36
ABSTRAKSI Penilitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja.Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berjenis kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21 tahun, dan bertempat tinggal di perumahan Wisma Cakra-Cinere, Depok. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan melakukan uji validitas dan reliabilitas serta uji hipotesis dengan menggunakan korelasi yaitu Product Moment Pearson. Analisis data menghasilkan nilai korelasi Pearson sebesar -0.553 dengan signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05) sehingga hipotesis diterima, berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada renaja. Jika dilihat dari mean, diperoleh hasil bahwa mean empirik kecerdasan emosional memiliki skor sebesar 104.07, yang berada diantara mean hipotetik+1SD (97.5+19.5) yaitu sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada pada kategori rata-rata. Dan pada mean empirik perilaku agresi memiliki skor sebesar 63.11, yang berada diantara mean hipotetik-1SD (72.5-14.5) yaitu sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada kategori rata-rata. Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Perilaku Agresi, Remaja PENDAHULUAN Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja, individu mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak, baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi (Mutadin, 2002).

ABSTRAKSI Penilitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara

  • Upload
    lynhan

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ABSTRAKSI

Penilitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan

emosional dengan perilaku agresi pada remaja.Subjek dalam penelitian ini

adalah remaja yang berjenis kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21

tahun, dan bertempat tinggal di perumahan Wisma Cakra-Cinere, Depok.

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan

melakukan uji validitas dan reliabilitas serta uji hipotesis dengan menggunakan

korelasi yaitu Product Moment Pearson. Analisis data menghasilkan nilai

korelasi Pearson sebesar -0.553 dengan signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05)

sehingga hipotesis diterima, berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara

kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada renaja. Jika dilihat dari

mean, diperoleh hasil bahwa mean empirik kecerdasan emosional memiliki skor

sebesar 104.07, yang berada diantara mean hipotetik+1SD (97.5+19.5) yaitu

sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada

pada kategori rata-rata. Dan pada mean empirik perilaku agresi memiliki skor

sebesar 63.11, yang berada diantara mean hipotetik-1SD (72.5-14.5) yaitu

sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada

kategori rata-rata.

Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Perilaku Agresi, Remaja

PENDAHULUAN

Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi

yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis

yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat beberapa fase, yaitu: fase remaja awal

(usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun

sampai dengan 18 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21

tahun). Pada fase remaja, individu mengalami perubahan dalam sistem kerja

hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak, baik pada bentuk fisik

(terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi (Mutadin, 2002).

Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam

pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman

sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat

mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-

aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak

menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan

gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke

arah yang tidak positif, misalnya tawuran dan perilaku agresi lainnya. Hal ini

menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila

berinteraksi dalam lingkungannya (Mutadin, 2002).

Secara umum hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku

agresi adalah pada individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi

cenderung perilaku agresinya rendah, sedangkan yang memiliki kecerdasan

emosional yang rendah cenderung perilaku agresinya tinggi, yang berarti bahwa

terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi

pada remaja.

TINJAUAN PUSTAKA

Kecerdasan Emosional

Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,

serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang

dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan

mengatur suasana hati.

Cooper & Sawaf (dalam Mutadin, 2002) menyatakan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif

menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang

manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar

mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya

dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-

hari.

Howes & Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada intinya,

kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi

pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia

berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi

emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan

pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang

lain.

Salovey & Mayer (dalam Davis, 2006) mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan

memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain, untuk membedakan

diantara mereka dan menggunakan informasi ini untuk menuntun ‘pikiran dan

tindakan seseorang’.

Patton (2002), kecerdasan emosi adalah dasar-dasar pembentukan emosi

yang mengcangkup keterampilan-keterampilan seseorang, untuk mengadakan

impuls-impuls dan menyalurkan emosi yang kuat secara efektif.

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengatur emosi

diri sendiri maupun orang lain, yang kemudian digunakan sebagai informasi atau

yang menuntun atas segala pikiran dan tindakannya.

Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Goleman (1995) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional

yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam

kehidupan sehari-hari, yaitu:

a. Mengenali emosi diri atau kesadaran diri (Self-Awareness)

Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan

diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Hal ini menyebabkan individu menyadari

emosi yang sedang dialami serta mengetahui penyebab emosi tersebut terjadi serta

memahami kualitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung.

Kesadaran akan intensitas emosi memberi informasi mengenai besarnya pengaruh

kejadian tersebut pada individu. Intensitas yang tinggi cenderung memotivasi

individu untuk bereaksi sedangkan intensitas emosi yang rendah tidak banyak

mempengaruhi individu secara sadar. Kesadaran akan durasi emosi yang

berlangsung membuat individu dapat berpikir dan mengambil keputusan yang

selaras dalam mengungkapkan emosinya.

Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke

waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.

Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri

berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang

sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah

(Mutadin, 2002).

Menurut Mayer (dalam Goleman, 1995) kesadaran diri adalah waspada

baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Menurut

Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan

mengatasi emosi mereka:

1) Sadar diri

Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Kejernihan pikiran mereka

tentang emosi telah melandasi kemandirian mereka dan keyakinan akan pendirian

mereka. Mereka cenderung melihat kehidupan secara positif dan memiliki jiwa

yang sehat. Apabila suasana hati sedang buruk, mereka mampu melepaskan diri

dari suasana hati itu dengan lebih cepat. Hal ini terjadi karena mereka tidak risau

dan larut di dalamnya, sehingga ketajaman pola pikir mereka menjadi pendorong

untuk mengatur emosi.

2) Tenggelam dalam permasalahan

Mereka adalah individu-individu yang seringkali merasa dikuasai oleh

emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka

telah mengambil alih kekuasaan diri. Mereka mudah marah dan amat tidak peka

terhadap yang dialami sehingga larut ke dalam perasaan tersebut sehingga tidak

mampu untuk mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berusaha untuk

melepaskan diri dari suasana hati yang buruk. Seringkali mereka merasa kalah dan

secara emosional mereka lepas kendali.

3) Pasrah

Meskipun seringkali individu ini peka terhadap apa yang mereka rasakan,

mereka juga cenderung menerima suasana hati mereka dan tidak berusaha untuk

mengubahnya.

Orang yang dapat mengenali perasaan yang muncul pada dirinya

merupakan orang yang memiliki kontrol kendali pada kehidupannya sehingga

mereka mampu mengambil keputusan-keputusan pribadi dengan lebih mantap.

Kesadaran diri membuat individu menjadi waspada dan tidak terhanyut ke dalam

aliran emosi tersebut. Kurangnya kewaspadaan diri seseorang dapat

mengakibatkan orang tersebut mudah larut dalam aliran emosi sebagai panduan

dalam melakukan tindakan.

b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (Self-Control)

Mengelola emosi atau pengendalian diri berarti menangani perasaan agar

perasaan dapat terungkap dengan tepat, sehingga terjadi keselarasan antara emosi

dan lingkungan. Dengan kata lain, individu dapat mengungkapkan emosinya

dengan kadar yang tepat pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat

(Aristoteles, dalam Goleman 1995). Tujuan pengendalian diri adalah

keseimbangan emosi bukan menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai

dan makna tersendiri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila: mampu

menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan

atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu.

Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus

menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal

negatif yang merugikan dirinya sendiri.

c. Memotivasi diri (Self-Motivation)

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal

sebagai berikut:

1) Cara mengendalikan dorongan hati

Mengendalikan dorongan hati merupakan akar segala kendali diri

emosional, sebab semua emosi, sesuai dengan sifatnya, membawa pada salah satu

dorongan untuk bertindak. Setelah individu dapat menguasai dorongan hati

tersebut mereka mampu membaca situasi sosial dimana penundaan akan memberi

manfaat lebih, mereka juga mampu mengacak perhatian agar tidak selalu berpusat

pada godaan yang dihadapi, dan mampu menghibur diri selama mempertahankan

kegigihan yang diperlukan untuk meraih sasaran.

2) Derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang

Orang yang pintar mengatur emosi dapat memanfaatkan kecemasan

antisipasi, misalnya bila akan berpidato atau mau ujian, untuk memotivasi diri

guna mempersiapkan diri baik-baik, sehingga dapat melakukannya dengan

sempurna.

3) Harapan

Harapan adalah lebih dari pandangan yang optimis bahwa segala

sesuatunya akan menjadi beres. mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan

terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi

sulitnya tantangan atau kemunduran.

4) Optimisme

Seligman (dalam Goleman 1995) mendefinisikan optimisme dalam

kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka.

Oreang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang

dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa mendatang;

sementara orang yang pesimis menerima kegagalan dalam kesalahannya sendiri.

Kedua pola yang berlainan ini mempunyai implikasi yang kuat terhadap

bagaimana orang menyikapi hidup.

5) Keadaan flow (mengikuti aliran)

Keadaan flow yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya

tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu

objek. Mampu mencapai keadaan flow merupakan puncak kecerdasan emosional.

Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, tetapi juga bersifat

mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang sedang dihadapi.

Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka individu akan

cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang

terjadi dalam dirinya.

d. Mengenali emosi orang lain (Emphaty)

Mengenali emosi berarti kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial

secara tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau

dikehendaki orang lain atau lebih dikenal dengan empati. Empati atau mengenal

emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang

terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil

membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan

diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati

perasaan orang lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain atau keterampilan sosial (Social

Skill)

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan

keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang

lain. Untuk menangani emosi orang lain dibutuhkan dua keterampilan emosi yaitu

pengendalian diri dan empati. Dengan landasan ini keterampilan berhubungan

dengan orang lain akan menjadi matang atau tidak akan mengalami kesulitan

dalam pergaulan sosial. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk

sesuatu hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina

kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain

merasa nyaman. Apabila individu tidak memiliki keterampilan-keterampilan

semacam ini dapat menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh,

mengganggu atau tidak berperasaan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan

emosional adalah:

a. Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan hal yang paling berpengaruh dalam

membangun kecerdasan emosi Goleman (1995) mengatakan bahwa keluarga

merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Orang tua yang kecerdasan

emosinya tinggi merupakan keuntungan bagi anak, karena orang tua dapat

memilih tindakan-tindakan dan pola asuh yang sesuai bagi anak untuk

meningkatkan kecerdasan emosi anak.

Gottman (1997), mengadakan penelitian terhadap 119 keluarga, dengan

mengamati bagaimana orangtua dan anak-anak saling bereaksi dalam situasi-

situasi yang penuh emosi, membagi tipe orangtua menjadi dua kategori besar:

orangtua yang memberi bimbingan kepada anak-anak mereka tentang dunia emosi

(yang disebut “pelatih emosi”) dan orang tua yang tidak melakukannya. Tiga tipe

yang diidentifikasikan orangtua yang tidak melakukan bimbingan tentang

kecerdasan emosi: orang tua yang mengabaikan, orang tua yang tidak menyetujui,

orangtua laissez-Faire.

b. Pengalaman

Semakin anak bertambah dewasa, semakin sedikit waktu yang dihabiskan

dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman di luar rumah akan memperkaya

kecerdasan emosi anak. Hal-hal yang ditemui di luar rumah ada yang dapat

meningkatkan kecerdasan emosi atau justru mengurangi kecerdasan emosi. Teori

Bandura mengenai belajar sosial mengatakan seseorang akan mempelajari

perannya dari kontak sosial (dalam Sarwono, 1991). Demikian juga dengan

kecerdasan emosi yang dapat dipelajari dari adanya kontak sosial dengan orang

lain (Goleman, 1995).

Perilaku Agresi

Pengertian

Aronson (dalam Koeswara, 1988) mengajukan definisi agresi sebagai

tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau

mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu

Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993a) mengatakan agresi sebagai perilaku

menghadapi perlawanan dengan kekerasan, melawan, membalas perbuatan yang

tidak adil, menyerang, melukai, atau membunuh orang lain, melawan dengan

kekerasan atau menghukum orang lain.

Freud (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa agresi adalah

perusakan diri yang diarahkan ke objek-objek subsitusi. Myer (dalam Sarwono,

1997) menyebutkan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan

maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Kemudian Yusuf (2000),

agresi adalah perilaku menyerang baik secara fisik (non verbal) maupun kata-kata

(verbal).

Berkowitz (2003) menyatakan bahwa agresi sebagai segala bentuk

perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun

mental. Baron (dalam Berkowitz, 2003) agresi adalah segala bentuk perilaku yang

dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang sebenarnya

tidak semua mendapat perlakuan seperti itu.

Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa perilaku agresi merupakan

segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti individu lain, dengan

ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik (non verbal) maupun verbal.

Tipe-Tipe Agresi

Tipe-tipe agresi menurut Berkowitz (2003), terdiri dari:

a. Agresi instrumental

Suatu tindakan yang dilakukan lebih untuk tujuan ekstrinsik daripada

kesenangan, yang diperolehnya sebagai “perilaku instrumental”. Biasanya agresi

instrumental ini merupakan usaha paksaan atau suatu upaya mempertahankan

kekuasaan, dominasi, atau status sosial seseorang.

b. Agresi emosional

Menurut istilah Feshbach (dalam Berkowitz, 2003), agresi jenis ini sering

disebut sebagai “agresi jahat”. Ini juga bisa dianggap sebagai agresi “emosional”,

“afektif”, atau “marah”, karena terjadi ketika seseorang tersinggung atau berusaha

menyakiti orang lain.

Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresi

Mutadin (2002a) menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku agresi,

sebagai berikut:

a. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf

parasimpatik yang lebih tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat

yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah

atau mungkin juga tidak (Davidoff, dalam Mutadin 2002a). Pada saat amarah ada

perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan

biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka

terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyatannya

agresi adalah suatu respon terhadap amarah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,

atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnyamemancing agresi

(Mutadin, 2002a).

Zillman (dalam Goleman, 1995) menemukan bahwa bila tubuh telah

berada dalam kondisi tak sabaran, dan ada sesuatu yang memicu kerja emosi,

maka emosi berikutnya entah marah atau cemas, intensitasnya akan amat tinggi

sehingga mengilhami dan mempermudah terjadinya agresi.

b. Faktor biologis

Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi

(Davidoff, dalam Mutadin 2002a):

1) Gen, tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang

mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang,

mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor

keturunan nampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis

lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

2) Sistem otak. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat

memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada

hewan marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem

limbik (daerah yang dapat menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga

muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott

(dalam Mutadin, 2002a) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada

kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah

mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan

kekejaman atau penghancuran (agresi). Prescott (dalam Mutadin, 2002a) yakin

bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh

ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak

karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

3) Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormone seks yang sebagian ditentukan

faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu

eksperimen, ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan

beberapa hewan lain maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan

lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut.

c. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan

orangtuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin

minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orangtua dan

anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya agresi pada anak (Mutadin,

2002a).

d. Lingkungan

Hal-hal di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku agresi

adalah sebagai berikut:

1) Kemiskinan

Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka

perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (McCandless, dalam

Mutadin 2002a). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di

ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light)

anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang

datang silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka maka anda siap-

siap diserbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda

mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika

anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan

pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang

temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi

pemandangan yang seolah-olah biasa saja.

2) Anonimitas

Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya

menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat

luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan

melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.

Terlalu banyak rangsangan indera dan kognitif membuat dunia menjadi sangat

impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal

atau mengetahui secara baik. Lebih lanjut lagi, setiap individu cenderung menjadi

anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia

cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat

dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain (Mutadin,

2002a).

3) Suhu udara yang panas

Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta

seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan

relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demontrasi yang

berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca

yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi

(Mutadin, 2002a). Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan

yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan

agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam

musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di

Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher, dkk dalam

Mutadin 2002a).

e. Peran belajar model kekerasan

Acara-acara yang menampilkan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat

ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,

sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara televisi yang menyajikan acara

khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti: Smack Down,

UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa

acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang

mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh

terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Davidoff (dalam Mutadin, 2002a)

mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit

pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model

kekerasan tersebut.

Dalam suatu penelitian Stein (dalam Mutadin, 2002a) dikemukakan bahwa

anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku

agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesame anak lain setelah

menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-

hari, dan ada kemungkinan efek ini syfatnya menetap.

f. Frustrasi

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai

suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi

merupakan salah satu berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal

adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu

menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhanyang harus segera

terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan

berperilaku agresi (Mutadin, 2002a).

g. Proses pendisiplinan yang keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama

dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai

pengaruh buruk bagi remaja (Sukadji, dalam Mutadin 2002a). Pendidikan disiplin

seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan

orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas

serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk

agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada

kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak

hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan

tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan

yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat

memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main, tetapi

di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya karena kesibukan

mereka).

Aini (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada hubungan

negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja

akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin

rendah agresivitasnya.

Remaja

Pengertian

Remaja merupakan istilah untuk menyebutkan masa peralihan dari masa

anak dengan dewasa, ada yang memberi istilah puberty (Inggris), puberteit

(Belanda), pubertas (Latin), yang berarti kedewasaan yang dilandasi sifat kelaki-

lakian. Ada pula yang menggunakan istilah Adulescentio (Latin) yaitu masa muda

(Rumini dan Sundari, 2004).

Monks (2002) menyebutkan remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat

yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak tetapi ia tidak pula termasuk

golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara anak dan orang

dewasa.

Drajat (dalam Willis, 1994) mengatakan remaja adalah usia transisi.

Seorang individu, telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh

ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh

tanggungjawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Banyaknya

masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana

dia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia

harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang

banyak syarat dan tuntutannya.

Mutadin (2002) menyatakan masa remaja dikenal dengan masa yang

penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang

pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat

beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun),

remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir

(usia 18 sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja mengalami perubahan dalam

sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada

bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.

Witherington (dalam Rumini dan Sundari, 2004) menggunakan istilah

masa adolensence yang dibagi menjadi dua fase yang disebut:

a. Preadolensence, antara usia 12-15 tahun, dan

b. Late Adolensence, antara usia 15-18 tahun.

Demikian juga Gilmer (dalam Rumini dan Sundari, 2004) menyebut masa

itu adalah adolensence yang kurun waktunya terdiri dari tiga bagian:

a. Preadolensence dalam kurun waktu 10-13 tahun,

b. Adolensence awal dalam kurun waktu 13-17 tahun,

c. Adolensence akhir dalam kurun waktu 18-21 tahun.

Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa remaja merupakan

masa peralihan dari masa anak menuju dewasa yang penuh dengan perubahan

emosi ang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan perkembangan psikis

yang bervariasi, dengan rentang usia 12 sampai 21 tahun.

Tugas Tahap Perkembangan Remaja

Wilis (1994) menyebutkan sejumlah tugas-tugas perkembangan remaja itu

adalah sebagai berikut:

a. Memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai sebagai pedoman dan

pandangan hidup untuk masa depan terutama dalam hubungannya dengan

Tuhan, anggota masyarakat, dan alam sekitarnya termasuk benda-benda dan

makhluk Tuhan lainnya.

b. Belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin masing-masing.

c. Menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakan seefektif-efektifnya

dan merasa puas terhadap keadaan jasmaniahnya tersebut.

d. Mencapai kebebasan daripada ketergantungan terhadap orangtua dan orang

dewasa lainnya.

e. Mencapai kebebasan ekonomi.

f. Mempersiapkan diri untuk menentukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan

bakat dan kesanggupannya.

g. Memperoleh informasi tentang kehidupan perkawinan dan mempersiapkan

diri untuk itu baik persiapan fisik, mental, emosional dan sosial.

h. Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang kehidupan

bermasyrakat.

i. Memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk

kehidupan bermasyarakat.

Perkembangan Emosi Remaja

Mashum & Wahyurini (2004) menyebutkan ciri-ciri perkembangan emosi

remaja adalah sebagai berikut:

a. Lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan meledak-ledak.

b. kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai akhirnya

kembali dalam keadaan semula.

c. Emosi yang muncul sudah bervariasi, bahkan kadang bercampur-baur antara

dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan. Misalnya: benci dan sayang dalam

satu waktu.

d. Mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi

(sayang, cemburu, dan sebagainya).

e. Mudah tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap

cara orang lain memandang kita.

Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan

sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan”

emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih

tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat

diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum

bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti

anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan

emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu

emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.

Keadaan Emosi Remaja

Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi

remmaja, yaitu:

a. Kondisi fisik

Apabila keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang

buruk atau perubahan yang berasal dari perkembangan, maka remaja akan

mengalami emosional yang meninggi. Biasanya orang berada dalam keadaan

sakit, mungkin akan menjadi cepat tersinggung atau marah apabila ada yang

mengusiknya. Orang yang berada dalam keadaan sakit, mungkin akan menjadi

frustrasi dan cepat marah karena perasaan ketidakberdayaan. Sedangkan

perubahan yang berasal dari perlambangan yang terjadi pada masa remaja,

misalnya perubahan bentuk tubuh karena kelenjar dan hormon, membutuhkan

kesiapan emosi remaja untuk memahami menerima perubahan itu.

b. Kondisi psikologis

Pengaruh psikologis yang penting antara lain tingkat inteligensi dan

tingkat aspirasi, dan kecemasan. Tingkat inteligensi seorang remaja yang tingkat

intelektualnya kurang atau rendah, rata-rata mempunyai pengendalian emosi yang

kurang dibandingkan dengan remaja yang pandai pada tingkat usia yang sama,

kegagalan mencapai tingkat aspirasi yang timbul berulang dapat membuat

keadaan cemas dan tidak berdaya.

c. Kondisi lingkungan

Kondisi yang dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja, misalnya:

ketegangan yang terus menerus, jadwal yang terlalu ketat, terlalu banyak

pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan.

Perilaku Agresi Remaja

Pada penelitian Kamo (2001) terdapat perbedaan kecenderungan agresi

yang signifikan antara remaja yang bertipe kepribadian A dan remaja bertipe

kepribadian B, dimana remaja bertipe kepribadian A cenderung lebih agresif

dibandingkan remaja dengan tipe kepribadian B. Kemudian pada penelitian yang

dilakukan oleh Utami (2001) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kesesakan dengan agresivitas remaja di lingkungan padat.

Penelitian Silvana (2002) mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan

kecenderungan agresi ditinjau dari peran jenis, dimana kecenderungan agresi yang

tertinggi terdapat pada kelompok remaja yang berperan jenis maskulin, kemudian

tidak tergolongkan, androgini dan yang terendah adalah peran jenis feminim.

Studi tentang hubungan pola asuh dengan agresivitas remaja dilakukan

oleh Tarmudji (dalam Ghozali, 2002), penelitian dilakukan di delapan SMU di

kota Semarang dengan jumlah sampel 85 orang siswa laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh demokratis mempunyai hubungan

yang negatif dan tinggi, sedangkan pola asuh otoriter mempunyai hubungan yang

positif tapi rendah, dan pola asuh permisif mempunyai hubungan yang positif dan

sedang dengan perilaku agresif anak. Hampir tidak ada orangtua yang

mempraktikan pola asuh secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungan-

kecenderungan pada tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan

oleh orangtua dan bersifat situasional.

Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Dariyo & Tiatri (2003) terhadap 15

SLTA di wilayah Jakarta Barat didapat bahwa pengalaman memperoleh hukuman

fisik sejak masa kanak berkorelasi dengan perilaku agresif saat remaja. Semakin

sering, semakin berat, dan semakin banyak perilaku agresifnya muncul.

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Agresi Pada

Remaja

Masa remaja adalah masa transisi seorang yang telah meningggalkan usia

kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan menuju usia dewasa, akan

tetapi belum mampu bertanggungjawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap

masyarakat. Banyaknya masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat

sosial masyarakat dimana dia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang

usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam

masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya (Drajat, dalam Wilis 1994).

Wilis (1994) menyebutkan sejumlah tugas-tugas perkembangan remaja itu

seperti: memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai sebagai pedoman dan

pandangan hidup untuk masa depan terutama dalam hubungannya dengan Tuhan,

anggota masyarakat, dan alam sekitarnya termasuk benda-benda dan makhluk

tuhan lainnya; belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin

masing-masing; menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakan

seefektif-efektinya dan merasa puas terhadap keadaan jasmaniahnya tersebut;

mencapai kebebasan daripada ketergantungan terhadap orangtua dan orang

dewasa lainnya; mencapai kebebasan ekonomi; mempersiapkan diri untuk

menentukan suatu pekerjan yang sesuai dengan bakat dan kesanggupannya;

memperoleh informasi tentang kehidupan perkawinan dan mempersiapkan diri

untuk itu baik persiapan fisik, mental, emosional dan sosial; mengembangkan

kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang kehidupan bermasyarakat;

memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk kehidupan

bermasyarakat.

Mutadin (2002) menyatakan masa remaja dikenal dengan masa yang

penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang

pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat

beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun),

remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir

(usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja mengalami perubahan

dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik

pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.

Mashum & Wahyurini (2004) menyebutkan ciri-ciri perkembangan emosi

remaja, seperti: lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan

meledak-ledak; kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai

akhirnya kembali dalam keadaan semula; emosi yang muncul sudah bervariasi,

bahkan kadang bercampur-baur antara dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan.

Misalnya: benci dan sayang dalam satu waktu; mulai muncul ketertarikan dengan

lawan jenis yang melibatkan emosi (sayang, cemburu, dan sebagainya); mudah

tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap cara orang

lain memandang kita.

Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan

sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan”

emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih

tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat

diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum

bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti

anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan

emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu

emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.

Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi

remaja, seperti: kondisi fisik, psikologis, dan lingkungan temapat tinggalnya.

Kemudian Mutadin menyatakan pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak

terlepas dari bermacam pengaruh, seperti: lingkungan tempat tinggal, keluarga,

sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya

dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial

tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri

secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya

masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai

untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya ke arah yang tidak positif, misalnya

tawuran dan perilaku agresi lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak

emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.

Baron (dalam Berkowitz, 2003) agresi adalah segala bentuk perilaku yang

dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang sebenarnya

tidak semua mendapat perlakuan seperti itu. Berkowitz (2003) menyatakan bahwa

agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti

seseorang baik secara fisik maupun mental.

Apabila masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi

oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal

negatif, misalnya perilaku agresi yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang

lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan

emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana

remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu

mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga

interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (Mutadin,

2002).

Penelitian Aini (2004) menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang

signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dimana

semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin rendah

agresivitasnya.

Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,

serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang

dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan

mengatur suasana hati.

Salovey & Mayer (dalam Davis, 2006) mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan

memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain, untuk membedakan

diantara mereka dan menggunakan informasi ini untuk menuntun ‘pikiran dan

tindakan seseorang’.

Studi yang dilakukan oleh Petrides, dkk (2006) menyelidiki tentang peran

kecerdasan emosional dalam hubungan teman sebaya di sekolah. 160 siswa (83

anak perempuan; rata-rata umur 10.8 tahun) dilakukan pengukuran dengan

kuesioner daftar sifat kecerdasan emosional dan sesudah itu diminta untuk

menominasikan teman sekelasnya masing-masing yang cocok ke dalam tujuh

deskripsi perilaku yang berbeda (‘kooperatif’, ‘penggangu’, ‘pemalu’, ‘agresif’,

‘dependen’, ‘pemimpin’, dan ‘pengimtimidasi’). Para guru juga diminta untuk

menominasikan seluruh siswa yang cocok ke dalam tujuh deskripsi. Siswa-siswa

dengan skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi lebih masuk dalam nominasi

untuk ‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’ dan lebih rendah nominasinya untuk

‘pengganggu’, ‘agresi’, dan ‘dependen’. Analisis faktor dari nominasi para guru

menunjukkan dua faktor orthogonal meliputi maing-masing deskripsi prososial

dan antisosial. Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi

ada dalam faktor prososial dan yang rendah ke dalam faktor antisosial.

Goleman (1995) dalam penelitiannya yang berasal dari sampel nasional

anak-anak Amerika berumur 7 hingga 16 tahun, membandingkan tingkat

keterampilan emosi anak-anak usia tersebut pada pertengahan tahun 1970-an

dengan keadaan pada akhir tahun 1980-an. Berdasarkan penilaian para guru dan

orangtuanya, rata-rata anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik, seperti:

menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki

masalah dalam hal perhatian atau berpikir, nakal atau agresif.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada individu

yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung perilaku agresinya

rendah, sedangkan yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah cenderung

perilaku agresinya tinggi, yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif antara

kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja.

Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian

ini adalah ada hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada

remaja.

METODE PENELITIAN

Adapun yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah

kecerdasan emosional (Y) dan variabel bebasnya adalah perilaku agresi (X).

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan

mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain, yang kemudian digunakan sebagai

informasi atau yang menuntun atas segala pikiran dan tindakannya. Kecerdasan

emosional akan diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosional yang

disusun oleh Goleman (1995) berdasarkan komponen-komponen kecerdasan

emosional, yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri,

mengenali emosi orang lain, dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional

berbentuk skala Likert.

Perilaku Agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk

menyakiti individu lain, dengan ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik

(non verbal) maupun verbal. Perilaku agresi diukur dengan menggunakan skala

perilaku agresi yang disusun oleh Berkowitz (3003) berdasarkan pada kedua tipe

agresi, yaitu: agresi instrumental dan agresi emosional. Skala perilaku agresi

berbentuk skala Likert.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode try out terpakai,

yaitu pengambilan data hanya dilakukan satu kali; digunakan untuk uji validitas

dan uji reliabilitas sekaligus untuk uji hipotesis. Digunakannya metode try out

terpakai dalam penelitian ini dengan pertimbangan agar tidak mengganggu

kesibukan para remaja.

Pelaksanaan pengambilan data dilakukan pada remaja yang berjenis

kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21 tahun. Kuesioner disebar sebanyak

45 eksemplar. Dari 45 eksemplar hanya 44 eksemplar yang memenuhi syarat

untuk dianalisis, 1 eksemplar rusak.

Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional

Pengujian validitas skala kecerdasan emosional dilakukan dengan

menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan melihat item total

correlation dengan bantuan program SPSS versi 11. Menurut Azwar (1996),

koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.3. Sehingga

hanya item-item yang mempunyai total korelasi lebih dari 0.3 yang dianggap

valid.

Pada skala kecerdasan emosional, dari 69 item yang diujicoba, 30 item

dinyatakan gugur. Sehingga item yang valid hanya berjumlah 39 item. Korelasi

skor total pada item-item yang valid bergerak antara 0.3291 sampai dengan

0.7450.

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi skor pada alat tes. Uji

reliabilitas skala perilaku agresi pada penelitian ini menggunakan koefisien Alpha

Cronbach dengan menggunakan program SPSS versi 11. Hasilnya diketahui

bahwa koefisien reliabilitasnya sebesar 0.9209 (>0.7) sehingga item dinyatakan

reliabel.

Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Perilaku Agresi

Pengujian validitas skala perilaku agresi dilakukan dengan menggunakan

teknik korelasi Product Momen Pearson dengan melihat item total correlation

dengan bantuan program SPSS versi 11. Menurut Azwar (1996), koefisien

validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.3. Sehingga hanya item-

item yang mempunyai total korelasi lebih dari 0.3 yang dianggap valid.

Pada skala perilaku agresi, dari 40 item yang diujicobakan, 11 item

dinyatakan gugur. Sehingga item yang valid hanya berjumlah 29 item. Korelasi

skor total pada item-item yang valid bergerak antara 0.3035 sampai dengan

0.7107.

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi skor pada alat tes. Uji

reliabilitas skala perilaku agresi pada penelitian ini menggunakan koefisien Alpha

Cronbach dengan menggunakan program SPSS versi 11. Hasilnya diketahui

bahwa koefisien reliabilitasnya sebesar 0.8975 (>0.7) sehingga item dinyatakan

reliabel.

Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Untuk uji normalitas digunakan alat bantu program SPSS versi 11 yaitu uji

Kolmogorov-Smirmov untuk menguji normalitas sebaran skor.

Berdasarkan pengujian normalitas pada variabel kecerdasan emosional

mempunyai taraf signifikansi sebesar 0.200 (p>0.05) dan pada variabel perilaku

agresi mempunyai taraf signifikansi sebesar 0.200 (p>0.05). Secara umum dapat

dikatakan bahwa distribusi skor kecerdasan emosional dan perilaku agresi yang

telah diambil dianggap normal. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 8 berikut.

Tabel 8

Hasil Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirmova

Statistic df Sig. p Keterangan

Kecerdasan Emosional .118 44 .200* >0.05 Normal

Perilaku Agresi .072 44 .200* >0.05 Normal

b. Uji Linearitas

Dari hasil pengujian linearitas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.000

(p<0.05), yang secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan kecerdasan

emosional dan perilaku agresi adalah membentuk garis linear.

Uji Hipotesis

Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan uji

korelasi yaitu product moment Pearson, diperoleh signifikansi sebesar 0.000

(p<0.05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara skor kecerdasan emosional dan

perilaku agresi, signifikan. Nilai korelasi Pearson sebesar -0.553 menunjukkan

korelasi negatif. Jadi, hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi

terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja,

diterima, dan berarah negatif. Yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional

maka semakin rendah perilaku agresi, demikian sebaliknya semakin rendah

kecerdasan emosional maka semakin tinggi perilaku agresi.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan

emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Berdasarkan hasil analisis,

diketahui bahwa hipotesis diterima berarti terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja, yang

berarti hubungan antara kecerdasan emosional berbanding terbalik dengan

perilaku agresi. Jadi, semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang maka

semakin rendah perilaku agresinya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan

emosional seseorang maka semakin tinggi perilaku agresinya.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Aini (2004) yang menyebutkan

bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan

agresivitas pada remaja akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada

remaja akhir maka semakin rendah agresivitasnya.

Pada studi yang dilakukan oleh Petrides, dkk (2006) yang menyelidiki

tentang peran kecerdasan emosional dalam hubungan teman sebaya di sekolah,

dengan hasil skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi masuk dalam nominasi

‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’ dan yang kecerdasan emosionalnya lebih rendah

masuk dalam nominasi untuk ‘pengganggu’, ‘agresi’, dan ‘dependen’.

Goleman (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan tingkat

keterampilan emosi anak-anak pada pertengahan tahun 1970-an dengan keadaan

pada akhir tahun 1980-an. Berdasarkan penilaian para guru dan orangtuanya, rata-

rata anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik, seperti: menarik diri dari

pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki masalah dalam hal

perhatian atau berpikir, kemudian nakal atau agresif.

Dari pendapat Ujianto (2006) Kecerdasan emosional menyangkut

kecerdasan dalam berhubungan dan memahami orang lain. Kecerdasan itu juga

berhubungan dengan kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita

sendiri yang berupa ketakutan, kemarahan, agresi dan kejengkelan.

Dari hasil penelitian juga diketahui perbandingan Mean Empirik dan Mean

Hipotetik variabel kecerdasan emosional dengan variabel perilaku agresi yang

dapat dilihat pada tabel 9 berikut.

Tabel 9

Mean Empirik dan Mean Hipotetik

Variabel Mean Empirik Mean Hipotetik SD Hipotetik

Kecerdasan Emosional 104.07 97.5 19.5

Perilaku Agresi 63.11 72.5 14.5

Berdasarkan perhitungan pada skala kecerdasan emosional, rentang

minimum-maksimum adalah 39 x 1 sampai dengan 39 x 4, yaitu 39 – 156 dengan

jarak sebaran 156 – 39 = 117 dan satuan deviasi standarnya bernilai SD = 117 : 6

= 19.5. Dengan mean empirik berada diantara mean hipotetik + 1SD (97.5 + 19.5)

yaitu sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada

pada kategori sedang. Dan pada skala perilaku agresi, dengan rentang minimum-

maksimum adalah 29 x 1 sampai dengan 29 x 4, yaitu 29 – 116 dengan jarak

sebaran 116 – 29 = 87 dan satuan deviasi standarnya bernilai SD = 87 : 6 = 14.5.

Dan mean empirik berada diantara mean hipotetik - 1SD (72.5 - 14.5) yaitu

sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada kategori

sedang. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada grafik skala kecerdasan emosional

sebagai berikut ini:

Sedang

Rendah Tinggi

39 58.5 78 97.5 104.07 117 136.5 156

Gambar 2. Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Hipotetik

Kecerdasan Emosional

Grafik perilaku agresi, sebagai berikut:

Sedang

Rendah Tinggi

29 43.5 58 63.11 72,5 87 101.5 116

Gambar 3. Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Hipotetik

Perilaku Agresi

Selain hasil mean empirik dan mean hipotetik di atas, pada tabel 10 di

bawah ini dapat dilihat dalam hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku

agresi dengan hasil deskripsi dari subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 10

Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah % Mean Skala

Kecerdasan Emosional

Mean Skala

Perilaku Agresi

Pria 22 50 106.14 63.95

Wanita 22 50 102 62.27

Berdasarkan pada mean skala kecerdasan emosional pada data tersebut di

atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional pada subjek yang berjenis kelamin

pria lebih tinggi daripada wanita. Kemudian pada mean skala perilaku agresi

dapat dilihat bahwa perilaku agresi pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih

tinggi daripada wanita.

Hal ini sesuai dengan pendapat Furnham (2000) yang menyatakan bahwa

walaupun wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria pada komponen

keterampilan sosial, namun dalam segi penilaian diri yang dikombinasikan dalam

sebuah skala yang reliabel dan pengukuran yang dilakukan oleh partisipan

terhadap komponen-komponen kecerdasan emosional memiliki hasil yang

konstan, hal tersebut menunjukkan bahwa dapat dipercaya bahwa pria lebih tinggi

kecerdasan emosionalnya daripada wanita. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari (2002) bahwa wanita lebih tinggi

kecerdasan emosionalnya daripada pria, wanita lebih tinggi kemampuannya dalam

mengetahui satu jenis emosi, menghargai emosi pada orang lain dan memelihara

hubungan, dan tidak ada perbedaan mengontrol emosi dan memotivasi diri satu

sama lain.

Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan

sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan”

emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih

tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat

diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum

bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti

anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan

emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu

emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.

Hasil yang menunjukkan bahwa perilaku agresi pada pria lebih tinggi

daripada wanita mungkin dikarenakan bahwa wanita mempunyai lebih banyak

kecemasan agresi dibandingkan pria. Kecemasan agresi merupakan hambatan

agresi yang dipelajari secara umum (Fescbach dalam Sears, dkk, 1994). Berkowitz

(2003) menyebutkan agresi lebih khas pria dibanding wanita, dan kebanyakan

studi tentang agresi terfokus kepada pria. Hal ini menunjukkan bahwa pria dan

anak laki-laki yang cenderung menyimpang dari banyak aturan masyarakat dan

norma sosial memiliki dorongan agresif yang kuat yang merupakan salah satu

komponen dari sifat dasarnya yaitu antisosial. Agresi pada wanita, seperti halnya

pada pria, mereka kadang suka menyakiti orang lain. Sebagian wanita bahkan

sangat cenderung menyerang secara fisik orang yang membuatnya jengkel

(Berkowitz, 2003).

Dan perbedaan kedua mean tersebut mungkin dikarenakan adanya

perbedaan sifat berdasarkan kedua jenis kelamin tersebut seperti pendapat dari

Dagun (dalam Baso, 2006) bahwa pria memiliki sifat seperti: melindungi,

rasional, berani, agresif, tegas, kasar, terbuka, ingin menguasai, kuat, maskulin,

ingin menjadi pemimpin, sportif, mudah tertarik pada lawan jenis, pendiam, aktif,

solider, pantang putus asa, keras kepala dan pemarah. Sedangkan wanita memiliki

sifat seperti: peka, lembut, cerewet, emosional, manja, keibuan, senang

berdandan, penyabar, pemalu, mudah tersinggung, teliti, suka membicarakan

orang lain, rajin, tekun, cengeng, jujur, materealistik, setia, tertutup, dan penuh

pengertian.

Kemudian pada tabel 11 di bawah ini dapat dilihat hubungan antara

kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek

penelitian berdasarkan usia.

Tabel 11

Deskripsi Subjek berdasarkan Usia

Usia

(dibagi menjadi beberapa fase yang

dikemukakan oleh Mutadin (2002))

Mean Skala

Kecerdasan

Emosional

Mean Skala

Perilaku

Agresi

12 - 15 th (Remaja awal) 112.38 66.84

15 - 18 th (Remaja pertengahan) 105.47 64.90

18 - 21 th (Remaja akhir) 100.13 61.08

Berdasarkan mean skala kecerdasan emosional dan mean skala perilaku

agresi pada data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional dan

perilaku agresi dari yang tertinggi sampai terendah adalah usia 12 - 15 tahun, 15 -

18 tahun, dan 18 - 21 tahun.

Hal tersebut diatas dapat terjadi mungkin dikarenakan adanya perbedaan

ciri pada setiap fase dalam kehidupan remaja seperti yang dikemukakan oleh

Sternberg (1998) pada fase remaja awal, individu dapat berpikir secara abstrak,

memiliki pemikiran-pemikiran yang egosentris, dan empati yang dimilikinya

belum konsisten. Biasanya pemikiran dan tindakan yang mereka lakukan tidak

sejalan dan keduanya berbeda. Pada fase remaja tengah, adanya perubahan emosi

yang terjadi. Pada fase remaja akhir, individu mereka sudah dapat mengolah

emosi yang mereka alami secara mandiri. mereka mampu memahami emosi diri

sendiri dan orang lain. Disamping itu, mereka mulai membutuhkan kemampuan

untuk beradaptasi terhadap lingkungan sosial yang tinggi.

Hurlock (1996) mengemukakan bahwa kondisi fisik, kondisi psikologis

dan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja. Berarti

ketiga kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi kecerdasan dan perilaku agresi

yang ada pada remaja.

Kemudian pada tabel 12 di bawah ini dapat dilihat hubungan antara

kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek

penelitian berdasarkan urutan kelahiran.

Tabel 12

Deskripsi Subjek berdasarkan Urutan Kelahiran

Urutan Kelahiran Jumlah % Mean Skala

Kecerdasan Emosional

Mean Skala

Perilaku Agresi

Sulung 18 41 97.44 65.56

Tengah 13 29.5 105.92 62.62

Bungsu 11 25 110.45 62.82

Tunggal 2 4.5 116.50 46

Berdasarkan mean skala kecerdasan emosional pada data tersebut di atas,

dapat dilihat bahwa urutan kecerdasan emosional dari yang terendah sampai

tertinggi adalah sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Kemudian pada mean skala

perilaku agresi dapat dilihat bahwa urutan perilaku agresi dari yang tertinggi

sampai pada yang terendah adalah sulung, bungsu, tengah, dan tunggal.

Hasil dari tersebut diatas berbeda dengan pendapat Soesilowindradini

(2004) yang menyatakan bahwa urutan kelahiran dalam keluarga khususnya anak

sulung cendrung lebih memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik

dibandingkan dengan anak tengah dan anak bungsu. Yang dalam hal ini ditandai

dengan ciri-ciri yaitu kesadaran diri yang cukup baik, berperilaku yang cukup

matang, mampu berprestasi, bertanggung jawab dan melindungi adik-adiknya.

Kemudian jika dilihat dari perilaku agresi berdasarkan urutan kelahiran,

hasil tersebut diatas berbeda dengan penelitian Begum, dkk (1981) yang

mendapatkan hasil bahwa anak tengah memiliki kebutuhan agresi yang tertinggi

dan anak sulung berada pada tingkat yang terendah.

Hasil tersebut diatas terjadi mungkin karena adanya perbedaan stabilitas

emosi yang dimiliki pada setiap urutan kelahiran, seperti yang dikemukakan oleh

Eisenman (dalam Guastello & Guastello, 2002) berpendapat bahwa anak sulung

cenderung memiliki ketakutan yang berlebih, dan beberapa anak sulung lebih

menunjukkan lebih banyak kecemasan dan kreativitas. Kemudian Kaur & Dheer

(dalam Guastello & Guastello, 2002) menemukan bahwa anak tengah cenderung

memiliki kestabilan emosi dibandingkan anak sulung dan anak bungsu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data yang telah

dilakukan penulis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan

antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi terdapat hubungan antara

kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja adalah diterima, dan

berarah negatif yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin

rendah perilaku agresi, demikian sebaliknya semakin rendah kecerdasan

emosional maka semakin tinggi perilaku agresi.

Dalam penelitian ini juga diperoleh hasil perhitungan pada skala

kecerdasan emosional dan skala perilaku agresi yang menggambarkan kecerdasan

emosional berada pada kategori sedang. Sedangkan pada perilaku agresi berada

dalam kategori sedang.

Berdasarkan hasil deskripsi subjek penelitian ditemukan bahwa kecerdasan

emosional pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi daripada wanita.

Kemudian pada perilaku agresi subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi

daripada wanita. Berdasarkan usia yang dibagi berdasarkan beberapa fase remaja

dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional dan perilaku agresi dari yang tertinggi

sampai terendah adalah usia 12 - 15 tahun, 15 - 18 tahun, dan 18 - 21 tahun. Serta

berdasarkan urutan kelahiran, urutan kecerdasan emosional dari yang terendah

sampai tertinggi adalah sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Sedangkan urutan

perilaku agresi dari yang tertinggi sampai pada yang terendah adalah sulung,

bungsu, tengah, dan tunggal.

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran yang dapat

diberikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi subjek penelitian, guna mengurangi perilaku agresi yang dapat

merugikan diri sendiri maupun orang lain diharapkan untuk lebih

meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

2. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menyertakan variabel lain yang

terkait dengan kecerdasan emosional dan perilaku agresi, misalnya

kecemasan, harga diri, dan lainnya. Agar penelitian semakin beragam dan

pengetahuan tentang kecerdasan emosional dan perilaku agresi semakin luas.

Daftar Pustaka

Aini, F. Q. 2004. Kecerdasan Emosi dan Agresivitas pada Remaja Akhir. Skripsi.

Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Anonim. 2002. SMUN 5 Kembali Diserang Remaja Bermotor.

(http://www.pikiran-rakyat.com).

Anonim. 2003. Pelajar Tewas Akibat Tawuran. (http://www.kompas.com).

Azwar, S. 1993. Buletin Psikologi tahun 1 No. 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada.

Azwar, S. 1996. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi

Belajar. Edisi II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2005. Tes Prestasi : Fungsi dan pengembangan Pengukuran Prestasi

Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baso, M. 2006. Perbedaan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Antara Pria

Dan Wanita. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi universitas Gunadarma.

Berkowitz, L. 2003. Emotional Behavior: Mengenali Perilaku dan Tindak

Kekerasan di Lingkungan Sekitar Kita dan Cara Penanggulangannya

(Buku Kesatu). Jakarta: Penerbit PPM.

Dariyo, A., & Tiatri, S. 2003. Hubungan Antara Pengalaman Memperoleh

Hukuman Fisik Sejak Masa Anak dengan Perilaku Agresif Saat Remaja.

(http://www.psikologi-untar.com).

Davis, M. 2006. Tes EQ Anda. Penerbit PT Mitra Media.

Furnham, A. 2000. Gender Differences in Measured and Self-Estimated Trait

Emotional Intelligence. Sex Roles: A Journal of Research.

(http://www.findarticles.com)

Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence. Alih bahasa: Hermaya, T. Jakarta: PT

Gramedi Pustaka Utama.

Gottman, J & De Claire, J. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki

Kecerdasan Emosional. Jakarta: Penerbit PT Gramedi Pustaka Utama.

Guastello, D. D & Guastello, S. J. 2002. Birth Category Effect on the Gordon

Personal Profile Variables. JASNH, 2002, Vol. 1, No. 1, 1–7. Reysen

Group. (www.jasnh.com.)

Hall, C. S., & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-teori

Psikodinamik (Klinis). Editor: Dr.A.Supratiknya. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Hall, C. S., & Lindzey, G. 1993a. Psikologi Kepribadian 2: Teori-teori Holistik

(Organismik-Fenomenologis). Editor: Dr.A.Supratiknya. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kamo, R. 2001. Perbedaan Kecenderungan Agresi pada Remaja dengan Tipe

Kepribadian A dan B di SMU Bintara. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma.

Kantor Menteri Negara Kependudukan BKKBN. 1998. Laporan Penelitian:

Remaja dan permasalahannya. (http://hqweb01.bkkbn.go.id).

Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco.

Kumalasari, R. 2002. Perbedaan Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Jenis

Kelamin Pada Siswa SMU Negeri 1 Giri Banyuwangi. Tesis. Malang:

Universitas Muhammadiyah.

Mashum, Y., & Wahyurini, C. 2004. Memahami Perkembangan Kita.

(http://www.kompas.com).

Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Hadinoto, S. R. 2002. Psikologi Perkembangan:

Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Murdowo, J. 2002. Kerusakan Mental Remaja Memprihatinkan.

(http://www.suaramerdeka.com).

Mutadin, Z. 2002. Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. (http://www.e-

psikologi.com).

Mutadin, Z. 2002a. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. (http://www.e-

psikologi.com).

Paton, P. 2002. EQ Pengembangan Sukses Lebih Makna. Penerbit PT Mitra

Media.

Petrides, K. V., Sangareau, Y., Furnham, A., & Frederickson, N. 2006. Social

Development : Trait Emotional Intelligence and Children’s Peer Relations

at School. (http://www.blackwell-synergy.com).

Ritandiyono. 2004. Peranan Kemandirian dan Kecerdasan Emosional terhadap

Prestasi Belajar Siswa Program Percepatan Belajar dan Program Reguler

SMUN 81 dan SMU Lab School Jakarta. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia.

Riyanti. B. P. D., & Prabowo. H. Seri Diktat Kuliah: Psikologi Umum 2. Jakarta:

Penerbit Universitas Gunadarma.

Rumini, S., & Sundari, S. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka

Cipta.

Sadarjoen, S. S. 2000. Keberingasan Individual Remaja, Dampak Keberingasan

Kolektif?. (http://www.kompas.com).

Sarwono, S.W. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Sarwono, S. W.2004. Kecerdasan Emosi. (http://sarlito.blogspot.com)

Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. 1994. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih

Bahasa: Michael Adryanto. Jakarta: Penelrbit Erlangga.

Silvana, R. 2002. Perbedaan Kecenderungan Agresi Pada Remaja Ditinjau dari

Peran Jenis. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Soesilowindradini. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Surabaya: Usaha

Nasional.

Tambunan, R. 2006. Perkelahian Pelajar. (http://www.duniaesai.com).

Tridayanti, M. 2006. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kenakalan Remaja.

Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Ujianto, B. 2006. Kecerdasan Manusia Diidentikan dengan IQ.

(http://suaramerdeka.com).

Utami, S. P. 2001. Hubungan Kesesakan dengan Agresivitas Remaja di

Lingkungan Padat. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas

Gunadarma.

Ghozali, A. 2002. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.037.

(http://www.depdiknas.go.id.htm).

Wilis, S. 1994. Problem Remaja dan Pemecahannya. Bandung: Penerbit Angkasa.

Yusuf, S. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT

Rosdakarya.