18
A. Pendahuluan Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Ulama hadits Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan itu dikenal di kalangan ulama hadits, seperti tersebut dalam kitab-kitab musthalah al-hadits. Bahkan, kriteria buatan Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama. Itu sebabnya hadits riwayat kedua ulama tersebut dipandang sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih). Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmu-ilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadits palsu. Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak. Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.

Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

A. Pendahuluan

Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Ulama hadits Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan itu dikenal di kalangan ulama hadits, seperti tersebut dalam kitab-kitab musthalah al-hadits. Bahkan, kriteria buatan Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama. Itu sebabnya hadits riwayat kedua ulama tersebut dipandang sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih).

Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmu-ilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadits palsu.

Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.

Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.

Metoda tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Sunni itu menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadits-hadits palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid. Karena itu, kaum Rafidhah menetapkan tiga kriteria penerimaan riwayat, seperti dijelaskan ibn Taymiyah berikut ini:

1. Perawi hadits Rafidhah harus ma'shum. Maksudnya, harus imam yang ma'shum.2. Perawi hadits tidak perlu menyebutkan sanad atau silsilah periwayatan. Tetapi ia cukup

berkata, "Rasulullah bersabda," tanpa menyebutkan sanad atau dari siapa dan dari siapa.3. Kesepakatan turun-temurun dari para Imam yang Dua belas. Menurut kaum Rafidhah,

apa saja yang diriwayatkan oleh salah seorang dari imam yang Dua belas, bukan keseluruhan mereka, itu sudah merupakan kesepakatan mereka semua. Alasannya, seorang imam adalah ma'shum, terbebas dari kesalahan.

Page 2: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Adab Muhaddits

Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain.

Hal-Hal Utama yang Menjadi Adab Muhaddits

1. Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas.

2. Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah.

3. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya.

4. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits.

Anjuran-Anjuran Jika Hendak Menghadiri Mejelis

1. Bersuci, merapikan diri, dan menata jenggot2. Duduk dengan tentang dan penuh perhatian sebagai penghormatan terhadap hadits

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.3. Menghadap kepada seluruh peserta majelis serta tidak menaruh perhatian hanya pada

orang-orang tertentu dengan melalaikan peserta yang lain.4. Membuka dan menutup majelis dengan pujian kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Usia Seseorang Sehingga Layak Untuk Menyampaikan Hadits

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat:

1. Ada yang berpendapat usia lima puluh tahun. Ada pula yang mengatakan usia empat puluh tahun.

2. Pendapat yang benar adalah ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dan sanggup membentuk majelis hadits, berapa pun usianya.

Kitab yang Populer

1. Al-Jami’ li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabi As-Sami’, karya Khatib Al-Baghdadi.2. Jami’u Bayani Al-‘Ilmi wa Fadhilihi wa ma Yanbaghi I Rawayatihi wa Hamlihi, karya

Ibnu Abdil Bar.

Page 3: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Adab Penuntut Ilmu Hadits

Adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu hadits yaitu berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab muhaddits, dan ada juga yang khusus bagi penuntut ilmu hadits.

Adab yang Bersekutu Dengan Adab Muhaddits

1. Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu hadits.2. Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut ilmu hadits yang bisa menjerumuskannya

pada motivasi keduniawian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan untuk Allah Ta’ala, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari Kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah)

3. Mengamalkan hadits yang didengarnya.

Adab yang Berlaku Khusus Bagi Penuntut Ilmu Hadits

1. Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan, dan pertolongan Allah Ta’ala dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya.

2. Selalu memperhatikan hadits secara komprehensif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya.

3. Memulai dengan mendengar dari para guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu, maupun agamanya.

4. Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarkannya serta senantiasa menghormatinya.

5. Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan ilmu, meskipun berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah.

6. Berusaha memahami hadits yang telah ditulis. Oleh karena itu, ia harus rela melelahkan dirinya tanpat mengenal waktu.

7. Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahaminya, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, lalu Sunan Al-Kubra Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami’, seperti Musnad Imam Ahmad, Al-Muwatha’ Imam Malik, termasuk kitab ‘Ilal seperti ‘Ilal Daruquthni.

8. Sedangkan kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh Kabir Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Ta’dil Ibnu Abi Hatim, Diabthu Al-Asma Ibnu Makula. Kitab yang membahas hadits gharib adalah kitab An-Nihayat Ibnu Katsir.

Daftar Pustaka

Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah

Page 4: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Syarat-syarat seorang perawi

Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits

sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :

1.      Beragama Islam.

2.      Baligh.

3.      Berakal.

4.      Tidak fasiq.

5.      Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).

6.      Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.

7.      Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.

8.      Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara

makna.1[1]

Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perawi

haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak

kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah

Dan juga seorang perawi, benar–benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam.

Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi

lafadz dan maksudnya, memahami perbedaan–perbedaan dan mampu menyampaikan hadits

dengan tepat.

Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits

tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau

enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lafadznya sementara nilai pokok (hukum) yang

terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.

Sifat-sifat hadits yang diterima:

1[1] http://syarat-syarat perawi

Page 5: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

         Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari

gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari

Rasulullah SAW.

         Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan

dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami

perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan

rusaknya kehormatan.

         Betul-betul hafal.

         Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.

         Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.2[2]

B.     Cara-cara menerima (tahammul) riwayat

Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasik

Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah

pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh.

Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk

Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang

bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun.

Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat

memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz

dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.3[3]

 Macam-macam cara menerima riwayat

Cara untuk menerima riwayat hadits ada delapan :

a.       As-Sama’min lafa>dzi Al-syaikhi atau mendengar lafadh syaikh (guru)

2[2] Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif. 1968

3[3] http://cara menerima riwayat

Page 6: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Yaitu mendengar sendiri dari perkataan guru, baik secara didektekan maupun bukan, baik

dari hafalannya maupun tulisan, baik guru itu dihadapan tanpa hijab, maupun pakai hijab/tabir.

Menurut jumhur ulama, as-sama’min lafadhi Al-syaikhi merupakan bagian yang paling

tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam as-sama’ yaitu :

         , اخبرنا .ialah seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami اخبرنى

         , حدثنا .ialah seseorang telah bercerita kepadaku / kami حدثنى

         , سمعنا .ialah saya / kami telah mendengar سمعت

b.      Al-Qira’ah ‘Ala> asy-Syaikhi atau membaca kepada syaikh.

Disebut juga dengan Aradh adalah membaca dengan hafalan. Karena si pembaca

menyuguhkan haditsnya kehadapan guru, baik membacanya sendiri maupun orang lain yang

membaca sedangkan dianya mendengarnya. Seorang perawi membaca hadits kepada seorang

syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau

orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari

buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau

memegang kitab orang lain yang tsiqah.4[4]

Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh, apakah dia

setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari as-

sama’. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam al-qira’ah yaitu :

         عليه ialah aku membacakan dihadapannya (guru)  قرأت

         اسمع وانا فالن على ialah dibacakan oleh seseorang di hadapannya (guru) sedangkan  قرئ

aku mendengarkannya.

         , عليه قراءة اخبرنا ialah telah mengabarkan, menceritakan padaku secara pembacaan  حدثنا

dihadapannya (guru).

Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana

saja tanpa tambahan yang lain.

c.       Al-Ija>zah

4[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Cet.6; Jakarta: Rajawali Pers, 2010.)

Page 7: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Yaitu seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik dengan ucapan

atau tulisan. Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya “Aku ijinkan kepadamu

untuk meriwayatkan dariku demikian”. Ada beberapa macam ijazah adalah sebagai berikut:

         Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia

berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang

paling tinggi derajatnya.

         Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya.

Seperti mengatakan, “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.

         Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa

yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang

pada jamanku”.

         Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia

mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ

terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.

         Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir

dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan

keturunannya”.

         Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama,

dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan

bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi

tidak berguna.

         Lafadh-lafadh yang digunakan dalam ijazah adalah :

         ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan),

         haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan

kepada kami secara ijazah).5[5]

5[5] T. M. Hasbi al-Shiddi>qi, Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadits.

Page 8: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

d.      Al-Muna>walah atau menyerahkan.

Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang

sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.

Al-Muna>walah ada dua macam :

1.      Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-

macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang

murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”.

Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin.

Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari pada

as-sama’ dan al-qira’ah.

Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam Al-Muna>walah yang disertai dengan

ijazah yaitu :

         ,انبأنا .ialah seseorang telah memberitahukan kepadaku / kami  انبأنى

2.      Al-Muna>walah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya

kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak

boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam Al-Muna>walah yang tidak diiringi ijazah

yaitu :

         ,ناولنا .ialah seseorang telah memberitakan kepadaku / kami  ناولنى

e.       Muka>tabah}

Yaitu seorang guru menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya

kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.6[6]

Mukatabah ada 2 macam yaitu sebagai berikut :

1.      Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa

yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah

shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.

6[6] ibid

Page 9: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

2.      Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk

muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk

meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak

memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan

tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.

Lafadz-lafadz yang digunakan dalam mukatabah yaitu :

         كتابة فالن .ialah seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat-menyurat  حدثنى

         كتابة فالن .ialah seseorang telah mengkhabarkan kepadaku dengan menulis surat  اخبرنى

         فالن لي .ialah seseorang telah menulis kepadaku  كتب

f.        Al-Wijdah} (mendapat)

Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia

mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si

perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari

orang yang menulisnya.

Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-wijdah yaitu :

         فالن بخط .ialah saya telah membaca khat seseorang  قرأت

         فالن بخط .ialah kudapati khat seseorang  وجدت

         فالن .ialah bercerita padaku sipulan  حدثنا

g.      Al-Washiyyah (mewasiati)

Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,

sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan

wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.

Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-washiyyah yaitu :

         حدثنا فيه قال بكتاب فالن الى ialah seseorang telah berwasiat kepadaku dengan  اوصى

sebuah kitab yang dia berkata dalam kitab itu, “telah bercerita kepadamu sifulan”.

h.      Al-I’la>m (memberitahu)

Page 10: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah

riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru, dengan tidak mengatakan / menyuruh agar

simurid meriwayatkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan

cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.

Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-I’lam yaitu :

         حدثنا قال فالن ialah  اعلمنى seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah

berkata kepadaku.7[7]

C.     Cara-cara menyampaikan (ada’) riwayat

Lafadz-lafadz untuk menyampaikan riwayat.

Dapat dikelompokkan menjadi 2:

      Pertama :

Lafadz meriwayatkan hadits bagi para perawi yang mendengar langsung dari gurunya.

Lafadz ini tersusun sebagai berikut :

a.     سمعت , .adalah saya / kami telah mendengar  سمعنا

Lafadz ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawi-

rawinya pada mendengar sendiri, baik berhadapan muka dengan guru tanpa hijab atau

berhadapan dengan guru memakai hijab.

b.     حدثنى , .adalah seseorang telah bercerita kepadaku / kami  حدثنا

Lafadz hadits ini oleh jumhur ulama kadang-kadang dirumuskan dengan :  , نا ,   دثنا

ثنى , ,   ثنا , نى دثنى

c.     اخبرنى , .adalah telah mengkhabarkan padaku / kami  اخبرنا

Lafadz ini oleh para muhaditsin dirumuskan dengan :

Menurut Asy-Syafi’i dan ulama-ulama timur, memberikan lafadz حدثنا  ( untuk rawi yang

mendengar langsung dari guru ), dengan   اخبرنا ( untuk rawi yang membaca atau menghafal

hadits dihadapan guru, lalu guru mengiakan.

7[7] Fathur Rachman, op, cit.

Page 11: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

d.     , انبأنا / adalah seseorang memberitahukan kepadaku  نبأنا kami. Lafadz ini sedikit

sekali pemakaiannya.

e.     فالن , لى قال لنافالن .adalah seseorang telah berkata padaku / kami  قال

f.       فالن , ذكرلى .adalah seseorang telah menuturkan padaku / kami  ذكرلنافالن

Disamping lafadz-lafadz di atas, terkadang dijumpai rumus atau lafadz sebagai berikut :

         قثنا  berarti  حدثنا قال

         قثنى  berarti   حدثنى قال

      Kedua

Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri:

Lafadz .(bahwasanya)  أن  ,(dari)  عن  ,(dihikayatkan oleh)  حكى  ,(diriwayatkan oleh)  روى

ini sulit untuk menyakininya, kecuali ada qarinah yang lain untuk menguatkan sabda Nabi.8[8]

Macam-macam cara meriwayatkan hadits (Al-Ada’)

a)   Riwa>yat al-Aqran

Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya

umurnya, atau yang seperguruan, yakni sama-sama belajar dari seorang guru, maka periwayatan

ini disebut riwayatul Aqran.

Faedah mengetahui riwayat ini adalah agar jangan dikira bahwa pada hadits tersebut

terdapat kelebihan sanad.

b)   Riwa>yat al-Mudabbaj

Apabila masing-masing mereka yang seteman tersebut, saling meriwayatkan maka

periwayatkan yang sedemikian itu disebut riwayatul mudabbaj. Riwayatul mudabbaj lebih

khusus dari riwayatul Aqran sebab setiap riwayatul  mudabbaj termasuk riwayatul Aqran, tetapi

tidak setiap riwayatul Aqran termasuk riwayatul mudabbaj.

Faedahnya adalah untuk menghindari adanya sangkaan, bahwa penyebutan dua orang rawi

yang sekawan tersebut adalah karena silap.

8[8] http://cara menyampaikan riwayat

Page 12: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

c)   Riwa>yat al-Akabbir ‘Ani’l al-shaghi>r

Adalah periwayatan hadits seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya

dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru.

Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi

pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhkan persangkaan kebanyakan orang, bahwa sang guru itu

lebih pintar daripada muridnya. Padahal tidak tentu demikian.

d)   Riwa>yat al-Shahabah ‘an al-Tabi’in ‘anish-shahabah

Adalah periwayatan seorang sahabat yang diterima dari seorang tabi’in, sedangkan tabi’in

ini menerima dari seorang sahabat pula.

e)   Riwayat al-Sabiq dan al-Lahiq

Apabila dua rawi yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru,

kemudian salah seorang dari padanya meninggal dunia, maka riwayat yang disampaikan oleh

rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut dengan riwayatul Sabiq. Sedangkan

riwayat yang disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut riwayatul lahiq.

Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang atau

untuk mengetahui ketinggian sanad suatu hadits.9[9]   

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jalan menerima hadits (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan

mengambilnya dari Syaikh. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan

baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima

riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau

sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil)

sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang

9[9] Ibid.

Page 13: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami

pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan

mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.

Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah:

As-Sima>’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca

hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.

Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode ini seorang

guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana.

Al-Ija>zah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku

hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.

Al-Muna>walah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh

untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.

Al-Kita>bah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan

metode ijazah.

I’la>m al-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab

tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya.

Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum

meninggal.

Al-Wija>dah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada

rekomendasi untuk meriwayatkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqi, T. M. Hasbi. Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis.

Rahman, fatchur. 1968. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif.

Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.

http://referensiagama.blogspot.com

Page 14: Adab Dan Sifat Perawi Hadist

http://cara menerima riwayat

http://syarat-syarat perawi

http://cara meriwayatkan hadits

DAFTAR PUSTAKA :•Drs, H, Mudassir.2005.Ilmu hadits.Pustaka setia : Bandung.•Dr, Wijaya, Utangranu, MA. 1996.ilmu hadits. Gaya media pratama : Jakarta.•Prof, Dr. Asy- Syidieqi, teungku M, hasyby. 2009.llmu hadits edisi 3. pustakariski putra: semarang.•http://wikipedia.com.•Dr. H. Abdul Majid Khon. 2009.ulumul hadits.Amzah : Jakarta.