimaksud dengan jenis jam’i adalah isim yang memiliki makna banyak
dan dibedakan dengan bentuk mufrad-nya dengan huruf ta‟
dibelakangnya. Kalau baqar bermakna sapi banyak, sedangkan baqarah
bermakna sapi satu.
KH.Misbah juga memberikan contoh terkait kasus tersebut
dengan kata syajar dan syajarah. Syajar berarti pohon banyak dan
syajarah berarti pohon satu, tamar berarti kurma banyak dan tamrah
berarti kurma satu. Dengan begitu baqarah tidak bisa diterjemahkan
menjadi sapi betina tapi satu sapi. Berikut penjelasan lengkap Misbah
Musthafa ketika menafsirkan QS. al-Taubah ayat 3.
“Penulis ditekani pemuda nuli takon: opo hikmahe sapi kang
disembelih dening wong Bani Israil kok sapi wadon kok ora sapi
lanang? Penulis: Sopo kang dawuh yen sapi iku sapi wadon kerono
dipungkasi ta‟ ta‟nis. Penulis: Amit-amit iku salah. Ta‟ kang ana ing
lafadz baqarah iku dudu ta‟ ta‟nis nanging ta‟ fariqah bayn al-Mufrad
wa al-Jam‟i, tegese ambedaake antara makna siji lan makna akih.
Kerono lafaz baqar iku tanpa ta‟ iku isim jinis jam‟i. Kang aran jinis
jam‟i iku isim kang anduweni makna akih lan dibedaake saking
mufrode nganggo ta‟ ing akhire. Yen baqar iku gerombolan sapi akih,
yen baqarah iku sapi siji. Yen tamar iku kurma akih, yen tamrah iku
kurma siji. Yen syajar iku wit-witan akih, yen syajarah iku wit-witan
siji. Yan hirrun iku kucing akih, yen hirrah iku kucing siji. Yen tsamar
iku gerombolan whoh-whohan, yen tsamroh iku whoh-wohan siji.
Kejobo songko iku tembung surat baqarah iku wus dadi „alam. Dadi
ora kena dimaknai sapi wadon. Yen ono wong aran Mansur nuli ana
tembung Ja‟a Mansur opo sira maknani wus teko sopo wong kang
ditulungi? Temtu ora. Nanging teko sopo pak Mansur. Hiyo opo ora?
Pemuda: hiyo-hiyo. Maturnuwun. Iseh akih kesalahan terjemah kang
45
lumaku ono ing zaman saiki kang gandheng karo ilmu nahwu, koyo
kurang pengertian ambedakne antarane wawu isti‟naf lan wawu „athaf.
Dadi saben ono wawu diwoco fathah mesti dimaknai lan utowo dan,
semono uga perbedaan antarane fa‟ athaf lan fa fashihah lan liya-
liyane.”23
Terjemah:
“Penulis didatangi pemuda kemudian bertanya: “Apa
hikmahnya sapi yang disembelih oleh bani Israil, kenapa sapi betina
bukan sapi jantan? Penulis: Siapa yang berkata, kalau itu sapi betina
karena diakhiri ta’ ta’nis? Penulis: Maaf, itu salah. Ta‟ yang ada di kata
al-Baqarah itu bukan ta’ ta’nis, tapi ta’ fariqah bayn al-Mufrad wa al-Jam’i, yang berfungsi membedakan arti satu dan banyak. Karena kata
baqar itu tanpa ta’ maka dinamakan isim jinis jam’i. Yang dinamakan
isim jinis jam’i yaitu ism yang mempunyai arti banyak yang dibedakan
dengan adanya ta’ diakhrinya. Apabila baqar itu sapi banyak, maka
baqarah itu sapi satu. Tamr itu kurma banyak sedangkan tamrah kurma
satu. Syajar itu pohon banyak sedangkan syajarah itu pohon satu.
Hirrun itu kucing banyak sedangkan hirrah itu kucing satu. S}amar itu
buah-buahan sedangkan s}amarah itu buah satu. Kecuali kata surat
baqarah itu sudah menjadi alam. Jadi tidak bisa diartikan dengan sapi
betina. Apabila ada orang namanya Mansur kemudian ada kalimat ja>a mansu>r, apakah kalian artikan dengan orang yang telah ditolong sudah
datang? Pasti tidak demikian, tapi pak Mansur sudah datang, iya atau
tidak? Pemuda: iya-iya, terima kasih banyak. Masih banyak kesalahan
terjemah yang ada sekarang yang berhubungan dengan ilmu nahwu,
seperti tidak tau membedakan wawu isti’naf dengan wawu ‘athaf. Jadi
setiap ada wawu dibaca fathah pasti diartikan dan. Begitu juga
perbedaan antara fa’ ‘athaf dengan fa’ fashilah dan lain-lain.
Melihat sistematika penafsiran dalam kitab Tafsi>r al-Ikli>l maka
dapat diambil kesimpulan metode penafsiran yang dipakai KH.Misbah
adalah metode tahli>li>, dimana penafsirannya menjelaskan perkata,
penjelasan secara global, penjelasan terperinci, mencantumkan hadis
nabi, riwayat sahabat, dan mencantumkan asbab al-nuzul.
23
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 10, h. 1605-1606.
46
BAB III
KATEGORISASI DAN VARIASI KATA AL-MAUT
A. Tinjauan Umum Makna Al-Maut
Kehidupan yang dijalani manusia merupakan sesuatu yang gaib. Seseorang
tidak bisa mengetahui tentang kejadian yang akan datang, mereka hanya bisa
merencanakan, dan Allah lah yang menentukan. Proses kehidupan saja banyak
yang tidak mengetahuinya apalagi tentang maut (kematian).
Ketika manusia melihat kondisi orang yang mati, memandang jenazah
tidak lagi mampu menggerakkan badannya, lalu membusuk bahkan punah, maka
dia sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dari orang mati. Disanalah manusia
mencari apa yang terjadi dan mengapa bisa terjadi?1
Syukurlah, agama melalui kitab sucinya yaitu al-Qur‟an telah mengungkap
misteri tersebut, meskipun manusia hanya bisa memahami sedikit yang
diungkapkan al-Qur‟an.
Kamus-kamus bahasa Arab mendefinisikan maut dengan kematian atau
lawan dari hidup. Hidup ditandai dengan rasa, pergerakan, dan pertumbuhan,
maka ketika maut sudah menjemput tidak ada lagi rasa, pergerakan dan
pertumbuhan. Itu merupakan ciri kematian secara fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indra.
1 M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian (Surga yang dijanjikan al-Qur’an),
(Tangerang: Lentera Hati: 2008), h. 10.
47
47
Menurut bahasa kata al-Maut berasal dari kata ma>ta-yamu>tu-mautan yang
mempunyai arti kematian.2 Ahmad Ibn Fa>ris memaknai kematian dengan
hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati, lawan katanya adalah
hidup. Ia mendasari pendapatnya pada hadis Nabi yaitu, “Barang siapa yang
memakan buah dari kayu yang tidak baik ini, jangan dekati masjid kami. Jika
dipaksa juga mamakannya, maka kekuatannya hendaknya dimatikan
(dihilangkan).3
Kematian tidak selamanya menunjukkan kematian yang selama ini
dipahami orang, yaitu terlepasnya ruh dari jasad, akan tetapi bisa bermakna
majazi. Seperti al-Asfahani> memaknai kematian menjadi lima bagian yaitu:4
1. Mati karena hilangnya kekuatan untuk tumbuh pada manusia, hewan, dan
tumbuhan. Contohnya yaitu:
a. QS. al-Ru>m [30]: 19
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan
seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”
2 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Grogresif, 1997), h. 1465. 3 Abi> al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakariya>, ‚Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah‛, juz 5,
(T.tp: Dar al-Fikr, T.th), h. 283. 4 Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni>, ‚Mufrada>t Fi> Gari>b al-Qur’a>n‛ ,
Juz 2, (T.tp: Maktabah Nazar al-Musthafa al-Bazi, T.th), h. 616.
48
b. QS. Qa>f [50]: 11
“Untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami
hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya
kebangkitan.”
2. Hilangnya kekuatan al-Hassah seperti ucapan Maryam ketika akan
melahirkan Nabi Isa, yaitu:
a. QS. Marya>m [19]: 23:
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia
(bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai,
Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang
tidak berarti, lagi dilupakan".
b. QS. Marya>m [19]: 66
“Dan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati,
bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup
kembali?"
49
3. Hilangnya kekuatan akal (tidak mengetahui)
a. QS. al-An’a>m [6]: 122
“Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang
dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah
mereka kerjakan.
b. QS. al-Naml [27]: 80
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang
yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang
tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling
membelakang.”
4. Munculnya ketakutan yang menggerogoti hidup seperti bahaya kematian,
akan tetapi belum datang juga, QS. Ibrahi>m [14]: 17
“Diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya
dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia
tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat.”
50
5. Tidur
QS. al-Zumar [39]: 42
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa
(orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang)
yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain
sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”
Kematian dalam al-Qur‟an ketika menggunakan kata al-Maut, kebanyakan
menggambarkan tentang terlepasnya ruh dari jasad, yaitu manusia meninggalkan
alam dunia menuju alam akhirat. Sehingga menunjukkan bahwa kematian
merupakan jalan menuju kehidupan abadi (akhirat).
Semua manusia pasti akan merasakan mati karena Allah Swt. telah
berfirman: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya),
dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiya>’: 35).
Kematian merupakan kepulangan hamba kepada Rab-nya yang telah lama
pergi meninggalkan desanya (alam akhirat). Alam dunia diibaratkan sebagai
tempat perantauan yang tidak selamanya disinggahi. Sebagai tempat perantauan,
maka alam dunia merupakan tempat mencari bekal untuk pulang kekampung
halaman yang abadi yaitu akhirat, karena akhirat itu lebih utama, seperti firman
Allah Swt. dalam QS. al-D{uh}a>: 4, yaitu wa lala>khiratu khairun laka min al-U<la>
51
(“pasti kehidupan akhirat itu lebih utama bagimu dari pada kehidupan pertama
(dunia)”). Barang siapa yang mempersiapkannya maka ia adalah orang yang
beruntung.
Untuk kembali atau pulang kepada Allah Swt. diperlukan hati yang tenang
yang diperoleh dengan ketaatan di dunia. Maka orang seperti ini akan pulang
dengan senang hati karena diridhoi oleh Tuhannya dan akan dimasukkan ke
surganya Allah Swt. beserta orang-orang salih (QS. al-Fajr: 27-30).
Jika maut merupakan proses kepulangan, maka maut bagi seorang
mukmin adalah nikmat, karena merupakan pintu masuk menuju kehidupan yang
abadi dan bertemu dengan dzat yang telah dirindukan. Kenikmatan tersebut tidak
sembarang didapatkan seseorang, hanya orang mukmin yang meninggal di jalan
Allah-lah yang diberi kenikmatan. Mereka tidak mati, akan tetapi ia hidup dan
diberi rizki oleh Allah Swt. (QS. Ali Imra>n: 169), selain itu dimasukkan ke surga
dengan wajah yang berseri-seri ketika bertemu dengan tuhannya (QS. al-Insa>n:
22).
Tidak hanya berarti nikmat, maut (kematian) juga bisa menjadi musibah
(QS. al-Mulk: 2), tetapi tidaklah selalu bermakna demikian. Disini, anggapan
bahwa kematian sebagai musibah tidak lain disebabkan karena perbuatan dari
manusia ketika di dunia yang tidak menghiasi dengan amal salih, bukan substansi
dari kematian tersebut.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa kematian adalah sama dengan
kelahiran baru. Sebelum kelahiran pertama manusia, perut ibunya sama dengan
diatas bumi. Disana janin berhubungan dengan ibu melalui tali pusar. Ketika
52
kalahirannya tali pusar diputus agar ia bebas menjalani hidupnya. Dalam
kehidupannya di bumi, ada juga tali yang menghubungkannya dengan bumi yang
lain di alam sana. Tali itulah yang putus ketika meninggal, sehingga manusia
lepas dengan hunian lamanya, yang kali ini dengan bumi, untuk berada dihunian
baru.5 Hal ini seperti halnya janin yang lepas dari hunian lamanya, yakni perut
ibu, untuk tinggal sementara dipentas bumi ini.
Bahkan sebagian ulama memahami, saat tiba di hunian baru itu ada
malaikat-malaikat yang menyambut sebagaimana penyambutan yang dilakukan
perawat atau dukun beranak terhadap bayi yang baru lahir. Kalau para penyambut
bayi membersihkan dan mengenakan pakaian untuknya, maka di alam sana juga
demikian. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah ada malaikat yang turun dari langit
membawa kain kafan dari surga buat orang mukmin dan dari neraka bagi orang
kafir. Kafan itu serupa dengan pakaian bayi yang dikenakan untuknya setelah
seorang bayi lahir ke dunia.6
Maut juga dikatakan sama dengan tidur, seperti doa yang biasa dibaca oleh
seorang ketika bangun tidur adalah, “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan
kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kebangkitan”. Yang
dimaksud dengan menghidupkan adalah membangunkan dari tidur, sedangkan
mematikan adalah menidurkan. Sedang doa Nabi sebelum tidur adalah, “Ya Allah,
atas nama-Mu aku hidup dan mati.” Ini menunjukkan bahwa tidur merupakan
kematian sementara yang diibaratkan layangan terbang jauh keangkasa tapi
5 M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian (Surga yang dijanjikan al-Qur’an),
(Tangerang: Lentera Hati: 2008), h. 47. 6 Ibid. h. 48.
53
talinya dipegang oleh pemain, sedangkan yang mati adalah layangan yang telah
putus talinya, sehingga ia terbang tidak kembali lagi.7
Al-Qur‟an menunjukkan bahwa setiap makhluk akan mengalami
kerusakan atau mati (QS. al-Rahman: 26), begitu juga alam dunia akan diakhiri
dengan kerusakan (kiamat). Ini menunjukkan bahwa kematian merupakan
kepastian dan tidak seorangpun yang dapat lari darinya, sekalipun berlindung
dibawah benteng yang kokoh, pasti maut akan menghampirinya.
Maut menjadi titik perantara yang menghubungkan masa, keadaan dan
kehidupan dunia menuju kepada masa, keadaan dan kehidupan akhirat yang abadi.
Ini memberikan implikasi bahwa sekiranya kematian tidak berlaku sudah tentu
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan alam akhirat tidak akan berlaku.
Dengan berlakunya kematian, keadilan di alam akhirat yang abadi mulai
dilaksanakan dan kiamat bagi setiap manusia pun telah dimulai. Dengan
demikian, maka maut dianggap sebagai perpindahan kehidupan dari alam dunia
menuju alam akhirat.8
B. Kategorisasi dan Variasi Kata Al-Maut
1. Kategorisasi kata Al-Maut
Kematian dalam al-Qur‟an salah satunya menggunakan kata al-Maut,
ada yang berbentuk fi’il maupun ism. Dalam Mu’jam Mufahras Li al-Fa>z al-
Qur’an al-Kari>m tercatat kata al-Maut ada 163 kata baik berbentuk isim
7 Murtiningsih, “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, dalam Intizar Vol. 19,
no. 22, 2013, h. 333. 8 Umar Lathif, “Konsep Mati dan Hidup dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep
Eskatologis), dlam Al-Bayan, Vol. 22, no. 34, 2016, h. 33.
54
maupun fi’il.9 Seperti yang dijelaskan di latar belakang bahwa penelitian ini
tidak membahas semua kata tersebut akan tetapi hanya membahas yang
berbentuk ism masdar. Berikut dibawah ini daftar kata al-Maut yang
berbentuk ism masdar, beserta wazannya:
KATEGORISASI AYAT BERDASARKAN BENTUKNYA
No. Kata al-Maut Mengikuti
Wazan Al-Qur’an Surat
1.
QS. al-Baqarah [2]: 19, 24, 133,
180, dan 243, QS. A<li Imra>n [3]:
143, 168, dan 185, QS. al-
Nisa>’[3]: 15, 18, 78, dan 100, QS.
al-Ma>idah: 106, QS. al-An’am:
61, dan 93, QS. al-Anfa>l: 6, Hud:
7, QS. Ibra>hi>m: 17, QS. al-
Anbiya>’: 35, QS. al-Mukminu>n:
99, QS. al-Ankabu>t: 57, QS. al-
Sajadah: 11, QS. al-Ah}za>b: 16 dan
19, QS. Saba>’: 14, QS. al-Zumar:
42, QS. al-Dukha>n: 56, QS.
Muh}ammad: 20, QS. Qa>f: 19, QS.
al-Wa>qi’ah: 60, QS. al-Jum’ah: 6,
dan 8, QS. al-Muna>fiqu>n: 10, QS.
al-Mulk: 2
2. QS. al-Baqarah: 56
3. QS. al-Nisa >’: 159, QS. Saba >’: 14
4.
QS. al-Baqarah: 164, dan 159, QS.
al-Nahl: 65, QS. al-Ankabu>t: 63,
QS. al-Ru>m: 19, 23, 50, QS.
Fa>thir: 9, QS. al-Zumar: 42, QS.
al-Ja>siyah: 45, QS. al-H{adi>d: 17
9 Muhammad Fu’ad Abd Baqi>, ‚Mu’jam Mufahras Li al-Fa>z} al-Qur’an al-Kari>m,‛
(Mesir: Dar al-Hadis, 1943) h. 678-680.
55
5. QS. al-Furqa>n: 3
6. QS. al-An’a>m: 132, QS. al-Furqa>n:
49, QS. al-Zukhru>f: 11, QS. al-
H{ujurat: 12, dan QS. Qaf: 11.
7. yang
mudha’af
QS. A<<<li Imra>n: 27, QS. al-An’a>m:
95, QS. al-A’ra>f: 57, QS. Yunus:
31, QS. Ibra>hi>m: 17, QS. al-Ru>m:
17, QS. Fathir: 9, QS. al-Zumar:
30.
8. QS. al-Isra>’: 75
9. QS. al-An’a>m: 6
10 QS. al-Jas}iyah: 21
11.
QS. al-Baqarah: 73, dan 260, QS.
A<li Imra>n: 49, QS. al-Ma>idah: 110,
QS. al-An’a>m: 36, dan 111, QS.
al-A’ra>f: 57, QS. al-Ra’du: 31, QS.
al-H{aj: 6, QS. al-Naml: 80, QS. al-
Ru>m: 50, dan 52, QS. Ya>si>n: 12,
QS. Fushilat: 39, QS. al-Syu>ra>: 9,
QS. al-Ah}qa>f: 33
12.
/
QS. al-Dukha>n: 56, QS. al-
Baqarah: 173, QS. al-Ma>idah: 3,
QS. al-An’a>m: 139, dan 145, QS.
al-Nah}l: 115, QS. Ya>si>n: 33
13.
QS. al-Shafat: 59,
QS. al-Dukha>n: 35.
56
2. Variasi kata Al-Maut dan Penafsirannya dalam Tafsi>r Al-Ikli>l
a. yang mengikuti wazan dima’rifatkan dengan alif lam atau
susunan iz}afah.
1. QS. Al-Baqarah [2]: 19
“Atau sifatnya orang munafiq itu seperti sifat orang yang
ditimpa hujan lebat dalam keadaan gelap gulita. Banyak guntur dan
petir menyambar. Orang-orang yang kehujanan tadi menutup
kuping dengan jarinya supaya tidak mendengar suara petir yang
keras, karena mereka (orang munafik) takut mati. Begitulah sifat
orang munafiq ketika ada ayat al-Qur‟an (yang diumpamakan
hujan) turun kepada nabi Muhammad Saw. yang menerangkan
kufur (yang diumpamakan guntur) dan hujjah atau bukti-bukti yang
jelas (yang diumpamakan petir), orang-orang munafiq tadi
menyumbat kupingnya jangan sampai mendengar ayat-ayat al-
Qur‟an. Sebab kalau mendengar, nanti akan beriman kepada nabi
Muhammad dan meninggalkan agamanya, kemudian masuk agama
Islam. Cara orang munafiq tersebut seperti orang mati. Orang-
orang kafir yang seperti orang-orang munafiq akan lari kemana,
mereka tidak bisa lepas dari kekuasaan dan penglihatannya Allah.10
KH.Misbah Musthafa menafsirkan sifat orang munafik itu
seperti orang takut mati. Yaitu ketika mendengar ayat-ayatnya
Allah Swt. yang merupakan h}ujjah mereka menutup kuping mereka
supaya tidak mendengar karena ditakutkan akan beriman kepada
Allah Swt. dan nabi Muhammad Saw. Sifat tersebut seperti orang
yang takut mati ketika mendengar petir dan guntur ketika hujan
10
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz. 1, (Surabaya: Al-
Ihsan, T.th.), h. 19.
57
lebat. Petir diumpamakan ayat-ayatnya Allah Swt. dan guntur
diibaratkan dengan h}ujjah-nya Allah Swt.
2. QS. al-Baqarah [2]:133
“Hai orang-orang Yahudi, apakah kalian hadir ketika nabi
Ya'qub mati, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim,
Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya".11
Ayat diatas mengingatkan tentang wasiat orang tua ketika
kedatangan tanda-tandanya mati kepada orang yang ditinggal, yaitu
tidak hanya berupa harta, akan tetapi apa yang mereka sembah
setelah ia meninggal. Seperti yang dilakukan nabi Ya‟qub ketika
maut mendatangainya, ia mengatakan, Apa yang kalian sembah
sepeninggalanku?” mereka menjawab, "Kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq,
(yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya".
Ayat ini menganjurkan orang tua untuk memperkuat
keimanan anak-anak dan keluarganya dengan mendidik agama,
11
Ibid., h. 124.
58
supaya setelah ditinggal mati orang tuanya, imannya tetap kuat dan
tidak goyah.
3. QS. al-Baqarah [2]: 180
“Hai orang-orang Islam! Apabila salah satu dari kalian ada
yang kedatangan penyebab kematian, seperti sakit, apabila
meninggalkan harta maka diwajibkan wasiat memberi uang kepada
kedua orang tua dan keluarga dengan cara yang baik.”12
Ayat diatas mengingatkan apabila seseorang yang
mempunyai harta kedatangan tanda-tandanya kematian seperti sakit
maka diwajibkan untuk segera berwasiat dengan cara yang baik.
4. QS. al-Baqarah [2]: 243
“Apakah kamu tidak tahu sejarahnya sebagian dari orang
bani Israil? Orang bani Israil yang banyaknya kurang lebih ada
tujuh puluh ribu itu pada keluar kampungnya karena takut mati,
karena dikampungnya ada penyakit tho‟un, yaitu salah satu
penyakit yang apabila terserang penyakit tersebut sebentar saja
sudah meninggal. Kemudian Allah bersabda: “Wahai bani Israil,
matilah kalian! Seketika itu juga meninggal. Kemudian Allah
menghidupkan orang itu sesudah mati delapan hari.13
12
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz. 2, h. 184 13
Ibid., h. 268.
59
Ayat diatas menjelaskan tentang orang yang takut mati
disebabkan karena penyakit tho‟un. Mereka lari tapi kematian tidak
dapat dihindari.
5. QS. A<li Imra>n [3]: 143
“Sesungguhnya kalian semua mengharapkan mati (syahid)
sebelum mendapati jalannya mati yaitu perang uhud. Sekarang
kalian semua melihat sendiri dengan mata kalian sendiri kenapa
kok pada melarikan diri?”14
Mati dalam ayat diatas diartikan dengan mati syahid, yaitu
orang yang ingin mati syahid dengan ikut perang. Akan tetapi
mereka pada melarikan diri. Konteks ayat ini turun ketika akan
perang uhud.
6. QS. A<li Imran [3]:168
“Orang-orang munafik yang telah diterangkan didepan yaitu
orang-orang yang berkata kepada teman-temannya yang duduk-
duduk tidak mau ikut perang: Seumpamanya sahabat-sahabatnya
Muhammad itu mengikuti kita, tentu saja tidak di bunuh oleh
musuh. Wahai Muhammad!, katakanlah: “Wahai orang-orang
munafiq, tolaklah kematian itu darimu, jika kamu orang-orang yang
benar”.15
14
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 509. 15
Ibid., h. 533.
60
Ayat diatas menjelaskan bahwa al-Maut (kematian) tidak
dapat dihindari, meskipun mereka tidak ikut perang.
7. QS. A<li Imra>n [3]: 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”16
Mati merupakan kepastian yang pasti dirasakan oleh setiap
yang bernyawa. Dan akan mendapat balasan amalnya di hari
kiamat.
8. QS. al-Nisa>’ [4]: 15
“Perempuan-perempuan yang melakukan zina dari
golongan kalian wahai kaum muslimin, hendaknya kalian
mendapatkan empat orang laki-laki sebagai saksi dari kalian (orang
Islam) yang menyaksikan bahwa wanita itu melakukan zina.
Apabila empat orang tadi menyaksikan wanitu itu melakukan zina,
hendaknya ia ditahan didalam rumah tidak campur dengan
16
Ibid., h. 554.
61
masyarakat sampai mati atau apabila Allah Swt. menetapkan
jalannya perempuan tadi keluar dari rumah.”17
Al-Maut dalam ayat diatas menjelaskan hukuman orang
yang berzina yaitu dikurung di dalam rumah sampai mati.
9. QS. al-Nisa>’ [4]: 18
“Orang-orang yang sudah melakukan dosa dan tidak mau
taubat hingga datangnya kematian, dan ruh sudah sampai di
tenggorokan kemudian mengucapkan sekarang saya taubat, seperti
itu tidak tidak terima taubatnya oleh Allah Swt., jadi taubatnya
tidak ada gunanya. Begitu juga orang-orang yang mati sedang
mereka masih dalam keadaan kafir. Orang-orang yang seperti itu
sudah saya sediakan siksa yang sangat pedih”18
Ayat diatas menjelaskan bahwa al-Maut merupakan batas
akhir taubat. Jika ruh sudah sampai di tenggorokan dan orang yang
berdosa minta ampunan maka taubatnya tidak diterima Allah Swt.
10. QS. al-Nisa>’ [4]: 78
…..
“Dimana saja kamu berada, kematian pasti akan
mendapatkan kamu. Tidak ada orang yang hidup selamanya,
kendatipun kamu di dalam benteng yang kokoh, jadi tidak ada
gunanya kamu takut perang takut mati.”19
17
Ibid., h. 673. 18
Ibid., h. 678. 19
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 5, h. 751.
62
Al-Maut (kematian) merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari meskipun berlindung didalam benteng yang kokoh. Jadi
tidak ada gunanya lari dari kematian dengan tidak ikut perang.
11. QS. al-Nisa>‟ [4]: 100
“Barang siapa yang pindah (hijrah) karena mengagungkan
agamanya Allah, pasti akan mendapatkan tempat yang banyak
manfaatnya untuk dirinya dan rizki yang luas. Dan barang siapa
yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah
dan Rasulnya yang didorong oleh rasa taat kepada Allah dan
rasulnya, kemudian kematian menimpanya, maka pahala orang
tersebut tetap disisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”20
KH.Misbah menafsirkan orang yang mati dalam keadaan
hijrah atau berjuang di jalan Allah maka akan mendapat pahala
disisi Allah Swt. Ini menunjukka al-Maut adalah nikmat bagi orang
yang beriman.
12. QS. al-Ma>idah [5]: 106
…
“Hai orang-orang beriman, apabila salah sorang kamu
melihat tanda-tanda kematian, kemudian dia akan wasiat, maka
20
Ibid., h. 784.
63
hendaklah mendatangkan dua saksi yang adil dari golonganmu dari
orang Islam dan selain golonganmu yaitu orang kafir. Yang
demikian itu apabila kamu dalam keadaan bepergian dengan orang
kafir, kemudian menghadapi bahaya yang dapat menyebabkan
mati.”21
…
KH.Misbah menafsirkan bahwa orang yang kedatangan
tanda-tandanya kematian hendaknya berwasiat dengan
mendatangkan saksi.
13. QS. al-An’a>m [6]: 61
“Dan Allah menugaskan malaikat hafadzah kepada kalian
semua, yaitu malaikat yang mencatat semua pekerjaan kalian,
seperti ucapan, dan pekerjaan secara lahir maupun batin (hati) yang
menjadi keinginan kuat. Sehingga apabila kematian akan
mendatangi kalian, diambil oleh utusan-utusan-Ku dengan keadaan
sempurna, mereka tidak ada yang ceroboh.22
Al-Maut adalah kepastian yang akan mendatangi seseorang
yang tidak akan salah orang, karena malaikat maut tidak ada yang
ceroboh.
14. QS. al-An’a>m [6]: 93
21
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h. 1009. 22
Ibid., h. 1074.
64
“Wahai Muhammad, apabila kamu melihat orang-orang
yang mendzalimi dirinya sendiri berada dalam tekanan sakaratul
maut, malaikat maut membetangkan tangannya lalu berkata: “Ayo!
Keluarkanlah sendiri ruhmu”. Sekarang kamu akan dibalas dengan
siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan
terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu
selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”23
KH.Misbah Musthafa menafsirkan apabila orang zalim
sakaratul maut maka mereka akan tersiksa.
15. QS. al-Anfa>l [7]: 6
“Para Muslimin membantahmu Muhammad! Tentang
kebenaran yang engkau perintahkan sesudah nyata yang harus
dilaksanakan yaitu perang. Orang-orang Islam ketika itu seperti
orang yang dituntun kepada kematian, dan mereka melihat kalau
mereka semua akan mati.”24
Al-Maut merupakan kepastian yang tidak dapat dihindari.
16. QS. Hu>d [11]: 7
“Allah Swt. adalah dzat yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, dan „Arsy-Nya diatas air, Allah menciptakan
langit dan bumi agar Dia menguji kalian siapa diantara kalian yang
23
Ibid., h. 1102. 24
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 9, h. 1470.
65
lebih bagus amalnya. Dan demi keagungan-Ku! Seumpama kalian
berkata: “Hai orang-orang kafir, kalian akan dibangkitkan sesudah
mati (yang demikian adalah firman Allah dalam al-Qur‟an).” Pasti
mereka berkata: “Al-Qur‟an itu adalah salah satu sihir yang dahsyat
(mandi).”25
Ayat diatas menjelaskan bahwa seseorang setelah mati akan
dibangkitkan kembali. Ini menunjukkan bahwa mati merupakan
jalan menuju kehidupan baru.
17. QS. Ibra>hi>m [14]: 17
“Orang-orang kafir yang sombong itu akan menelan air
shodid (nanah), tapi air shodid itu hampir-hampir tidak bisa ditelan
karena rasanya tidak enak dan menyakitkan. Orang-orang kafir
yang sombong itu kedatangan sebab-sebab yang dapat
menyebabkan kematian dari berbagai penjuru, akan tetapi tidak
bisa meninggal, dan dibelakangnya ada siksa yang sangat berat.”26
Al-Maut bagi orang kafir merupakan siksa, mereka akan
menelan air nanah (sodid) yang dapat menyebabkan mati, tapi
mereka tidak dapat mati.
18. QS. al-Anbiya>’ [21]: 35
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati, dan Kami
menguji kalian dengan bencana yaitu perkara yang tidak
menyenangkan, dan menguji dengan perkara yang menyenangkan.
25
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 12, h. 2070-2071. 26
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2399.
66
Demikan itu untuk menguji kalian. Dan kalian semua pasti akan
kembali kepada-Ku yaitu dihadapkan di pengadilan-Ku.”27
KH.Misbah Musthafa menafsirkan bahwa setiap jiwa akan
mencicipi mati, setelah itu akan dikembalikan kepada Allah Swt.
untuk diadili.
19. QS. al-Mukminu>n [23]: 99
“Demikianlah keadaan orang kafir Makah ketika kematian
mendatanginya dan melihat neraka yang akan menjadi tempatnya,
mereka mengatakan: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia.”28
KH.Misbah menafsirkan bahwa al-Maut (kematian)
merupakan siksa karena ketika sakaratul maut mereka melihat neraka
yang akan ditempatinya, dan mereka menyesal sambil berkata, “Ya
Tuhanku kembalikanlah aku kedunia.” Akan tetapi penyesalan
tersebut tidak ada gunanya.
20. QS. al-Ankabu>t: 57
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. kemudian
hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan (dihadapkan kepada-Ku
(Allah).”29
Al-Maut (kematian) adalah kepastian yang akan dirasakan oleh
semua yang bernyawa. Setelah itu akan dikembalikan kepada Allah
swt. untuk diadili.
27
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 2983-2984. 28
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 18, h. 3126. 29
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3492.
67
21. QS. al-Sajadah [32]: 11
“Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut
nyawamu) akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah
kamu akan dikembalikan."
Ayat diatas menjelaskan bahwa yang diserahi mencabut nyawa
adalah malaikat maut. Setelah manusia mati maka akan dikembalikan
kepada Tuhannya.
22. QS. al-Ah}za>b [33]: 16
“Hai Muhammad, katakanlah! “Hai orang-orang munafiq, lari
itu tidaklah berguna bagi kalian, jika kalian melarikan diri dari
kematian atau dibunuh musuh. Jika kalian lari kemudian tidak mati,
dan kalian merasa senang, kesenangan itu hanyalah sebentar.”30
KH.Misbah menafsirkan bahwa mati tidak dapat dihindari, jika
ada yang mencoba untuk menghindarinya dan selamat, maka
kesenangan itu tidak akan berlangsung lama, kematian pasti
menjemputnya.
30
Ibid., h. 3614.
68
23. QS. al-Ah}za>b [33]: 19
“Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan
(bahaya), kamu Lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata
yang terbalik- balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan
apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah
yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. mereka itu
tidak beriman, Maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. dan yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.”31
Ayat diatas menjelaskan tentang kondisi orang bakhil ketika
sakaratul maut, yaitu kondisinya seperti orang yang pingsan yang
takut mati dan matanya terbalik-balik.
24. QS. Saba>’ [34]: 14
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, jin
dan manusia tidak ada yang melihat meninggalnya dan tidak ada yang
menunjukkan atas kematiannya kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Tatkala tongkatnya dimakan rayap, Sulaiman tersungkur,
kemudian orang-orang tahu bahwa jin itu tidak melihat kejadian gaib
tersebut. Seumpama jin melihat kejadian gaib, tentu mereka akan
31
Ibid., h. 3616.
69
berhenti bekerja yang sama dengan menyiksa yang dapat membuat
dirinya hina.32
Ayat diatas menunjukkan bahwa semua manusia akan mati
termasuk para nabi.
25. QS. al-Zuma>r [39]: 42
“Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil
jiwa orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang
telah ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa
dalam tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”33
KH.Misbah Musthafa menafsirkan al-Maut merupakan kondisi
yang dialami seseorang yang mana jiwanya (ruh) diambil Allah Swt.
dan tidak dikembalikan lagi. Sehingga ruh dan tubuh itu mengalami
keterpisahan.
26. QS. al-Dukha>n [44]: 56
32
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3681. 33
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3889.
70
“Didalam surga, orang-orang bertakwa tidak merasakan mati,
kecuali yang yang pertama di dunia, dan Allah memelihara mereka
dari azab neraka.”34
Ayat diatas menjelaskan tentang kenikmatan orang di surga,
yaitu mereka tidak mati akan tetapi hidup. Kenikmatan tersebut
dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa.
27. QS. Muh}ammad [47]: 20
“Orang-orang beriman berkata: “Mengapa tiada diturunkan
suatu surat yang berkaitan dengan perintah perang?” Maka apabila
diturunkan surat yang menyebut perintah perang, orang yang
mempunyai penyakit didalam hatinya melihat kalian seperti melihat
orang yang pingsan, karena menghadapi mati. Sebentar lagi akan
merasakan apa yang dibenci.”35
Ayat diatas menggambarkan bahwa kondisi orang yang
sakaratul maut itu seperti orang yang pingsan, yang tidak punya
kekuatan unutk melawannya.
28. QS. Qaf [50]: 19
34
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4082-4083. 35
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 26., h. 4129
71
“Sakitnya kematian karena dicabutnya ruh pasti datang dengan
keadaan yang sebebar-benarnya yaitu keadaan akhirat. Kematian
adalah suatu perkara yang ingin kamu hindari, tapi tidak bisa.”36
Ayat diatas menjelaskan kondisi ketika ruh dicabut dari badan
(sakaratul maut), yaitu merasakan sakit dan juga melihat sesuatu yang
nyata tentang kondisi akhirat.
29. QS. al-Wa>qi’ah [56]: 60
“Kami telah menentukan kematian diantara kalian, dan Kami
dalam menentukan kematian tersebut tidak akan didahului orang
lain.”37
Al-Maut merupakan ketentuan Allah Swt., tidak ada manusia
yang dapat merubahnya.
30. QS. al-Jum’ah [62]: 6
“Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi! Jika kamu
mengira kalau kamu adalah kekasihnya Allah, maka harapkanlah mati
jika kalian adalah orang-orang yang benar.”38
Ayat diatas menjelaskan tentang tantang Allah Swt. kepada
orang Yahudi, apabila mereka memang orang yang benar maka
hendaknya meminta untuk dimatikan.
36
Ibid., h. 4175. 37
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 27, h. 4249. 38
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 28, h. 4323-4324.
72
31. QS. al-Jum’ah [52]: 8
“Katakanlah wahai Muhammad!, “Ketahuilah! Kematian yang
kamu takuti pasti akan menemui kamu, kemudian kamu pasti akan
dikembalikan yaitu dihadapkan kepada Allah Swt. yang Maha
Mengetahui sesuatu yang samar dan nyata”. Kemudian Allah
menceritakan kepada kalian apa saja yang telah kalian perbuat.”39
Ayat diatas menjelaskan bahwa maut adalah sesuatu yang
tidak dapat dihindari.
32. QS. al-Muna>fiqu>n [63]: 10
“Kalian semua hendaknya membelanjakan apa yang telah
Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian, lalu ia berkata:
“Wahai Tuhanku, mengapa Engkau tidak mengundurkan kematianku
sampai waktu yang dekat, saya akan bersedekah dan saya bisa
menjadi orang-orang yang saleh.”40
Al-Maut merupakan batas untuk melakukan amal perbuatan.
Jika maut sudah menjemput maka tiada lagi waktu untuk beramal,
yang ada hanyalah pembalasan yang dikerjakan didunia.
39
Ibid., h. 4325-4326. 40
Ibid., h. 4333-4334.
73
33. QS. al-Mulk [67]: 2
“Allah yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian
(manusia), siapa yang paling bagus amalnya. Allah Maha Perkasa jika
menghendaki menyiksa siapa saja, dan tidak ada yang bisa
menghalangi. Allah Swt. Maha Pengampun terhadap orang-orang
yang ingin bertaubat.”41
Ayat diatas menjelaskan tentang tujuan Allah Swt.
menciptakan kematian, tidak lain yaitu untuk menguji manusia mana
yang paling baik amalnya.
b. mengikuti wazan dimud}afkan dengan d}ami>r muttas}il.
1. QS. al-Baqarah [2]: 56
“Kemudian setelah kalian mati, kalian semua Saya hidupkan
kembali, supaya kalian bersyukur atas nikmat-Ku dengan taat dan
beribadah kepada-Ku.”42
Ayat diatas menjelaskan kondisi seseorang setelah mati, yaitu
akan dibangkitkan dan akan mendapat balasan.
41
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 29, h. 4365. 42
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 1, h. 54.
74
c. mengikuti wazan dima’rifatkan dengan d}ami>r muttas}il.
1. QS. al-Nisa >’ [4]: 159
“Setiap ahli kitab yaitu orang Kristen dan Yahudi pasti
beriman kepada Nabi Isa sebelum kematiannya. Beriman bahwa nabi
Isa adalah nabi dan utusan Allah bukan anaknya Allah. Besok dihari
kiamat nabi Isa pasti akan menjadi saksi yang membahayakan bag
orang Nasrani dan Yahudi.”43
Konteks ayat diatas membicarakan tentang kondisi ahli kitab
dari golongan Kristen dan Yahudi bahwasannya mereka sebelum
beriman adalah orang yang beriman kepada nabi Isa.
2. QS. Saba> [34]: 14
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, jin
dan manusia tidak ada yang melihat meninggalnya dan tidak ada yang
menunjukkan atas kematiannya kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Tatkala tongkatnya dimakan rayap, Sulaiman tersungkur,
kemudian orang-orang tahu bahwa jin itu tidak melihat kejadian gaib
tersebut. Seumpama jin melihat kejadian gaib, tentu mereka akan
berhenti bekerja yang sama dengan menyiksa yang dapat membuat
dirinya hina.”44
43
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 5, h. 828. 44
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3681.
75
d. dima’rifatkan dengan d}ami>r muttas}il yang mengikuti wazan .
1. QS. al-Baqarah [2]: 164
…
“Dan Allah turunkan air dari langit, dengan air itu Allah
menghidupkan bumi setelah matinya, dan dengan air itu juga Allah
menyebar berbagai macam hewan.”45
Konteks ayat diatas menjelaskan bahwa bumi mengalami
kematian dan Allah Swt. menghidupkannya dengan air hujan.
2. QS. al-Nah}l [16]: 65
“Allah telah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air
tersebut Allah menghidupkan bumi setelah matinya. Yang demikian
itu terdapat tanda-tanda yang bermanfaat bagi orang-orang yang
mendengarkan.”46
Al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang bumi yang
mati kemudian dihidupkan Allah Swt. dengan air hujan.
3. QS. al-Ankabu>t [29]: 63
45
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 2, h. 161. 46
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 14, h. 2546.
76
“Demi keagungan-Ku, jika kamu menanyakan kepada orang-
orang kafir Makah, “Siapakah yang menurunkan air dari langit
kemudian menghidupkan dengan air tersebut setelah matinya?” tentu
mereka akan menjawab: “Allah”, Wahai Muhammad katakanlah!
“Alhamdulillah”. Apa yang menyebabkan mereka tidak beriman?
Sebab sebagian orang-orang kafir Makah tidak memahaminya.”47
Ayat diatas membicarakan tentang kekuasaan Allah Swt. yang
menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan. Pada peristiwa
tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.
4. QS. al-Ru>m [30]: 19
“Allah mengeluarkan mahluk hidup dari mahluk mati, seperti
ayam yang keluar dari telur. Dan mengeluarkan mahluk mati
maksudnya tidak bergerak dari mahluk hidup (seperti telur yang
keluar dari ayam), dan menghidupkan bumi dengan menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan sesudah matinya (gersang). Seperti itulah kalian
semua akan dibangkitkan dari kubur (alam barzah) menuju ke padang
mahsyar”.48
Konteks al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang bumi
yang mati. Bumi yang mati tersebut Allah hidupkan dengan
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
47
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3495. 48
Ibid., h.3515-3516.
77
5. QS. al-Ru>m [30]: 24
“Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yaitu diperlihatkannya
kilat kepada kalian semua untuk menimbulkan ketakutan dan
mengharap rahmatnya Allah yaitu hujan. Dan Allah menurunkan air
dari langit lalu menghidupkan setelah matinya. Yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaannya Allah yang bermanfaat bagi orang
yang berfikir.”49
Al-Maut pada ayat diatas konteksnya membicarakan bumi
yang mati kemudian dihidupkan Allah dengan air hujan.
6. QS. al-Ru>m [30]: 50
“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Tuhanmu,
bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati.
Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar
(berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Apakah belum
percaya? Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”50
Seperti ayat sebelumnya, pada ayat diatas juga membicarakan
tentang bumi yang mati dan dihidupkan Allah Swt. dengan rahmatnya.
49
Ibid., h. 3524. 50
Ibid., h. 3528-3529.
78
7. QS. Fat}i>r [35]: 9
“Allah Swt. adalah Tuhan yang mengirimkan angin, lalu angin
itu menggerakkan awan, lalu kami gerakkan dan siramkan ke tanah-
tanah yang mati, kemudian dengan air itu Kami hidupkan bumi
setelah matinya. Seperti itulah Allah akan menghidupkan orang-orang
yang telah mati”51
Al-Maut pada ayat diatas juga mebecirakan tentang bumi yang
mati dan dihidupkan Allah Swt. dengan air hujan.
8. QS. al-Zumar [39]: 42
“Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil
jiwa orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang
telah ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa
dalam tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”52
Al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang terjadinya
kematian yaitu Allah mengambil ruh seseorang dan ditahan tidak
dikembalikan.
51
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3712. 52
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3889.
79
9. QS. al-Jasiyah [45]: 5
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan rizki yang
diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya bumi itu setelah
matinya, dan menggerakkan angin, yang demikian tersebut terdapat
tanda-tanda kekuasaannya Allah Swt. yang bermanfaat bagi orang
yang mau berfikir.”53
Pada ayat diatas mebicarakan kekuasaan Allah yaitu
menghidupkan bumi yang mati.
10. QS. al-H{adi>d [57]: 17
“Ketahuilah olehmu bahwa Sesungguhnya Allah
menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah
menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) yang tertulis
maupun tidak tertulis, supaya kamu memikirkannya.”54
Seperti pada ayat sebelumnya, bahwa bumi juga mengalami
kematian kemudian dihidupkan Allah Swt.
Kesimpulan pada beberapa ayat diatas tentang kata al-Maut
berupa ism ma’rifat yang muz}af dengan d}amir muttas}il (ها) pada
umumnya menjelaskan tentang bumi yang mati. Bumi dikatakan mati
karena tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, kemudian Allah
Swt. dengan rahmatnya menurunkan hujan dan hiduplah bumi tersebut
53
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4086. 54
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 27, h. 4263.
80
menjadi subur sehingga bisam menumbuhkan berbagai macam
tumbuhan. Dan dengan hidupnya bumi tersebut Allah menyebar
hewan-hewan dibumi.
e. berupa ism nakirah yang mengikuti wazan
1. QS. al-Furqa>n [25]: 3
“Orang-orang kafir menciptakan sesuatu yang disembah selain
Allah yaitu berhala yang tidak bisa menciptakan apapun, berhala yang
dibuat sendiri, berhala yang tidak bisa menolak kemudharatan dan
tidak pula untuk mengambil suatu kemanfaatan apalagi membuat
beruntung terhadap penyembahnya, dan (juga) tidak Kuasa
mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.”55
Konteks ayat al-Maut diatas membicarakan tentang berhala
yang tidak mempunyai kekuatan untuk mematikan sesuatu.
2. QS. al-An’a>m [6]: 122
“Dan Apakah orang yang sudah mati hatinya sebab kufur,
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan petunjuk kepadanya
berupa cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat (orang mukmin), apakah serupa dengan
55
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 18, h. 3219.
81
orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar dari kegelapan seperti orang kafir? Tentu tidak
sama. Demikianlah orang mukmin itu senang petunjuk yang benar,
sedangkan orang kafir senang dalam kesesatan. Yang demikian
sunnahnya Allah Swt. Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan yaitu kufur.”56
KH.Misbah menfasirkan al-Maut pada ayat diatas adalah mati
hati karena disebabkan oleh kekufuran.
3. QS. al-Furqa>n [25]: 49
“Aku telah menurunkan air, yang dengan air itu agar Kami
menghidupkan negri (bumi) yang mati, dan agar Kami memberi
minum dengan air itu sebagian besar dari mahluk Kami, binatang-
binatang ternak dan manusia yang banyak.”57
Kontek al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang bumi
yang mati dan dihidupkan Allah Swt. dengan air hujan.
4. QS. al-Zukhruf [43]: 11
“Allah menurunkan air dari langit menurut kadar yang
ditentukan, kemudian dengan air itu Kami (Allah) hidupkan tanah-
tanah yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan dari dalam
kubur.”58
56
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1140. 57
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 3243. 58
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4032.
82
Seperti pada ayat sebelumnya, ayat diatas juga menjelaskan
tentang kekuasaan Allah Swt. untuk menghidupkan bumi yang telah
mati.
5. QS. al-Hujura>t [49]: 12
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
buruksangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruksangka itu dosa.
dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”59
Al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang perumpamaan
orang-orang yang mencari kesalahan orang lain diibaratkan seperti
orang yang memakan dagingnya saudaranya sendiri yang telah mati.
6. QS. Qaf [50]: 11
“Itu semua menjadi rizkinya hamba-hamba Allah, dan dengan
air Aku hidupkan negri yang mati. Seperti itulah keluarnya manuisa
dari kuburnya (dihidupkan setelah matinya).60
59
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 26, h. 4165. 60
Ibid., h. 4172.
83
Pada ayat diatas Allah mengumpamakan membangkitkan
manusia yang telah mati seperti menghidupkan bumi yang telah mati
yang disirami dengan air hujan.
f. yang mud}a'af mengikuti wazan dima’rifatkan dengan alif lam
1. QS. A<li Imra>n [3]: 27
“Mahluk hidup seperti manusia dan ayam, Engkau keluarkan
dari mahluk yang mati yang tidak ada ruhnya, seperti manusia dan
ayam yang Engkau keluarkan dari air sperma dan telur. Mahluk mati
seperti sperma dan telur, Engkau keluarkan dari mahluk hidup yaitu
manusia dan ayam, dan semua mahluk yang Engkau kehendaki
Engkau beri rizki tanpa batas.”61
Al-Maut yang berwazan mud}a’af memberi gambaran
bahwasannya mahluk hidup itu berasal dari mahluk mati, yang
docontohkan KH.Misbah dengan dengan sperma dan telur. Dengan
sperma dan telur tersebut Allah menjadikan mahluk hidup, dan juga
sebaliknya.
2. QS. al-An’a>m [6]: 95
“Yang pasti Engkau sembah adalah dzat yang membelah biji
dan isi kurma dari tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi tumbuhan
61
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 375.
84
yang ada daunnya. Dzat yang mengeluarkan benda hidup dari benda
mati, seperti manusia dari sperma, dan ayam yang keluar dari telur
dan Dzat yang mengeluarkan benda mati dari benda hidup. Dzat yang
Maha Kuasa itu adalah Allah yang wajib disembah. Mengapa kalian
durhaka tidak beriman kepada Allah Swt. dan tetap menyembah
berhala yang tidak bisa apa-apa?”62
Seperti ayat sebelumya al-Maut pada ayat diatas konteknya
adalah Allah menjadikan kehidupan dari mahluk mati, dan juga
sebaliknya mengeluarkan mahluk yang mati dari mahluk hidup, seprti
seperti sperma dan telur yang dapat menjadikan kehidupan.
3. QS. Yunu>s [10]: 31
“Wahai Muhammad, katakanlah! “Hai orang-orang musyrik,
siapa yang memberi rizki kepada kalian semua dari langi dan bumi.
Siapa yang kuasa (menciptakan pendengaran dan penglihatanmu?
Siapa yang mengelurkan hewan hidup dari sesuatu yang mati, dan
mengeluarkan benda mati dari hewan yang hidup, siapa yang
mengatur perkara langit, bumi dan isinya. Orang-orang musyrik pasti
akan menjawab, Allah menciptakan semua itu, apabila telah
mengetahui, maka katakanlah Muhammad! Mengapa kalian tidak
takut siksanya Allah Swt.?63
4. QS. al-Ru>m [30]: 19
62
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h.1106. 63
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 11, h. 1975.
85
“Allah mengeluarkan mahluk hidup dari mahluk mati, seperti
ayam yang keluar dari telur. Dan mengeluarkan mahluk mati
maksudnya tidak bergerak dari mahluk hidup (seperti telu yang keluar
dari ayam), dan menghidupkan bumi dengan menumbuhkan tumbuh-
tumbuhan sesudah matinya (gersang). Seperti itulah kalian semua
akan dibangkitkan dari kubur (alam barzah) menuju ke padang
mahsyar”.64
Kesimpulan dari beberapa ayat diatas yang berhubungan
dengan al-Maut yang mud}a'af berupa ism ma’rifat menggambarkan
tentang kekuasaan Allah Swt. yang mengeluarkan mahluk hidup dari
mahluk mati, yamg diumpamakan seperti sperma dan dan juga telur.
Dari sperma dan telur tersebut Allah Swt. mengeluarkan atau
menjadikan manusia dan juga ayam. Dan juga sebaliknya, Allah Swt.
juga mengeluarkan mahluk mati yaitu sperma dan telur dari mahluk
hidup.
g. yang mudha'af mengikuti wazan berbentuk ism nakirah.
1. QS. al-A’ra>f [7]: 57
“Allah Swt. dzat yang harus kamu sembah dan kamu taati
perintahnya, yaitu Tuhan yang menciptakan angin yang membawa
kabar gembira sebelum rahmatnya datang (hujan). Angin
membawa awan yang mengandung air yang telah dikumpulkannya,
kemudian Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
64
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h.3515-3516.
86
turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab
hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti Itulah Kami
membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan
kamu mengambil pelajaran.”65
KH.Misbah Musthafa menafsirkan al-Maut yang mud}a’af
berbentuk ism nakirah yaitu mayyitun dengan arti tandus. Al-Maut
pada ayat diatas berhubungan dengan bumi atau tanah yang
gersang tidak dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
2. QS. Ibrahi>m [14]: 17
“Orang-orang kafir yang sombong itu akan menelan air shodid
(nanah), tapi air shodid itu hampir-hampir tidak bisa ditelan karena
rasanya tidak enak dan menyakitkan. Orang-orang kafir yang
sombong itu kedatangan sebab-sebab yang dapat menyebabkan
kematian dari berbagai penjuru, akan tetapi tidak bisa meninggal, dan
dibelakangnya ada siksa yang sangat berat.”66
Al-Maut yang berbentuk mayyitun pada ayat diatas
menjelaskan tentang siksa di neraka yaitu disiksa dengan berbagai
macam hal yang menyebabkan kematian akan tetapi mereka tidak bisa
mati.
65
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1282. 66
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2399.
87
3. QS. Fat}ir [35]: 9
“Allah Swt. adalah Tuhan yang mengirimkan angin, lalu angin
itu menggerakkan awan, lalu kami gerakkan dan siramkan ke tanah-
tanah yang mati, kemudian dengan air itu Kami hidupkan bumi
setelah matinya. Seperti itulah Allah akan menghidupkan orang-orang
yang telah mati”67
Seperti ayat sebelumnya, pada ayat diatas KH.Misbah
Musthafa menafsirkan al-Maut yang mud}a’af berbentuk ism nakirah
yaitu mayyitun dengan arti mati. Al-Maut pada ayat diatas
berhubungan dengan tanah yang gersang tidak dapat menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan.
4. QS. al-Zumar [39]: 30
“Wahai Muhammad, engkau pasti akan mati dan orang-orang
kafir itu juga pasti akan mati.”68
Pada ayat diatas kematian merupakan kepastian yang berlaku
untuk semua orang, baik itu orang yang taat maupun kafir.
67
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3712. 68
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3882.
88
h. dima’rifatkan dengan alif lam ( ) yang mengikuti wazan
1. QS. al-Isra>’ [17]: 75
“Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan
kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula
siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat
seorang penolongpun terhadap kami.”69
Konteks al-Maut diatas membicarakan tentang siksa yang
berat yang dilakukan setelah mati.
i. yang dima’rifatkan dengan ism d}amir yang mengikuti wazan
1. QS. al-An’a>m [6]: 162
“Wahai Muhammad, katakanlah! “Hai orang-orang musyrik,
ketahuilah! Salat ku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.”70
Kontek ayat diatas adalah segala yang dimiliki oleh orang
beriman adalah milik Allah Swt., termasuk mati merupakan kekuasaan
Allah Swt.
69
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 2729. 70
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1198.
89
j. yang dima’rifatkan dengan ism d}amir yang mengikuti wazan
1. QS. al-Jasiyah [45]: 21
“Orang-orang yang melakukan keburukan yaitu kufur dan
maksiat, mereka mengira bahwa saya akan menjadikan mereka seperti
orang yang beriman dan melakukan amal salih dimasa hidup dan
matinya. Amat buruk hukum-hukum yang dihukumi orang-orang kafir
itu tidak akan sama.”71
Konteks al-Maut diatas membicarakan tentang balasan yang
diberikan kepada orang kafir tidak sama tidak sama dengan orang
kafir.
k. dima’rifatkan dengan alif lam yang mengikuti wazan
1. QS. al-Baqarah [2]: 73
“Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebagian
anggota sapi emas”, setelah disembelih, mayat tadi dipukul dengan
lidahnya sapi lalu hidup, kemudian ditanya dan menjawab, “Yang
membunuhku fulan lan fulan maksudnya saudaranya sendiri. Setelah
menjawab kemudian mati lagi. Akhirnya tidak mendapat warisan dari
orang yang dibunuh dan dua orang tadi dibunuh.”72
71
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4094 72
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 1, h. 68.
90
Kontek al-Maut diatas membicarakan tentang sapi yang telah
mati kemudian dihidupkan dengan sebagian anggota tubuh sapi
betina.
2. QS. al-Baqarah [2]: 260
“Terangkanlah Muhammad sejarahnya nabi Ibarahim ketika
Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum
yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya,
akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan
diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian
panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera."
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”73
Ayat diatas membicarakan tentang nabi Ibrahim yang meminta
Allah Swt. untuk memperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan
orang-orang mati. Seakan nabi Ibrahim tidak percaya kepada
kekuasaan Allah Swt.
3. QS. A<li ‘Imra>n [3]: 49
73
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 305.
91
“Aku bisa membuat burung dari tanah liat, dan apabila saya
tiup maka burung tersebut bisa terbang atas izin Allah.”74
Kontek ayat diatas adalah Nabi Isa bisa menghidupkan burung
dari tanah liat atas izin Allah Swt.
4. QS. al-Ma>idah [5]: 110
“Dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku,”75
Konteks ayat diatas membicarakan tentang nabi Isa
menghidupkan orang mati dengan izin Allah Swt.
5. QS. al-An’a>m [6]: 36
“Orang yang mau mematuhi seruanmu untuk beriman adalah
hanya orang-orang yang mendengarkan saja, yaitu orang yang berfikir
dan memahami apa yang didengar. Apabila mereka adalah orang yang
mati yaitu orang hidup seperti orang mati (orang kafir), tidak akan
mematuhi ajakanmu. Mereka akan dibangkitkan setelah matinya
kemudian disidang dipengadilannya Allah Swt.”76
Konteks ayat diatas membicarakan tentang orang hidup tapi
seperti orang mati, yaitu orang kafir yang tidak bisa menggunakan
akalnya.
74
Ibid., h. 396. 75
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, h. juz 7, h. 1016 76
Ibid., h. 1053.
92
6. QS. al-An’a>m [6]: 111
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada orang kafir
Makah, lalu mereka melihat satu-satunya dan mendengar
kesaksiannya Malaikat bahwasannya nabi Muhammad adalah
utusannya Allah, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan
mereka sebab saya hidupkan sebagai bukti kebenarannya Muhammad,
dan seumpama Kami (Allah) kumpulkan semua mahluk untuk
mendatangi orang-orang kafir Makah dengan jelas, mereka tetap tidak
beriman kecuali Allah menghendaki beriman. Yang demikian
termasuk sunnahnya Allah Swt. akan tetapi sebagian mereka tidak
mengerti sunnahnya Allah bagi hambanya.”77
7. QS. al-A’ra>f [7]: 57
“Allah Swt. dzat yang harus kamu sembah dan kamu taati
perintahnya, yaitu Tuhan yang menciptakan angin yang membawa
kabar gembira sebelum rahmatnya datang (hujan). Angin membawa
awan yang mengandung air yang telah dikumpulkannya, kemudian
Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di
daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai
macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-
orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil
pelajaran.”78
77
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1123. 78
Ibid., h. 1282.
93
Al-Maut yang mengikuti wazan fa’la> pada ayat diatas adalah
perumpamaan membangkitkan orang mati seperti menghidupkan bumi
yang telah mati.
8. QS. al-Ra’du [13]: 31
“Seumpama al-Qur‟an ini dibuat menjalankan
(menggoncangkan) gunung-gunung, atau dibuat membelah bumi atau
membuat orang mati bisa berbicara, orang-orang kafir tetap tidak akan
beriman. Akan tetapi segala urusannya mahluk adalah kepunyaannya
Allah, dan Dialah yang menentukan.”79
Konteks al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang orang
mati, yaitu seandainya Allah membangkitnya dan diperllihatkan
kepada orang kafir, maka orang kafir tersebut tetap saja tidak beriman.
9. QS. al-H{aj [22]: 6
“Yang demikian (yaitu permulaan dijadikannya manusia dan
hidupnya bumi setelah turunnya hujan) karena sesungguhnya Allah
Swt. adalah Tuhan yang hak, yang kekal dan Maha Sempurna. Dan
Allah sudah menetapkan bahwasannya Ia akan menghidupkan
manusia setelah matinya supaya manusia mengerti bahwa Allah Swt.
kuasa menciptakan sesuatu yang dikehendaki.”80
79
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2357. 80
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 3044.
94
Ayat diatas membicarakan tentang kekuasaan Allah Swt.
dalalm menghidupkan orang yang mati. Kebangkitan itu benar-benar
ada.
10. QS. al-Naml [27]: 80
“Ketahuilah Muhammad, sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula)
menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilanmu, apabila
hati mereka telah berpaling baik lahir maupun batin.”81
Konteks Al-Maut pada ayat diatas adalah orang yang tidak
mau mendengar.
11. QS. al-Ru>m [30]: 50
“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Tuhanmu,
bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati.
Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar
(berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Apakah belum
percaya? Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”82
Al-Mauta> pada ayat diatas menjelaskan tentang kekuasaan
Allah Swt. dalam menghidupkan orang setelah mati. Yaitu seperti
menghidupkan bumi setelah matinya.
81
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 20, h. 3356. 82
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3528-3529.
95
12. QS. al-Ru>m [30]: 52
“Ketahuilah Muhammad, sesungguhnya kamu tidak akan
sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan
menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila
mereka itu berpaling membelakang.”83
Konteks makna al-Mauta> pada ayat diatas adalah
membicarakan orang-orang yang tidak mau mendengarkan ayat-
ayatkannya Allah Swt..
13. QS. Ya>si>n [36]: 12
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang telah
mati, dan Kami mencatat apa yang mereka kerjakan (amal baik
maupun buruk) yang di tinggalkan dan dijalankan untuk generasi
setelahnya. Semua perkara yang terjadi di dunia telah kami tulis di
lauh al-Mauhfuz.84
Ayat diatas menjelaskan tentang hari kebangkitan itu memang
nyata, yaitu Allah Swt. akan menghidupkan orang-orang yang sudah
mati dan akan memberi balasan.
83
Ibid., h. 3539 84
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3745.
96
14. QS. Fushilat [41] : 39
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah (ialah) bahwa kau
Lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di
atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Ketahuilah, Sesungguhnya
Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan orang
yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”85
Seperti pada ayat sebelumnya, ayat diatas memberitahukan
tentang kekuasaan Allah Swt. yaitu dapat menghidupkan orang-orang
yang telah mati.
15. QS. al-Syu>ra> [42]: 9
“Apakah patut tindakannya orang-orang musyrik yang
menyembah selain Allah, akan tetapi Allahlah yang patut disembah.
Dan Allah akan menghidupkan orang yang mati, dan Dia kuasa
menciptakan sesuatu yang dikehendaki.”86
Ayat diatas memberitahu tentang adanya hari kebangkitan.
85
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3979. 86
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 3998.
97
16. QS. al-Ah}qaf [46]: 33
“Dan Apakah orang-orang kafir tidak percaya hari
kebangkitan? mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya
Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah
karena menciptakannya, Kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya
(bahkan) Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”87
Seperti pada ayat-ayat sebelumnya, al-Maut pada ayat diatas
menjelaskan tentang adanya hari kebngkitan, yaitu manusia akan
dihidupkan kembali setelah matinya.
l. dima’rifatkan dengan alif lam dan berupa ism nakirah
yang mengikuti wazan .
1. QS. al-Baqarah [2]: 173
“Yang diharamkan Allah (tidak boleh dimakan) yaitu darah,
daging babi, hewan yang disembelih untuk mengagungkan selain
Allah Swt.”88
Al-Maut pada ayat diatas bermakna bangkai.
87
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 26, h. 4117. 88
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 174.
98
2. QS. al-Ma>idah [5]: 3
“Hai orang-orang beriman, kalian diharaman makan bangkai,
darah, daging babi, dan semua hewan yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah, seperti menyebut danyang atau
lainnya.”89
Sama sepperti ayat sebelumnya, yang dimaksud al-Maut pada
ayat diatas adalah bangkai, yaitu hewan yang disembelih atas nama
selain Allah Swt.
3. QS. al-An’a>m [6]: 139
“Orang-orang musyrik berkata, “Apakah ada didalam perut
hewan ternak yaitu anaknya onta saibah husus untuk laki-laki
golongan kita? Perempuan tidak boleh makan dagingnya, Apabila
anak onta saibah mati , laki-laki dan perempuan boleh makan. Yang
demikian itu merupakan peraturannya Allah Swt. Dia berfirman,
“Allah akan membalas perbuatannya orang-orang musyrik yang telah
berbuat seperti itu. Dia-lah Tuhan yang Maha Bijak Sana dan Maha
Mengetahui.”90
4. QS. Al-An’a>m [6]: 145
89
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 6, h. 852. 90 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1168.
99
“Hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang Makah, Aku
tidak menemukan apa yag diwahyukan kepada-Ku, makanan yang
diharamkan kepada orang yang akan memakannya kecuali yang akan
dimakan itu adalah bangkai, darang yang mengalir dan daging babi.
Karena daging babi najis atau hewan yang disembelih selain atasa
nama Allah seperti berhala dan sejenisnya. Siapa saja yang terdesak
tidak bisa mencari selain itu dan tidak ragu-ragu dan maksiat, maka
diperbolehkan memakan salah satunya. Ketahuilah Allah Maha
Pengampn lagi Maha Penyayang.91
Al-Maut pada ayat diatas bermakan bangkai.
5. QS. Ya>si>n [36]: 33
“Bukti bahwasannya orang yang sudah mati akan dihidupkan
kembali oleh Allah Swt. adalah tanah yang mati Aku (Allah) hidupkan
dengan air hujan, lalu tumbuh tanaman yang hijau, dan Aku keluarkan
biji dari dalam bumi, kemudian orang-orang Makah makan biji-bijian
tersebut seperti beras, gandum dan lain sebagainya.92
Ayat diatas menjelaskan bahwasannya manusia setalah mati
akan dibangkitkan kembali, seperti Allah menumbuhkan tumbuh-
tumbuhan dari tanah dengan air hujan.
91
Ibid., h. 1176. 92
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3758.
100
6. QS. Al-Dukha>n [44]: 56
“Didalam surga orang-orang bertakwa tidak merasakan mati,
kecuali mati yang pertama kali di dunia, dan Allah menjaganya dari
siksa neraka.”93
Konteks ayat diatas adalah al-Maut merupakan nikmat bagi
orang yang bertakwa karena di surge mereka tidak mati. Mati hanya
pertama kali di dunia.
m. dima’rifatkan dengan ism d}amir yang mengikuti wazan
1. QS. al-Shafa>t [37]: 59
“Melainkan hanya kematian kita yang pertama saja yaitu di
dunia, dan jelas kita tidak akan disiksa”94
Kontek ayat diatas menjelaskan tentang perkataan orang kafir
yang tidak percaya dengan kehidupan setelah mati.
2. QS. al-Dukha>n [44]: 35
“Kematian itu hanya satu kali, kita tidak akan dihidupkan
kembali berkumpul di padang mahsyar.”95
93
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4082-4083. 94
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3795. 95
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4078.
101
Seperti ayat sebelumnya, kontek ayat diatas menjelaskan
tentang perkataan orang kafir yang tidak percaya dengan kehidupan
setelah mati.
Setelah peneliti membaca panafsiran KH.Misbah Musthafa
berkaitan dengan kata al-Maut dalam susunan ayat yang lengkap, ternyata
al-Maut secara konteks ayatnya membicarakan berbagai macam fenomena
tentang kematian, baik sebelum mati, proses kematian (sakaratul maut),
maupun setelah kematian. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat ditabel.
Selain fenomena kematian, peneliti juga menemukan bahwa kata
al-Maut selain digunakan untuk manusia ternyata juga digunakan untuk
hewan dan bumi yang mempunyai makna berbeda-beda.
Kata al-Maut yang berbentuk masdar meliputi ism ma’rifat dan
nakirah dalam tafsi>r al-Ikli>l fi> ma’a>ni> al-Tanzi>l hampir semua diartikan
dengan mati, hanya ada tiga yang diartikan bukan mati yaitu tidak mau
mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt., bangkai (batang) dan tandus
(garing).
Meskipun KH.Misbah tidak menerjemahkan secara langsung kata
al-Maut dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah dan
tandus, tapi dalam penjelasan secara global dan terperinci KH.Misbah
menafsirkan kata al-Maut dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-
ayatnya Allah Swt., penafsirannya bisa ditemui pada QS. al-Baqarah: 19,
QS. al-An’a >m: 36 dan 122, QS. al-Naml: 80, QS. al-Ru>m: 52. Sedangkan
102
bangkai yaitu pada QS. al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3, dan tandus
pada QS. al-Ru>m: 19.
Tabel Makna Al-Maut dalam Tafsir Tafsi>r Al-Ikli>l fi Ma’a>ni> Al-Tanzi>l
No. Makna Al-Maut Surat
1. Tidak mau mengggunakan
panca indra
QS. al-Baqarah: 19
QS. al-An’a>m: 36 dan 122
QS. al-Naml: 80
QS. al-Ru>m: 52
2. Mati (tidak dapat dihindari)
QS. al-Baqarah: 133, 180, dan
243
QS. A<li Imran:168
QS. al-Nisa>’: 78
QS. al-Ah}za>b: 16
QS. al-Jum’ah: 8
3. Mati syahid QS. A<li Imra>n: 143
4. Mencicipi Mati
QS. A<li Imra>n: 185
QS. al-Anbiya>’: 35
QS. al-Ankabu>t: 57
5.
Bila kedatangan tanda-
tandanya kematian, maka
segera berwasiat.
QS. al-Nisa>’: 15
QS. al-Ma>idah: 106
6.
Hukuman orang yang
berzina (dikurung sampai
mati)
QS. al-Nisa>’: 15
7. Al-Maut merupakan batas
taubat
QS. al-Nisa>’: 18
QS. al-Mukminu>n: 99
103
QS. al-Muna>fiqu>n: 10
8.
Al-Maut adalah nikmat
bagi orang yg berjuang
dijalan Allah
QS. al-Nisa>‟: 100
QS. al-Dukha>n: 56
9.
Al-Maut merupakan
kepastian atau
ketentuannya Allah Swt.
QS. al-An’a>m: 61
QS. al-Anfa>l: 6
QS. Saba>’: 14
QS. al-Wa>qi’ah: 60
QS. al-Jum’ah: 6
QS. al-Furqa>n: 3
QS. al-Zumar: 30
QS. al-An’a>m: 162
QS. Al-Dukha>n: 56
10. Al-Maut adalah kepayahan
(Sakaratul maut)
QS. al-An’a>m: 93
QS. Ibra>hi>m: 17
QS. al-Mukminu>n: 99
QS. al-Ah}za>b: 19
QS. Muh}ammad: 20
QS. Qaf: 19
QS. Ibrahi>m: 17
QS. al-Isra>’: 75
QS. al-Jasiyah: 21
11. Memakan daging
saudaranya yang telah mati QS. al-Hujura>t: 12
12. Dibangkitkan setelah mati. QS. Hu>d: 7
104
QS. al-Baqarah: 260
QS. al-A’ra>f: 57
QS. al-Ra’du: 31
QS. al-H{aj: 6.
QS. al-Ru>m: 50
QS. Ya>si>n: 12
QS. Fushilat (al-Sajadah): 39
QS. al-Syu>ra>: 9
QS. al-Ah}qaf: 33
QS. Ya>si>n: 33
13. Malaikat maut QS. al-Sajadah: 11
14. Keterputusan QS. al-Zuma>r: 42
15. Kondisi ahli kitab sebelum
mati QS. al-Nisa >’: 159
16. Nabi Isa menghidupkan
orang mati
QS. al-Ma>idah: 110
QS. A<li ‘Imra>n: 49
17. Menjadikan mahluk hidup
dari mahluk mati.
QS. A<li Imra>n: 27
QS. al-An’a>m: 95
QS. Yunu>s: 31
QS. al-Ru>m: 19
18. Sapi mati dihidupkan lagi QS. al-Baqarah: 73
19. Bangkai QS. al-Baqarah: 173
QS. al-Ma>idah: 3
20. Bumi yang mati QS. al-Baqarah: 164
105
QS. al-Nah}l: 65
QS. al-Ankabu>t: 63
QS. al-Ru>m: 19, 24, 50
QS. al-Zumar: 42
QS. al-Jasiyah: 5
QS. al-Furqa>n: 49
QS. al-Zukhruf: 11
QS. Qaf: 11
QS. al-A’ra>f: 57
QS. Fat}ir: 9
106
BAB 1V
MAKNA AL-MAUT DAN KONTEKSTUALISASI MAKNANYA
DALAM TAFSI<R AL-IKLI<L FI< MA’A<NI< AL-TANZI<L
A. Makna Al-Maut dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l
Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang, hubungan antara kata
(lafaz}) dan makna tidak bisa dipisahkan. Lafaz} adalah apa yang diucapkan, baik
terdengar maupun tertulis. Sedangkan, makna adalah kandungan lafaz} dan tujuan
yang hendak dicapai dengan pengucapan atau penulisannya.1 Jadi untuk
mengetahui makna al-Maut harus mengetahui makna asli dan perubahan
maknanya. Selain itu juga memerhatikan korelasi kata sebelum dan sesudahnya,
karena pesan dalam suatu ayat tentunya saling terkait dengan kata sebelum dan
sesudahnya. Dalam penjelasan kali ini tidak membahas semua ayat yang berkaitan
dengan al-Maut, akan tetapi cukup membahas beberapa ayat yang mewakili yang
lainnya.
Tafsi>r al-Ikli>l merupakan tafsir ulama Jawa yang penjelasannya
menggunakan bahasa Jawa. KH.Misbah Musthafa berusaha menerjemahkan dan
menjelaskan kandungan al-Qur‟an agar mudah dipahami, tentunya mencari makna
paling dekat berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan.
Setelah peneliti membaca panafsiran KH.Misbah Musthafa berkaitan
dengan kata al-Maut dalam susunan ayat yang lengkap, kata al-Maut yang
berbentuk masdar meliputi ism ma’rifat dan nakirah dalam tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni>
al-Tanzi>l karya KH.Misbah Musthafa hampir semua diartikan dengan mati, hanya
1 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, h. 75-76.
107
ada tiga makna yang tidak diartikan bukan mati, tapi tidak mau mendengarkan
ayat-ayatnya Allah Swt. (mati akal), bangkai (batang) dan tandus (garing).
Meskipun KH.Misbah tidak menerjemahkan secara langsung kata al-Maut
pada makna gandul dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt.
dan tandus, tapi dalam penjelasan secara global dan terperinci KH.Misbah
menafsirkan kata al-Maut dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya
Allah Swt., penafsirannya bisa ditemui pada QS. al-Baqarah: 19, QS. al-An’a>m:
36 dan 122, QS. al-Naml: 80, QS. al-Ru>m: 52. Sedangkan bangkai yaitu pada QS.
al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3, dan tandus pada QS. al-Ru>m: 19.
Terlepas dari tiga makna al-Maut diatas, secara umum KH.Misbah
Musthafa menjelaskan pandangan tentang al-Maut dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni>
al-Tanzi>l, menurutnya al-Maut adalah kematian yang tidak seorangpun selamat
darinya. Dia menyebutkan, “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati.”
(QS. A<li Imra>n: 185). Jika ada seseorang yang mencoba lari dari kematian dan
selamat, maka sesungguhnya ia tidak akan merasakan kenikmatan itu kecuali
hanya sesaat, maksudnya orang tersebut pasti akan mati (QS. al-Ah}za>b: 16).
KH.Misbah mengatakan:
“He wong-wong munafiq! Melayu nira kabeh iku ora migunanai sira
kabeh yen sira kabeh melayu saking pati utawo dipateni musuh. Yen sira kabeh
podo melayu, nuli ora mati, iku upomo sira kabeh seneng-seneng, iku naming
sediluk.”2
Terjemah:
“Wahai orang munafik! Kalian lari agar terhindar dari kematian atau
dibunuh musuh itu tidak ada gunanya. Apabila kalian lari, kemudian masih hidup
dan kalian merasa senanghati, ketahauilah! Kesenangan itu hanya sebentar.”
2 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21.h. 3614.
108
Pandangan KH.Misbah Musthafa, kematian merupakan sesuatu yang dapat
dirasakan dan juga mengerikan. Penafsirannya dapat dilihat dalam kitab tafsirnya
ketika menafsirkan QS. A<li Imra>n: 185. Dia menjelaskan jika seseorang
mengalami kematian yaitu pada saat ruhnya dicabut dari badan seseorang akan
mengalami tiga hal. Pertama, Orang tersebut merasakan sakitnya sakarat al-
Maut, yang diumpamakan seperti ranting yang berduri dimasukkan ke dalam
tubuh kemudian ranting tersebut di cabut dengan paksa. Tentunya rasa sakit yang
sangat akan dialami seseorang yang sedang sakarat al-Maut. Kedua, orang yang
sakarat al-Maut akan melihat penampakan asli malaikat pencabut nyawa yang
wajahnya menyeramkan. Ini dialami oleh orang yang durhaka kepada Allah Swt.
dan belum bertaubat. Ketiga, orang yang sakarat al-Maut akan melihat tempat
yang akan ditempati apakah bertempat ditempat yang penuh dengan kenikmatan
ataukah penuh siksaan.3
Enak tidaknya sakarat al-Maut ditentukan oleh amal yang diwariskan
untuk orang-orang setelahnya, jika ia meninggalkan kebaikan yang dapat
dilanjutkan generasi setelahnya maka akan medapat kenikmatan, dan juga
sebaliknya, jika meninggalkan kemaksiatan maka akan menempati tempat yang
penuh siksaan.
Dalam QS. al-An’a>m: 93 dijelaskan oleh KH.Misbah bahwa ketika ada
orang zalim sedang sakarat al-Maut, maka malaikat maut akan membentangkan
tangannya dan mengucapkan, “Ayo! Keluarkanlah sendiri ruhmu”. Sekarang
kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu
3 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554-556.
109
mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”4
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa orang ketika sakarat al-Maut
mengalami ketakutan karena melihat malaikat maut yang membentangkan tangan
menyuruh dengan paksa ruh untuk keluar dari jasadnya. Nikmat tidaknya
ditentukan oleh amalnya didunia.
B. Kontekstualisasi Makna Al-Maut dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l
Kematian merupakan suatu peristiwa yang menakutkan bagi manusia,
karena ada anggapan maut merupakan peristiwa yang memisahkan antara
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, yaitu orang yang mati akan
meninggalkan kemewahan dunia. Selain itu orang takut mati karena menganggap
ada peristiwa yang dahsyat dibalik kematian tersebut, yaitu sakitnya sakara>t al-
Maut dan juga ada pengadilan di hadapan Sang Maha Adil berkaitan dengan amal
perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.
Meskipun makna al-Maut intinya membicarakan tentang terlepasnya roh
dari jasad, akan tetapi pada bab ini mencoba untuk melihat makna al-Maut dari
segi konteks ayatnya. Maksudnya memperhatikan kontek ayat tersebut dengan
memperhatikan korelasi kata sebelum dan sesudahnya sehingga didapat suatu
makna yang terdekat dari ayat tersebut. Berdasarkan penelusuran makna al-Maut,
berkaitan dengan kontekstualisasi maknanya dalam tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-
Tanzi>l dengan menggunakan kata kunci al-Maut, maka didapat kata al-Maut
dalam al-Qur‟an digunakan untuk membicarakan tiga objek yaitu manusia, hewan
4 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, (Surabaya, al-
Ihsan, T.th.), h. 1102.
110
dan bumi. Ketiganya mempunyai makna yang beragam yang akan dibahas
dibawah ini berdasarkan pendapat dari KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l
fi> Ma’a>ni al-Tanzil. Dalam pembahasan ini tidak membahas semua ayat, akan
tetapi hanya membahas beberapa ayat yang mewakili topik pembahasan.
1. Al-Maut berhubungan dengan Manusia
a. Al-Maut bermakna Akhir Kehidupan di Dunia
Al-Maut yang berarti kematian, adalah suatu proses yang pasti
akan dirasakan oleh manusia. Kematian merupakan tahap akhir kehidupan
manusia di dunia, dan sekaligus juga merupakan tahapan awal menuju
kehidupan baru yaitu akhirat. Dimana di dunia barunya manusia akan
memperoleh balasan berkaitan dengan amal perbuatannya di dunia. Allah
Swt. berfirman:
1. QS. A<li Imra>n: 185
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati. Kalian
semua akan dicukupi pahala atas amal kalian pada hari kiamat. Barang
siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh ia adalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”5
Pada ayat diatas KH.Misbah Musthafa menjelaskan bahwa
semua yang berjiwa pasti mencicipi mati, tidak ada manusia yang
5 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554.
111
tidak mati. Ini dijelaskan KH.Misbah dalam penjelasan terperinci
dengan mengatakan “ora ono manungso kang ora mati”6. Ini
menunjukkan bahwa kehidupan manusia di dunia diakhiri dengan
kematian. Setelah manusia mati, maka tidak ada lagi kehidupan
seperti di dunia dan kesempatan untuk beramal, yang hanya adalah
pembalasan sesuai amal yang di kerjakan di dunia, apabila ia orang
yang taat maka Allah Swt. akan menyempurnakan pahalanya yaitu
dimasukkan kedalam surganya Allah Swt. Penafsiran KH.Misbah
lengkapnya bisa dilihat dibawah ini.
“Saben-saben awak-awakan iku mesti ngicipi pati. Siro kabeh
bakal dicukupi ganjaran amal niro besok ing dino qiyamat. Besok ing
dino qiyamat, sopo-sopo wong kang disingkrihake saking neraka lan
dilebokake suwargo, terang yen wong iku wong kang bekjo.
Kasenengan ing dunyo iki namun kasenengan kang ngandung
bujukan.”7
Terjemah:
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati. Kalian
semua akan dicukupi pahala atas amal kalian pada hari kiamat. Barang
siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh ia adalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Pada ayat tersebut kata al-Maut di-mud}af-kan dengan
z}aiqah,yang diterjemahkan KH.Misbah dengan mencicipi. Seseorang
yang mencicipi suatu masakan pasti merasakan rasanya, entah itu
manis, asin, atau pahit. Sehingga KH.Misbah berpendapat ayat diatas
mengingatkan kepada manusia bahwa kematian itu mempunyai rasa.
6 Ibid.
7 Ibid.
112
Mati merupakan dicabutnya ruh dari jasad. Setiap orang mati pasti
mengalami tiga hal, yaitu: pertama, manusia merasakan kesakitan
ketika ruh dicabut. KH.Misbah mengutip hadis yang
diterjemahkannya, “Di ceritakan bahwa sayyidina Umar bertanya
kepada Ka’ab al-Ah}bar, “Wahai Ka‟ab, ceritakan kepadaku tentang
kamatian,” Ka‟ab menjawab, “Baiklah, pemimpinya orang-orang
mukmin. Mati rasanya seperti ranting pohon yang banyak durinya,
lalu dimasukkan ketubuh manusia dan setiap duri tadi nyangkut
disetiap otot, kemudian ranting tersebut dicabut oleh orang yang
sangat perkasa. Kedua, manusia akan melihat bentuknya malaikat
pencabut nyawa yang sangat buruk rupanya dan menakutkan.
Kejadian seperti ini hanya dialami oleh orang yang suka maksiat dan
belum bertaubat, apabila orang tersebut taat kepada Allah Swt. maka
akan melihat malaikat maut dengan wajah yang sangat
menyenangkan. Ketiga, akan melihat tempat yang akan ditempati
setelah mati. Apakah berada ditempat yang penuh kenikmatan ataukah
siksaan. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: “Kalian tidak
akan meninggalkan alam dunia apabila belum melihat kejadian setelah
mati dan tempat yang akan ditempati.”8
Kesimpulan dari ayat diatas adalah kematian merupakan
sesuatu yang dapat dirasakan dan semua manusia pasti mengalaminya,
dan merupakan batas akhir hidup didunia dan merupakan jalan
8 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554-556
113
menuju kehidupan yang baru yaitu akhirat dimana manusia akan
mendapat balasan sesuai amalnya di dunia. Barang siapa yang
terperdaya dengan kehidupan di dunia maka ia termasuk orang yang
merugi.
2. QS. al-Anbiya>’: 35
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati, dan Kami
menguji kalian dengan bencana yaitu perkara yang tidak
menyenangkan, dan menguji dengan perkara yang menyenangkan.
Demikan itu untuk menguji kalian. Dan kalian semua pasti akan
kembali kepada-Ku yaitu dihadapkan di pengadilan-Ku.”9
Seperti pada ayat sebelumnya, pada ayat diatas KH.Misbah
Musthafa juga menegaskan kembali bahwasannya manusia tidak akan
hidup selamanya pasti akan mati. Pada penjelasan terperinci juga
dutegaskan kemabli bahwa manusia akan merasakan sakitnya mati
yaitu ketika ruh berpisah dengan jasadnya. Dalam ayat ini,
KH.Misbah tidak menjelaskan rasa sakit ketika ruh dicabut dari
badannya, menurut peneliti alasan KH.Misbah tidak menjelaskan
rasanya mati karena dalam ayat sebelumya yaitu QS. Ali Imran: 185
sudah dijelaskan panjang lebar tentang kondisi yang dialami oleh
orang yang sedang sakarat al-Maut.
9 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 2983-2984.
114
Kesimpulan dari ayat diatas adalah kematian akan dialami
semua orang, dan perlu mempersiapkan diri karena orang yang mati
ketika ruh dicabut dari jasadnya akan merasakan kepedihan yang
sangat luar biasa. Mati merupakan akhir dari perjalanan hamba
didunia.
3. QS. al-‘Ankabu>t: 57
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. kemudian hanyalah
kepada Kami kamu dikembalikan (dihadapkan kepada-Ku).”
Semua yang ada di alam ini adalah milik Allah Swt. maka
suatu saat akan kembali kepada pemiliknya. Begitu juga manusia,
suatu saat akan kembali kepada Allah Swt. sang pemilik kehidupan.
Manusia kembali kepada Allah Swt. harus melewati pintu terlebih
dahulu, yaitu kematian. Setelah orang mati maka akan menempati
kehidupan yang baru yang tidak sama di dunia yaitu berada di alam
akhirat untuk mempertanggung jawabkan amalnya dihadapan Allah
Swt. Seperti yang dijelaskan KH.Misbah, yaitu “Kabeh awak-awakan
iku mesti ngicipi pati, mesti sira kabeh bakal dibalikake, tegese
diadepke marang ingsung.”10
(Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi
mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan
(dihadapkan kepada-Ku).” Setelah itu manusia bertempat diakhirat
dan tidak ada lagi kehidupan di dunia.
10
Ibid.
115
Menurut Misbah Musthafa sebab turunnya ayat ini berkaitan
dengan orang Islam yang kurang beruntung berada di Makah setelah
ditinggal nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Orang-orang Makah
tidak bisa beribadah dengan terang-terangan di Makah dan harus
sembunyi-sembunyi. Ketika itu hijrah ke Madinah hukumnya fardu
‘ain, akan tetapi orang yang kurang beruntung tadi khawatir akan mati
kelaparan apabila ikut hijrah kemudian ayat ini turun dan Allah
memerintahkahkan, “Kalian semua jangan bertempat didaerahnya
orang-orangnya musyrik apabila tidak aman melakukan ibadah,
hijrahlah! Jangan takut mati kelaparan, karena setiap yang bernyawa
pasti mati. Apabila mereka yakin akan mati, tentu semua yang
dianggap menyusahkan akan hilang.11
Misbah Musthafa mengingatkan bahwasannya manusia jangan
takut mati kelaparan karena berjuang dijalan Allah Swt. (beribadah),
karena semua manusia akan mati, baik yang ikut nabi hijrah maupun
tidak, yang taat maupun tidak. Semua akan mendapat balasan sesuai
yang dilakukannya semasa hidupnya. Berikut penafsiran KH.Misbah
selengkapnya:
“Sira kabeh ojo podo manggon ono ing daerahe wong musyrik
yen ora aman nglakoni ngibadah. Sira menungso ojo wedi mati
kaliren, kerono saben-saben awak-awakan iku mesti mati. Yen wong
iku yakin bakal mati, sekabehane kang dianggep nyusahake temtu
bakal ampreh.12
11 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3491-3493. 12
Ibid.
116
Terjemah:
“Kalian semua jangan bertempat didaerahnya orang musyrik
apabila kaian tidak aman melakukan ibadah. Kalian semua jangan
takut mati karena kelaparan, karena setiap jiwa pasti mati. Apabila
kalian yakin mati, semua yang dianggap menyusahkan pasti akan
dianggap enak.
b. Al-Maut bermakna Mati Hati atau Akal
Orang hidup juga bisa dikatakan mati kalau mereka tidak bisa
menggunakan panca indranya, yaitu mata, telinga, akal dan hati. Mata
digunakan melihat kekuasaan Allah Swt., telinga digunakan mendengar
ayat-ayat-Nya, akal digunakan untuk berfikir apa yang dilihat dan didengar
sedangkan hati digunakan untuk merenung dan memahami apa yang
dilihat, didengar dan yang dipikirkan. Jika panca indra tersebut tidak bisa
menggunakannya maka orang tersebut dikatakan mati. Mati disini bersifat
majazi yang tidak berarti terlepasnya ruh dari jasad, tapi tidak
menggunakan panca indranya.
Meskipun KH.Misbah Musthafa tidak menerjemahkan secara
langsung al-Maut adalah mati hati, tapi dalam penafsirannya secara global
dan terperinci menjelaskan tentang al-Maut (orang yang hidup tapi mati)
yaitu orang yang tidak mau berpikir tentang ayat-ayatnya Allah Swt.
Al-Maut bermakna orang yang mati hatinya dijelaskan Misbah
Musthafa dalam QS. al-An’a>m: 36, QS. al-An’a>m: 122, dan QS. al-Naml:
80. Penjelasannya sebagai berikut:
117
1. QS. al-An’a>m: 36
“Orang yang mau mematuhi seruanmu untuk beriman adalah
hanya orang-orang yang mendengarkan saja, yaitu orang yang berfikir
dan memahami apa yang didengar. Apabila mereka adalah orang yang
mati yaitu orang hidup seperti orang mati (orang kafir), maka mereka
tidak akan mematuhi ajakanmu. Mereka akan dibangkitkan setelah
matinya kemudian disidang dipengadilannya Allah Swt.”13
Dalam penjelasan terperinci, Misbah Musthafa menjelaskan:
“Yang dimaksud dengan allaz\i>na yasma’u>na adalah orang
yang mau berfikir tentang ayat-ayatnya Allah Swt. Jika orang tersebut
(orang kafir) mau berfikir tentang firman Allah Swt. dan dampak yang
dilakukan untuk hari esok, tentu mau mengikuti ajakan nabi
Muhammad. Begitu juga dalam perkara iman kepada nabi Muhammad
Saw. Sedangkan untuk orang Islam dikatakan mati apabila tidak mau
melaksanakan petunjuknya Allah dalam hal ibadah. Yang dimaksud
dengan al-Mauta adalah orang kafir dan Islam yang tidak
menggunakan akalnya untuk berfikir tentang ayat-ayatnya Allah Swt.
Jadi ayat ini menyinggung orang Islam dan juga orang kafir.
Meskipun orang kafir apabila menggunakan akalnya untuk berfikir
tentang ayat-ayat al-Qur‟an, akan dibuka hatinya berubah menjadi
beriman. Orang Islam sesudah mendengar firmannya Allah Swt.
kemudian mati akalnya yaitu tidak mau memikirkan ayat-ayatnya
Allah Swt. sama sekali yang telah didengarnya, dan tetap tidak mau
melakukan perintah-perintahnya, maka ia adalah orang yang mati.”14
Ayat diatas dapat dipahami bahwa penyebutan al-Maut atau
orang yang mati ditujukan kepada orang kafir dan orang Islam.
Mengapa orang kafir dikatakan mati, padahal mereka masih bisa
melihat apa yang mereka lihat, mendengarkan apa yang
13
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h. 1052. 14
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h. 1052-1053.
Lihat lampiran 2.
118
didengarkanya, berfikir tentang suatu peristiwa, dan berjalan untuk
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain?
Seperti yang dijelaskan KH.Misbah Musthafa ketika
menafsirkan ayat diatas, orang kafir dianggap mati karena mereka
tidak mau mendengarkan, berfikir dan memahami ayat-ayatnya Allah
Swt. yang menunjukkan keberadaan dan kebesaran-Nya, sehingga ia
tidak beriman kepada-Nya. Penafsiran tersebut dijelaskan KH.Misbah
dalam bahasa Jawa yaitu, “Kang dikarepake al-Mauta> yaiku wong
kafir utowo wong Islam kang pikirane ora obah babar pisan kanggo
angen-angen dawuh-dawuhe al-Qur’an.”15
(Yang dimaksud dengan
Al-Mauta> adalah orang kafir atau Islam yang akalnya tidak mau
berfikir sama sekali tentang firmannya Allah Swt. dalam al-Qur‟an).
KH.Misbah menjelaskan, meskipun orang kafir, tapi
mendengarkan, berfikir dan memahami tentang ayat-ayatnya Allah
Swt. tentu Allah Swt. akan membuka hati mereka untuk berubah
beriman kepada-Nya, karena orang yang mematuhi seruan Nabi
Muhammad hanyalah orang beriman yaitu orang yang dapat berfikir
dan memahami apa yang didengarnya.
Orang Islam juga bisa dikatakan mati meskipun ia tumbuh dan
bergerak. Orang Islam dikatakan mati apabila setelah mendengar ayat-
ayatnya Allah Swt. dibacakan mereka tidak mau berfikir dan
15
Ibid., h. 1052.
119
memahaminya, ia tetap tidak mau beribadah kepada Allah Swt.
Penjelasan KH.Misbah dalam bahasa Jawa yaitu:
“Wong Islam kang sakwuse ngerungu dawuh-dawuhe Allah
nuli mati pikirane tegese ora obah babar pisan kanggo mikirake
dawuhe Allah kang dirungu iku, tetep ora gelem nembadani dawuh-
dawuhe Allah ta’ala”.16
Terjemah:
Orang Islam sesudah mendengar firmannya Allah Swt.
kemudian mati akalnya yaitu tidak mau berfikir sama sekali tentang
firmannya Allah Swt yang didengar, tetap tidak melaksanakan
perintahnya Allah Swt.”
Kesimpulan dari penafsiran diatas adalah orang kafir dikatakan
mati apabila tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt.,
sedang orang Islam dikatakan mati apabila setelah mendengar ayat-
ayatnya Allah Swt. tidak mau berfikir dan menjalankan perintah-Nya.
Menurut penulis, alasan KH.Misbah Musthafa mengartikan al-Maut
dalam ayat diatas karena memperhatikan syiyaq al-Kalam-nya yaitu
korelasi hubungan kata al-Maut dengan kata sebelim dan sesudahnya.
2. QS. al-An’a>m: 122
“Dan Apakah orang yang sudah mati hatinya sebab kufur,
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan petunjuk kepadanya
berupa cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
16
Ibid.
120
di tengah-tengah masyarakat (orang mukmin), apakah serupa dengan
orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar dari kegelapan seperti orang kafir? Tentu tidak
sama. Demikianlah orang mukmin itu senang petunjuk yang benar,
sedangkan orang kafir senang dalam kesesatan. Yang demikian
sunnahnya Allah Swt. Demikianlah Kami jadikan orang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan yaitu kufur.”17
KH.Msbah Musthafa menjelaskan kekufuran menyebabkan
hati seseorang menjadi mati sehingga tidak memperoleh cahaya dari
Allah Swt. yang menyebabkan selalu memandang baik yang mereka
kerjakan, padahal perbuatan tersebut merupakan kekufuran. Orang
mukmin dikatan hidup karena hatinya hidup selalu mendapat cahaya
dari Allah Swt. sehingga ia senang menerima petunjuk yang benar.
3. QS. al-Naml: 80
“Ketahuilah Muhammad, sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilanmu, apabila
hati mereka telah berpaling baik lahir maupun batin.”18
Allah Swt. mengingatkan kepada Nabi Muhammad
bahwasannya orang kafir tidak dapat beriman karena pikiran dan
hatinya telah tertutup baik lahir maupun batin, sehingga mereka tidak
dapat mendengar ajakan nabi Muhammad Saw. sekalipun Nabi
Muhammad memaksanya untuk mendengarkan seruannya.
Sesungguhnya yang memberikan hidayah adalah Allah swt. tugas
manusia hanyalah mengajak.
17
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1140. Lihat
lampiran 3. 18
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 20, h. 3356.
121
KH.Misbah memberi penjelasan tambahan bahwa ayat diatas
menginformasikan kalau dakwah seharusnya menunggu hati orang
yang diajak siap untuk diajak, atau menuntun orang tersebut supaya
hatinya siap untuk diajak.19
Ayat diatas memberi kesimpulan bahwasannya orang kafir
dikatakan mati karena mereka menutup hatinya dan berpaling dari
mendengarkan ajakan nabi Muhammad Saw. sehingga mereka tetep
dalam kekufurannya.
c. Al-Maut bermakna Keterpisahan
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, al-Maut (kematian)
merupakan terpisahnya ruh dari jasad. Terpisahnya ruh dari jasad ini juga
dialami oleh orang yang tidur, yaitu ruh manusia berpisah untuk sementara
dengan jasad. Ruh manusia ketika tidur dipegang oleh Allah Swt. dan
dikembalikan sampai batas yang ditentukan, yaitu ketika bangun.
Sedangkan mati yang sesungguhnya ruh manusia diambil Allah Swt. untuk
ditahan dan tidak dikembalikan lagi. Ayat yang menunjukkan bahwa al-
Maut menunjukkan terpisahnya ruh dengan jasad adalah QS. al-Zumar:
42, yaitu:
19
Ibid.
122
“Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil jiwa
orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang telah
ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa dalam
tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. bagi kaum
yang berfikir.”20
KH.Misbah Musthafa menafsirkan ayat diatas, bahwasannya orang
mati disebabkan karena Allah Swt. mengambil jiwa (ruh) dari jasadnya
sehingga antara jiwa dan jasad berpisah berada ditempat yang berbeda
yang menyebabkan jasad tersebut tidak dapat bergerak. Jasad dan ruh
mengalami keterpisahan tidak hanya ketika mati, akan tetapi ketika
tidurpun keduanya berpisah. Mengapa dapat berpisah? Karena Allah Swt.
mengambil jiwa orang ketika tidurnya kemudian mengembalikan kepada
jasadnya sampai batas yang ditentukannya yaitu ketika bangun. Jika Allah
Swt. menahannya dan tidak mengembalikannya maka orang tesebut akan
mengalami kematian yang sebenarnya.
Keterpisahan antara keduanya seakan berada di alam dua dimensi
yang berbeda yang tidak dapat jangkau satu dengan yang lainya. Seperti
air dan minyak, keduanya akan berpisah tidak dapat bertemu meskipun ia
berdekatan. Berikut penjelasan lengkap KH.Misbah Musthafa:
“Allah ta’ala iku mundut awak-awakan menungso naliko mati. Lan
ugo mundut awak-awakan nalika turu. Nuli Allah ngeker awak-awakan
kang diputusake mati, lan ngeculake (ambalikake) ana ing raga sare
hinggo bates wektu kang di temtukake. Kang menkono iku ngandung ayat
kang manfaat marang wong-wong kang angen-angen”21
20
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3889. 21
Ibid.
123
Terjemah:
“Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil jiwa
orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang telah
ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa dalam
tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. bagi kaum
yang berfikir.”
d. Al-Maut bermakna Pembatas
KH.Misbah Musthafa tidak menyebut secara langsung al-Maut
dengan pembatas, akan tetapi secara konteksnya, ayat tersebut
menjelaskan bahwa al-Maut merupakan batas seseorang untuk melakukan
amal salih dan taubat. Ini bisa dilihat penafsiran KH.Misbah dalam QS. al-
Nisa>’: 18.
“Orang-orang yang sudah melakukan dosa dan tidak mau taubat
hingga datangnya kematian, dan ruh sudah sampai di tenggorokan
kemudian mengucapkan sekarang saya taubat, seperti itu tidak diterima
taubatnya oleh Allah Swt., jadi taubatnya tidak ada gunanya. Begitu juga
orang-orang yang mati sedang mereka masih dalam keadaan kafir. Orang-
orang yang seperti itu sudah saya sediakan siksa yang sangat pedih”22
Konteks ayat diatas adalah peringatan kepada orang-orang yang
durhaka kepada Allah Swt. untuk segera melakukan taubat atau minta
ampun atas dosa-dosanya, karena setelah maut menjemput yaitu ketika
sedang sakarat al-Maut dan diperlihatkan kehidupan akhirat yang nyata,
22
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, h. 678.
124
yang selalu didustakan kemudian ia minta ampun kepada Allah Swt.
(taubat), maka taubatnya orang seperti ini tidak ada gunanya karena batas
waktu untuk bertaubat telah habis dan Allah Swt. tidak menerimanya.
Berikut penafsiran KH.Misbah Musthafa:
“Wong-wong kang podo ngelakoni dosa ora gelem taubat hinggo
naliko katekanan pati, lan ruh wes teko ono ing gorokan lagi ngucap
saiki aku taubat, iku ora anduweni hak diterimo Taubate dining Allah.
Dadi Taubate ora ono gunane. Semono ugo wong-wong kang podo mati
sedeng deweke iseh kufur. Wong-wong kang mengkunu iku wus ingsun
cawisi sikso kang banget larane.”23
Bagi orang kafir dan orang yang bermaksiat setelah maut
menjemputnya maka yang ada hanyalah penyesalan. Mereka ingin
dikembalikan kedunia untuk bertaubat dan beramal salih, tapi
permintaannya sia-sia saja. Allah Swt. berfirman dalam QS. al-
Mukminu>n: 99
“Demikianlah keadaan orang kafir Makah ketika kematian
mendatanginya dan melihat neraka yang akan menjadi tempatnya,
mereka mengatakan: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia.”24
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa al-Maut (kematian)
merupakan batas akhir seseorang untuk melakukan amal perbuatan, jika
seseorang sedang dalam sakarat al-Maut dan orang tersebut minta ampun
kepada Allah Swt. (taubat) maka yang dilakukannya tidak ada gunanya
karena Allah Swt. telah memberi batas waktu selama hidupnya untuk
memperbanyak amal salih. Jika orang kafir tersebut minta dikembalikan
23
Ibid. 24
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 18, h. 3126.
125
lagi kedunia, maka permintaannya sia-sia saja. Ini diungkapkan
KH.Misbah dengan tegas “Ora bakal dibalikake, ngertiyo!, Iku guneman
kang diucapake wong-wong kafir naliko arep mati, nanging ora ono
gunane.”25
Berikut penjelasan lengkap KH.Misbah Musthafa:
“Nuli mengkono yen wong-wong kafir Mekah iku wus katekanan
pati lan weroh neroko kang dadi panggonane, podo ngucap: “Duh
pengeran kulo mugi kersoho mangsulake kulo wonten ing dunyo, bok
menawi kulo saged amal ingkang salih minongko dados gantosipun amal-
amal ingkang kulo tilarake.” Allah ta’ala dawuh: “Ora bakal dibalikake
dibalikake, ngertiyo!” Iku guneman kang diucapake wong-wong kafir
naliko arep mati, nanging ora ono gunane.”26
Terjemah:
“Demikianlah keadaan orang kafir Makah ketika kematian
mendatanginya dan melihat neraka yang akan menjadi tempatnya, mereka
mengatakan: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia, mungkin saya bisa
melakukan amal salih sebagai gantinya amal yang saya tinggalkan.” Allah
Swt. berkata: “Ketahauilah! Tidak akan dikemabalikan.”
e. Al-Maut adalah Nikmat
Jika al-Maut merupakan proses kepulangan, maka kematian
merupakan nikmat. Selain jalan untuk bertemu dengan tuhannya kematian
merupakan langkah bagi orang mukmin untuk mendapatkan pahala yang
sempurna yang telah dikerjakannya, yaitu dimasukkan ke surga. Hanya
orang-orang tertentu yang dapat merasakan kenikmatan tersebut yaitu
orang yang mempunyai bekal lebih dalam perjalanannya, sehingga hatinya
tenang dan tidak merasa khawatir. Orang yang merasakan nikmatnya
kematian adalah orang yang berjuang dijalannya Allah Swt. Al-Qur‟an
25
Ibid. 26
Ibid.
126
telah menggambarkannya dalam QS. A<li Imra>n: 169 dan QS. al-Nisa>’:
100.
1. QS. A<li Imra>n: 169
“Wahai Muhammad, Janganlah kamu mengira bahwa orang-
orang yang gugur di jalan Allah karena mengagungkan agamanya itu
mati; bahkan mereka itu hidup dengan mendapat rezki, makan dan
minum disisi Tuhannya.”27
Orang yang mati karena gugur dalam peperangan atau
memperjuangkan agamanya Allah Swt. maka ia akan memperoleh
kenikmatan yang besar, mereka tidak mati, mereka tatap hidup dan
mendapat nikmat dari Tuhannya.
KH.Misbah Musthafa menggambarkan kenikmatan yang
diberikan Allah Swt. yaitu meletakkan ruhnya orang tersebut di teleh-
nya burung hijau yang ada di surga, yang mana burung tersebut
minum dan makan makanan surga, dan hinggap di lampu-lampunya
surga yang menggantung di bawah „arsy. Ketika mereka merasakan
enaknya makan makanan, minum minuman surga, dan juga bertempat
ditempat peristirahatan kemudian berkata, “Siapa yang dapat
memberitahu saudara-saudaraku yang masih di dunia, bahwa kita
sedang hidup di surga. Jangan benci (bermalas-malasan melakukan
sesuatu yang dapat memasukkan ke surga, dan bermalas-malasan
27
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 534
127
melakukan jihad fi sabilillah?” Kemudian Allah Swt. berfiman, “Saya
yang akan mengabarkan keadaanmu disini kepada saudara-saudaramu
muslim.” Kemudian turunlah ayat ini.28
Ini menunjukkan kematian bisa menjadi nikmat apabila kita
mati dalam keadaan syahid yaitu taat dan beramal sesuatu yang dapat
memasukkan ke surga.
2. QS. Ali Imran: 185
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati. Kalian
semua akan dicukupi pahala atas amal kalian pada hari kiamat. Barang
siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh ia adalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”29
Pada ayat diatas KH.Misbah Musthafa menjelaskan bahwa
setelah manusia mati, dan pada hari kiamat Allah Swt. akan
menyempurnakan pahala atas amal hambanya pada hari kiamat.
Apabila ia orang yang taat maka Allah Swt. akan memasukkannya
kedalam surga dan ia termasuk orang yang beruntung. Penafsiran
KH.Misbah lengkapnya bisa dilihat dibawah ini:
“Saben-saben awak-awakan iku mesti ngicipi pati. Siro kabeh
bakal dicukupi ganjaran amal niro besok ing dino qiyamat. Besok
28
Ibid. 29
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554.
128
inge dino qiyamat, sopo-sopo wong kang disingkrihake saking neraka
lan dileboake suwargo, terang yen wong iku wong kang bekjo.
Kasenengan ing dunyo iki namun kasenengan kang ngandung
bujukan.”30
3. QS. al-Nisa>’: 100
“Barang siapa yang pindah (hijrah) karena mengagungkan
agamanya Allah, pasti akan mendapatkan tempat yang banyak
manfaatnya untuk dirinya dan rizki yang luas. Dan barang siapa yang
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasulnya yang didorong oleh rasa taat kepada Allah dan rasulnya,
kemudian kematian menimpanya, maka pahala orang tersebut tetap
disisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”31
Dalam ayat ini juga menunjukkan orang mati yang dapat
nikmat adalah orang yang berjuang dijalan Allah Swt. Mereka selalu
mendapat rizki yang luas berupa pahala yang telah dilakukan dengan
ikhlas ketika di dunia.
f. Al-Maut adalah Kepayahan (Siksa)
Jika kematian merupakan nikmat bagi orang mukmin karena
berjumpa dengan tuhannya, maka bagi orang kafir kematian
merupakan siksa baginya. Mengapa demikian, karena al-Maut
merupakan awal dari pembalasan amal yang dilakukan oleh manusia
semasa hidupnya.
Dimulai dari sakaratul maut orang-orang yang menzalimi
dirinya sendiri sudah merasakan ketakutan. Bisa dibayangkan seperti
30
Ibid. 31
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 5, 784.
129
dijelaskan KH.Misbah malaikat maut tersebut membentangkang
tangannya seraya mengucap, “Ayo! Keluarkanlah sendiri ruhmu.
Sekarang kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan,
karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak
benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-
ayatNya.” Maka orang-orang zalim ketika itu merasa ketakutan karena
melihat malaikat maut yang sangat kejam sekaligus melihat tempat
yang akan ditempati. Berikut penjelasa KH.Misbah ketika
menafsirkan QS. al-An‟am: 93:
“He Muhammad lamun siro iku pirso wong-wong kang podo
nganingoyo awake naliko ono ing wektu sakaratil maut, siro temtu
giris. Wong-wong zalim iku yen wus sakaratil maut, malaikat juru pati
ambeber tangane nuli ngucap: “Ayo! Tokake dewe ruh niro. Saiki siro
bakal diwales kanthi sekso kang andadikake inane awak niro. Sebab
siro podo ngcapake katerangan kang ora bener kanggo Allah, lan siro
kabeh podo anggumedeni ayat-ayate Allah ta’ala.”32
Terjemah:
“Wahai Muhammad, apabila kamu melihat orang-orang yang
mendzalimi dirinya sendiri berada dalam tekanan sakaratul maut,
kamu pasti takut. Orang-orang zalim ketika sakaratul maut, malaikat
maut membetangkan tangannya lalu berkata: “Ayo! Keluarkanlah
sendiri ruhmu”. Sekarang kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat
menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah
(perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”
Orang-orang zalim ketika sakaratul maut saja sudah
kepayahan, apalagi ketika sudah mati. Memang ketika di dunia siksa
Allah Swt. tidak terlihat, tapi ketika di akhirat yang dimulai dari
kematian kebenaran yang sesungghunya akan terlihat.
32
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz. 7, h. 1102.
130
Orang-orang kafir setelah mati akan mendapat balasan sesuai
yang diperbuatnya. KH.Misbah menjelaskan ketika menafsirkan QS.
Ibrahi>m: 17, yaitu orang-orang kafir itu minum air nanah yang
mendidih, akan tetapi air tersebut tidak bisa ditelan, karena saking
tidak enaknya dan juga sangat sakit. Orang-orang kafir tersebut
kedatangan penyebab kematian dari berbagai penjuru, akan tetapi
mereka tidak bisa mati. Berikut penafsiran KH.Misbah Musthafa:
“Wong-wong kafir kang gumede iku bakal podo ngelek banyu
sodid iku, nanging meh-meh bahe banyu sodid iku ora biso melebu,
saking ora enake lan larane. Wong-wong kafir kang gumede iku
katekanan opo kang bisa andadeake matine saking pirang-pirang
jurusan nganing ora bisa mati, lan ing burine ana siksa kang banget
larane.”33
Terjemah:
“Orang-orang kafir yang sombong it akan minum air sodid,
namun air tersebut tidak bisa ditelan karena tidak enak dan terasa sakit
ketika ditelan. Orang-orang yang sambong tersebut kedatangan
penyebab kematian dari berbagai penjuru tapi tidak bisa mati, dan
dibelakngnya ada siksa yang sangat pedih.
4. Al-Maut berhubungan dengan Hewan
Tidak hanya manusia, hewan juga mengalami kematian. Dalam
konteks ini, al-Qur‟an menyebut kematian hewan dengan kata . Jika
merujuk pada QS. al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3 yang dimaksud
dengan adalah bangkai yaitu hewan mati yang tidak disembelih atas
33
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2399.
131
nama Allah Swt. Lebih jelasnya perhatikan QS. al-Baqarah: 173 dan QS.
al-Ma>idah: 3 dibawah ini.
1. QS. al-Baqarah: 173
“Yang diharamkan Allah (tidak boleh dimakan) yaitu darah,
daging babi, hewan yang disembelih untuk mengagungkan selain
Allah Swt. Barang siapa dalam keadaan terpaksa maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Luas Ampunannya dan
kasih saying-Nya”34
Al-Maitatu dalam terjemahan perkata diartikan KH.Misbah
Musthafa dengan batang (bangkai). Kemudian dalam penjelasan
terperinci dijelaskan yang dimaksud dengan al-Maitatu (bangkai)
adalah hewan mati karena tidak disembelih sesuai aturan agama.
Misalnya ayam yang mati karena dialiri tegangan listrik. Maka ayam
yang mati demikan haram dimakan karena tidak disembelih dengan
aturan agama.
2. QS. al-Ma>idah: 3
“Hai orang-orang beriman, kalian diharamkan makan bangkai,
darah, daging babi, dan semua hewan yang disembelih dengan
34
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 174. Lihat
lampiran 4.
132
menyebut nama selain Allah, seperti menyebut danyang atau
lainnya.”35
Pada QS. al-Ma>idah: 3 KH.Misbah Musthafa mengartikan al-
Maitatu dengan bangkai sama dengan pada ayat sebelumnya. Bangkai
yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah
Swt. yaitu dengan menyebut danyang atau lainnya.
Kesimpulannya, al-Maut digunakan dalam konteksnya hewan
yaitu untuk membicarakan hewan yang mati karena disembelih
dengan cara bertentangan dengan aturan agama, yaitu disembelih
dengan alat yang dilarang oleh agama dan juga disembelih atas nama
selain Allah Swt. misalnya ketika menyembelih menyebut danyang
atau mahluk lain selain Allah Swt.
5. Al-Maut berhubungan dengan Bumi (Tidak dapat Menumbuhkan)
Ternyata tidak hanya mahluk hidup yang mengalami kematian,
bumi dikatakan al-Qur‟an juga mengalami kematian. Akan tetapi kematian
yang dialami bumi berbeda dengan yang dialami manusia dan hewan.
Bumi atau tanah dikatakan mati jika tidak bisa menumbuhkan tanaman
atau tandus. Jadi, konteks bumi dikatakan mati apabila bumi itu gersang
tidak dapat menumbuhkan tanaman. KH.Misbah Musthafa telah
menjelaskannya ketika menafsirkan QS. al-Ru>m: 19, yaitu:
35
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 6, h. 852.
133
“Allah mengeluarkan makhluk hidup dari makhluk mati, seperti
ayam yang keluar dari telur. Dan mengeluarkan makhluk mati maksudnya
tidak bergerak dari mahluk hidup (seperti telur yang keluar dari ayam), dan
menghidupkan bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sesudah
matinya (tandus). Seperti itulah kalian semua akan dibangkitkan dari kubur
(alam barzah) menuju ke padang mahsyar.”36
Menurut KH.Misbah Musthafa bumi dikatakan mati apabila tidak
bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang disebut KH.Misbah dengan
gareng atau tandus. Ini bisa dilihat dalam penafsirannya yuhyi> al-Ard}a
ba’da mautiha> yaitu “Lan Allah nguripake bumi kanti tetukulan sakwuse
matine tegese garing,”37
(Allah menghidupkan bumi dengan
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sesudah matinya (tandus).
Allah Swt. menghidupkan bumi yang mati yaitu dengan
menurunkan hujan dari langit. Atas rahmat-Nya dengan air tersebut Allah
Swt. mengeluarkan tumbuh tumbuhan dan biji-bijian dari dalam bumi,
sehingga bumi tersebut menjadi subur (hidup). Allah Swt. telah berfirman
dalam QS. al-Ru>m: 24:
“Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yaitu diperlihatkannya kilat
kepada kalian semua untuk menimbulkan ketakutan dan mengharap
rahmatnya Allah yaitu hujan. Dan Allah menurunkan air dari langit lalu
menghidupkan bumi setelah matinya. Yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaannya Allah yang bermanfaat bagi orang yang berfikir.”38
36
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h.3515-3516. 37
Ibid. Lihat lampiran 5. 38
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3524.
134
Allah menghidupkan bumi yang telah mati merupakan tanda-tanda
kebesarannya, jika manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan hal
tersebut maka akan memperoleh manfaat yang luar biasa. Penjelasan
tersebut ditegaskan ketika menafsirkan QS. al-H{adi>d: 17. KH.Misbah
menegaskan bahwa Allah Swt. yang telah menghidupkan bumi setelah
matinya, jika manusia mempunyai hati yang khusyuk, berdzikir,
memikirkan kebesaran dan ayat-ayatnya Allah Swt. maka hati manusia
akan hidup dengan ilmu hikmah.39
Dapat disimpulkan bahwa bumi aslinya mati kemudian Allah
menghidupkannya dengan menurunkan air hujan. Dengan air hujan
tersebut Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Sehingga al-Maut dalam
konteks bumi yaitu gersang atau tandus yang tidak bisa menumbuhkan
tanam-tanaman.
Menurut analisis peneliti al-Maut yang berhubungan dengan bumi
diartikan dengan garing (gersang) karena memperhatikan sifat bumi
tersebut, yaitu bumi tidak mempunyai ruh maka bumi yang mati tidak bisa
dimaknai dengan terlepasnya ruh dari jasad, akan tetapi lebih pas diartikan
dengan garing (gersang) karena sifat bumi adalah menumbuhkan tumbuh-
tumbuhan. Sehingga jika bumi dikatakan mati maka bumi tersebut tidak
bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Seperti itulah kata al-Maut dimaknai KH.Misbah Musthafa dalam kitab
Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dengan tiga objek yang mempunyai variasia
39
Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 27, h. 4263.
135
makna yang berbeda-beda. Selain itu juga setiap ayat yang dibahas dari berbagai
objek tadi mempunyai konteks makna atau subtansi makna yang ingin
disampaikan berbeda juga. Untuk pembahasan pada bab empat diatas lebih
sederhananya bisa dilihat pada tabel dibawah:
MAKNA AL-MAUT DAN KONTEKSTUALISASI MAKNANYA
No. Objek Konteks Makna Al-Maut Ayat
1. Manusia
Akhir kehidupan di dunia
QS. A<li Imra>n: 169 dan
185
QS. al-Anbiya>’: 35
QS. al-Ankabut: 57
Mati akal (Tidak mau
menggunakan panca indra)
QS. al-An’a>m: 36
QS. al-An’a>m: 122
QS. al-Naml: 80
Keterputusan (Terputusnya
ruh dengan jasad) QS. al-Zumar: 42
Pembatas (Batas manusia
melakukan amal salih)
QS. al-Nisa>’: 18
QS. al-Mukminun: 99
Nikmat (bagi orang beriman
setelah mati akan mendapat
balas yaitu surga)
QS. A<li Imra>n: 169
QS. al-Nisa>’: 100
Siksa (bagi orang kafir
setelah mati akan mendapat
balasan yaitu siksa)
QS. al-An‟am: 93
QS. Ibrahim: 17
2. Hewan
Bangkai (hewan yang mati
disembelih tidak
menggunakan aturan agama)
QS. al-Baqarah: 173
QS. al-Maidah: 3
3. Bumi Tandus/gersang (bumi tidak
subur) QS. al-Ru>m: 19 dan 24
136
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti ajukan, pertama apa makna
al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l
maka peneliti mendapatkan tiga makna al-Maut yang berbeda yaitu tidak mau
mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt. (mati akal), bangkai dan tandus.
Sedangkan rumusan masalah yang kedua yaitu apa konteks keragaman
makna al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-
Tanzi>l maka didapat kata al-Maut dalam al-Qur’an digunakan untuk
membicarakan tiga objek yaitu manusia, hewan dan bumi. Ketiganya mempunyai
konteks makna (subtansi makna) yang berbeda, yaitu: Pertama, makna al-Maut
berhubungan dengan manusia mempunyai enam makna yaitu, 1) Al-Maut
bermakna akhir kehidupan di dunia, 2) Al-Maut bermakna mati akal (tidak mau
berfikir), 3) Al-Maut bermakna keterpisahan, 4) Al-Maut bermakna pembatas, 5)
Al-Maut bermakna nikmat, 6) Al-Maut bermakna siksa. Kedua, al-Maut
berhubungan dengan hewan dimaknai dengan bangkai yaitu hewan yang
disembelih dengan tidak menggunakan aturan agama. Ketiga, al-Maut
berhubungan dengan bumi dimakani dengan tandus atau gersang, maksudnya
bumi kehilangan kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
137
B. Saran-saran
Setelah mengambil kesimpulan dalam skripsi ini, maka penyusun memberi
beberapa saran yang berhubungan dengan akademis dan kehidupan sehari.
1. Saran akademis
Semoga penelitian ini tidak sampai disini saja, saya yakin masih
banyak kemungkinan yang akan diteliti dikemudian hari oleh peneliti lainya
sebagai proses pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Saran Praktis
Diantara saran penyusun adalah perlunya setiap manusia mengingat
mati karena dengan mengingatnya manusia tidak akan melanggar apa yang
dilarang Allah Swt. dalam menjalani kehidupan ini. Kemudian dengan
mengingat kematian juga menjadikan nasihat agar kita tidak mudah terpeleset
dalam bersikap dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan aturan agama.
Kita sering kali begitu mudah melupakan kematian, padahal kematian tak
pernah melupakan kita. Kematian ibarat jalan yang akan dilalui oleh setiap
manusia. Hanya saja, kapan peristiwa itu terjadi tidak ada yang tahu kecuali
Allah Swt. dan manusia hanya bisa menunggu dan mempersiapkannya.
Selain berhubungan dengan manusia, al-Maut kaitannya dengan
hewan, hendaknya ketika menyembelih hewan dengan cara yang ditentukan
oleh agama agar hewan tersebut halal untuk dimakan.
Selanjutnya berkaitan dengan bumi, hendaknya menjaga kesuburan
bumi (tanah) agar tanah tidak mati dan tetap subur menumbuhkan berbagai
macam tanaman.
138
Semoga skripsi yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini dapat
menjadi sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat
bagi penyusun, dan pembaca.
139
DAFTAR PUSTAKA
Abd Baqi>, Muhammad Fu’ad. Mu’jam Mufahras li al-Fa>z al-Qur’an al-Kari>m. Mesir: Dar al-Hadis, 1943.
Al-As}faha>ni>, Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib. Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n, Juz 2. t.tp: Maktabah Nazar al-Musthafa al-Bazi, t.th.
Al-Musthafa, Misbah Ibn Zain. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz. 1.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz. 2.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 3.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 4.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 5.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 6.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 7.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 8.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 9.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 11.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 12.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 13.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 14.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
140
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 17.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 18.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 20.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 21.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 22.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 23.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 24.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 25.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 26.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 27.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 28.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 29.
Surabaya: Al-Ihsan, t.th.
Baidan, Nasruddin Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Baidowi, Ahmad. “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Karya KH.
Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara).
Vol. 1, No. 1, 2015.
Gusmian, Islah. Memahami Kalam Tuhan. t.tp: t.np, 2013.
Hidayat, Komarudin. Psikologi Kematian (Mengubah Ketakutan Menjadi
Optimisme). cet. VII. Jakarta: Hikmah, 2006.
141
Humairoh, Siti Zakiyatul. “Penafsiran KH.Misbah Musthafa terhadap Ayat-ayat
Mustasyabihat dalam Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil”. (Skripsi S1
Jurusan Tafsir Hadis IAIN Surakarta, 2015).
Ibn Zakariya>, Abi> al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris. Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah. juz 5. t.tp: Dar al-Fikr, t.th.
J.J G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Pengantar Mohamad Nur
Kholis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, t.th.
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Tafsirnya. jilid 2, cetakan V. Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2010.
Lathif, Umar. “Konsep Mati dan Hidup dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan
Konsep Eskatologis), dalam Al-Bayan. Vol. 22, no. 34, 2016.
Mardalis. Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 1999.
Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Murtiningsih. “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, dalam Intizar.
Vol. 19, no. 22, 2013.
Muzaini. Perkembangan Teknologi dan Perilaku Menyimpang Dalam Masyarakat
Modern”, dalam Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Vol. II,
no. 1, 2014.
Rusydi>, Muhammad Basa>m. Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an. Beirut: Dar
al-Fikr, 1995.
Shihab, M. Quraish Kaidah Tafsir (Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an). Tangerang:
Lentera Hati, 2013.
------------------------. Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan Al-
Qur’an, cet. II. Tangerang: Lentera Hati, 2008.
Sholeh, Muhammad. “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H
Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin UIN Wali Songo, Semarang, 2015).
149
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Arif Rohman
Tempat, tanggal lahir : Jepara, 17 Febuari 1992
NIM : 13.11.11.002
Alamat : Karanggondang, Mlonggo, Jepara.
Jurusan : IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)
Fakultas : Ushuluddun dan Dakwah IAIN Surakarta
Ayah : Ali Achwan
Ibu : Nikmatun
E-mail : [email protected]
Pendidikan : 1. TK Raudlatul Athfal Kanggondang, Mlonggo, Jepara.
2. MI Darul Huda Kanggondang, Mlonggo, Jepara.
3. M.Ts. Darul Huda Kanggondang, Mlonggo, Jepara.
4. MA. Mathalibul Huda Mlonggo, Jepara.
5. Institut Agama Islam Negri (IAIN) Surakarta
6. Pondok Pesantren Al-Madinah, Ungaran Barat
7. Pondok Pesantren Ummul Qurok Klego, Boyolali
142
Lampiran 1.
143
Lampiran 2. Penafsiran QS. al-An’am: 36
144
Lampiran 3. Penafsira Qs. al-An’am: 122
145
Lampiran 4. Penafsiran QS. al-Rum: 19
146
147
Lampiran 5, penafsiran QS. al-Baqarah: 173
148