Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
ABSTRAK
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
DALAM PEMBAYARAN PAJAK TERHADAP AKTA
YANG DIPERJANJIKAN (Studi Penelitian di Kantor Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun, SH)
Petrus Haganta Sitepu*
Dr. Onny Medaline. S.H., M.Kn**
Dina Andiza,SH.,M.Hum**
Tujuan pemerintah mengadakan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat merupakan
salah satu perwujudan dari tujuan pendaftaran tanah yang dimaksud untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia dan bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan bukti yang kuat mengenai
suatu penguasaan atau pemilikan tanah. Berdasarkan hal ini, maka rumusan masalah dalam
skripsi ini adalah Bagaimana Pengaturan Hukum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Dalam Pembayaran Pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Tranksaksi Jual Beli Tanah, dan Hambatan Dalam
Pembayaran Pajak Terhadap Akta Yang Diperjanjikan Di Kantor Notaris/PPAT Malem Jenda
Singarimbun, SH
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, dengan menggunakan tipe penelitian kuantitatif, dan
menggunakan jenis penelitian Empiris, adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode penelitian Lapangan dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah primer dan
sekunder.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan atau tugas untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan rumah susun. Peran Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) Atas Tranksaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan secara umum adalah sebagai
peranatara atau membantu seseorang wajib pajak dalam melakukan pembayaran BPHTB,
hambatan dalam Pembayaran Pajak terhadap akta yang diperjanjikan di kantor Notaris/PPAT
Malem Jenda Singarimbun SH pada pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) oleh
Notaris selaku PPAT berkaitan dengan akta yang dibuatnya adalah kurangnya informasi dan
sosialisasi mengenai peraturan-peraturan BPHTB yang terus berkembang
Saran dari skripsi ini adalah Supaya masyarakat mengurus Akta jual beli tanah nya kepada
Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Supaya Notaris selaku PPAT dapat
memberikan penjelasan yang baik kepada kliennya, dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan
khususnya pajak BPHTB. Supaya pemerintah lebih giat dalam melakukan sosialisasi tentang
pentingnya membayar pajak tanah dan bangunan oleh Notaris/PPAT kepada masyarakat.
Kata Kunci: Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pajak, dan Akta
** Dosen Pembimbing I & II Fakultas Sosial Sains Prodi Ilmu Hukum UNPAB Medan. * Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Sains Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
E. Keaslian Penelitian .............................................................................. 7
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 10
G. Metode Penelitian ................................................................................ 15
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 18
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH (PPAT) ............................................................................................. 20
A. Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan
Akta Autentik. ........................................................................................... 20
B. Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah ................................... 26
C. Dasar Hukum Tentang Pembuatan Akta Tanah ........................................ 31
v
BAB III PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM
PEMBAYARAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS TRANKSAKSI JUAL BELI
TANAH ........................................................................................................... 36
A. Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan ........................................ 36
B. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Tranksaksi
Jual Beli Tanah dan Bangunan ................................................................... 39
C. Tata Cara Penghitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) ..................................................................................................... 48
BAB IV HAMBATAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK TERHADAP AKTA
YANG DIPERJANJIKAN DI KANTOR NOTARIS/PPAT MALEM
JENDA SINGARIMBUN SH ....................................................................... 53
A. Peran Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun. SH dalam Penerapan
Sistem Self Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) Terkait dengan Akta Yang Dibuatnya.... 53
B. Hambatan-Hambatan Yang Muncul Dalam Penerapan Sistem Self
Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan (BPHTB) Oleh Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun
SH .............................................................................................................. 60
C. Cara Mengatasi Hambatan Dalam Penerapan Sistem Self Assessment
Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
(BPHTB) Oleh Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun SH ................. 64
vi
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 68
A. Kesimpulan ................................................................................................. 68
B. Saran .......................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 70
LAMPIRAN ....................................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah tanah di Indonesia merupakan satu hal yang sangat komplek, karena
tanah merupakan sumber daya dan faktor produksi yang utama baik bagi
pembangunan maupun untuk pemenuhan kebutuhan anggota-anggota masyarakat
sehari-hari. Oleh karena itu tugas-tugas pertanahan haruslah mampu meratakan
pembangunan secara keseluruhan, khususnya pemerataan pembangunan ekonomi.
Esensi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususny
a Pasal 3 ayat (3) yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam, yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran
rakyat” telah dituangkan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) .1
Tanah merupakan sebuah dasar untuk membangun tempat tinggal bagi setiap
manusia tanpa terkecuali. Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik,
sangat penting bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria.
Akan tetapi, tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan
dengan berbagai hal, seperti :
1. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding
dengan kebutuhan yang harus dipenuhi.
1 A.P. Parlindungan, Pengantar Hukum Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1996, hal 32.
2
2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat
perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan
perubahan-perubahan sosial pada umumnya.
3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan.
4. Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara dilain
pihak harus dijaga kelestariannya.2
Pendaftaran tanah di Indonesia dilakukan dengan sistem negatif cenderung
positif yang dilakukan secara bertahap dan didasarkan kepada Asas pembuktian yakni
bahwa nama pemilik bidang tanah serta adanya beban-beban di atas tanah seperti
hipotik sitaan-sitaan dan sebagainya harus terdaftar dalam daftar umum, artinya
bawah daftar ini terbuka bagi umum.Asas spesialitas yakni letak tanah, lokasinya,
luasnya serta tanda-tanda batasnya harus tampak jelas, oleh karena itu bidang tanah
harus diukur, dipetakan, dihitung luasnya serta jelas macam tanda batas (situasi)
bidang tanah itu.3
PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT. PPAT Khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
2 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika,
2007, hal. 1. 3 H. Husnan Situmorang, Paparan Ringkas Tentang Masalah Pertanahan, Kotamadya
Medan, 1995, hal. 1.
3
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah
tertentu.4
Berdasarkan teori A.P. Parlindungan yang kemudian dikembangkan bahwa
dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia dikenal ada dua lembaga yang
terkait, namun masing-masing melaksanakan bidangnya, yaitu Kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN) khusus bertugas melaksanakan5 :
a. Recording of title adalah Pendaftaran pertama
b. Continuous recording adalah Pendaftaran berkelanjutan dari hak atas
tanah.6
Dan yang baru adalah memberikan sifat grosse suatu hak tanggungan dengan
menerbitkan hak tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996) sedangkan
PPAT melaksanakan recording of deeds of conveyance, yaitu suatu perekaman
pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas
tanah sebagai agunan (hak tanggungan), mendirikan hak batu atas sebidang tanah
(HGB di atas hak milik, hak pakai di atas hak milik) ditambah tugas-tugas baru
membuat surat kuasa memasang hak tanggungan (Undang-Undang Hak
Tanggungan).7
4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pejabat
Pembuatan Akta Tanah 5 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung, CV Mandar Maju, 2007,
hal 5. 6 Ibid, hal. 17. 7 Ibid, hal. 85.
4
Tujuan pemerintah mengadakan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat
merupakan salah satu perwujudan dari tujuan pendaftaran tanah yang dimaksud
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), melalui Pasal 19 mengamanatkan bahwa pemerintah mengadakan
pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan bahwa sertifikat hak
atas tanah merupakan bukti yang kuat mengenai suatu penguasaan atau pemilikan
tanah.8
Fungsi pajak yang sederhana ialah untuk menyelenggarakan kepentingan
bersama para warga masyarakat. Masyarakat yang sederhana ini semakin lama akan
menjadi besar, sehingga memerlukan suatu organisasi yang lebih besar, dan
selanjutnya timbul sekarang adanya suatu negara. Kepentingan bersama ini menjadi
semakin besar, sehingga penanganannya tidak lagi ditangani oleh seorang yang
dituakan atau kepala kelompok tetapi harus ditangani oleh beberapa kelompok
orang.9
Berdasarkan penelitian di kantor Notaris/ PPAT Malem Jenda Singarimbun.SH
di tahun 2015-2018 sudah seribu orang telah ditangani selama menjabat sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pemecahan kepentingan bersama ini akan terbentur lagi
dengan persoalan biaya, dan sudah barang tentu pemberian dalam bentuk in natura
tidak dapat mencukupi untuk
8 F.X. Sumarja, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing, Indepth Publising,
Bandar Lampung, 2012, hal. 9. 9 Eko Lesmana, Sistem Perpajakan di Indonesia, Edisi Kedua, Prima Campus Grafika,
Jakarta, 1994, hal.3
5
membiayai pengeluaran-pengeluaran. Pemberian dalam bentuk in natura ini
dirasakan sudah tidak mencukupi lagi. Dalam masyarakat modern seperti sekarang
ini pemberian-pemberian dalam bentuk in natura tadi harus diganti dengan uang,
yaitu dengan jalan pemberian sejumlah uang. Pemberian sejumlah uang tersebut
dalam masyarakat modern berfungsi sebagai pembayaran pajak.10
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik mengangkat judul :
“Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembayaran Pajak
Terhadap Akta yang Diperjanjikan (Penelitian di Kantor Notaris/PPAT Malem
Jenda Singarimbun, SH)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka beberapa permasalahan yang akan
dibahas dalam proposal ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ?
2. Bagaimana peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembayaran Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas tranksaksi jual beli
tanah ?
3. Bagaimana hambatan dalam pembayaran pajak terhadap Akta Yang
diperjanjikan di kantor Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun, SH ?
10 Ibid, hal. 4 .
6
C. Tujuan Penelitian
Permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari
pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
2. Untuk mengetahui Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam
Pembayaran Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
atas tranksaksi jual beli tanah.
3. Untuk mengetahui Bagaimana hambatan dalam pembayaran pajak terhadap
Akta Yang diperjanjikan di kantor Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun.
SH.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Merupakan syarat dalam menyelesaikan program pendidikan sarjana hukum
di Universitas Pembangunan Panca Budi
2. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Perdata, terutama yang
berkaitan dengan peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan kaitannya
dalam pembayaran pajak terhadap akta yang dibuatnya.
7
3. Manfaat Praktis
Sebagai bahan informasi, masukan dan penjelasan yang mendalam bagi
masyarakat yang berkecimpung dalam hal-hal yang berhubungan dengan
penelitian ini, yaitu mengenai peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dan kaitannya dalam pembayaran pajak terhadap akta yang dibuatnya.
E. Keaslian Penelitian
Terdapat tiga topik skripsi yang sebelumnya membahas Tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dari beberapa universitas yang penulis
temukan namun berbeda dengan topik yang penulis bahas di antaranya :
1. Uki Setiani, Universitas Bandar Lampung dengan judul “Evaluasi Kebijakan
Penarikan BPHTB di Kota Bandar Lampung”11.
Rumusan masalah adalah bagaimana evaluasi pada kebijakan proses penarikan
(BPHTB) di Kota Bandarlampung.
Kesimpulan adalah evaluasi kebijakan penarikan pajak BPHTB di Kota
Bandarlampung kurang berhasil pada pelaksanaan yang dilakukan, karena pada
penarikan pajak BPHTB yang dijalankan selama ini belum mencapai targetnya
dan belum bisa diselesaikan dengan cara-cara yang dilakukan.
11 Uki Setiana, Evaluasi Kebijakan Penarikan BPHTB di Kota Bandar Lampung,
https://docplayer.info/52373860-Evaluasi-kebijakan-penarikan-pajak-bea-perolehan-hak-atas-tanah-
dan-bangunan-bphtb-di-kota-bandarlampung-skripsi-oleh-uki-setiani.html, Diakses tgl 18 Agustus
2019, pkl 15.00 WIB.
8
2. Sri Aryanti, Universitas Diponegoro, judul “Pengaruh BPHTB terhadap Saksi
Jual Beli Tanah dan Bangunan”12.
Rumusan masalah adalah :
a. Bagaimanakah pemungutan BPHTB terhadap transaksi jual beli tanah dan
atau bangunan ?
b. Bagaimanakah peranan PPAT/Notaris dalam pemungutan BPHTB ?
c. Hambatan-hambatan apakah yang timbul dalam pemungutan BPHTB dan
bagaimana upaya untuk mengatasinya ?
Kesimpulan masalah adalah :
1) BPHTB dalam pelaksanaannya menggunakan sistem self assessment, yaitu
Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung besarnya pajiak, menyetior pajak
yang terutang sendiri sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku,
maka untuk kesederhanaan dan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak,
ditetapkan tarif pajak sebesar 5% (lima persen) dan sesuai dengan cara
mengalikan tarif pajak dengan NPOPTKP ditetapkan dalam Undang-
Undang No.21 Tahun 1997 sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).
2) peranan yang signifikan dalam pemungutan BPHTB karena PPAT/Notaris
adalah pejabat umum yang terkait dengan transaksi jual beli tanah,
PPAT/Notaris akan menandatangani akta otentik setelah
12 Sri Aryanti, Pengaruh BPHTB terhadap Saksi Jual Beli Tanah dan Bangunan,
http://eprints.undip.ac.id/18266/1/SRI__ARIYANTI.pdf, Diakses tgl 18 Agustus 2019, pkl. 15.00
WIB.
9
pajak BPHTB tersebut dibayar lunas oleh Wajib Pajak. Pejabat Pembuat
Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas
tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar
ketentuan tersebut di atas dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah 73 lxxvii dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Selain itu
PPAT/Notaris juga berperan dalam membantu Wajib Pajak menghitung
besarnya BPHTB.
3) Dalam pelaksanaannya ternyata terdapat beberapa hambatan, seperti masih
terdapat PPAT/Notaris yang belum melaporkan perolehan hak atas tanah
dan bangunan di wilayah kerjanya. PPAT/Notaris tersebut seharusnya
ditindak tegas sesuai peraturan yang berlaku, masih ditemukan dalam
formulir SSB belum tercantum alamat objek pajak.
3. Erliza Rivani Rizki Nasution, Universitas Medan Area dengan judul “Analisa
Prosedur BPHTB Pada Dinas Dispenda Kota Medan.13
13 Erliza Rivani Rizki, Analisa Prosedur BPHTB Pada Dinas Dispenda Kota Medan,
https://www.google.com/search?q=Analisa+Prosedur+BPHTB+Pada+Dinas+Dispenda+Kota+Medan
&rlz=1C1CHBD_enID862ID862&oq=Analisa+Prosedur+BPHTB+Pada+Dinas+Dispenda+Kota+Med
an&aqs=chrome..69i57.362j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8, Diakses tgl 18 Agustus 2019, pkl.
15.00 WIB.
10
Rumusan masalah adalah bagaimana prosedur penggunaan BPHTB.
Kesimpulan masalah adalah prosedur BPHTB merupakan tata cara perhitungan
dan pembayaran yang terutang berdasarkan pokok-pokok aturan yang telah
ditetapkan sebesar 5%, nilai perolehan hak atas tanah dan pajak.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 1 ayat 1 dari
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah bahwa yang dimaksud dengan “Pejabat Pembuat Akta
Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
Akta yang dapat dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah :
1. Jual-beli,
2. Tukar-menukar,
3. Hibah,
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
5. Pembagian hak bersama,
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
11
7. Pemberian Hak Tanggungan, dan
8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.14
Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya
disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 1 angka 5 menyatakan : “PPAT
adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah”.
Dengan adanya keharusan jual beli tanah di hadapan PPAT maka
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah peraturan pelaksanaanya diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Peraturan PPAT yang kemudian dirubah dengan Peraturan BPN Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2009. Peraturan tersebut diterbitkan dalam rangka
program pelayannan masyarakat dalam pembuatan Akta PPAT.15
14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 2 Ayat (2) Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Presiden Republik Indonesia. 15 Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2009,
hal. 42.
12
Akta bawah tangan yang dibuat oleh PPAT dan tidak bersifat otentik, maka
akta tersebut tidak bernilai sebagai Akta pejabat yang berfungsi sebagai alat
untuk pemindahan atau pembebanan hak atas tanah.16
2. Pengertian Pajak
Pengertian pajak berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Nomor 28 Tahun
2007 Pasal 1 ayat (1) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut H. Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbul (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.17
Menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib, berupa uang dan
barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.18
Menurut Neneng Hartati, pajak adalah semua jenis pajak baik pajak langsung
maupun tidak langsung, pajak pusat maupun daerah, termasuk bea masuk dan cukai
16 Mustofa, Tuntutan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Karya Media, Yogyakarta, 2010, hal. 8 17 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Eresco, Bandung,
2006, hal. 7. 18Suparmono dan Thereisa Worodamayanti, Perpajakan Indonesia mekanisme dan
perhitungan, Andi Offset, Yogyakarta, 2005, hal 2.
13
dipungut oleh negara melalui pejabat yang berwenang baik pemerintah pusat maupun
daerah, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.19
3. Pengertian Akta
Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau ”akta” dan
dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed”. Akta menurut Sudikno
Mertokusumo merupakan surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian20
Menurut Subekti, akta berbeda dengan surat, yaitu suatu tulisan yang memang
dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
akta, adalah:
a. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling)
b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian
sesuatu.
Akta mempunyai 2 (dua) fungsi penting, yaitu akta sebagai fungsi formal yang
mempunyai arti bahwa suatau perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila
di buat suatu akta. Fungsi alat bukti yaitu akta sebagai alat pembuktian dimana
19 Neneng Hartati, pengantar peroajakan, cet. Ke-1, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2015, hal.
5. 20 R. Surbekti, Hukum Pembuktian,Cet-2, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008, hal.25
14
dibuatnya akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian di tujukan
untuk pembuktian di kemudian hari.21
Tugas pokok dan kewenangan PPAT sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 bahwa:
a. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5) pembagian hak bersama;
6) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
7) pemberian Hak Tanggungan;
8) pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Akta yang dibuat dihadapan pejabat pembuat akta tanah sudah jelas diuraikan
diatas. Pejabat pembuat akta tanah memiliki hak dan kewajiban yang harus
21 Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2008,
hal. 121.
15
dilaksanakan. Salah satu contoh akta yang dapat dibuat dihadapan pejabat pembuat
akta tanah adalah akta jual beli. Akta jual beli tanah dapat dibuat dihadapan pejabat
pembuat akta tanah dengan tujuan adanya kepastian hukum dengan terbitnya
sertifikat tanah dalam proses jual beli tanah.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif, yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan satu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat. Dalam penelitian ini, bertujuan untuk menggambarkan bagaimana
pelaksanaan peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam kaitan dengan kewajiban
klien sebagai pajak yang harus membayar Pajak/Bea atas Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan yang diperolehnya.
2. Jenis Penelitian
Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah penelitian
hukum empiris. Empiris mengenai adanya kebenaran yang berkaitan dengan
masyarakat serta menjawab pernyataan yang diutarakan.22 Di kantor
Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun.SH. Dengan tujuan memperoleh
informasi mengenai penelitian yang dilakukan.
22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Edisi 1 cet.16, Rajawali Pers, Jakarta,
2016, hal. 18.
16
3. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini sumber data yang diperoleh berasal dari penelitian
lapangan (Field Research). Dengan menggunakan penelitian pustaka yang
mencari jawaban dari peneltian yang dilakukan menggunakan, seperti buku-buku,
majalah, jurnal, putusan dan sumber-sumber lainnya23. Sedangkan penelitian
lapangan menggunakan wawancara dengan mengadakan penelitian secara
langsung ke lokasi penelitian. Dengan cara observasi dan wawancara di Malem
Jenda Singarimbun,S.H.
4. Jenis Data
Pada penelitian ini sumber data yang diperoleh berasal dari data Primer Dan Data
Sekunder.
a. Data Primer
Dilakukan dengan melalui penelitian dilapangan, yaitu dengan cara dengan
mengadakan penelitian secara langsung ke lokasi penelitian. Dengan cara
wawancara bapak Malem Jenda Singarimbun,S.H.24
b. Data Sekunder
1) Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
23 Andra Tersiana, metode penelitian, AndraT, Yogyakarta, 2018, hal.13. 24
17
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016
Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
2) Jurnal, Skripsi, Makalah
a. Chairumi, Jurnal, Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) Dalam Transaksi
Jual Beli Tanah Dan Bangunan Di Kota Tanjung Balai, Tanjung Balai,
hal. 4.
b. Euphrasia Susy Suhendra, Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak
Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan,
Volume 15, April 2010, Hal. 60.
c. Ida Bagus Paramaningrat Manuaba, Prinsip Kehati-hatian
Notaris/PPAT dalam membuat Akta Autentik, Acta Comitas,
Universitas Udayana, Bali, hal. 22.
5. Analisis Data
Setelah data selesai terkumpul dengan lengkap, tahap yang harus dilakukan
selanjutnya adalah analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfaatkan sedemikian
18
rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Ada pun sistematika penulisan pada proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.
Bab II Pengaturan Hukum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), terdiri
dari Kewenangan PPAT dalam membuat Akta Autentik,Pendaftaran Tanah dan
Peralihan Hak Atas Tanah, dan Dasar Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah.
BAB III Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembayaran Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Tranksaksi Jual beli
Tanah, terdiri dari Kewenangan Dan Tanggungjawab PPAT Dalam Pembuatan Akta
Otentik, Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Tranksaksi Jual Beli Tanah
19
dan Bangunan dan Tata Cara Penghitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
BAB IV Hambatan Dalam Pembayaran Pajak Terhadap Akta Yang
Diperjanjikan Yang Terdiri Dari Peran Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun. SH
dalam Penerapan Sistem Self Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) berkaitan dengan Akta yang dibuatnya, Hambatan-
Hambatan Yang Muncul Dalam Penerapan Sistem Self Assessment Pada Pemungutan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Oleh Notaris Selaku PPAT
Berkaitan Dengan Akta Yang Dibuatnya, dan Cara Mengatasi Jika Terjadi Hambatan
Dalam Penerapan Sistem Self Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Oleh Notaris Selaku PPAT Berkaitan Dengan Akta
Yang Dibuatnya.
Bab V Penutup menguraikan Kesimpulan dan Saran.
20
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT
AKTA TANAH (PPAT)
A. Kewenagan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan Akta
Autentik
Menurut Penjelasan Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang menjamin adanya kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hukum nasional alat bukti
yang utama adalah surat dan untuk menjamin adanya kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum maka diperlukan alat bukti autentik supaya dapat menentukan
dengan jelas hak dan kewajiban para pihak yang bersepakat.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan atau tugas untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan rumah susun. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah dalam Pasal 1 Angka 1 dijelaskan bahwa yang menjadi
kewenangan PPAT dalam menjalankan tugasnya meliputi:
1. Jual-beli
2. Tukar-menukar
3. Hibah
4. Pemasukan kedalam perusahaan (inbreng)
21
5. Pembagian hak bersama
6. Pemberian Hak Guna Bangunan (HGU) atau Hak Pakai atas tanah hak
milik
7. Pemberian Hak Tanggungan
8. Pemberian Kuasa membebanan Hak Tanggungan.
Bahwa dari 8 (delapan) macam akta tersebut, ada yang berupa akta peralihan
hak dan ada yang berupa akra pemberian jaminan. Semua perbuatan hukum tersebut
disebut sebagai perbuatan keperdataan atau termasuk dalam bidang hukum perdata.
Bahwa selanjutnya karena apa yang dituangkan dalam akta adalah perbuatan
hukum yang memuat kesepakatan perjanjian diantara para subyek hukum dan akta
yang dibuat tersebut digunakan sebagai alat bukti bagi mereka mengenai tentang apa-
apa saja yang diperjanjikan, maka oleh karena nya pula apa yang terjadi merupakan
peristiwa dalam ruang lingkup hukum perdata. Sehingga sudah tentu apa yang
diberlakukan adalah hukum perjanjian dan hukum pembuktian yang diatur secara
jelas didalam buku ke III dan ke IV KUHPerdata.25
Bagian umum dari penjelasan di atas juga diuraikan bahwa akta autentik sebagai
alat bukti yang terkuat dan sempurna. dengan kata lain dengan adanya akta autentik
memberikan kejelasan akan hak dan kewajiban bagi para pihak. Keberadaan akta
autentik akan terlihat manfaatnya kalau ada sebuah permasalahan sengketa, ketika
terjadi sengketa maka akta yang dibuat oleh Notaris atau PPAT akan menjadi sebuah
25 Masnah Sari, “Kewajiban PPAT untuk Merahasiahkan isi Akta-akta Dalam Kaitannya
Dengan Hak Ingkar Yang Diberikan Undang-undang Guna Melindungi Kepentingan Masyarakat
Umum, Gramedia, Depok, 2009, hal. 5.
22
alat bukti yang terkuat sehingga tidak perlu lagi alat bukti yang lain untuk
menjelaskan bahwa perjanjian itu benar. PPAT sebagai pejabat umum harus bertindak
sesuai dengan aturan dan dengan prinsip kehati-hatian sehingga klien yang akan
menggunakan jasa PPAT agar diketahui terlebih dahulu identitas lengkapnya.26
Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang 45 Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa:
“Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih
dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian
sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan
sertifikat asli”.
Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Malem Jenda Singarimbun27 selaku
Notaris/PPAT, mengatakan bahwa kewajiban bagi seseorang PPAT untuk mengecek
dan memeriksa kesusuaian sertifikat terlebih dahulu ke kantor pertanahan sudah
dilaksanakan atau belum, dikarenakan hal tersebut menjadi syarat bagi pembuatan
akta oleh PPAT.
26 Ida Bagus Paramaningrat Manuaba, Prinsip Kehati-hatian Notaris/PPAT dalam membuat
Akta Autentik, Acta Comitas, Universitas Udayana, Bali, hal. 22. 27 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
4 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB.
23
Dengan dinyatakannya PPAT sebagai Pejabat Umum, mengandung konsekuensi
akta-akta yang dibuatnya adalah akta otentik, yaitu apabila terjadi suatu masalah atas
akta PPAT tersebut. pengadilan tidak perlu memeriksa kebenaran isi dari akta tanah
tersebut, atau tanggal ditandatanganinya dan demikian pula keabsahan dari tanda
tangan dari pihakpihak, asal saja tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan, penipuan,
maupun lain-lain kemungkinan akta tanah tersebut dapat dinyatakan batal ataupun
harus dinyatakan batal.28
Didalam menjalankan tugasnya untuk membuat akta otentik, maka PPAT
senantiasa berpegang kepada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang syarat-
syarat sahnya akta otentik menurut undang-undang maupun yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan tentang jabatan PPAT. Apabila ternyata ada gugatan
dari pihak lain yang menyangkut isi akta PPAT, maka gugatan itu harus ditujukan
kepada para pihak yang membuatnya, dimana perbuatan hukum perjanjian inilah
yang menjadi isi akta. Hal ini disebabkan akta otentik yang dibuat oleh PPAT bukan
kepentingan diri atau jabatan PPAT itu sendiri, akan tetapi semata-mata dibuat untuk
memnuhi kepentingan para pihak yang diminta dibuatkan akta otentik itu.
1) Tanggungjawab Notaris
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam memberikan pelayanannya harus
profesional, profesioanal itu merupakan bertanggungjawab kepada diri sendiri dan
kepada masyarakat. Bertanggungjawab kepada diri sendiri artinya adalah PPAT
28 A.A Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2008,
hal.75.
24
bekerja kerena integritas moral, intelektual, dan prefesional sebagai bagian dari
kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seseorang profesional selalu
mempertahankan cita-cita luhur profesional sesuai dengan tuntutan kewajiban hati
nuraninya,bukan sekedar kerena hobi.
Bertanggungjawab kepada masyarakat artinya kesedian memberikan pelayanan
sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, tanpa membedakan antara pelayanan
beyaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang
berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata
bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia.
Bertanggungjawab juga berarti berani menanggung segala resiko yang timbul atas
pelayanannya itu.29
Suatu profesi apapun terkait dengan etika atau moral yang melandasi perbuatan
atau tingkah laku sehari-hari dalam menjalankan tugas profesinya. Berdasarkan hal
ini dapat dikatakan bahwa seorang PPAT merupakan seorang yang menjalankan
tugas dan jabatannya dalam bidang tertentu yang memiliki keahlian khusus dalam hal
pembuatan akta yang kewenangannya diberikan oleh pemerintah berdasarkan
peraturan atas dasar kepercayaan yang tugasnya adalah mengutamakan melayani
kepentingan masyarakat yang membutuhkan jasa dari pada kepentingan diri sendiri.
29 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal.
60.
25
Seseorang PPAT dalam hal ini memiliki tanggungjawab sebagai bentuk
pertanggungjawaban profesinya yang terbagi atas dua hal yaitu tanggungjawab secara
hukum dan tanggungjawab secara moral.30
2) Tanggungjawab Secara Hukum
Pada dasarnya tanggungjawab PPAT secara hukum, dapat dikatakan merupakan
tanggungjawab dalam pelaksanaan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugas profesinya seorang PPAT dalam
melayani kliennya yang meminta jasa pelayanannya untuk membuat akta terkait
dengan kewajibannya PPAT yang bersangkutan dalam hal menerima pembuatan akta
yaitu kewajiban sebelum dan sesudah membuat akta.31
3) Tanggungjawab Secara Moral
Ketentuan ini berkaitan dengan etika/tingkah laku PPAT baik di dalam maupun
di luar jabatannya. Mengenai etika ini diatur oleh suatu organisasi profesi yang
berkaitan dengan profesi itu sendiri yang disebut Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(IPPAT). Organisasi ini mengatur ketentuan mengenai kode etik bagi PPAT sebagai
peraturan pelaksana ataupun sebagai penjelasan tambahan terhadap ketentuan-
ketentuan yang diatur secara hukum sebagaimana tedapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
30 Ibid, hal. 64. 31 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
4 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB.
26
Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka
pemeliharaan data pendafataran pada tanah sebagaimana dimaksudkan dalam
penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. PPAT sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
dapat dibedakan menjadi:
1. Notaris yang juga menjabat menjadi PPAT
2. PPAT sementara
3. Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan
tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup
terdapat PPAT
4. PPAT khusus
5. Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu
khusus dalam rangka Pelakasanaan Program atau tugas pemerintah
tertentu.
B. Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah
Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah dan pengertian
lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut, maka ada baiknya bila
mengetahui tentang definisi dari tanah itu sendiri. Secara yuridis tanah dijelaskan
dalam Pasal 1 ayat (4) UUPA yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam pengertian
27
bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta berada di
bawah air”.
Hak atas tanah adalah sebuah hak yang memberikan wewenang kepada yang
mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-
undang Pokok Agraria lalu dijabarkan ke dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang
Pokok Agraria, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa untuk
bangunan, hak membuka tanah dan Hak untuk memungut Hasil Hutan serta hak-hak
yang sifatnya sementara yang dimana hak-hak yang bersifat sementara itu termuat
dalam Pasal 53 Undang-undang Pokok Agraria, yaitu Hak Gadai, Hak Usaha Bagi
Hasil, Hak menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.32
Menurut hasil wawancara penulis dengan Notaris Bapak Malem Jenda
Singarimbun, menjelaskan bahwah atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut diatas,
maka PPAT wajib
1) Mentaati semua ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku
2) Meneliti dengan seksama identitas saksi dalam pembuatan akta
3) Memeriksa dengan cermat dan teliti tentang keabsahan surat-surat dan
dokumen-dokumen yang menjadi dasar dalam pembuatan akta atau
pelayanan jasa lainnya
32 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Pradana Media Group,
Jakarta, 2010, hal. 51.
28
4) Menjelaskan isi akta kepada para penghadap atau para pihak maupun para
saksi
5) Menyaksikan penandatanganan akta oleh para penghadap atau para pihak
maupun para saksi. :33
Menurut hasil wawancara penulis dengan Notaris Bapak Malem Jenda
Singarimbun, mengatakan dalam menjalankan tugasnya seseorang PPAT harus
menjalankan fungsinya sebagai pejabat umum memiliki 2 (dua) macam sifat atau ciri-
ciri yaitu:34
a. PPAT bersifat mandiri, artinya dalam menjalankan tugas jabatannya untuk
membuat akta otentik dia tidak boleh berada atau dibawah perintah atau
terkanan dari pihak manapun
PPAT dalam menjalankan kewenangannya membuat akta otentik sama sekali
dilarang dan tidak boleh memihak kepada kepentingan dari pada pihak yang membuat
perjanjian PPAT
Menurut Jhon Salendo, tidak perlu dan tidak pada tempatnya bangsa Indonesia
ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah, sebagai organisasi kekuasaan
tertinggi dan seluruh rakyat, negara bertindak selaku badan pengawas bukan
pemilik.35
33 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
4 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB. 34 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
4 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB. 35 Jhon Salendo, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 16.
29
Menurut Undang-undang Pokok Agraria, semua tanah dikuasi oleh negara, jika
diatas tanah tidak ada pihak tertentu (orang atau badan hukum), maka tanah itu
disebut tanah yang langsung dikuasai oleh negara, sedangkan kalau tanah itu tidak
ada hak atau pihak tertentu, tanah itu disebut tanah hak.36
Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah :
“Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur, terus menerus untuk
mengumpulkan, menghimpun dan menyajikan mengenai semua tanah atau tanah -
tanah tertentu yang ada di suatu wilayah”.37
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, terdapat pengertian pendaftaran tanah yaitu yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah adalah:
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus
berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi tanah yang sudah ada hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak yang membebankannya”.
Tujuan penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada para pemegang hak atas suatu bidang tanah,
36 Efendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hal.
3. 37 Boedi Harsono, Beberapa Analisis Tentang Hukum Agraria II, Esa Studi Klub, Jakarta,
2008, hal. 9.
30
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Menurut Soedikno
Mertokusumo, dalam pendaftaran tanah dikenal 2 macam asas yaitu, asas specialiteit
dan asas Openbaarheid38.
Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh negara Indonesia adalah sistem
pendaftaran hak, sedangkan sistem publikasi yang digunakan yaitu, sistem negatif
mengandung unsur positif karena dalam pendaftaran haknya, Indonesia menggunakan
akta sebagai alat bukti yang dimana telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah. Akta yang dibuat dihadapan PPAT adalah salah satu
subsistem pendaftaran hak. Dalam sistem positif, maka orang yang terdaftar adalah
pemegang hak yang sah. Terdapat dua bentuk peralihan hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun, yaitu beralih dan dialihkan. Dalam peralihan hak atas tanah
berdasarkan jual beli diperlukan akta jual beli dibuat dihadapan PPAT sebagai alat
bukti telah dilakukannya peralihan hak atas tanah berdasarkan asas hukum adat yaitu
terang dan tunai.39
Dengan diselenggarakannya pendafataran tanah, maka pihak-pihak yang
bersangkutan dapat dengan mudah mengetahui status atau kedudukan hukum dari
tanah tersebut seperti letaknya, luas dan batas-batasnya lalu kemudian siapa yang
mengusai tanah tersebut dan beban-beban apa saja yang berada diatas tanah tersebut.
38 Urip Santoso, Op.Cit, hal.17. 39 Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khsusus Pertanahan,
Cetakan kedua, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 174.
31
C. Dasar Hukum Tentang Pembuatan Akta Tanah
Dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria dan atas dasar ketentuan
Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 sebagai pelaksanaan
Undang-undang Pokok Agraria, ditentukan bahwa “Setiap Perjanjian yang
bermasukd mengalihkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah
sebagai tanggungan, harus dibuktikan dahulu melalui sebuah akte yang dibuat oleh
dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteria Agraria”. Akta yang dimaksud
harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk khusus untuk itu, yaitu PPAT.
Adanya unsur absolut yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni
akta yang dibuat oleh PPAT tersebut.40
Secara konseptual, akta PPAT ditentukan dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang di antara lain adalah:
1. Penjelasan Pasal 45 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997
“Akta PPAT merupakan alat untuk membuktikan telah berlakunya suatu
perbuatan hukum. Oleh kerena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau
dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti
perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum
dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan
hukum itu sudah didaftarkan di Kantor Pertanahan maka pendaftaran tidak dapat
dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan
40 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal.162.
32
hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan
atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.”
Esensi akta PPAT dalam konsepsi ini, yaitu fungsi akta sebagai alat
pembuktian juga tentang akibat hukum PPAT. Akta PPAT dikatakan sah, apabila
akta yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1320 KUHPerdata). Apabila syarat
subjektif dalam sahnya perjanjian tidak dipenuhi, maka akta PPAT tersebut dapat
dimintakan pembatalan kepada pengadilan, dan apabila syarat objektif sahnya
perjanjian tidak terpenuhi, maka akta yang dibuat oleh para pihak batal demi
hukum.
2. Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 4 PKBPN No. 1
Tahun 2006 menetapkan “Akta PPAT adalah Akta tanah yang dibuat oleh
PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian akta secara umum, bahwa
akta mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi formil, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya
(bukan sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah diberi atau dibuatkan
suatu akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu
perbuatan hukum.
b. Fungsi alat bukti, bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk membuktikan dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian
33
dalam bentuk akta itu tidak dapat membuat sahnya perjanjian, tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. 41
Dari pendapat Sudikno, akta yang mempunyai fungsi formil bukan untuk sahnya
perbuatan hukum, begitu pula dalam ketentuan PP No. 10 Tahun 1961 pada Pasal 19
tidak menyebutkan akta PPAT sebagai syarat yang menentukan keabsahan perjanjian
pengalihan hak atas tanah, namun adanya akta tersebut dimaksudkan sebagai alat
bukti sempurna tentang adanya pengalihan hak tersebut.20 Mahkamah Agung dalam
Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 juga berpendapat bahwa Pasal 19 PP No. 10 Tahun
1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak
menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual-beli
tanah.42
Selanjutnya mengenai tugas dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
sebagai berikut:43
a. Membuat akta mengenai perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak
atas tanah dan hak tanggungan
b. Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum untuk
mengajukan permohonan ijin pemindahan hak dan permohonan penegasan
konversi serta pendaftaran hak atas tanah.
41 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-8, Cetakan Pertama,
Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 162. 42 Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hal. 263. 37A.P Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, Mandar Maju,
Bandung, 2008, hal. 228.
34
Sedangkan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai
berikut:
1) Membuat akta mengenai perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak
atas tanah dan hak tanggungan
2) Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuat
3) Menyimpan asli dari kata-kata yang dibuatnya
4) Mengirim laporan akta-akta dibuat setiap awal bulan dari bulan yang
sedang berjalan kepada Direktorat Pendaftaran Tanah, Kantor Seksi
Pendaftaran Tanah dan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional
Propinsi Daerah), Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri SK No
59/DDA/1970.
5) Melaksanakan segala petunjuk yang diberikan oleh Dirjen Agraria PPAT
juga wajib memperhatikan hak pengawasan yang dilakukan oleh Dirjen
Agraria. Dirjen Agraria ini berhak mencabut penunjukan PPAT juga
terbukti kegiatan PPAT yang merugikan orang lain. (Pasal 4 Peraturan
Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961). 44
Pendaftaran itu dapat disebut juga sebagai perbuatan administrasi antara
pemerintah dengan tanahnya sebagai obhek pendaftaran dan disinilah tanah yang
merupakan objek pendaftaran yang artinya pendaftaran tanah tersebut tanahnya akan
44 Edi Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah UUPA, Amico, Bandung,
2008, hal. 52.
35
berubah status dan kedudukannya menjadi yang sesuai dengan yang tertera pada alat
bukti (akta) yang menjadi dasar perubahannya.
36
BAB III
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM
PEMBAYARAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS
TRANKSAKSI JUAL BELI TANAH
A. Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah menyatakan bahwa sistem untuk pembayaran BPHTB terutang
menggunakan Self Assessment System, begitu juga dengan Peraturan Daerah Kota
Medan Nomor 2 tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Di dalam Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2011 Pasal 7 menyebutkan bahwa
pembayaran BPHTB mewajibkan para wajib pajak terlebih dahulu melakukan
verifikasi (pemeriksaan) ke Dinas Pendapatan pengelolaan Keuangan Dan Aset
Daerah (DPPKA). Dengan adanya keharusan verifikasi berdasarkan peraturan
tersebut yang dalam hal ini Wajib Pajak bersifat pasif sistem yang dipergunakan
dalam pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan memakai system
OfficialEssessment.
Pendaftaran itu dapat disebut juga sebagai perbuatan administrasi antara
pemerintah dengan tanahnya sebagai obhek pendaftaran dan disinilah tanah yang
merupakan objek pendaftaran yang artinya pendaftaran tanah tersebut tanahnya akan
37
berubah status dan kedudukannya menjadi yang sesuai dengan yang tertera pada alat
bukti (akta) yang menjadi dasar perubahannya.45
Selain melibatkan berbagai macam peraturan yang saling terkait satu sama lain,
pelaksanaan BPHTB juga melibatkan banyak pihak sepertiKantor Pertanahan,
Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Bank, Pemerintah Daerah, Pengadilan
termasuk lembaga-lembaga yang ada di bawahnya. Selaku pejabat umum dalam hal
ini Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam hal melakukan
pekerjaannya sebagai pembuat akta tanah tidak bisa terlepas dari perpajakan. Salah
satu kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan bahwa
pembayaran BPHTB yang terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak dengan
memperlihatkan bukti Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan.
Pemungutan BPHTB didasarkan atas adanya transaksi jual beli tanah dan
bangunan yang disebabkan adanya peralihan hak atas tanah dan bangunan oleh orang
pribadi atau badan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalamPasal 1
angka (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.Bagi pihak yang menerima peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dikenakan kewajiban dalam pembayaran pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Undang-
undang.Setiap undang-undang pajak harus menetukan dengan jelas kapan saat dan
tempat pajak terutang, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
45 Ibid. 22.
38
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2
Tahun 2011 jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Dalam
hal perolehan hak atas tanah dan/bangunan saat yang menentukan pajak terutang
adalah pada saat ditandatanganinya akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang dibuat dihadapan PPAT/Notaris. Penandatanganan ini sangat penting karena
merupakan suatu bukti akta otentik. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan
pembebanan hak yang bersangkutan.Akta dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah mengandung maksud bahwa akta
tersebut harus memenuhi syarat sahnya perbuatan hukum di maksud dalam
akta.Pejabat Pembuat Akta Tanah melaporkan pembuatan akta Perolehan Hak Atas
tanah dan atau Bangunan tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-
lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.46
Dalam praktek sehari hari wajib pajak yang diwakili oleh PPAT dalam
penyetoran BPHTB yang terutang atas transaksi yang dibuat di hadapan (Jual Beli) ke
Bank yang ditunjuk atau bendahara penerima. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan
Walikota Nomor 11 Tahun 2011, Surat Setoran BPHTB harus diteliti lebih dahulu
(verifikasi) oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota
46 Adjie Habib, Meneropong Khazana Notaris dan PPAT Indonesia, Pt. Citra Aditya,
Bandung, hal. 16.
39
Medan, baru dapat dipergunakan sebagai lampiran dari akta pemindahan hak untuk di
daftarkan ke Kantor Pertanahan Kota Medan.47
B. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Tranksaksi Jual
Beli Tanah dan Bangunan
1. Peran PPAT dalam BPHTB atas Tranksaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan
Dari Segi Normatif
Landasan yuridis atau dari segi normatifnya pemungutan BPHTB terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, telah mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada
suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten, atau kota, dipungut pada suatu daerah kabupaten, atau kota, harus
terlebih dahulu ditetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut.
Pemungutan BPHTB didasarkan atas adanya transaksi jual beli tanah dan
bangunan yang disebabkan adanya peralihan hak atas tanah dan bangunan oleh
orang pribadi atau badan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Bagi pihak yang menerima peralihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dikenakan kewajiban dalam pembayaran pajak Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh
47 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
4 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB.
40
Undang-undang. Setiap undang-undang pajak harus menetukan dengan jelas
kapan saat dan tempat pajak terutang, sehingga tidak menimbulkan permasalahan
dikemudian hari
Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, dalam bukunya yang berjudul
“Perpajakan Indonesia”, menjelaskan, Pemungutan Pajak adalah suatu fungsi
yang harus dilaksanakan oleh sebuah negara sebagai suatu fungsi essensial. Salah
satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam
pembiayaan di sektor pembangunan, yaitu dengan cara menggali sumber dana
yang berasal dari dalam negeri berupa pajak yang digunakan untuk pembiayaan
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama disuatu negara.48
Tanpa adanya pemungutan pajak sudah dipastikan bahwa keuangan sebuah
negara akan lumpuh, terutama bagi negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, sebab pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi sebuah
negara. Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak tersebut, Pemerintah
Indonesia sudah melakukan pembaharuan perpajakan sejak tanggal 1 Januari
1984. Dengan pembaharuan ini sistem perpajakan akan disederhakan, yang
mencangkup penyederhanaan pajak, tarif pajak serta cara pembayarkan pajak.
Dengan demikian diharapkan beban pajak akan semakin adil dan wajar sehingga
disatu pihak mendorong wajib pajak melaksanakan dengan sadar wajib pajak dan
48 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2008, hal.
1.
41
dilain pihak menutup lubang-lubang yang selama ini masih terbuka bagi mereka
yang menghindari pembayaran pajak.49
Sehubungan pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, maka Kota Medan menerbitkan sejumlah peraturan, yakni Perda Kota
Medan Nomor 2 Tahun 2011tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan Peraturan Walikota Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem dan
prosedur BPHTB Kota Medan.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 91 Tahun 2000 tentang jenis Pajak
Daerah yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah atau dibayar sendiri
oleh wajib pajak, serta peraturan dearah nomor 2 tahun 2011 tentang BPHTB
menggunakan Self Assessment System dimana wajib pajak yang terhutang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan sehingga penentuan besarnya
pajak yang terutang dipercayakan kepada wajib pajak. Untuk bisa meningkatkan
penerimaan pajak tidak mudah karena Sel fAssessment yang ditetapkan di
Indonesia mengandung banyak kelemahan. Salah satunya adalah sangat
tergantung pada kejujuran wajib pajak, apabila wajib pajak tidak jujur maka tidak
mudah bagi petugas pajak menghitung pajak yang terutang sehingga
49 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 2008, hal. 24.
42
benar.Apalagi terdapat kendala seperti kerahasiaan bank dan terbatasnya data
transaksi keuangan pajak.50
Dasar hukum Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam Pasal 24 Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
berbunyi :
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangi akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa serat setoran bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan
b. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
c. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat
keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
50 Chairumi, Jurnal, Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan (Bphtb) Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Dan Bangunan Di Kota Tanjung Balai,
Tanjung Balai, hal. 4.
43
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Medan harus mengikuti aturan yang
berlaku, di mana penyetoran pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) harus dilakukan verifikasi terhadap kelengkapan dokumen dan kebenaran
data terkait objek pajak yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB
sebelum wajib pajak melakukan pembayaran BPHTB terutang oleh Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
Adapun pihak yang terkait dalam penelitian Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB
ini adalah:
1. Wajib Pajak Selaku Penerima Hak
Merupakan pihak yang mewakili kewajiban membayar BPHTB terutang
atas perolehan hak atas tanah atau bangunan
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Merupakan pihak yang menyiapkan surat setoran pajak daerah BPHTB
sebagai dasar bagi sih wajib pajak dalam membayar BPHTB terutang dan
membantu melakukan perhutungan
3. Bank yang Ditunjuk
Merupakan pihak yang menerima pembayaran BPHTB terutang dari sih
wajib pajak.51
51 Ibid.
44
2. Peran PPAT dalam BPHTB atas Tranksaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan
Dari Segi Kebiasaan
Dalam melakukan pemungutan pajak dikenal beberapa jenis sistem, yaitu
official assesment system, self assesment system dan with holding system.52 Di
Indonesia, pemungutan pajak salaha satunya BPHTB dilakukan dengan
menerapkan self assessment system, dimana wajib pajak atau pengusaha kena
pajak diberi kepercayaan untuk melakukan kewajiban pajaknya dengan
menghitung sendiri dasar pengenaan pajak, menghitung sendiri pajak yang
terutang, menghitungkan sendiri pembayaran pajak baik yang dibayar sendiri
maupun yang dibayar melalui pemotongan atau pemungutan oleh orang lain,
membnayar sendiri sejumlah pajak yang terutang yang dimaksud dan melaporkan
sendiri perhitungan tersebut dengan mengisi Surat Pemberitahuan dan
menyampaikan ke kantor Direktorat Jendaral Pajak tempat wajib pajak tinggal
atau terdaftar, sesuai dengan ketentuan peraturan perudnang-undangan
perpajakan yang berlaku.53
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor
2 Tahun 2011 jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/bangunan saat yang menentukan pajak
terutang adalah pada saat ditandatanganinya akta peralihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang dibuat dihadapan PPAT/Notaris. Penandatanganan ini
52 Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2008, hal. 25. 53 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2008,
hal. 26.
45
sangat penting karena merupakan suatu bukti akta otentik. Akta PPAT wajib
dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Akta
dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah mengandung maksud bahwa akta tersebut harus memenuhi syarat sahnya
perbuatan hukum di maksud dalam akta. Pejabat Pembuat Akta Tanah
melaporkan pembuatan akta Perolehan Hak Atas tanah dan atau Bangunan
tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10
bulan berikutnya.54
Dalam pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dibantu oleh beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan
BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. Para Pejabat ini diberi
kewenangan untuk memeriksa apakah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang
memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen
yang berkenaan dengan perolehan dimaksud.
Menurut hasil wawancara penulis dengan PPAT atau Notaris Bapak Malem
Jenda Singarimbun, mengatakan bahwa dalam praktek sehari-hari wajib pajak
yang diwakilkan oleh PPAT dalam hal penyetoran BPHTB yang terutang atas
tranksaksi yang dibuat dihadapan ke bank yang ditujuk. Surat setoran BPHTB
54 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
4 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB.
46
harus diteliti terlebih dahulu oleh Dinas Pendapatan Pengolaan Keuangan dan
Aset Daerah Kota Medan, baru dapat dipergunakan sebagai lampiran dari akta
pemindahan hak untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan kota Medan.55
Dalam penulisan ini pembahasan akan lebih difokuskan terhadap peran salah satu
dari Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dalam
pelaksanaan pemungutan terhadap Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) sebagai perpanjangan tangan dengan niat membantu wajib pajak dalam
melakukan pembayaran BPHTB.
Menurut penulis Peran dari PPAT dalam pelakasanaan pemungutan terhadap bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah dari segi kebiasaan dengan
maksud sebagai peranatara atau membantu seseorang wajib pajak dalam melakukan
pembayaran BPHTB, misalnya PPAT dapat penerima pembayaran BPHTB yang
untuk selanjutnya akan dilakukan penyetoran ke kas Negara.
Dikarenakan dari segi normatifnya sudah jelas diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana undang-
undang tersebut mewajibkan wajib pajak untuk membayarkan pajak nya dari hasil
penjualan tanah dan bangunan. Tetapi dalam hal peran Notaris/PPAT Dalam
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas
Tranksaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan tidak ada diatur dalam peraturan
perundang-undangan di negara Indonesia ini untuk Notaris/PPAT membayarkan
55 Ibid,.
47
Pajak penjualan tanah dan bangunan wajib pajak, sehingga peran Notaris/PPAT
tersebut dianggap sebagai suatu hal kebiasaan di masyarakat.
Ada beberapa faktor menurut penulis dalam hal peran Notaris/PPAT Dalam
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas
Tranksaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan dianggap sebagai hal kebiasaan di
masyarakat, yaitu adalah:
1. Wajib pajak sudah mempercayakan kepada Notaris/PPAT untuk menghitung
sendiri serta membayarkan pajak dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dari Wajib Pajak.
2. Wajib pajak merasa tidak tahu sehingga mempercayakan Notaris/PPAT
untuk membayarkan sendiri BPHTB dari wajib pajak.
3. Wajib pajak tidak mau repot sendiri untuk membayarkan sendiri pajaknya
sehingga wajib pajak mempercayakan Notaris/PPAT untuk mengurus dan
membayarkan BPHTB dari si wajib pajak.
C. Tata Cara Penghitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
1. Subjek BPHTB
Siahaan menyatakan bahwa pada pengenaan pajak BPHTB, subjek pajak dan
wajib pajak merujuk pada diri orang atau badan yang sama, dimana subjek dan
48
wajib pajak BPHTB adalah orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah
atau bangunan56
2. Objek BPHTB
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan, bukan tanah
bangunanya sendiri. Objek perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi:
a. Pemindahan Hak kerena:
1) Jual beli.
2) Tukar menukar.
3) Hibah.
4) Waris.
5) Hibah wasiat.
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
8) Penunjukan pembeli dalam lelang.
9) Pelaksanaan petusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
10) Penggabungan usaha.
11) Peleburan usaha.
12) Pemekaran usaha.
13) Hadiah .
56 Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja, Jakarta, 2010, hal.
587.
49
b. Pemberian Hak Baru karena:
1) Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang
pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari
pelepasan hak.
2) Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada
orang pribadi atau badan hukum dari negara atau pemegang hak
milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Yang meliputi Hak atas Tanah yaitu:
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha (HGU)
3) Hak Guna Bangunan (HGB)
4) Hak Pakai
5) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
6) Hak Pengelolaan
d. Objek pajak yang dikenakan BPHTB, yaitu:
1) Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsultan
berdasarkan asas perlakuan timbal balik
2) Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum.
3) Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan
50
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di
luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut
4) Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena
konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya perubahan nama.57
Menurut Davey dalam bukunya Darwin menyatakan bahwa untuk menilai
potensi pajak sebagai penerimaan daerah diperlukan beberapa kriteria yaitu,
kecukupan dan elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif dan penerimaan
politis.58
Untuk menentukan besarnya BPHTB sebagai berikut:
BPHTB = Nilai Pajak Objek Pajak Kena Pajak x Tarif pajak
= (NPOP – NPOPTKP) x 5 %
Contoh Menghitung BPHTB dalam tranksaksi jual beli tanah:59
Putra membeli tanah milik Agung dengan nilai jual beli sebesar Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah), maka pajak penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB) NPOP : Rp. 200.000.000 NPOPTKP : Rp.
80.000.000 (-) NPOP kena pajak : Rp.
57 Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-sumber Pendapatan Asli
Daerah, Softmedia, Jakarta, 2009, hal.4. 58 Darwin, Pajak Daerah dan Retribusi, Mitra Media, Jakarta, 2010, hal. 34. 59 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun dikantornya
pada Tanggal 4 Agustus 2019, pada pukul 12.00 WIB.
51
120.000.000,00 BPHTB : 5% x Rp..
120.000.000 = Rp. 6.000.000.
Pajak Penjual (PPh) NPOP : Rp. 200.000.000 NPOP, kena pajak:
Rp. 200.000.000 PPh: 5%x Rp.
200.000.000,00 = Rp. 10.000.000
Luas tanah = 10 m x 20 m = 200 m2, total harga tanah Rp 1.000.000,00 x
200m2 = Rp 200.000.000,00. Luas rumah = 10 m x 10 m = 100 m2, total
harga bangunan Rp 3.000.000,00 x 100 m2 = Rp 300.000.000,00. Jadi jumlah
harga jual tanah berikut rumah NJOP adalah Rp 500.000.000,00 NPOTKP
menurut pemerintah daerah jakarta misalnya Rp 60.000.000,00 NPOP = Rp
440.000.000,00.
Jadi total BPHTB yang terutang yaitu 5% x Rp 440.000.000,00 = Rp
22.000.000,00.
Nilai perolehan objek pajak di atas harus disesuaikan dengan nilai jual objek
pajak. Jika nilai jual bjek pajak ternyata lebih besar dari nilai transaksi maka yang
digunakan tetap nilai jual objek pajak. Tetapi jika nilai jual objek pajak lebih rendah
daripada nilai perolehan objek pajak maka yang digunakan adalah nilai perolehan
objek pajak.NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00. Perlu menjadi catatan
bahwa NPOPTKP sering mengalami penyesuaian. Tarif pajak ditetapkan sebesar 5
%.60
60 Muljiono, Panduan Brevet Pajak, Andi Publisher, Jakarta, 2010, hal.90.
54
BAB IV
HAMBATAN YANG TERJADI DALAM PERAN PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) ATAS PEMBAYARAN
PAJAK TERHADAP AKTA YANG DIPERJANJIKAN
DI KANTOR NOTARIS/PPAT MALEM
JENDA SINGARIMBUN. SH
A. Peran Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun. SH dalam Penerapan
Sistem Self Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) Terkait dengan Akta yang Dibuat
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah salah satu jenis
pajak tidak langsung, karena pemenuhan kewajiban pajak BPHTB tidak mendasarkan
kepada surat ketetapan pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB sebagaimana telah dirubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-undang
nomor 21 Tahun 1997.
Prinsip-prinsip dasar yang dianut didalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2000 Tentang BPHTB adalah sebagai berikut:
a. Sistem pemungutan kewajiban BPHTB berdasarkan sistem Self
Assessment, yaitu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan
membayar sendiri pajak terutang dengan menggunakan surat setoran
BPHTB, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat
ketetapan pajak.
55
b. Besaran tarif ditetapkan sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak
(NPOP) atau 5% dari NJOP PBB jika besarnya NPOP tidak diketahui atau
kurang dari NJOP PBB.
c. Dikenakan sanksi kepada wajib pajak maupun kepada pejabat-pejabat
umum yang melakukan pelanggaran ketentuan atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Undangundang BPHTB.
d. Hasil penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kepada daerah dengan
komposisi 80% untuk daerah dan 20% untuk pusat.
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif
untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di Wajin Pajak.1 Agar bisa
meningkatkan penerimaan pajak itu ternayata tidak mudah, karena sistem self
assessment yang diterapkan di Indonesia mengandung banyak kelemahan. Salah
satunya adalah sangat tergantung pada sebuah kejujuran wajib pajak. Apabila wajib
pajak tiak jujur, maka tidak mudah bagu petugas pajak untuk menghitung pajak yang
terutang sehingga benar. Apalagi masih terdapat sebuah kendala seperti kerahasiaan
bank dan terbatasnya data tranksaksi keuangan pajak.
Selanjutnya menurut Erly Suandy, dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Pajak”, mengatakan bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma hukum, dan yang dapat dipaksanakan tanpa adanya kontrasepsi
1 Safri Nurmanu, Pengantar Perpajakan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hal.110.
56
yang ditunjukan dalam hal yang bersifat individual, maksudnya adalah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah.2
Masalah ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam
jangka panjang, dikarenakan perkembangan kemampuan memproduksi barang dan
jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor prukdsi pada umumnya tidak selalu
diikuti oleh pertumbuhan produksi barang dan jasa yang sama besarnya.
Pertumbuhan potensi memproduksi sering kali terjadi lebih besar dari pertambahan
produksi yang sebanarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi adalah lebih
lambat dari potensinya.3
Selanjutnya, besarnya peranan pajak yang diberikan oleh pajak sebagai sumber
dana dalam pembangunan nasional, maka tentunya perlu lebih digali lagi potensi
pajak yang ada dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian
serta perkembangan jaman. Salah satu sumber potensi utama pajak yang patut digali
sesuai situasi dan kondisi perekonomnian serta perkembangan pembangunan bangsa
sekarang ini adalah jenis pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).4
Salah satu sumber dana yang termasuk dalam bagian Dana Perimbangan yang
termuat dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah adalah penerimaan dari bagi hasil pajak (Pajak Bumi dan
2 Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Revisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2008, hal.2. 3 Sukirno Sadono, Makroekonomi Teori Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011,
hal. 10. 4 Marihot Pahalamana Sia haan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan
Praktek, Edisi I, Cetakan I., PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.6.
57
Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan bagi hasil bukan
pajak/Sumber Daya Alam (SDA).
Melihat besarnya persentase pembagian hasil penerimaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang relatif lebih besar
dibandingkan Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Pusat, maka Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan potensi sumber penerimaan daerah dari
dana perimbangan yang perlu digali dan dikelola semaksimal mungkin untuk
mendukung pembiayaan pembangunan di Kabupaten/Kota.
Dari hasil wawancara penulis dengan bapak Malem Jenda Singarimbun selaku
Notaris/PPAT, mengatakan hasil persentase terenda dalam self assessment adalah
responden dari wajib pajak yang hanya 20% sehingga masuk pada kategori tidak
baik.5 Sedangkan persentase tertinggi adalah Notaris/PPAT sebesar 100% yang
masuk pada kategori sangat baik. Rendahnya persentase wajib pajak ini lebih bnyak
dipengaruh oleh faktor self assessment dikarenakan mereka hanya tergantung kepada
hitungan PPAT saja dan kurang mau berusaha menghitung sendiri Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan bangunan yang seharusnya dibayarkan.
Disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik yang datang dari kalangan
Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa Undang-undang tersebut telah
“memangkas” kewenangan yang selama ini merupakan kewenangannya. Seperti
5 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
6 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB.
58
biasa, setiap diberlakukannya undang-undang baru, tentu akan menimbulkan pro dan
kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemik terus bergulir, khususnya
mengenai beberapa Pasal yang dapat menjadi sumber keragu-raguan dalam
pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam pembukaannya, undang-undang
ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang
berintikan kebenaran dan keadilan.
Tanggung jawab Notaris selaku PPAT sebagai mitra kerja pemerintah sangatlah
berat, sebab disamping produk yang dihasilkan merupakan produk yang memiliki
konsekwensi di bidang hukum, Notaris selaku PPAT juga berkewajiban
mengamankan pemasukkan uang negara dibidang hukum, yaitu PPh 21 (SSP) dan
BPHTB (SSB) . Ini sering kali terjadi penyimpangan, sehingga merugikan negara dan
tidak menutup kemungkinan Notaris selaku PPAT terlibat di dalamnya.6
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan penerapan Self Assessment dengan
responden Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sudah baik, karena pengetahuan para
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sudah baik.
Para Notaris/PPAT apabila mereka melakukan pengalihan hak atas tanah
dalam menentukan besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
mengadakan penghitungan sendiri, yaitu besarnya pajak terhutang adalah 5% x (Nilai
Perolehan Obyek Pajak – Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak), di mana
6 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
6 Agustus 2019, pukul 11.00 WIB.
59
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditentukan secara
regional tiap-tiap daerah, untuk Jakarta Barat sebesar Rp 60.000.000,00. Setelah
diadakan perhitungan dan diketahui jumlah pajak yang harus dibayar maka
Notaris/PPAT memberitahukan kepada wajib pajak dengan menyerahkan blanko SSB
dan meminta untuk sesegera mungkin membayarnya.7
Sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Self
Assessment dimana Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak
atas tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya
surat ketetapan pajak. Sebagian besar pada Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah di
Kota Medan telah melaksanakan Self Assessment, sedangkan pada Wajib Pajak
sebagian besar masih mengikuti hasil penghitungan Notaris/PPAT atau pegawainya.
Wajib Pajak menganggap bahwa hitungan yang ditetapkan Notaris/PPAT telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Hambatan-Hambatan Yang Muncul Dalam Penerapan Sistem Self
Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan (BPHTB) Oleh Notaris Selaku/PPAT Malem Jenda Singarimbun
SH Terkait Akta Yang Dibuat
Posisi sebagai Notaris atau PPAT tidak dapat dipungkiri bahwasanya rawan
godaan materi yang datang dan berbagi pihak yang mengajak untuk berbuat
7 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
6 Agustus 2019, pukul 12.00 WIB.
60
peyimpangan atas kewenangan nya. Banyak kasus-kasus perdata yang menyangkut
akta outentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT diberbagai daerah.
Menurut Bapak Malem Jenda Singarimbun selaku Notaris/PPAT, mengatakan
bahwa hal yang harus lebih diperhatikan sebetulnya masalah etika para Notaris/PPAT
sendiri yang kebanyakan melanggar kode etik profesinya sendiri. Tidak usah ditutup-
tutupin, setelah penyumpahan dan memulai kantornya, kebanyakan Notaris segera
membuat surat lamaran permohonan kerja sama pembuatan akta ke bank-bank di
daerah kerjanya dengan disertai deal-deal yang lebih menarik yaitu honorium yang
lebih murah, akta yang diambil dan diantar dan deal-deal lain yang murahan jauh dari
kesan intlektual seseorang notaris. Hal ini yang sering menimbulkan pertengkaran
antar para Notaris/PPAT yang sering disebut membajak lahan kawannya sendiri.8
Untuk menghindari hal tersebut sebenarnya Notaris harus mempunyai moralitas
yang tinggi dan taat pada kode etik seorang Notaris, Notaris diharapkan jangan
terjebak mempersoalkan penghasilan dan gaya hidup seorang Notaris dari sisi
lahiriah. Jangan mentang-mentang ada Notaris yang punya mobil Jaguar terbaru
kemudian dicurigai sebagai telah melanggar etika Notaris, hal ini menyakut
kemampuan gaya hidup seseorang yang sangat belum tentu melanggar kode etik
profesi sebagai Notaris.
Menurut ketentuan pasal 36 Undang-undang Jabatan Notaris mengatur hak
notaris untuk menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan
8 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
6 Agustus 2019, pukul 12.00 WIB.
61
kewenangannya. Sama halnya apabila membaayar biaya pembuatan akta kelahiran
pada kantor pencatatn sipil yang tarifnya telah ditentukan oleh Undang-undang.
Namun di dalam ketentuan Pasal 36 UUJN tersebut dimungkinkan honorarium
yang didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dan klien, dengan memperhatikan
serta didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setup akta yang dibuat
Notaris.
Salanjutnya, salah satu masalah yang sering menghambat kinerja seorang
notaris/ppat dalam kaitannya dengan pembuatan akta peralihan hak adalah dengan
ditetapkannya nilai jual objek pajak (NJOP) PBB, permasalahan penentuan nilai jual
objek pajak tanah terhadap tranksaksi jual beli yang tertera pada surat setor pajak
(SSP) sering kali dipermasalahkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Dalam contoh kasus diatas, ternyata sebagai seorang pejabat yang dipercaya
notaris selaku PPAT pun kurang bisa menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
dirinya, mereka tanpa memperhatikan kode etik jabatannya telah berusaha menjadi
brokerpun para pejabat ini malah menggunakan kesempatan untuk mengambil
keuntungan yang tidak semestinya.
Selain hambatan tersebut diatas, berdasarkan hasil penelitian ditemukan
hambatan-hambatan penerapan self assesssment pada pemungutan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) oleh Notaris selaku PPAT berkaitan dengan
akta yang dibuatnya.
1. Hambatan secara umum dalam sistem pemungutan BPHTB self
assessment yang biasa ditemukan sebagai berikut:
62
a. Kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai peraturan perundang-
undangan tentang BPHTB yang terus berkembang
b. Data-data NJOP tahun terakhir belum diketahui apabila jual-
belidilakukan pada awal tahun sehingga harus meminta surat
keteranganNJOP dari Kantor Pelayanan PBB setempat
c. Jual-beli di bawah tangan seperti proses jual beli maupun pembagian
warisan yang belum dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yaitu untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat, Biasanya
dalam transaksi, hanya dikuatkan adanya saksi dan mengetahui
Perangkat Kelurahan. Transaksi yang mereka lakukan tidak dapat
dikenakan sanksi hukum seperti yang diatur pada Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 yang telah di ubah dengan Undang-undang
nomor 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tatacara
perpajakan maupun Undang-undang nomor 20 Tahun 2000 Tentang
Perubahan atas Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang
BPHTB, karena tanah belum bersertifikat.
Hambatan yang dihadapi Wajib Pajak sehubungan sistem pemungutan BPHTB,
yaitu informasi dan sosialisasi yang masih kurang mengenai BPHTB sehingga
kemampuan masyarakat untuk melaksanakan self assessment pada BPHTB kurang
optimal. Persoalan ini sebenarnya bisa diperbaiki dengan jalan membuat program
63
sosialisasi setiap tahun yang dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan SPPT PBB
ke Pemerintah Daerah.9
2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan, yaitu:
a. Subyek pajak tidak ketemu apabila disampaikan surat tagihan BPHTB.
b. Sertifikat sudaj jadi/diambil oleh subyek pajak, padahal baru diketahui
adanya kesalahan perhitungan dalam pembayaran BPHTB dan baru
disampaikan SKBKB/STB sehingga tidak ditanggapin.
c. Subyek pajak melimpahkan perseoalan pada notaris/PPAT apabila
pegawai pajak melakukan penagihan BPHTB karena semua biaya
sudah diserahkan pada Notaris/PPAT pada waktu proses jual-beli.
Hambatan yang paling utama yaitu Subyek Pajak tidak ditemukan hal itu dapat
diselesaikan dengan jalan meyampaikan STB/SKBKB ke aparat kelurahan dan
ditempelkan di papan pengumuman kelurahan. Mendatangi Notaris/PPAT untuk
mencari solusi atau menanyakan alamat lain dari Subyek Pajak pembeli maupun
penjual.
Persoalan apabila dalam penagihan BPHTB dengan penerbitan SKBKB/STB
kepada wajib pajak terjadi pelimpahan persoalan pada Notaris/PPAT karena pada
waktu proses jual beli semua pembayaran lewat Notaris/PPAT tersebut, hal ini akibat
wajib pajak ingin praktisinya saja tanpa mau memikirkan hak dan kewajiban. Padahal
9 Hasil Wawancara Penulis Dengan Notaris, Bapak Malem Jenda Singarimbun Pada Tanggal
6 Agustus 2019, pukul 12.00 WIB.
64
apabila wajib pajak berkeinginan untuk mempelajari ketentuan-ketentuan dalam
BPHTB persoalan tersebut tidak akan terjadi.
C. Cara Mengatasi Hambatan Dalam Penerapan Sistem Self Assessment Pada
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Oleh
Notaris Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun SH
Selanjutnya berkaitan dengan hambatan yang muncul dalam penerapan sistem
self assessment pada pemungutan BPHTB oleh notaris selaku PPAT berkaitan
dengan akta yang dibuatnya, maka hal tersebut dapat diatasi oleh notaris dengan cara:
1. Terhadap wajib pajak atau klien, notaris selalu memberikan penyuluhan
mengenai perkembangan peraturan BPHTB, sehingga wajib pajak
mengetahui perkembangan peraturan BPHTB apabila terjadi perubahan
2. Meminta Surat Keterangan NJOP, apabila akan terjadi permbuatan hukum
peralihan Hak Atas Tanah tetapi SPPT PBB belum diterbitkan oleh KPPP
ratama setempat.
Notaris juga manusia biasa yang mungkin saja melakukan kesalahan-kesalahan
baik berupan kesalahan pribadi maupun kesalahan bersifat professionalnya. Dalam
hal ini, notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang melanggar professionalitasnya,
maka satu-satunya instusi yang berwenang memeriksa dan mengadili adalah
Peradilan Profesi Notaris, yang dijalankan oleh Majelis Pengawas Notaris.
Kehadiran Peradilan Profesi Notaris ini justru memberikan perlindungan hukum
dan jaminan kepada Notaris agar Notaris merasa tenang dan tentram dalam
menjalankan jabatannya. Dalam hal ini notaris melakukan kelasahan-kesalahan yang
65
mengarah kepada suatu tindak pidana, maka tidak menutup kemungkinan notaris
dapat ditetapkan menjadi tersangka, bahkan lebih jauh lagi jika fakta-fakta hukum di
muka persidangan telah membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan Notaris,
maka terhadapnya dapat dijatuhkan pidana penjara yang kesemuanya ini dapat diikuti
dengan tindakan penahanan terhadap diri Notaris.
Pembuatan Akta otentik yang cacat di dalam bentuk aktanya karena Notaris telah
tidak memenuhi ketentuan UUJN, maka Notaris bertanggung jawab dan dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi dan bunga. Dengan lain perkataan manakala Notaris telah
menjalankan jabatannya sesuai dengan UUJN dan peraturan perundang-undangan
lainnya dalam batas wajar, maka Notaris tidak dapat memintakan pertanggung
jawaban atas akibat pembuatan akta tersebut.
Notaris selaku PPAT diharapkan berperan aktif mensyaratkan pembayaran Bea
Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan, atas perolehan hak atas tanah dan bangunan
yang akan dibuat akta dihadapannya harus diteliti dan segera setelah terjadinya
kesepakatan harga harus segera dibayar, agar Akta Jual Belinya dapat sesegera
mungkin ditanda tangani.
Dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB), Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1, Pasal 26 ayat 1 dan
2 berturut-turut menyatakan bahwa:
66
a. PPAT/Notaris hanya dapat menandatangi akta pemindahan hak atas tanah
dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa SSB BPHTB.
b. PPAT/Notaris yang melanggar hal tersebut diatas akan dikenakan sanksi
administratif dan denda sebesar Rp. 7.500.000 untuk setiap pelanggaran.
c. PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara wajib melaporkan pembuatan
akta atau risalah lelang peralihan hak atas tanah dan bangunan kepada
dirjen pajak pada tanggal 10 bulan berikut.
d. PPAT/Notaris yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi
denda dan administratif sebesar Rp. 250.000 untuk setiap laporan.
Untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dari kerugian yang diakibatkan
oleh Notaris yang tidak sertanggung jawab, serta untuk menjaga citra dan wibawa
Lembaga Notariat, untuk melindungi nama baik kelompok profesi Notaris dari
penilaian yang umum, maka diperlukan adanya pengawasan terhadap Notaris yang
menjalankan tugas jabatannya.
Penegakan hukum melalui penerapan hukum yang sistematis merupakan suatu
keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, terutama dalam kerangka pengakuan
kita sebagai negara, hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum, dan akan
tetapi penegakan hukum harus sejalan dengan nilai dasar kemanusiaan berupa rasa
keadilan mayarakat dan karenanya penegakan hukum, penerapan hukum, dan
penegakan keadilan merupakan tiga serangkai yang saling berhubungan dan terkait
satu sama lain secara sistematik, dan adanya penegakan hukum melalui penerapan
67
hukum yang benar dengan mencerminkan rasa keadilan dan diharapkan tegaknya
hukum dan keadilan adalah juga untuk menegakkan kesejahteraan dan kemakmuran
karena hukumlah yang menentukan bagaimana seharusnya hidup dalam masyarakat
yang dicita-citakan.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan hukum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan
dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria dan atas dasar ketentuan
Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 sebagai
pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria, ditentukan bahwa “Setiap
Perjanjian yang bermasukd mengalihkan hak atas tanah atau meminjam uang
dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dahulu melalui
sebuah akte yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh
menteria Agraria”.
2. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas tranksaksi jual beli
tanah dan bangunan secara umum adalah sebagai peranatara atau membantu
seseorang wajib pajak dalam melakukan pembayaran BPHTB, misalnya
PPAT dapat penerima pembayaran BPHTB yang untuk selanjutnya akan
dilakukan penyetoran ke kas Negara.
3. Hambatan dalam pembayaran pajak terhadap akta yang diperjanjikan di
kantor Notaris/PPAT Malem Jenda Singarimbun, SH pada pemungutan Bea
69
Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) oleh Notaris selaku PPAT berkaitan
dengan akta yang dibuatnya adalah :
a. Kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai peraturan-peraturan
BPHTB yang terus berkembang
b. Data-data NJOP tahun terakhir belum diketahui apabila jual-beli
dilakukan pada awal tahun sehingga harus meminta surat keterangan
NJOP dari Kantor Pelayanan PBB setempat
c. Jual-beli di bawah tangan seperti proses jual beli maupun pembagian
warisan yang belum dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yaitu untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat.
B. Saran
1. Supaya masyarakat mengurus Akta jual beli tanah nya kepada Notaris selaku
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
2. Supaya Notaris selaku PPAT dapat memberikan penjelasan yang baik
kepada kliennya, dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan khususnya pajak
BPHTB.
70
3. Supaya pemerintah lebih giat dalam melakukan sosialisasi tentang
pentingnya membayar pajak tanah dan bangunan oleh Notaris/PPAT kepada
masyarakat.
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Chidir, 2008, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung.
Akbar Nasution Faisal, 2009, Pemerintahan Daerah dan Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah, Softmedia, Jakarta.
Budiono, Herlin, 2015, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
(Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Darwin, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi, Mitra Media, Jakarta.
Fuady, Munir, 2018, Metode Riset Hukum, Pendekatan Teori Dan Konsep, PT.
Raja Grafindo Persada, Depok.
Husnan Situmorang, H. 2008, Paparan Ringkas Tentang Masalah Pertanahan,
Kotamadya Medan.
Hartati, Neneng, 2015, Pengantar Perpajakan, cet. Ke-1, CV. Pustaka Setia,
Bandung.
Harsono, Boedi, 2008, Beberapa Analisis Tentang Hukum Agraria II, Esa Studi
Klub, Jakarta.
HS, Salim, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika,
Jakarta.
Lesmana Eko, 2008, Sistem Perpajakan di Indonesia, Edisi Kedua, Prima
Campus Grafika, Jakarta.
Muljiono, 2010, Panduan Brevet Pajak, Andi Publisher, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2009, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-8,
Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta.
72
, 2008, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Mustofa, 2010, Tuntutan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Karya Media,
Yogyakarta.
Nurlinda, Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria, PT. Grafindo
Persada, Jakarta.
Nurmanu, Safri, 2008, Pengantar Perpajakan, Yayasan Obor Indonesia.
Pahala Siahaan, Marihot, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja,
Jakarta.
Parlindungan, A.P, 2008, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT,
Mandar Maju, Bandung.
Perangin, Efendi, 2008, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Press,
Jakarta.
Parlindungan, A.P, 2008, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung.
, . 2008, Pendaftaran Tanah di Indonesia (PP 24 Tahun 1997),
Renika Cipta, Medan.
, . 2008, Pengantar Hukum Agraria, Mandar Maju, Bandung.
Ruchiyat, Edi, 2008, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah UUPA,
Amico, Bandung.
Sadono, Sukirno, 2011, Makroekonomi Teori Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Suandy, Erly, 2008, Hukum Pajak, Edisi Revisi 2, Salemba Empat, Jakarta.
Santoso Brotodihardjo, R. 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama,
Bandung.
Suandi, Erly, 2008, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta.
Soemitro, Rochmat, 2008, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Eresco,
Bandung.
73
Syarief Elza, 2010, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khsusus
Pertanahan, Cetakan kedua, PT. Gramedia, Jakarta.
Salendo, Jhon, 2008, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika,
Jakarta.
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana
Pradana Media Group, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2016, Metodologi Penelitian Hukum, Edisi 1 cet.16,
Rajawali Pers, Jakarta.
Subekti, R, 2008, Hukum Pembuktian,Cet-2, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.
Soemitro, Rochmat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan,
Eresco, Bandung.
Sumarja F.X., 2012, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing,
Indepth Publising, Bandar Lampung.
Sutedi, Adrian, 2008, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.
Thersia Worodamayanti, Suparmono, 2008, Perpajakan Indonesia mekanisme
dan perhitungan, Andi Offset, Yogyakarta.
Tersiana, Andra, 2018, metode penelitian, Andra T, Yogyakarta.
Waluyo dan B. Ilyas, Wirawan, 2008, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat,
Jakarta.
Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, 2008, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba
Empat. Jakarta.
74
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
C. Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, “Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta :
Pusat Bahasa.
Sudarsono, 2012, “Kamus Hukum”, Yogyakarta : Rineka Cipta.
D. Jurnal, Skripsi, Makalah
Aspan, h. (2017). “good corporate governance principles in the management of
imited liability company. International journal of law reconstruction, volume
1 no. 1, pp. 87-100.
Aspan, h. (2017). “peranan polri dalam penegakan hukum ditinjau dari sudut andang
osiologi hukum”. Prosiding seminar nasional menata legislasi demi
pembangunan hukum nasional, isbn 9786027480360, pp. 71-82.
Aspan, h. (2014). “konstruksi hukum prinsip good governance dalam mewujudkan
kata kelola perusahaan yang baik”. Jurnal dialogia iuridica universitas
75
maranatha bandung, volume 2 no. 2, pp. 57-64.
Aspan, h., i. M. Sipayung, a. P. Muharrami, and h. M. Ritonga. (2017). “the effect
of halal label, halal awarness, product price, and brand image to the
purchasing decision on cosmetic products (case study on consumers of
sari ayu martha tilaar in binjai city)”. International journal of global
sustainability, issn 1937-7924, vol. 1, no. 1, pp. 55-66.
Aspan, h., f. Milanie, and m. Khaddafi. (2015). “swot analysis of the regional
development strategy city field services for clean water needs”. International
journal of academic research in business and social sciences, vol. 5, no. 12,
pp. 385-397.
Bagus Paramaningrat Manuaba Ida, Prinsip Kehati-hatian Notaris/PPAT dalam
membuat Akta Autentik, Acta Comitas, Universitas Udayana, Bali.
Bintang, h. J. (2019). Peran hukum kesehatan dalam melindungi peserta program
Badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan (studi di rsud dr. Pirngadi
medan). Jurnal hukum responsif, 7(7), 34-47
Chairumi, Jurnal, Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (Bphtb) Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Dan
Bangunan Di Kota Tanjung Balai, Tanjung Balai.
Euphrasia, Susy Suhendra, Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan
Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan, Volume 15,
April 2010.
Effendi, Erdianto, 2010, Makelar Kasus/Mafia Hukum, Modus Operandi dan Faktor
enyebabnya, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Edisi
I, No. 1 Agustus.
Fikri, r. A. (2018). Analisis yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan berencana
yang dilakukan oleh anak dibawah umur menurut undang-undang nomor 11
tahun 2012 tentang sistem peradilan anak. Jurnal abdi ilmu, 11(1), 158-168.
Hasibuan, l. R. (2019). Hak restitusi terhadap korban anak berdasarkan undang
undang omor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di belawan. Jurnal hukum
responsif, 7(2), 30-39.
Imran, z. (2019). Peran pemuka agama dalam menjaga kerukunan umat beragama di
kelurahan mangga kecamatan medan tuntungan. Jurnal hukum responsif, 6(6),
93-104
76
Ketaren, a. H. S. (2018). Analisis yuridis tindak pidana cybercrime dalam perbuatan
idana pencemaran nama baik ditinjau dari undang-undang no. 8 tahun 2011
tentang informasi transaksi dan elektronik dan hukum pidana.
Medaline, o. (2018). The development of “waqf” on the “ulayat” lands in west
sumatera, indonesia. Journal of social science studies, microthink institute,
issn, 2329-9150.
Nita, S. (2017). 34. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PADA HUBUNGAN
KERJA DOSEN DENGAN YAYASAN DI INDONESIA1. Prosiding
Konferensi ke, 2(P3HKI).
Rafianti, f. (2018). Adopsi dalam persfektif hukum islam. Jurnal doktrin, 3(6).
Saragih, y. M., & medaline, o. (2018, march). Elements of the corruption crime
(element analysis of authority abuse and self-enrich and corporations in
indonesia). In iop conference series: earth and environmental science (vol. 126,
no. 1, p. 012108). Iop publishing.
Siregar, a. R. M. (2018). Kewenangan mahkamah konstitusi dalam pengujian undang
undang terhadap undang-undang dasar tahun 1945. Jurnal hukum responsif,
5(5), 100-108
Siti, n. (2018). Rekonstruksi politik hukum dalam pelaksanaan putusan pengadilan
hubungan industrial berdasarkan hukum progresif (doctoral dissertation,
universitas andalas).
Setiawan, N., Tarigan, V. C. E., Sari, P. B., Rossanty, Y., Nasution, M. D. T. P., &
Siregar, I. (2018). Impact Of Cybercrime In E-Business And
Trust. Int. J. Civ. Eng. Technol, 9(7), 652-656.
Tanjung, a. S. (2018). Pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkanmeninggalnya
orang dalam lingkup rumah tangga (studi kasus putusan pengadilan negeri
tebing tinggi deli nomor 486/pid. B/2014/pn. Tbt.). Jurnal hukum responsif,
5(5), 1-12. Sendy, b. (2019). Hak yang diperoleh anak dari perkawinan tidak
dicatat. Jurnal hukum responsif, 7(7), 1-10.
Tanjung, i. U. (2018). Studi komparative pendirian negara khilafah di indonesia. Jurnal
penelitian medan agama.
Wardani, i. H. (2019). Perlindungan hak atas penguasaan tanah transmigrasi di lahan
usaha ii upt seunaam iv provinsi aceh. Jurnal hukum responsif, 7(7), 145-157
77
E. Internet
Rivani Rizki, Erliza, Analisa Prosedur BPHTB Pada Dinas Dispenda Kota
Medan,
https://www.google.com/search?q=Analisa+Prosedur+BPHTB+Pada+Dina
s+Dispenda+Kota+Medan&rlz=1C1CHBD_enID862ID862&oq=Analisa+
Prosedur+BPHTB+Pada+Dinas+Dispenda+Kota+Medan&aqs=chrome..69
i57.362j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8, Diakses Pada Tanggal 18
Agustus 2019, Pukul. 15.00 WIB.
Aryanti Sri, Pengaruh BPHTB terhadap Saksi Jual Beli Tanah dan Bangunan,
http://eprints.undip.ac.id/18266/1/SRI ARIYANTI.pdf, Diakses Pada
Tanggal 18 Agustus 2019, Pukul. 15.00 WIB.
Setiana Uki, Evaluasi Kebijakan Penarikan BPHTB di Kota Bandar Lampung,
https://docplayer.info/52373860-Evaluasi-kebijakan-penarikan-pajak-bea-
perolehan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-bphtb-di-kota-bandarlampung-
skripsi-oleh-uki-setiani.html, Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2019,
Pukul 15.00 WIB.