15
HUBUNGAN AGAMA DAN BUDAYA DALAM KRISTEN PROTESTAN Pertemuan Injil dan kebudayan Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat diumpamakan seperti kue lapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri darilapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada etnografis,geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetapberhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur- unsurkebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaanuniversal, terdiri dari : Sistem relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem teknologi. Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing saling berpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perubahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam soal-soal doktrin dan kesucian,perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha kerja, sedang Injil menekankan anugerahAllah sebagai jaminan

AGAMA 02.docx

Embed Size (px)

Citation preview

HUBUNGAN AGAMA DAN BUDAYA DALAM KRISTEN PROTESTAN

Pertemuan Injil dan kebudayanInjil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat diumpamakan seperti kue lapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri darilapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada etnografis,geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetapberhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsurkebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaanuniversal, terdiri dari : Sistem relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem teknologi. Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing saling berpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perubahan.

Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam soal-soal doktrin dan kesucian,perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha kerja, sedang Injil menekankan anugerahAllah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 : 25-34); tentangkasih dan keadilan yang menentanghukum balas-membalas (Mattius 5 : 38-48). Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme dan Romawi.Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap dan dipuja sebagai Tuhandan agama rakyat yang politheistis dan hubungan seksual termasuk dalam sistem religi yangmembuat tata susila yang permissif, sini tari yang membangkitkan birahi dan bentuk-bentuk olahraga yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak harus menentukan sikapterhadap kebudayaan yang dihadapinya.

Sikap Gereja terhadap kebudayaanH. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikapGereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan kebudayaan. Iatelah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang zamandalam 5 sikap, yaitu :1. Gereja anti kebudayan 2. Gereja dari kebudayaan3. Gereja diatas kebudayaan4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks5. Gereja pengubah kebudayaanIni adalah gambaran gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang mengatakanbahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap tersebut. Namun adabaiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :1. Posisi 1, Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan. Warga Gerejadisebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam kegelapan. Duniakegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalusebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr, 56). Sikap menentang kebudayaan initelah dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja abad ke 2. Iamengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan.Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui pendidikan anak. Olehnkarena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah berada dibawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Yang palingburuk darikebudayaan adalah agama sosial, kafir atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60). Tetapi pada pihak lain, tertullianus menganjurkan agar Gereja memupukkebersamaan, tidak meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasarmingguan tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama dalam dunia.Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang denganmu, mengolah tanahdenganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum. Pada pihak lain Tertullianus mengajak orangmenjauhi keterlibatan dalam soal-soal kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebabmelanggar perintah Injil yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setiakepada kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir.Ia menolak bentuk kekristenan yang berfusidengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat. WalauTertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisiGereja lawan kebudayaan.2. Posisi 2, Gereja dari kebudayaanKelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia,antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Merekamenafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristusadalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristusditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaanadalah cocok denganajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukanjuga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injilyang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94). Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep kebudayaan,tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian Injil dengankebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja hanyasebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaianini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41).Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendahtingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100). Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan dengankebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan melalui gagasantentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia yang terhimpundalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan bersama. Perhimpunan initerbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melaluipertimbangan alamiah (Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristusmenentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110).3. Posisi 3. Gereja diatas kebudayaan.Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani).Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosialyang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebabbersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melaluipara Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukumalam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia(ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki,berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak bolehmencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contohitu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemuiyang terdapat dalam kodrathidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis. Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkisgwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatananCorpus Christianum.4.Posisi 4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalamKristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidupdalam kebudayaan. Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang berpendirian bahwa dalamkebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang dinamainya domiurgos sedangdalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah Allah Rahmani. Dengan itu ia telahmempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa itu dan dikategorikansebagai ajaran sesat. Pandangan dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskanreformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaanAllah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan anugerah dankemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan kemurkaan dan kekerasan. Keduakerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-masing lingkungan menurutaturannya. Jadimanusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatananrohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatananduniawi dengan yang surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidakberhubungnan. Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupandalam kebudayaan (Niebuhr, 194). Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William Roger. Manusiamenurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada ketegangan antara keduanya.Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus berbaktikepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu hidup dalam rahmat Allah dansekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal inimungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidupmenurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawidalam lingkungan dunia (Niebuhr:207).5. Posisi 5. Gereja pengubah kebudayaanBanya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam teorimaupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena merekamemahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak takluk kepadakebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuksintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaanyang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jikadikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja(Verkugl, 1982 : 49). Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubahkebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidakmengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat,tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239). Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial merekayang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allahtetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapatmemenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalamYesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan danmemperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesarankasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia memulihkanapayang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak (242). Ataspemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injiladalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvinpada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa hukum-hukumkerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya. Denganitu hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusiadapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Olehsebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapatmensejahterakan manusia (245-246).

Gereja dan kebudayaan di IndonesiaSeperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di Indonesia saratdengan pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi, Hindu, Buddha dan Islam dalamintensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan, namun saling berpenetrasiantara satu dengan yang lain. Secara umum dapat dikatakan pengaruh Hindu dan Islamberpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di Indonesia bagian timur terdapat pengaruh agamapribumi dan Islam. Di Sumatwera Utara khususnya diantara orang Batak terdapat pengaruh agamaHindu dan agama pribumi. SewaktuInjil diberitakan kepada suku-suku bangsa di Indonesia maka Injil berhadapan denganunsur-unsur kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap gereja terhadap kebudayaansetempat. Gereja-gereja berlatar belakang reformasi yang membawa Injil ke Indonesia menekankan sekalikemurnian Injil dan disiplin kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang termuiat dalam Injil. Oleh sebabitu geraja selalu mengawasi agar unsur-unsuryang bertentangan dengan Injil tidak memasukikehidupan umat Kristen. Oleh karena itu gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua ritus-ritus untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadipenyembahan kepada ilah-ilah selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5). Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan masyarakat adalh bermuatan agamasedang bagi masyarakat pribumi suatu simbol selalu identik dengan yang disimbolkan. Oleh sebabitu gereja tidak saja menolak kultus kepada yang bukan Allah tetapi juga mendesakralisasikan suatusimbol sehingga dapat menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia. Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak yang dinamaidilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan Dairi) atau sangkep si telu(Batak Karo). Tatanan ini bersumber darikepercayaan orang Batak kepada tiga Dewata, yangpertama berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia bawah.Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hulaatau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompoksatu klan dan boru atau anak beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara. Ketiga dewata itu diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia tengah tidakdiganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo bunyinya :turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah. Sebagaimanaharus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah, demikian juga ketiga unsur kerabattersebut harus selalu bertindak dalam keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak Belief in theHigh God: 1963:28-29) Bahwa orang batak memahamiseluruh kosmos sebagai keselueruhan duniabawah, tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu mempunyai fungsi,melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin. Penghapusan salah satu daritotalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-masing. Demikian jugakeberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang adalah kesatuan totaliter. Tanpamemandang luas kecil operasinya, ia adalah kesatuan dari kuasa-kuasa yangbertentangan(terjemahan : penulis). Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan mencopot unsurmythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama Kristen kedalamnya agar peran masing-masing unsur lebih rasional dan fungsional. Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia antara lain gereja diAmbon mengadopsi tatanan pela gandong yaitu suatu ikatan sosial masyarakat berdasarkan ikrarnenek moyang pada waktu yang tidak diketahui lagi, tetapi tetap diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan agama yang merekla anut. Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong tersebut bukan semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab itu kepatuhan tersebutbersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya dikategorikan sebagai pelanggar moral.Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah: 1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsur-unsur yang secara totalbertentangan dengan Injil,umpamanya terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupanyang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.3. Menerima unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil umpamanya tata perkawinan, seni tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi sarana Injil untuk membangun iman dan kehidupan.

KesimpulanMelalui pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub kulturKristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang universal di Indonesia.Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber kekuatan untuk melahirkan kebudayaan.Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semuamanusia disegala zaman dan tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injilyang lokal, yang menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebabInjil yang universal dikaburkan dalam kelokalannya. Tapi pada pihak lain hanya dengan cara demikian Injil yang universal menjadi fungsional dalamkonteks lokalnya. Atas dasar itu Paul Tillich seorang teolog berkata : theology move betweeneternal truth of its foundation and the temporal situation in which the eternal truth must bereceived (Tillich, Systematic Theology I . 3). Kata-kata itu mengatakan bahwa teologi adalahungkapan dari kebenaran Injil dari situasi temporal, dimana kebenaran itu harus diterima. Ucapan Tillich membenarkan upaya menghubungkan Injil atau teks Alkitab dengan situasi lokal,sehingga timbul usaha berteologi yang menghasilkan teologi yang menjawab permasalahan atauanswering theology. Teologi yang menjawab itu adalah fungsional yang diupayakan oleh manusia.Dengan cara inilah agama Kristen dapat melahirkan kebudayaan. Pada pihak lain perlu disadari bahwa cara bertheologi menghubungkan teks dengan situasi lokal(konteks) memerlukan kejelian:pertama, agar teks tidak dikaburkan oleh konteks demi kepentingankonteks, kedua, agar teologi yang menjawab permasalahan itu jangan dianggap telah final, tanpamenyadari keterbatasannya, ketiga agar menyadari bahwa konteks terus menerus berubah yangmengharuskan suatu usaha yang terus menerus. Perlu disadari bahwa teologi yang menjawab tersebut bukanlah Injil itu sendiri, melainkan suatuhasil yang diupayakan orang Kristen yang committed terhadap Injil. Hal ini juga berarti bahwapelaku-pelaku teologi haruslah bergerak dari teks terhadap konteks dan teks itu tetap bergaungterhadap konteks yang digumulinya sehingga keuniversalan Injil itu bergema dalam sub kulturKristen dimana sajapun. Dengan mengandalkan teologi kontekstual yang menjawab permasalahan, maka orang Kristendapat mengadakan pendekatan sosial terhadap penganut agama lain, umpamanya melalui subkultur Kristen batak ummat Kristen mendekati orang-orang Batak yang beragama Islam, Hindu danBuddha dengan asumsi bahwa setiap penganut agama-agama di Indonesia sedikit banyaknya telahdimasuki oleh sub kultur etnis tertentu. Inilah salah satu point of contact yang dapat dipergunakanoleh penganut antar agama untuk mencapai kerukunan yang dinamis.

KEPUSTAKAANBerkhof, I. H,Sejarah Gereja, Jakarta, BPK G Mulia, 1986. Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta, 1990. Niebuhr, Richard, H,Christand Culture, terj. Satya Karya, jakarta : Petra Jaya, tt. Tobing, Ph, L,The Stucture Of Toba Batak Belief In The High God, Amsterdam, Jacob Van Kanpen, 1963. Tillich,Paul,Systematic Theology I, Chicago, SCM Press, 1984.

Tugas Agama TENTANG PEMANFAATAN KEBUDAYAAN YANG SESUAI DENGAN IMAN KRISTEN

Di Susun Oleh

KELAS: XI.IPA.1

TAHUN AJARAN 2014 / 2015