Upload
elly-indrayani
View
489
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
A. Pendahuluan
Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Ulama hadits Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan itu dikenal di kalangan ulama hadits, seperti tersebut dalam kitab-kitab musthalah al-hadits. Bahkan, kriteria buatan Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama. Itu sebabnya hadits riwayat kedua ulama tersebut dipandang sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih).
Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmu-ilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadits palsu.
Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.
Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.
Metoda tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Sunni itu menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadits-hadits palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid. Karena itu, kaum Rafidhah menetapkan tiga kriteria penerimaan riwayat, seperti dijelaskan ibn Taymiyah berikut ini:
1. Perawi hadits Rafidhah harus ma'shum. Maksudnya, harus imam yang ma'shum.2. Perawi hadits tidak perlu menyebutkan sanad atau silsilah periwayatan. Tetapi ia cukup
berkata, "Rasulullah bersabda," tanpa menyebutkan sanad atau dari siapa dan dari siapa.3. Kesepakatan turun-temurun dari para Imam yang Dua belas. Menurut kaum Rafidhah,
apa saja yang diriwayatkan oleh salah seorang dari imam yang Dua belas, bukan keseluruhan mereka, itu sudah merupakan kesepakatan mereka semua. Alasannya, seorang imam adalah ma'shum, terbebas dari kesalahan.
Adab Muhaddits
Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain.
Hal-Hal Utama yang Menjadi Adab Muhaddits
1. Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas.
2. Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah.
3. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya.
4. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits.
Anjuran-Anjuran Jika Hendak Menghadiri Mejelis
1. Bersuci, merapikan diri, dan menata jenggot2. Duduk dengan tentang dan penuh perhatian sebagai penghormatan terhadap hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.3. Menghadap kepada seluruh peserta majelis serta tidak menaruh perhatian hanya pada
orang-orang tertentu dengan melalaikan peserta yang lain.4. Membuka dan menutup majelis dengan pujian kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Usia Seseorang Sehingga Layak Untuk Menyampaikan Hadits
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat:
1. Ada yang berpendapat usia lima puluh tahun. Ada pula yang mengatakan usia empat puluh tahun.
2. Pendapat yang benar adalah ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dan sanggup membentuk majelis hadits, berapa pun usianya.
Kitab yang Populer
1. Al-Jami’ li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabi As-Sami’, karya Khatib Al-Baghdadi.2. Jami’u Bayani Al-‘Ilmi wa Fadhilihi wa ma Yanbaghi I Rawayatihi wa Hamlihi, karya
Ibnu Abdil Bar.
Adab Penuntut Ilmu Hadits
Adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu hadits yaitu berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab muhaddits, dan ada juga yang khusus bagi penuntut ilmu hadits.
Adab yang Bersekutu Dengan Adab Muhaddits
1. Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu hadits.2. Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut ilmu hadits yang bisa menjerumuskannya
pada motivasi keduniawian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan untuk Allah Ta’ala, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari Kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah)
3. Mengamalkan hadits yang didengarnya.
Adab yang Berlaku Khusus Bagi Penuntut Ilmu Hadits
1. Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan, dan pertolongan Allah Ta’ala dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya.
2. Selalu memperhatikan hadits secara komprehensif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya.
3. Memulai dengan mendengar dari para guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu, maupun agamanya.
4. Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarkannya serta senantiasa menghormatinya.
5. Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan ilmu, meskipun berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah.
6. Berusaha memahami hadits yang telah ditulis. Oleh karena itu, ia harus rela melelahkan dirinya tanpat mengenal waktu.
7. Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahaminya, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, lalu Sunan Al-Kubra Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami’, seperti Musnad Imam Ahmad, Al-Muwatha’ Imam Malik, termasuk kitab ‘Ilal seperti ‘Ilal Daruquthni.
8. Sedangkan kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh Kabir Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Ta’dil Ibnu Abi Hatim, Diabthu Al-Asma Ibnu Makula. Kitab yang membahas hadits gharib adalah kitab An-Nihayat Ibnu Katsir.
Daftar Pustaka
Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah
Syarat-syarat seorang perawi
Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits
sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :
1. Beragama Islam.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Tidak fasiq.
5. Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
6. Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
7. Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
8. Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara
makna.1[1]
Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perawi
haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak
kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah
Dan juga seorang perawi, benar–benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam.
Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi
lafadz dan maksudnya, memahami perbedaan–perbedaan dan mampu menyampaikan hadits
dengan tepat.
Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits
tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau
enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lafadznya sementara nilai pokok (hukum) yang
terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.
Sifat-sifat hadits yang diterima:
1[1] http://syarat-syarat perawi
Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari
gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari
Rasulullah SAW.
Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan
dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami
perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan
rusaknya kehormatan.
Betul-betul hafal.
Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.2[2]
B. Cara-cara menerima (tahammul) riwayat
Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasik
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah
pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh.
Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk
Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang
bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun.
Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat
memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz
dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.3[3]
Macam-macam cara menerima riwayat
Cara untuk menerima riwayat hadits ada delapan :
a. As-Sama’min lafa>dzi Al-syaikhi atau mendengar lafadh syaikh (guru)
2[2] Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif. 1968
3[3] http://cara menerima riwayat
Yaitu mendengar sendiri dari perkataan guru, baik secara didektekan maupun bukan, baik
dari hafalannya maupun tulisan, baik guru itu dihadapan tanpa hijab, maupun pakai hijab/tabir.
Menurut jumhur ulama, as-sama’min lafadhi Al-syaikhi merupakan bagian yang paling
tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam as-sama’ yaitu :
, اخبرنا .ialah seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami اخبرنى
, حدثنا .ialah seseorang telah bercerita kepadaku / kami حدثنى
, سمعنا .ialah saya / kami telah mendengar سمعت
b. Al-Qira’ah ‘Ala> asy-Syaikhi atau membaca kepada syaikh.
Disebut juga dengan Aradh adalah membaca dengan hafalan. Karena si pembaca
menyuguhkan haditsnya kehadapan guru, baik membacanya sendiri maupun orang lain yang
membaca sedangkan dianya mendengarnya. Seorang perawi membaca hadits kepada seorang
syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau
orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari
buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau
memegang kitab orang lain yang tsiqah.4[4]
Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh, apakah dia
setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari as-
sama’. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam al-qira’ah yaitu :
عليه ialah aku membacakan dihadapannya (guru) قرأت
اسمع وانا فالن على ialah dibacakan oleh seseorang di hadapannya (guru) sedangkan قرئ
aku mendengarkannya.
, عليه قراءة اخبرنا ialah telah mengabarkan, menceritakan padaku secara pembacaan حدثنا
dihadapannya (guru).
Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana
saja tanpa tambahan yang lain.
c. Al-Ija>zah
4[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Cet.6; Jakarta: Rajawali Pers, 2010.)
Yaitu seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik dengan ucapan
atau tulisan. Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya “Aku ijinkan kepadamu
untuk meriwayatkan dariku demikian”. Ada beberapa macam ijazah adalah sebagai berikut:
Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia
berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang
paling tinggi derajatnya.
Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya.
Seperti mengatakan, “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa
yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang
pada jamanku”.
Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia
mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ
terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir
dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya”.
Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama,
dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan
bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi
tidak berguna.
Lafadh-lafadh yang digunakan dalam ijazah adalah :
ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan),
haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan
kepada kami secara ijazah).5[5]
5[5] T. M. Hasbi al-Shiddi>qi, Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadits.
d. Al-Muna>walah atau menyerahkan.
Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang
sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Al-Muna>walah ada dua macam :
1. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-
macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang
murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”.
Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin.
Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari pada
as-sama’ dan al-qira’ah.
Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam Al-Muna>walah yang disertai dengan
ijazah yaitu :
,انبأنا .ialah seseorang telah memberitahukan kepadaku / kami انبأنى
2. Al-Muna>walah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak
boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam Al-Muna>walah yang tidak diiringi ijazah
yaitu :
,ناولنا .ialah seseorang telah memberitakan kepadaku / kami ناولنى
e. Muka>tabah}
Yaitu seorang guru menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.6[6]
Mukatabah ada 2 macam yaitu sebagai berikut :
1. Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa
yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah
shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.
6[6] ibid
2. Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan
tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam mukatabah yaitu :
كتابة فالن .ialah seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat-menyurat حدثنى
كتابة فالن .ialah seseorang telah mengkhabarkan kepadaku dengan menulis surat اخبرنى
فالن لي .ialah seseorang telah menulis kepadaku كتب
f. Al-Wijdah} (mendapat)
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari
orang yang menulisnya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-wijdah yaitu :
فالن بخط .ialah saya telah membaca khat seseorang قرأت
فالن بخط .ialah kudapati khat seseorang وجدت
فالن .ialah bercerita padaku sipulan حدثنا
g. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan
wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-washiyyah yaitu :
حدثنا فيه قال بكتاب فالن الى ialah seseorang telah berwasiat kepadaku dengan اوصى
sebuah kitab yang dia berkata dalam kitab itu, “telah bercerita kepadamu sifulan”.
h. Al-I’la>m (memberitahu)
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru, dengan tidak mengatakan / menyuruh agar
simurid meriwayatkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan
cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-I’lam yaitu :
حدثنا قال فالن ialah اعلمنى seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah
berkata kepadaku.7[7]
C. Cara-cara menyampaikan (ada’) riwayat
Lafadz-lafadz untuk menyampaikan riwayat.
Dapat dikelompokkan menjadi 2:
Pertama :
Lafadz meriwayatkan hadits bagi para perawi yang mendengar langsung dari gurunya.
Lafadz ini tersusun sebagai berikut :
a. سمعت , .adalah saya / kami telah mendengar سمعنا
Lafadz ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawi-
rawinya pada mendengar sendiri, baik berhadapan muka dengan guru tanpa hijab atau
berhadapan dengan guru memakai hijab.
b. حدثنى , .adalah seseorang telah bercerita kepadaku / kami حدثنا
Lafadz hadits ini oleh jumhur ulama kadang-kadang dirumuskan dengan : , نا , دثنا
ثنى , , ثنا , نى دثنى
c. اخبرنى , .adalah telah mengkhabarkan padaku / kami اخبرنا
Lafadz ini oleh para muhaditsin dirumuskan dengan :
Menurut Asy-Syafi’i dan ulama-ulama timur, memberikan lafadz حدثنا ( untuk rawi yang
mendengar langsung dari guru ), dengan اخبرنا ( untuk rawi yang membaca atau menghafal
hadits dihadapan guru, lalu guru mengiakan.
7[7] Fathur Rachman, op, cit.
d. , انبأنا / adalah seseorang memberitahukan kepadaku نبأنا kami. Lafadz ini sedikit
sekali pemakaiannya.
e. فالن , لى قال لنافالن .adalah seseorang telah berkata padaku / kami قال
f. فالن , ذكرلى .adalah seseorang telah menuturkan padaku / kami ذكرلنافالن
Disamping lafadz-lafadz di atas, terkadang dijumpai rumus atau lafadz sebagai berikut :
قثنا berarti حدثنا قال
قثنى berarti حدثنى قال
Kedua
Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri:
Lafadz .(bahwasanya) أن ,(dari) عن ,(dihikayatkan oleh) حكى ,(diriwayatkan oleh) روى
ini sulit untuk menyakininya, kecuali ada qarinah yang lain untuk menguatkan sabda Nabi.8[8]
Macam-macam cara meriwayatkan hadits (Al-Ada’)
a) Riwa>yat al-Aqran
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya
umurnya, atau yang seperguruan, yakni sama-sama belajar dari seorang guru, maka periwayatan
ini disebut riwayatul Aqran.
Faedah mengetahui riwayat ini adalah agar jangan dikira bahwa pada hadits tersebut
terdapat kelebihan sanad.
b) Riwa>yat al-Mudabbaj
Apabila masing-masing mereka yang seteman tersebut, saling meriwayatkan maka
periwayatkan yang sedemikian itu disebut riwayatul mudabbaj. Riwayatul mudabbaj lebih
khusus dari riwayatul Aqran sebab setiap riwayatul mudabbaj termasuk riwayatul Aqran, tetapi
tidak setiap riwayatul Aqran termasuk riwayatul mudabbaj.
Faedahnya adalah untuk menghindari adanya sangkaan, bahwa penyebutan dua orang rawi
yang sekawan tersebut adalah karena silap.
8[8] http://cara menyampaikan riwayat
c) Riwa>yat al-Akabbir ‘Ani’l al-shaghi>r
Adalah periwayatan hadits seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya
dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru.
Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi
pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhkan persangkaan kebanyakan orang, bahwa sang guru itu
lebih pintar daripada muridnya. Padahal tidak tentu demikian.
d) Riwa>yat al-Shahabah ‘an al-Tabi’in ‘anish-shahabah
Adalah periwayatan seorang sahabat yang diterima dari seorang tabi’in, sedangkan tabi’in
ini menerima dari seorang sahabat pula.
e) Riwayat al-Sabiq dan al-Lahiq
Apabila dua rawi yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru,
kemudian salah seorang dari padanya meninggal dunia, maka riwayat yang disampaikan oleh
rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut dengan riwayatul Sabiq. Sedangkan
riwayat yang disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut riwayatul lahiq.
Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang atau
untuk mengetahui ketinggian sanad suatu hadits.9[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jalan menerima hadits (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan
mengambilnya dari Syaikh. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan
baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima
riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau
sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil)
sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang
9[9] Ibid.
benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami
pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan
mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah:
As-Sima>’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca
hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode ini seorang
guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana.
Al-Ija>zah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku
hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
Al-Muna>walah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh
untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
Al-Kita>bah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan
metode ijazah.
I’la>m al-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab
tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya.
Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum
meninggal.
Al-Wija>dah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada
rekomendasi untuk meriwayatkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddiqi, T. M. Hasbi. Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis.
Rahman, fatchur. 1968. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif.
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
http://referensiagama.blogspot.com
http://cara menerima riwayat
http://syarat-syarat perawi
http://cara meriwayatkan hadits
DAFTAR PUSTAKA :•Drs, H, Mudassir.2005.Ilmu hadits.Pustaka setia : Bandung.•Dr, Wijaya, Utangranu, MA. 1996.ilmu hadits. Gaya media pratama : Jakarta.•Prof, Dr. Asy- Syidieqi, teungku M, hasyby. 2009.llmu hadits edisi 3. pustakariski putra: semarang.•http://wikipedia.com.•Dr. H. Abdul Majid Khon. 2009.ulumul hadits.Amzah : Jakarta.