43
Actus Reus 1. Elemen-Elemen dari Tindakan Kriminal Penjelasan Umum Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal tidaklah digunakan untuk menghukum orang karena pikiran jahat mereka; tertuduh haruslah sudah terbukti kalau mereka melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum sebelum pertanggungjawaban bisa muncul. Akan adanya petanggungjawaban atau tidak, semuanya akan tergantung dari kondisi kejiwaan pada waktu itu; umumnya factor niat atau kenekatanlah yang diperlukan. Sebuah pepatah latin yang dinyatakan oleh Edward Coke sudah merumuskan semua ini - actus non facit reum, nisi mens sit rea tindakan itu sendiri tidak berarti salah, kecuali dilakukan dengan rasa bersalah. Tindakan yang dianggap melanggar hukum itu adalah actus reus dan keadaan jiwa (perasaan bersalah) tertuduh yang haruslah dibuktikan dialami oleh tertuduh dikala ia melakukan tindakan tersebut (kriminal/actus reus) adalan mens rea. Perlu diingat kalau 2 istilah ini 1

Actus Reus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Daftar Pustaka : Criminal Law

Citation preview

Page 1: Actus Reus

Actus Reus

1. Elemen-Elemen dari Tindakan Kriminal

Penjelasan Umum

Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal tidaklah digunakan untuk

menghukum orang karena pikiran jahat mereka; tertuduh haruslah sudah terbukti

kalau mereka melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum sebelum

pertanggungjawaban bisa muncul. Akan adanya petanggungjawaban atau tidak,

semuanya akan tergantung dari kondisi kejiwaan pada waktu itu; umumnya factor

niat atau kenekatanlah yang diperlukan. Sebuah pepatah latin yang dinyatakan oleh

Edward Coke sudah merumuskan semua ini - actus non facit reum, nisi mens sit rea

– tindakan itu sendiri tidak berarti salah, kecuali dilakukan dengan rasa bersalah.

Tindakan yang dianggap melanggar hukum itu adalah actus reus dan keadaan jiwa

(perasaan bersalah) tertuduh yang haruslah dibuktikan dialami oleh tertuduh dikala ia

melakukan tindakan tersebut (kriminal/actus reus) adalan mens rea. Perlu diingat

kalau 2 istilah ini hanyalah label praktis yang digunakan untuk menunjukkan unsur

dari kriminalitas yang dianalisa. 2 kata tersebu tidak berarti apa-apa bila hanya

sendiri. Pengertian dan arti dari Actus Reus dan Mens Rea juga akan berbeda-beda

pada setiap tindakan kriminal yang ada.

Penting untunk diketahui saat menganalisa Mens Rea dari kejahatan bahwa

istilah ini tidak bersifat pasti dalam menentukan. Meskipun kata bijak latin ini

berguna, kata tersebut bukanlah kebenaran yang mutlak. Ada banyak sekali tindakan

pelanggaran yang pada umumnya bersifat ringan dan berkenaan dengan peraturan

1

Page 2: Actus Reus

yangtidak membutuhkan Mens Rea. Hal ini disebut strict liability offences yang

dibuat berdasarkan undang-undang (liat di bagian 4.2 post). Pada kasus-kasus seperti

ini, Mens Rea tidaklah diperlukan selama setidaknya, ada satu elemen dari Actus

Reus.

Penggunaan istilah latin Actus Reus dan Mens Rea menuai kritikan. Lord

Diplock (Miler (1983) 2 AC 161, 174) menyatakan bahwa:

“Klaritas dari analisa mengenai elemen-elemen dari suatu tindakan criminal

akan lebih kondusif apabila kita menghindari penggunaan bahasa latin yang

sembarangan. Alangkah lebih baik apabila kita berpikir dan berbicara mengenai

pemeriksaan keadaan jiwa dari pelaku tindak kejahatan pada saat ia melakukannya,

daripada berbicara mengenai actus reus dan mens rea” (parafrase)

Meskipun hampir semua kejahatan dapat dianalisa dengan menggunakan

istilah Actus Reus dan Mens Rea, ada beberapa jenis kejahatan dimana konsep

tersebut melebur. Ada juga tindak kejahatan dimana Actus Reus hanya bisa

dibuktikan dengan membuktikan Mens Rea. Contoh: seksi 1 (1) dari Prevention of

Crime Act 1953 menyatakan kalau seseorang dianggap melanggar hukum apabila ia

memiliki senjata mematikan tanpa memiliki wewenang dan alasan yang masuk akal.

Seksi 1 (4) mendefinisikan “senjata mematikan” sebagai alat apapun yang dapat

menyebabkan kerusakan/kematian terhadap manusia ; atau yang digunakan oleh

orang yang membawanya untuk tujuan tersebut. Contoh: apabila tertuduh membawa

gagang kampak ke area umum, isu mengenai apakah tindakan tersebut dapat

dianggap sebagai Actus Reus tergantung dari niat sang tertuduh saat itu karena alat

tersebut tidak memenuhi 2 kriteria yang ada (dibuat/digunakan untuk tujuan

melukai). Apabila tidak ada tujuan untuk melukai, alat tersebut ini tidak bisa

2

Page 3: Actus Reus

dikategorikan sebagai senjata mematikan dan maka dari itu tidak dapat dikategorikan

sebagai Actus Reus. Pada contoh lain, Actus Reus merujuk ke elemen kejiwaan.

Contoh, apabila tertuduh didakwa memiliki obat terlarang seperti heroin atau kanabis

yang berlawanan dengan seksi 5 dari Misuse of Drugs Act 1971, membuktikan

bahwa tertuduh tahu ia memiliki narkoba tersebut adalah suatu keharusan, meskiun

ia mungkin tidak tahu sifat dasar dari narkoba tersebut (lihat DPP vs. Brooks (1974)

AC 862; Boyese (1982) AC 768); memiliki sesuatu tanpa mengetahui

adanya/eksisnya barang tersebut adalah suatu hal yang tidak mungkin, maka tidak

adanya elemen kejiwaan tersebut (yaitu “mengetahui”) berarti tidak ada Actus Reus.

Pembelaan

Sejauh ini, kita mengetahui bahwa penuntutan dapat membuktikan tertuduh

melakukan tindak kriminal apabila kita dapat membuktikan adanya Actus Reus dari

sang tertuduh disertai dengan Mens Rea yang tepat. Hal ini mengabaikan fakta

bahwa tertuduh dapat menghindari hukuman dengan mengandalkan

pembenaran/justifikasi atau alasan tertentu. Apakah pembenaran dan alasan tersebut

yang lebih dikenal sebagai Pembelaan dapat membentuk jadi suatu definisi tindakan

criminal ataukah malah berada di luar definisi tersebut? Glanville Williams

menyatakan di Criminal Law: The General Part (2nd Edition, 1961) mengexpresikan

pendapatnya bahwa semua elemen dari tindakan kriminalitas adalah antara Actus

Reus atau Mens Rea dengan menyatakan:

“Actus Reus merangkum bukan saja hanya situasi objektif yang harus

dibuktikan dalam penuntutan, tetapi juga meliput absennya suatu pembenaran dan

alasan, entah pembenaran atau alasan tersebut dinyatakan di undang-undang yang

3

Page 4: Actus Reus

menyebabkan tindakan criminal attau diimplikasikan oleh pengadilan sesuai dengan

prinsip-prinsip umum”

Pandangan lain telah dinyatakan oleh D.J. Lanham di Larsonneur Revisited

(1976) Crim LR 276, bahwa tindakan criminal terdiri dari 3 elemen, yaitu: Actus

Reus, Mens Rea, dan (elemen negatif) absennya pembelaan diri yang valid.

Pandangan mana yang benar tidaklah penting; boleh dibilang kedua pandangan benar

sebagian apabila suatu garis yang membedakan antara pembelaan diri dan alasan

dapat ditarik. A.T.H. Smith, “On Actus Reus and Mens Rea” yang terdapat di

Reshaping the Criminal Law (ed. Glazebrook, 1978) menyatakan pada halaman 99

bahwa:

“yang membedakan adalah kita memberikan ampun kepada sang pelaku

karena ia memiliki “alasan”, sehingga ia tidak sepenuhnya berdosa atau bersalah

dalam tindakannya, sedangkan kita mempertimbangkan suatu tindakan yang

“dibenarkan” (pembenaran) apabilakita menganggap tindakan tersebut pantas untuk

dilakukan pada situasi tertentu meskipun tindakan tersebut dapat membahayakan,

sehingga tanpa pembenaran yang tepat, dapat dianggap sebagai tindakan kriminal”

Contoh dari Pembenaran adalah pembelaan diri sendiri. Apabila, sebagai

contoh, D dituduh melukai V yang berlawanan dengan seksi 20 dari Offences

Against the Person Act 1861, D bisa mengakui bahwa ia memang melukai V dan

memang berniat untuk melakukan itu, tetapi D tidak akan dihukum apabila ia

melukai V untuk membela dirinya ketika ia diserang dengan niat membunuh oleh V.

Hal ini akan dianggap tidak melanggar hukum dan dibenarkan sebagai “bela diri”.

Karena tindakan melukai tersebut tidak dianggap melanggar hukum, dapat dibilang

bahwa tidak ada Actus Reus pada kasus ini; D hanya melukai V dikarenakan situasi

4

Page 5: Actus Reus

tersebut membenarkan tindakan D (lihat 6.5.3.2 post). Lain halnya apabila D melukai

V karena diinstruksikan oleh X yang menyandera istri D dan mengancam D kalau ia

akan membunuh istrinya kalu ia tidak melukai V. Dalam situasi ini, D tidak memiliki

pembenaran dalam aksinya melukai V, namun D dapat membela dirinya karena ia

diancam, dan dengan itu, ia dapat diampuni dari hukuman.

2. Kelakuan (conduct) haruslah dengan Sengaja

D sedang berkendara dan tiba-tiba ia mengalami sakit jantung sehingga ia

tidak bisa mengontrol mobilnya. Ia hanya bisa terhenyak dan kakinya terus

menginjak gas dan menembus lampu merah sehingga ia menabrak mobil E yang

berhenti di tengah zebra cross. Mobil E terdorong sehingga menabrak V dan

mencederainya. D dituduh tidak mengindahkan lampu merah, menyetir dengan

berbahaya dan menyebabkan kerusakan pada mobil E. E dituduh tidak

mengindahkan pejalan kaki dan mencederai V. Namun bisakah mereka dihukum dan

apakah mereka memiliki Actus Reus dalam kasus ini?

Meskipun Actus Reus dari suatu tindakan criminal membutuhkan kelakuan

atau tindakan dari si pelaku, bila hal ini tidak dilakukan dengan sengaja, tertuduh

tidak dapat dikenakan sangsi. Mereka hanya bisa dihukum apabila tindakan mereka

dilakukan dengan sengaja; tidak cukup dari apa yang mereka lakukan secara fisik

saja. Bratty v A-G for Northern Ireland (1963) AC 386 (at p. 409) Lord Denning

menyatakan: “tindakan yang disengaja sangatlah penting dalam segala macam

tindakan criminal, tidak hanya pembunuhan saja”. Pada tindakan criminal yang

membutuhkan Mens Rea, apabila tidak disengaja, maka tertuduh tidak akan memiliki

Mens Rea. Sekalipun tindakan criminal yang ada sangatlah terlarang dan tidak

5

Page 6: Actus Reus

membutuhkan Mens Rea, factor sengaja atau tidak dari tertuduh tetaplah penting.

Menghukum orang yang tidak melakukan tindakan criminal dengan sengaja

bukanlah hal yang adil.

Pada contoh diatas, melanggar lampu merah adalah tindakan criminal yang

jelas, tidak perlu dibuktikan lagi bahwa D melihat lampu merah menyala dan

memutuskan untuk tetap jalan, cukup dibuktikan bahwa D mengendarai mobil

tersebut. Namun ia tidak melakukannya dengan sengaja karena ia sedang terkena

serangan jatung dan tidak dapat berbuat apapun, sehingga tidak ada Actus Reus.

Tuduhan menyetir sembarangan juga akan lepas. Apabila D sadar akan gejala-gejala

saat terkena serangan jantung namun tetap menyetir, ia mungkin bisa dihukum,

apalagi apabila ia sudah tahu karena pernah terkena sebelumnya. Pada kasus Kay vs.

Butterworth (1945) 173 LT 191 (lihat juga kasus Hil vs Baxter (1958) 1 QB 277), D

sedang menyetir pulang setelah jam kerja malamnya berakhir ketika ia mengantuk

luar biasa sehingga ia menyetir ke arah pasukan tentara. Ia dituntut karena menyetis

dengan sembarangan dan menyebabkan bahaya. Sudah tahu ia sedang mengantuk,

seharusnya ia berhenti. Humphreys J menyatakan:

“Seseorang yang mendadak kehilangan kesadaran saat menyetir yang bukan

karena salahnya sendiri seperti kena timpuk batu atau sakit seharusnya tidak bersalah

secara hukum”

Dalam Bell (1984) 3 all ER 842, diberikan lagi contoh situasi dimana

seseorang seharusnya tidak akan dihukum karena tidak sengaja dalam berbuat,

seperti yang dinyatakan oleh Goff LJ (pada halaman 846):

“Pengendara kendaraan bermotor yang diserang ketika sedang mengemudi,

semisalnya ia sedang dikerumuni oleh tawon nakal atau penumpang jahat nan

6

Page 7: Actus Reus

sinting, atau ia kehilangan kesadaran karena pingsan, atau mungkin mobilnya

mendadak mengalami kerusakan seperti ban bledos atau rem blong”

Pada contoh yang di atas, E tidak akan dihukum karena ia tidak

mengindahkan pejalan kaki dengan sengaja, karena terdapat dorongan eksternal

terhadap mobilnya yang berada di luar control E (lihat Leicester vs Pearson (1952)

QB 668). Miripnya, ia juga tidak akan dihukum karena mencederai V.

Contoh yang melibatkan D dan Eberbeda dalam satu hal dimana tindakan E

terjadi karena dorongan/campur tangan eksternal. Sebagai contoh lain, A sedang

mengukir ketika Bmeraih tangan A yang sdang memegang pisau dan

menusukkannya ke C sehingga ia tewas. A tidak akan dihukum karena ia tidak

dengan sengaja menusuk C. Di contoh kita sebelumnya D melakukan tindakan secara

fisik ketika ia sedang kehilangan kesadaran. Hal ini disebut sebagai Automatism.

Sebagai contoh, seseorang dapat melakukan tindakan fisik selagi ia sedang gegar

otak atau tidur sambil berjalan, atau ketika sedang kejang-kejang.

3. Tindakan Kriminal berdasarkan keadaan (State of Affairs

offences)

Walau hamper semua tindakan criminal membutuhkan tindakan sengaja dari

tertuduh untuk membuat Actus Reus, terdapat tindakan-tindakan criminal yang

melarang adanya suatu keadaan (state of affairs). Contoh yang diberikan di atas

(seksi 4(2)dari Road Traffic Act1988) dimana dilarang berkemudi apabila tidak

layak karena sedang dibawah pengaruh alcohol dan narkoba. Actus Reus akan ada

7

Page 8: Actus Reus

apabila tertuduh sedang mengemudikan kendaraan saat dalam kondisi tersebut.

Meskipun tertuduh tidak bertanggung jawab atas ketidaklayakannya berkemudi,

semisal minuman ringannya dicampur dengan alcohol tanpa sepengetahuannya, ia

tetap bersalah, meskipun ini bisa menjadi alas an khusus untuk tetap dapat berkemudi

(lihat Shippam (1971) RTR 209; Pugsley vs Hunter (1973) RTR 284).

Kasus Winzar v Chief Constable of Kent, the Times, 28 March 1983. W

dibawa ke rumah sakit dengan tandu. Ia didiagnosa hanya mabuk biasa dan disuruh

pulang. Ia kemudian ditemukan sedang terhenyak di kursi di koridor ketika polisi

dipanggil. Ia dibawa ke jalanan, didaulat mabuk, dan dimasukkan ke mobil polisi. W

dituduh mabuk di jalan raya yang melanggar seksi 12 dari Lisencing Act 1872. The

Divisional Court menganggap kata “ditemukan mabuk” sebagai “dianggap sedang

mabuk” dan menegakkan hukumannya dengan berbasiskan bahwa hal ini dilakukan

untuk mengurus hal-hal yang menganggu dari kasus mabuk di tempat umum;

bagaimana ia bisa ada disana tidaklah penting. Laporan yang ada tidak

mengindikasikan bagaimana W bisa berada di rumah sakit. Kalau ia ditemukan

sedang terkapar di jalanan, maka tidak aka nada keluhan. Namun, keputusan yang

ditarik bersifat sengatlah luas dan dapat dikritisi dari 2 basis. Pertama, dapat dibilang

polisi menemukannya di rumah sakit dan menariknya ke jalan raya sehingga mereka

memiliki izin untuk menangkapnya. Kedua, tidak adanya kata atau kalimat di

undang-undang yang mengekspresikan dibutuhkannya pembuktian bahwa ada faktor

kesengajaan dari tertuduh yang menyebabkan kasus state of affairs, seharusnya ada

kebutuhan factor kesengajaan diimplikasikan dengan berdasarkan bahwa hukum

8

Page 9: Actus Reus

pidana seharusnya dibuat secara ketat untuk mendukung tertuduh (praduga dari

interpretasi kesengajaan lebih condong ke arah pelanggaran disbanding ketaatan).

Keputusan Winzar dapat dibandingkan secara berlawanan dengan Marton v

State 31 Ala. App. 334, 17 So. 2nd 427 (1944) dimana Court of Appeals di Alabama

mencabut hukuman tertuduh mabuk di jalan raya karena bukti bahwa tertuduh

dengan sengaja muncul ke jalan raya diperlukan. Sang tertuduh sedang mbuk

dirumahnya sendiri ketika polisi secara paksa memasuki rumahnya dan

membawanya ke jalan sebelum menangkapnya. Bila situasi factual ini terjadi di

inggris, keputusan di kasus Winzar bisa berbalik 180 derajat. Diharapkan pada kasus

ini pengadilan mempertimbangkan factor kesengajaan dalam melakukan tindakan

criminal state of affair sebelum menjatuhkan hukuman. Seberapa sengaja mereka

dalam melakukan ini tidaklah terlalu penting. Yang penting, kemungkinan terjadinya

kasus state of affairs dapat diduga dari kelakuan tertuduh saat itu. Bila semisalnya

tertuduh mabuk di tempat umum (bar), ada cukup kemungkinan kalau tertuduh dapat

berakhir di jalan raya ketika tempat minumnya tutup, atau ketika ia pergi atau diusir.

Namun apabila ia sedang minum di rumah, kemungkinan ia pergi ke luar tentunya

kecil. Maka, jika Winzar sedang kehilangan kesadaran dan ada orang luar (third

party) yang menelpon ambulans untuk membawanya ke rumah sakit, hal ini tentunya

tidak bisa diduga dengan pasti, kecuali ia sedang minum-minum di luar, meskipun

bagaimana ia bisa berjalan ke jalan raya tentunya tidak bisa diduga saat ia sedang

minum-minum.

9

Page 10: Actus Reus

4. Kegagalan untuk Bertindak

A, mengetahui bahwa B tidak bisa berenang, menyeburkannya ke dalam

kolam renang untuk menengelamkannya. C, perenang yang mendengar teriakan

minta tolong B, mengabaikannya. D, perenang penyelamat yang diperkerjakan oleh

dewan untuk menyelamatkan siapaun yang sedang mengalami kesulitan juga

mengabaikannya. E, ayah dari A juga mengabaikannya, karena ia berpikir inilah saat

bagi anaknya yang cengeng untuk belajar berenang atay tenggelam sekalian. B

tenggelam. Apakan A, C, D, dan E dapat dihukum karena

“manslaughter/pembunuhan secara tidak sengaja? (bisa pembunuhan sengaja atau

tidak, tergantung dari Mens Rea)”. A-lah yang menyebabkan kematian B. C, D, dan

E tidak melakukan apa-apa meskipun mereka tidak berusaha menyelamatkannya.

Bila memang ada pelanggaran hukum di kasus ini, hal ini akan tergantung oleh

kewajiban mereka untuk mencegah kematian B.

Pada umumnya, hukum kasus ini melarang situasi-situasi tertentu untuk

terjadi dan tertuduh dapat dihukum apabila ia tidak melakukan hal/sesuatu sehingga

hal itu akhirnya terjadi. Beberapa tindakan criminal tidak dapat dilakukan dengan

“omission/tidak melakukan apa-apa”, seperti contoh, perampokan atau pencurian. Di

beberapa tindakan, definisi Actus Reusnya dapat dengan jelas terjadi apabila

dilakukan.

Pembunuhan (sengaja atau tidak) dapat dilakukan dengan gagal bertindak.

Pada contoh diatas, D dan E dapat dihukum apabila Mens Rea mereka dapat

dibuktikan sebagaimana pengadilan mengakui kewajiban untuk berindak dibawah

10

Page 11: Actus Reus

kontrak (lihat Pitwood (1902) 19 TLR 37.2.5..2.2.1 post) dan kewajiban sebagai

orang tua untuk menjaga dan menjauhkan buah hati mereka dari bahaya (lihat

Gibbins and Proctor (1918) 13 Cr App R 134, 2.5.2.2.2 post). Masalahnya adalah D

dan E tidak bertanggung jawab atas kematian B dalam arti bagaimana sebab dan

akibat dari kasus itu dimengerti secara umum (lihat 2.6 post). Pengadilan nampaknya

tidak begitu mengurusi prinsip dari sebab dan akibat tindak criminal yang

berhubungan secara langsung dengan kegagalan bertindak. The Law of Comission

pada Draft Criminal Code Bill (Law Com no. 117) secara spesifik menyinggung isu

ini di klause 17(1) yang menyatakan kalau “seseorang menyebabkan sesuatu hasil

ketika ia (b) ia tidak melakukan tindakan yang dapat mencegah terjadinya hasil itu

dan ketika ia secara hukum wajib mencegah hal tersebut terjadi”.

Mengenai C, ia tidaklah wajib menolong B dengan menjadi “orang samaria

yang baik”. Posisi dari Common Law diringkas di Lord Maculay’s Works (ed. Lady

Trevelyean), vol VII, p 497.

Sudah terbukti bahwa menghukum orang yang tidak melakukan apa-apa

dalam menjalankan kewajiban moralnya adalah hal yang absurd. Kita harus

memberikan kebebasan hukum untuk mayoritas luas orang yang gagal melakukan

sesuatu yang secara moral dapat dibilang menjijikkan dan kita harus puas dengan

menghukum mereka yang sudah jelas saja bersalah secara hukum dalam situasi

tertentu”

Walau C tidak menghiraukan B dan gagal dalam bertindak untuk

menolongnya dan bisa dibilang tercela secara moral, kegagalannya bertindak berada

diluar hukum tindakan criminal.

11

Page 12: Actus Reus

Mengklasifikasikan Kegagalan dalam Bertindak

Ada banyak undang-undang yang mengharuskan orang untuk bertindak

dalam situasi tertentu. Individu yang gagal bertindak dalam situasi tertentu tersebut

akan dianggap melanggar hukum. Pelanggaran hukum yang serius pada kasus ini

adalah ketika seseorang tidak memberikan informasi penting dibuat di seksi 18 dari

Prevention of Terrorism (temporary provisions) Act 1989. Bila seseorang memiliki

informasi yang ia ketahui dapat menjadi material yang membantu Inter Alia dalam

mencegah aksi terorisme atau dalam penangkapan, prosekusi, atau penghukuman

teroris, tetapi orang tersebut tidak memberikan info tersebut ke yang berwenang

dalam waktu yang logis, maka ia bersalah secara hukum.

Contoh-contoh diatas adalah hukum yang dibuat untuk menyatakan kalau

gagal dalam bertindak seperti yang di tegakkan oleh undang-undang berarti

melanggar hukum. Di beberapa situasi, kewajiban bertugas yang terlantarkan dapat

dianggap melanggar hukum juga.

Lord Widgery menetapkan bahwa apa yang dibutuhkan dalam pelanggaran

hukum adalah penelantaran tugas secara sengaja, bukan hanya kelalaian dan

penelantaran tersebut haruslah salah dalam arti tanpa alasan atau pembenaran. Ia

menyatakan (di p. 727):

“Elemen dari kelalaian ini tidaklah hanya meliput korupsi atau

ketidakjujuran, tapi harus sampai tahap dimana pelangaran ketidakjujuran itu

menyebabkan kerusakan atau luka sehingga penghukuman dapat dituntut untuk ada.

Bagaimana situasi itu terbukti, semua ditangan juri”

12

Page 13: Actus Reus

a. Kewajiban yang Muncul karena Kontrak

Bila gagal dalam bertindak sesuai kontrak dapat menyebabkan bahaya

mematikan, hukum akan mewajibkan siapa yang berada di bawah kontrak tersbut

untuk bertindak. Kontrak tersebut berlaku juga untuk mereka yang jiwanya dapat

terancam. Pada Pitwood (1902) 19 TLR 37, tertuduh dituntut secara hukum karena

kelalaian fatal yang menyebabkan kematian seorang penyebrang jalan yang tertabrak

kereta di penyebrangan. Tertuduh diperkerjakan oleh perusahaan kereta untuk

mengawasi penyebrangan dan memastikan gerbangnya akan tertutup jika kereta akan

lewat. Pada saat kejadian, tertuduh tidak berada di posnya dan gerbang dibiarkan

terbuka. Kelalaian dia sungguhlah fatal dan pembelaan dirinya bahwa ia tidak secara

kontrak diwajibkan untuk berurusan dengan public dihiraukan karena ia dibayar

untuk meemastikan gerbang itu tutup dan melindungi public.

b. Kewajiban yang Muncul dari Hubungan

Adanya hubungan erat dapat memunculkan kewajiban untuk bertindak.

Secara hukum, sudah secara umum diterima oleh masyarakat (walau yang berwenang

secara langsung hanya sedikit) bahwa orangtua wajib untuk melindungi anaknya dan

suami istri haruslah saling mendukung. (lihat Smith (1979) Crim LR 251, 2.5.2.2.3

post). Pada Gibbins and Proctor (1918) 13 Cr App R 134, seorang pria dan wanita

ditangkap atas tuduhan membunuh anaknya dengan membuatnya mati kelaparan

karena ia tidak diberi makan. Pada kasus ini, sang pria melanggar kewajibannya

terhadap anaknya. Sang wanita, dengan menerima uang untuk membeli bahan

makanan, memiliki kewajiban terhadap anaknya

13

Page 14: Actus Reus

c. Kewajiban yang Muncul dari Asumsi untuk Menjaga Sesama

Bila seseorang mengambil kewajiban untuk menjaga mereka yang tidak bisa

mengurus diri sendiri lagi, seperti bayi atau mereka yang memiliki kelainan jiwa dan

lain-lain, orang tersebut wajib merawat mereka. Di kasus setelahnya, D yang tinggal

bersama tantenya diwajibkan untuk menjaganya ketika ia jatuh sakit dan selama 12

hari sisa hidupnya, kewajiban tersebut tidak dijalankan. Ia tidak memberinya makan

atau pertolongn medis, namun ia tetap tinggal bersama tantenya dan memakan

makanannya. D dituduh melakukan pembunuhan tidak langsung karena ia secara

sengaja tidak menjalankan kewajibannya untuk menjaga tantenya.

Perihal yang menjadi masalah adalah apabila seseorang yang sakit dan tak

mampu mengurus dirinya menolak bantuan dari mereka yang berkewajiban untuk

menjaganya, apakah mereka yang berkewajiban tersebut dapat dilepaskan dari

tanggung jawabnya atau tidak. Contohnya, apabila seseorang ingin mati dan menolak

pertolongan medis, apakah mereka yang bertugas merawatnya bertanggung jawab

untuk mencegah hal tersebut dan harus tetap menolongnya meskipun ia tak mau?

Pada Smith (1979) Crim LR 251, S dituduh melakukan pembunuhan tidak langsung

ketika istrinya meninggal. Istrinya benci dokter dan perawatan medis, dan ia

melarang suaminya meminta pertolongan medis ketika ia melahirkan bayi yang

meninggal di kandungan di rumah. Pada saat akhirnya ia memberikan izin untuk

meminta pertolongan medis, semuanya sudah terlambat dan sang istri meninggal

sebelum dokter datang. Pemeriksaan medis membuktikan bahwa apabila pada

awalnya pertolongan medis diminta, sang istri dapat terselamatkan. Setelah

dirangkum, Griffiths J meminta para juri untuk:

14

Page 15: Actus Reus

“mempertimbangkan keputusan untuk menjalankan keinginan istri dalam

menghindari memanggil dokter terhadap kemampuannya dalam membuat keputusan

rasional. Apabila ia tidaklah terlihat terlalu sakit, maka mengiyakan permohonanya

masih cukup logis. Namun apabila ia terlihat jelas sakit, apapun yang ia katakana

atau tidak dapat diabaikan”

Jadi, apabila seseorang dapat membuat keputusan rasional, ia dapat

membebaskan carer (yang bertugas merawat/menjaga/mengurus) dari

kewajibannya. Dalam kasus ini, juri tidak dapat menyetujui tuntutan pembunuhan

tidak langsung dan akan dibebaskan dari membuat keputusan juri. Permasalahannya

tetap tidak terselesaikan, apakah kewajiban sang penjaga bisa dilepas atau tidak.

d. Kewajiban yang Muncul karena Situasi Berbahaya

Saat seseorang secara tidak sengaja dan tanpa Mens Rea yang cocok

melakukan tindakan yang menyebabkan kejadian berantai yang apabila tidak di ikut-

campuri akan menyebabkan bahaya kepada orang lain atau property, orang tersebut,

ketika ia sadar bahwa ialah penyebab semuanya, ia bertanggung jawab untuk dengan

semampunya berusaha untuk menghentikan atau setidaknya meminimalisir bahaya

dan kerusakan yang mungkin terjadi. Apabila sebelum kejadian ia tahu akan apa

yang telah ia lakukan dan dengan Mens Rea yang cocok ia gagal bertindak, maka ia

dapat dituntut secara hukum. Yang berwenang dalam prinsip ini adalah Miller (1983)

2 AC 161. D, seorang gelandangan yang sedang tertidur di dalam rumah orang,

terbangun ketika ia sadar bahwa kasur yang ditidurinya terbakar oleh rokoknya. Ia

tak berusaha memadamkannya dan malah pindah ke kamar lain sehingga rumah itu

terbakar. D dituduh melakukan pembakaran rumah dengan sengaja yang melanggar

15

Page 16: Actus Reus

seksi 1(1) dan (3) dari Criminal Damage Act 1971. The House of Lords

mengabaikan pembelaan dirinya karena saat D sadar akan apa yang telah ia perbuat,

ia wajib bertindak semampunya untuk mencegah kebakaran tersebut atau

meminimalisir kerusakan property yang berada dalam resiko. Lord Diplock

menyatakan bahwa:

Langkah-langkah yang tertuduh harus lakukan untuk mencegah bahaya yang

ia timbulkan adalah sesuatu yang logis pada situasi seperti itu. Jelas ia tidak

diharapkan mampu memadamkan kebakaran besar; ia cukup menelpon pemadam

kebakaran. Kalau kebakaran kecil, logisnya tertuduh dapat memadamkannya sendiri

dengan seember air atau diinjak dengan sepatunya.

5. Sebab-Akibat (Causation)

Apabila tertuduh dituduh menyebabkan Result Crime, prosekusi harus

mebuktikan bahwa tindakan atau kegagalan bertindak tertuduh menyebabkan

konsekuensi yang dilarang hukum. Contohnya, pada pembunuhan sengaja atau tidak

sengaja/langsung atau tidak langsung, tertuduh harus dibuktikan bahwa ia

membunuh atau gagal bertindak sehingga korbannya mati. Dalam kasus Result

Crime yang liabilitasnya tinggi, sebab dan akibat dapat disusun, meskipun tertuduh

memang tidak berniat, tidak tahu, atau tidak lalai dalam berbuat (lihat Southern

Water Authority v Pegrum and PEgrum (1989) Crim LR 442; National River

Authority V Yorkshire Water Services (1994) Crim LR 451).

Masalah dari sebab dan akibat adalah urusan para juri. Kasus-kasus

bermasalah biasanya adalah pembunuhan. Tami dalam kasus pembunuhan pun,

sebab dan akibat jarang menjadi masalah dan bagaimana korban mati umumnya tidak

16

Page 17: Actus Reus

dipertanyakan. Saat memang ada yang dipermasalahkan, itu adalah tugas hakim

untuk mengarahi para juri dengan ke prinsip legal yang berhubungan dengan sebab

akibat, namun apakah terdapat hubungan kausal antara kelakuan tertuduh dengan

konsekuensi terlarang telah tersusun atau tidak adalah tugas para juri. Biasanya para

juri cukup diarahkan bahwa “sudah hukumnya kalau tindakan tertuduh tidak harus

menjadi satu-satunya penyebab atau bahkan sebab utama dari kematian korban, asal

ada tindakannya (atau kegagalan bertindaknya) sudah memberikan kontribusi yang

besar terhadap hasilnya” (Pagett (1983) 76 Cr App R 279, per Robert Goff LJ)

Kadang, apabila ada masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan sebab

akibat, seperti apakah ada orang ketiga yang menyebabkan putusnya rantai dari

sebab akibat yang ada, ini adalah (per Robert Goff LJ di p. 290):

“…tugas hakim untuk mengarahkan juri dengan sesederhana mungkin yang

sesuai dengan prinsip legal yang ada dan yang harus mereka aplikasikan. Kemudian,

apakah isu-isu factual yang relevan yang dikenal oleh prinsip legal tersebut

mengarah ke konklusi bersalah atau tidaknya tertuduh adalah tugas para juri”

Dalam menyederhanakan sebab akibat untuk juri, hakim dapat menggunakan

2 prinsip dari sebab akibat dimana tertuduh hanya dapat dituntut secara hukum

apabila tindakannya adalah Factual Cause dan Legal Cause dari kematian korban.

Diskusi ini akan terfokuskan di pembunuhan, tapi prinsip yang ada dapat

diaplikasikan ke pelanggaran hukum lainnya yang memiliki masalah dengan sebab

akibat.

17

Page 18: Actus Reus

Factual Causation (Penyebab Faktual)

Tindakan tertuduh haruslah berupa sine qua nom dari konsekuensi terlarang.

Dengan kata lain, konsekuensi tersebut harusnya tidaklah terjadi bila bukan karena

tindakan sang pelaku. Pada White (1910) 2 KB 124, D memberikan racun sianida ke

dalam minuman ibunya dengan tujuan membunuhnya. Kemudian, ibunya meninggal

dengan gelas yang mengandung racun di sebelahnya yang masih tigaperempat penuh.

Pemeriksaan dokter megungkapkan bahwa ia meninggal karena gagal jantung, bukan

karena racun. D tidak dihukum karena ia bukanlah penyebab kematiannya dan tidak

ada Actus Reus disini. Namun ia dituntut secara hukum karena melakukan percobaan

pembunuhan.

Meskipun Factual Causation dapat terbentuk, bukan berarti Legal Causation

akan ikut terbentuk. Contoh, A memperlihatkan iklan lowongan kerja kepada B. B

melamar kerja dan C, sang pemberi lowongan mengundangnya untuk sesi

wawancara. Dalam perjalanan, B diserang D dan terbunuh di taman. Bila A tidak

memperlihatkan iklan tersebut maka ia tidak akan melamar kerja ke C sehingga ia

berjalan melintasi taman dan terbunuh. Tentunya dalam kasus ini, A dan C tidaklah

dianggap sebagai penyebab kematian B secara hukum. Tindakan D lah yang

menyebabkan kematian B.

Legal Causation (Penyebab secara Hukum)

Legal Causation berhubungan erat dengan tanggung jawab dan kesalahan

(culpability). Glanville Williams di Textbook of Criminal Law (2nd ed) menyatakan

(di p. 381) bahwa:

18

Page 19: Actus Reus

“Saat seseorang sudah menjawab pertanyaan sebab akibat, tes lebih lanjutnya

untuk mengetahui apakah penyebab tersebut dikenali secara hukum bukanlah tes

untuk mengetahui sebab akibat, tapi reaksi moral. Pertanyaannya adalah apakah hasil

tes tersebut dapat menjadikan pembela sebagai penyebab. Bila istilah “sebab” harus

dipakai, maka istilah tersebut haruslah dalam arti bertanggung jawab atau dapat

disalahkan, untuk menjadi dasar pertimbangan”

Tindakan yang Melanggar Hukum Tidaklah Harus Menjadi Satu-Satunya

Penyebab

Tindakan tertuduh tidak perlu harus menjadi satu-satunya penyebab atau

penyebab utama dari konsekuensi yang terlarang. Sebab lain dapat

mengkontribusikan ke dalam konsekuensi tersebut atau bahkan korban yang mati itu

sendiri.

a. Tindakan dari Pihak Ketiga

Contoh, jika A dan B menyerang C secara bersamaan, dengan A menusuknya

di paru-paru dan B menusuknya di abdomen, dua-duanya akan dianggap bersalah

atas tuduhan pembunuhan meskipun dua luka tersebut tidak mematikan apabila

hanya salah satu. Namun ada situasi dimana tindakan yang mengalahkan tindakan

sebelumnya dengan mendahului. Contohnya, A meracuni B dengan racun yang

bekerja lambat. Sebelum racun tersebut berkerja, C memenggal kepala B dengan

kampak. Pada situasi ini, C adalah penyebab utama dari kematian B. Namun, A dapat

ditahan atas tuduhan percobaan pembunuhan.

19

Page 20: Actus Reus

b. Tindakan dari Korban

Kelalaian korban sendiri dapat menyebabkan kematiannya sendiri. Contoh,

jika D mengemudi sampai melebihi batas kecepatan saat V yang buta sedang

menyebrang jalan tertabrak olehnya sehingga ia tewas, maka kelalaian V yang

menyebabkan kematiannya sendiri tidaklah penting karena D dapat menghindari

tabrakan apabila ia sadar akan batas kecepatan yang ada (lihat Longbotom (1849) 3

Cox CC 439).

Apabila korban menyebabkan kematiannya sendiri, hal ini dapat disebabkan

oleh tertuduh bila ia mengancam korban dengan kekerasan sehingga ia mati saat

berusaha kabur. Di situasi seperti itu, D akan dianggap hanya menyebabkan luka atau

kematian V, dimana tanggapan V terhadap ancaman kekerasan dari D adalah respon

yang wajar (Williams (1992) 2 All ER 183, 191 per Stuart Smith LJ). Respon dari V

haruslah sebanding dengan ancamannya, yang berarti kelakuannya berada dalam

pandangan kewajaran dan tidak dalam keadaan tidak waras ketika melakukannya

yang menjadi Novus Actus Interveniens, yang konsekuensinya adalah rusaknya

rantai sebab akibat. Dalam mempertimbangkan apakah respon dari V adalah sesuatu

yang dapat diperkirakan terjadi, juri harus mengingat kalau setiap karetistik unik dari

korban dan fakta bahwa dalam derita, orang dapat bertindak tanpa berpikir atau

sengaja

c. Tertuduh Harus Mendapatkan Korbannya Sebagaimana Ia Menemukannya

Tertuduh tidak dapat mengeluh apabila korbannya mudah terluka secara fisik,

seperti apabila ia memiliki tulang yang rapuh atau menderita haemophilia; jika

kematian terjadi dari luka yang seharusnya tidak mematikan untuk orang sehat, hal

20

Page 21: Actus Reus

ini tetap dapat diatributkan terhadap tertuduh. Pada Martin (1832) 5 C & P 128 Parke

J menyatakan bahwa (pada p. 130):

“Telah disebutkan bahwa korban yang meninggal memiliki kesehatan yang

buruk; tapi hal ini bukan berarti tertuduh boleh mempercepat kematiannya dan ia

harus mempertanggungjawabkan tindakannya”

Tertuduh dapat dihukum meskipun ia mungkin tidak menyentuh korban,

hanya menakutinya, yang memperburuk kondisi kesehatan korban sehingga korban

mati. Pada Hayward (1908) 21 Cox CC 692, D sedang terangsang dengan kekerasan

dan seseorang mendengar bahwa ia akan memberikan istrinya “sesuatu” ketika ia

pulang. Saat ia pulang, terjadilah argument dan D mengejar istrinya keluar rumah

dengan ancaman kekerasan. Istrinya kehilangan kesadaran di jalan dan meninggal.

Pemeriksaan dokter mengungkapkan bahwa ia memiliki suatu kondisi dimana

kombinasi, rasa takut, stress, dan kelelahan sudah cukup untuk membunuhnya.

Prinsip kalau tertuduh harus mendapatkan korbannya sebagaimana ia

menemukannya tidak terbatas hanya dari konsekuensi dari kondisi medis atau

fisiologi yang sudah ada; hal ini diperluas lagi dengan meliput juga kondisi kejiwaan

dan kepercayaan dari korban. Di Blaue (1975) 1 WLR 1411, D menusuk seorang

gadis, dan lukanya menembus paru-parunya. Rumah sakit bilang kalau operasi dan

tranfusi darah diperlukan. Ia meninggal karena menolak transfuse darah yang

bertentangan dengan aturan dari kepercayaannya sebagai Jehovah’s Witness.

Pemeriksaan medis mengungkap bahwa kalau ia mau menerimanya ia akan selamat.

Saat membela diri, D berargumen kalau penolakan sang gadis tidaklah masuk akal

dan merusak rantai dari sebab akibat. Pengadilan menolak pembelaan tersebut secara

kategorikal. Lawton LJ menyatakan bahwa (pada p. 1415):

21

Page 22: Actus Reus

“Sudah dari dulu memang hukumnya kalau mereka yang menggunakan

kekerasan terhadap orang lain harus mendapatkan korbannya sebagaimana korban itu

ditemukannya. Dalam penilaian kami ini berarti secara keseluruhan, bukan hanya

secara fisik. Bukan hak sang penyerang untuk berkata bahwa alasan korban untuk

menolak suatu pertolongan karena kepercayaannya tidak masuk akal. Pertanyaannya

adalah apa yang membuatnya meninggal. Jawabannya adalah luka tusuk itu. Fakta

bahwa korban menolak untuk ditolong tidak merusak rantai sebab dan akibat”

Kebutuhan untuk melindungi public dapat direfleksikan terhadap hukuman

untuk tindakan criminal seperti itu seperti pada hukuman untuk pembunuhan tidak

langsung. Di situasi seperti itu, label dari hukuman yang dijatuhkan bersifat hanya

simbolik saja. Namun, simbolisme dapat membantu juga. Kenapa Blaue

diperbolehkan untuk tidak dihukum karena pembunuhan tidak langsung dengan

beralasan bahwa alasan korbannya untuk menolak pertolongan medis itu tidak masuk

akal? Kegagalan bertindak sang korban tidak merusak rantai dari hubungan sebab

akibat yang menyebabkan tindakan Blaue.

d. Kejadian atau Tindakan yang Menghalangi

Antara tindakan awal atau kegagalan bertindak dari tertuduh yang

menyebabkan terjadinya kejadian beruntun yang menghasilkan terjadinya

konsekuensi terlarang, kejadian lain atau suatu tindakan dapat ikut campur yang

menghalangi, Pertanyaannya adalah apakan kejadian atau tindakan tersebut dapat

dianggap sebagai Novus Actus Interviens, yaitu tindakan baru yang memutus

rantai sebab akibat. Ada beberapa situasi dimana diperdebatkan kalau rantai sebab

akibat sudah terputus.

22

Page 23: Actus Reus

Perawatan Medis

Saat tertuduh melukai korban sehingga ia mambutuhan pertolongan medis,

apakah ia dapat dihukum apabila perawatan korban tidak pantas dan layak? Di

Jordan (1956) 40 Cr App R 152, D menusuk V yang kemudian dibawa ke rumah

sakit dimana lukanya dijahi. 8 hari kemudian ia meninggal. D dianggap bersalah

dalam melakukan pembunuhan. Saat membela diri, terdapat bukti baru dimana saat

waktu kematian V, ia mati karena: 1) injeksi Terramycin dilakukan meskipun

sebelumnya ia menunjukkan ketidak mampuan untuk menolerir injeksi tersebut, dan

2) IV yang terlalu penuh dengan cairan sampai paru-parun V penuh dengan air.

Perawatan tersebut dianggap jelas salah dan pengadilan membatalkan tuntutan

karena bila juri mendengar hal ini, mereka tidak akan puas menarik konklusi kalau

korban mati karena ditusuk. Masalahnya adalah tidak ada prinsip yang jelas yang

menyatakan kalau rantai sebab akibat dapat putus karena perawatan medis.

Namun, perawatan yang tidak normal bukan berarti jelas salah.

Di Smith (1959) 2 QB 35 D, seorang tentara menusuk V 2 kali dengan

bayonet saat bertengkar di barak. Seorang tentara lain yang membawa V ke ruang

medis menjatuhkannya 2 kali. Staf medis berada di bawah tekanan besar karena ada

banyak yang terluka. Mereka tidak menyadari kalau lukanya menusuk paru-parunya

sehingga terjadi pendarahan dan memberikan perawatan yang dideskripsikan oleh D

di pengadilan sebagai perawatan yang luar biasa salah dan mungkin juga

mempengaruhi kemungkinan ia pulih. V meninggal dan D dihukum karena

melakukan pembunuhan. Saat naik banding pengacara D berusaha berargumentasi

kalau perawatan mereka tidaklah normal dan mempengaruhi kemungkian pulih V

23

Page 24: Actus Reus

dan kematiannya bukan karena lukanya. Pembelaan tersebut diabaikan/ditolak

dengan Lord Parker CJ menyatakan (di p. 42-43):

“Bila pada saat itu lukanya adalah penyebab utamanya, maka sebab kematian

dapat dengan logis dianggap sebagai hasil dari luka tersebut meskipun ada sebab

kematian lain yang juga bekerja. Hanya bila luka tersebut hanyalah tempat dimana

terjadilah sebab kematian yang lain, dapat dikatakan kalau kematian tidak

disebabkan oleh luka tersebut. Dengan kata lain, apabila ada penyebab kedua yang

sangatbesar sekali sehingga penyebab pertama kalah dapat dikatakan kematiannya

terjadi bukan dari luka tersebut.”

Karena perawatan medisnya lalai dan luka tersebut tetap bekerja, dapat

dikatakan pelaku yang menyebabkan luka dan dokter yang menangani lukanya lah

yang menyebabkan kematian. Namun, dalam kasus seperti itu, kemungkinan dokter

dituntut atas pembunuhan tak langsung sangatlah kecil. Lain halnya bila luka

tersebut sembuh dan perawatan yang lalai menyebabkan kematian, dimana dokter

bisa dituntut secata hukum.

Hanya pada kasus-kasus langka saja dimana perawatan positif dalam arti

operasi atau pemberian obat yang datang setelahnya, kelalaian dapat dianggap

sebagai penyebab kematian independen yang membuat tindakan tertuduh menjadi

tidak penting. Contohnya mungkin adalah ketika V diberikan racun yang dikira obat,

atau V terus menerus diberikan obat dalam jumlah besar sehingga overdosis, atau

pemberian obat yang V terlihat tidak cocok secara terus menerus, atau operasi yang

sebenarnya tidak diperlukan sehingga ia meninggal. Namun, bila karena salah

diagnose perawatan yang seharusnya efektif tidak diberikan dan V mati, kematiannya

tetap dapat dihubungkan dengan tindakan awal D. Situasi juga tidak berubah bila D

24

Page 25: Actus Reus

menolak perawatan medis atau perawatan medis tidaklah tersedia. Apabila ada

kelalaian dalam perawatan V seperti semisalnya dokter mengoperasi V untuk

menyelamatkan nyawanya dan dokter membuat kesalahan sehingga V meninggal,

tindakan D akan tetap dianggap penyebab kematian dan segalanya tidaklah luar biasa

dan dapat diperkirakan; operasi tersebut adalah hasil langsung dari perbuatan D

melukai V dan maka, masih berhubungan dengan tindakan D. Yang penting tindakan

tertuduh itu menyebabkan kematian korban secara signifikan atau tidak, perawatan

medis yang lalai atau salah tidaklah penting (lihat Mellor (1996) 2 Cr App R 245).

Bila hasil dari perbuatan D membuat V tidak bisa mendapatkan perawatan

yang ia perlukan (dalam kasus ini, duodenal ulcer) dan ia mati karena tidak mendapat

perawatan yang ia perlukan, tindakan D tetap adalah penyebab tama kematiannya,

kecuali apabila kondisi yang dimiliki V sangat luar biasa dan tidak umum (lihat

McKechnie (1992) 94 Cr App R 51). Masalah yang mulai muncul karena

perkembangan teknologi medis adalah korban yang lukanya serius sehingga butuh

alat life-support. Jika alat tersebut dimatikan dokter yang merawat korban, siapa

yang akan dianggap menyebabkan kematiannya? Masalah ini timbul karena 2

pembelaan untuk naik banding yang terdengar di pengadilan naik banding:

Malcherek and Steel (1981) 1 WLR 690. 2 pengaju naik banding tersebut

menyebabkan luka serius pada masing-masing korbannya sehingga mereka

mambutuhkan alat life-support. Setelah pemeriksaan dokter lebih lanjut

dikonklusikan bahwa korbannya mati otak, mereka mematikan mesin life

supportnya, dimana korban berhenti bernafas, jantung mereka berhenti berdetak, dan

darah mereka berhenti mengalir, dan akhirnya “mati konvensional” terjadi.

25

Page 26: Actus Reus

Pengadilan naik banding menegakkan hukuman pembunuhan, dengan Lord Lane CJ

menyatakan (di p. 696):

“Tidak ada bukti pada kasus ini bahwa pada saat kematian mereka ketika

mesin life supportnya dicabut, bahwa luka awal dari korban adalah sesuatu selain

dari penyebab utama yang bekerja dalam menyebabkan kematian korban”

Walau isu apakah dokter bersalah juga dalam menyebabkan kematian pasien

itu tidaklah penting, pengadilan memang menyatakan Obiter kalau mereka

manganggap saran dari pengacara itu aneh. Keputusan ini benar karena hidup mereka

hanyalah secara artifisial karena hidup mereka sebenarnya sudah berakhir akibat luka

awal mereka.

Kejadian Alamiah

Bila D membuat V pingsan dan meninggalkannya di pantai ketika air pasang,

tenggelamnya V akan diatributkan kepada D. Di siuasi ini, luka awalnya memang

tidak mematikan, namun kejadian selanjutnya dapat dengan logis diperkirakan akan

terjadi. Lain halnya apabila D membuat V pingsan dan meninggalkannya di gedung

yang kemudian diledakkan dengan bom teroris, kematian V tidak akan diatributkan

ke D karena normalnya, situasi seperti ini tak bisa diperkirakan akan terjadi.

26