22
Abu Hassan Ali al Nadwi Sayyid Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi mendapat julukan Imam Rabbani, Islami, Qur’ani, Muhammadi dari DR. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang tersohor bijaksana dalam berbagai tulisan dan fatwa-fatwa kontemporer. An-Nadwi juga dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Muslim brilian yang bukan saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di seluruh dunia Islam. Sampai akhir hayatnya (1999) beliau masih menempati beberapa posisi penting di lembaga Islam internasional seperti Rabitah ‘Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, Dewan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di Damaskus, Majelis Pertimbangan di Universitas Madinah, serta ketua lektor Pusat Pengkajian Islam di Oxford University. An-Nadwi dikenal sebagai ensiklopedis karena ilmunya yang melimpah dan daya kritisnya yang tajam. Visinya yang modernis dan integralis menjadikannya mampu mengembangkan aktifitas da’wah serta pemikiran ke berbagai bidang. Sebanyak 50 judul buku dalam beragam medan pemikiran Islam yang ditulis dalam empat bahasa yaitu Arab, Urdu, Perancis, dan Inggris berhasil beliau sumbangkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan Islam. Selain itu, beliau juga telah menyampaikan ratusan ceramah hasil penelitian dan makalah yang kesemuanya ditulis untuk kemaslahatan serta pengabdiannya kepada Islam. 1

Abu Hassan Ali al Nadwi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Abu Hassan Ali al Nadwi

Abu Hassan Ali al Nadwi

Sayyid Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi mendapat julukan Imam Rabbani, Islami, Qur’ani,

Muhammadi dari DR. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang tersohor bijaksana dalam berbagai

tulisan dan fatwa-fatwa kontemporer.

An-Nadwi juga dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Muslim brilian yang bukan

saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di seluruh dunia Islam. Sampai akhir hayatnya (1999)

beliau masih menempati beberapa posisi penting di lembaga Islam internasional seperti Rabitah

‘Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, Dewan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di

Damaskus, Majelis Pertimbangan di Universitas Madinah, serta ketua lektor Pusat Pengkajian

Islam di Oxford University.

An-Nadwi dikenal sebagai ensiklopedis karena ilmunya yang melimpah dan daya

kritisnya yang tajam. Visinya yang modernis dan integralis menjadikannya mampu

mengembangkan aktifitas da’wah serta pemikiran ke berbagai bidang. Sebanyak 50 judul buku

dalam beragam medan pemikiran Islam yang ditulis dalam empat bahasa yaitu Arab, Urdu,

Perancis, dan Inggris berhasil beliau sumbangkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan

Islam. Selain itu, beliau juga telah menyampaikan ratusan ceramah hasil penelitian dan makalah

yang kesemuanya ditulis untuk kemaslahatan serta pengabdiannya kepada Islam.

Beliau adalah ulama yang dapat diterima oleh semua aliran serta kalangan Islam di

seluruh India dan juga kalangan di dunia Islam yang memungkinkannya berperan dalam

menghilangkan berbagai penyebab pertikaian. Beliau telah tercatat berperan serta dalam kurang

lebih seratus muktamar dan forum Internasional yang membahas problematika ummat dan

masalah keislaman. Walaupun dikenal sebagai sosok modernis, beliau sangat keras menentang

semua arus yang keluar dari manhaj Islam yang benar. Sejak muda ia mengkritik habis pemikiran

takrif (Muslim yang mengkafirkan sesamanya) dan i’tizaliyah (mengisolasikan diri dari

kehidupan dunia) yang muncul akibat pemahaman yang dangkal terhadap pemikiran Abul A’la

al-Maududi di India dan Sayyid Qutb di Mesir.

Selama hidupnya, beliau memang dikenal sebagai seorang ulama yang lapang dada dan

menghargai karya dan jerih payah orang lain, selama itu untuk Islam. Beliau sangat menjahui

1

Page 2: Abu Hassan Ali al Nadwi

sifat fanatik buta terhadap tokoh yang ia kagumi. Beliau menganggap maulana Mohammad Ilyas

adalah tokoh yang beliau kagumi dengan jama’ah tablighnya, tapi beliau tidak menutup mata

bahwa jama’ah yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia ini butuh kepada pengembangan

intelektualitas mereka. Demikian halnya dengan Ikhwanul Muslimin(IM), beliau begitu

mengagumi sosok Hasan al-Banna dan para pengikutnya, bahkan dalam pengantarnya terhadap

karya al-Banna Mudzakaratudda’wah waddaiyah beliau menulis bahwa pembunuhan dan

penganiayaan terhadap Al-Banna serta pengikutnya adalah sebuah kejahatan yang takkan pernah

terlupakan oleh sejarah. Pada tahun 1951 beliau berkunjung ke Mesir dan berjumpa dengan para

murid serta pengikut Al-Banna seperti Syeikh Mohammad al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi dan

lain-lain, memperkenalkan beliau lebih dekat tentang Ikhwanul Muslimin.

Meskipun demikian beliau mengakui bahwa (IM) bukanlah rumah yang dihuni oleh para

malaikat yang lepas dari dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu beliau menulis buku Uridu an

Atahaddats ila Ikhwanil Muslimin. Karya tersebut beliau katakan sebagai kritik dan saran dari

seorang Muslim untuk saudaranya.

Pribadi dan kezuhudannya

Syekh Yusuf Al-Qardhawi menyebutnya sebagai salah satu dari segelintir ulama abad 20

yang pantas untuk mendapatkan tempat di jajaran ulama Rabbany. Pengakuan Qardhawi

bukanlah berlebihan karena beliau adalah sosok ulama yang beramal dengan ilmunya, dikenal

zuhud dalam kehidupannya, menempatkan dunia pada proporsi yang sebenarnya, menjadikan

kehidupan para salaf sebagai cermin kehidupan ideal bagi seorang muslim yang jauh dari sifat

ghuluw dalam ibadah dan keduniaan.

Dalam pandangan An-Nadwi, ulama sejati adalah ulama yang jauh dari kemewahan dunia

serta mempunyai sifat zuhud yang tinggi. Zuhud dalam pengertian An-Nadwi bukanlah

meninggalkan dunia dengan memakai pakaian compang-camping atau mengisolir diri dari

gelanggang kehidupan, tapi hakikat zuhud adalah menahan diri dari nafsu dunia di saat kita

mampu untuk mendapatkannya. Sifat inilah menurutnya membuat para ulama salaf serta para

mujaddid Islam seperti Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan para mujaddid sesudah

mereka begitu tegar di depan pesona keduniaan dan tetap mengatakan tidak pada iming-iming

kekuasaan.

2

Page 3: Abu Hassan Ali al Nadwi

Dalam suatu kesempatan di salah saatu universitas di Timur Tengah selesai

menyampaikan ceramah An-Nadwi ditawarkan uang sebesar 6000 dolar tapi beliau menolaknya

dan mengatakan bahwa beliau tidak pernah mengambil upah dari da’wah.

Dalam salah satu tulisannya tentang An-Nadwi, Syeikh Al-Qardhawi menuturkan

pengalamannya: suatu ketika dalam kunjungannya ke Qatar (tempat al-Qardhawi bermukim) di

bulan Ramadhan An-Nadwi sempat menceritakan tentang krisis finansial yang dihadapi oleh

Nadwatul Ulama, Al-Qardhawi menganjurkan An-Nadwi untuk mendatangi para muhsinin dan

menyampaikan hal itu, tapi An-Nadwi menolaknya dan mengatakan bahwa mereka adalah para

pasien dan kita adalah para dokter dan jika para dokter telah meminta bantuan pada sang pasien

siapa lagi yang akan mengobati mereka?

Anak Seorang Ulama dan Ibu Hafidhah

Dilahirkan di Rae Bareilly India pada 6 Muharram 1333 H, bertepatan dengan Januari

1913 M. Ayahnya Allama Sayyid ‘Abdul Hayyi Al-Husny adalah seorang ulama India yang

cukup terkenal dan sekaligus seorang penulis produktif. Karya monumentalnya, Nuzhatul

Khawatir adalah sebuah karya ensiklopedia yang memuat biografi tokoh dan ulama India. Karena

karya tersebut beliau dijuluki Ibnu Khalkan India. Abdul Hayyi meninggal di saat An-Nadwi

berusia sepuluh tahun.

Ibunya Sayyidah Khairunnissa, adalah seorang wanita shalihah dan hafidhah juga dikenal

sebagai seorang sastrawan yang banyak menulis syair baik dalam bahasa Arab ataupun Urdu dan

Persi.Sepeninggal ayahnya, An-Nadwi lebih banyak mendapatkan bimbingan dari sang ibu; dari

didikan sang ibu An-Nadwi bisa menghafal al-Quran tigapuluh juz pada usia kanak-kanak serta

berhasil mempelajari dasar-dasar bahasa Arab dan Persi. Dari ibunya, An-Nadwi bukan hanya

mendapatkan bimbingan intelektualitas tapi juga bimbingan spiritual dan kecintaan kepada al-

Quran. Setiap malam juma’at, kenang An-Nadwi, sang ibu selalu membiasakan anak-anaknya

untuk membaca surah al-Kahfi agar selamat dari fitnah dajjal (sebagaimana anjuran Rasulullah

saw).

Setelah keluar dari madrasaah oleh sang ibu An-Nadwi diantarkan belajar dasar-dasar

sastra Arab pada syeikh Khalil Bin Muhammad Al-Anshari Al-Yamany dan Prof Dr. Taqiyuddin

alhilaly yang pada waktu itu menjadi dosen di Nadwatul ‘ulama Lokcnow India.

3

Page 4: Abu Hassan Ali al Nadwi

Ketika berusia 14 tahun beliau mulai mengecap pendidikan formal di Universitas

Lokcnow mengambil jurusan sastra Arab, dan beliau menjadi mahasiswa termuda. Selama belajar

di universitas tersebut, An-Nadwi banyak mendalami buku-buku yang berhubungan dengan sasta

Arab seperti Nahjatul Balagah. Di universitas yang sama an-Nadwi juga mendalami bahasa

Inggris dan ilmu-ilmu umum.

Selesai mendalami sastra Arab, beliau mulai mempelajari disiplin ilmu yang lain seperti

hadits, tafsir, tarikh, yang semuanya beliau tempuh dengan jalur talaqqy dari seorang syeikh

kepada syeikh yang lain, sebuah corak pendalaman ilmu yang ditempuh oleh para ulama salaf.

Dari maulana Khaidar Hasan Khan di Nadwatul ‘Ulama, beliau mendalami ilmu hadits

dan menamatkan kutubussittah. Selesai mengaji pada maulana Khaidar Hasaan beliau nyantri di

Daarul ‘Ulum Dheoband sebuah pesantren tradisional yang banyak menelorkan ulama-ulama

India. Di markas para pakar hadits tersebut, An-Nadwi tinggal beberapa waktu.

Selesai mendalami hadits, pada tahun 1932 an-Nadwi pergi ke Lahor. Di kota tua tersebut

beliau mendalami tafsir alquran pada syeikh Ahmad ‘Ali Al-Lahori. Dari mufassir kenamaan

tersebut beliau berhasil menyelsaikan ummahatu tafsir, seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir At-

Thabary, tafsir Al-Baidhawi dan lain- lain.

Sekembalinya dari Lahor beliau ditunjuk sebagai dosen sastra arab dan tafsir di

Nadwwatul Ulama Lockhnow. Di Universitas yang memadukan sistem tradisional dan modern

tersebut, An-Nadwi mulai berkenalan dengan majalah-majalah berbahasa Arab yang terbit di

Timur Tengah seperti al-Manar, al-Hilal, az-Zahra, dan lain-lain. Majalah-majalah pembaruan

Islam tersebut bukan saja ikut memberi andil terhadap pembentukan intelektualitas beliau, tapi

juga memperkenalkan An-Nadwi pada uslub (metode) penulisan bahasa Arab. Maka tidak heran

jika pada usia 16 tahun beliau telah berhasil menulis biografi Sayyid Ahmad Irfan seorang ulama

India, dimuat di majalah al-Manar bahkan kemudian diterbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir.

Mendambakan kembalinya Khilafah Isamiyah

Tujuh puluh tahun berjalan bersama kafilah da’wah beliau telah banyak menyaksikan

pahit getirnya perjalanan ummat, namun tragedi sejarah yang pernah menimpa ummat ini yang

beliau akui sebagai tragedi yang paling menyedihkannya adalah jatuhnya khilafah Islamiyah di

4

Page 5: Abu Hassan Ali al Nadwi

Turki pada tahun 1924. Kalau saja dunia tahu tulisnya, tentang kerugian yang akan diderita dunia

akibat jatuhnya khilafah niscaya mereka akan mengenang hari kejatuhan itu sebagai hari

dukacita.

25 tahun setelah jatuhnya khilafah, pada tahun 1951 karya monumentalnya masa khasiral

‘alam biinhithatil muslimin diterbitkan. Karya tersebut telah mendapatkan kekaguman dan

sambutan hangat dari para pemikir muslim, Assyahid Sayyid Quthb mengomentarinya sebagai

karya sejarah yang telah menafsirkan sejarah lewat tafsiran Islam yang lebih luas. Karya tersebut

telah mengantarkan beliau untuk mendapatkan The King Faishal International Award pada tahun

1980 bersama Dr. Mohammad Natsir (alm).

Lewat karyanya yang pernah menjadi best seller itu, An-Nadwi ingin menyadarkan

kembali ummat Islam bahwa mereka bukanlah aktor dari sebuah babak-babak drama yang

dipentaskan atau anak-anak catur yang dipermainkan, tapi mereka adalah faktor utama yang

menentukan wajah dunia. Sudah saatnya, lanjut An-Nadwi, Islam memimpin dunia sekali lagi

sebagaimana Islam telah menyelamatkan dunia pada abad ke-enam dengan kedatangan

Rasulullah Saw. Dunia Arab, lanjut An-Nadwi adalah harapan dunia Islam untuk memimpin

dunia sekali lagi, karena mereka adalah rahim yang pernah melahirkan para pahlawan Islam yang

membuka pintu gerbang dunia.

Sayang ajal lebih dulu menjemputnya sebelum menyaksikan bendera khilafah berkibar

sekali lagi. Beliau menghembuskan nafasnya yang terahir pada hari Juma’at pada tanggal 31

Desember 1999 di tanah kelahirannya.

Pemikiran Abu Hassan Ali al Nadwi

Dalam bukunya al-Sira’ Bayn al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiah al-Nadwi

menyebutkan aspek pengaruh barat. Antara pengaruh barat yang meluas dalam negara Islam ialah

aspek pendidikan. Menurut al-Nadwi, umat Islam perlu membebaskan dari system pendidikan

sekular atau mengambil sistem pendidikan barat secara total. Menurutnya system pengajian barat

merupakan suatu usaha mendalam untuk melenyap dan membasmi unsur-unsur keislaman. Beliau

merujuk kepada kata-kata H.A.R Gibb dalam buku Whither Islam yang menyebutkan bahawa

berjaya atau tidak modernisasi dan westernisasi di dunia Islam dapat dilihat dari aspek

pendidikan barat dan pengaruhnya yang meluas di kalangan orang-orang timur. Beliau memuji

5

Page 6: Abu Hassan Ali al Nadwi

Iqbal kerana walaupun mendapat pendidikan barat tetapi beliau tidak lebur dalam arus

pendidikan pemikiran barat. Menurutnya, antara teori yang digunakan dalam sistem pendidikan

barat ialah menimbulkan keraguan dan syak kepada kesucian riwayat dan dalil. Oleh itu jalan

terbaik bagi mengatasi masalah ini ialah merangkai semula sistem pendidikan Islam walaupun

menghadapi kesulitan dan waktu yang panjang.

Al-Nadwi juga begitu peka dengan sistem pendidikan dan banyak mengkritik golongan

orientalis yang menyelewengkan fakta sebenar mengenai Islam. Dari segi faktor keagamaan,

tujuan orientalis adalah menyebarkan agama Kristian dan menonjolkannya lebih daripada agama

Islam. Di samping itu, mereka cuba membangkitkan rasa bangga terhadap mereka ke dalam jiwa

anak-anak muda Islam. Dari segi politik, golongan orientalis adalah utusan barat ke negara-

negara Islam dengan tujuan membuat penyelidikan yang berhubung dengan adat, bahasa, tabiat

dan jiwa orang-orang timur. Melalui cara ini, barat dapat meluaskan kekuasaan

dan pengaruhnya ke atas umat Islam. Walaupun begitu, ada juga golongan orientalis yang

membuat penyelidikan semata-mata kerana rasa minat mereka terhadap ilmu.

Menurut al-Nadwi, antara orientalis yang menghasilkan penyelidikan yang baik yang

wajar diberi penghargaan ialah Prof. T.W. Arnold, pengarang buku Preaching of Islam, Stanley

Lane pengarang buku Saladin (Salahuddin al-Ayubi) dan Moors in Spains, Dr. Aloys Spenger

Edward William Lane, A.W.J- Wensinck, yang telah menyusun Mu‘ajam Hadith. Semua

pengarang-pengarang ini menunjukkan keikhlasan mereka dalam membahaskan sesuatu isu tanpa

dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan agama.

Al-Nadwi telah memberi kritikan pedas terhadap golongan orientalis yang seharusnya

direnung oleh pelajar-pelajar muslim yang lain. Beliau menyebut bahawa dengan mengakui

sumbangan ilmu orientalis ini, tiada halangan baginya untuk menegaskan bahawa kaum orientalis

ini sering tidak beroleh taufik dari Ilahi walaupun mereka banyak melakukan penyelidikan dan

penggalian terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an, sunnah, sirah nabi, feqah Islam, akhlak dan tasauf.

Mereka hanya keluar dengan tangan hampa tanpa memperolehi apa-apa dari keimanan dan

keyakinan. Sebaliknya didapati bertambah besar jurang yang memisahkan mereka dengan ilmu

tersebut disebabkan oleh iktikad permusuhan yang terpendam dalam hati mereka. Tujuan mereka

6

Page 7: Abu Hassan Ali al Nadwi

hanya ingin mencari kelemahan tentang Islam dan mengemukakannya untuk maksud politik

maupun keagamaan.

Menurut al-Nadwi, umat Islam sekarang menghadapi kejumudan pemikiran atau

mendapnya kecerdasan akal yang menimpa sarjana Islam atau pusat-pusat pengajian Islam

semenjak waktu yang lama. Begitu juga, jarang ditemui ulama yang dapat meyakinkan generasi

muda mengenai keunggulan Islam dan keabdian ajaran agama untuk mereka melayari kehidupan

serta menyingkap takbir kelemahan-kelemahan peradaban barat dan sorotan yang ilmiah dan

analisa yang teliti.

Umat Islam juga menghadapi kekosongan yang besar iaitu tidak ada pemimpin yang

dapat menghadapi peradaban barat dengan keimanan dan berani. Ciri-ciri pemimpin ini ialah

mereka yang menggabungkan keimanan dengan kemajuan keilmuan untuk manfaat umat dan

negara. Mereka tidak memandang pemimpin barat sebagai idola yang mesti diikuti tetapi hanya

mengambil contoh yang baik. Ia menaruh harapan dan keyakinan bahawa seandainya ia perlu

banyak belajar dari barat maka barat juga perlu banyak belajar darinya. Malah berkemungkinan

barat lebih memerlukannya. Menurutnya, usaha pembaratan berlaku dengan cepat dan berjaya

kerana pendidikan barat telah menyerap masuk ke dalam jiwa anak-anak muda Islam. Taufan

sistem pendidikan barat ini telah menyapu bersih generasi muda Islam yang menjadi harapan

bangsa sehingga pemikiran mereka tidak dapat menerima agama Islam yang sebenar. Antara

buku beliau yang terkenal ialah Riddah La Abu Bakr Laha (murtad: mengapa tidak ada Abu

Bakar memeranginya). Di dalam buku ini, beliau menyebutkan bahawa umat Islam kini

menghadapi ancaman murtad yang lebih merbahaya iaitu fahaman metarialisme (kebendaan)

yang datang dari pengaruh barat. Menurutnya, metarialisme merupakan fahaman yang

berdasarkan penolakan kepada agama dan pemikiran yang menafikan adanya Tuhan, alam ghaib,

wahyu dan kerasulan. Sungguhpun penganjur-penganjur falsafah kebendaan ini tidak

menganggapnya sebagai satu agama yang baru, namun pada hakikatnya falsafah ini adalah

sejenis agama yang baru. Faham baru ini sedang melanda dunia Islam tanpa disedari oleh kita

sendiri.

Al-Nadwi menjelaskan bahawa tamadun kebendaan yang menafikan ketuhanan

merupakan dajjal yang membawa kerosakan ke atas dunia ini. Tamadun yang dilahirkan pada

abad 17 dan mulai mencapai peringkat kematangan dalam abad ini. Tamadun kebendaan ini

meletakkan kebendaan dan pemiliknya sebagai suci dan mengagungkan kebendaan dari segala-

7

Page 8: Abu Hassan Ali al Nadwi

galanya.Beliau turut menggariskan beberapa faktor yang menyebabkan fahaman ini dapat

menawan jiwa orang-orang Islam. Antaranya ialah pertamanya kelemahan orang Islam dari sudut

keimanan, ijtihad dan ilmu pengetahuan. Fikiran menjadi sempit dan keghairahan terhadap agama

mereka telah lenyap sama sekali. Keduanya para ulama tidak memainkan peranan yang sebenar

dan tidak pula berusaha untuk memimpin orang Islam lain terutama anak-anak muda Islam.

Ketiganya penjajahan yang berlaku ke atas negara-negara umat Islam. Orang-orang Islam

mengkagumi falsafah barat yang dianggap mengandungi kebenaran dan kemajuan. Inilah di

antara faktor yang menyebabkan fahaman ini meresap dengan cepat ke dalam jiwa orang-orang

Islam. Tambahan pula, ulama tidak menyedari akan bahaya fahaman ini. Al-Nadwi melihat

fahaman ini sebagai satu ancaman yang besar kepada umat Islam. Akhirnya,kebanyakan

pemimpin negara Islam adalah hasil daripada pendidikan barat. Inilah sebab utama berlakunya

pertarungan antara dua alam pemikiran yang berlaku di dunia Islam menyebabkan negara Islam

terumbang-ambing. Dalam menghadapi cabaran idealism tersebut umat Islam perlu kembali

melihat keadaan dan hakikatnya yang sebenar, memperbaiki dan membetulkan nilai-nilai agama

dalam diri sendiri dan masyarakat, merombak system ekonomi dengan menghapuskan riba serta

melaksanakan sistem zakat dan baitulmal. Ia bertujuan untuk memperseimbangkan taraf umat

muslimin serta menghapuskan kemiskinan, menekankan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan

agar dapat mendekatkan pertaliannya dengan agama serta menubuhkan persatuan umat Islam di

peringkat antarabangsa.

Al-Nadwi menegaskan bahawa dalam menjalankan dakwah Islam, para pendakwah harus

mengamalkan beberapa sikap yaitu pertamanya seseorang itu mestilah mempunyai perasaan cinta

dan keikhlasan iman kepada Allah tanpa sebarang keinginan untuk memperolehi sebarang faedah

kebendaan dan keuntungan lain sebagai penghargaan. Keduanya ia hendaklah meneguhkan

amalan Amru bil makruf dengan cara mengajak manusia supaya melakukan perkara kebaikan dan

melarang daripada kemungkaran. Ketiganya ia hendaklah menjadi contoh atau model seorang

muslim sejati kepada muslim yang lain. Keempat ia hendaklah berbangga menjadi seorang

muslim dan apa yang diserunya. Jika ia mempunyai nilai pemikiran seumpama itu,maka tidak

diragukan lagi bahawa dia akan berjaya di dalam perjuangan yang suci ini.Al-Nadwi berpendapat

bahawa jalan yang paling selamat dalam mendidik umat Islam ialah kembali beriman kepada

Alllah sebagaimana Rasulullah dahulu telah melaksanakannya dengan begitu berkesan.

Kemungkaran dan kerosakan adalah berpunca dari keengganan manusia untuk kembali kepada

penawar dan rawatan nubuwwah. Hanya dengan kembali kepada bentuk didikan di atas sahajalah

8

Page 9: Abu Hassan Ali al Nadwi

manusia masa kini dapat diselamatkan sebagaimana manusia pada zaman dahulu diselamatkan

oleh Rasulullah. Oleh itu, beliau menyarankan umat Islam kembali kepada acuan madrasah

kerasulan.

Dalam menghadapi pengaruh barat di dunia Islam al-Nadwi mengakui peranan yang

dimainkan oleh tokoh Jemaah al-Islamiyyah Pakistan Abu Ala al-Maududi dan pemimpin Ikhwan

al-Muslimun di Mesir dalam mengkritik pemikiran barat dan menyorot kelemahan-kelemahannya

dari segi ilmiah dan agama. Al-Nadwi menjelaskan kegagalan agama Kristian dalam

membendung arus kebendaan di barat. Beliau menyebut bahawa agama Kristian telah kehilangan

pengaruhnya ke atas dunia barat dan kekosongan itu diambil alih oleh faham kebendaan semata-

mata, namun agama Kristian gagal mengetengahkan seorangpun yang dapat menentang kekejian

faham kebendaan, membimbing dunia barat kembali kepada asas-asas agama sebenar,

memulihkan keyakinan terhadap agama Kristian yang asli dan mempertahankan nilai-nilai akhlak

daripada fahaman kebendaan dan norma-norma pemuasan hawa nafsu yang wujud dalam budaya

sekarang. Dunia barat telah gagal menghadapi cabaran-cabaran moden dan gagal menemui

penyelesaian terhadap masalah-masalah semasa melalui pandangan agama terhadap kehidupan

dunia ini. Sebaliknya barat telah berputus asa dengan agama Kristian sama sekali. Barat telah

gagal dalam pembinaan insan walaupun mereka berjaya dalam teknologi kini sehingga mampu

terbang di udara seperti burung dan berenang seperti ikan di dalam lautan. Tetapi mereka gagal

bagaimana hendak berjalan di atas dunia ini. Perkara ini disebabkan akal dan jiwa mereka kosong

daripada kerohanian. Mereka muflis dalam pembinaan dalaman diri. Secara ringkasnya, al-Nadwi

memainkan peranan penting dalam menangkis salah faham pemikiran barat terhadap Islam dan

menyarankan umat Islam tidak merasa naif berhadapan dengan barat. Beliau menyebutkan

kemunduran umat Islam bukan sahaja merugikan umat Islam sendiri tetapi dunia keseluruhannya

kata-katanya dalam buku Tarshid al-Sahwah al-Islamiyyah iaitu :

“ Menjadi kewajiban kita menyemarakkan perasaan kepentingan jihad mengikut perspektif al-

Quran.Sesungguhnya revolusi Iman yang membezakan umat ini dengan umat yang lain yang

telahmelahirkan tokoh dan pejuang sepanjang zaman. Pengabaian umat terhadap kepentingan

jihad dan revolusi ini merupakan satu kerugian yang besar, kekosongan yang tidak dapat

digantidengan keluasan ilmu dan ketinggian akal dan tamadun.”

9

Page 10: Abu Hassan Ali al Nadwi

Faktor Yang Membentuk Keperibadian Al-Nadwi

Peranan Keluarga

Faktor utama yang membentuk jiwanya ialah didikan ibunya yang sentiasa memberi

perhatian mengenai didikan agama yang bernama Khairunnisa’.Sementara bapanya seorang yang

berpegang kuat kepada ajaran agama.Keluarganya adalah keluarga yang cintakan agama dan ilmu

serta menjadi pengarang buku.Ini termasuk peranan abangnya Dr. Abu ‘Ali al-Hasani

yangmendidiknya sejak kecil.

Peranan Darul Ulum, Nadwatul Ulama

Faktor kedua ialah peranan Darul Ulum yang mendidiknya terutama dalam kesusasteraan

Arab dan kesusasteraan Urdu. Dari sini beliau menelaah kitab-kitab besar dalam kedua-dua

bahasa tersebut. Pada masa ini juga, bakat menulis dan mengarang serta pidato semakin

berkembang

Peranan Syair Iqbal

al-Nadwi begitu kagum dengan syair Iqbal terutama mengenai tema kecintaan dan

keimanan.Begitu juga pertemuan beliau dengan Iqbal yang memberi kesan dalam

pembentukanperibadinya sehingga beliau mengarang buku riwayat hidup Iqbal dan syair-

syairnya yang berjudul Rawa’i’ Iqbal.

Kesan al-Quran dan Sirah Nabi.

Minatnya yang mendalam terhadap al-Quran dan sirah nabi telah memberi kesan yang

besar dalam jiwannya sejak kecil lagi. Beliau belajar al-Quran dengan berguru kepada Ahmad Ali

al-Lahori. Beliau juga merupakan guru tafsir al-Quran semasa mula berkhidmat di Darul Ulum.

Di samping itu, beliau juga menerbitkan buku mengenai al-Quran dan ulum al-Quran. Al-

Nadwi sejak kecil lagi juga berminat membaca buku kisah nabi-nabi dan beliau sendiri mengakui

terpengaruh dengan buku Rahmatan lil ‘Alamin karangan Sulayman al-Mansurpuri yang

10

Page 11: Abu Hassan Ali al Nadwi

dibacanya dalam usia 10 tahun.Akhirnya beliau juga mengarang buku sirah al-Nabawiyyah

(sejarah nabi) dan buku yang berkaitan dengan subjek ini.

Hubungan dengan ahli Rabbani dan ahli Sufi.

Antara keistemewaan al-Nadwi dan keluarganya ialah hubungannya dengan ulamak-

ulama rabbani yang mendidik jiwa manusia. Pendidikan ini amat penting dalam membentuk jiwa

manusia. Al-Nadwi juga mengarang buku yang menceritakan kepentingan kejiwaan yang

berjudul Rabbaniah la Rahbaniah. Al-Nadwi sendiri mendapat didikan kerohanian daripada

Abdul Qadir al-Rayfuri dan Muhammad Ilyas al-Kandahlawi.

Kesan Subjek Sejarah dan Sains Kemanusiaan.

Al-Nadwi juga terkenal sebagai seorang yang minat dan pakar dalam bidang sejarah dan

sains kemanusiaan. Tambahan pula, penguasaan yang mendalam dalam bahasa Inggeris

menyebabkan beliau sentiasa terkehadapan dalam menyatakan isu-isu tersebut. Beliau sentiasa

optimis dengan tamadun Islam yang akan memimpin dunia.

Al-Nadwi dan Manhaj Dakwah

Menurut al-Nadwi manusia sekarang ini memerlukan kepada dakwah dan kebangkitan

Islam. Keperluan manusia kepada dakwah islam tidak kurang pentingnya sepertimana keperluan

mereka kepada makanan, air dan udara. Ketiadaan dakwah bukan sahaja membahayakan

masyarakat Islam tetapi juga masyarakat dunia keseluruhannya. Tanpa dakwah Islam seolah-olah

manusia berada seperti sekelompok kambing-kambing yang tidak ada penjaganya atau kapal

yang tidak ada nakhoda.Zaman ini memerlukan kepada kebangkitan Islam lebih daripada zaman-

zaman terdahulu kerana zaman ini penuh dengan gejala syahwat dan syubahat. Zaman yang

penuh dengan falsafah dan ideologi asing. Oleh itu, dakwah dan kebangkitan Islam menjadi

keperluan bagi setiap negara Islam.

11

Page 12: Abu Hassan Ali al Nadwi

Al-Nadwi telah menggariskan manhaj dakwah yaitu :

1. Kebangkitan dakwah itu hendaklah bertepatan dengan akidah yang berteraskan al-Quran

danSunnah, amalan Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, para ahli ilmu dan akidah dari

kalangan orang muslim.

2. Pembinaan generasi muda yang mendalami ilmu agama dan pembentukan orientasi

pemikiran yang soleh dan mantap yang menyinari hati-hati mereka. Generasi ini

hendaklah mempunyai hubungan kuat antara iman yang mendalam dengan amalan-

amalan dengan al-Quran, sirah nabi, sejarah Islah dan tajdid yang dapat membimbing

mereka ke arah kepimpinan berwibawa. Dakwah itu hendaklah berkaitan dengan isu-isu

masyarakat semasa, gerakan islam dan aliran-aliran yang bersifat aktif dan pendirian

Islam mengenainya serta kesannya dalam kehidupan.

3. Tidak terlalu negatif terhadap pemerintah dan berjuang pada bukan musuh. Adalah

menjadi kewajipan bagi pendakwah sentiasa bersikap positif dari negatif dan menyeru

mereka memelihara agama Islam dan melaksanakan sisten Islam daripada kita menduduki

tempat tersebut.

4. Pemimpin kebnagkitan Islam dan pendakwah hendaklah bersifat sederhana, zuhud,

bersyukur dan bertawakkal dalam lingkungan syariah sepertimana yang dilakukan oleh

salafus soleh. Kebanyakan juru islah ummah terdiri daripada mereka yang zuhud.

5. Hendaklah mengikat pendakwah dengan semangat berkorban dan kepahlawanan.Jika

sekira semangat ini tidak wujud dalam diri pendakwah nescaya membahayakan dakwah

yang sahih dan kebangkitan Islam. Perkara utama yang sering disuarakan al-Nadwi ialah

sifat pendakwah rabbani. Menurutnya, pendakwah rabbani ini telah berjaya

menyampaikan dakwah dengan baik dan melindungi masyarakat dari kebejatan makhlak

dan moral. Dalam menguatkan hujahnya beliau membawa contoh dakwah yang dilakukan

oleh ahli-ahli rabbani seperti Abdul Qadir Jailani, Jamaluddin, Ahmad al-Sirhindi dan

lain-lain. Menurut al-Nadwi bahawa kekuatan rohani dapat menambahkan semangat

12

Page 13: Abu Hassan Ali al Nadwi

kepahlawanan dan perjuangan. Dalam sejarah Islam, pejuang-pejuang Islam adalah terdiri

daripada orang-orang yang jiwanya bersih dan terdidik dengan ibadah dan menikmati

kedudukan rohani yang luhur. Malahan terminal terakhir dalam perjalanan rohaniah ialah

kecintaan untuk gugur syahid. Oleh itu, sifat pendakwah yang utama ialah mempunyai

tahap kerohanian yang tinggi. Sebagai contohnya Amir Abdul Qadir al-Jaza’iri seorang

ahli sufi dan panglima perang. Shakib Arsalam menceritakan kehidupannya : “ setiap hari

dia bangun dan melakukan solat subuh di masjid dekat rumahnya. Tidak pernah

meninggalkannya kecuali jika ia sakit. Dia sering melakukan solat tahajjud dan pada

bulan Ramadhan secara rutin melakukan latihan tarikat sufi. Dia tetap menjadi teladan

dalam kebaikan, takwa dan akhlak yang mulia hingga wafat pada tahun 1883M”.

Al-Nadwi menggunakan manhaj dakwah dengan berteraskan kepada al-Quran kemudian

hadith dan sirah serta kisah-kisah para sahabat. Ini jelas terbukti dalam bukunya Rawa’i min adab

al-da’wah yang mana beliau mengambil contoh-contoh dakwah para nabi-nabi yang bersumberan

al-Quran dan al-Hadith.Di samping itu, beliau mengakui manhaj itu mungkin berbeda dari satu

tempat dari satu tempat yang lain kerama dakwah mesilah mengambil masalah lingkungan ,

sausana dan persekitaran. Oleh itu, dakwah yang berkesan ialah dakwah yang mengambilkira

realiti yang ada. Di samping itu, pendekatan hikmah dan bijaksana perlu diberi perhatian.al-

Nadwi juga menyarankan memahami al-Quran dengan mendalam, sejarah dakwah dan tokoh-

tokoh dakwah serta adab-adab Islam. Kebanyakan bidang tersebut telah ditulisnya untuk

penyediaan kepada para pendakwah.

Yusuf al-Qardhawi menjelaskan keistimewaan dakwah al-Nadwi iaitu :

1. Allah telah memberikannya akal dan hikmah yang dapat melahirkan kalimah-kalimah

yang tepat pada tempat dan masa. Bertegas pada tempat yang memerlukannya dan

berlembut pada tempat yang memerlukannya. Ini yang saya kenali sejak beliau muda

sehinggalah kini.

2. Memiliki ilmu yang luas yang diperlukan oleh seseorang pendakwah sepertimana yang

saya sebut enam perkara ilmu dalam buku saya Thaqafah al-Da’iyyah iaitu ilmu agama,

bahasa, kemanusiaan, Sains dan Semasa.

13

Page 14: Abu Hassan Ali al Nadwi

3. Al-Nadwi memilki bakat kesusasteraan yang tinggi. Perkara ini dapat dilihat dalam buku-

buku tulisan dan surat-suratnya. Beliau dibesarkan dalam sausana bahasa Arab sejak kecil

4. Al-Nadwi memiliki jiwa yang hidup dan hati yang sentiasa terikat dengan Allah, rasul dan

agama yang suci ini. Perkataan yang keluar dari hati yang bersih akan memberi kesan

yang besar kepada jiwa seseorang.

5. Al-Nadwi memiliki akhlak dan peribadi yang mulia. Antara akhlaknya ialah lemah

lembut, toleransi, berani, sabar, adil dan jauh dari sifat sombong dan takabur.

6. Al-Nadwi berpegang kepada akidah yang betul iaitu akidah ahli Sunnah wa Jamaah yang

jauh dari perkara syirik, khurafat dan bid’ah yang berleluasa di India.Ini disebabkan

beliau mendapat didikan di madrasah Deoband dan Nadwatul Ulama

Kesimpulannya khazanah pemikiran al-Nadwi haruslah digali oleh generasi kini sebagai

satu panduan untuk kita berkhidmat dalam medan dakwah. Al-Nadwi pernah menyebutkan

kepada murid-muridnya bahawa beliau menulis buku-buku bukan untuk generasinya tetapi

adalah untuk generasi kamu dan seterusnya, bukan untuk tujuan peribadinya tetapi untuk ditatap

oleh generasi seterusnya sebagai bekalan dalam menjalani kehidupan atas muka bumi ini.

14